Download - pembahasan analgetika

Transcript

Mahasiswa melakukan praktikum farmakologi dengan materi analgetik. Tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari dan mengetahui efektivitas analgetika sedian obat (paracetamol, ibuprofen, asam mefenamat, dan antalgin) pada hewan uji mencit sehingga kita dapat membandingkan daya analgetika dari obat – obat tersebut setelah mencit diberi induktor nyeri asam asetat 1 %.

Percobaan ini menggunakan metode Witkin ( Writhing Tes / Metode Geliat ), dengan prinsip yaitu memberikan asam asetat 1% (indikator nyeri) kepada mencit yang akan menimbulkan geliat ( Writhing ), sehingga dapat diamati respon mencit ketika menahan nyeri pada perut dengan cara menarik abdomen, menarik kaki kebelakang, dan membengkokan kepala ke belakang. Dengan pemberian obat analgetik (paracetamol, ibuprofen, asam mefenamat, dan antalgin) akan mengurangi respon tersebut.

Larutan stok dibuat dengan mensuspensikaan tablet paracetamol, asam mefenamat, ibuprofen, dan antalgin, karena bahan obat sukar larut di dalam air dengan suspending agent CMC Na. Digunakan konsentrasi CMC Na yang rendah 0,5% agar suspensi tidak terlalu kental sehingga mudah untuk mengambil suspensi dengan spuit jarum oral dan mudah masuk ke dalam esofagus mencit.

Pemberian obat-obat analgetik pada mencit dilakukan secara peroral,setiap mencit diberikan suspensi obat yang berbeda, sebagai kontrol negatif diberikan CMC Na, setelah obat diberikan mencit didiamkan selama 30 menit. Kemudian disuntik secara intraperitoneal dengan larutan induksi asam asetat 1 %. Pemberian dilakukan secara intraperitoneal karena memungkinkan sediaan lebih mudah diabsorbsi oleh tubuh, cepat memberikan efek, mencegah penguraian asam asetat pada jaringan fisiologik organ tertentu, serta efek merusak jaringan tubuh jika pada organ tertentu. Misalnya apabila asam asetat 1% diberikan per oral, akan merusak saluran pencernaan, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap asam.

Larutan asam asetat diberikan setelah 30 menit, ini bertujuan agar obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat 1% mencit akan menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 30 menit.

Penggunaan asam asetat sebagai induktor dalam percobaan ini karena asam asetat merupakan asam lemah yang tidak terkonjugasi dalam tubuh, pemberian sediaan asetat terhadap hewan percobaan akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin meyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata, sehingga mencit akan menggeliatkan kaki belakang saat efek dari penginduksi ini bekerja.

Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil bahwa urutan obat yang memiliki daya analgetik paling tinggi atau kuat adalah antalgin, paracetamol, ibuprofen, dan asam mefenamat. Hasil yang didapat setelah diuji dengan menggunakan tabel ANOVA yang kemudian didapat hasil “berbeda bermakna”, artinya pemberian obat analgetik yang berbeda pada hewan uji mencit akan mempengaruhi frekuensi geliat mencit, sesuai dengan efektivitas obat sebagai analgetik, yaitu antalgin > Paracetamol > ibuprofen > asam mefenamat.

Hasil untuk Asam mefenamat sudah sesuai karena obat memberikan efek analgetik yang lebih ringandisebabkan oleh sifat asam dan efek samping nyeri pada lambung. Sehingga dengan sifat dan efek sampingnya ini justru dapat meningkatkan nyeri pada lambung mencit.

Namun hasil ini juga kurang sesuai dengan teori, karena yang seharusnya memiliki efek analgetik yang lebih kuat adalah ibuprofen, karena absorbsinya lebih cepat di lambung, sementara indikator nyeri juga diberikan pada lambung.

Kemudian yang seharusnya memiliki efek analgetik yang terkuat kedua setelah ibuprofen adalah Antalgin, karena bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Dan diikuti oleh parasetamol, karena hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.

Penyimpangan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu ketika sudah 30 menit setelah pemberian analgetik, tidak segera disuntikan asam asatet sehingga efek obat analgetiknya sudah berkurang, faktor fisiologis dari mencit, yang mengalami beberapa kali percobaan sehingga kemungkinan mencit stress, Waktu penyuntikan ada larutan yang tumpah sehingga mengurangi dosis obat analgetik yang diberikan, pengambilan larutaan stock yang tidak dikocok dahulu, sehingga dosis yang diambil tiap spuit berbeda, karena larutan stock yang dibuat adalah bentuk sediaan suspensi, seharusnya dalam pengambilan dikocok terlebih dahulu, agar bahan obat yang diambil, bukan hanya larutannya.

Mekanisme kerja ibuprofen :

Ibuprofen menimbulkan efek analgesik dengan menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada system saraf pusat yang mengkatalis biosintesis prostaglandin seperti siklooksigenase sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, B., 2000).

MONOGRAFI

Pemerian : Serbuk hablur; putih hingga hampir putih; berbau khas lemah.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat (anonim, 1995).

Khasiat : Analgetik

Dosis : 400 mg tiap 4-6 jam (Charles,2009)

Analgesik adalah obat yang dapat dipergunakan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri. Pada praktikum kali ini digunakan analgesik tramadol dengan berbagai dosis yaitu 50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB. Pemberian dosis yang berbeda bertujuan untuk melihat hubungan antara dosis dengan respon yang diberikan. Berdasarkan literatur, semakin tinggi dosis makan efek terapi yang diberikan akan semakin meningkat.

Metode praktikum yang digunakan kali ini adalah metode hot plate dan metode tail flick. Metode hotplete menggunakan plat panas dengan suhu ±50˚C, mencit diletakan diatas plat panas sampai melompat atau metasakan sensasi panas dari plate tersebut. Sedangkan pada metode tail flick dilakukan dengan mencelupkan ekor mncit kedalam beker glass yang telah di isi air dan dipanaskan sebelumnya.

Berdasarkan literatur, metode hotplate lebih sensitiv memberikan sensasi panas karena pada metode hot plate bagian tubuh yang terkena rangsang panas adalah kaki. Kaki memiliki luas permukaan lebih besar dari pada bagian ekor, sehingga metode hot plate lebih sensitiv merasakan panas.

Pada metode hot plate dengan dosis 50mg/kgBB digunakan dua mencit dengan berat badan masing-masing 0.027kg dan 0.037kg. mencit pertama sebelum diberi obat kemudian diberi rangsangan memberikan respon setelah 2 detik sedangkan setelah diberi obat dan didiamkan kemudian diberi rangsang panas pada menit ke 5, 15, 30 dan 45 masing masing memberikan respon pada detik ke 3.2, 1.44, 2.54 dan 3.4 detik. Pada mencit pertama semakin lama didiamkan waktu mencit memberikan respon semakin lama, har tersebut dikarenakan obat yang mulai bekerja pada mencit tersebut. Seperti halnya pada mencit pertama, pada mencit kedua tejadi kenaikan waktu mencit dalam memberikan respon dan menurun pada menit ke 45, hal tersebut dikarenakan efek obat didalam tubuh mulai hilang sehingga mencit lebih cepat merasakan panas. Begitu pula pada dosis 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB semakin dosis dinaikan lama waktu mencit menjentikan ekornya semakin lama, mencit pertama dengan dosis 100mg/kgBB waktu memberikan respon naik turun pada setiap waktu pengamatan. Hal tersebut karena kesalahan praktikan dalam meletakan mencit diatas plat panas, kesalahan dalam menghitung waktu dan karena mencit yang digunakan hiper aktif sehingga ketika mencit bergerak dianggap sudah memberikan respon panas.

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangan memengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau pemperhebatnya, tetapi dapat menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan rangsangan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-45oC.

Mediator nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, a.l histamin, bradikin, leukotrien dan prostaglandin.

Analgetk atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetik dibagi dalam dua kelompok besar, yakni:

Analgetika perifer (non-narkotik)

Analgesik perifer merintangi terbentuknya rangsangan reseptor nyeri perifer, yang terdiri dari obat-obat yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika anti radang termasuk dalam kelompok ini. Secara kimiawi analgetik analgetik perifer dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yakni:

Parasetamol

Salisilat: asetosal, salisilamida dan benorilat

Penghambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen,dll

Devirat-antranilat: mefenaminat, glafenin

Devirat-pirazolinon: propifenazon, isoprofilaminofenazon dan metamizol.

Lainnya: benzidamin (tantum)

Analgetik opioid (narkotik)

Analgetik narkotik adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya µ reseptor). Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikuragi). Daya kerjanya diantagonir oleh a.l nalokson. Minimal ada 4 jenis reseptor yang pengikatan padanya menimbulkan analgesia. Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, yakni zat-zat endofirin, yang juga bekerja melalui reseptor-reseptor tersebut.

Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat digolongkan dalam 3 kelompok,yakni:

Agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:

Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nikromorfin.

Zat-zat sintesis: metadon dan derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.

Cara kerja obat ini sama dengan morfin, hanya brlainan mengenai potensi dan lama kerjanya, efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.

Antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin (temgesik). Bila digunakan sebagai analgetikum, obat-obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.

Campuran: nalorfin, nalbufin (nubain). Zat-zai ini dengan kerja campuran juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak tahu hanya sedikit mengaktivasi daya kerjanya. Kurva dosis atau efeknya memperlihatkan plafon, sesudah dosis tertentu peningkatan dosis tidak memperbesar lagi efek analgetiknya. Praktis tidak menimbulkan dpresi pernapasan.

Undang-undang narkotika diberbagai negara, beberapa unsur dari kelompok obat seperti propoksifen, pentazosin dan tramadol tidak termasuk dalam undang-undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun peggunaannya dalam waktu lama tidak dianjurkan.

WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri hebat, seperti pada kanker, yang menggolongkan obat dalam tiga kelas, yakni:

Non-opioida: NSAID’s, termasuk asetosal, parasetamol dan kodein

Opioida lemah: d-propoksifen, tramadol dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan kodein.

Opioida kuat: morfin dan derivatnya (heroin) serta opioida sentesis.

Menurut program pengobatan ini pertama-tama diberikan 4 dd 1 g paracetamol,bila efeknya kurang, beralih ke 4-6 dd parasetamol-kodein 30-60mg. Baru bila langkah kedua ini tidak menghasilkan analgesik yang memuaskan, dapat diberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin (oral, subkutan kontinu, intravena, epidural atau spinal). Tujuan utama dari program ini adalah ntuk menghindarkan resiko kebiasaan dn adiksi untuk opioida, bila diberikan sembarangan.

Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor µ yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan nonepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektif

dengan morfin atau meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah.Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.

Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kuran dari pada dosis ekuivalen kodein. Tramadol dapat menyebabkan konvlusi atau menyebabkan kambuhnya serangan konvlusi. Depresi nafas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi penggunaan nalokson meningkatkan resiko konvlusi. Analgesia yang ditimbulkan tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson. Ketergantungan fisik terhadap tramadol dan penyalahgunaan dilaporkan dapat terjadi. Meskipun pitensi penyalahgunaan tidak/ belum jelas, sebaiknya tramadol dihindarkan pasa pasien dengan sejarah adiksi. Karena efek inhibisinya terhadap ambilan serotonin, tramadol sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang menggunakan penghambat monoamin-oksidase (MAO).

Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).

Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan percobaan mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003).

Pada metode geliat, mekanisme aksi stimulus nyeri berdasarkan pada produksi nyeri yang disebabkan oleh cairan tubuh.

ü Pelepasan cairan tubuh kedalam peritoneum, dapat menyebabkan rasa nyeri yang parah.Hal ini disebabkan bahwa bagian parietal dari rongga peritoneum sangat sensitif terhadap stimulus fisik dan kimiawi, walaupun tanpa efek inflamasi.

ü Pelepasan cairan gastik ke dalam pefarasi gastrik atau duodedunum atau kebocoran dari kantong empedu, cairan pankreas atau urin kedalam rongga peritoneum dapat berakibat rasa nyeri yang parah.

ü Cairan gastrik dapat menyebabkan rasa nyeri yang parah apabila ekspose dengan ujung syaraf sensoris lida pada kulit, rasa nyeri ini akibat sifat keasaman dengan ph ≤3.Rasa nyeri pada ulser peptik terutama disebabkan oleh asam HCl.

ü Urin dapat menyebabkan rasa nyeri, sebagai akibat dari sifat hipertoniknya atau disebabkan oleh kandungan campuran buffer natrium fosfat serta ion kalium.

ü Nyeri akibat cairan pankreas disebabkan oleh kandungan tripsin dan kalikerin.

Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering dialami meskipun nyeri sendiri dapat berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45 derajat celcius. Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung- ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neurondengan sangat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum lanjutan dan otak tengah.Dari thalamus implus kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, di mana implus dirangsangkan sebagai nyeri.

Resptor nyeri (nosiseptor) rangsangan nyeri diterima oleh reseptor nyeri khusus, yang merupakan ujung saraf bebas. Karena ujung saraf bebas juga dapat menerima rangsang sensasi lain, maka kespesifikan fungsional mungkin berkaitan dengan deferensiasi pada tahap molekul yang tidak dapat diketahui dengan pengamatan cahaya dan elektronoptik.

Secara fungsional dibedakan dua jenis reseptor, yang dapat menyusun dua sistem serabut berbeda :

1. Mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-dalta bermielin

2. Termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tak bermielin

Mediator nyeri penting adalah anti histamin yang bertanggungjawab untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokon striksi, pengembang mukosa, pruritus, dan nyeri). Bradykinin adalah polipeptida (rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein plasma.Prostaglandin mirip stukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat.

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tan hoan,1964, hal.295).

Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering.Walaupun sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dankarena itu berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit luar mukosa yang membatasi jaringan dan juga banyak organ dalam bagian luar tubuh peka terhadap rasa nyeri,tetapi ternyata terdapat juga organ yang tak mempunyai reseptor nyeri, seperti misalnya otak.Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri)dan karena itumenyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri (Mutschler,1999).

Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang,

sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007).

Mediator nyeri penting adalah amin histamine yang bertanggungjawab untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradikinin adalah polipeptida (rangkaian asam amino)yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat. Menurut perkiraan zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujung-saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat ini berkhasiat vasodilatasi kuat dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang dan udema. Berhubung kerjanya serta inaktivasinya pesat dan bersifat local, maka juga dinamakan hormon lokal. Mungkin sekali zat-zat ini juga bekerja sebagai mediator demam (Collins,et.al., 2000).

Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasanyeri merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan jaringan khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai. Untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri (Green, 2009).

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak yang berkaitandengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan yakni pada 44-45ºC. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya meruapakan suatu gejala, yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai suatu isyarat bahaya tentang adanya ganggguan di jaringan, seperti peradangan (rema,encok ), infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis(kalor, listrik ), dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan.

Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentuyang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dikulit, mukosa, dan jarigan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan danorgan tubuh, kecuali di system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tan Hoan,1964, hal.296).

Mediator nyeri yang lain, disebut juga sebagai autakoid antara lain serotonin,histamine, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin 2. Bradikinin merupakan polipeptida (rangkaian asam amino) yang diberikan dari protein plasma. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkatan (level) dimana nyeri dirasakan untuk yang pertama kali. Jadi, intesitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Medicafarma, 2008).

Adapun jenis nyeri beserta terapinya, yaitu (Medicafarma,2008):

a. Nyeri ringan

Contohnya: sakit gigi, sakit kepala, sakit otot karena infeksi virus, nyeri haid,keseleo. Pada nyeri dapat digunakan analgetik perifer seperti parasetamol, asetosaldan glafenin.

b. Rasa nyeri menahun

Contohnya: rheumatic dan arthritis. Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik anti-inflamasi, seperti:asetosal, ibuprofendan indometasin.

c. Nyeri hebat

Contoh: nyeri organ dalam, lambung, usus, batu ginjal, batu empedu. Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik sentral berupa atropine, butilskopolamin(bustopan), camylofen ( ascavan).

d. Nyeri hebat menahun

Contoh: kanker, rheumatic, neuralgia berat. Pada nyeri ini digunakan analgetik narkotik, seperti fentanil, dekstromoramida, bezitramida.

Penanganan rasa nyeri Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapacara,yakni (Tan Hoan,1964, hal.296):

Merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri pada perifer dengan analgetika perifer .

Merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika local.

Blockade pusat nyeri di ssp dengan analgetika sentral (narkotika) atau dengan anestetika umum.

Atas dasar kerja farmakologinya, analgetika dibagi dalam dua kelompok yaitu(Tan Hoan,1964, hal.296):

1. Analgetika perifer (non-narkotik ), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral, Seperti golongan salisilat seperti aspirin, golongan para amino fenol seperti paracetamol, dan golongan lainnya seperti ibuprofen, asam mefenamat, naproksen/naproxen dll.

2. Analgetik narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti padafractura dan kanker .Analgesik opioid / analgesik narkotika Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.

Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Medicastore,2006).

Ada 3 golongan obat ini yaitu(Medicastore,2006):

¬ Obat yang berasal dari opium-morfin

¬ Senyawa semisintetik morfin

¬ Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

Mekanisme kerja obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, dan beberapa obat memiliki perbedaan secara kimia. Namun, obat-obat NSAID mempunyai banyak persamaan dalam efek terapi dan efek sampingnya.

Prototipe obat golongan ini adalah aspirin,sehingga sering disebut juga sebagai aspirin like drugs. Efek terapi dan efek sampingdari obat golongan NSAIDs sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis prostaglandin. Namun, obat golongan NSAIDs secara umum tidak menghambat biosintesis

leukotrien yang berperan dalam peradangan. Golongan obat NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklo-oksigenase, sehingga dapat mengganggu perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin. Setiap obat menghambat enzimsiklo-oksigenase dengan cara yang berbeda(Ian Tanu,1972, hal.231).

Parasetamol dapat menghambat biosintesis prostaglandin apabila lingkungannya mempunyai kadar peroksida yang rendah seperti di hipotalamus, sehingga parasetamol mempunyai efek anti-inflamasi yang rendah karena lokasi peradangan biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit(Ian Tanu,1972, hal.231).

Aspirin dapat menghambat biosintesis prostaglandin dengan cara mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim siklo-oksigenase. Thrombosit sangat rentan terhadap penghambatan enzim siklo-oksigenase karena thrombosit tidak mampu mengadakan regenerasi enzim siklo-oksigenase(Ian Tanu,1972, hal.231).

Semua obat golongan NSAIDs bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi. Efek samping obat golongan NSAIDs didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis prostaglandin. Selain itu, sebagian besar obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti di lambung, ginjal, dan jaringan inflamasi. Efek samping lain diantaranya adalah gangguan fungsi thrombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat terjadinya perpanjangan waktu perdarahan. Namun, efek ini telah dimanfaatkan untuk terapi terhadap thrombo-emboli(Gunawan, 2009).

Selain itu, efek samping lain diantaranya adalah ulkuslambung dan perdarahan saluran cerna, hal ini disebabkan oleh adanya iritasi akibat hambatan biosintesis prostaglandin PGE2 dan prostacyclin. PGE2 dan PGI2 banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi untuk menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektan (IanTanu,1972,hal.231).

Contoh obat analgesic dan antipiretik(Junaidi, 2009, hal.270-277).:

1. Aspirin/asam asetil salisilat

Indikasi:meringankan sakit kepala, pusing, sakit gigi, nyeri otot, menurunkan demam.Dosis: dewasa 500-600 mg/4jam. Sehari maksimum 4 gram. Anak-anak 2-3 tahun 80-90 mg, 4-5 tahun160-240 mg,6-8 tahun 240-320 mg, 9-10 tahun 320-400 mg, >11tahun 400-480 mg. Semua diberikan tiap 4 jam setelah makan. Kontraindikasi: ulkus peptikum, kelainan perdarahan, asma. Efek samping: gangguan gastrointestinal, pusing, reaksi hipersensitif .

2. Asam mefenamat sebagai analgetik, obat ini adalah satu-satunya yang mempunyai kerja yang baik pada pusat sakit dan saraf perifer. Asam mefenamat cepat diserapdan konsentrasi puncak dalam darah dicapai dalam 2 jam setelah pemberian, dan diekskresikan melalui urin. Indikasi: untuk mengatasi rasa sakit dan nyeri yang ditimbulkan dari rematik akutdan kronis,luka pada jaringan lunak, pegal pada otot dansendi,dismonore, sakit kepala, sakit gigi, setelah operasi dll. Dosis: sebaiknya diberikan sewaktu makan, dan pemakaian tidak boleh lebih dari 7 hari.Anak-anak >6 bulan: 3-6,5mg/kgBB tiap 6 jam atau 4 kali perhari. Dewasa dan anak >14tahun:dosisi awal 500 mg,kemudian 250mg setiap 6 jam. Kontraindikasi: kepekaan terhadap asam mefenamat, radang atau tukak padasaluran pencernaan. Efek samping: dapat mengiritasi system pencernaan,dan mengakibatkan konstipasiatau diare.

3. Parasetamol diserap dengan cepat dan tanpa menimbulkan iritasi disaluran pencernaan, methemoglobin, atau konstipasi. Indikasi: menghilangkan demam dan rasa nyeri pada otot/sendi yang

menyertai influenza, vaksinasi dan akibat infelsi lain, sakit kepala, sakitgigi, dismonere, artritis, dan rematik . Dosis: tablet =anak-anak :0,5-1tab 3-4kali perhari,dewasa:1-2tab 3-4kali perhari Sirup=bayi 0,25-0,5sdt 3-4kali perhari,anak-anak :2-5tahun,1sdt 3-4kali perhari.6-12 tahun, 2sdt 3-4kali perhari. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik .Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Dalam sediaannya sering dikombinasi dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektivitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya (Medicastore,2006).

Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan kali ini adalah mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan daya analgetika dari obat parasetamol berdasarkan perbedaan jumlah dosis pemberian menggunakan metode rangsang kimia. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia digunakan berdasarkan atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika.

Percobaan menggunakan metode rangsangan kimia yang ditujukan untuk melihat respon mencit terhadap Steril Asam Asetat (SSA) 1% yang dapat menimbulkan respon menggeliat dan menarik kaki ke belakang dari mencit ketika menahan nyeri pada perut. Pada percobaan kali ini menggunakan SSA yang berfungsi sebagai induksi nyeri dan mencit yang digunakan dalam percobaan sebanyak 5 ekor.

Langkah pertama yang dilakukan adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap mencit. Mencit pertama berlaku sebagai control yang diberikan larutan CMC 1% secara per oral sebanyak 0.5 ml. Mencit kedua dan ketiga diberikan larutan parasetamol dalam CMC 1% sebanyak 0.5 ml serta mencit keempat dan kelima diberikan larutan parasetamol dalam CMC 1% sebanyak 1 ml. Setelah 5 menit masing-masing mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan larutan induksi Steril Asam Asetat 1 % sebanyak 1 ml. Pemberian dilakukan secara intraperitoneal karena untuk mencegah penguraian steril asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran steril asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap pengaruh asam.

Larutan steril asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui bahwa obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan steril asam asetat 1 % mencit akan menggeliat dengan ditandai dengan kejang perut dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap selang waktu 5 menit selama 30 menit. Pengamatan yang dilakukan agak rumit karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit.

Parasetamol adalah obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 15.28 %, dimana Parasetamol yang merupakan derivat-asetanilida adalah metabolit dari fenasetin. Parasetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik. Umumnya parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).

Pada mencit yang diperlakukan sebagai control, tercatat jumlah akumulasi geliat selama 30 menit adalah sebanyak 72 kali. Pada mencit kedua dan ketiga yang diberikan larutan parasetamol dengan

dosis 0.5 ml terhitung jumlah akumulasi geliat adalah sebanyak 40 kali. Dan pada mencit keempat dan kelima yang diberikan larutan parasetamol dengan dosis 1 ml terhitung jumlah akumulasi geliat adalah sebanyak 21 kali.

Dari data percobaan tersebut, diketahui bahwa pada pemberian parasetamol dengan dosis 0.5 ml menghasilkan lebih banyak geliat pada mencit daripada dosis 1 ml. Hal ini berarti pada dosis yang lebih tinggi, parasetamol dapat lebih efektif dalam mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh rangsangan kimia.

Dalam praktikum kali ini, ada kemungkinan data yang didapatkan kurang valid. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain faktor penyuntikan yang salah atau kurang tepat sehingga volume obat yang disuntikan tidak tepat. Dapat juga dikarenakan faktor fisiologis dari mencit, mengingat hewan percobaan ini telah mengalami percobaan sebelumnya sehingga dapat terjadi kemungkinan hewan percobaan yang stress dan juga kelelahan. Penyimpangan pengambilan data juga dapat terjadi karena pengamatan praktikan yang kurang seksama sehingga ada data geliat mencit yang mungkin terlewat tidak diamati. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi hasil dan perhitungan yang dibuat.