Download - PBL BLOK 26.doc

Transcript

Program Puskesmas dalam Penanggulangan dan Pemberantasan Demam Berdarah DengueMarco Lius

102012366

D10 Kampus II Ukrida Fakultas Kedokteran

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

[email protected] Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang terutama menyerang anak-anak.1Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air daerah endemik DBD pada umumnya merupakan sumber penyebaran penyakit ke wilayah lain. Setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD umumnya dimulai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayah tersebut. Untuk membatasi penyebaran penyakit DBD diperlukan pengasapan (fogging) secara masaal, abatisasi massal, serta penggerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang terus menerus.Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca mengerti mengenai pemberantasan DHF dalam hal pendekatan epidemiologi, surveilance, kejadian luar biasa, tingkat pencegahan penyakit, pelayanan puskesmas, program pemberantasan DHF, dan pemberdayaan masyarakat.Definisi

Dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus dengue penyebab DHF mempunyai beberapa tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Gejala DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, fenomena pendarahan, sering disertai oleh hepatomegali dan pada keadaan berat terjadi tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Manifestasi klinis yang lain adalah nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan hemoragik. Selama nyamuk Aedes aegypti tidak terkontaminasi virus dengue, maka gigitan nyamuk DHF tersebut tidak berbahaya. Jika nyamuk tersebut menghisap darah penderita DHF, maka nyamuk menjadi berbahaya karena bisa menularkan virus dengue yang mematikan.2Pendekatan Epidemiologi

Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian sakit, gangguan fungsi tubuh (disability) dan kematian, serta faktor-faktor yang memengaruhi frekuensi kejadian pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dalam aspek epidemiologi, terdapat model segitiga epidemiologi menggambarkan kejadian suatu penyakit yang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu host, agent, dan environtment.3

Host atau pejamu adalah manusia yang mudah terkena atau rentan terhadap suatu bibit penyakit, yang menyebabkan ia sakit. Faktor utama pada host yang memudahkannya terkena penyakit adalah sistem kekebalan atau imunitas dan perilakunya sendiri. Sistem kekebalan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan ras.3

Agent adalah faktor yang menjadi bibit penyakit yang menjadi penyebab suatu penyakit. Penyebab penyakit ada yang bersifat biologis, fisik, kimia, dan sosiopsikologis. Yang bersifat biologis seperti DHF disebabkan virus dengue.3

Environtment atau lingkungan adaalah situasi atau kondisi di luar host dan agent yang memudahkan interaksi antar keduanya. Faktor ini juga dapat menjadi risiko timbulnya gangguan penyakit pada host karena lingkungan memberikan peluang agent untuk berkembang (breeding). Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan biologis, fisik, kimia, dan sosial.3

Paradigma sehat menurut H.L. Blum juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara empat faktor utama yang menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Keempat faktor tersebut adalah genetik, pelayanan kesehatan, perilaku manusia, dan lingkungan.3

Faktor genetik paling kecil pengaruhnya terhadap kesehatan perorangan atau masyarakat dibandingkan ketiga faktor lain. Pengaruh pada status kesehatan perorangan terjadi secara evolutif dan paling sukar dideteksi. Untuk itu, perlu dilakukan konseling genetik. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat atau keluarga, faktor genetik perlu mendapat perhatian di bidang pencegahan penyakit.3

Ketersediaan sarana pelayanan, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang berkualitas akan berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan yang diimbangi dengan kelengkapan sarana / prasarana, dan dana akan menjamin kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan seperti ini akan mampu mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan yang berkembang di suatu wilayah atau kelompok masyarakat. 3

Faktor perilaku masyarakat terutama di negara berkembang paling besar pengaruhnya terhadap munculnya gangguan kesehatan atau masalah kesehatan di masyarakat. Tersedianya jasa pelayanan kesehatan tanpa disertai perubahan perilaku masyarakat akan mengakibatkan masalah kesehatan tetap potensial berkembang di masyarakat,3

Lingkungan yang terkendali, akibat sikap hidup dan perilaku masyarakat yang baik akan dapat menekan perkembangan masalah kesehatan. Sektor-sektor terkait di luar sektor kesehatan seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Cipta Karya (PU), Kependudukan akan besar sekali perannya dalam upaya pengendalian sampah. Sampah yang menumpuk, kampung kumuh, dan genangan air akan memudahkan vektor DHF berkembang.3

Untuk menganalisis program kesehatan di lapangan, paradigma H.L. Blum dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan masalah sesuai dengan faktor-faktor yang berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Analisis keempat faktor tersebut perlu dilakukan secara cermat sehingga masalah kesehatan masyarakat dan masalah program dapat dirumuskan dengan jelas.3

Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang berbahaya. Virus penyebab DHF ini adalah virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.2 Terdapat empat serotipe virus ini yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.1 Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan manifestasi perdarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada badan penderita. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.4

Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah: sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih. Selain itu nyamuk ini berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lain-lain. Jarak terbangnya 100 m dan nyamuk betinanya bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). Nyamuk ini tahan suhu panas dan kelembaban tinggi.2

Gambar 3. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.1

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DHF adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya.1

Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari dan orang tersebut akan mengalami sakit DHF. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.1

Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit DHF. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama satu minggu, sehingga dapar menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.1Penyebaran penyakit DHF di Jawa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April dan Mei. Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DHF antara lain: imunitas pejamu, kepadatan populasi nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi, keadaan geografis setempat. Faktor penyebaran kasus DHF antara lain: pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terkontrol, transportasi.1

Kriteria diagnosis daru DHF adalah lewat kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Kriteria klinisnya adalah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang kelas dan berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, pembesaran hati, dan syok. Kriteria laboratorusnya adalah trombositopenia (20%). Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DHF bila terdapat minimal 2 gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala dan tanda tersebut kurang dari ketentuan di atas maka pasien dinyatakan menderita demam dengue.1Surveilance

Surveilans adalah observasi kejadian yang sedang berlangsung, aktif, dan sistematik terhadap kejadian dan distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan kejadian atau kondisi yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian suatu penyakit. Sistem surveilans dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai macam peristiwa.5

Surveilans juga dapar digunakan untuk mengukur outcome lainnya yang disebabkan oleh pelayanan atau kinerja, atau proses tindakan yang diambil untuk mencapai suatu outcome (seperti kepatuhan pada suatu kebijakan atau peraturan yang telah disepakati). Dua tujuan utama program surveilans dalam fasilitas pelayanan kesehatan adalah: memperbaiki kualitas pelayanan pasien; dan mengidentifikasi, mengimplementasikan, dan mengevaluasi strategi untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial dan kejadian tidak diinginkan lainnya. Empat tujuan suatu program surveilans adalah: 1. Mempersiapkan standar nilai, atau rate penyakit endemik; 2. mengidentifikasi peningkatan rate penyakit di atas standar nilai yang telah ditetapkan, atau yang diperkirakan; 3. mengidentifikasi faktor risiko penyakit; dan 4. mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.5

Terdapat beberapa metode surveilans yang telah digunakan dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Metode ini dapat dipisahkan ke dalam empat kategori utama: 1. Surveilans prospektif total, ketika semua pasien dipantau untuk infeksi nosokomial pada semua divisi rumah sakit; 2. Surveilans yang bertarget, yaitu dengan menyurvei infeksi terseleksi, tempat infeksi, atau organisme tertentu yang akan disurvei; 3. Survei prevalensi, untuk jumlah infeksi yang aktif selama periode waktu tertentu, dan rate prevalensi yang dihitung; 4. Surveilans periodik, yang dapat dilakukan selama suatu periode waktu tertentu pada unit-unit yang terpilih dan surveilans periode berikutnya dilakukan pada unit lain sehingga keseluruhan rumah sakit dapat disurvei pada selama tahun tersebut.5

Suatu program surveilans yang telah dirancang dengan baik seharusnya mempunyai kegiatan pengumpulan data, manajemen data, analisis data, dan diseminasi data yang berkelanjutan untuk mengendalikan dan mencegah penyakit.5

Tanpa mengabaikan fasilitas pelayanan kesehatan, orang-orang yang merancang suatu program surveilans untuk fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dapat menetapkan suatu sistem yang dapat mencegah timbulnya infeksi dan kejadian merugikan lainnya lebih banyak lagi dengan sumber daya yang ada. Daftar ini dapat digunakan untuk merancang suatu program surveilans: 1. Menargetkan outcome yang akan dicegah dan proses yang akan dikembangkan serta mengembangkan indikator yang spesifik dengan tujuan tertentu; 2. Menetapkan prioritas menurut tujuan tersebut; 3. Mengalokasi waktu dan sumber daya yang sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan; 4. Setelah menyelesaikan 3 langkah pertama, strategi surveilans, pencegahan, dan pengendalian kemudian dirancang agar langkah-langkah tersebut dapat mendukung tujuan yang telah ditetapkan; 5. Setelah waktu surveilans ditentukan, langkah berikutnya adalah mengevaluasi program survelians, pencegahan, dan pengendalian, serta merevisi program tersebut jika dibutuhkan.5

Pemilihan denominator yang tepat adalah salah satu aspek yang paling penting dalam pengukuran frekuensi penyakit. Denominator yang digunakan harus mendekati populasi berisiko yang sebenarnya. Insidens mengukur frekuensi kasus atau kejadian selama suatu periode tertentu. Rumusnya adalah:5Insidens =

Selain itu terdapat juga prevalensi yang mengukur kejadian kasus baru maupun kasus yang telah ada dari suatu penyakit.Rumusnya adalah:5Prevalensi =

Surveilans vektor DHF ditujukan untuk memperoleh informasi tentang kepadatan dan distribusi vektor DHF, tempat bersarannya yang berpotensial, jarak terbang, arah infiltrasi vektor ke dalam masyarakat, dan pengaruh perubahan cuaca atau mutasi terhadap populasi vektor.6Kejadian Luar BiasaKLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria KLB (kriteria kerja) antara lain: 1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal di suatu daerah.; 2. Adanya peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang dua kali atau lebih dibandingkan dengan jumlah kesakitan/kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu sebelumnya (jam, hari, minggu) tergantung dari jenis penyakitnya.; 3. Adanya peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurun waktu (jam, hari, minggu) berturut-turut menurut jenis penyakitnya.7Tingkat Pencegahan Penyakit

Ada tiga tingkat pelaksanaan tindakan pencegahan dalam pengendalian penyakit primer, sekunder, dan tersier. Tujuan pencegahan primer adalah mencega awitan suatu penyakit atau cedera selama masa prapatogenesis (sebelum proses suatu penyakit dimulai). Contoh pencegahan primer antara lain, program pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan, proyek rumah aman, dan pengembangan personalitas dan pembentukan karakter. Contoh lain adalaah penggunaan imunisasi terhadap penyakit tertentu, praktik higiene personal, misalnya mencuci tangan, penggunaan sarung tangan, dan klorisasi persediaan air masyarakat.8

Sayangnya penyakit atau cedera tidak dapat selalu dicegah. Penyakit kronis, khususnya terkadang menyebabkan disabilitas (ketidakmampuan) yang cukup parah sebelum akhirnya terdeteksi dan diobati. Dalam hal ini intervensi segera mencegah kematian atau membatasi disabilitas. Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit sebelum penyakit itu berkembang dan disabilitas. Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit sebelum penyakit itu berkembang dan disabilitas menjadi parah.8

Salah satu tindakan pencegahan sekunder yang paling penting adalah skrining kesehatan. Tujuan skrining ini bukan untuk mencegah terjadinya penyakit tetapi lebih untuk mendeteksi keberadaannya selama masa patogenitas awal, sehingga intervensi (pengobatan) dini dan pembatasan disabilitas dapat dilakukan. Perlu diperhatikan pula bahwa tujuan skrining kesehatan bukan untuk mendiagnosis penyakit. Alih-alih, tujuannya adalah memilah secara ekonomi dan efisien mereka yang kemungkinan sehat dari mereka yang kemungkinan positif terjangkit penyakit. Mereka yang ternyata positif kemudian dapat dirujuk untuk menjalani prosedur diagnostik yang lebih spesifik.8

Tujuan pencegahan tersier adalah melatih kembali, mendidik kembali, dan merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Tindakan pencegahan tersier mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa patogenesis.

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular mencakup pendekatan primer, sekunder, dan tersier. Pelaksanaan yang sukses dari pendekatan ini, terutama pencegahan primer yang mengakibatkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas penyakit menular yang tidak pernah terjadi sebelumnya, merupakan salah satu prestasi luar biasa dalam bidang kesehatan masyarakat di abad ini.

Langkah-langkah pencegahan primer penyakit menular dapat digambarkan dengan menggunakan mata rantai infeksi. Dalam model ini, strategi pencegahan tampak dalam masing-masing sambungan pada rantai. Pelaksanaan yang sukses dari setiap strategi dapat dipandang sebagai kelemahan suatu sambungan, dengan tujuan akhir memutus mata rantai infeksi, atau mengganggu siklus penyebaran penyakit. Contoh tindakan masyarakat antara lain pemeliharaan sistem saluran pembuangan yang berfungsi dengan baik, pembuangan limbah padat secara tepat, dan lainnya. Ke dalamnya juga ditambahkan upaya personal dalam pencegahan primer, misalnya mencuci tangan.8

Langkah pencegahan sekunder terhadap penyakit menular bagiu individu melibatkan diagnosis sendiri dan pengobatan sendiri dengan obat yang ada di rumah, tampa obat dari resep dokter, atau diagnosis dan pengobatan dengan antibiotik yang diresepkan dokter. Upaya pencegahan sekunder yang dilaksanakan oleh masyarakat terhadap penyakit menular biasanya ditujukan untuk mengendalikan atau membatasi penyebaran suatu epidemi. Contohnya antara lain pemeliharaan secara cermat catatan kasus dan mematuhi kebijakan yang mengharuskan pelaporan penyakit yang harus dilaporkan dan melakukan investigasi kasus serta kontak mereka yang ungkin terinfeksi melalui kontak dekat dengan kasus yang positif.

Upaya pencegahan tersier untuk pengendalian penyakit menular bagi individu mencakup upaya pemulihan dari infeksi, penyembuhan sampai sehat total, dan kembali menjalankan aktivitas normal. Pada sebagian kasus, kembali menjalankan aktivitas normal mungkin tidak mungkin walau setelah terapi fisik ekstensif sekalipun. Di tingkat komunitas, upaya pencegahan tersier ditujukan untuk pencegahan kekambuhan suatu penyakit epidemik. Pencegahan tersier dapat melibatkan pelaksanaan kembali upaya pencegahan primer dan sekunder sebagai cara untuk mencegah munculnya kasus lain.8

Pelayanan Puskesmas

Sesuai strategi Indonesia sehat tahun 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi ini, Depkes Pusat sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas. Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan Sehat 2010.3

Kecamatan sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakatnya juga sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan visi dan misi Puskesmas diperlukan analisis internal dan eksternal lingkungan Puskesmas.3

Untuk mewujudkan visi Kecamatan sehat 2010, setiap Puskesmas harus memanfaatkan kapasitas dan potensi Puskesmas secara potimal untuk kemudian dikembangkan secara bertahap untuk mewujudkan visi Puskesmas. Tiga misi yang harus diemban adalah: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan yakni pembangunan yang mampu menciptakan lingkunan sehat dan membentuk perilaku hidup sehat masyarakat; 2. Memberdayakan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan.; 3. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu yaitu komprehensif, holistik, terpadu antar program, dan berkesinambungan. Setiap Puskesmas menambah misi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan lembaga di wilayah kerjanya. Sesuai misi tersebut diatas, Puskesmas mempunyai funsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan Kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.3

Program kesehatan dasar Puskesmas yang dikembangkan di era desentralisasi ini lebih disederhanakan yang meliputi program: Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi, Pemberantasan Penyakit Menular, dan Pengobatan Dasar.3 Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) menjadi titik berat dalam konteks DHF.

Tujuan dari P2M adalah menemukan kasus penyakit menular sedini mungkin, dan mengurangi faktor risiko lingkungan masyarakat yang memudahkan terjadinya penyebaran penyakit menular di suatu wilayah, memberikan proteksi khusus kepada kelompok masyarakat tertentu agar terhindar dari penularan penyakit. Sasaran program ini adalah ibu hamil, balita, dan anak-anak sekolah untuk kegiatan imunisasi. Sasaran sekunder adalah lingkungan pemukiman masyarakat. Untuk pemberantasan penyakit menular tertentu, kelompok-kelompok tertentu masyarakat yang berperilaku risiko tinggi juga perlu dijadikan sasaran kegiatan P2M. Lingkup kegiatannyaadalah surveilans epidemiologi, imunisasi, dan pemberantasan vektor.3

Proses manajemen terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, dan pengawasan. Fungsi perencanaan adalah fungsi terpenting dalam manajemen karena akan menentukan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Tanpa fungsi perencanaan, tidak mungkin fungsi manajemen lainnya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Perencanaan manajerial akan memberikan pola pandang secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang dijalankan, siapa yang akan melakukan dan kapan akan dilakukan. Pengorganisasian adalah salah satu fungsi manajemen yang juga mempunyai peranan penting seperti halnya perencanaan. Melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimikili oleh organisasi akan diatur penggunaannya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Fungsi aktuasi merupakan penggerak semua kegiatan program untuk mencapai tujuan program. Prinsip ini lebih menekankan pada bagaimana manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan fungsi yang terakhir dari proses manajemen. Fungsi ini mempunyai kaitan erat dengan ketika ketiga fungsi manajemen lainnya, terutama dengan fungsi perencanaan. Melalui fungsi pengawasan dan pengendalian, standar keberhasilan suatu program yang dituangkan dalam bentuk target, prosedur kerja, dan sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau yang mampu dikerjakan oleh staf.3

Untuk melaksanakan usaha pokok Puskesmas secara efisien, efektif, produktif, dan berkualitas, pimpinan Puskesmas harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen. Manajemen bermanfaat untuk membantu pimpinan dan pelaksana program agar kegiatan program Puskesmas dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerapan manajemen kesehatan di Puskesmas terdiri dari Micro Planning (MP) yaitu perencanaan tingkat Puskesmas. Pengembangan program Puskesmas selama lima tahun disusun dalam MP. Lokakarya Mini Puskesmas (LKMP) yaitu bentuk penjabaran MP ke dalam paket-paket kegiatan program yang dilaksanakan oleh staf, baik secara individu maupun berkelompok. LKMP dilaksanakan setiap tahun. Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas (SP2TP) adalah kompilasi pencatatan program yang dilakukan secara terpadu setiap bulan. Stratifikasi Puskesmas merupakan kegiatan evaluasi program yang dilakukan setiap tahun untuk mengetahui pelaksanaan manajemen program Puskesmas secara menyeluruh. Penilaian dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data-data SP2TP dimanfaatkan oleh Puskesmas untuk penilaian stratifikasi. Supervisi rutin oleh pimpinan Puskesmas dan rapat-rapat rutin untuk koordinasi dan memantau kegiatan program. Supervisi oleh pimpinan, monitoring dan evaluasi merupakan penjabaran fungsi manajemen (pengawasan dan pengendalian) di Puskesmas.3Program Pemberantasan DHF Pemberantasan Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk memberantas DHF, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum ditersedia. Pemberantasan dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya.4

Pemberantasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan-fogging) dengan insektisida yaitu: organofosfat misalnya malation, fenitrotion; piretroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin; karbamat.4

Pemberantasan jentik dikenal dengan istilah PSN (pemberantasan sarang nyamuk), dilakukan dengan cara kimia, biologi, dan fisik. Secara kimia, pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules. Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram (+1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos tersebut mempunyai efek residu 3 bulan. Secara biologis misalnya memelihara ikan pemakan jentik. Secara fisik, dikenal cara 3M (menguras, menutup, mengubur) yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, dan lain-lain), serta mengubur atau memusnahkan barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain). Pengurasan TPA perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.4

Apabila PSN dilaksanakan seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk dapat terbasmi. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.4

Pengendalian nyamuk dilakukan dengan cara: 1. Perlindungan perseorangan untuk mencegah gigitan nyamuk yaitu memasang kawat kasa di lubang-lubang angin di atas jendela atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida dan penggunaan repellent pada saat berkebun; 2. Pembuangan atau mengubur benda-benda di pekarangan atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil, dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti (man made breeding places); 3. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara teratur tiap minggu sekali, pot bunga, tempayan dan bak mandi; 4. Pemberian temefos ke dalam tempat penampungan air / penyimpanan air bersih; 5. Melakukan fogging dengan malation setidak-tidaknya 2 kali dengan jarak waktu setidak-tidaknya 10 hari di daerah yang terkena wabah di daerah endemi DHF; 6. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar masyarakat dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat-tempat perindukan Aedes aegypti di sekitar rumah.4

Pemantauan kepadatan populasi Aedes aegypti merupakan hal yang penting sekali untuk meningkatkan kewaspadaan wabah DHF.4

Pengukuran kepadatan populasi dilakukan dengan cara survei larva. Pada survei larva semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak Aedes aegypti diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya larva. Untuk memeriksa tempat penampungan air (TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan lainnya, jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak ditemukan larva, tunggu kira-kira - 1 menit untuk memastikan bahwa larva benar tidak ada. Untuk memeriksa tempat berkembangbiak yang kecil seperti vas bunga dan botol air didalamnya perlu dipindahkan ke tempat lain, sedangkan untuk memeriksa larva di tempat yang agak gelap atau airnya keruh digunakan lampu senter. Survei larva dapat dilakukan dengan single larval method atau cara visual. Pada single larval method survei dilakukan dengan mengambil satu larva di setiap TPA lalu diidentifikasi. Bila hasil identifikasi menunjukkan Aedes aegypti maka seluruh larva yang ada dinyatakan sebagai larva Aedes aegypti. Pada cara visual, survei cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap TPA tanpa mengambil larvanya. Dalam program pemberantasan DBD survei larva yang biasa digunakan adalah cara visual. Ukuran yang dupakai untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti ialah: angka bebas jentik dan house index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah sedangkan Breteau Index menunjukkan kepadatan dan penyebaran larva Aedes aegypti. Container index menggambarkan kepadatan nyamuk.4

Rumus-rumusnya sebagai berikut:4Angka Bebas Jentik (ABJ) = House Index (HI) = Container Index (CI) = Breteau Index = Jumlah container berisi jentik dalam 100 rumah / bangunan.

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan satu dari tiga misi yang harus diemban puskesmas selain menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu. Masyarakat dan keluarga perlu dididik oleh staf Puskesmas tentang perilaku hidup sehat sehingga mereka lebih peka dengan masalah kesehatan yang potensial muncul di wilayahnya; mendidik keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat, diarahkan agar mereka memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang ada di masyarakat. Untuk itu, program PKM dan konseling perlu lebih digalakkan ol.eh staf puskesmas. Keterampilan melakukan konseling dan pemasaran perlu lebih dilatih. Untuk memberdayakan masyarakat, Puskesmas dapat bekerja sama dengan LSM setempat yang peduli kesehatan.3Penutup

DHF merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Karena itu perlu dilakukan pencegahan penyakit ini yaitu dengan melakukan pemberantasan terhadap vektor penyakitnya. Vektor DHF adalah nyamuk aedes aegypti. Sebelum melakukan pemberantasan, perlu dilakukan pendekatan epidemiologi dan surveilans terlebih dahulu untuk mempelajari situasi yang terjadi di masyarakat. Setelah itu, Puskesmas sebagai pihak yang bertanggung jawab harus menjalankan suatu program berdasarkan prinsip manajemen. Program tersebut harus tepat pada sasaran sehingga pemberantasan DHF dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.Daftar Pustaka

1. Widoyono. Penyakit tropis: Epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya. Jakarta : Erlangga; 2008.h.59-66.

2. Chandra B. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta : EGC; 2007.h.6-18.3. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 20044. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. h. 265.

5. Arias KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta: EGC; 2010. h. 266. Mubarak WI, Chayatin N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2009.7. Departemen kesehatan RI. Pedoman kerja puskesmas; pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Jilid III. Jakarta: Bakti husada; 1991.8. McKenzie JF, Pinger RR, Kotecki JE. Kesehatan masyarakat suatu pengantar. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2007. 103.

2