PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SAPI POTONG UNTUK MENGURANGI PENCEMARAN LINGKUNGAN
Latar Belakang
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut
meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur,
lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000). Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe
usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah
ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak
ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang
dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging
sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).
Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia
menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang
bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per
tahun dan terus meningkat (Suryahadi dkk., 2002). Pada peternakan di Amerika Serikat,
limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau
100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor
sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari (Dyer,
1986). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan
mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di Indonesia, emisi metan
per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang
diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi
produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong
kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai
pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat
badannya 5000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3
air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu
sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 %
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat,
sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur
lalat (Dyer, 1986).
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu
dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang
paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000
mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di
lingkungan (3000 mg/m3) (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya
kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik,
dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai
akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil
proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian Wibowomoekti (1997) dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung,
Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang
disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria
kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya
saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat
tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus
anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba
Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).
Dampak limbah ternak memerlukan penanganan yang serius. Skema berikut ini (Gambar 1)
memberi gambaran akibat yang ditimbulkan oleh limbah secara umum dan manajemennya
(Chantalakhana dan Skunmun, 2002).
Penanganan Limbah Ternak
Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana
pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan
limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan
atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini
akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang
dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira
terlihat kering.
Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik
disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah
dan termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya
digunakan untuk memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan
yang termasuk dalam pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang
bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini
umumnya digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam
limbah cair menjadi padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi,
flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan
organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan
organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung
digunakan atau didahului denghan pengolahan secara fisik (Sugiharto, 1987).
Beberapa cara penanganan limbah ternak sudah diterapkan (Chung, 1988) di antaranya :
• Solid Liquid Separator. Pada cara ini penurunan BOD dan SS masing-masing sebesar 15-
30% dan 40-60%. Limbah padat setelah separasi masih memiliki kandungan air 70-80%.
Normalnya, kompos mempunyai kandungan uap air yang kurang dari 65%, sehingga jerami
atau sekam padi dapat ditambahkan. Setelah 40-60 hari, kompos telah terfermentasi dan
lebih stabil.
• Red Mud Plastic Separator (RMP). RMP adalah PVC yang diisi dengan limbah lumpur merah
(Red Mud) dari industri aluminium. RMP tahan pada erosi oleh asam, alkalis atau larutan
garam. Satu laporan mengklaim bahwa material RMP dengan tebal 1,2 mm dapat digunakan
sekitar 20 tahun. Bila limbah hog dipisahkan dengan menggunakan separator liquid, bagian
cair akan mengalir ke dalam digester anaerobik pada kantong RMP. Pada suatu seri
percobaan di Lembaga Penelitian Ternak Taiwan, didapatkan bahwa ukuran optimum
kantong dihitung dengan mengalikan jumlah hogs dengan 0,5 m3. Pada suhu ambien di
Taiwan, jika waktu penyimpanan hidrolik selama 12 hari, BOD biasanya turun menjadi 70-
85% dan kandungan SS menjadi 80-90%.
• Aerobic Treatment. Perlakuan limbah hog pada separator liquid-solid dan RMP bag digestor
biasanya cukup untuk menemukan standart sanitasi. Jika tidak, aliran (effluent) selanjutnya
dilakukan secara aerobik. Perlakuan aerobik meliputi aktivasi sludge, parit oksidasi, dan
kolam aerobik. Rata-rata BOD dan SS dari effluent setelah perlakuan adalah sekitar 200-800
ppm. Setelah perlakuan aerobik, BOD dan SS akan turun pada level standar yang memenuhi
standart dari kumpulan air limbah oleh aturan pencegahan polusi air. BOD maksimum air
limbah dari suatu peternakan besar dengan lebih dari 1000 ekor babi adalah 200 ppm,
sedangkan untuk peternakan kecil BOD yang diijinkan 400 ppm.
Pemanfaatan Limbah Ternak
Pelbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat
diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau
zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat
makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral,
mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat
dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media pelbagai
tujuan (Sihombing, 2002).
Limbah Ternak Sebagai Bahan Pakan dan Media Tumbuh
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN,
vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan
esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun
didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak
sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah
banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi
secara anaerob (Prior et al., 1986).
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan
biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti
feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% +
isi rumen 50% (Farida, 2000).
Limbah Ternak Sebagai Penghasil Gasbio
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan
menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang
dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk
menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan
khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu
pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup
tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa,
18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen,
27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil
fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas
metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor
yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %)
mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak
1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan
lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure),
kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam
telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh
memuaskan (Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio
antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak
dengan sisa pertanian
Jenis Gas Kotoran Sapi Campuran Kotoran Ternak dan Sisa Pertanian
Metan (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Nitrogen (N2)
Karbonmonoksida (CO)
Oksigen (O2)
Propen (C3H8)
Hidrogen sulfida (H2S)
Nilai kalor (kkal/m3) 65.7
Pengolahan Limbah Ternak Menjadi Biogas
Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha
peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan
manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan,
menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu penyumbang emisi gas efek
rumah kaca. Pada umumnya limbah peternakan hanya digunakan untuk pembuatan pupuk
organik. Untuk itu sudah selayaknya perlu adanya usaha pengolahan limbah peternakan
menjadi suatu produk yang bisa dimanfaatkan manusia dan bersifat ramah lingkungan.
Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu digalakkan
karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi. Pengolahan
limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada
bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas, mengurangi pencemaran lingkungan dan
menjadikan peluang usaha bagi peternak karena produknya terutama pupuk kandang
banyak dibutuhkan masyarakat.
Adanya penggantian bahan bakar minyak ke gas, maka diperlukan gas yang lebih banyak.
Karena persediaan minyak tanah semakin menipis dan harganya mahal, masyarakat banyak
menggunakan kompor gas, oleh karna itu gas semakin banyak diperlukan. Dengan itu
muncullah ide-ide atau alternatif-alternatif lainnya guna mencukupi kebutuhan akan gas.
Untuk itu kita dapat melakukan usaha seperti pengelolaan lingkungan hidup salah satunya
yaitu,dengan pengelolaan limbah ternak menjadi biogas. Dimana pada saat ini biogas
sangat diperlukan bagi masyarakat.
TUJUAN Siswa dapat dengan langsung melihat pengelolaan lingkungan hidup di bidang
limbah
Siswa dapat mengetahui secara langsung proses atau pembuatan biogas dari
berbentuk kotoran hingga menjadi gas.
Siswa dapat berkunjung langsung ke tempat pembuatan biogas.
Siswa dapat memperoleh pengalaman dan pelajaran untuk memanfaatkan limbah
menjadi sesuatu yang berguna
Metode Penulisan1. Metode PenelitianMetode pengkajian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan tipe
penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif
2. Subjek PenelitianLokasi penelitian di lakukan di Kalangbret.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi
Informasi diperoleh dari pemilik peternakan.lalu selebaran yang diberikan oleh guru PLH4. Pengolahan Data dan InformasIData dan informasi diolah dengan membandingkan dan mempertentangkan hal-hal yang ekstrim dan
memilih kunci-kunci perbedaan yang muncul dalam setiap kategori.
5. Pengambilan SimpulanKesimpulan diambil setelah mengintegrasikan semua temuan data dengan interpretasi peneliti dan konsep-
konsep kunci dalam draft atau format yang berbeda atau lain
6. Perumusan Saran dan RekomendasiSaran dan rekomendasi dirumuskan dengan merujuk pada kesimpulan yang dibuat
berdasarkan analisis data dan informasi.
Biogas dari Limbah Peternakan SapiLimbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan salah satu
sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Namun di sisi lain
perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi
lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan termasuknya didalamnya limbah
peternakan sapi. Limbah ini menjadi polutan karena dekomposisi kotoran ternak berupa
BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri patogen sehingga
menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air permukaan), polusi udara
dengan debu dan bau yang ditimbulkannya.
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk
menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam
(Houdkova et.al., 2008). Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang didefinisikan
sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran
manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami
proses metanisasi. Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma
kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi
lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta
(1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada
tahun 1806. Dan Becham (1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang
pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan.Gas ini
berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia,
kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion
(Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena mengandung
gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi.
Komponen penyusun biogas
Jenis Gas Persentase
Metan (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Air (H2O)
Hidrogen sulfide (H2S)
Nitrogen (N2)
Hidrogen
50-70%
30-40%
0,3%
Sedikit sekali
1- 2%
5-10%
Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60 –
100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan dengan bahan
bakar lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan
Aplikasi 1m3 Biogas setara dengan
1 m3 biogas Elpiji 0,46 kg
Minyak tanah 0,62 liter
Minyak solar 0,52 liter
Kayu bakar 3,50 kg
Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab
kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair dan
padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat mengurangi penggunaan kayu
bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga ekosistem
hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap.
Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas peternakan
ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan dunia peternakan sapi di
Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied
Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar
telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif yang murah, berkelanjutan dan
ramah lingkungan (Nurhasanah dkk., 2006).
Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di
Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil menjadi
skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu, peternakan
sapi pedaging melalui kemitraan dengan perkebunaan kelapa sawit dan sebagainya.
Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara kontinyu dalam jumlah yang
cukup untuk memproduksi biogas.
Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas mendukung
konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan
dapat dicapai.
Beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas sebagai berikut
:
1. Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara
(bau).
2. Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat
digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.
3. Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan
rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.
4. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas untuk
menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum memiliki akses
listrik.
5. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya kegiatan ini
sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development
Mechanism).
Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi BiogasPengolahan limbah peternakan sapi menjadi biogas pada prinsipnya menggunakan metode
dan peralatan yang sama dengan pengolahan biogas dari biomassa yang lain. Adapun alat
penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-
19, riset untuk menjadikan gas metan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis
pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan
Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk
menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya yang
murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di
negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia
selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad
ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan
Papua Nugini telah melakukan berbagai riset dan pengembangan alat penghasil biogas.
Selain di negara berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju
seperti Jerman.
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi
(pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri metan
sehingga dihasilkan gas metan (Nandiyanto, 2007). Menurut Haryati (2006), proses
pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses pemecahan
bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa
udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik,
seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga. Gas metan adalah
gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas
metan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan
organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah
yang sebagian besar terdiri dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman,
seperti jerami dan sebagainya serta air yang cukup banyak.
Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur, keasaman
juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada temperatur sekitar 32 –
35°C atau 50 – 55°C dan pH antara 6,8 – 8 . Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah
bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas.
Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga memberikan beberapa
keuntungan lain yaitu menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid, nitrogen
nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan patogen lainnya, telur insek, parasit, dan
bau.
Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses
pemecahan bahan organik oleh aktifitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada
kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung
bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga.
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:
1. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan
pemecahan bahan organik yang komplek menjadi sederhana dengan bantuan air
(perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer).
2. Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang
terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri
pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana tadi yaitu
asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas
karbondioksida, hidrogen dan ammonia.
3. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan.
Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini yang akan mereduksi sulfat
dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida.
Jika dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry)
dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan
pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD =
0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N (1,45%), P (1,10%) dan K
(1,10%) (Widodo dkk., 2006). Berdasarkan hasil penelitian, hasil samping pupuk ini
mengandung lebih sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah,
terutama untuk konsumsi segar.
Saat ini berbagai jenis bahan dan ukuran peralatan biogas telah dikembangkan sehingga
dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan pengelolaan kotoran
ternak. Peralatan dan proses pengolahan dan pemanfaatan biogas ditampilkan pada gambar
berikut.
Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass atau semen,
sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 – 35 m3. Biogas dengan ukuran terkecil dapat
dioperasikan dengan kotoran ternak 3 ekor sapi.
Cara Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri Bioenergi
Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian tahun 2009 sebagai berikut :
1. Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan biogas).
2. Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang pengisian (inlet) hingga
bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit yang keluar melalui lubang
pengeluaran (outlet), selanjutnya akan berlangsung proses produksi biogas di
dalam digester.
3. Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester sudah cukup
banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan plastik,
penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras karena adanya
biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar,
kompor biogas dapat dioperasikan.
4. Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak
kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan biogas berupa sludge
secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet) setiap kali dilakukan
pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas tersebut dapat
digunakan sebagai pupuk kandang/pupuk organik, baik dalam keadaan basah
maupun kering.
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan
langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas biogas,
penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain sebagainya.
Untuk memanfaatkan kotoran ternak sapi menjadi biogas, diperlukan beberapa syarat yang
terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya manusia. Bila
faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas sebagai
penyediaan energi di pedesaan dapat berjalan dengan optimal.
Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi optimasi pemanfaatan kotoran ternak
sapi menjadi biogas yaitu:
1. Ketersediaan ternak
Jenis jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi pengembangan
biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan kotoran ternak. Kotoran
ternak yang dapat diproses menjadi biogas berasal dari ternak ruminansia dan non
ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan babi; serta unggas.
Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya. Untuk menjalankan biogas
skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran ternak dari 3 ekor sapi, atau 7 ekor
babi, atau 400 ekor ayam.
2. Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan kapasitas
biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga terkecil dapat
dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7 ekor babi atau 400
ekor ayam. Bila ternak yang dimiliki lebih dari jumlah tersebut, maka dapat dipilihkan biogas
dengan kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen) atau beberapa biogas skala
rumah tangga.
3. Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal. Kotoran
ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara dikandangkan
dibandingkan dengan cara digembalakan.
4. Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang luasannya bergantung
pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk membangun biogas skala
terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7m x 2m). Sedangkan skala komunal terkecil
membutuhkan lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).
5. Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari peternak/pengelola
itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi optimal bila pengisian kotoran
ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta dilakukan perawatan peralatannya.
Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas disebabkan
karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; kedua,
peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena
memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.
6. Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat cair kotoran ternak
yang sesuai untuk menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan kotoran, dan pengangkutan
atau pengaliran kotoran ternak ke dalam raktor.
Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi padat
cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 2. Pada peternakan sapi perah komposisi padat cair
kotoran ternak biasanya telah sesuai, namun pada peternakan sapi potong perlu
penambahan air agar komposisinya menjadi sesuai.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari atau setiap 2 hari sekali
tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan sarana penunjang yang dimiliki.
Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan secara manual dengan cara diangkut atau melalui
saluran.
7. Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan menghasilkan gas yang
dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian, kebutuhan peternak akan energi dari
sumber biogas harus menjadi salah satu faktor yang utama. Hal ini mengingat, bila energi
lain berupa listrik, minyak tanah atau kayu bakar mudah, murah dan tersedia dengan cukup
di lingkungan peternak, maka energi yang bersumber dari biogas tidak menarik untuk
dimanfaatkan.Bila energi dari sumber lain tersedia, peternak dapat diarahkan untuk
mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos atau kompos cacing (kascing).
8. Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak,
menyalakan petromak, menjalankan generator listrik, mesin penghangat telur/ungas dll.
Selain itu air panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi
perah.Pemanfaatan energi ini dapat optimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor
biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan dijangkau
instalasi penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi biogas dilakukan di
rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.
9. Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi pupuk cair
atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya relatif sederhana yaitu untuk pupuk cair
dilakukan fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar unsur haranya dapat lebih baik,
sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil samping biogas perlu dikurangi kandungan
airnya dengan cara diendapkan, disaring atau dijemur.
Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri atau dijual kepada kelompok tani
setempat dan menjadi sumber tambahan pandapatan bagi peternak.
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air/drainase, air dan
peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah operasional dan perawatan instalasi
biogas. Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang ke
reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air digunakan untuk
membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat komposisi padat cair
kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan kerja digunakan untuk
mempermudah/meringankan pekerjaan/perawatan instalasi biogas.
Potensi Pengembangan Biogas dari Limbah Peternakan Sapi di Indonesia
Pada umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata- rata 2 – 5 ekor sapi dengan
lokasi yang tersebar tidak berkelompok. Sehingga penanganan limbahnya baik itu limbah
padat, cair maupun gas seperti feses dan urin maupun sisa pakan dibuang ke lingkungan
sehingga menyebabkan pencemaran. Pengolahan limbah secara sederhana hanya dengan
pemanfaatannya sebagai pupuk organik. (Deptan, 2006)
Diketahui sapi dengan bobot 450 kg menghasilkan limbah berupa feses dan urin lebih
kurang 25 kg per hari (Deptan, 2006). Dan apabila tidak dilakukan penanganan secara baik
maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air serta
penyebaran penyakit menular. Sehingga sangat diperlukan usaha untuk mengurangi
dampak negatif dari kegiatan peternakan sapi salah satunya dengan melakukan
penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan melalui biogas.
Hasil biogas dari rata 3 – 5 ekor sapi tersebut setara dengan 1-2 liter minyak tanah/hari
(Deptan, 2006). Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya menggunakan
minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak tanah 1-2 liter/hari.
Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif sangat memungkinkan untuk
diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga bahan bakar minyak yang makin
mahal dan kadang-kadang langka keberadaannya. Besarnya potensi Limbah biomassa
padat di seluruh Indonesia seperti kayu dari kegiatan industri pengolahan hutan, pertanian
dan perkebunan; limbah kotoran hewan, misalnya kotoran sapi, kerbau, kuda, dan babi juga
dijumpai di seluruh provinsi Indonesia dengan kualitas yang berbeda-beda.
Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana saja selama tersedia
limbah yang akan diolah dan cukup air. Di negara maju perkembangan teknologi biogas
sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya. Untuk kondisi di Indonesia, teknologi
biogas dapat dibangun dengan kepemilikan kolektif dan dipelihara secara bersama. Seperti
yang dicanangkan oleh Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui program Pengembangan
Biogas Ternak bersama Masyarakat (BATAMAS) yang dimulai pada tahun 2006.
Beberapa alasan mengapa biogas belum popular penggunaannya di kalangan peternak atau
kalaupun sudah ada banyak yang tidak lagi beroperasi, yaitu kurang sosialisasi, teknologi
yang diterapkan kurang praktis dan perlu pemeliharaan yang seksama dan kurangnya
pengetahuan para petani tentang pemeliharaan digester.
Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang sederhana dengan
bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga dapat diperoleh dari air
buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, babi; sampah organik dari
pasar, industri makanan dan sebagainya.
Disamping itu, usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah peternakan
cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang
dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi
biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata merah,
industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air dan sebagainya. Sehingga
pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat
menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan hasil
pertanian dapat memberikanmultiple effect dan dapat menjadi penggerak dinamika
pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan nilai
tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-produk olahan yang di proses
dengan menggunaan green energy.
PRAKTIS
MANAJEMEN UMUM LIMBAH TERNAK
UNTUK KOMPOS DAN BIOGAS
Penyusun :
Kaharudin
Farida Sukmawati M
Penyunting:
Tanda Sahat Panjaitan
Ahmad Muzani
KEMENTERIAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN NTB
2010Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala Rahmat dan HidayahNya dengan tersusunnya
buku ”Manajemen Umum Limbah Ternak Untuk Kompos
dan Biogas”.
Buku petunjuk praktis ini merupakan satu dari
sepuluh seri buku petunjuk praktis yang diterbitkan Balai
Pengkajian Teknologi Peternakan Nusa Tenggara Barat
(BPTP-NTB) dalam upayanya mendukung program
swasembada daging sapi 2014.
Buku ini mengurai secara praktis dan sederhana
manajemen limbah untuk kompos dan biogas sehingga
mudah dipahami para pengguna dalam hal ini sarjana
membangun desa dan kelompok petani ternak binaannya
maupun pegiat peternakan sapi lainnya. Buku ini diterbitkan
atas biaya dari dana kegiatan pendampingan program
swasembada daging sapi BPTP-NTB tahun anggaran 2010.
Kepada tenaga peneliti dan penyuluh dari kelompok
pengkaji peternakan yang sudah menyusun buku petunjuk
praktis ini diucapkan penghargaan dan terimakasih.
Diharapkan buku ini dapat memberikan manfaat terutama
bagi tenaga SMD bersama kelompoknya.
Mataram, Juni 2010.
Kepala Balai,
Dr Ir. Dwi Praptomo S, MSPetunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
iv
DAFTAR ISI
JUDUL ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
Daftar Gambar v
PENDAHULUAN ............................................. 1
POTENSI LIMBAH TERNAK ........................................ 3
KOMPOS ................................................................ 6
BIOGAS ................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKAPetunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Limbah ternak sapi feses dan uri dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan kompos,
biogas dan biourine (pupuk organik cair) ................. 5
2. Diagram sistem proses produksi biogas dan
pemanfaatannya ................. 14
3. Berbagai pemanfaatan dari biogas ................. 15
4. Instalasi biogas ....................................... ................. 16Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
1
I. PENDAHULUAN
Pada tahun 2009, populasi sapi potong nasional
tercatat sebesar 12,6 juta ekor. Melalui program
swasembada daging sapi (PSDS), pemerintah berupaya
meningkatkan populasi ternak sapi mencapai 14,2 juta ekor
pada tahun 2014 untuk dapat mencukupi 90-95% dari
permintaan daging nasional.
Sejalan dengan PSDS, provinsi Nusa Tenggara
Barat juga mencanangkan program NTB Bumi Sejuta Sapi
(NTB-BSS) yang menargetkan peningkatan populasi dari
546.114 ekor pada tahun 2009 menjadi sekitar 1 juta ekor
pada tahun 2013 atau total penambahan populasi sebanyak
setengah juta ekor.
Peningkatan populasi ternak sapi secara nasional
dan regional akan meningkatkan limbah yang dihasilkan.
Apabila limbah tersebut tidak dikelola sangat berpotensi
menyebabkan pencemaran lingkungan terutama dari limbah
kotoran yang dihasilkan ternak setiap hari. Pembuangan
kotoran ternak sembarangan dapat menyebabkan
pencemaran pada air, tanah dan udara (bau), berdampak
pada penurunan kualitas lingkungan, kualitas hidup
peternak dan ternaknya serta dapat memicu konflik sosial.
Pengelolaan limbah yang dilakukan dengan baik
selain dapat mencegah terjadinya pencemaran lingkungan
juga memberikan nilai tambah terhadap usaha ternak.
Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk kompos
dapat menyehatkan dan menyuburkan lahan pertanian. Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
2
Selain itu kotoran ternak juga dapat digunakan sebagai
sumber energi biogas. Sumber energi biogas menjadi
sangat penting karena harga bahan bakar fosil yang terus
meningkat dan ketersediaan bahan bakar yang tidak
konstan dipasaran, menyebabkan semakin terbatasnya
akses energi bagi masyarakat termasuk peternak.
Buku petunjuk praktis ini menguraikan secara
praktis manajemen limbah kotoran untuk dijadikan biogas
dan kompos. Diharapkan buku petunjuk praktis ini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas para SMD agar
kualitas pelayanan yang dilakukan terhadap kelompok
meningkat.Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
3
II. POTENSI LIMBAH TERNAK
1. Potensi limbah ternak untuk menghasilkan
kompos
Kotoran dan air kencing merupakan limbah ternak
yang terbanyak dihasilkan dalam pemeliharaan ternak
selain limbah yang berupa sisa pakan. Pada umumnya
setiap kilogram daging sapi yang dihasilkan ternak sapi
potong juga menghasilkan 25 kg kotoran padat.
Besarnya limbah padat yang dihasilkan dari usaha
penggemukan sapi potong berpotensi dimanfaatkan
menjadi sumber kompos dan berpotensi untuk dijadikan
sumber pendapatan tambahan dari usaha
penggemukan sapi potong. Sebagai contoh, untuk
penggemukan dengan target pertambahan berat badan
harian (PBBH) sebesar 0,5 kg akan dihasilkan sebanyak
12,5 kg kotoran per hari. Jika target penggemukan
adalah pertambahan berat badan sebesar 90 kg dalam
satu periode penggemukan selama 6 bulan akan
dihasilkan kotoran sebanyak 2,2 ton dari seekor ternak
setiap satu periode penggemukan. Jika kotoran ternak
dan sisa pakan diproses menjadi kompos maka
setidaknya dari setiap ekor sapi penggemukan dapat
dihasilkan 1,5 ton kompos per 6 bulan.
Pengomposan merupakan proses biodegradasi
bahan organik menjadi kompos dimana proses
dekomposisi atau penguraian dilakukan oleh bakteri,
yeast dan jamur. Untuk mempercepat proses
dekomposisi bahan-bahan limbah organik menjadi Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
4
pupuk organik yang siap dimanfaatkan oleh tanaman
dilakukan proses penguraian secara artifisial. Kotoran
ternak sapi dapat dijadikan bahan utama pembuatan
kompos karena memiliki kandungan nitrogen,
potassium dan materi serat yang tinggi. Kotoran ternak
ini perlu penambahan bahan-bahan seperti serbuk
gergaji, abu, kapur dan bahan lain yang mempunyai
kandungan serat yang tinggi untuk memberikan suplai
nutrisi yang seimbang pada mikroba pengurai sehingga
selain proses dekomposisi dapat berjalan lebih cepat
juga dapat dihasilkan kompos yang berkualitas tinggi.
2. Potensi limbah ternak untuk menghasilkan
biogas
Sapi Bali dewasa yang dikandangkan menghasilkan
kotoran segar sebanyak 6 sampai 8 kg/hari. Kotoran
tersebut dapat langsung digunakan untuk menghasilkan
gas bio dan kemudian limbah padatnya masih dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Gas bio
merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi
tertutup bahan-bahan organik termasuk kotoran ternak.
Fermentasi tertutup dapat berlangsung jika kotoran
dimasukkan dalam satu tempat tertutup yang disebut
reaktor. Untuk skala rumah tangga dengan jumlah
ternak 2 – 4 ekor atau suplai kotoran sebanyak kurang
lebih 25 kg/hari cukup menggunakan tabung reaktor
berkapasitas 2500 – 5000 liter yang dapat
menghasilkan biogas setara dengan 2 liter minyak Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
5
tanah/hari dan mampu memenuhi kebutuhan energi
memasak satu rumah tangga pedesaan dengan 6 orang
anggota keluarga. Jika harga eceran minyak tanah Rp.
3.500/liter maka penggunaan biogas dapat mengurangi
biaya rumah tangga sebesar Rp 2.500.000/tahun. Satu
reaktor biogas kapasitas 2500 liter membutuhkan biaya
Rp. 3.500.000 dengan umur penggunaan berkisar 10
tahun. Dengan demikian penggunaan biogas secara
nyata menurunkan biaya rumah tangga tani untuk
membeli minyak tanah.
Gambar 1. Limbah ternak sapi feses dan urin dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan kompos,
biogas dan biourine (pupuk organik cair)Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
6
III. KOMPOS
Kompos adalah pupuk organik yang sebagian besar
atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari
limbah/sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia seperti
pupuk kandang, pupuk hijau dan humus yang telah
mengalami dekomposisi. Kompos dari sisa/limbah tanaman
maupun limbah ternak mengandung unsur hara baik mikro
maupun makro yang lengkap (N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn,
Mn, B dan S).
Manfaat penggunaan kompos terhadap tanah:
menambah kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah
menjadi lebih remah dan gembur, memperbaiki sifat
kimiawi tanah sehingga unsur hara yang tersedia dalam
tanah lebih mudah diserap oleh tanaman, memperbaiki tata
air dan udara di dalam tanah sehingga suhu tanah akan
lebih stabil, mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat
hara sehingga tidak mudah larut oleh air hujan atau air
pengairan dan memperbaiki kehidupan jasat renik yang
hidup di dalam tanah
Prinsip dekomposisi dalam pembuatan kompos
Prinsip yang digunakan dalam pembuatan kompos
adalah proses dekomposisi atau penguraian yang merubah
limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktifitas
biologis pada kondisi yang terkontrol.
Dekomposisi pada prinsipnya adalah menurunkan
karbon dan nitrogen (C/N) ratio dari limbah organik Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
7
sehingga pupuk organik dapat segera dimanfaatkan oleh
tanaman. Pada proses dekomposisi akan terjadi
peningkatan temperatur yang dapat berfungsi untuk
membunuh biji tanaman liar (gulma), bakteri-bakteri
patogen dan membentuk suatu produk perombakan yang
seragam berupa pupuk organik.
Beberapa unsur penting yang diperlukan agar
proses penguraian dapat berjalan dengan baik yaitu; 1).
Karbon (C) sebagai sumber energi bagi mikroba pengurai
dan. akan diurai melalui proses oksidasi yang menghasilkan
panas; 2). Nitrogen (N) sebagai sumber protein bagi bakteri
untuk bertumbuh dan memperbanyak diri; 3). Oksigen (O)
sebagai bahan untuk mengoksidasi unsur karbon melalui
proses dekomposisi dan air (H2O) untuk menjamin proses
dekomposisi berlangsung baik dan tidak menyebabkan
suasana anaerob.
Tabel 1. Faktor berpengaruh dan kisaran toleransi unsur
dalam bahan kompos untuk menjamin terjadinya
proses pengomposan.
No Faktor Kisaran
1. Temperature 54-60
0
C
2. Ratio carbon ke nitrogen (C/N) 25:1 – 30:1
3. Aerasi, persen oksigen >5%
4. Kelembaban/kadar air 50-60%
5. Porositas 30-36%
6. pH 6.5-7.5Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
8
Faktor berpengaruh yang harus dikontrol dalam pembuatan
kompos:
1. C/N ratio; mikroba membutuhkan karbon (C) 20 sampai
25 kali lebih banyak dari nitrogen (N) untuk tetap aktif.
Sumber karbon pada pembuatan kompos dapat berasal
dari potongan kayu kecil, serbuk gergaji, jerami padi
dan bahan lain yang berserat tinggi. Sumber N berasal
dari kotoran ternak. C/ N ratio > 25 akan menyebabkan
dekomposisi berjalan lamban karena kekurangan N
sebaliknya C/N ratio < 20 akan menyebabkan
terjadinya pembentukan gas ammonia sehingga
menimbulkan bau.
2. Aerasi udara diperlukan untuk menghindari terjadinya
kondisi anaerobic yang menimbulkan bau. Pembalikan
secara teratur dapat meningkatkan aerasi. Kekurangan
udara akan menimbulkan gas metan, aktivitas mikroba
menurun dan temperatur menurun. Sebaliknya
kelebihan aerasi menyebabkan bahan kompos menjadi
kering dan unsur N menghilang.
3. Kelembapan merupakan unsur penting dalam
metabolisma pada mikroba. Kelembapan yang baik
adalah 50-60%, terlalu basah (>60%) dapat
mengakibatkan muncul bau yang tidak sedap dan
aktivitas mikroba menurun, temperatur juga menurun
dan jika terlalu kering (<40%) aktivitas mikroba juga
menurun.Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
9
Dampak pembuatan kompos
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari upaya
memanfaatkan kotoran ternak dan sisa-sisa pakan untuk
dijadikan pupuk kompos antara lain:
1. Kandang menjadi lebih bersih
2. Kotoran yang dikumpulkan mengurangi
pencemaran lingkungan
3. Mengurangi populasi lalat di sekitar kandang
4. Mengurangi terjadinya infeksi cacing mata
(Thelazia) yang sering menyerang ternak
5. Pembuatan kompos dapat dilakukan secara alamiah
atau menggunakan dekomposer
6. Secara langsung kompos digunakan untuk lahan
pertanian atau dapat dijual
Beberapa syarat yang perlu diperhatikan mengenai
tempat pembuatan kompos yaitu:
1. Lantai lebih tinggi dari sekitarnya untuk
menghindari genangan air
2. Memiliki atap untuk mengindari sinar matahari
langsung atau hujan
Cara pembuatan kompos
Bahan yang diperlukan :
● Kotoran sapi 80 – 83%
● Serbuk gergaji 5%
● Abu sekam 10%
● Kalsit/Kapur 2%
● Dekomposer 0,25%Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
10
Proses Pembuatan
1. Kotoran sapi dikumpulkan dan ditiriskan selama
satu minggu untuk mengurangi kadar air (± 60%)
2. Kotoran sapi yang sudah ditiriskan kemudian
dicampur dengan bahan-bahan organik seperti
ampas gergaji, abu sekam, kapur dan dekomposer.
Seluruh bahan dicampur dan diaduk merata.
3. Setelah seminggu tumpukan dibalik/diaduk merata
untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan
homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan
terjadi peningkatan suhu sampai 60
0
C, dibiarkan
lagi selama seminggu dan dibalik setiap minggu
4. Pada minggu keempat kompos telah matang
dengan warna pupuk coklat kehitaman bertekstur
remah tak berbau, untuk mendapatkan bentuk
yang seragam serta memisahkan dari bahan yang
tidak diharapkan (misalnya batu, potongan kayu,
rafia) maka pupuk diayak/disaring
5. Selanjutnya kompos siap untuk diaplikasikan pada
lahan atau tanaman.Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
11
IV. BIOGAS
Biogas dan Aplikasinya
Biogas adalah campuran gas yang dihasilkan oleh
bakteri metanogenik yang terjadi pada material-material
yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik.
Pada umumnya biogas terdiri atas gas metan (CH4) sebesar
50-70%, gas karbon dioksida (CO2) sebesar 30-40%,
Hidrogen 5 – 10% dan gas-gas lainnya dalam jumlah yang
sedikit.
Untuk memanfaatkan kotoran ternak menjadi
biogas, diperlukan beberapa syarat yang terkait dengan
aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya
manusia. Bila faktor tersebut dapat dipenuhi, maka
pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas sebagai
penyedia energi di pedesaan dapat berjalan dengan
optimal.
Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi
optimasi pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas yaitu:
1. Ketersediaan ternak
Jenis, jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat
menjadi potensi bagi pengembangan biogas. Hal ini
karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan
kotoran ternak. Untuk menjalankan biogas skala
individual atau rumah tangga diperlukan kotoran ternak
dari 2 – 4 ekor sapi dewasa. Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
12
2. Kepemilikan ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi
dasar pemilihan jenis dan kapasitas biogas yang dapat
digunakan. Bila ternak sapi dewasa yang dimiliki lebih
dari 4 ekor , maka dapat dipilih biogas dengan
kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen)
atau beberapa biogas skala rumah tangga.
3. Pola pemeliharaan ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas
dapat berfungsi optimal. Kotoran ternak lebih mudah
didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara
dikandangkan dibandingkan dengan cara digembalakan.
4. Ketersediaan lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan di sekitar
kandang yang luasannya bergantung pada jenis dan
kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk
membangun reaktor biogas skala terkecil (skala rumah
tangga) adalah 14 m
2
(7m x 2m).
5. Tenaga kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja
yang berasal dari peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini
penting mengingat biogas dapat berfungsi optimal bila
pengisian kotoran ke dalam reaktor dilakukan dengan
baik serta dilakukan perawatan peralatannya. Banyak
kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak
optimalnya biogas disebabkan karena: pertama, tidak
adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
13
kedua, peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk
melakukan pengisian kotoran karena memiliki pekerjaan
lain selain memelihara ternak.
6. Manajemen limbah/kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan
komposisi padat-cair kotoran ternak yang sesuai untuk
menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan kotoran,
dan pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke
dalam reaktor. Bahan baku reaktor biogas adalah
kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1:3.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan setiap satu
atau dua hari sekali. Pemasukan kotoran ini dapat
dilakukan dengan cara diangkut atau melalui saluran.
7. Kebutuhan energi
Sumber energi dari biogas dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan jika ketersediaan sumber energi lain
terbatas. Bila sumber energi lain tersedia maka
peternak dapat diarahkan untuk mengolah kotoran
ternaknya menjadi kompos.
8. Jarak (antara kandang reaktor dan rumah)
Agar pemanfaatan energi biogas dapat optimal
sebaiknya antara kandang, reaktor dan rumah tidak
telampau jauh.
9. Pengelolaan hasil samping biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk
memanfaatkannya menjadi pupuk cair dan pupuk padat
(kompos).Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
14
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung berupa peralatan kerja digunakan
untuk mempermudah/meringankan
pekerjaan/perawatan instalasi biogas.
Selain sepuluh faktor di atas, kemauan peternak/pelaku
untuk, menjalankan instalasi biogas dan merawatnya serta
memanfaatkan energi biogas menjadi modal utama dalam
pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas
Proses produksi biogas dan pemanfaatannya :
Gambar 2. Diagram system proses produksi biogas dan pemanfaatannya
Hasil
samping
biogas
Pakan
Peternakan: Pertanian
Kotoran cair
sapi
Daya
mekanis
Digester system
Pembangkit daya
Daya
listrik
Penampung
gasPetunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
15
Dapat untuk
menyalakan
lampu 60 W
selama 7 jam
1m
3
BIOGAS
Dapat untuk
menjalankan
mesin 2 HP
selama 1 jam
Dapat
membangkitkan
listrik 1,25 kW
Dapat untuk
menjalankan 300
liter kulkas selama
3 jam
Gambar 3. Berbagai pemanfaatan dari biogas
Dapat untuk
memasak 3
macam masakan
untuk 4 orang Petunjuk Praktis
Manajemen Umum Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas
16
Gambar 4. Instalasi biogas
Top Related