1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
Diphteriae. (Nelson, 2000). Penyakit ini dominan menyerang anak-anak dan ditandai dengan
timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Difteri
mempunyai gejala demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derajat Celcius, batuk dan
pilek yang ringan. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan, mual, muntah, sakit kepala.
Difteri merupakan penyakit sangat menular, jumlah kasus dan kematian cenderung
meningkat. Cara penularan Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak
langsung (Guilfoile, 2009).
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah
menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya
terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan
bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di
seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin
difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan
kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan
serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat
imunisasi (Guilfoile, 2009). Vaksin imunisasi bakteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang
tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit ini dibandingkan dengan anak
yang mendapatkan vaksin (Shabrina, 2013).
Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus
segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah
sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal,
supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat
pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia (Joedgreat, 2007).
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
1
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita (Garna, 2002).
Difteri merupakan suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung dan banyak faktor yang mempengaruhi, penyakit difteri mempunyai tanda gejala
sangat bervariasi, tergantung golongan umur mikroorganisme penyebab, kekebalan tubuh
(immunologis). Selain itu kebijakan nasional imunisasi rutin tentang pelaksanaan backlog
fighting/BLF (penyulaman) bagi desa/kelurahan 2 tahun berturut-turut tidak dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota, sehingga dari tahun ke tahun terjadi penggelembungan jumlah
anak yang belum kebal terhadap infeksi difteri.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan
mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan
mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Biaya pengobatan difteri sangat tinggi, ADS (Antui Difteri Serum) sangat mahal dan
sulit dicari demikian juga dengan Eritromisin. Pengobatan profilaksis sangat lama (7-10 hari)
dengan dosis yang tinggi (50mg/KgBB/hari) dibagi dalam 4 dosis Efek samping eritromisin
seperti perih, mual, muntah dan diare menajdi tingginya angka ” DO (Drop out)” pengobatan
profilaksis pada kontak erat penderita, Belum tersedianya ”Ruang Isolasi” khusus penyakit
menular (difteri) yang memadai di setiap RSUD Kab/Kota untuk merawat penderita agar
tidak terjadi Nosokomial infeksi. Terbatasnya stock ADS dan Eritromisin di tingkat Propinsi
sehingga kebutuhan logistik tersebut masih sering di supplay dari Kemenkes. Kebutuhan ADS
dan Eritromisin untuk difteri sangat banyak dan belum semua Kab/Kota menyediakan sendiri
Depkes RI, 2005).
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang masuk dalam tubuh
melalui Kontak langsung dengan orang terinfeksi atau barang terkontaminasi. Ikut aliran
sistemik dalam tubuh, terus inkubasi pada tubuh 2 sampai 4 hari, terus mengeluarkan toksin
atau racun yang menyerang Tonsil, Faringeal, Laring. Menurut (Depkes, 2007) 60% penderita
difteri diakibatkan karena penularan. Difteri ini akan berlanjut menimbulkan Komplikasi lain
adalah gangguan pernapasan, kerusakan otot jantung, dan nafas.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena
toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa
dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae,
dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat
2
pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini
menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5
hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. Difteri merupakan
penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya
membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan,
oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti
mengurangi insidensi penyakit tersebut (Depkes RI, 2007).
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih
ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah
berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup
tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat
adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.
Untuk mencegah penularan difteri diperlukan suatu pengetahuan sehingga akan
membentuk suatu perilaku dan kesadaran. Untuk meningkatkan perilaku ibu tentang
penularan difteri diperlukan suatu penyuluhan tentang pencegahan penularan penyakit difteri
diantaranya Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara: Imunisasi DPT untuk anak
bayi.
Imunisasi di berikan sebanyak 3 kali yaitu pada saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan,
menghindari kontak dengan penderita secara langsung. Menjaga kebersihan diri, Menjaga
stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga cuci tangan sebelum
makan, Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur. Bila mempunyai keluhan sakit saat
menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan Kesehatan terdekat (Depkes RI. 2007)
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010
sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya
kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.
3
2. PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Saat ini penderita penyakit difteri di Indonesia telah berkurang, namun pada tahun 2001
dan 2002 diperoleh data terjadi peningkatan kasus difteri ini dibandingkan dengan tahun
2000. Dari data-data yang diperoleh, angka kejadian penyakit difteri ini lebih tinggi dan lebih
sering terjadi di negara-negara Asia daripada negara Eropa, seperti halnya di India dilaporkan
pada tailun 2002 terjadi sekitar 5.472 kasus (Depkes RI, 2005).
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat
dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman
tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu
(yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang
sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia C. diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa (Joedgreat, 2007).
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan
mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan
mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun
in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu
uji reaksi polimerase pengamatan (Kartono, 2008).
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan
panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin
4
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene (Kadun, 2006).
2.2 Anamesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan
riwayat perjalanan penyakit.
- Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan.
- Keluhan utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak harus
sejalan dengan diagnosis utama.
- Riwayat penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu (RPD)
- Riwayat kesehatan keluarga atau riwayat penyakit menahun (Notoatmodjo, 2003).
Riwayat lingkungan tempat tinggal, sosal ekonomi Pemeriksaan Penunjang
a. Shick Test : Schick merancang tes kulit sebagai sarana untuk menentukan kerentanan atau
kekebalan terhadap difteri pada manusia. Toksin difteri akan menyebabkan reaksi
inflamasi ketika jumlah yang sangat kecil 0,1 cc yang disuntikkan. Uji Schick melibatkan
menyuntikkan dosis yang sangat kecil dari toksin di bawah kulit lengan bawah dan
mengevaluasi tempat suntikan setelah 48 jam. Sebuah tes positif (reaksi inflamasi)
menunjukkan kerentanan (non immunity). Sebuah tes negatif (tidak ada reaksi)
menunjukkan imunitas (antibodi menetralisir toksin).
b. Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman diphtheria. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti
bahwa :
- Pernah terpapar pada basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
- Pemberian toksoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
5
Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap diphtheria
(sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent infection dan
imunisasi dengan toksoid diphtheria (Nelson, 2000).
Triad Epidemiologi Difteria
1. Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae.
Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak-anak berusia 2 sampai 5
tahun. Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah
2. Agent
Corynebacterium diphtheria Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak
membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC selama 10 menit, tahan sampai beberapa
minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering. Terdapat 3 jenis basil yaitu
bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk kolonin dalam biakan agar
darah yang mengandung kalium telurit.
Basil dapat membentuk
a. Pseudomembran yang sukar diangkat,mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan
yang meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit,jaringan nekrotik dan basil.
b. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbs
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung,ginjal dan jaringan saraf.satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut
dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji schick.
3. Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Difteri
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut
atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
6
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf (Sudoyo, 2006).
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG (Nursalam, 2005).
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa
saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan
biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri
ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin
7
atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Masa inkubasi penyakit difteri dapat
berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa
menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu
sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6
bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara
minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk,
tak jarang difteri juga menyerang kulit (Hidayat, 2008).
3. Tahap Penyakit Lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas (Shabrina, 2013).
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
8
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif (Dick,
2002).
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui
proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-
EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di
daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah
yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada
masa penyembuhan (Hidayat, 2008).
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal (Garna, 2002).
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
9
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas (Guilfoile, 2009).
4. Convalescence (Pasca Patogenesis/Penyembuhan)
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari,
namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan perjalanan penyakit yang lama, gizi
kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat. Walaupun sangat berbahaya dan sulit
diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien
difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi. Pengobatan khusus penyakit difteri
bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika.
Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua fenomena yang
berbeda, yaitu :
1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi hambatan
sintesa protein dalam sel (Guilfoile, 2009).
2.4 Faktor Resiko Difteri
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan
kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang
tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status
imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga
Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang
rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat
mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah
dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu (Karto
10
2.5 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh
kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena
efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal.
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya
sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada
penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi
tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak
(Behrman, 2000).
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus
septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis
sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di
beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik,
dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat
tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang
teliti (Behrman, 2000).
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi
pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang
berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal
eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi
pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara
akut 1 minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat
sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti
efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan
perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang
lazim (Kartono, 2008).
Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade
11
jantung derajat I, II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung
kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia
berat meramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit
mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang
lebih berat dapat mempunyai efek hantaran permanen; untuk yang lain, penyembuhan dari
miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis paralel dengan luasnya infeksi primer dan pada
mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring,
sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus,
laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar
menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-
5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai
strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1
hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor
dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal
dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat
dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-
Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2
atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat
menyebabkan hipertensi atau gagal jantung (Kartono, 2008).
Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi kuman tidak
dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang biak, toksin merusak
jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit
ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana
pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur,
kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan (psedomembran). Membran ini sukar
diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-
kuman ini mengeluarkan eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari
putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering disebut dengan “simple tonsilar exudate”.
Kerusakan jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan
apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas pada
tracheo-bronchial atau laryngeal (Rampengan dan laurentz, 2002).
12
2.6 Manifestasi Klinis Difteri
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane
bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi
(bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik
ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan
tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa
apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak
jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar
getah bening di leher sering terjadi.
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat
dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala
umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia
sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas
untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan
sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang
terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria (Depkes RI,
2003).
1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun
1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua
tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-
tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC.
13
a. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane.
Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak
membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
b. Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam
1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring
ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas
secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan
daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat
menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi
toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10
hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10
hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
c. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri
laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan
epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik
kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring
yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada
kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring
14
terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran
gejala obstruksi dan toksemia (Kadun, 2006).
2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang
ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat
keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau
stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang
mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat
khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi
bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit
(Widoyono, 2005).
3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat
lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran
genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane
dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus
lain (Kartono, 2008).
2.7 Diagnosis Difteri
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala
klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya,
sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah
dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media
loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri
agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan
15
lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di
bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke
uvula (Rampengan dan Laurentz, 2002).
2.8 Diagnosis Banding Difteri
Komplikasi Difteri
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh
kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena
efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal (Shabrina, 2013).
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya
sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada
penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi
tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada
anak. Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus
septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis
sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di
beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik,
dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat
tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang
teliti (Joedgreat, 2007).
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi
pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang
berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal
eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi
pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara
akut seawall 1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat
merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan
16
interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan
tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler.
Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia
berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit
mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang
lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari
miokardiopati toksik biasanya sempurna (Sumarno, 2008).
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada
mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring,
sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus,
laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar
menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-
5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai
strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya
1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor
dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal
dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat
dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-
Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2
atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat
menyebabkan hipotensi atau gagal jantung (Sumarno, 2008).
Diagnosis Banding
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common
cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan
oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis
membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.
Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda
17
asing dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus (Wijaya, 2004).
Pengobatan dan Penatalaksanaan Difteri
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria (Wijaya, 2004).
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah
baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan
lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat
atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3,
7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer (Wijaya, 2004).
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. Sebelum
Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >
10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
18
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,
tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera
pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (Rampengan, 2002).
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada
kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,
eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin
pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya
penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan pengidap nasofaring (Sudoyo, 2006).
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila
hasil biakan 3 hari berturut-turut.
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. dibagi dalam 4
dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
19
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10
hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-
turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai
terapi (Supriyanto, 2008).
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari
(Wijaya, 2004).
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas
serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
1. Obstruksi jalan nafas :
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh karena
edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.
2. Efek toksin.
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua,
tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat (minggu ke enam).
Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung redup, bising jantung, atau aritmia.
Bisa pula terjadi gagal jantung. Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat,
bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan
pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal,
kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi
antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis.
Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung
(Supriyanto, 2008).
20
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi.
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dgn
status imunisasi
Prognosis Difteri
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,
keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang
dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus
difteria dapat disebabkan oleh karena :
- Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria
- Adanya miokarditis dan gagal jantung
- Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus (Kartono, 2008).
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya
21
trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000 prognosisnya buruk. Mortalitas
tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring
(10,5%).
2.9 Pencegahan Difteri
a. Pencegahan Primer
1. Melakukan kegiatan penyuluhan
2. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting dimana kegiatan ini memberi penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
3. Melakukan imunisasi aktif secara luas (massal)
Tindakan imunisasi aktif merupakan pemberantasan yang efektif yang dilakukan dengan
Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell
pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid
antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini
juga telah tersedia. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal
walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang
optimal.
4. Mengatur jadwal imunisasi
5. Melakukan upaya khusus
Upaya khusus ini perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti
kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan
setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka (Arias, 2000).
b. Pencegahan Sekunder
1. Laporan kepada petugas kesehatan setempat
Laporan wajib dilakukan di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-
negara lain di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
22
2. Isolasi
Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit
dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan
sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2
kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan
isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.
3. Desinfeksi serentak
Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang
yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
4. Karantina, Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan
pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-
anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya
sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan
pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
5. Manajemen Kontak
Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan
tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin atau dengan
Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang
yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka.
Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan
untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis
menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir
yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya
belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT,
DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
6. Investigasi kontak dan sumber infeksi
Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan
tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah
dilakukan dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan
terhadap kontak yang sangat dekat (Depkes RI, 2007).
23
7. Pengobatan spesifik
Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka
antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa
harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah
antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta
sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani
permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at
dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu
hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di
stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum
diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas
terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal
20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat
pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat
menggantikan pemberian antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000
– 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per
hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg
BB per hari maksimum 2 g per harisecara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan
dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari
atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah
ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang.
Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin
juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik
erythromycin (Depkes RI, 2007).
c. Pencegahan Tersier
1. Terapi profilaktik bagi carrier
Terapi ini dilakukan dengan tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000
unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau
dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per
hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
2. Mengurangi minum es.
3. Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan.
24
4. Makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar,
pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat
dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan
bagi yang lain (Kartono, 2008).
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan (Arias, 2008).
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT, DT, DTaP) mengandung 6,7-
12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak
lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi
(yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri
yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi
reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun, beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri
(D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian
intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis
booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada
umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
25
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima
dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang
mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau
dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun (Arias, 2000).
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5
Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih
dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri
yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi
reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi (Shabrina, 2013).
Mereka yang mulai dengan DPT atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami
lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang
mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis
ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
Umur : 2 – 11 bln
Dosis : 0,05 cc
Cara : IM / SC, jumlah suntikan : 3 x
26
Selang pemberian : Minimal 4 minggu
Efek samping :
1. Panas
Kebanyakan anak akan menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT,
tapi panas ini akan sembuh 1 – 2 hari. Anjurkan agar jangan dibungkus dengan baju tebal dan
dimandikan dengan cara melap dengan air yang dicelupkan ke air hangat.
2. Rasa sakit di daerah suntikan
Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak.
3. Peradangan
Bila pembengkakan terjadi seminggu atau lebih, maka hal ini mungkin disebabkan
peradangan, mungkin disebabkan oleh jarum suntik yang tidak steril karena :
Jumlah tersentuh
Sebelum dipakai menyuntik jarum diletakkan diatas tempat yang tidak steril.
Sterilisasi kurang lama.
Pencemaran oleh kuman.
4. Kejang-kejang
Reaksi yang jarang terjadi sebaliknya diketahui petugas reaksi disebabkan oleh
komponen dari vaksin DPT (Supriyanto, 2008).
2.10 Sosialisasi
A. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
Menurut (Wijaya, 2004) beberapa langkah penanganan penderita difteri adalah sebagai
berikut :
Laporan kepada petugas kesehatan setempat : Laporan wajib dilakukan di hampir
semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia.
Isolasi : Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk
difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung
(dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2
kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi
dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.
27
Desinfeksi serentak : Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk
penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan
pencucihamaan menyeluruh.
Karantina : Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan
dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-
anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya
sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan
bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
Manajemen Kontak : Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari
sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin
atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua
orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka.
Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk
sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka
bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu
diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari
lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan
mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari
usia mereka.
Investigasi kontak dan sumber infeksi : Pencarian carrier dengan menggunakan kultur
dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang
diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur
hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan
kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan
bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan (Wijaya, 2004).
B. Penanggulangan Wabah
Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang mempunyai
risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak prasekolah.
Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling
berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan kemudian untuk memperoleh sukurang-
kurangnya 2 dosis. Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan
28
mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya memadai,
lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan untuk menetapkan
diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan untuk mengetahui biotipe dan toksisitas dari C.
diphtheriae.
Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok rentan berkumpul,
khususnya bayi dan anak-anak. Kejadian wabah difteria seringkali terjadi oleh karena adanya
perpindahan penduduk yang rentan terhadap penyakit tersebut dalam jumlah banyak
(Widoyono, 2005).
C. Penyebab dan gejala
Gejala difteri yang disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh basil difteri,
Corynebacterium diphtheriae (dari bahasa Yunani untuk "membran karet"). Bahkan, produksi
toksin berkaitan dengan infeksi basil sendiri dengan virus bakteri tertentu disebut fag (dari
bakteriofag, sebuah virus yang menginfeksi bakteri). Keracunan yang merusak jaringan sehat
di daerah atas tenggorokan di sekitar amandel, atau luka terbuka di kulit. Cairan dari sel-sel
mati kemudian menggumpal untuk membentuk membran tanda hijau abu-abu atau keabu-
abuan. Di dalam membran, bakteri menghasilkan eksotoksin, yang merupakan sekresi beracun
yang menyebabkan gejala mengancam nyawa difteri. Eksotoksin ini dilakukan ke seluruh
tubuh dalam aliran darah, menghancurkan jaringan sehat di bagian lain dari tubuh (Joedgreat,
2007).
Komplikasi yang paling serius yang disebabkan oleh eksotoksin adalah radang dari otot
jantung (miokarditis) dan kerusakan sistem saraf. Risiko komplikasi serius meningkat sebagai
waktu antara timbulnya gejala dan administrasi meningkat antitoksin, dan sebagai ukuran
membran yang terbentuk meningkat. Miokarditis ini bisa menyebabkan gangguan pada irama
jantung dan bisa berujung pada gagal jantung. Gejala keterlibatan sistem saraf bisa berupa
melihat ganda (diplopia), pidato menyakitkan atau sulit menelan, dan cadel atau kehilangan
suara, yang semuanya indikasi efek eksotoksin terhadap fungsi saraf. Eksotoksin juga dapat
menyebabkan parah pembengkakan di leher (bull neck) (Notoatmodjo, 2003).
Tanda-tanda dan gejala difteri bervariasi sesuai dengan lokasi infeksi:
a. Sengau
Difteri hidung menghasilkan sedikit gejala selain debit berair atau berdarah. Pada
pemeriksaan, mungkin ada membran terlihat kecil di bagian hidung. Infeksi hidung jarang
29
menyebabkan komplikasi dengan sendirinya, tetapi merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena penyakit menyebar lebih cepat dibandingkan bentuk-bentuk difteri.
b. Faring
Difteri faring mendapatkan namanya dari faring, yang merupakan bagian dari
tenggorokan bagian atas yang menghubungkan mulut dan saluran hidung dengan kotak suara.
Ini adalah bentuk paling umum dari difteri, menyebabkan karakteristik membran
tenggorokan. Membran sering berdarah jika tergores atau dipotong. Hal ini penting untuk
tidak mencoba untuk menghapus trauma membran karena dapat meningkatkan penyerapan
tubuh eksotoksin tersebut. Tanda-tanda lain dan gejala difteri faring ringan termasuk sakit
tenggorokan, demam 101-102 ° F (38,3-38,9 ° C), denyut nadi menjadi cepat, dan kelemahan
tubuh secara umum.
c. Berhubung dengan pangkal tenggorokan
Difteri laring, yang melibatkan kotak suara atau laring, adalah bentuk yang paling
mungkin untuk menghasilkan komplikasi serius. Demam biasanya lebih tinggi dalam bentuk
difteri (103-104°F atau 39,4-40°C) dan pasien sangat lemah. Pasien mungkin memiliki batuk
parah, mengalami kesulitan bernapas, atau kehilangan suara mereka sepenuhnya.
Pengembangan "leher banteng" menunjukkan tingkat tinggi eksotoksin dalam aliran darah.
Obstruksi jalan napas dapat menyebabkan kompromi pernapasan dan kematian.
d. Kulit
Bentuk difteri, yang kadang-kadang disebut difteri kulit, menyumbang sekitar 33%
kasus difteri. Hal ini ditemukan terutama di antara orang dengan kebersihan yang buruk.
Setiap istirahat di kulit dapat menjadi terinfeksi dengan difteri. Jaringan yang terinfeksi
mengembangkan daerah ulserasi dan membran difteri bisa terbentuk atas luka namun tidak
selalu hadir. Luka atau ulkus lambat untuk menyembuhkan dan mungkin mati rasa atau tidak
sensitif bila disentuh (Rampengan dan Laurentz, 2003).
D. Diagnosa
Karena difteri harus diperlakukan secepat mungkin, dokter biasanya membuat diagnosis
berdasarkan gejala terlihat tanpa menunggu hasil tes. Dalam membuat diagnosis, dokter mata
memeriksa pasien, telinga, hidung, dan tenggorokan dalam rangka untuk menyingkirkan
penyakit lain yang dapat menyebabkan demam dan sakit tenggorokan, seperti mononukleosis
menular, infeksi sinus, atau radang tenggorokan. Gejala yang paling penting yang
menunjukkan difteri adalah membran. Ketika seorang pasien infeksi kulit yang berkembang
30
selama wabah difteri, dokter akan mempertimbangkan kemungkinan difteri kulit dan
mengambil smear untuk mengkonfirmasikan diagnosis (Sudoyo, 2006).
E. Tes laboratorium
Diagnosis difteri dapat dikonfirmasikan oleh hasil budaya yang diperoleh dari daerah
yang terinfeksi. Bahan dari spons diletakkan di slide mikroskop dan pewarnaan dengan
menggunakan prosedur yang disebut Gram stain. Basil difteri disebut Gram-positif karena
memegang dye setelah slide dibilas dengan alkohol. Di bawah mikroskop, basil difteri terlihat
seperti sel-sel batang berbentuk manik-manik, yang dikelompokkan dalam pola-pola yang
menyerupai karakter China. Lain uji laboratorium melibatkan tumbuh basil difteri pada bahan
khusus yang disebut medium Loeffler's (Sumarno, 2008).
F. Pengobatan
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah,
iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeotomi (Widoyono, 2005).
Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet
lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis
yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan
menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga (Supriyanto,
2008).
Difteri adalah penyakit serius yang membutuhkan perawatan rumah sakit di unit
perawatan intensif jika pasien telah mengembangkan gejala-gejala pernafasan. Perawatan
termasuk kombinasi obat-obatan dan perawatan suportif :
Antitoksin
Langkah yang paling penting adalah administrasi segera antitoksin difteri, tanpa
menunggu hasil laboratorium. antitoksin ini dibuat dari serum kuda dan bekerja dengan
menetralkan setiap eksotoksin beredar. Dokter harus terlebih dahulu menguji pasien untuk
kepekaan terhadap serum hewan. Pasien yang sensitif (sekitar 10%) harus peka dengan
antitoksin diencerkan, karena antitoksin adalah satu-satunya substansi spesifik yang akan
melawan eksotoksin difteri. Dosis berkisar antara 20,000-100,000 unit, tergantung pada
31
tingkat keparahan dan lamanya waktu gejala terjadi sebelum perawatan. Difteri antitoksin
biasanya diberikan infuse (Shabrina, 2013).
Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk melenyapkan bakteri, untuk mencegah penyebaran penyakit,
dan untuk melindungi pasien dari berkembang pneumonia. Mereka bukan pengganti
pengobatan dengan antitoksin. Baik orang dewasa dan anak-anak dapat diberikan penisilin,
ampisilin, atau eritromisin. Eritromisin tampaknya lebih efektif daripada penisilin dalam
memperlakukan orang-orang yang pembawa karena penetrasi yang lebih baik ke daerah yang
terinfeksi. Cutaneous difteri biasanya dirawat dengan membersihkan luka secara menyeluruh
dengan sabun dan air, dan memberikan antibiotik pasien selama 10 hari (Shabrina, 2013).
G. Perawatan Pendukung
Pasien Difteri perlu istirahat dengan perawatan intensif, termasuk cairan tambahan,
oksigenasi, dan pemantauan untuk masalah jantung mungkin, sumbatan saluran napas, atau
keterlibatan sistem saraf. Pasien dengan difteri laring ini disimpan dalam sebuah tenda croup
atau lingkungan kelembaban tinggi, mereka juga mungkin perlu pengisapan tenggorokan atau
operasi darurat jika saluran napas mereka diblokir.
Pasien pulih dari difteri harus beristirahat di rumah selama minimal dua sampai tiga
minggu, terutama jika mereka mengalami komplikasi jantung. Selain itu, pasien harus
diimunisasi terhadap difteri setelah pemulihan, karena mempunyai penyakit yang tidak selalu
merangsang pembentukan antitoksin dan melindungi mereka dari reinfeksi (Guilfoile, 2009).
H. Pencegahan komplikasi
Pasien difteri yang mengalami miokarditis dapat diobati dengan oksigen dan dengan
obat-obat untuk mencegah irama jantung yang tidak teratur. Sebuah alat pacu jantung buatan
mungkin diperlukan. Pasien dengan kesulitan menelan bisa diberi makan melalui tabung
dimasukkan ke dalam perut melalui hidung. Pasien yang tidak bisa bernapas biasanya
memakai respirator mekanik (Kadun, 2006).
I. Prognosis
Prognosis tergantung pada ukuran dan lokasi membran dan perawatan dini dengan
antitoksin, semakin lama menunda, semakin tinggi tingkat kematian. Para pasien yang paling
32
rentan adalah anak-anak di bawah usia 15 dan mereka yang mengembangkan pneumonia atau
miokarditis. Hidung dan difteri kulit jarang fatal (Depkes RI, 2003).
J. Pencegahan Penyakit Difteri
1. Pencegahan Primer
1.1 Melakukan kegiatan penyuluhan
Kegiatan penyuluhan sangatlah penting dimana kegiatan ini memberi penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak (Dick, 2002).
1.2 Melakukan imunisasi aktif secara luas (massal)
Tindakan imunisasi aktif merupakan pemberantasan yang efektif yang dilakukan dengan
Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP).
Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell
pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia. Bagi
anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka
(immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin
diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang
ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
1.3 Mengatur jadwal imunisasi
1.4 Melakukan upaya khusus
Upaya khusus ini perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti
kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap
sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka (Dick, 2002).
2. Pencegahan Sekunder
1.1 Laporan kepada petugas kesehatan setempat
Laporan wajib dilakukan di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-
negara lain di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
1.2 Isolasi
Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit
dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel
33
dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini
harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian
pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat
diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.
1.3 Desinfeksi serentak
Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap
barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencuci hamaan menyeluruh.
1.4 Karantina
Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan
pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak
yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai
mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan
bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier (Depkes RI, 2003).
1.5 Manajemen Kontak
Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan
tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian
dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari
direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan
penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan
atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut
hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang
sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila
dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi
kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan
vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
1.6 Investigasi kontak dan sumber infeksi
Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan
tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan
dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap
kontak yang sangat dekat.
1.7 Pengobatan spesifik
Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis
maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil
34
tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah
antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta
sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani
permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at
dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari
libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun
karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan
lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum
kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit
tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV
dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian
antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk
anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis.
Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per
harisecara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin
dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-
250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten
terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru
seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap
erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin (Depkes RI, 2003).
3. Pencegahan Tersier
3.1 Terapi profilaktik bagi carrier
Terapi ini dilakukan dengan tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar
600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas.
Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per
hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
3.2 Mengurangi minum es.
3.3 Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan.
3.4 Makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar,
pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat
dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan
bagi yang lain (Depkes RI, 2005).
35
Pencegahan difteri memiliki empat aspek:
Imunisasi
Universal imunisasi adalah cara paling efektif mencegah difteri. Kursus standar imunisasi
bagi anak-anak yang sehat adalah tiga dosis DPT (difteri-tetanus-pertussis) persiapan
diberikan antara dua bulan dan enam bulan usia, dengan dosis penguat diberikan pada 18
bulan dan pada masuk ke sekolah. Orang dewasa harus diimunisasi pada interval 10 tahun
dengan TD (tetanus-difteri) toksoid. toksoid adalah toksin bakteri yang diperlakukan
untuk membuatnya tidak berbahaya tapi masih dapat menimbulkan kekebalan terhadap
penyakit.
Isolasi pasien, Pasien difteri harus diisolasi selama satu sampai tujuh hari atau sampai dua
budaya berturut-turut menunjukkan bahwa mereka tidak lagi menular. Anak-anak
ditempatkan dalam isolasi biasanya ditugaskan seorang perawat utama untuk dukungan
emosional.
Identifikasi dan pengobatan kontak
Karena difteri adalah sangat menular dan memiliki masa inkubasi yang singkat, anggota
keluarga dan kontak lainnya pasien difteri harus mengamati gejala dan diuji untuk melihat
apakah mereka adalah pembawa. Mereka biasanya diberikan antibiotik selama tujuh hari
dan suntikan booster imunisasi difteri / tetanus toksoid.
Pelaporan kasus kepada pihak berwenang kesehatan masyarakat
Pelaporan diperlukan untuk melacak potensi epidemi, untuk membantu dokter
mengidentifikasi strain spesifik difteri, dan untuk melihat apakah resistensi terhadap
penisilin atau eritromisin telah dikembangkan (Garna, 2000).
Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah
melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan
pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB
Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum
cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki
usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi
ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu
dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization)
(Depkes, 2003).
1. BLF (Back Log Fighting)
36
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut
turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam
imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas
dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya
tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode
tertentu.
2. ORI (Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah
yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak
usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah
KLB terjadi (Mansjoer, 2000).
DIAGNOSIS
Klinik
a. Gejala utama :
Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat-sifat:
- Membran tebal putih kelabu
- Pinggir hiperemis dan udem
- Sukar diangkat
- Sukar diangakat
b. Gejala tambahan tergantung lokalisasinya:
a. Difteri hidung
Sekret serosaguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda iritasi pada lubang hidung dan
bibir atas.
b. Difteri tonsil dan faring :
- Demam subfebril
- Anoreksia ,sakit menelan
- Pembesaran kelenjar limfe servical / submandibula
- Bull neck (adenitas servical, peri adenitas dan udem jaringan sekitarnya.secara
klinik dapat dikenal bilamana pembengkakan tersebut sedemikian, sehingga batas-
batas m.sternocleoidomastoideus, angulus mandibula dan medial klavikula tidak
jelas lagi (Kartono, 2008).
37
Gambar. Penderita Bull-neck
c. Difteri laring
- Batuk menggonggong
- Suara serak, stridor
- Tanda-tanda obstruksi pernapasan : sesak, retraksi dinding toraks, sianosis.
Difteri laring mudah didiagnosis secara klinik bila ada difteri tonsil dan faring.
Bila tidak ada tanda –tanda difteri tonsil dan maka didiagnosis difteri laring harus
dibantu dengan pemeriksaan laringoskopi.
Bakteriologik
Preparat apusan langsung dan biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan apusan mukosa
hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). Dalam penanganan penyakit difteri, gambaran
klinik merupakan pegangan uatama dalam menegakkan diagnosis, karena disetiap
keterlambatan pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita (Kartono, 2008).
Convalescence (Pasca Patogenesis/Penyembuhan)
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari,
namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan perjalanan penyakit yang lama, gizi
kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat. Walaupun sangat berbahaya dan sulit
diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien
difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi. Pengobatan khusus penyakit difteri
bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika (Arias, 2000).
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang yang biasa dilakukan untuk membantu dalam menegakkan
diagnosis difteri yaitu:
- Pemeriksaan bakteriologis 38
Merupakan pemeriksaan yang membuat preparat apusan dan biakan kuman difteri dari
bahan apusan mukosa hidung dan tenggorokan (nasofaringeal swab).
- Darah rutin (Hb, leukosit , hitung jenis)
- urin lengkap ( aspek protein dan sedimen)
- enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit
- ureum dan kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal.
- EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan kemudian secara serial 1x/ minggu kecuali bila ada
indikasi bisa dilakukan 2 - 3x/minggu
- Uji Shick (Sudoyo, 2006).
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan
infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa
minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila
tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan
imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari
ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada
tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita
difteri) (Sumarmo, 2008).
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh
karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi
39
insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia
tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C. diphtheriae yang merupakan kuman gram
positif, ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan
bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis
berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan
faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri
telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C.
diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).
Pencegahan penyakit difteri terdiri dari pencegahan primer, pencegahan sekunder dan
pencegahan tersier. Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian
imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT
0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Arias, Kathleen. 2000. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Kesehatan. EGC. Jakarta.
Depkes RI, 2003. Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
40
Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit). Jakarta.
Depkes RI, 2005. Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,Jakarta,
Depkes RI, 2007. Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas. Jakarta
Dick, George. Alih Bahasa: Andrianto, Petrus. 2002. Imunisasi Dalam Praktek. Hipokrates : Jakarta.
Garna. Herry. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176.
Guilfoile, 2009. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea House Publishers.
Joedgreat. 2007. Parts of The Respiratory System and Their Function. WB Saunders Company. Philadelphia.
Kartono, 2008. Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika, Jakarta
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI. Jakarta.
Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.
Rampengan, DR dan Laurentz, Spa. 2002. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Difteri, 1-18
Shabrina, Indah. 2013. Difteri. Case Report Session. FK Universitas Andalas. Padang.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta.
Sumarno, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI : Jakarta.
Supriyanto. 2008. Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap Toksoid Difteri.http:/www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008.
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya. Erlanggga : Jakarta.
Wijaya, Kusuma, 2004, Difteri, Cara Mencegah dan Mengatasinya, http:/Cyberhelath.com.
41
Menurut Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada
vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul
lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan
tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea
dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
KOmplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya:
D. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
E. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan
gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
F. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
G. Kerusakan ginjal (nefritis).
42
Top Related