PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA
(studi di Bantargebang, Kota Bekasi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DURAY ACHMAD
NIM : 109044100021
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2016 M
PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA
, (Studi di Bantargebang, Kota Bekasi)
SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DURAYACHMADNIM: 109044100021
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKTJLTAS SYARIAH DAN HUKTJM
T]MVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1437 H / 2016l/I
Pembimbirig:IM. Yasir. SII. MH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN
AGAMA (studi di Bantargebang, Kota Bekasi) ", telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 4 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum
Keluarga.
Jakarta, T januan2?l5
Mengesahkan
Dekan,
NIP: 19691216 1
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji il
Dr. Abdul Halim, M.Ag.NrP. 19670608 199403 l 00
Arip Purkon, M.ANIP. 19790427 200312 1002
M. Yasir, S.H, M.HNIP.
Dr. Isnawati Rais, M.A.NIP. 19571027 198503 2001
Drs. H.M. Riza Afwi, M.A.NIP. 19610520 199903 1002
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 7Januari 2016
DURAY ACHMAD
iv
ABSTRAK
Duray Achmad. 109044100021. Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan
Agama (Studi di Bantargebang, Kota Bekasi). Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015M, x + 69 Halaman + 12 Halaman
Lampiran.
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan
norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan yang sah menurut Hukum
Perkawinan Indonesia selain sah menurut agama dan kepercayaannya, serta dicatat
berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu dimana lembaga tersebut yang
berwenang adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim dan Kantor Catatan
Sipil (KCS) untuk yang non muslim. Sejak disahkannya Undang – Undang
Perkawinan (1974) hingga saat ini, masih banyak terdapat hambatan dalam
penerapannya yaitu salah satunya pencatatan perkawinan. Banyak terdapat
perkawinan yang tidak dicatat karena paradigma pada masyarakat tertentu yang
beranggapan bahwa perkawinan sah apabila sudah sesuai dengan hukum kepercayaan
mereka masing – masing.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah; Untuk mengetahui
permasalahan dalam penegakan hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Dalam
penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penulisan Deskriptif kualitatif
yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan sumber data lapangan atau bahan
pustaka sebagai bahan pelengkap. Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian
deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan
mengkajinya secara sistematis.
Selain itu analisis juga dilakukan berdasarkan kerangka teori Lawrence M.
Friedmen dengan metode SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau
analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan terutama terhadap
penegakan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya penegakan hukum tentang
perkawinan tidak dicatat.
Perkawinan yang tidak dicatatkan banyak menimbulkan dampak buruk bagi
kelangsungan rumah tangga dan masa depan keluarganya. Akibat hukum bagi
perkawinan tidak dicatat, secara yuridis suami/isteri dan anak yang dilahirkannya
tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah
tangganya. Dampak buruk dari perkawinan tersebut merupakan akibat dari
pemahaman yang tidak komprehensif terhadap Hukum Perkawinan dan lemahnya
penegakan hukum untuk melindungi para korban. Seyogyanya pemerintah segera
mengamandemen semua produk Hukum Perkawinan disesuaikan dengan kondisi riil
masyarakat yang melindungi semua golongan dan kepentingan.
Kata kunci : Problem Pencatatan, Pencatatan Perkawinan.
Pembimbing : M. Yasir S,H, M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d Tahun 2013
v
لرحیما لرحمنا هللا مسب
KATA PENGANTAR
Assalamu’laikum.wr.wb
Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke
hadirat-Nya.Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan
kekuasaan Allah SWT.Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang
Maha Pengasih tanpa pilih kasih, Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya.
Karena anugerah dan karunia yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan
untuk berfikir dan menikmati segala kenikmatan terutama nikmat Islam dan
Iman serta nikmat duniawi yang tak terhingga jumlahnya. Shalawat dan salam
semoga tercurah ke hadirat Qudwah Hasanah Nabi Muhammad SAW, yang
selalu kita nantikan syafa'atnya di hari pembalasan nanti,Amin.
Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk
menunjukan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan
kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini. Dialah motivator sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus
berusaha menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk
selalu berbuat yang terbaik didunia ini semata-mata untuk mencapai ridha-
Nya.
Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa
optimal namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun
dalam pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangat
vi
kami harapkan. Sebagai suatu karya ilmiah, semoga skipsi ini bisa bermanfaat
bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya dan bagi pihak-pihak
yang terkait dengan masalah ini.
Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini
bukanlah semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari
hamba Allah yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk
kemaslahatan publik, baik secara langsung maupun tidak. Mereka yang
dengan tulus hati meluangkan waktu mesti hanya sekedar menuangkan
aspirasi bagi penulis, tentu tanggung jawab ini akan terasa kian berat, tanpa
kehadiran mereka.
Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini
penulismenyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada :
1. Dr Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal
Syakhsiyyah) Fakultas Syari’ah dan Hukum.
3. Arip Purqon, M.Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal
Syakhsiyyah)Fakultas Syari’ah dan Hukum.
4. M. Yasir S.H, M.H. dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan
besar hati, sabar serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
vii
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yangtelah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan
studi kepustakaan.
6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang
telahmendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah
membantupemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepala KUA Bantargebang Drs. Muhammad Yusupdan juga Dr. Ah.
AzharuddinLathif, M.Ag, M.H, serta Dr. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. yang
telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, karenadari merekalah
banyak Ilmu mengenai Sosiologi Hukum dan PencatatanPernikahan yang
benar-benar sangat membantu penulis dalam menyelesaikanskripsi ini.
8. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang disetiap nafasnya mengalir
doauntuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan
dunia dandi akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara
moril danmateril semata-mata untuk keberhasilan penulis.
9. Kakakku Anifah Nurlela, Sofyan Haris, A.md., Hudaini Ikhsan, A.md.,
Hafidz Mubarok, S.Pdi dan seluruhkeluarga besar, terima kasih atas do'a
dan motivasinya baik moril dan materiil untuk keberhasilan studi Penulis.
10. Teman-teman seperjuangan, khususnya Izhar Helmi S.Sy, Yusuf Fadli
S.Sy, Ahdi Maulana S.Sy, Agus S.ESy dan teman-teman di Fakultas
Syariah dan Hukum angkatan 2009 teman seperjuanganku yang selalu ada
baik dalam suka maupun duka ,teman-teman KKN Gema Atraktif Desa
viii
Sukatani, Sukabumi. dimanapun kalian berada, Aku akan merindukan
kalian selalu.
11. Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak
yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa
menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya
balasan atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan
dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 28 Mei 2015
penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN ................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Massalah, Rumusan Masalah ...... 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ......................................... 10
D. Kerangka Teori .................................................................................. 10
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .......................................... 13
F. Review Studi Terdahulu .................................................................... 15
G. SistematikaPenulisan ......................................................................... 16
BAB II PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA ............................................................. 18
A. Pengertian Perkawinan ...................................................................... 18
B. Tinjauan Hukum Sahnya Perkawinan ............................................... 27
C. Pencatatan Perkawinan ...................................................................... 31
BAB III PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BANTARGEBANG 39
A. Letak Geografis ................................................................................. 39
B. Profil Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang ............................. 41
C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang ....... 45
BAB IV PROBLEM PENCATATAN PERKAWINAN ................................... 48
A. Realitas Pencatatan Perkawinan ........................................................ 48
B. Tata Cara dan Prosedur Perkawinan .................................................. 51
C. Upaya Penanggulangan Penertiban Pencatatan Perkawinan ............. 56
D. Analisis Dengan Teori Lawrence M. Friedman ................................ 59
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 64
A. Kesimpulan ........................................................................................ 64
B. Saran-saran ........................................................................................ 65
x
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 67
LAMPIRAN – LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Data dan Wawancara
2. Surat Keterangan Penelitian
3. Data Kependudukan Berdasarkan Agama Kec. Bantargebang
4. Data Kependudukan Berdasarkan Pendidikan Kec. Bantargebang
5. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang
6. Data Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama Kec.
Bantargebang
7. Data Wawancara Staff dan Penghulu Kantor Urusan Agama Kec.
Bantargebang
8. Data Wawancara Warga Kec. Bantargebang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sebuah ikatan perjanjian antara pihak pria
dengan pihak wanita sehingga harus ada suatu aturan yang mengatur dengan
erat terkait peristiwa perkawinan tersebut. Perkawinan dalam bahasa Arab
disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wathi’, dan al-dammu wal jam’u,
atau ibarat ‘an al-wath’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan
akad.1
Berdasarkan perspektif hukum normatif, Perkawinan merupakan suatu
peristiwa hukum, dengan adanya perkawinan maka harus terdapat suatu
aparatur negara dan undang – undang yang menjamin dengan jelas terhadap
suatu pelanggaran yang terjadi suatu saat kelak akibat peristiwa hukum
tersebut. Perkawinan dapat dikaitkan dengan kata perikatan. Soebekti
berpendapat bahwa perikatan merupakan kata abstrak dari sesuatu yang tidak
dapat dilihat tetapi dapat dibayangkan dalam Pikiran.2
Sayid Sabiq mengungkapkan bahwa ikatan antara suami istri adalah
ikatan yang paling suci dan paling kokoh, dan tidak ada suatu dalil yang jelas
menunjukan sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari Allah itu
1 Wahbah al-Zuhaily, al Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, (Damaskus : Dar al-
Fikr, 1989), h. 29.
2 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), Hal. 2. Lihat Prof. R. Soebekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional,
(Bandung : Alumni, 1984), h. 10.
2
sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri mitsaqan
ghalidzan (perjanjian kokoh).3
Merujuk pada uraian diatas bahwa perkawinan tidak dapat dikatakan
dalam berbentuk wujud, oleh karena itu peristiwa perkawinan perlu diawasi
dan dipublikasikan. Perikatan merupakan suatu bentuk yang disebabkan oleh
kedua belah pihak dalam perjanjiannya yang mengikuti dari ketentuan undang
– undang.4
Keabsahan perkawinan itu ditandai dengan adanya suatu peristiwa
perkawinan yang syarat dan rukunnya telah terpenuhi berdasarkan hukum
Islam. Namun dengan seiring perkembangan zaman, dengan adanya undang –
undang yang mengatur tentang perkawinan maka bukannya hanya sah secara
syarat dan ketentuan hukum Islam saja tetapi juga sah secara hukum positif
yaitu mengikuti ketentuan secara administratif yang telah diatur undang –
undang mengenai perkawinan tersebut.
Dapat dilihat dengan adanya ketentuan tersebut yang diberikan oleh
negara kepada masyarakatnya bahwa perkawinan ini dianggap sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya jaminan tersebut diharapkan
kehidupan yang teratur dan tentram serta meminimalisir tindak pelanggaran
terkait suatu perikatan yang disebut perkawinan. Merujuk pada pengertian
tersebut diatas, maka dalam hal penertiban administrasi negara, pencatatan
3 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Libanon, Beirut, 1991) Juz ke-2, h. 206.
4 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), h. 2.
3
perkawinan menjadi suatu yang sangat penting untuk menuju modernisasi dari
hukum perkawinan.
Berdasarkan sumber pokok hukum Islam, tidak aturan yang mengatur
secara kongkrit mengenai adanya pencatatan perkawinan, tetapi seirring
perkembangan zaman masyarakat memandang pentingnya akan hal itu
sehingga diatur perundang – undangan tentang perkawinan. Pencatatan
perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh
Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik yang dilaksanakan oleh masyarakat yang
tidak berdasarkan hukum Islam.5 Pencatatan tersebut dilakukan dalam upaya
menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam penertiban pencatatan
perkawinan, masih terdapat berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi
dalam penerapannya sesuai perundang - undangan. Terkait dengan hal
berkeluarga, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap berbagai
masalah yang ada melalui perundang – undangan. Diantara perundang –
undangan tersebut yang berkaitan langsung dengan keluarga adalah UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
telah berlaku kurang lebih 40 tahun pelaksanaannya masih banyak kendala,
diantaranya tentang pencatatan perkawinan bagi tiap – tiap warga negara yang
hendak melaksanakan perkawinan.
5 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2007),
h. 26.
4
Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa pencatatan
perkawinan belum dipandang sesuatu yang penting yang membutuhkan alat
bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.6 Atas dasar pengetahuan yang
melekat pada masyarakat bahwa dalam agama tidak terdapat perintah untuk
mencatatkan perkawinan kepada lembaga negara untuk syarat keabsahannya
itu sendiri.
Berdasarkan aturan perkawinan pada pasal 1 Undang - Undang No. 1
tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang
sakral, bukan lagi permasalahan hubungan antar manusia yang diikatkan
dalam sebuah perjanjian. Apabila diperhatikan dari pasal tersebut maka
perkawinan dapat diuraikan bahwa bukan saja ikatan jasmani melainkan batin
dan silaturahmi antar kedua pihak, yang bertujuan agar ikatan perkawinan
tersebut dapat bahagia dan menyambung kedua keluarga.7
Melihat pada teori hukum perkawinan bahwa perkawinan merupakan
suatu peristiwa hukum yang dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, serta
akan mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum.8 Merujuk
pada aturan yang telah diberikan pemerintah maka perkawinan di Indonesia
haruslah dicatatkan sebagaimana diatur dalam Undang - undang No. 1 tahun
1974. Sejak berlakunya undang – undang tersebut maka pemerintah
6Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta :
Kencana Prenada Media, 2004), h. 121.
7 Mohd. Idris Ramulyo, Asas – Asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.
38.
8 Soedjono Dirojosworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1994),cet. Ke-4, h. 126.
5
mengharapkan akan tidak adanya lagi perkawinan yang hanya sah secara
agama. Hal ini mempertegas bahwa selain hukum agama maka hukum negara
juga harus dijadikan syarat keabsahan dalam ikatan perkawinan tersebut.
Merujuk pada aturan pemerintah tentang perkawinan maka
perakawinan yang tidak dicatatkan akan dianggap tidak sah, perkawinan yang
sah haruslah dicatatkan di Kantor Urusan Agama untuk yang beragama islam.
Pencatatan tersebut dilakukan oleh PegawaiPencatat Nikah yang diberikan
mandat oleh negara untuk mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat
sahnya, yang diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 dan Peraturan Menteri
Agama No. 3 dan 4 tahun 1975. Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga
dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak
dan rujuk.
Syarat administratif perkawinan diberikan kepada Pegawai Pencatat
Nikah oleh kedua calon mempelai, dimana pendaftaran nikah telah diajukan
sebelumnya oleh kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam undang – undang
perkawinan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama.
Diketahui bahwa pelaksanaan perkawinan itu didahului kegiatan –
kegiatan, baik yang dilakukan calon mempelai maupun pegawai pencatat
nikah. Calon mempelai atau orang tuanya memberitahukan hendak
melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat nikah. Selanjutnya
6
pegawai meneliti syarat – syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak adanya
halangan menurut undang – undang.9
Setelah syarat telah terpenuhi dan tidak adanya halangan menurut
undang – undang maka perkawinan dapat dilangsungkan setelah administrasi
di KUA diselesaikan. Pelaksanaan perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari
kerja sejak pendaftaran dan syarat terpenuhi.
Namun sebagaimana undang – undang mengatur tentang syarat
tersebut, Undang - Undang perkawinan tidak mengatur perihal tentang
rukunnya dalam perkawinan. Amir Syarifuddin berpendapat bahwa mungkin
Undang – Undang perkawinan menempatkan akad perkawinan itu
sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata.10
Pada perkembangan zaman saat ini, masyarakat tidak memperhatikan
tentang hal tersebut. Mengatur atau tidaknya undang – undang terkait rukun,
masyarakat lebih cenderung berpikir akan keabsahan perkawinan. Syarat yang
diberikan negara untuk perkawinan sebagai syarat administratif saja sudah
membuat sibuk masyarakat dalam pemenuhan syarat pencatatan perkawinan
agar dianggap sah secara hukum agama maupun hukum negara.
Administrasi dalam hal ini pencatatan perkawinan diberlakukan
hampir di setiap negara muslim di dunia, meskipun berbeda satu sama lain
9 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun
1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 131.
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Ed.1 cet. 2, Jakarta : Kencana, 2007), h. 63.
7
penekanannya.11
Hal ini menunjukan bahwa semua negara muslim di dunia
sepakat bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang harus
dicatatkan dan dijamin oleh sebuah undang – undang. Dengan adanya undang
– undang perkawinan yang menjamin masyarakat untuk melangsungkan
perkawinan, maka ketertiban masyarakat dalam hal ini perkawinan akan saling
menguntungkan antara negara dan masyarakat.
Khoiruddin Nasution berpendapat bahwa Aturan pencatatan
perkawinan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ; pertama, kelompok negara
yang mengharuskan pencatatan disertai sanksi pelanggaran. Kedua, kelompok
negara yang menjadikan pencatatan sebagai syarat administrasi saja namun
tidak memberlakukan sanksi ataupun denda. Ketiga, kelompok negara yang
mengharuskan pencatatan namun mengakui perkawinan yang tidak
dicatatkan.12
Saat ini di Indonesia sejak berlakunya undang – undang perkawinan,
setiap perkawinan harus dicatatkan. Kewajiban pencatatan itu diberikan oleh
negara agar tidak terjadinya pelanggaran – pelanggaran terhadap wanita dan
anak yang dihasilkan dari perkawinan, hal ini selaras dengan prinsip hukum
perdata “win win solutions” yang mengedepankan kepuasan diantara pihak.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud mengkaji dan meneliti
lebih dalam mengenai permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan serta
11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Cet. 1, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013), h. 182.
12
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Cet. 1, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013), h. 182. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, (Jakarta
: INIS, 2002), h. 158.
8
sikap pihak terkait dalam usaha pelaksanaan perundang – undangan tentang
perkawinan, bertujuan unntuk mengetahui perihal fenomena perkawinan yang
tidak dicatatkan. Berdasarkan uraian dari hasil kajian dan penelitian diatas,
maka penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “ PENCATATAN
PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (studi di
Bantargebang, Kota Bekasi)“. Wilayah Bantargebang dipilih karena
merupakan wilayah industri dan pengolahan sampah serta banyaknya
penduduk urbanisasi yang bertujuan untuk pemenuhan perkonomian tidak
melengkapi syarat–syarat kependudukannya, sehingga pada daerah
Bantargebang terjadi permasalahan yang timbul akibat kurang tertibnya
administrasi negara yang didapat oleh instansi untuk menerapkan aturan
tentang pencatatan perkawinan. Dengan harapan skripsi ini dapat bermanfaat
dan memberikan sedikit penjelasan tentang fenomena yang terjadi.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam pembahasan tentang latar belakang masalah dapat dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu kebutuhan dalam pelaksanaan
penertiban dalam hal administrasi negara. Terkait dengan hal tersebut,
pada daerah Bantargebang terjadi permasalahan yang timbul akibat kurang
tertibnya administrasi negara. Penyebab akan hal tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Banyaknya jumlah penduduk urban yang mendiami daerah tersebut.
9
b. Kurangnya perhatian dari pihak pemerintah setempat terkait dengan
hal pendataan penduduk.
c. Permasalahan ketertiban pendataan penduduk dapat mempengaruhi
efektifitas dalam hal optimalisasi pelaksanaan ketertiban pencatatan
perkawinan.
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan
meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi
ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi
pembahasan hanya dalam ruang lingkup pencatatan perkawinan. Dalam
administrasi pencatatan perkawinan, penulis melihat problem yang terjadi
dalam pencatatan perkawinan di wilayah Bantargebang dan menganalisis
dengan analisa SWOT.
3. Rumusan Masalah
Menurut Undang – Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
bahwa perkawinan yang sah harus dicatatkan di depan Pegawai Pencatat
Nikah dari Kantor Urusan Agama setempat. Kenyataan yang ada bahwa di
wilayah Bantargebang terdapat banyak praktek perkawinan yang tidak
dicatatkan.
Rumusan tersebut ditulis penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
1) Berapakah jumlah praktek perkawinan tidak dicatat
2) Apakah yang menjadi penyebab pratik perkawinan tidak dicatat
10
3) Bagaimana sikap pihak – pihak terkait dalam upaya penertiban
pencatatan perkawinan
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Dari permasalahan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui jumlah praktik perkawinan tidak dicatat serta penyebab
terjadinya praktek tersebut.
2. Untuk mengetahui rumusan yang tepat dalam upaya penertiban pencatatan
perkawinan.
Manfaat dan tujuan penelitian adalah hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan acuan dan memperjelas kepada masyarakat luas, khususnya
kepada orang dan lembaga yang terkait dalam hal pengaturan pencatatan
perkawinan di Indonesia.
D. Kerangka Teori
Untuk membahas data yang diperoleh dari lapangan atas pertanyaan
penelitian di atas akan digunakan analisis SWOT (strength, weakness,
opportunities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di
Indonesia, khususnya penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.
Persepektif yang digunakan sebagai alat analisis adalah teori tiga elemen
sistem hukum (three elemen law system) yang di gagas oleh Lawrence M.
Friedman. Berikut akan dibahas secara singkat teori tersebut serta dibahas juga
perspektif Perundang-undangan tentang perkawinan tidak dicatat.
11
Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system)
Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system) yang di
gagas oleh Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa ada tiga elemen sistem
hukum yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu Legal structure, legal
substance, dan legal culture.13
Ketiga komponen tersebut membentuk satu
kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut
dengan sistem.
Friedman berpendapat bahwa komponen struktur (Legal structure )
adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme,
berkaitan dengan lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, penyidikan,
dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan
menegakkan hukum.14
Komponen kedua adalah substansi (legal substance), yaitu aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut.
Atau dapat dikatakan sebagai suatu hasil nyata, produk yang dihasilkan, yang
diterbitkan oleh sistem hukum tersebut. Elemen substansi meliputi peraturan-
peraturan sesungguhnya, norma dan pola perilaku dari orang-orang di dalam
sistem tersebut. Pada intinya legal substance adalah mencakup aturan-aturan
13
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New
York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 6.
14
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction.........., h. 21.
12
hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.15
.
Komponen ketiga adalah budaya hukum (legal culture), yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Termasuk makna budaya hukum adalah opini-opini,
kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan bertindak baik penegak hukum maupun
masyarakat. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan
hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is
inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).16
Permasalahan budaya hukum tidak hanya dapat ditangani dalam satu
lembaga saja, tetapi perlu penanganan secara simultan dan antar departemen,
serta diupayakan secara bersama-sama dengan seluruh aparat penegak hukum,
masyarakat, asosiasi profesi, lembaga pendidikan hukum, dan warga
masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks Indonesia, peranan tokoh
masyarakat, para ulama, pendidik, tokoh agama, sangat penting dalam
memantapkan budaya hukum.
Efektif tidaknya penegakan hukum, termasuk penegakan hukum
perkawinan di Indonesia terkait erat dengan efektif tidaknya ketiga unsur
hukum tersebut. Apabila ketiga unsur tersebut berjalan tidak efektif, maka
supremasi hukum dan keadilan akan sulit terealisasikan, yang mengakibatkan
15
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New
York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 25.
16
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction………., h. 7.
13
kepercayaan warga terhadap law enforcement menjadi luntur dan masyarakat
masuk dalam suasana bad trust society, bahkan masuk dalam kualifikasi worst
trust society.17
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
a. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data
sekunder dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif18
, dan metode hukum
empiris dengan meneliti secara nyata terhadap Kantor Urusan Agama Kec.
Bantargebang dan tokoh - tokoh masyarakat wilayah Bantargebang.
Metode kualitatif dalam penelitian ini lebih menekankan kepada peneliti
untuk memperhatikan pada prosesi, peneliti sebagai instrumen pokok
pengumpulan dan analisis data sehingga peneliti terlibat langsung dalam
kerja lapangan.
b. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai
literatur kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul
berbentuk kata – kata bukan angka.
c. Data Penelitian
17
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Hukum di Indonesia,(Jakarta: Ghalia
Indonesia: 2002), h. 9.
18
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum & Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003),
h. 2.
14
Jenis data dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Data Primer : yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil
wawancara terhadap pihak – pihak yang terkait dan yang berkaitan
langsung dengan penelitian di wilayah Bantargebang.
2. Data Sekunder : yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang
meliputi buku perundang – undangan perkawinan, buku tentang
perkawinan dan data – data yang berkaitan.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode penelitian
lapangan (field research) yaitu pengumpulan data dengan cara langsung ke
lapangan melakukan observasi, wawancara dan dokumenter melalui teknik
pengumpulan data dan sebagai berikut :
1. Observasi : yaitu pengamatan secara langsung yang dilakukan peneliti
guna mendapatkan gambaran umum tentang permasalahan pencatatan
perkawinan di wilayah Bantar Gebang.
2. Wawancara : yaitu proses Tanya jawab dalam penelitian langsung
secara lisan dengan masyarakat setempat dan pihak – pihak terkait dan
mendapatkan informasi secara langsung dari Kantor Urusan Agama
Bantargebang.
15
3. Dokumenter : metode ini digunakan untuk mencari dan
mengungkapkan data yang diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara.19
e. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan, atau mudah
difahami dan diinformasikan kepada orang lain. Data yang telah terkumpul
kemudian dianalisa. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
deskriptif-kualitatif, yaitu data yang ada akan dianalisis kemudian
dipaparkan sedetail mungkinsecara deskriptif.
Analisis data, Secara garis besar akan ditempuh cara peng-
organisasian data melalui pengumpulan catatan lapangan, komentar
peneliti, dokumen, laporan, dan sebagainya untuk dideskripsikan sesuai
kontek masalah, diinterpretasi untuk memperoleh pengertian baru sebagai
bahan temuan. Di samping itu, diakhir pembahasan akan dilakukan
analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau
analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan
terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di Indonesia dalam
kontek penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.
F. Review Studi Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada
kaitannya dengan pencatatan perkawinan, antara lain adalah :
19
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum & Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003),
h. 2.
16
Isti Astuti Savitri, dalam subtansinya yaitu Efektifitas Pencatatan
Perkawinan pada KUA Kecamatan Bekasi Utara. Perbedaan yang terdapat
yaitu tidak hanya mengenai sejauh apa efektifitas yang terjadi dalam
pelaksanaan pencatatan tetapi juga meneliti penyebab yang menjadi kendala
penertiban pencatatan perkawinan.
Nur Fauzi, dalam substansinya yaitu Kesadaran Hukum Masyarakat
Kelurahan Cipedak kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan.
Perbedaan yang terdapat yaitu Penelitian tidak hanya dilakukan pada
Masyarakat dan sebatas pemahaman masyarakat tetapi juga pada pihak yang
berkaitan dengan pelaksanaan pencatatan perkawinan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini berisikan lima bab yang terdiri dari
beberapa subbab yang ada pada masing – masing babnya. Sistematika ini
merupakan uraian secara singkat pada masing – masing babnya, bertujuan
agar dapat dengan mudah memahami hubungan antar bab yang memiliki
keterkaitan.
Bab I berisikan Pendahuluan dengan uraian yang berisikan latar
belakang masalah pada kajian skripsi ini, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, merumuskan permasalahan serta menunjukan maksud dan tujuan
penelitian, dan mengungkapkan metodologi penelitian yang digunakan
sebagai kerangka yang sistematis dengan diakhiri sistematika penulisan.
Bab II berisikan Kajian Teori kajian teori merupakan bahan rujukan
untuk menganalisis materi pokok yang akan diteliti, oleh karena itu dalam
17
kajian teori ini akan dipaparkan mengenai teori yang terkait dengan pencatatan
perkawinan menurut perundang - undangan Indonesia, pengertian perkawinan,
pengertian pencatatan perkawinan dan pencatatan perkawinan sebagai syarat
sahnya.
Bab III berisikan Penelitian di Lapangan dalam bab ini terdiri jenis
dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, metode pengolahan data dan analisis data tentang variable
– variable yang mendukung penyelesaian masalah, subjek penelitian, metode
pengumpulan data, sumber data, pengolahan dan analisis data yang berfungsi
untuk memperoleh gambaran serta tujuan tentang permasalahan dari objek
penelitian ini.
Bab IV berisikan Hasil Penelitian dan Analisis Data dalam bab ini
akan diuraikan yang berisi paparan data serta analisis data yang telah
diperoleh dari lapangan. Pada bab ini akan disajikan data – data hasil
wawancara dan dokumentasi yang menjawab masalah – masalah yang telah
dirumuskan kemudian dilanjutkan dengan proses analisis data melalui proses
edit data, klasifikasi dan kesimpulan yang ada pada bab selanjutnya.
Bab V Penutup dalam bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat. Selain itu juga terdapat saran –
saran yang bersifat konstruktif.
18
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut
arti majazi atau arti hukum adalah akad atau perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.1 Pengertian perkawinan dalam hal ini bisa ditinjau dari dua sudut
pandang yaitu menurut Hukum Islam2 dan menurut Undang – Undang
Perkawinan yaitu Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam.
a. Menurut Hukum Islam
Definisi kata “nikah” dalam kamus besar bahasa indonesia
mengandung pengertian perjanjian antara laki – laki dan perempuan
untuk bersuami istri (dengan resmi),3 Sedangkan Perkawinan dalam
bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wath‟u, dan adh-
dammu dan al jam‟u. Al-wath‟u yang bermakna menggauli, bersetubuh
atau bersenggama. Adh-dammu yang bermakna mengumpulkan,
1 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974
dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 1.
2Beberapa pengertian tentang perkawinan dalam hukum islam yang dijelaskan oleh
ahli hukum Islam yang tersebar dalam beberap literatur.
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 614.
19
menyatukan dan memeluk. Al-jam‟u yang bermakna mengumpulkan,
menyatukan dan menyusun.4
Perkawinan secara definisi menurut para ulama fiqh, antara lain
sebagai berikut:
a) Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa perkawinan sebagai suatu
akad yang berguna untuk memiliki mut’ah (laki-laki memiliki
perempuan seutuhnya) dengan sengaja.
b) Ulama Syafi‟iyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang mmenjamin kepemilikan dengan menggunakan lafadz nikah atau
tazwij yang menyimpan arti memiliki keturunan.
c) Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan
(seksual) semata.
d) Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij untuk mendapatkan
kepuasan.5
Beragam pendapat yang dikemukakan mengenai arti perkawinan
menurut hukum Islam diantara ahli hukum Islam. Tetapi perbedaan
pendapat ini sebenarnya bukan perbedaan yang prinsip. Perbedaan itu
hanya terdapat pada keinginan perumus untuk memasukan unsur – unsur
4 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 43.
5Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 45
20
yang sebanyak – banyaknya dalam perumusan perkawinan antara pihak
satu dengan yang lain. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang
perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang
dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh
pendapat, yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian antara
seorang laki – laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
sakinah mawaddah warahmah dan disertai dengan adanya perjanjian yang
sangat kuat(mitsaqan ghalidzan).6 Sebagaimana Firman Allah SWT Q.S.
Ar-Ruum/30:21:
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “ (QS. Ar-
Ruum/30:21)
Secara etimologi, perkawinan berarti persetubuhan. Ada pula yang
mengartikannya perjanjian (al-„Aqdu). Secara terminologi perkawinan
menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk memperoleh
kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja untuk
mendapatkan sebuah pengakuan agar tidak ada penilaian negatif akan
perempuan yang melakukan perkawinan dengan adanya pencatatan.7
6 Al-Quran surat Ar-Ruum ayat 21
7 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta : Siraja,
2003), h. 1-4.
21
Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang
sesuai dengan ketetapan syariah, bukan hanya sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh kedua orang yang saling membuat akad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.8
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan merupakan
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.9 Pernikahan merupakan
pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang
dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum, agama, negara,
dan hukum adat.
b. Menurut Undang – Undang Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang sangat
luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan
itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban
untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan lain sebagainya.
Menurut pendapat para sarjana hukum, perkawinan adalah :
1. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamodjojo,
Mengemukakan “ perkawinan adalah hubungan antara seorang pria
dan wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara
8 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga……,h. 12.
9 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:akademika pressindo,
2004), h. 114.
22
dan mendapatkan bukti autentik agar perkawinan tersebut dianggap
sah oleh negara”.
2. R. Soebekti, mengemukakan “perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama”.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa “perkawinan adalah
suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi
syarat yang termasuk dalam peraturan – peraturan tersebut”.10
Untuk memahami secara mendalam tentang hakikat perkawinan
maka harus dipahami secara menyeluruh ketentuan tentang perkawinan.
Ketentuan tersebut berdasarkan pada pasal 1 Undang – Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan bahwa : “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.11
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menegaskan
bahwa “perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan)
untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah”.12
10
Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta : Isik, 2002), cet. Ke-4, h. 53-54.
11 Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan,
(Jakarta: Depag RI, 2001), h. 13.
12
Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), h. 14.
23
Nikah merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang. Suatu yang haram bagi seseorang, kemudian berubah menjadi
halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan sangat besar, luas
dan beragam. Pernikahan juga merupakan suatu saran awal untuk
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit – unit
keluarga baik dan berkualitas maka bisa dipastikan masyarakat yang
diwujudkan akan kokoh dan baik.
Apabila dilihat dari sifatnya yang menjangkau sangat luas,
pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah
bangsa. Dalam konteks ini pemerintah menjadi berkepentingan dalam
mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan
tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dalam Undang - Undang No. 1
tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah
tentang perkawinan kepada warga negaranya.
Demikian pula bahwa setiap perkawinan diharapkan dapat
membentuk keluarga yang kekal, artinya tidak mengalami perceraian.13
Untuk mencapai tujuan yang luhur dari setiap perkawinan tersebut maka di
dalam Undang – undang Perkawinan ditetapkan adanya prinsip – prinsip
atau asas – asas mengenai perkawinan yang sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan zaman.14
13
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 1.
14
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 2.
24
Asas – asas atau prinsip – prinsip yang terkandung di dalam
Undang – undang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing – masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama.
Dalam undang – undang ini dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut masing – masing agama dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap – tiap perkawinan sah
menurut perundang – undangan yang berlaku.
c. Monogami
Undang – undang ini menganut asas monogami. Namun apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkan seorang suami untuk beristri lebih
dari satu orang maka harus mengikuti peraturan – peraturan yang
berlaku mengenai hal itu dan syaratnya terpenuhi dan diputuskan oleh
pengadilan.
d. Pendewasaan usia perkawinan
Undang – undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri harus
telah mencapai jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
25
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
perundang – undangan mengatur lebih rinci tentang batasan umur
untuk calon mempelai pasangan perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria
dan 16 tahun untuk wanita.
e. Mempersukar perceraian
Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal serta sejahtera, maka perundang – undangan mengatur
pelaksanaannya yang harus dilakukan dihadapan sidang pengadilan.
f. Kedudukan suami istri seimbang
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama oleh suami istri.15
g. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudah dalam mengetahui setiap
manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan dan
untuk tujuan ketertiban administrasi suatu bangsa.16
Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami istri
dalam Undang – Undang Perkawinan tidak berbeda jauh dari hukum
Islam. Pasal 30 Undang – Undang Perkawinan menjelaskan bahwa suami
15
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h.1-4.
16
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), h. 8.
26
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat. Masing – masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu
rumah tangga (pasal 31 ayat 1-3 UU No.1/1974). Suami istri harus
mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami istri bersama
(pasal 32). Suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
memberikan bantuan lahir batin pada satu sama lain (pasal 33). Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah
tangga sebaik – baiknya.
Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan kehidupan
rumah tangga yang damai dan tentram.17
Selain itu ada pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan perkawinan dala Islam selain untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus unntuk membentuk
keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan
hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinahan agar tercipta
17
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1979), h. 1.
27
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman
keluarga dan masyarakat.18
Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia
diciptakan Allah SWT. Dari hal ini dapat dipahami bahwa sudah menjadi
fitrah manusia untuk berpasang – pasangan sehingga Allah menetapkan
jalan yang sah untuk itu, yaitu melalui pranata yang dinamakan
perkawinan.19
B. Tinjauan Hukum Sahnya Perkawinan
Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat –
syarat yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat
dari sudut pandang hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan di
Indonesia yaitu UUP dan KHI yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam untuk sahnya perkawinan adalah setelah
terpenuhi syarat dan rukunnya yang telah diatur dalam agama Islam.20
Yang dimaksud syarat ialah suatu yang harus ada dalam (sebelum)
perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau
salah satu syarat dari perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu
18
Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun
1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 26.
19
Luthfi Sukalam, Kawin Kontrak dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV.
Pamulang, 2005), h. 1
20 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), h.125.
28
tidak sah. Sedangkan yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan
adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu
rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan.
Beberapa syarat sah sebelum perkawinan dilangsungkan adalah
sebagai berikut:
a). Perkawinan yang dilakukan tidak bertentangan dengan larangan yang
terkandung dalam ketentuan Al Quran surat Al Baqarah ayat 221
(perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki – laki Islam boleh
menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).21
b). Adanya calon pengantin laki – laki dan calon perempuan yang
keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut
hukum perkawinan Islam akan berbeda dengan menurut perundang –
undangan di Indonesia.
c). Adanya persetujuan bebas antara kedua calon mempelai, jadi tidak
boleh dipaksakan.
d). Adanya wali nikah (untuk calon mempelai perempuan) yang memenuhi
syarat yaitu; laki – laki beragam Islam, dewasa, berakal sehat dan
berlaku adil.
e). Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa dan adil.
f). Membayar mahar (mas kawin) calon suami kepada calon istri berdasar
QS. An-Nisa’ ayat 25.
g). Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (Kehendak dan Penerimaan)
21
Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun
1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 50.
29
Adapun yang termasuk rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a). Adanya pihak – pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, pihak
– pihak tersebut adalah mempelai laki – laki dan perempuan. Kedua
mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu agar perkawinan yang
dilaksanakan menjadi sah hukumnya.
b). Adanya wali, perwalian dalam istilah fiqh disebut dengan penguasaan
atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh
agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan
demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali
dalam perkawinan adalah rukun dalam artian wali harus ada terutama
bagi orang – orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status
perkawinan dianggap tidak sah.22
c). Adanya dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun
perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap
tidak sah. Keharusan ini dimaksudkan untuk menjaga keabsahan
perkawinan apabila terjadi permasalahan tuduhan orang lain terhadap
pasangan suami istri tersebut maka keduanya dapat menuntut saksi
tentang perkawinan tersebut.
d). Adanya akad nikah. Akad nikah adalah perkataan yang diucapkan
oleh calon suami atau calon istri. Ijab adalah pernyataan dari pihak
22
Menurut Imam Malik rukun perkawinan ada lima, diantaranya : 1). Wali dari pihak
perempuan, 2). Mahar(mas kawin), 3). Calon mempelai laki – laki, 4). Calon mempelai
perempuan, 5). Akad nikah.. seperti yang ditulis dalam ; Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih
Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 47-48.
30
calon istri yang biasanya dilakukan oleh wali, yang maksudnya
bersedia untuk dinikahkan dengan calon suaminya. Qabul adalah
pernyataan atau jawaban dari pihak calon suami bahwa ia menerima
kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.
2. Menurut Undang – Undang Perkawinan
Setelah disahkan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan lalu dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun
1975 sebagai pelaksanaan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974. Dalam
pasal 2 Undang – Undang Perkawinan tersebut disebutkan :
1). Perkawinan adalah sah apabila, menurut hukum masing – masing
agamnya dan kepercayaanya itu.
2). Tiap – tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang –
undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Perkawinan
tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pasal Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975. Pasal – pasal yang berkaitan dengan tata cara
perkawinan dan pencatatannya, antara lain pasal 10, 11, 12 dan 13. Pasal
10 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tata cara perkawinan:
(2) “Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing
agamanya dan kepercayaannya itu”
(3) “Dengan mengindahkan Tata cara perkawinan dilakukan menurut
hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan
dihadiri oleh dua orang saksi”.
31
Mempertegas Undang – Undang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah tersebut di atas, berkaitan dengan hal itu diuraikan dalam KHI
yaitu; pasal 4 disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang –
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pencatatan perkawinan
untuk menjamin ketertiban dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
(pasal 5 dan 6), akta nikah dan itsbat nikah (pasal 7). Rukun perkawinan
adalah; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul
(pasal 14 sampai pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak (pasal 30 sampai pasal 38). Larangan
perkawinan karena beberapa sebab (pasal 39 – 44).23
C. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan pada dasarnya syari’at islam tidak mewajibkan
terhadap setiap akad pernikahan, namun apabila dilihat dari segi manfaatnya
pencatatan sangat diperlukan. Jika dibuka kembali kitab – kitab fiqh klasik,
maka tidak akan ditemuka adaya kewajiban pasangan suami istri untuk
mencatatkan perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat islam
terdahulu, perkawinan dianggap sah apabila sudah memenuhi syarat dan
rukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara muamalah yang dengan tegas Al
qur’an memerintahkan untuk mencatatkan.24
23
Undang – Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Sinarsindo Utama
24
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2013), h. 182.
32
Pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang autentik
agar seseorang mendapat kepastian hukum, karena apabila dilihat dari segi
manfaatnya maka hal ini sejalan dengan prinsip pencatatan yang terkandung
dalam surat al-Baqarah ayat 282, sebagaimana Firman Allah SWT :
…..
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah25
tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS. Al-Baqarah / 02:282).
Pada firman Allah SWT. yang disebutkan diatas memerintahkan untuk
mencatatkan secara tertulis pada setiap bentuk urusan mu’amalah, seperti jual
beli, hutang piutang dan sebagainya. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa
alat bukti tertulis statusnya lebih adil dan menguatkan persaksian serta
menghindarkan dari keraguan. Dari rujukan dasar hukum tersebut maka
apabila dilihat dari illatnya yaitu memiliki persamaan yang kuat antara akad
nikah dan akad mu’amalah mengenai adanya mudharat apabila tidak adanya
pencatatan sebagai alat bukti yang yang menunjukan keabsahan akda tersebut
seperti yang terdapat pada hadits berikut :
جميم به انحسه انعتكي قها حدثىا محمد به به يسف انجبيزي ان حدثىا عبيد انه مز
عه أبي سعيد انخدري قالانعجهي حدثىا عبد انمهك به أب ي وضزة عه أبي
ذي انآيت تها
25
Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
33
ا انذيه آمىا إذا تدايىتم بديه إنى أجم مسمى } حتى بهغ فإن أمه بعضكم ب يفؤ كتيا أي
{ بعضا
ذي وسخت ما افقال قبه
(IBNUMAJAH - 2356) : Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin
Yusuf Al Jubairi dan Jamil bin Al Hasan Al Atiki keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwan Al Ijli berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdul Malik bin An Nadlrah dari Bapaknya dari
Abu Sa'id Al Khudri ia berkata ketika dia membaca ayat ini: ' Wahai orang-
orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang untuk waktu tertentu,
hendaklah kalian menuliskannya, hingga ayat: ' Akan tetapi jika sebagian
kalian percaya kepada sebagian yang lain', ia mengatakan, "Ayat ini
menghapus ayat yang sebelumnya."
. Sehingga qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum dari akibat yang
ditimbulkan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan
menjadi wajib hukumnya, sebagaimana yang telah diwajibkan dalam perkara
akad mu’amalah.
Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan
dengan individu yang lain atau dalam hal mu’amalah, Islam pada ayat Al-
Baqarah di atas tersebut memerintahkan kepada para pemeluknya untuk
mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kelupaan tentang sesuatu dengan jalan
mencatatkan.
Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti saat ini menuntut
untuk adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain dalam masalah
pencatatan perkawinan. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian,
kemungkinan besar akan timbul kekacauan dalam kehidupan masyarakat
34
mengingat jumlah manusia ssudah sangat banyak dan permasalahhan hidup
pun semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan
pasangannya mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama
bila terjadi sengketa mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan
kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya
hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari
tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami istri.26
Perkembangan zaman dan dinamika yang terus berubah, terjadi banyak
sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan menjadi
kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, akta dan surat – surat dijadikan
sebagai bukti autentik dikarenakan saksi hidup tidak bisa lagi diandalkan
karena bisa hilang dengan sebab kematian serta manusia juga dapat
mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti
yang abadi yang disebut dengan akta.27
Pencatatan perkawinan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
pejabat negara terhadap setiap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai
pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan
suatu akad perkawinan atara calon mempelai suami dan istri.28
Perkawinan
yang secara normatif harus dicatatkan itu adalah sudah merupakan
26
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), h. 30.
27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta :
Kencana Prenada Media, 2004), h. 120.
28
Muhammad Zein dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 36.
35
”Kesepakatan nasional” yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum
untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian dan perlindungan
hukum.
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pejabat negara yang diangkat
sebagai Petugas Pencatat Nikah yang diberikan mandat oleh negara untuk
mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya, yang diatur
pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo. Peraturan
Menteri Agama No. 11 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 tahun 1975.
Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga dimaksudkan dalam UU No. 32
tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
K. Wantjik Saleh berpendapat tentang perbuatan pencatatan, bahwa “
tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa
perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata – mata hanya bersifat
administratif. Sehingga sahnya perkawinan bukan ditentukan dengan
pencatatan tetapi pencatatan sebagai syarat administratif. Sedangkan sahnya
perkawinan, undang - undang perkawinan dengan tegas menyatakan pada
pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing – masing agama dan kepercayaannya”.29
Yang dimaksud dengan hukum masing – masing agama dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang – undangan yang berlaku
29
O.s. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 98-99.
36
bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak tidak ditentukan lain dalam undang – undang ini.30
Pada pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa
untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
Pasal 6 ayat 2 juga menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.31
Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh mempelai
sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti autentik tentang
keabsahan pernikahan itu baik secara hukum agama maupun negara. Dengan
bukti autentik tersebut, maka akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan
itu mendapat jaminan hukum oleh negara karena mereka dapat membuktikan
pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh
hak – haknya sebagai ahli waris dan lain sebagainya.32
Dengan memperhatikan tata cara dan ketentuan perkawinan menurut
hukum agamanya masing – masing, maka perkawinan haruslah dilaksanakan
dihadapan pegawai pencatat nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat
setelah perkawinan dilaksanakan, kedua mempelai menanda tangani akta
perkawinan yang telah dipersiapkan oleh pegawai pencatat nikah. Dengan
selesainya penanda tanganan tersebut, perkawinan telah dicatat dengan resmi
30
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum
Perkawinan di Indonesia, (Serang: Saudara Serang, 1995), h. 27.
31
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), h. 15.
32
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada, 2006), h. xx.
37
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian kedua mempelai diberikan
kutipan akta nikah sebagai bukti autentik bahwa benar mereka melakukan
perkawinan dengan resmi dan sah.33
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang penting, sebagaimana
peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain. Untuk membuktikan adanya
perkawinan yang sah tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya
peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan
dilembaga yang ditunjuk dengan demikian pencatatan yang kemudian
ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya akta berupa Surat Nikah oleh pejabat
yang berwenang maka fungsi akta merupakan alat bukti yang sempurna
(authentic).
Akta nikah adalah alat bukti otentik sahnya suatu perkawinan
seseorang, adalah sangat bermanfaat dan mashlahat bagi diri dan
keluarganya (istri dan anak-anaknya) untuk menolak kemungkinan
dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat
hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak-
hak perkawinan).
Ahmad Rofiq berpendapat, bahwa pencatatan perkawinan bagi
sebagian masyarakat masih perlu disosialisasikan, hal ini kemungkinan
disebabkan akibat pemahaman yang fiqh sentris yang terdapat dalam kitab –
kitab fiqh klasik hampir tidak pernah dibicarakan. Namun apabila kita
merujuk pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 282, maka dengan tegas
33
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada, 2006), h. 55-56.
38
memerintahkan untuk mencatatkan apabila perkawinan dianalogikan kepada
mu‟amalah.34
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003), h. 118.
39
BAB III
PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BANTARGEBANG
A. Letak Geografis
1. Letak Geografis Kec. Bantargebang
Kecamatan Bantargebang merupakan salah satu dari 12 (dua belas)
kecamatan yang ada di kota Bekasi, yang terletak di wilayah barat kota
Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor.
Dalam catatan sejarahnya, Kota Bekasi pernah mendapat gelar dari
Pemerintah sebagai kota yang tertib administrasi (KOTIB). Dalam
perkembangannya telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang sesuai
dengan peran dan fungsinya.
Luas wilayah Kecamatan Bantargebang adalah 1.843.890 Ha yang
dipecah menjadi 4 (empat) kelurahan yaitu1 :
1) Kelurahan Bantargebang luas 406.244 Ha
2) Kelurahan Cikiwul luas 525.351 Ha
3) Kelurahan Ciketingudik luas 568.955 Ha
4) Kelurahan Sumurbatu luas 343.340 Ha
Berdasarkan pembentukannya wilayah Kecamatan Bantargebang
berbatasan dengan wilayah lain diantaranya adalah :
1) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor
2) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rawalumbu
3) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor
1 Profil Kecamatan Bantargebang / m.bekasikota.go.id diakses pada 4 mei 2015.
40
4) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Setu dan Kabupaten
Bekasi.2
2. Latar Belakang Sosiologis Masyarakat
Kecamatan Bantargebang memiliki jumlah penduduk 113.142 jiwa
dengan rincian perbandingan antara laki – laki sebesar 58.341 jiwa dan
perempuan sebesar 53.235 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut pada
Kecamatan Bantargebang memiliki tingkat pendidikan 10 % S1, 50 %
SLTA, 30 % SLTP, 10 % SD. Dengan persentase tersebut Kecamatan
Bantargebang memiliki usia produktif kerja diatas 60 % yang tersebar di
tiga wilayah kelurahan yang ada di Kecamatan Bantargebang.3
Kehidupan perekonomian masyarakat Kecamatan Bantargebang
sebagian besar adalah perdagangan dan pertanian / perkebunan, industri
dan pengolahan limbah. Hal ini dikarenakan masih banyaknya terdapat
lahan kosong yang dipergunakan sebagian masyarakat untuk bertani dan
berkebun selain itu juga untuk pengolahan limbah.4
Tabel 1
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat pendidikan Jumlah
1 SD 11.314
2 SMP 33.943
3 SMA 56.571
4 S1 11.314
Sumber Data : KUA Kecamatan Bantargebang 2015
2 Profil Kecamatan Bantargebang / m.bekasikota.go.id diakses pada 4 mei 2015.
3 Sumberdata dari KUA kec. Bantargebang 2014.
4Observasi secara langsung oleh penulis di Kecamatan Bantargebang pada bulan
April 2015.
41
B. Profil Kantor Urusan Agama
1. Letak Geografis
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bantargebang beralamat
Jalan Raya Narogong KM. 10 No. 82 Bantargebang, Kota Bekasi. Dengan
luas tanah 350 m2, KUA Kecamatan Bantargebang berdiri pada tahun
1982.5
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bantargebang
merupakan salah satu wilayah garis lingkar luar yang mengelilingi Kota
Bekasi dan salah satu wilayah dari Kota Bekasi yang berbatasan langsung
dengan wilayah Bogor.
Berdasarkan pembagian wilayah yang ada di Kecamatan
bantargebang, terbagi menjadi 4 (Empat) wilayah kelurahan. Mengenai
Kompetensi (dalam lingkup kelurahan) kantor Urusan Agama yang
dimiliki oleh Kecamatan Bantargebang diantaranya :
1) Kelurahan Bantargebang
2) Kelurahan Cikiwul
3) Kelurahan Ciketingudik
4) Kelurahan Sumurbatu
Data perbandingan pembantu pencatat nikah dengan jumlah
penduduk Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang adalah sebagai
berikut :
5 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
42
Tabel 2
JUMLAH PEMBANTU PENCATAT NIKAH DAN JUMLAH
PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN
KELURAHAN
BANYAKNYA JENIS KELAMIN
RW RT AMIL Laki-laki Perempuan
Bantargebang 10 31 2 21.712 19.649
Cikiwul 7 32 2 15.928 14.388
Ciketingudik 9 46 2 13.601 12.287
Sumurbatu 7 43 2 7100 6.911
JUMLAH 33 152 8 58.341 53.235
Sumber data : KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2015
Sedangkan data grafik nikah dan rujuk Kantor Urusan Agama
Kecamatan Bantargebang dari tahun 2011 – 2015 adalah sebagai berikut :
Tabel 3
GRAFIK NIKAH DAN RUJUK
Sumber data : KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2011 - 2015
Berikut adalah data jumlah kependudukan berdasarkan agama pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang :
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Tahun2011
Tahun2012
Tahun2013
Tahun2014
Tahun2015
Grafik nikah dan rujuk
Grafik nikahdan rujuk
1347 1383
1178
879
475
43
Tabel 3
JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA
KELURAHAN
PEMELUK AGAMA
I K Pr H B JUMLAH
Bantargebang 39.792 304 1191 24 1172 42.483
Cikiwul 23.823 239 518 49 37 24.666
Ciketingudik 25.231 508 864 89 234 26.926
Sumurbatu 18.466 277 198 94 32 19.067
JUMLAH 107.312 1328 2771 256 1475 113.142
Sumber data : Rekapitulasi jumlah pemeluk agama oleh KUA
Kecamatan Bantargebang tahun 2015
*) I = Islam H = Hindu
K = Katholik B = Budha
Pr = Protestan
2. Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama.
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang merupakan
lembaga pemerintahan yang berada didalam naungan Kementerian Agama
Republik Indonesia. Tugas dan kewenangan Kantor Urusan Agama adalah
melaksanakan tugas Kantor Departemen Agama untuk wilayah Kota
Bekasi. Tugas dan kewenangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bantargebang tersebut antara lain adalah :
1) Bidang Administrasi Nikah
a) Menjalankan pelayanan terhadap masyarakat yang hendak
melangsungkan perkawinan.
44
b) Melaksanakan pemeriksaan terhadap surat – surat yang menjadi
syarat administrasi perkawinan.
c) Melakukan pengecekan terhadap registrasi akta nikah
d) Melakukan pencatatan pada akta nikah.
e) Melakukan penyuluhan kepada para calon mempelai sebelum
melangsungkan perkawinan.
f) Melaksanakan penyuluhan terhadap Pembantu Pencatat Nikah atau
amil se- kecamatan Bantargebang. 6
2) Bidang Kemasjidan
a) Menginventasrisasi jumlah dan perkembangan masjid, mushola
dan langgar.
b) Melaksanakan bimbingan dan pembinaan terhadap remaja masjid.
c) Menerima, membukukan dan mengeluarkan serta mempertanggung
jawabkan keuangan BKM dan P2A.
d) Mengikuti perkembangan pembangunan tempat ibadah dan
penyiaran agama.
3) Bidang ZAWAIBSOS (Zakat, Wakaf dan Ibadah Sosial)
a) Melaksanakan bimbingan Zakat, Wakaf dan Ibadah Sosial
b) Melakukan pembukuan/pencatatan tanah wakaf yang sudah
disertifikasi.
c) Memelihara dan menertibkan arsip tanah wakaf
6 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
45
d) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaan
ibadah sosial.
4) Bidang Keuangan
a) Membuat laporan keuangan NR dan Rujuk
b) Menertibkan arsip keuangan
c) Menyusun DUK/DIK
d) Menyalurkan dana bantuan dari NR kepada BKM, P2A dan BP4
5) Bidang Tata Usaha
a) Melaksanakan dan menangani surat menyurat
b) Meningkatkan tertib administrasi, dokumen dan statistik
c) Menyediakan peralatan yang dibutuhkan oleh kantor
d) Membuat laporan bulanan, triwulan, semester dan tahunan.7
C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama
Kantor Urusan Agama merupakan sebuah lembaga yang secara
administratif berada dibawah naungan Departemen Agama wilayah Kota
Bekasi. Kantor Urusan Agama mempunyai peraturan-peraturan guna
menciptakan ketertiban dalam menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah
pengaturan tentang kepengurusan lembaga itu sendiri, seperti struktural
organisasi salah satunya.
Dalam jangka waktu 7 tahun, telah terjadi pergantian kepemimpinan
pada struktur Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang. Setidaknya
telah tercatat dalam pendataan Kantor Urusan Agama Kecamatan
7 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
46
Bantargebang, ada 3 (tiga) Kepala Kantor Urusan Agama yang hingga kini
terakhir menjabat. Hal tersebut dikarenakan lama masa jabatan sebagai ketua
Kantor Urusan Agama adalah 3 tahun, yang kemudian dipindahkan ke kantor
urusan agama yang lainnya.
Mengenai perihal periode masa jabatan Kepala Kantor Urusan Agama,
yaitu sebagai berikut8 :
1) H. Madinah, HL, MM
Menjabat pada bulan Januari tahun 2009 hingga Desember 2011
2) Drs. H. Ahmad S.
Menjabat pada bulan Januari tahun 2012 hingga Desember 2014
3) Drs. H. Muhammad Yusup
Menjabat pada bulan Januari tahun 2015 hingga Desember 2017
Adapun struktur Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang
selama tiga (3) periode terakhir sebagai berikut :
8 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
47
STRUKTUR ORGANISASI
KUA KECAMATAN BANTARGEBANG KOTA BEKASI
Sumber Data : KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2015
PENYULUH
AGAMA
DRS. ACEP
BASUNI M,Pd
KEPALA
DRS. H.
MUHAMMAD
YUSUP
PENGAWAS
H. ZAINUDIN
S. S,Ag
H. ADNAN M,M
FUNGSIONAL
PENGHULU
ABDURRAHMAN.S,A
g
BADRUZAMAN.S,Ag
FUNGSIONAL
UMUM
- EUIS NAILA
FAUZIAH S, Fil
-H. AMANULLAH S,
Pdi
-SAIDAH. S, E
-LINAWATI S, E
-SAHRONI A, Ma
-HERLI S, Hi
-ANIS FARIHATUN
NISA S, E
48
BAB IV
PROBLEM PENCATATAN PERKAWINAN
DI BANTARGEBANG
A. Realitas Pencatatan Perkawinan
Pencatatan adalah suatu tindakan untuk mencatat suatu peristiwa oleh
salah satu lembaga atau perorangan yang berguna untuk menciptakan
ketertiban1. Pencatatan perkawinan berarti merupakan suatu usaha untuk
mencatatkan peristiwa perkawinan kepada lembaga administrasi negara dalam
hal ini Kantor Urusan Agama. Dalam peristiwa tersebut, pegawai pencatat
nikah melakukan pencatatan saat dan setelah berlangsungnya akad perkawinan
antara calon suami dan calon istri.2
Menurut pasal 11 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang pencatatan
perkawinan bahwa perkawinan dianggap lebih tercatat secara resmi apabila
akta perkawinan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi,
pegawai pencatat dan bagi yang beragama Islam juga wali atau yang
1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pencatatan (catat) yaitu catat, mencatat 1.
menuliskan sesuatu untuk peringatan (dl buku catatan) 2. menuliskan apa yg sudah ditulis
atau diucapkan orang lain; menyalin.
2 Muhammad Zein dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet. Ke 1, h. 36.
49
mewakilinya. Pada pasal 11 ayat (3) dijelaskan bahwa dengan pencatatan akta
perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.3
Berdasarkan aturan tentang pencatatan perkawinan yaitu Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun
2007 tentang pencatatan perkawinan sampai saat ini masih terdapat praktik
perkawinan yang tidak dicatat, hal tersebut disebabkan oleh adanya paradigma
yang tumbuh pada beberapa masyarakat tentang ketidak - pahaman tentang
akibat hukum yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum yaitu perkawinan.
Hal tersebut banyak ditemukan di beberapa daerah, termasuk yang saat
ini menjadi perhatian untuk diteliti yaitu wilayah Kecamatan Bantargebang.
Hal tersebut dibenarkan oleh pihak berwenang yaitu Kantor Urusan Agama
setempat bahwa masih adanya praktik perkawinan tidak dicatatkan.4
Berdasarkan hasil temuan penelitian dari 107.312 jiwa yang beragama
islam, terdapat 64.387 penduduk yang produktif untuk bekerja. Berdasarkan
jumlah tersebut terdapat 31.549 penduduk yang sudah menikah. 5
Berdasarkan
hasil penelitian terdapat 15.774 perkawinan yang terjadi sampai mei 2015 dan
dikatakan 7.887 perkawinan terjadi dari tahun 2011 hingga mei 2015. 6
Namun pada saat penelitian terdapat kesenjangan data yang diperoleh
terhadap jumlah penduduk yang telah didata. pada tahun 2011 sampai dengan
2015 telah tercatat 5262 peristiwa perkawinan yang telah dicatatkan. Dari
3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 126-129.
4 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
5 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
6 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
50
hasil penelitian terdapat setidaknya terdapat 2.625 (17 %) perkawinan yang
belum tercatat dari survey perkawinan yang ada berbanding dengan grafik
perkawinan secara keseluruhan.7 Berdasarkan uraian diatas menggambarkan
bahwa tingkat pemahaman masyarakat di Kecamatan Bantargebang masih
relatif rendah.
Praktek perkawinan tidak dicatatkan yang saat ini banyak dilakukan
oleh masyarakat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh tradisi Islam kuno di
Negara-negara Jazirah Arab. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan
pemahaman di Indonesia. Bahkan istilah nikah siri berkembang dan di
Indonesiakan menjadi kawin bawah tangan atau nikah siri8, meski antara
istilah kawin siri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama. Setidaknya
ketidak-samaan itu adalah bila kawin siri identik dengan orang-orang (pelaku)
Islam sementara istilah kawin bawah tangan biasa dilakukan oleh siapa saja
(berbagai agama).
Akibat negatif yang ditimbulkan terkait kepastian hukum terhadap
perkawinan tidak dicatat, seharusnya masyarakat menyadari tentang
pentingnya pencatatan perkawinan. Untuk mencegah adanya korban terkait
perkawinan tidak dicatat, maka seharusnya perkawinan itu harus dicatat
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk mendapatkan jaminan stastus
7 Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
8 K.H. Ma’ruf Amin , Ketua Komisi Fatwa MUI menggunakan istilah Kawin Bawah
tangan untuk istilah Kawin Siri, suatu perkawinan antara pasangan Muslim yang tidak
dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah di KUA tetapi tetap sah sepanjang memenuhi
syarat dan rukun perkawinan berdasarkan syariat Islam. Lihat penjelasannya pada
www.Hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-
hukum, diakses pada 4 mei 2015.
51
hukum atas akibat hukum yang ditimbulkan seperti hak waris, nafkah istri dan
anak serta pengasuhan anak dan lain sebagainya.9
B. Tata Cara dan Prosedur Perkawinan
1. Perkawinan Tidak dicatat (Sirri)
Perkawinan adalah suatu peristiwa hukum. Sebagai suatu peristiwa
hukum maka suatu perkawinan akan mengikuti hukum yang dianut oleh
pelakunya. Hukum yang dianut bisa mengacu kepada hukum agama dan
kepercayaannya serta hukum negara, mengikuti hukum agama dan
kepercayaannya saja atau mengikuti hukum negara saja.10
Semua
tergantung pada kemauan para pelakunya meski negara telah mengaturnya.
Seperti halnya perkawinan siri, yang dianut oleh sebagian masyarakat di
Indonesia, akan mengikuti ketentuan dan tata cara menurut hukum
perkawinan Islam.
Tata cara perkawinan siri itu sendiri sebenarnya adalah sama
dengan tata cara perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam
hukum perkawinan Islam. Hal demikian tentunya berbeda dengan tata cara
perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam Undang - Undang
Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 12 yang menentukan tata cara
pelaksanaan perkawinan untuk selanjutnya diatur dan dijabarkan melalui
Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama
9 K.H. Ma’ruf Amin , Ketua Komisi Fatwa MUI menggunakan istilah Kawin Bawah
tangan untuk istilah Kawin Siri, suatu perkawinan antara pasangan Muslim yang tidak
dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah di KUA tetapi tetap sah sepanjang memenuhi
syarat dan rukun perkawinan berdasarkan syariat Islam. Lihat penjelasannya pada
www.Hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-
hukum, diakses pada 4 mei 2015.
10
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
52
No. 11 tahun 2007 serta juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yakni Inpres No. 1 tahun 1991.
Perkawinan yang tidak dicatat dilakukan di hadapan tokoh agama
atau di pondok pesantren atau di kediaman tokoh ulama setempat yang
dipimpin oleh seorang kyai atau Ustadz dengan dihadiri oleh beberapa
orang yang berfungsi sebagai saksi. Bagi pasangan yang ingin melakukan
perkawinan tersebut, cukup datang ke tempat Kyai yang diinginkan
dengan membawa seorang wali bagi mempelai wanita dan dua orang
saksi.11
Biasanya bagi Kyai setelah menikahkan pasangan kawin siri ini,
Kyai menyarankan pada mereka agar segera mendaftarkan perkawinan
mereka ke Kantor Urusan Agama setempat. Dalam perkawinan siri ini
yang bertindak sebagai Qadhi atau orang yang menikahkan adalah tokoh
agama atau kyai tersebut setelah menerima pelimpahan dari wali nikah
calon mempelai wanita.
Dengan demikian pelaksanaan perkawinan siri ini dilakukan secara
lisan dan tidak dicatat dalam suatu bukti tertulis atau akta atau dalam
bentuk pencatatan lain. Semua identitas para pihak dan hari, tanggal, tahun
dan lain-lain tidak dicatat. Setelah prosesi perkawinan tidak meninggalkan
jejak yang bisa dijadikan bukti telah terjadi perkawinan kecuali kamera
atau video perekam, bila diabadikan dengan media itu.
Setidaknya dalam kasus perkawinan tidak dicatat, terdapat
sedikitnya 17% perkawinan tidak dicatat yang terdapat di daerah yang
menjadi tempat penelitian.12
11
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
12
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
53
2. Perkawinan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tata cara pencatatan nikah adalah proses pelaksanaan pencatatan nikah
dari mulai permulaan pemberitahuan sampai tercatatnya nikah itu, yaitu pada
saat penandatanganan akta oleh masing-masing pihak yang berkepentingan.
Adapun tata cara atau prosedur malaksanakan perkawinan sesuai urutannya
sebagai berikut:
1. Pemberitahuan kehendak nikah
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan
Perkawinan ditetapkan, bahwa setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di
tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007
bahwa ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Namun, ada pengecualiannya terhadap jangka waktu
tersebut karena satu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama)
Bupati Kepala Daerah.13
Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada
Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi orang
13
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam,( Jakarta : Siraja,
2003), h. 126-127.
54
yang bukan beragama Islam, pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor
Catatan Sipil setempat.14
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai
atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat seperti yang
diperlukan,antara lain:
a) Surat persetujuan kedua calon mempelai.
b) Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal-usul.
c) Surat keterangan mengenai orang tua.
d) Surat keterangan untuk kawin dari Kepala Desa yangmewilayahi
tempat tinggal yang bersangkutan. (Model Na).
e) Surat izin kawin dari pejabat yang ditunjuk oleh
MENHAKAM/PANGAB bagi calon mempelai anggota ABRI
f) Surat izin beristeri lebih dari satu (1) untuk Pegawai Negeri Sipil
(PNS)15
.
g) Surat kutipan buku pendaftaran talak/cerai atau surat talak/cerai jika
calon mempelai seorang janda atau duda.
h) Surat keterangan kematian suami/istri dari Kepala Desa yang
mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri.
i) Surat izin dan atau dispensasi bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat 2 s/d 6 dan Pasal 7 ayat 1 s/d 3.
j) Surat dispensasi Camat bagi perkawinan yang akan dilangsungkan
kurang dari 10 hari kerja setelah pengumuman.
k) Surat izin poligami dari Pengadilan Agama bagi calon suami yang
hendak beristri lebih dari seorang.
l) Surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa mereka yang tidak
mampu.
14
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 125.
15
Untuk Pegawai Negeri Sipil, izin tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
10 tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan
perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
55
m) Surat kuasa yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah apabila salah
seorang mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena
sesuatu alasan yang penting sehingga mewakilkan kepada orang lain.16
2. Penelitian
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur
selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan Pegawai Pencatatat Nikah.
Sesuai Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
bahwa Pegawai Pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan (larangan nikah) baik
menurut hukum munakahat17
ataupun menurut perundang-undangan yang
berlaku18
.
3. Pengumuman
Setelah dipenuhi tata cara dan syarat - syarat pemberitahuan serta
tidak ada halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai
pencatat perkawinan menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan Pasal
8 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang - undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pengumuman tentang adanya kehendak
melangsungkan perkawinan. Pegawai pencatat menempelkan surat
pengumuman dalam bentuk yang telah ditetapkan pada kantor - kantor
pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat
16
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, 2001, h. 23-24. 17
Menurut pendapat para ulama fiqh bahwa yang terdapat larangan nikah apabila
terdapat diantara calon mempelai adanya hubungan sedarah, hubungan perwalian, hubungan
saudara karena tali pernikahan, dan hubungan sepersusuan.
18
Yang dimaksud Perundang – undangan yang berlaku adalah Undang – undang
perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang – Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.
56
dilangsungkannya perkawinan dan tempat kediaman masing - masing
calon mempelai.
4. Pelaksanaan
Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak calon mempelai
untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman.
5. Pencatatan
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang
Pencatatan Perkawinan bahwa perkawinan dianggap sah tercatat secara
resmi apabila akta perkawinan telah ditandatangani oleh kedua mempelai,
dua orang saksi, pegawai pencatat dan bagi yang beragama Islam juga wali
atau yang mewakilinya. Dan pada pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 dijelaskan bahwa dengan pencatatan akta perkawinan,
maka perkawinan telah tercatat secara resmi.19
C. Upaya Penanggulangan Penertiban Pencatatan Perkawinan
1. Upaya Penertiban Pencatatan Perkawinan oleh Pihak Kantor Urusan
Agama Kec. Bantargebang
Upaya yang dilakukan pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bantargebang dalam menanggulangi efektifitas pencatatan perkawinan
adalah sebagai berikut20
: Melakukan koordinasi kerja dengan setiap Lurah
/ Kepala Desa yang ada di wilayah Kecamatan Bantargebang dalam
rangka mengatasi masalah yang disebabkan karena pekerjaan Amil /
Ulama yang dengan sengaja / tidak menikahkan laki-laki dengan
19
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 126-129.
20
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
57
perempuan, dimana pernikahan itu tanpa dilaporkan kepada Pegawai
Pencatat Nikah atau Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bantargebang, koordinasi kerjanya adalah berupa rapat mingguan untuk
sosialisasi, penyuluhan dan bimbingan pada masyarakat Kecamatan
Bantargebang mengenai betapa pentingnya suatu pernikahan dicatat dan
dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah atau petugas lain yang ditunjuk21
.
Penyuluhan dan bimbingan ini terutama ditunjukan untuk remaja usia
sekolah SLTP dan SLTA yang belum menikah dan orang tua yang
dilakukan dalam setiap kesempatan seperti dalam acara Maulid Nabi, Isra
Mi’raj, Hari Kartini dan lainnya.
2. Beberapa Fakta Perkawinan Tidak Dicatatkan
Perkawinan tidak dicatat atau juga disebut dengan pernikahan sirri
adalah pernikahan / perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi
syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam tetapi tanpa
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah sehingga pernikahan tersebut tidak
memiliki bukti otentik berupa Akta Perkawinan sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku. Dalam bahasa yang lebih sederhana
adalah bahwa perkawinan tidak dicatat memiliki keabsahan menurut
hukum agama, khususnya Islam, namun illegal menurut hukum
Indonesia.22
Perkawinan tidak tercatat yang biasa disebut ’kawin siri’ dalam
kehidupan masyarakat Indonesia adalah kenyataan yang wajar, alasannya
21
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
22
H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH, Makalah Seminar “ Pelaksanaan Undang –
Undang Perkawinan : Studi Tentang Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak
Tercatat di Malang Jawa Timur”, 2011.
58
mulai dari mahalnya biaya pencatatan nikah sampai karena alasan personal
yang yang harus dirahasiakan.23
Beberapa fakta dapat ditemukan berkaitan
perkawinan tersebut, yaitu :
a) Pernikahan tidak tercatat yang dilakukan oleh masyarakat umum tanpa
adanya wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena tidak bisa
menghadirkan wali dari pihak perempuan. Kehadiran saksi bisa saja,
tetapi tetap belum memenuhi syarat dan rukun sahnya perkawinan.
Dan tentu saja perkawinan seperti ini tidak dilakukan dan dicatat di
hadapan pegawai pencatat nikah.
b) Perkawinan yang sah secara agama (memenuhi syarat dan rukun)
namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara dengan
berbagai alasan dan pertimbangan.24
Dari hasil observasi lapangan yang telah dilakukan oleh penulis
bahwa di daerah Bantargebang terdapat banyak alasan mengapa
perkawinan tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan
dicatatkan, yaitu :
a) Karena tidak terpenuhi syarat administratif seperti Kartu Tanda
Penduduk. Hal ini dikarenakan banyaknya bangunan tidak permanen
yang terdapat di daerah tersebut sehingga kurangnya perhatian dari
pemerintah setempat.
b) Untuk menghemat biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
perkawinan. Dalam observasi yang dilakukan bahwa terdapat banyak
23
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
24
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
59
warga di daerah tersebut yang berpenghasilan rendah karena saat ini di
Indonesia sedang dalam krisis lapangan pekerjaan.25
c) Karena calon istri sudah terlanjur hamil di luar nikah
d) Kurangnya pemahaman warga setempat terhadap manfaat pencatatan
perkawinan.
D. Analisis Dengan Teori Lawrence M. Friedman
Analisis ini dilakukan penulis dengan persepektif yang digunakan
sebagai alat analisis adalah teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law
system) yang di gagas oleh Lawrence M. Friedman. Dimana teori tersebut
digunakan dalam upaya penanggulangan tentang perkawinan tidak dicatat.
Dimana juga digunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunities,
and threats).
Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system)
Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system) yang di
gagas oleh Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa ada tiga elemen sistem
hukum yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu Legal structure, legal
substance, dan legal culture.26
Ketiga komponen tersebut membentuk satu
kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut
dengan sistem.
1. Analisa SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats).
25
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
26
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New
York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 6.
60
Keunggulan dalam hal penerapan pencatatan yang dilakukan oleh
Kantor Urusan Agama Bantargebang yaitu dalam persyaratan yang
diterapkan sangat ketat dalam kualifikasinya.27
Kelemahan dalam hal sosialisasi mengenai urgensi pencatatan
perkawinan masih minim dilakukan karena kurang koordinasi seluruh
aspek masyarakat, selain itu tidak adanya pendataan secara menyeluruh
pada masyarakat Bantarggebang terhadap intensitas jumlah masyarakat
yang sudah menikah. 28
Peluang yang dapat mempengaruhi tingkat efektifitas dari
implementasi Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang – Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu dapat
terciptanya ketertiban administrasi di wilayah Bantargebang terkait dalam
hal perkawinan sehingga setiap pelaku perkawinan mendapat jaminan
hukum yang sama atas akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan
tersebut. 29
Hambatan yang dialami saat ini, Kantor Urusan Agama
Bantargebang belum memiliki payung hukum untuk melakukan
pendataan pada masyarakat karena belum adanya regulasi yang mengatur
untuk hal tersebut. 30
2. Analisis Penulis
Berdasarkan pada kerangka teori Lawrence M. Friedman, maka
penulis bermaksud menganalisa terkait adanya kendala dalam penertiban
27
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
28
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
29
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
30
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
61
pencatatan perkawinan. Hal tersebut dianalisa menjadi tiga (3) bagian
yaitu ;
a) Komponen Struktur (Legal structure)
Dimana dalam kasus ini instansi yang terkait kurang
memperhatikan terhadap beberapa wilayah yang tertinggal.31
Hal
tersebut dapat dilihat pada saat observasi, bahwa didaerah tersebut
pembangunan serta penataan terhadap administrasi kependudukan
masih kurang mendapat perhatian dari pemerintahan setempat. Dalam
hal ini, Kantor Urusan Agama hanya menjalankan sesuai dengan apa
yang sudah tertera dalam aturan hukum perkawinan saja.
Seharusnya sebagai salah satu penegak hukum (dalam hal ini
hukum perkawinan) juga mendapat jaminan kepastian hukum untuk
menegakkan serta menertibkan perkawinan yang tidak dicatat.
Kelemahan instansi tersebut disebabkan karena pemerintah yang
memandang sebelah mata. Apabila pemerintah dapat memberikan
kepastian hukum terhadap instansi ini, maka akan memberikan peluang
besar terhadap ketertiban administrasi pencatatan perkawinan. Tidak
hanya sebatas sosialisasi dalam kaitan pencatatan perkawinan.
Tentu dalam hal tersebut terdapat tantangan dalam upaya
pelaksanaan penertiban, seperti dalam hal penertiban kependudukan
yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (satpol PP). Selain itu
Kantor Urusan Agama juga harus mendapat dukungan penuh dari
tokoh ulama setempat dalam menjalankan penertiban perkawinan agar
31
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
62
tetap dicatatkan, walaupun dengan banyak alasan yang diberikan
masyarakat.
b) Komponen substansi (legal substance)
Produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah terkait dalam
hal ini tentang hukum perkawinan, masih banyak terdapat
kekurangannya sehingga membuat banyak keraguan dalam
penegakannya dan pemahaman oleh masyarakat luas. Hal tersebut
dipengaruhi dengan adanya “validitas ganda” yang mengacu pada
Undang – undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Masih terdapat celah yang digunakan dalam praktek
perkawinan yang tidak dicatat, karena kurangnya penegasan yang
spesifik terhadap perkawinan itu sendiri.
Kelemahan seperti masih adanya paradigma masyarakat yang
terus tumbuh terkait dualisme ideologi32
yang menjadikan hukum
perkawinan mendapat hambatan dalam masa penegakannya.
Seharusnya pemerintah, selaku produsen melalui lembaga –
lembaganya dapat mengkaji lebih dalam terhadap hukum perkawinan,
dimana setiap daerah memiliki banyak persoalan yang dapat
menghambat penegakannya. Persoalan tersebut antara lain sosiologi
masyarakat dan perekonomian.33
Dengan adanya kajian ulang, maka seharusnya untuk
penegakan hukum perkawinan akan lebih mudah dijalankan oleh
32
Dualisme pemahaman yang dimaksud adalah dua pemahaman pada satu (1) hal
yang sama, yaitu tentang keabsahan perkawinan, bahwa masyarakat menganggap perkawinan
itu sah a pabila sudah sah secara hukum agama aka tetapi mengesampingkan hukum positif
yang mewajibkan untuk mencatatkan perkawinan.
33
Muhammad Yusup , Wawancara pribadi, Bekasi, 6 April 2015.
63
instansi terkait yang berguna untuk mencapai ketertiban administrasi
perkawinan.
c) Komponen budaya hukum (legal culture)
Adanya dualisme pemahaman yang tumbuh dimasyarakat,
tentu akan menghambat upaya penanggulangan perkawinan tidak
dicatat. Dalam hal ini seharusnya tokoh masyarakat dan ulama
setempat juga diwajibkan untuk ikut serta dalam upaya penegakan
hukum perkawinan yang bertujuan menanggulangi praktek perkawinan
yang tidak dicatat.
Tokoh ulama setempat, seharusnya dapat membina dan
mengarahkan kepada satu ideologi saja. Dimana ideologi yang
seharusnya masyarakat kembangkan adalah sesuai dengan hukum
perkawinan di Indonesia. Perubahan paradigma masyarakat, tentang
keabsahan perkawinan akan membantu tertibnya seluruh perkawinan
di Indonesia.
Pemerintah juga semestinya memperhatikan sosiologi
masyarakat yang beragam pertumbuhannya, dengan berbagai program.
Hal yang menyebabkan adanya ambiguitas pemahaman terhadap
pencatatan perkawinan di masyarakat disebabkan oleh sosiologi
masyarakat yang relatif rendah.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini maka penulis memaparkan
kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya
sebagai berikut:
1. Pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bantargebang dapat dikatakan belum maksimal dalam efektifitasnya
karena dari hasil penelitian masih terdapat banyak perkawinan yang tidak
dicatatkan. Hal tersebut disebabkan instansi terkait yang bersifat pasif
terhadap perkawinan yang tidak dicatat. Terdapat sedikitnya 17 % atau
2.625 perkawinan yang belum dicatat dari jumlah keseluruhan perkawinan
yang ada sampai mei 2015. Dengan adanya pergantian pejabat Kantor
Urusan Agama Bantargebang, lebih memperketat dalam hal syarat
administrasi perkawinan.
2. Faktor penghambat pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Bantargebang antara lain : Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang akibat perkawinan yang tidak dicatatkan karena
kebanyakan penduduk yang berpendidikan rendah, banyaknya asumsi
masyarakat yang menilai perkawinan yang dicatatkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah itu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit atau mahal,
kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama
65
Kecamatan Bantargebang tentang pentingnya pencatatan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
3. Upaya yang dilakukan pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bantargebang dalam menanggulangi efektifitas pencatatan perkawinan
adalah sebagai berikut: Melakukan koordinasi kerja dengan setiap Lurah /
Kepala Desa yang ada di wilayah Kecamatan Bantargebang, koordinasi
kerjanya adalah berupa rapat mingguan untuk sosialisasi, penyuluhan dan
bimbingan pada masyarakat Kecamatan Bantargebang mengenai betapa
pentingnya suatu pernikahan dicatat dan dihadiri oleh Pegawai Pencatat
Nikah atau petugas lain yang ditunjuk. Penyuluhan dan bimbingan ini
terutama ditunjukan untuk remaja usia sekolah SLTP dan SLTA yang
belum menikah dan orang tua yang dilakukan dalam setiap kesempatan
seperti dalam acara Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Hari Kartini dan lainnya.
B. Saran
Dalam hal menanggulangi terjadinya pencatatan perkawinan yang
tidak dicatatkan maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan
perkawinan maka Kantor Urusan Agama perlu mensosialisasikan
pentingnya pencatatan perkawinan melalui seminar-seminar yang
diselenggarakan Kantor Urusan Agama dan juga melaluiacara-acara yang
diselenggaran Kementerian Agama dan juga Instansi yang berada
dibawahnya, sehingga pencatatan pernikahan bisa lebih disoliasikan lagi
karena masih banyak masyarakat kurang mementingkan adanya
66
pencatatan pernikahan tersebut melalui acara - acara siaran televisi atau
siaran radio.
2. Selain itu juga perlunya pengawasan dari tokoh masyarakat, ulama
setempat dan Kantor Urusan Agama untuk mengawasi dan menahan
pertumbuhan perkawinan yang tidak dicatat dengan berbagai upaya.
3. Karena kurangnya sosialisasi maka Kantor Urusan Agama perlu
menggiatkan sosialisasi kepada masyarakat melalui khotib jum’at,
ceramah - ceramah agama dan lain sebagainya Agar masyarakat
mengetahui bahwa hukum Islam yang menjadi bahan kajian internal umat
Islam sekarang dan pentingnya pencatatan pernikahan.
4. Karena tingkat pengetahuan masyarakat rendah maka perlu memasukkan
kurikulum Fiqih Munakahat pada sekolah - sekolah seperti Madrasah
Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah dan sekolah – sekolah umum lainnya
agar memberikan pemahaman sejak dini tentang pentingnya pencatatan
perkawinan agar terjadinya kesadaran masyarakat untuk menghindari
pencatatan perkawinan yang tidak dicatatkan.
67
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:akademika
pressindo, 2004.
Al-Zuhaily, Wahbah. al Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, Damaskus : Dar al-
Fikr, 1989.
Ali, Achmad. Keterpurukan Hukum Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia: 2002.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2007.
Dirojosworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1994, cet. Ke-4
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan,
Jakarta: Depag RI, 2001.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Jakarta: Departemen Agama RI,
2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Eoh, O.s., Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996.
Friedman, Lawrence Meir. American Law: an Introduction, second edition, New
York: W.W. Norton & Company, 1998.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta : Siraja,
2003.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum & Statistik, Jakarta : Rineka Cipta, 2003.
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan, Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1995.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 1, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013.
68
Lathif, Ahmad Azharuddin. Makalah Seminar “ Pelaksanaan Undang – Undang
Perkawinan : Studi Tentang Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan
Tidak Tercatat di Malang Jawa Timur.”
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada, 2006.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai
KHI, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004.
Ramulyo, Mohd. Idris. Asas – Asas Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995.
Ramulyo, Mohd. Idris. Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun
1974 dari segi hukum perkawinan islam, Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co,
1990.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah (Libanon, Beirut, 1991) Juz ke-2.
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005.
Sukalam, Luthfi, Kawin Kontrak dalam Hukum Nasional Kita, Tangerang: CV.
Pamulang, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, Ed.1 cet. 2, Jakarta :
Kencana, 2007.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1974.
Usman, Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum
Perkawinan di Indonesia, Serang: Saudara Serang, 1995.
Yanggo, Huzaimah Tahido dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta : Isik, 2002.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung,
1979.
69
Zein, Muhammad dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis,
Jakarta: Graha Cipta, 2005.
Peraturan perundang - undangan
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974.
Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000.
Situs Online / Website
Http//www.Hukumonline.com
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)S YARIF HID AYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMJIn. lr. H. Juanda No, 95 Ciputat Jakada 15412, lndonesia
Terp (62-21) 747 11537,7401920 Fax. (62-21\Z4g1BZ1yveosrre : lM.uinjkt.ac.id E_mail : [email protected]
akarta, 16NomorLampiranHal
U n.OI / F 4 / 1{M.00.02 / } e B o / 207 4
Permohonan Data / lVawancara
Kepacla Yth,Kantor lJrusan Agama BantargebangDi Tempat
NamaNomor PokokTeinpat/Tanggal T.ahir
Semester
As s alanru' alaikLun Wr.IM.
Dekan Fakultas S1'ariah dan Hukum UIN Syarif HidayatullairJakalta nrenerangkan bairwa:
: Duray Achmad: 109044100021: Tangerang,4luli1990: XI (sebelas)
|urusan/Konsentrasi : Hukum Keluarga / Ahkwal SyahsiyyahAlarnat : Komp.Depag A.2B ]1. Gurame Raya 01/07,
TelpBambu apus, Pamuiang,'fangsel.
: 088813137i3
adalah benar rnahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syar.iiHidayatullah Jakarta vang sedang menyusun skripsi clengan judul:
,.PROBLEM PEI.ICATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSANAGAMA (Studi kasus Bantar Gebang, Kota Bekasi ),,
Untuk melengkapi baha^ penulisan skripsi, dimoho. kir.a.ya Bapak/Ibudapat menerima yang bersangkutan untuk wawancara serta memperolehdata guna penulisan skd;rsi dimaksud.
Atas kerjasan-,a dan bantuannva, kami ucapkan terima kasiir.
Wassalam,
a.n. DEKAN,Dekan Bjdang Akademik
M.Ag rt8032002'
Tembusan :
L Dekan Fakultas Syariah dan Hukrnn UIN Jakarta2. Ka/Sekprocli Hukum Keluarga / Ahkwal Syahsiyyah
K E]\,ItrNTERTAI\I A GAMAi,. I(ANTOR URUSAN AGAMA
KECAI{ATANBANTARGEBANG
Jalan Raya Narogong I0{. 10 No. 82 Bantargebang Tetgr. (021) 8253 4S0
Kota Bekasi 17310
SUITAT KETERANGAN
Nomor : Kk. I 0.21.0 I PW.0llc44 1M2015
Yang bertanda tangan dibarvah ini Kepala Kantor Urusan Agarna KecamatanBantargebang :
Nama
N]P
Jabatan
: Drs. H. Muhammad Yusup
: 1965.07 13.1998.03 1.002
: Kepala KUA
: Duray Achmad
:109044100021
: Syariah dan Hukum
Menerangkan bahwa nama dibawah ini :
Nama
NIM
Fakultas
Prodi / Konsentrasi : SAS / I{ukum Keluarga
Bahu'a nama tersebut benar telah melakukan wawancara di kantor kami, guna
melengkapi penelitian skipsi dengan judul :Problem pencatatan perkau,inan di Kantor l1rusanAgama Kecamatan Bantargebang.
Demikian surat keterangan ini dibuat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bekasi, 15 Aprii 2015
mad Yusup
0713. i 998.031.002
6v#R
JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA
KUA KECAMATAN BANTARGEBANG
LAPORAN BULANAN MARET TAHUN 2015
Bekasi, 1 April 2015
Kepala
Drs. H. Muhammad Yusup
KELURAHAN
BANYAKNYA JENIS KELAMIN PEMELUK AGAMA
RW RT AMIL Laki - laki Perempuan Islam Kristen Katolik Kristen Protestan Hindu Budha JUMLAH
Bantargebang 10 31 2 21.712 19.649 39.792 304 1191 24 1172 42.483
Cikiwul 7 32 2 15.928 14.388 23.823 239 518 49 37 24.666
Ciketingudik 9 46 2 13.601 12.287 25.231 508 864 89 234 26.926
Sumurbatu 7 43 2 7100 6.911 18.466 277 198 94 32 19.067
JUMLAH 33 152 8 58.341 53.235 107.312 1328 2771 256 1475 113.142
STRUKTUR ORGANISASI
KUA KECAMATAN BANTARGEBANG
LAPORAN BULANAN MARET TAHUN 2015
Bekasi, 1 April 2015
Kepala
Drs. H. Muhammad Yusup
PENYULUH AGAMA
DRS. ACEP BASUNI M,Pd
KEPALA
DRS. H. MUHAMMAD YUSUP
PENGAWAS
H. ZAINUDIN S. S,Ag
H. ADNAN M,M
FUNGSIONAL PENGHULU
ABDURRAHMAN. S,Ag
BADRUZAMAN. S,Ag
FUNGSIONAL UMUM
EUIS NAILA FAUZIAH S, Fil
H. AMANULLAH S, Pdi
SAIDAH. S, E
LINAWATI S, E
SAHRONI A, Ma
HERLI S, Hi
ANIS FARIHATUN NISA S, E
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Herli, SHi
Staff KUA Kec. Bantargebang
1. Sejauh ini bagaimana bapak melihat pemahaman masyarakat Kec. Bantargebang tentang
pencatatan perkawinan ?
Jawab
Sejauh yang saya ketahui, bahwa masyarakat telah memahami tentang kewajiban
pencatatan perkawinan yang diberitahukan oleh pihak KUA dengan dibantu distribusi
informasinya oleh amil – amil daerah setempat dan juga P3N dan juga adanya rapat
mingguan dengan warga tentang penyuluhan perkawinan, dengan begitu maka seharusnya
masyarakat memahami betapa pentingnya perkawinan yang dicatatkan.
2. Menurut bapak, bagaimana tentang ketertiban pencatatan perkawinan yang ada di Kec.
Bantargebang?
Jawab
Sejauh ini pencatatan perkawinan di Kec. Bantargebang sudah cukup tertib hampir semua
peristiwa perkawinan yang ada di Kec. Bantargebang telah dicatatkan. Apabila kami
mendapati adanya perkawinan yang tidak dicatatkan maka hal itu bukan wewenang kami
untuk menuntut agar dicatatkan karena sesuai peraturan yang berlaku bahwa KUA hanya
mensosialisasikan saja.
3. Berapa persentase pelaksanaan perkawinan di Kec. Bantargebang yang bapak ketahui ?
Jawab
Sepengetahuan saya, bahwa dalam waktu 1 tahun terakhir telah terjadi 80 peristiwa
perkawinan dalam setiap bulannya. Namun pada 3 bulan terakhir hanya 40 peristiwa
dalam setiap bulannya.
4. Kiat apa yang dilakukan pihak KUA Kec. Bantargebang untuk penertiban pencatatan
perkawinan ?
Jawab
Dengan kami adakan rapat mingguan tentang penyuluhan perkawinan kepada warga
maka hal itu menjadi salah satu langkah sosialisasi tentang pentingnya pencatatan
perkawinan dan juga dibantu oleh RT setempat untuk informasi tentang pencatatan
perkawinan.
Bekasi, 6 April 2015
Herli, SHi
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Drs. H. Muhammad Yusup
Kepala Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang
1. Apa saja tugas bapak selaku Kepala Kantor Urusan Agama ?
Jawab
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahwa tugas kepala KUA adalah mengatur
tentang pendataan administrasi perkawinan, bidang kemasjidan, ZAWAIBSOS (zakat,
wakaf dan ibadah sosial), bidang keuangan dan ketatausahaan serta menjalankan salah
satu dari fungsi Kementerian Agama.
2. Menurut bapak, sejauh apa ketertiban pencatatan perkawinan yang ada di Kec.
Bantargebang?
Jawab
Sejauh ini pencatatan perkawinan di Kec. Bantargebang sudah cukup tertib hampir semua
peristiwa perkawinan yang ada di Kec. Bantargebang telah dicatatkan. Apabila kami
mendapati adanya perkawinan yang tidak dicatatkan maka hal itu bukan wewenang kami
untuk menuntut agar dicatatkan karena sesuai peraturan yang berlaku bahwa KUA hanya
mensosialisasikan saja. Biasanya yang terjadi apabila ada yang kami temukan bahwa
perkawinannya tidak dicatatkan itu biasa dilakukan oleh orang – orang pendatang yang
sekarang tinggal di Kec. Bantargebang. Hal itu disebabkan karena mereka tidak mau
mengikuti peraturan yang berlaku untuk administrasi kependudukan.
3. Apakah selama ini bapak mengetahui di Kec. Bantargebang terjadi perkawinan yang tidak
dicatatkan ?
Jawab
Karena saya baru 3 bulan menjabat di KUA Kec. Bantargebang, sepengetahuan saya ada
perkawinan yang belum dicatatkan dan kebanyakan itu dilakukan oleh kaum urban
(pendatang). Masyarakat yang melakukan hal ini mereka berpendapat bahwa perkawinan
yang sudah sah secara hukum agama baik syarat dan rukunnya, maka hal ini sudah cukup.
Selain doktrin seperti itu yang tumbuh di masyarakat, latar belakang pendidikan
masyarakat di Kec. Bantargebang juga rendah hampir 30% lulusan SMP, 50% lulusan
SMA dan sisanya 20 % bervariatif. Dari doktrin yang sudah melekat pada masyarakat
yang ada di Kec. Bantargebang, kami terus mengupayakan agar masyarakat menyadari
pentingnya pencatatan perkawinan karena akta nikah merupakan bukti autentik yang
sangat penting untuk digunakan suatu waktu nanti seperti dalam hal untuk mengurus
paspor keberangkatan haji dan lain sebagainya.
4. Bagaimana cara sosialisasi yang dilakukan pihak KUA tentang pentingnya pencatatan
perkawinan kepada masyarakat di Kec. Bantargebang ?
Jawab
Dengan kami adakan rapat mingguan tentang penyuluhan perkawinan kepada warga yang
biasa diadakan di hari rabu selain itu kami terus sosialisasikan melalui acara keagamaan
yang ada disini, maka hal itu menjadi salah satu langkah sosialisasi tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan juga dibantu oleh RT setempat untuk informasi tentang
pencatatan perkawinan.
5. Langkah apa yang dilakukan pihak KUA bila mendapati sebagian masyarakat Kec.
Bantargebang yang tidak mencatatkan perkawinannya ?
Jawab
Apabila kami menemukan hal tersebut, kami hanya sekedar memberikan informasi
tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Karena tidak ada pengaturan yang
menegaskan bahwa KUA akan memberikan sanksi untuk hal tersebut. Semua kami
lakukan mengikuti sesuai peraturan yang berlaku.
6. Bagaimana kerja sama yang dilakukan pihak KUA dengan tokoh ulama setempat untuk
meminimalisir perkawinan yang tidak dicatat ?
Jawab
Kami bekerja sama dengan tokoh ulama yang ada di Kec. Bantargebang melalui acara
keagamaan yang diadakan masyarakat. Selain dengan rapat mingguan yang diadakan
pihak KUA, penyuluhan juga dibantu oleh P3N dan amil – amil setempat.
Bekasi, 6 April 2015
Kepala,
Drs. H. Muhammad Yusup
NIP.1965.0713.1998.031.002
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Drs. H. Muhammad Yusup
Penghulu KUA Kec. Bantargebang
1. Menurut bapak bagaimana korelasi antara Depag dengan KUA?
Jawab
Sejauh yang saya ketahui, bahwa KUA dipayungi oleh Depag. Karena KUA merupakan
salah satu tangan dari Depag untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu
kementerian dibidang agama.
2. Bagaimana respon masyarakat di Kec. Bantargebang yang bapak ketahui tentang
pemahaman pentingnya pencatatan perkawinan ?
Jawab
Sejauh ini masyarakat di Kec. Bantargebang hampir semua sudah cukup memahami
betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan dengan adanya rapat mingguan yang
diadakan KUA, masyarakat menyambut dengan baik penyuluhan yang kami berikan.
3. Apa yang seharusnya dilakukan pihak KUA dengan tokoh masyarakat Kec. Bantargebang
untuk meminimalisir perkawinan yang tidak dicatat ?
Jawab
Tokoh masyarakat setempat ikut berperan dalam mensosialisasikan pentingnya
pencatatan perkawinan dan berusaha untuk melunturkan doktrin yang tumbuh di
masyarakat bahwa perkawinan sudah cukup sah bila mengikuti hukum islam.
Bekasi, 6 April 2015
Drs. H. Muhammad Yusup
PEDOMAN WAWANCARA
A. Identitas Responden
1. Nama : Ibu Risah Umami
2. Pendidikan Terakhir : SMA
3. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
4. Domisili : Ciketingudik
B. Pertanyaan Penelitian
1. Sudah berapa lama pernikahan ibu/bapak berlangsung?
Jawab :
Sudah cukup lama mas, kira – kira 14 tahun.
2. Dimana bapak ibu/melangsungkan pernikahan?
Jawab :
Di luar KUA mas, karena adat di daerah sini harus nikah dirumah supaya tidak
terlalu jauh. Pernikahan saya tetap dicatat di KUA dan dapat akta nikahnya.
3. Apakah ada kendala dalam melakukan pencatatan pernikahan?
Jawab :
Sebenarnya sih banyak kendala, kaya ngurus syarat – syarat buat ke KUA. Kan
selain kita ngurusin syarat juga harus ngurus untuk persiapan acara di rumah. Tapi
kita serahin urusan syarat buat KUA ke Amil, kan lewat jasa orang juga ujung –
ujungnya harus pake duit. Kalo kita urus sendiri, yah keburu kecapean waktu ntar
acara pernikahannya.
4. Apakah sepengetahuan ibu/bapak, di Kecamatan Bantargebang ada pernikahan
yang tidak dicatatkan?
Jawab :
Setahu saya sih ada, kebanyakan itu orang pendatang yang bukan asli orang
Bantargebang mas. Sekarang mereka kebanyakan pada tinggal di kelurahan
Bantargebang. Kalau dilihat dari segi ekonomi, kayanya mereka tidak bisa
ngurusin data kependudukan yang buat syarat catat nikah di KUA. Karena
semuanya kan lewat RT/RW, Amil buat bantu urus ke KUA.
5. Menurut ibu/bapak penting atau tidak pasangan suami – istri memliki akta nikah ?
Jawab :
Ya penting, soalnya nanti kan buat ngurus sekolah anak – anak juga perlu catatan
kalau kita nikah dan itu anak kita. Tapi kebanyakan karena udah males ngurus
buat syarat dicatat di KUA dan tidak punya duit buat ganti jasa Amil, akhirnya
pada nikah didepan kiyai atau ustadz aja selain gampang juga jadi sedikit
biayanya.
Bekasi, 6 April 2015
Ibu Risah
Top Related