Parabola
Jalan setapak di depan rumahku begitu becek, genangan air bekas hujan tadi malam
menempati hampir semua sudut jalanan. Dengan berseragam putih abu-abu, aku mengayuh
sepedaku menyusuri jalanan itu. Ada suatu tempat yang harus kutuju sepagi ini. Ya, apalagi
kalau bukan sekolah. Seperti biasa, sesampainya di gerbang sekolah sudah terdapat sosok
Pak Jati, tukang kebun sekolah, yang lebih dulu datang, lalu kusapalah ia. Senyumnya yang
hangat membalas sapaan dariku.
Kelas di ujung koridor itulah kelasku. Tidak gelap dan tidak terang. Tidak hangat
ataupun dingin. Bangku di sudut belakang kelas selalu menjadi incaranku tiap hari. Kubuka
novel tebalku, dan mulailah ku membaca. Lembar demi lembar kubuka. Hingga pesawat
kertas itu mendarat di depanku, memecah konsentrasi. Ya, dialah Key, cowok paling jahil di
kelasku yang menerbangkan pesawat ke arahku. Tiada hari tanpa kejahilan cowok itu.
“Hey si kutu buku, sudah berapa buku yang kau baca pagi ini?” ejek Key.
Tak terasa, kelas sudah terpenuhi oleh teman-teman yang lain. Sudah berapa lamakah
aku membaca? Hingga tak sadarkan diri seperti ini. Sepertinya itulah penyakitku hingga
sekarang. setiap aku membaca buku entah apa itu, pasti aku akan lupa segalanya.
Miki Yasashi, itulah namaku. Setiap orang yang mendengar kata itu, mungkin saja
langsung berfikiran bahwa aku ini orang jepang. Memang tidak salah, almarhum ayahku
adalah orang Jepang dan ibuku orang jawa. Yasashi yang berarti baik, bukan berarti aku baik
keseluruhan. Tanpa teman, tanpa sahabat, terasa seperti tak guna aku datang ke sekolah.
Tettt... Tettt...
Bel tanda masuk pelajaran berbunyi. Diikuti pula para Sistar masuk kelas dengan
lihainya. Sistar adalah sebutanku untuk para cewek paling top di kelas bahkan di sekolah ini.
Siapa lagi kalau bukan si genit Sisca dan si modis Tiffany. Jika dibandingkan dengan mereka,
aku bukanlah apa-apa. Hanyalah anak kutu buku bermata sipit.
“Fany, ada Pr Bahasa Indonesia, apa kamu sudah mengerjakan?” tanya Sisca.
“Oh ya, aku belum ngerjain.” jawab Tiffany. “Hey sipit! Mana Prmu. Sini ku pinjam.”
Katanya dengan lagak yang sombong. Tanpa ku berkata sedikitpun, dia sudah mengambil
buku Prku di atas meja. “Menjengkelkan...”
“Apakah tidak ada kata ucapan terimakasih darinya? Selain mengeluh setiap hari?”
pikirku dalam hati.
Keluarga Tiffany biasa dipanggil keluarga konglomerat di sekolah ini. Pantas saja jika
dia sombong dan bertingkah semaunya sendiri. Semua anak di kelasku hampir semua takut
kepadanya. Jika ada yang berbuat iseng kepadanya, tak segan-segan ia bawa ke kantor polisi.
Sama halnya denganku. Lebih baik menjauhinya daripada terkena masalah bertubi-tubi.
Tak lama kemudian Pak Beni, guru Bahasa Indonesia memasuki kelas. Dengan tas
tenteng di tangan kanan serta rambut putih di kepala membuatnya sedikit lebih tua. Seperti
layaknya sekolah negeri, setiap pagi menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah itu pun,
pelajaran dimulai.
“Baiklah. Kita mulai pelajaran hari ini.” kata Pak Beni. “Kumpulkan segera Pr minggu
lalu. Miki, kumpulkan dari belakang.”
“Iya Pak..” jawabku.
“Baiklah. Minggu lalu kita berbicara tentang pantun. Sekarang kita masuk ke bab
selanjutnya mengenai kewirausahaan. Bapak minta setiap orang untuk maju ke depan kelas
mengutarakan usaha apa yang ingin kalian mau di masa depan. Dimulai dari Key.” jelas Pak
Beni.
“Hmmm.. Karena aku mengidolakan seorang Rossi. Kemudian, aku pikir-pikir lagi,
bahwa di Yogyakarta ini cukup sulit untuk mendapatkan merchandise MotoGP. Jadi, untuk
kedepannya, aku ingin mempunyai toko merchandise MotoGP.” Jelas Key.
“Woooooooo” teriak semua anak di kelas berlanjutkan dengan tepuk tanga meriah.
Selanjutnya adalah Tiffany. “Kalau aku, mungkin aku tidak mau berwirausaha. Karena
ayahku seorang konglomerat dan juga, aku ingin menjadi model. Jadi buat apa aku mau
usaha. Terimakasih. ” jelas Tiffany.
Urutan terakhir maju ialah aku. Tiba-tiba kelas menjadi hening. Seperti biasa aku pasti
akan menjadi bahan ejekan di kelas. Termasuk Key dan Tiffany yang akan mengejekku
habis-habisan.
“Hmm.. aku ingin mempunyai toko buku besar di Yogyakarta ini. Setidaknya jika aku
menjadi penulis besok, bukuku akan ku jual di sana. Serta aku ingin membudayakan
Yogyakarta gemar membaca.” Kataku.
“Hahahaha.. mana mungkin kamu punya toko buku. Hahahaha... jangan-jangan nanti
para pembelimu mencuri buku-bukumu dan kamu tidak tau itu. Kau tau kenapa? Karena kau
SIPIT!” ejek Sisca. Diikuti oleh tawa sekelas.
“Aku juga berfikiran. Apa yang bisa dilakukan oleh orang sipit sepertimu.” Ejek
Tiffany. Untuk pertama kalinya, hatiku sakit mendengar perkataan Tiffany. Kulihat Key tidak
mengejekku kali ini. Ia hanya melihatku iba. Kelas menjadi ramai mengejekku habis-habisan.
Pak Beni mencoba menenangkan.
Bel istirahat berbunyi, semua anak keluar kelas dengan gembira setelah mengejekku.
Kulihat Key menghampiriku.
“Ada apa? Kau mau mengejekku?” kataku.
“Tidak. Kulihat keinginanmu itu bagus. Mendirikan toko buku. Itu tidak salah bagiku.
Menurutku semua orang berhak bercita-cita, termasuk kamu. Kamu pasti bisa Miki.” Kata
Key. Aku sempat shock mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Padahal tadi pagi ia
menjahiliku. Ternyata ada sisi baik dalam dirinya. Mungkin kini aku mendapat teman
seorang Key.
***
Kelas sudah usai. Aku pulang ke rumah sambil mengayuh sepedaku. Memikirkan
perkataan Tiffany dan Key. Muncul keinginanku untuk membuktikan kepada Tiffany bahwa
aku ini bisa.
Sesampainya di rumah, aku segera membuka gudang. Terdapat bertumpuk-tumpuk
kerdus usang. Kubuka lagi kerdus-kerdus itu. Di dalamnya, ada puluhan novel yang sejak
kecil aku koleksi. Muncullah keinginanku untuk membuka rental buku kecil di desa ku.
Ibuku pun menyetujui hal itu. Beruntungnya, bagasi depan rumahku sudah tak terpakai lagi.
Jadi aku bisa membangun rental bukuku sendiri.
Rak-rak buku tersusun rapi. Terdapat karpet bundar di tengah ruangan dengan meja-
meja kecil untuk tempat membaca. ‘Mickey’s Book’ nama yang pertama aku pikirkan.
Berasal dari kata ‘Miki’ dan ‘Key’. Aku gantung nama itu di depan bagasi rumah. Aku mulai
membuat flayer untuk mempromosikan tokoku. Bersyukurlah semua berjalan lancar.
Besok siang sepulang sekolah, aku membuka ‘Mickey’s Book’ untuk pertama kalinya.
Kali ini aku mengajak Key untuk mampir ke rumahku. Tak terasa, di hari pertama ini sudah
banyak anak-anak tetangga sebelah yang mengunjungi tokoku. Senang rasanya. Hari demi
hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan aku selalu memperbarui koleksi buku-bukuku.
Tak terasa, makin banyak pula pengunjung yang datang dan meminjam buku. Untuk yang
meminjam aku kena tarif Rp1000 per buku. Makin lama, tabunganku semakin gendut. Aku
ingin mendirikan toko bukuku yang selama ini aku impikan.
***
Itulah sepenggal kisahku. Kini aku telah berada di ruanganku sendiri. Di ruangan yang
terdapat meja bertuliskan ‘manager’ di atasnya. Aku kini punya toko buku yang bisa dibilang
besar di Yogyakarta. Aku juga menerbitkan beberapa buku inspiratif yang sudah berkali-kali
cetak.
Sementara di keluarga Tiffany, ayahnya yang dulu sehat tiba-tiba saja jatuh sakit.
Setelah didiagnosa dokter. Ternyata ayah Tiffany terkena kanker. Keluarga Tiffany harus
mengeluarkan belasan juta untuk itu. Pada akhirnya, kini Tiffany memang menjadi model.
Namun ia harus bekerja ekstra karena harus membantu keluarganya yang kesesusahan.
Tak lupa Key, ia telah mencapai mimpinya juga. Tapi lebih dari itu. Sekarang ia berada
di negeri matahari terbit dan mendirikan toko merchandise di sana. Kudengar, akhir bulan ia
akan menyelesaikan studinya dan akan kembali ke Yogyakarta. Kudengar pula ia akan
membangun toko merchandise di Yogyakarta sesuai keinginannya dulu.
Hidup itu seperti parabola. Kadang di atas dan kadang di bawah. Kita tidak tahu apa
yang akan terjadi dalam hidup kita. Namun tetaplah berusaha yang terbaik. Tidak ada yang
mustahil jika kamu berusaha.
~terimakasih~