Download - Paradigma Mps

Transcript
Page 1: Paradigma Mps

Paradigma Positivisme

Pemikir Barat yang dianggap sebagai pencetus positivisme adalah Auguste Comte dengan nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier,  Perancis, 17 Januari 1798. Comte meninggal di Paris 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte merupakan seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.[11]

Aguste Comte hidup pada zaman pasca Revolusi Perancis abad ke-19 yang karut-marut. Pada mulanya Comte merupakan seorang ahli fisika dan politeknik terkemuka zaman itu. Ia mencoba memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal yang disebutnya sebagai masyarakat positivistik.  

Auguste Comte saat itu menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat yang mapan.

Comte melihat keadaan Perancis sama dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Maka Comte menetapkan satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap ilmiah").

Fase teologi tersebut berada di permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Masa itu ditandai adanya dominasi hukum gereja. Ilmu pengetahuan yang berkembang dilarang berlawanan dengan ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja ayat-ayat Injil tersebut ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari kekeliruan.

Fase berikutnya adalah fase metafisika, yaitu tahap di mana manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Comte berpendapat bahwa metafisika belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan menghasilkan pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.

Comte menyatakan bahwa cara berfikir manusia harus keluar dari dua tahap tersebut, yaitu dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.

Comte mengembangkan suatu penggolongan hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik (biologi) dan bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.

Dalam paradigma positivisme ini, C.A. van Peursen menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi empirisisme berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum. Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan ilmu formal tidak mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin hubungan antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).[12]

Page 2: Paradigma Mps

Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme secara lebih sederhana berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survei/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif. Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya.[13]

Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.

Dengan demikian paradigma ilmu positivisme merupakan paradigma yang menggunakan metodologi kuantitatif. Paradigma tersebut selanjutnya mendapatkan kritik para ilmuwan, termasuk mereka yang berparadigma pospositivisme.

Paradigma Konflik Paradigma ini memandang manusia sebagai mahluk yang obyektif yang hidup dalam realitas sosial , maka filsafat materialisme merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Realitas yang kontradiksi dan fenomena fakta sosial yang sering muncul dalam sebab akibat akan direfleksikan oleh teori konflik melalui logika dialektik dan endingnya adalah terciptanya dunia lebih baik. Asumsinya adalah: pertama, image tentang sifat dasar manusia yaitu pencipta, cooperativ, rasional dan sempurna kedua , image tentang masyarakat yaitu interdependent, struktural, menyeluruh, dan dinamis. Ketiga, tentang masa lalu dan masa kini yaitu timpang penuh tekanan dan pertarungan . keempat pandangan tentang masa depan yaitu utopia dan egaliter.kelima image tentang ilmu pengetahuan yaitu filsafat materialisme, historis, holistik (menyeluruh), dialektikdan terapan.

Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal Imajinasi sifat dasar manusia Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif Konsep kesadaran diri imanuel kant. Imajinasi tentang masyarakat Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control. Konsep kontrak sosial J.J RousseauImajinasi ilmu pengetahuan Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi Metode verstehen Weber

Page 3: Paradigma Mps

Para realis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, namun lingkungan atau struktur masyarakatnya lah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik. Realisme berpendirian bahwa kehidupan di dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang kasat pancaindra (common sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan terdapat hubungan kausal antara keduanya.

Menurut paradigma konflik manusia pada dasarnya memiliki sifat kerjasama karena manusia sebagai mahluk sosial, dimana perilakunya diasumsikan rasional. Dalam ciri demikian, manusia diyakini memiliki potensi untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui berbagai cara yaitu pengalaman, pemikiran dan pendidikan.

Selanjutnya, masyarakat dipandang sebagai realitas struktural. Struktur ini merupakan suatu kondisi yang muncul dalam perjalanan sejarahnya. Setiap kelompok masyarakat cenderung memunculkan sifat-sifat manusiawinya jika struktur sosialnya mendukung untuk menuju arah tersebut. Masyarakat akan timpang jika eksis perbedaan yang mencolok antar warga dalam hal materi, power dan status.

Untuk dapat memahami manusia, paradigma konflik mendekatinya dengan menerapkan filsafat materialisme. Inilah yang menurut mereka mesti mendasari pengembangan ilmu tentang manusia dan masyarakat. Karena terkait dengan struktur, berbagai komponen dalam masyarakat (manusia, lembaga, organisasi, dan kelas) tidak dapat dipelajari terpisah secara sendiri-sendiri, namun mesti secara holistik. Holistik dan historis merupakan dua kata kunci pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu sosiologi di bawah paradigma konflik.Konsep materialisme ini mendapat respon dari beberapa sosiolog, dan mengusulkan fakta bahwa realitas pada hakekatnya juga bersifat plural dan multidimensi.

Bertolak dari material sebagai pokok strukur, paradigma konflik memperhatikan secara kuat determinisme ekonomi. Basis struktur ekonomi lah penentu suprastruktur di atasnya baik berupa politik, sosial, dan budaya.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal yaitu berpikir secara dalam totalitas dan dialektis, empiris-historis, dalam kesatuan teori dan praksis, serta dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).

Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis. Kritik didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.

Menurut Marx, yang berdialektika bukan fikiran, tapi kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat).

Page 4: Paradigma Mps

Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.

Secara konseptual paradigma konflik mengkritisi paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan juga tidak selalu gradual, namun dapat terjadi secara revolusioner. Konflik adalah sesuatu yang melekat dalam setiap komunitas. Konflik tidak melulu dimaknai negatif, karena konflik menjadi instrument perubahan. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.

Paradigma Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfa atkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Menurut Blomer (Spradley, 1997:7) ada beberapa premis inte raksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:

Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.

Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem

Page 5: Paradigma Mps

makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.

Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre tasikan situasi.

Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (2000:184-185) menambahkan lagi tujuh proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya, yakni: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.

Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ asi yang melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.

Etnometodologi

Pengertian Etnometodologi  

            Apa sebenarnya teori etnometodologi itu ? Yang dimaksud dengan teori etnometodolgi ialah suatu teori dalam ilmu sosiologi yang berisikan sekumpulan pengetahuan, serangkaian prosedur dan sejumlah pertimbangan atau metode tentang kehidupan alamiah masyarakat sehari-hari, yang ditandai dengan bahasa yang digunakan, di mana masalah-masalah kemasyarakatan ini diartikan sebagai masalah yang diselesaikan secara rutin, praktis dan kontinyu tanpa banyak menggunakan pikiran.  Dalam kehidupan sehari-hari dengan teori etnometodologi anggota masyarakat menggunakan penalaran praktis, logika sendiri dan sifatnya abstrak teoritis, hidup dan berkembang dalam suatu tatanan masyarakat alamiah yang merupakan produk masyarakat setempat .

Page 6: Paradigma Mps

Aliran etnometodologi mempunyai prinsip-prinsip, sebagai berikut ;

1.  Mengkaji kegiatan dan lingkungan praktis.

2.  Menganalisis kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, cara manusia berkomunikasi, mengambil keputusan, berpenalaran dan sebagainya.

3.  Memakai penalaran praktis.

4.  Menggunakan penelitian empiris.

5.  Berpegang pada pengalaman.

6.  Menggunakan bahasa awam, bukan bahasa ilmiah.

7.  Berpendapat   bahwa akitivitas dari aktor yang terus menerus membentuk realitas masyarakat, bukan sebaliknya

8.  Berasumsi bahwa fenomena sehari-hari menjadi kacau, jika dianalisis dengan jalan diskripsi ilmiah

9.  Berasumsi bahwa norma, aturan hukum, struktur, semua tidak stabil, tetapi berubah-ubah karena tindakan aktor yang terus menerus berubah.

Adapun yang menjadi objek atau cara telaahan dari paham etnometodologi, antara lain sebagai berikut ;

1.  Menelaah praktik cerdas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari

2.  Melakukan kajian studi tentang sebuah institusi

3.  Mendapatkan kejelasan yang substantif dari aktor

4.  Memberikan sesuatu penjelasan kepada orang lain

5.  Mengetahui cara atau metode menerima penjelasan dari orang lain

6.  Menganalisis percakapan sehari-hari

7.  Menganalisis pengejekan dan pelecehan orang lain

8.  Menganalisis antara kalimat yang dipakai dengan narasi reasoning

9.  Menganalisis antara pembicaraan dengan bahasa tubuh

10.  Mengontrol diri dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri

11.  Menganalisis metode pelanggaran sistem dan metode pemulihan sistem yang ada

12.  Menganalisis terhadap negoisasi yang dilakukan para eksekutif13.  Melakukan resolusi terhadap upaya mediasi atau perdamaian .

B. Teori Etnometodologi dalam Masyarakat.

Dari objek telaahan teori etnometologi ini, penulis ingin soroti dan   mengaitkan dengan eksistensi kehidupan masyarakat.

1. Menelaah praktik cerdas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Dari segi praktik cerdas masyarakat, misalnya seseorang yang merasa haknya diinjak-injak oleh orang lain, maka orang ini akan berpikir bagaimana caranya agar hak tidak diinjak-injak oleh orang lain dan hak tersebut dapat diperoleh kembali. Lalu ia memutuskan kalau demikian,   ia harus mengajukan tuntutan hak melalui

Page 7: Paradigma Mps

pengadilan. Setelah sampai di pengadilan, ia harus mempelajari bagaimana mekanisme/proses peradilan yang ia harus lalui.   Setelah memahami mekanisme yang ia harus lalui, maka ia akan mendapatkan kesempatan untuk membela haknya di persidangan. Dalam proses persidangan ia harus cerdas mengemukakan argumentasi dalam mengajukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hakim. Setelah perkaranya diputus, ia harus mampu mengetahui apakah ia sebagai pihak yang menang atau pihak yang kalah dalam berperkara. Apabila ia kalah, maka ia harus cerdas lagi melakukan upaya hukum, biasanya melalui permohonan banding ke pengadilan tingkat banding dan pada akhirnya akan melakukan upaya hukum kasasi ataupun Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

2. Melakukan kajian studi tentang sebuah instansi.

Orang yang bekerja pada sebuah institansi, harus mampu mengetahui dan memahami mekanisme birokrasi yang berlaku di instansinya di mana ia bekerja. Terkadang setiap institansi  berbeda dalam hal  pola kebijakan yang diberlakukan, baik karena di instansi itu telah memiliki SOP (Standar Operasional Prosedure), maupun instansi itu belum menggunakan  dan  memiliki SOP.

 Semua pengadilan yang ada di bawah Mahkamah Agung, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding, mempunyai dua kegiatan yang harus dibina dan dibangun, yaitu ; bidang kepaniteraan dan bidang kesekretariatan. Idealnya kedua bidang ini harus dibangun secara terpadu dan terkoordinasi, agar wajah pengadilan ini benar-benar menjadi peradilan yang court of law . Anehnya ada beberapa pengadilan di Indonesia, yang menonjol pembinaannya dan yang dibangun hanya bidang kesekretariatan, sedangkan bidang kepaniteraan sedikit agak lambat dan ketinggalan pembinaannya. Padahal di satu sisi saat ini Mahkamah Agung mengeluarkan kebijaka bahwa kegiatan pembinaan dan pengawasan sepenuhnya diserahkan kepada pengadilan tingkat banding setempat. Seharusnya pada waktu membahas rencana kegiatan kerja, kedua bidang ini harus telah siap dengan program-program andalannya, yang sudah barang tentu akan dilakukan langkah penyesuaian-penyesuaian dan dengan skala prioritas. Prinsip yang harus dianut dalam dunia peradilan kita, tidak boleh ada yang diutamakan dan ada pula yang diabaikan. Semuanya harus berjalan seiring dan seimbang sesuai tingkat kebutuhan lembaga peradilan yang bersangkutan. Di sinilah diperlukan kreativitas dan kecepatan aktor/petugas yang bersangkutan untuk menawarkan program-program yang aktual dan rasional.

3. Mendapatkan kejelasan yang substantif dari aktor/petugas.

            Ketika orang berurusan dengan suatu instansi, maka orang yang berurusan itu harus mendapatkan kejelasan dari petugas yang ditunjuk, apa saja yang ia harus lakukan di instansi tersebut. Kewajiban-kewajiban apa saja yang harus ia penuhi. Salah satu contoh yang bisa dikemukakan, penulis mengapresiasi dan kagum melihat sistem pelayanan yang disajikan di RS. Omni Pulomas Jakarta Timur. Mulai dari petugas parkir, perawat, petugas administrasi sampai pada dokter yang menangani pasien, kelihatan dan nampak sekali kerjasama dan kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan berupa penjelasan kepada pasien ataupun keluarganya.

Page 8: Paradigma Mps

Penulis berikan contoh, pada saat masuk di area parkir. Petugas parkir sudah menyampaikan lebih awal, maaf Pak ! area parkir sudah penuh, hati-hati Pak. Kalau bisa mobil di off persenelannya. Ketika masuk di ruang UGD (Unit Gawat Darurat) petugas menyambut dengan senyum dan dengan bahasa yang santun. Maaf Pak ! apakah pasien ini pernah dirawat di RS ini ?, rupanya akan dicari data dan riwayat pengobatan pasien yang bersangkutan. Setelah mendapatkan perawatan dari dokter ahli penyakit yang bersangkutan. Petugas kembali bertanya, apakah Bapak akan menggunakan jasa ASKES (Asuransi Kesehatan) ?. Rupanya di RS Omni, ada dokter yang menerima ASKES dan ada pula yang tidak menerima ASKES. Tentu saja kalau pasiennya adalah pegawai negeri, maka petugas menunjukkan dokter yang menerima ASKES tadi. Setelah dokter sudah diketahui. Petugas kembali memberikan penjelasan bahwa untuk penggunaan kamar di RS ini, ada klasifikasi dan tergantung dari status pegewai negeri sipil selaku pasien yang dirawat. Diserahkanlah daftar selisih harga yang harus ditanggulangi oleh pasien yang bersangkutan. Hampir tiga kali sehari, perawat datang memberikan pelayanan pengobatan sesuai dengan anjuran dokter. Dan dokter sendiri hampir dua kali sehari rata-rata datang memeriksa pasien yang bersangkutan dan selalu memberikan semacam sugesti kepada pasien. Sampai pasien pulang ke rumah, pelayanan administrasi sungguh cepat dan uang yang harus dibayarkan sudah tersedia berbagai ATM Bank yang ada di dalam Rumah Sakit, antara lain ; ATM BCA, ATM BRI,   dan ATM Mandiri.

4. Mengetahui cara atau metode menerima penjelasan dari orang lain.  

            Memahami penjelasan orang lain, baik  dengan tatap muka, maupun dengan cara tulisan (surat kabat,karya ilmiah), diperlukan suatu metode yang tepat untuk mau menerima penjelasan atau pendapat orang lain. Tentu saja sebelum memahami penjelasan itu, terlebih dahulu harus disingkirkan pikiran-pikiran yang apriori terhadap orang atau pihak yang memberikan penjelasan. Dan bagi pihak-pihak yang terkena  fokus sorotan atau fokus tulisan harus berpikir lebih jernih dan dengan menggunakan kepala dingin untuk memahami substansi permasalahan yang ada. Tidak perlu terlalu berlebihan membela diri atau melakukan protes yang berlebihan. Yang terpenting bagi yang menerima penjelasan lakukanlah langkah-langkah konkret yang riel dan nampakkan ke publik bahwa apa yang Anda soroti itu tidak benar dan sesungguhnya inilah yang sebenarnya dan ini pula lah   hasil kerja keras yang dilakukan dalam melakukan pembinaan dan perbaikan. Terhadap tulisan-tulisan  yang dianggap tidak tepat, cara yang paling jitu adalah bahwa pihak yang disorot atau pihak yang merasa sorotan tersebut tidak tepat, tidak etik dan atau kurang sopan, maka ia harus mampu menulis pula dengan tulisan yang sama dengan melakukan tanggapan-tanggapan yang balance atau seimbang yang tepat sasaran. Sorotan-sorotan sepintas yang  profesional yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam ilmu sosiologi disebut etnometodologi.

5. Menganalisis percakapan sehari-hari.

            Manusia dalam berkomunikasi hampir selalu menggunakan percakapan sehari-hari. Di dalam percakapan sehari-hari itu, terkadang orang menggunakan bahasa pasar, bahkan mungkin ada orang yang menggunakan dialek pengaruh bahasa daerah. Sebagai contoh pada masa lalu banyak menteri yang berpidato dengan

Page 9: Paradigma Mps

menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi kental dengan pengaruh bahasa asal daerah menteri yang bersangkutan, misalnya   mantan Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI. Almarhum. Jenderal (Purn) M.Yusuf. Pengarahan beliau selalu tegas dan singkat serta mudah dipahami, tetapi kalimat-kalimatnya tidak lepas dari dialek orang bugis (Sulawesi Selatan). Kalimat-kalimat beliau harus dianalisis lebih teliti, agar maksud pembicaraannya dapat dipahami dengan baik dan tepat .

6. Menganalisis pengejekan dan pelecehan orang lain.

            Dalam kehidupan sosial sering ditemukan pengejekan dan pelecehan orang lain. Ada beberapa kemungkinan timbulnya pengejekan dan pelecehan seseorang terhadap orang lain. Pertama ; Pengejekan dan pelecehan itu muncul, karena akibat adanya kecemburuan sosial, mungkin saja pihak yang diejek atau dilecehkan itu memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh sang pengejek dan sang peleceh. Kedua ; Pengejekan dan pelecehan muncul karena kepentingan sesaat, mungkin saja pihak pengejek dan peleceh memiliki sesuatu target kepentingan, sehingga yang diejek atau dilecehkan itu bisa menjadi gagal dalam suatu urusan atau kegiatan, katakanlah kaitan dengan bisnis, karir dan sebagainya.  Ketiga ; Pengejekan dan pelecehan muncul karena kepentingan politik. Mungkin bisa diberikan contoh kongkret,   dari kacamata etnometodologi. Baru-baru ini berdasarkan hasil survei Litbang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), disebutkan ada tiga kementerian yang memiliki peringkat tiga besar terkorup di Indonesia, yaitu ; kementerian agama, kementerian transmigrasi serta kementerian koperasi dan UKM. KPK melihat berbagai indikator dari hasil surveinya tersebut. Nampak di media televisi Menteri Agama serius memberikan penjelasan kepada masyarakat luas. Apa sesungguhnya yang telah dicapai oleh kementerian agama dewasa ini. Cara Menteri Agama inilah, beliau menggunakan teori etnometodologi.

7. Menganalisis antara kalimat yang dipakai dengan narasi reasoning

Kalimat yang dipakai dengan menggunakan narasi reasoning, sering ditemukan   dalam putusan pengadilan dengan menggunakan penalaran ilmiah. Adapun yang dimaksud dengan penalaran ilmiah adalah penalaran yang dilakukan sesuai dengan alur atau pola penalaran deduktif yang rasional dan penalaran induktif yang empiris . Sebuah penalaran ilmiah harus didukung dengan ; penemuan dan perumusan masalah, penyusunan/perumusan hipotesis, pengumpulan data, verifikasi dan penarikan kesimpulan.

Hambatan yang sering ditemukan hakim dalam membuat putusan, karena ada diantara mereka yang tidak mampu membuat reasoning yang tepat, padahal di dalam pikirannya sudah tergambar apa yang ia harus tulis dan tuangkan dalam konsep putusan. Sebenarnya untuk mengatasi kelemahan itu mudah sekali caranya, yaitu ; memperbanyak membuat konsep putusan dengan banyak membaca referensi yang terkait serta rajin membaca dan menganalisis yurisprudensi yang ada. Hanya saja cara ini tidak banyak dilakukan oleh hakim-hakim muda, apalagi bagi mereka yang sudah senior, karena mungkin secara fisik mereka sudah tidak bisa berbuat banyak lagi, bila kesehatan mereka ikut mengganggu dalam pelaksanaan tugas. Bagi pencari keadilan yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan, tentu saja harus mampu

Page 10: Paradigma Mps

menganalisis materi putusan, minimal akan dijadikan dasar untuk mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Cara yang dilakukan itu, berarti yang bersangkutan telah menggunakan teori etnometodologi.

8. Menganalisis antara pembicaraan dengan bahasa tubuh

            Ketika orang berbicara di suatu forum, misalnya ; breifing, seminar, simposium ataupun rapat-rapat intern instansi atau lembaga, orang dapat membaca dan memahami apa muara dan keinginan si pembicara, bukan hanya pada kalimat-kalimat yang diucapkan, tetapi dapat pula diketahui dan dipahami dari gerakan dan bahasa tubuh si pembicara. Contoh konkret, ketika Presiden SBY berpidato dalam sebuah forum, ada peserta yang tertidur. Spontan Pak SBY bereaksi dengan gerakan tubuh yang disertai dengan ucapan.   Dari ucapan SBY itu, orang dapat memahami bahwa Presiden ketika itu sedang marah dan tersinggung. Cara kita memahami isi pembicaraan dan gerakan tubuh  Presiden SBY itu,  disebut dengan teori etnometodologi.

            Contoh lain dalam sebuah acara resmi, salah seorang pejabat memberi kata sambutan. Dalam sambutan tersebut pejabat yang bersangkutan mengeluarkan kalimat-kalimat yang kurang pas dan tidak rasional, apalagi kalau dihubungkan dengan fakta kejadian yang ada,   tiba-tiba ada orang  yang meninggalkan tempat duduknya dan masuk ruangan setelah pejabat tersebut selesai memberi kata sambutan. Memahami situasi seperti ini kita telah menggunakan teori etnometodologi.

9. Mengontrol diri dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri.

            Sorotan tajam yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk KPK dan Pers, terhadap tiga kementerian terkorup, harus dijadikan sebagai suatu bahan masukan untuk dapat mengontrol diri dan dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri. Caranya sederhana, Kementerian yang bersangkutan harus melakukan pembinaan terpadu dengan berbagai cara dan metode yang tepat dan sudah barang tentu arah penelitian dilakukan terhadap poin-poin pos yang rawan korupsi dari kementerian yang bersangkutan, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh KPK. Konon KPK di dalam melakukan penelitian terhadap suatu korupsi terkadang ada yang ikut di dalamnya sebagai pihak yang terlibat langsung. Sebagai contoh dugaan bahwa terdapat korupsi di Kementerian Agama, ternyata dalam penyelenggaraan ibadah haji, ada pihak KPK yang ikut melaksanakan ibadah haji, yang bertugas melakukan kajian dan pemantauan terhadap apa yang ditemukan di lapangan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

            Sorotan yang dilakukan oleh berbagai pihak terhadap sesuatu masalah, pasti di dalamnya mengandung dua hal, yaitu positif atau negatif. Dalam teori etnometodologi, bahwa untuk mencapai hal yang positif, diperlukan sorotan  yang negatif. Itu salah satu cara yang cukup ampuh dan cepat akan mendapat tanggapan dari pihak yang bersangkutan. Sehingga pada saatnya akan berubah dari hal negatif menjadi hal yang positif. Hanya sangat disayangkan sorotan-sorotan yang diangkat atau dipermasalahkan oleh seseorang ataupun lembaga, terkadang orang hanya

Page 11: Paradigma Mps

terpaku pada hal yang negatif saja, tanpa mau melihat sisi positifnya. Cara seperti itu, bukan cara seperti yang dikehendaki dalam teori etnometodologi.

10. Menganalisis metode pelanggaran sistem dan metode pemulihan sistem yang ada.

            Gagalnya suatu lembaga dalam mencapai program kerja yang telah dicanangkan karena adanya pelanggaran sistem dan tidak mampunya pihak penyelenggaran kebijakan  aktor/petugas menggunakan metode untuk memulihkan sistem yang ada. Penulis ingin memberikan contoh tanpa bermaksud mengejek dan melecehkan. Manajemen Lion Air dan juga perusahaan-perusahaan penerbangan lainnya, pasti telah memprogramakan bagaimana memberi pelayanan terbaik kepada konsumennya dan lebih penting lagi keselamatan seluruh penumpang yang ada. Sistem navigasi akan terganggu, bila ada penumpang yang tetap menggunakan hand phone di atas pesawat, padahal pramugari sudah mengumumkan, akan tetapi ada pula penumpang yang tega dan  tidak mempedulikan himbauan pramugari itu. Baru-baru ini penulis terbang dengan Lion Air dari Gorontalo ke Jakarta. Di samping penulis, duduk seorang penumpang yang masih asyik menggunakan telepon gengamnya. Pramugari sudah berkali-kali mengingatkan kepada penumpang yang bersangkutan, tetapi ia tetap tidak menggubrisnya. Akhirnya penulis menegur penumpang tersebut dengan kalimat yang halus dan sopan, bahwa ; Pak apa benar kalau kita memakai hp seperti ini di pesawat akan mengganggu sistem navigasi pesawat ini ? Langsung dijawab oleh yang bersangkutan, itu tidak benar   dan berlebihan. Pikiran penulis jangan sampai benar sistem navigasi pesawat akan terganggu, menyebabkan  pesawat akan mengalami kecelakaan. Konon pesawat Adam Air yang terbang dari Surabaya  menuju Makassar, tersesat ke NTB (Nusa Tenggara Barat), karena alat sistem navigasi pesawat itu, sudah tidak berfungsi dengan baik. Ada lagi penumpang yang duduk paling ujung di dekat jendela pesawat, penumpang itu ikat pinggangnya tidak diikat/dipasang, padahal pramugari telah mengumumkannya. Ketika penulis tanya, kenapa Bapak tidak menggunakan ikat pinggang selama penerbangan tadi ?   Dijawab oleh penumpang tersebut bahwa saya sudah berapa kali terbang, bahkan menggunakan pesawat herkules dan helikopter, saya tidak pernah menggunakan ikat pinggang, rupanya beliau ini salah seorang anggota militer yang sering menggunakan pesawat militer. Sayang sekali beliau tidak pernah berpikir bahwa saat ini sedang menggunakan pesawat sipil atau reguler, yang tentu saja aturan mainnya berbeda. Dan bila pesawat mengalami kecelakaan, maka orang lain pasti ikut menjadi korban kecelakaan.  

11. Menganalisis terhadap negoisasi yang dilakukan para eksekutif.    

            Negoisasi yang dilakukan oleh para eksekutif, tentu saja hal ini di luar jangkauan masyarakat luas, akan tetapi hal itu menjadi lahan dikalangan Perss ataupun LSM yang terkait. Ketika negoisasi sedang berlangsung antara para eksekutif, orang dibolehkan melakukan analisis, baik terhadap pelaksanaan uji kelayakan,  nuangsa pasar, mekanisme penggunaan dan pemanfaatan sampai kepada masalah maintenence yang ikut dinegoisasi. Boleh saja dianalisis.  Sebagai contoh konkret, baru-baru ini telah diadakan negoisasi, antara pihak Lion Air dengan Manajement Boing di AS yang disaksikan oleh Presiden AS Obama di Bali dalam

Page 12: Paradigma Mps

rangka pembelian pesawat boing dengan berbagai tipe sebanyak 230 buah. Apa yang harus dianalisis, tentu saja antara lain isi dari negoisasi itu, bagaimana sistem dan   mekanisme pembayaran antara Lion Air selaku pembeli dan Boing selaku penjual. Terus dari mana dananya, bagaimana sistem pembayarannya bila menggunakan jasa perbankan. Cara menganalisis seperti ini disebut dengan menggunakan teori etnometodologi.

Fungsionalis Struktural

Akar PemikiranStruktural fungsional atau fungsionalisme struktural merupakan salah satu cabang pengkajian makrososiologi yang berada pada tataran disiplin sosiologi “modern”[1]. Teori terkait merupakan perkembangan sosiologi klasik Durkheim yang menempatkan masyarakat sebagai organisme sosial, yakni suatu entitas (kesatuan) yang tersusun atas berbagai elemen dengan peran berikut fungsinya masing-masing. Menurutnya, kerusakan atau disfungsional pada salah satu elemen akan menganggu atau merusak keseluruhan elemen. Hal tersebut didasarkan pula pada konsep division of labour 'pembagian kerja' Durkheim.

Perhatikan skema berikut,

Skema di atas menunjukkan keterkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya, kerusakan elemen satu akan mempengaruhi elemen dua, tiga dan empat. Begitu pula, kerusakan pada elemen tiga akan mempengaruhi berbagai elemen lainnya.

Tokoh dan Asumsi Pemikiran

Page 13: Paradigma Mps

Beberapa sosiolog yang berdiri di balik pemahaman struktural fungsional antara lain Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kingsley Davis, Marion J. Levy dan FX. Sutton. Setidaknya, terdapat beberapa asumsi pemikiran yang mereka kembangkan mengenai struktural fungsional, antara lain:1. Masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai subsistem dengan beragam peran berikut fungsinya masing-masing, kerusakan pada salah satu subsistem akan merusak seluruh keseimbangan sistem.Contoh:Beberapa tempo lalu, kebijakan seorang direktur yang menaikkan gaji jabatannya nyaris tiga kali lipat menuai protes banyak karyawan, bahkan mereka sempat mengancam bakal melakukan aksi mogok kerja Apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka produksi pun akan mengalami stagnasi atau kelumpuhan.2. Segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat akan eksis dengan sendirinya, dan begitu pula sebaliknya.Contoh:Kehidupan masyarakat modern yang begitu efisien mensyaratkan pula hadirnya media hiburan yang bersifat instan. Kiranya, hal tersebut dapat menjelaskan tergerusnya pagelaran wayang semalam suntuk yang segera tergantikan dengan masifnya kehadiran bioskop di kota-kota besar.3. Perubahan sosial atau pergolakan dalam masyarakat ditempatkan sebagai upaya mencapai keseimbangan baru.Contoh:· Gelas berisi air yang dimasuki kerikil akan beriak untuk sementara waktu, kemudian kembali tenang. Selisih antara volum awal air dalam gelas dengan sesudahnya dapat diandaikan sebagai perubahan sosial.· Ketika seorang anak tengah terjun dalam kolam bola (baca: mandi bola), bola yang terdapat di dalamnya berserakan tak karuan (chaos), namun setelah ia keluar dari kolam tersebut, maka bola akan kembali rapi dengan sendirinya.· Periode-periode tenang di antara Perang Dunia I dan II, Perang Dunia II dan Perang Dingin, serta periode tenang antara Perang Dingin dengan perang melawan terorisme.Bagan Struktural Fungsional-ParsonsLatency                            Subsis. Kebudayaan Integration                                   Subsis. SosialGoal Attaintment                 Subsis. Kepribadian  Adaptation                                  Subsis. Biologis

      Bagan struktural fungsional susunan Parsons di atas menunjukkan bahwa adaptation 'adaptasi' merupakan fungsi subsistem biologis, sedang goal attaintment 'pencapaian tujuan' merupakan fungsi subsistem kepribadian, integration 'integrasi' fungsi dari subsistem sosial, serta latency 'latensi' fungsi dari subsistem kebudayaan. Lebih jauh, bagan terkait menunjukkan bahwa semakin ke atas maka membawa arus informasi dan menuju “sistem metafisika”, sedang semakin ke bawah membawa kalor berikut menuju “sistem fisika”. Rangkaian konsep struktural fungsional Parsons tersebut dapat dimisalkan dengan contoh konkret sebagai berikut.

Page 14: Paradigma Mps

       Seseorang yang merasa haus kemudian menyahut begitu saja air minum milik orang lain dapat dikatakan lebih condong pada pemenuhan biologis (subsistem biologis) dan sistem fisika. Sebaliknya, seseorang yang menahan dahaganya dan tak begitu saja menyahut air minum milik orang lain, lebih pada kerangka pemikiran metafisika. Oleh karenanya, dijelaskan bahwa semakin ke atas (metafisika) membawa arus informasi, “informasi” sebagaimana dimaksudkan di sini adalah nilai serta norma sosial, kebudayaan atau agama, sedang semakin ke bawah (fisika) membawa kalor. Dalam hal ini, “kalor” bukanlah suatu energi akodrati atau transenden sebagaimana dimensi informasi yang mengarah pada metafisika, melainkan energi dalam bentuknya yang konkret, seberapa banyak seseorang melakukan pembakaran energi guna melakukan aktivitasnya—satuan kalor.       Lebih jauh, fungsionalisme struktural Parsons tidaklah berdimensi praksis, melainkan sekedar ditempatkan guna menjelaskan fenomena sosial di mana salah satunya: terdapat masyarakat di suatu belahan dunia yang lebih condong pada sistem metafisika, sedang belahan lainnya lebih pada sistem fisika. Namun, kedua entitas masyarakat tersebut bukannya tak mungkin ber-kooperasi satu sama lain, sebagaimana asumsi dasar struktural fungsional—masyarakat sebagai organisme sosial—masyarakat fisika yang dapat diidentikkan dengan masyarakat Barat memberikan sumbangsih modernisme pada masyarakat Timur (metafisika), sedang masyarakat Timur memberikan akar-akar spiritualitas semisal yoga guna mengisi kehampaan spiritual masyarakat Barat.[2] 

Sumbangsih Konseptual Struktural FungsionalismePada perkembangannya, struktural fungsional berjasa bagi beberapa arus pemikiran yang lahir setelahnya, antara lain feminisme liberal dan strukturalisme. Asumsi dasar yang dibangun feminisme liberal adalah, pada hakekatnya pria dan wanita saling membutuhkan serta memiliki peran berikut fungsinya masing-masing, dengan demikian arogansi kaum Adam terhadap Hawa sesungguhnya sama sekali tak beralasan. Mereka (kaum feminisme liberal) berupaya menyebarkan berbagai idenya melalui jalur edukasi (pendidikan).Di sisi lain, sumbangsih struktural fungsional atas strukturalisme dapat ditilik melalui penjelasan Parsons mengenai determinisme budaya. Menurutnya, pola pikir dan perilaku individu tak dapat lepas dari nilai berikut norma sosial-budaya yang melingkupinya. Lebih jauh, hal tersebutlah yang menjadi pengikat antara satu sama lain sehingga suatu kesatuan masyarakat dapat terbentuk, yakni eksisnya hak dan kewajiban antar sesama individu.

Kritik atas Struktural FungsionalDi samping tak dapat menjelaskan fenomena perubahan/pergolakan sosial karena sekedar menempatkannya sebagai upaya guna mencapai keseimbangan baru, struktural fungsional menuai kritikan keras pula karena dinilai pro status-quo dan melegitimasi kesewenang-wenangan pihak dominan atas dormant. Kritikan tersebut hadir melalui Pitrim Sorokin dengan menilik catatan sejarah penderitaan para buruh di bawah kekuasaan feodalisme Eropa. Pungkasnya, “Apakah para buruh membutuhkan eksploitasi kaum feodal?”.Begitu pula, apabila kita menilik sistem kasta dalam masyarakat India, kacamata struktural fungsionalis akan melihatnya sebagai perihal yang wajar dan dapat dimaklumi, bahkan

Page 15: Paradigma Mps

menganggapnya sebagai kondisi masyarakat yang “harmonis”. Hal tersebut akan berkebalikan jauh bilamana kita menggunakan perspektif konflik Dahrendorf, Coser atau Mill.  

Paradigma Feminisme

Feminisme dikatakan sebagai sebuah gerakan untuk membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan. Setiap paradigma feminisme dipengaruhi oleh paradigma-paradigma dalam ilmu sosial. Dalam hal ini, aliran feminime liberal telah dipengaruhi oleh paradigma fungsionalisme yang dikembangkan oleh Talcott Parsons. Namun tampaknya telah terjadi kesalah pahaman dalam mendeskripsikan teori Parsons tersebut oleh feminisme liberal. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana paradigma Feminisme Liberal? 2) Bagaimana kritik terhadap paradigma Feminisme Liberal?

Untuk menjawab pertanyaan di atas secara mendetail, peneliti menggunakan pendekatan penelitian dengan metode kualitatif dan analisis data dengan cara deskriptif historis, melalui pencarian fakta yang menggunakan ketepatan interpretasi. Dengan kajian pustaka menggunakan cara pengumpulan data yang diperoleh dari pustaka yang berhubungan dengan wilayah materi yang diteliti.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan latar histories, isu tematik serta perkembangan Feminis Liberal. Kemudian mengajukan kritik terhadap paradigma Feminis Liberal dengan melakukan perbandingan terhadap basis teori yang digunakan oleh feminisme liberal, yakni paradigma fungsionalisme.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Paradigma feminsme liberal merupakan sebuah aliran pemikiran feminis yang menekankan rasionalitas berfikir dan bernalar, yang mempunyai dua aspek yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan prudentialitas (pemenuh kebutuhan diri sendiri). Manusia, perempuan dan laki-laki, diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama, dan harus pula mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Keadilan gender menuntut untuk membuat aturan permainan yang adil diantara kedua gender.

Sementara kritik terhadap feminisme liberal yakni; terdapat kesalah pahaman interpretasi yang dilakukan feminsme liberal dalam memahami paradigma fungsoinalisme Talcott Parsons sebagai basis teori yang digunakan feminisme liberal. Kritik terhadap paradigma feminisme liberal adalah kritik basis teori paradigma feminisme liberal. Diantaranya yaitu: Nilai equilibrium (tatanan) yang ditekankan oleh Parsons dimaknai sebagai equality (kesetaraan) seperti yang diusung oleh feminisme liberal. Begitu juga dalam pemahaman tentang rasionalitas Parsons dengan rasionalitas yang ditekankan oleh feminisme liberal telah terdapat kesenjangan pemahaman.

PARADIGMA RACE CRITICAL LEGAL THEORY

LATAR BELAKANG CRITICAL LEGAL STUDIESTeori hukum tradisional mengajarkan, hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-

prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat

Page 16: Paradigma Mps

diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi, umumnya mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik, hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.

Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini, mereka yang disebut juga dengan golongan antifoundationalistis, telah mendominasi pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Studies[2]. Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa.

Karena itu, para postmodernist ini menentang hukum dengan mengatakan bahwa hukum tidak berdasarkan benar atau salah secara universal, tetapi hanya perwujudan kekuasaan oleh 1 (satu) kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dalam bidang hukum. Muncul gerakan yang menantang teori hukum tradisional, gerakan itu disebut dengan gerakan critical legal studies.

Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Critical Legal Studies lahir karena pembangkangan atas ketidak puasan terhadap teori dan praktek hukum pada saat itu, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut :1. Terhadap pendidikan hukum2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada

Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu, semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut.

Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoritis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai

Page 17: Paradigma Mps

melihat hukum dengan kacamata yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya yang terbilang revolusioner, akhimya memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies).

Gerakan critical legal studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari kofrensi tahun 1977 tentang critical legal studies di Amerika serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus , juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain selain Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis.

Di Inggris, gerakan critical legal studies ini dibentuk dalam konferensi tentang critical legal studies pada tahun 1984. Pada tahun tersebut, diundang para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in actions) dan kegagalan masyarkat merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat[5]. Konferensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan sebagai berikut: Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger. Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya sejarah.

Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal studies telah melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru. Mereka berusaha keras untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul di permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias terhadap kultur, ras atau gender. Generasi kedua dari critical legal studies sekarang muncul dalam wujud Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical Criminology dan juga Economic Theory of Law.

B.POKOK-POKOK PEMIKIRAN CRITICAL LEGAL STUDIESAliran critical legal studies memiliki beberapa karakterisik umum sebagai

berikut :                        Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral. Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu. Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka tidak mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari Critical Legal Studies ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory.

Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical legal studies menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian

Page 18: Paradigma Mps

hukum yang objektif, sehingga mereka mengubah haluan hukum untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.                 Menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure teory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan hal itu, namun dalam kalimat yang berbeda, Gary Minda dengan mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan bahwa, “Critical Legal Studies offered not merely a theory of law, but a hopeful self-conception of a politically active, socially responsible [vision] of a noble calling”.Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut[8]:    Hukum itu objektif. Artinya, kenyataannya adalah tempat berpijaknya hukum    Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti    Hukum itu netral, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.Disamping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran critical legal studies mengajukan pandangannya sebagai berikut :

1. Hukum mencari legitimasi yang salahDalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan

mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral

2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksiDalam hal ini, pihak penganut critical legal studies percaya bahwa setiap kesimpulan

hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru ”pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif”. Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.

3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukumAhli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah

”pemikiran yang rasional”. Akan tetapi menurut penganut aliran ini, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun dengan verifikasi empiris.

4. Hukum Tidak NetralPenganut critical legal studies berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya

berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal mereka, selalu bisa dan selalu dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi, mistifikasi yanng dianutnya untuk memperkuat kelas yang dominan.

Page 19: Paradigma Mps

Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai altematif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti-liberal, antiobjektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodern, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.

Esensi pemikiran critical legal studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law is politics itu, critical legal studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan critical legal studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations.

Sebagai salah satu contoh dari hal tersebut di atas, dapat dilihat dari praktik hubungan antarnegara. Dalam hubungan antarnegara, kekuatan sering digunakan oleh negara maju terhadap negara berkembang untuk terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang. Menekan negara berkembang agar negara berkembang itu melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.

Proses intervensi dan penekanan yang dilakukan oleh negara maju seperti itulah yang kemudian dibungkus dengan suatu bentuk perjanjian internasional, agar tampak lebih manusiawi. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tepatlah jika Karl Marx menganggap bahwa fungsi utama dari hukum itu adalah untuk menyelubungi atau menutup-nutupi hubungan antarkekuatan yang timpang.

Ada berbagai macam varian di dalam arus critical legal studies. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga) varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu :

Page 20: Paradigma Mps

                Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.   Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya. Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.

Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.

Para penganut aliran Critical Legal Studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.

Critical Legal Studies menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.

Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.

Critical Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.

Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam critical legal studies ini, para pemikir critical legal studies tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak

Page 21: Paradigma Mps

puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan metode:

    Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.

   Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.                  Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.

C.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CRITICAL LEGAL STUDIESKelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan

oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.

Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif. Kelebihan lain dari critical legal studies adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yangabstrak.

Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.

Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankannilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.

D.PERKEMBANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES DI INDONESIACritical Legal Studies bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap baru.

Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan

Page 22: Paradigma Mps

pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.

Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran critical legal studies juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya

Pemikiran Critical Legal Studies juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Studies ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Studies memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum di Indonesia. Untuk hal ini, menarik juga untuk memperhatikan pendapat dari Ifdhal Kasim yang menyatakan: “Kajian-kajian hukum Critical Legal Studies saya kira sangat relevan kita gunakan dalam menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Saya kira memang sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di sini”.

Penggunaan critical legal studies untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada  masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat.

Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode critical legal studies dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum[15]. Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”.

Paradigma post Modernisme

Sumber 1

Postmodern dan Tradisi (Kognisi)

Kevin O’Donnell dalam naskahnya (Postmodernisme), mencoba menerjemahkan postmodern dengan pengertian “sesudah sekarang”. Terjemahan postmodern dengan “sesudah sekarang”

Page 23: Paradigma Mps

itu mengacu kepada istilah “post” yang berarti “sesudah”, dan “modern” yang berarti  up to date atau “sekarang”.

Naskah “postmodernisme” O’Donnell saya pilih dan suguhkan di awal, karena berkaitan dengan persoalan “reflexive method” dan postmodern dalam tradisi “ilmu pengetahuan-kekuasaan (Foucault)”, “dekonstruksi-Derrida”, “Lyotard dengan pandangannya mengenai pengetahuan; gagasan tentang subjek (individu); serta sains dan produksi teks sebagai narasi dan retorika”. Klaim ataupun gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut, memiliki ciri tertentu yang menjadi corak dalam klaim ataupun gagasan-gagasan mereka. Berbagai ciri maupun corak gagasan inilah yang kalau boleh saya katakan dengan istilah “tradisi berpikir/medan gagasan”.

Konvergensi antara naskah “postmodern” O’Donnell dengan “reflexive method” akan kita jumpai setelah paparan mengenai tradisi berpikir postmodern oleh ketiga tokoh tersebut.

Sumber 2

 Pendekatan Post-Modern

Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan

konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia

arsitektur.Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat,

setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.

Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture.Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut  Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991(dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk

Page 24: Paradigma Mps

kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.

Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan,

Page 25: Paradigma Mps

kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.

Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.

Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia

Page 26: Paradigma Mps

postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional. B.     Penelitian Ilmu Sosial

Setiap pendekatan dalam penelitian merupakan cara untuk memahami sesuatu, yang dalam ilmu sosial dan humaniora menurut Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D. (1999:59) adalah untuk memahami gejala-gejala sosial, gejala kehidupan kita sendiri ataupun orang lain. Pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan paradigma. Penelitian melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif memberikan dua macam paradigma yang perlu diperhatikan.

Positivisme menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu yang dapat dimasukkan dalam kategori tertentu, yang dari anggapan itu tampak bahwa positivisme melatarbalakangi pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan akan pentingnya pemahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak subyek kajian, karena itu paradigma alamiah atau naturalistik, mewarnai pendekatan kualitatif. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah memberi dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda ilmiah, sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk melaksanakan atau operasional ilmu.

Penelitian yang kualitatif berakar dari data, dan teori berkaitan dengan pendekatan tersebut diartikan sebagai aturan dan kaidah untuk menjelaskan proporsisi atau perangkat proposisi yang dapat diformalisasikan secara deskriptif atau secara proporsional. Dua kepentingan akan terpenuhi, yaitu teori substantif disusun bagi keperluan empirik, dan teori formal bagi keperluan pengembangan. Penyusunan teori itu dilakukan melalui upaya kategorisasi dan relasi logik antara unsur-unsur dalam membina integrasi yang berlaku: analisis banding dapat dilakukan antara unsur satu dengan unsur lainnya, dan teori formal selain menguji teori formal lainnya, juga untuk analisis hasil penelitian.

Unsur-unsur berkaitan satu sama lainnya dalam melakukan fungsi menurut pola kebudayaan dari masyarakat yang diteliti, karena itu pendekatan emik dianggap penting dan tak perlu ditarik suatu generalisasi sebelum keseluruhan analisis itu selesai. Data uraian tentang data akan tampak, yang bukan sebaliknya berupa bangunan analisis yang diterapkan pada data. Atas asumsi bahwasanya tingkah laku yang terpolakan itu adalah menurut runtutan tindakan warga masyarakat yang menjadi obyek kajian, maka gaya analisis struktural memberikan keleluasan uraian dari kajian empirik. Ilmu-ilmu sosial tidak berubah bentuk, karena yang berubah adalah paradigma-paradigmanya, selain itu dilihat dari epistemologinya masih mengacu kepada peningkatan ilmu-ilmu sosial, meneliti fakta sosial dalam semua bentuk, dan mencari asal perjalanan institusi sosial dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Penggunaan metode kuantitatif, positivistik dan asumsi telah ditolak oleh peneliti kualitatif generasi yang terikat dan mendukung aliran poststruktural, postmodern yang sensitif. Para peneliti berargumentasi bahwa metode positivistik bukan jalan menceritakan kisah tentang masyarakat atau dunia sosial. Mereka juga bukan yang utama atau tidak lebih buruk dari metode yang lain, merka hanya dikatakan sebagai suatu perbedaan dari semacam kisah yang dimiliki.

Para ahli dari kelompok critical theory, constructivist  dan aliran postmodern menolak kriteria positivis dan postpositivist sebagai pekerjaan yang layak. Mereka melihat bahwa kriteria

Page 27: Paradigma Mps

itu tidak sesuai untuk kegiatan lapangan dan isinya merupakan reproduksi kriteria yang selalu memiliki macam kepastian dari sains, padahal sains itu bisu dan penuh kekerasan. Peneliti justru melihat bahwa kegiatan evaluasi kerja mengandung emosi, tanggapan pribadi, kebusukan pada etika, political praxis, teks kekerasan dan dialog dengan subjek. Sebaliknya positivistik menggunakan kelemahan di atas untuk bertahan diri dengan argumentasi bahwa mereka adalah sains yang baik, bebas dari bias individual dan subjektivitas; sebagai catatan bebas mereka melihat postmodern sebagai suatu serangan terhadap pikiran dan kebenaran.

Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir (2000:319-321) bahwa penelitian antropologi kultural dan sosiologi terdiri atas: ethnologi orientalis, ethnography, ethnomethodologi dan critical ethnography.Ethnologi Orientalis yang dilandasi asumsi bahwa budaya banyak negara di Timur lebih inferior dibanding dengan budaya Barat, berkembang studi kebudayaan primitif yang disebut ethnologi. Ethnographybertolak dari asumsi ethnosentrisme, yaitu bahwa terjadi pengelompokan atas dasar kesamaan keyakinan atau kesamaan budaya atau kesamaan tradisi terdapat keberbedaan yang dapat dideskripsikan, tetapi tidak dapat digeneralisasikan. Karena itu berkembang studi deskriptif beragam budaya sebagai studi ethnography. Karena tradisi dan budaya masyarakat maju telah sangat luas dipelajari, maka ada semacam pemisahan antara studi ethnography bagi satuan-satuan masyarakat minoritas dengan studi antroplogi dan sosiologi bagi satuan-satuan masyarakat yang sudah lebih berkembang.

Ethnography bersifat idiographik “mendeskripsikan” budaya dan tradisi yang ada, dilawankan dengan studi nomothetik yang mengeneralisasikan temuan-temuan (dalam hal ini sosiologi). Eraethnography ini berada pada era positivisme. Kerangka teoritik dan kriteria pola budaya yang dipakai untuk “mendeskripsikan” budaya satuan minoritas dalam studi ethnography adalah teori dan kriteria budaya Barat. Akibatnya “deskripsinya” banyak bias; masyarakat minoritas dan masyarakat negara berkembang dilihat sebagai terbelakang, budayanya masih rendah, dan seterusnya.

Ethnomethologi termasuk era postpositivistik. Perintisnya adalah Garfinkel. Keyakinan,

budaya, dan tradisi dideskripsikan sebagai masyarakat itu sendiri meyakini dan menyadarinya.

Tidak lagi menggunakan kerangka teori atau kriteria Barat, melainkan diangkat dari grass

root  sebagaimana masyarakat itu sendiri menjelaskan. Dengan demikian

studi ethnomethologi berkembang pada lingkungan masyarakat lebih luas. Studi ini

menjadi overlap atau tumpang tindih dengan studi antropologi dan studi sosiologi; atau dalam

visi menyatukan sering pula dikatakan ethnometologi merupakan salah satu model atau cara

untuk mempelajari sosiologi atau antropologi.

Critical Ethnography merupakan hasil proses dialektik; pada satu sisi tumbuh dari

ketidakpuasan dengan struktur masyarakat berupa kelas sosial, patriarkhat, dan rasialis, sehingga

manusia sebagai pelaku sosial human tidak dapat tampil. Yang tampil hanyalah representasi

kelas, ras dan gender. Pada sisi lain demokratisasi tanpa pembedaan kelas, ras

dan gender  pernah dapat muncul. Entah sadar entah tidak, telenovela dari Meksiko yang

ditayangkan pada berbagai televisi di Indonesia telah dan sedang menanamkan struktur

masyarakat berkelas.

Page 28: Paradigma Mps

Dalam perkembangannya ilmu sosial sejak tahun 1960-an, hal mana politik dan

intelektualisme meragi (ferment) dan menantang grand theories dan metodologi ortodox

(maksudnya metodologi fungsional) yang tampil “obyektif”, tetapi sebenarnya hendak

mempertahankan kemapanan. Gerakan ini berupaya meninggalkan teori-teori substantif, dan

mengembangkan interpretasi dan diskursus tentang realitas sosial itu sendiri. Critical

Ethnography oleh Lather (dalam Muhadjir, 2000:320) disebut sebagai openly ideological

research dalam konsep konvensional. Critical Ethnography, sebagaimana interpretivist, juga

men-generate insights, menjelaskan kejadian dan mencari pemahaman. Para interpretivist

memaknai realitas sosial sesuai dengan experience-near daripada pemaknaan peneliti sendiri,

demikian Geertz. Meskipun demikian interpretivist adalah rekonstruksionist atas realitas sosial.

Penganut teori kritis dalam ethnography mencermati bahwa studi ethnographi sudah

terlalu bersifat teoritis dan bersikap netral atas struktur sosial yang ada. Critical

ethnography mencermati bahwa struktur sosial seperti sistem kelas, patriarkhat, dan rasisme

bertentangan dengan humanisme. Pemikiran ilmu sosial pada tahun 1960-an mulai

menggugat grand theories dan metodologi berfikir yang cenderung memapankan ketidakadilan.

 

IV.              KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1.      Teori postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity)

daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.

2.      Postmodern menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah

membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Juga cenderung

menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi,

totalitas. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar

pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal,

kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan

pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan

batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi,

teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang

teliti dan bernalar.

3.      Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya guna memahami

gejala-gejala yang sedemikian rupa tak memerlukan kuantifikasi, atau karena gejal-gejala

tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat. Yang termasuk pendekatan penelitian

kualitatif; penelitian kualitatif naturalistik atau penelitian alamiah, etnografi atau

ethnometodologi, studi kasus, perspektif dalaman, penafsiran dan istilah lainnya.

Page 29: Paradigma Mps