E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 0
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
BOGOR
2012
NILAI DAN ETIKA KONSERVASI BIODIVERSITAS HARIMAU SUMATERA
(Panthera tigris sumatrae)
ETIKA DAN MORAL LINGKUNGAN
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 1
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
NILAI DAN ETIKA KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
I. PENDAHULUAN
Konflik antara manusia dan harimau hingga awal tahun 2012 masih terus
terjadi. Prediksi konflik antara harimau dan manusia pada 2012 ini akan terus terjadi
karena perambahan kawasan hutan hingga kini masih saja berlangsung. Dalam tiga
bulan terakhir BKSDA telah menyelamatkan dua ekor harimau sumatera, satu di
antaranya terperangkap oleh jeratan yang dipasang warga. Data dari Dinas
Kehutanan setempat bahwa sekitar 30 persen dari luas total 920 ha areal hutan
produksi terbatas (HPT) telah mengalami rusak parah akibat perambahan dan telah
berganti kebun kopi dan kelapa sawit. Sedangkan untuk kawasan konservasi yang
luasnya sekitar 44.000 ha, sekitar 30 persen juga telah mengalami kerusakan
(Antara News, 2012).
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam
sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam
klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered) dalam daftar
merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN. Jumlah
populasinya di alam bebas hanya diperkirakan sekitar 400 ekor (WWF Indonesia,
2008). Harimau sumatera saat ini menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan
hidup, mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam
oleh perdagangan illegal bagian-bagian tubuhnya dengan harga tinggi di pasar
gelap.
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan beberapa kondisi eksisting
spesies harimau sumatera yang terancam kepunahan, tinjauan aspek hukum dan
kebijakan serta nilai-nilai etika dan moral lingkungan dalam rangka upaya
konservasinya.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 2
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
II. KONDISI HARIMAU SUMATERA SAAT INI
Harimau sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini
mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan,
dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Wilayah penyebarannya pada
ketinggian 0- 2.000 m dpl (O’Brien et al., 2003), tetapi kadang-kadang juga sampai
ketinggian lebih dari 2.400 m dpl (Linkie et al., 2003).
Pada pertemuan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) tahun
1992 di kota Padang, dinyatakan bahwa hanya tersisa 400 ekor harimau sumatra
yang bertahan hidup di lima kawasan konservasi besar di Sumatera. Seratus individu
lainnya diperkirakan hidup di hutan-hutan di luar kawasan konservasi (Faust and
Tilson 1994; Seal et al., 1994). Sumber lain menyebutkan data sekitar 400 ekor
harimau sumatera tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di
daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250
ekor lagi yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia.
Departemen Kehutanan (2007) menjelaskan bahwa hasil analisa terkini
mengenai status harimau secara global menetapkan 12 bentang alam konservasi
harimau (Tiger Conservation Landscape) di Sumatera dan hanya dua di antaranya
yang dikategorikan sebagai prioritas global, yaitu bentang alam Kerinci Seblat dan
Bukit Tigapuluh, serta dua bentang alam prioritas regional, yaitu Bukit Balai Rejang
Selatan dan Kuala Kampar – Kerumutan (Gambar 1). Jika dipadukan dengan
beberapa hasil kajian terkini, saat ini populasi harimau sumatera terdapat
setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lain yang berstatus sebagai
hutan lindung dan hutan produksi, yang terpisah satu sama lain. Berdasarkan data
perkiraan antar waktu, populasi harimau sumatera cenderung menurun dari tahun
ke tahun (Gambar 2). Apabila tidak dilakukan intervensi pengelolaan yang tepat,
satu-satunya sub spesies harimau yang tersisa di Indonesia ini diyakini akan punah
dalam waktu yang tidak terlalu lama.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 3
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Gambar 1. Bentang alam konservasi harimau yang dianggap perlu mendapat prioritas (Dinerstein et al. 2006)
Gambar 2. Kecenderungan populasi harimau sumatera antara tahun 1978 – 2007
Harimau sumatera mengalami ancaman akan kehilangan habitat karena
daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan
hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan
perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan
pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka
harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dimana
seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki daerah
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 4
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia (Dinata dan
Sugardjito, 2008). Adanya aktivitas manusia pada suatu kawasan menyebabkan
hidupan liar cenderung menghindar (Griffiths, 1994). Harimau cenderung
menghindari suara gergaji mesin (chainsaw) para pembalak dan menghindari area
di mana dilakukannya aktivitas perburuan oleh pemburu liar.
Hutan dataran rendah merupakan habitat utama harimau sumatera dengan
kepadatan 1-3 ekor per 100 km2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per 100
km2. Namun, tingginya kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (65-80%)
menyebabkan harimau bergerak ke atas menuju hutan perbukitan dan pegunungan
(Dinata dan Sugardjito, 2008).
Daerah jelajah harimau sumatra jantan telah diketahui sekitar 110 km2 dan
betinanya mempunyai kisaran daerah jelajah antara 50-70 km2 (Franklin et al.,
1999). Daerah-daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara individu
harimau.
Kajian yang dilakukan oleh Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa daerah
jelajah harimau sumatera betina dewasa berkisar antara 40 – 70 km2, sedangkan
Griffith (1994) dalam Tilson et al. (1994) memperkirakan bahwa daerah jelajah
harimau sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, yaitu antara 180 km2 pada
kisaran ketinggian antara 100 – 600 meter di atas permukaan laut (mdpl.), 274 km2
pada kisaran ketinggian antara 600 – 1.700 mdpl., dan 380 km2 pada ketinggian di
atas 1.700 mdpl. Daerah jelajah satu harimau jantan dewasa dapat mencakup
daerah jelajah dua betina dewasa (Franklin et al., 1999).
Pada prinsipnya untuk mempertahankan hidup, harimau sumatra
memerlukan tiga kebutuhan dasar yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup,
sumber air (Sunquist and Sunquist, 1989), dan tutupan vegetasi yang rapat untuk
tempat menyergap mangsa (Lynam et al., 2000).
Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5-6 kg daging yang
sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa
(Sunquist et al., 1999). Sebagai hewan pemangsa utama (top predator), harimau
memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 5
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Oleh karena itu, kepadatan hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor
yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau.
Ketersediaan hewan mangsa ini juga memainkan peran penting dalam menentukan
daerah jelajah individu harimau (Ahearns et al., 2001).
Luas daerah jelajah harimau sumatera memang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan satwa mangsa. Sebagai contoh, Santiapillai dan Ramono (1985)
memperkirakan kepadatan rata-rata harimau sumatera dewasa berkisar antara 1
individu/100km2 pada hutan dataran tinggi dan meningkat hingga 1 – 3
individu/100 km2 pada hutan dataran rendah. Kajian lain memperkirakan
kepadatan harimau sumatera adalah 1,1 individu/100 km2 pada hutan dataran
tinggi dan meningkat tajam hingga 2,3 – 3 individu/100 km2 pada hutan dataran
rendah (Borner, 1978).
Habitat hutan dataran tinggi yang tersisa saat ini tidak dapat mendukung
biomassa jenis-jenis ungulata besar sebagai hewan mangsa (Seidensticker, 1976).
Sebaliknya, keberadaan hutan dataran rendah sangat penting karena dapat
mendukung biomassa hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa
(Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak) sebagai hewan mangsa. Namun,
luasan hutan dataran rendah yang tersisa secara cepat menyusut akibat alih fungsi
menjadi lahan pertanian.
Harimau menyukai habitat pinggir sungai (riverine habitat). Sungai
merupakan tempat berkumpul satwa dan keberadaan harimau dekat dengan sungai
kemungkinan berhubungan dengan pemangsaan. Dinata dan Sugardjito (2008) juga
menyebutkan bahwa harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai
agar lebih mudah melakukan penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-
tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga
sangat menguntungkan harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan
mendadak atau penyergapan.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 6
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Departemen Kehutanan (2007) mengemukakan empat faktor yang
mengancam kelestarian harimau sumatera, yaitu :
1. Deforestasi dan Degradasi
Deforestasi yang terjadi akibat penebangan pohon menyebabkan
menurunnya biomassa vegetasi yang berarti juga menurunnya kualitas habitat.
Penurunan kualitas habitat ini sangat mempengaruhi populasi hewan-hewan
mangsa karena berkurangnya sumber pakan dan naungan vegetasi sebagai
tempat berlindung (Dinata dan Sugardjito, 2008).
Hilangnya hutan yang cukup luas dan cepat pada dasawarsa terakhir
menyebabkan luas habitat harimau sumatera berkurang dan terpecah menjadi
bagian-bagian kecil yang terpisah satu dengan yang lain. Sekitar 6.700.000 hektar
tutupan hutan telah menghilang dari pulau ini antara 1985 – 1997. Sedangkan
antara tahun 2000 – 2005 Departemen Kehutanan memperkirakan deforestasi di
Pulau Sumatera mencapai 1.345.500 ha, dengan rata-rata per tahun sebesar
269.100 ha.
2. Perburuan dan Perdagangan
Perburuan ilegal ini terjadi mulai awal dasawarsa 1990. Ancaman ini tidak
hanya berasal dari perburuan langsung terhadap harimau, tetapi juga karena
perburuan terhadap mangsanya. Hasil dari kegiatan ilegal ini merupakan sumber
potensial untuk mensuplai produk asli harimau yang beredar di pasar gelap,
terutama kulit dan tulang.
Tulang Harimau memiliki harga rata-rata tertinggi, yaitu Rp. 1.050.000/kg
(Ng and Nemora, 2007). Harga tulang harimau pada tahun 2002 hanya berkisar
Rp. 106.800-605.200/kg (Shepherd dan Magnus, 2004).
Harga satu gigi taring adalah Rp. 800.000 di Dumai. Harga rata-rata gigi
taring adalah Rp. 453.333, sementara harga rata-rata untuk cakar Harimau
adalah Rp. 130.000. Kedua harga tersebut pada tahun 2002, harga rata-rata
untuk gigi taring adalah Rp. 676.400 dan harga cakar adalah Rp. 249.000
(Shepherd dan Magnus, 2004).
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 7
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
3. Konflik
Pesatnya pertumbuhan populasi manusia dan pembangunan ekonomi di
dalam dan sekitar habitat harimau sumatera menyebabkan meningkatnya
kebutuhan akan konversi lahan untuk perkebunan dan pertanian, yang kemudian
berujung pada meningkatnya potensi konflik antara harimau dan manusia. Dalam
kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, konflik antara harimau – manusia
bahkan dipercaya menjadi salah satu ancaman utama bagi kelestarian harimau
sumatera. Mereka mencatat berturut-turut 48, 36 dan 34 konflik terjadi di
Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Aceh antara tahun 1978 – 1997. Dalam kurun
waktu tersebut, tercatat sebanyak 146 orang meninggal dunia, 30 luka-luka dan
870 ekor ternak terbunuh akibat konflik antara manusia dan harimau sumatera
(Nyhus and Tilson, 2004). Sementara itu, PHKA mencatat sebanyak 40 orang
meninggal dunia antara tahun 2000 – 2004. Hasil kajian lain yang dilakukan
TRAFFIC pada tahun 2002 mengungkapkan setidaknya 35 ekor harimau sumatera
telah terbunuh akibat konflik antara harimau dan manusia selama kurun waktu
1998 – 2002 (TRAFFIC Southeast Asia, 2007).
4. Kemiskinan
Beberapa jenis satwa mangsa harimau sumatera juga merupakan sumber
protein hewani bagi kebanyakan masyarakat yang menggantungkan hidup pada
sumberdaya hutan. Secara tradisionil, masyarakat Sumatera memburu satwa
mangsa harimau untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (subsistence).
Namun demikian, faktor kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja mendorong
masyarakat untuk memburu satwa liar, tidak hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan dasar, tetapi juga dalam rangka meningkatkan taraf ekonomi mereka
dengan menjual hasil buruannya ke pasar-pasar lokal. Catatan Badan Pusat
Statistik (2006) mengindikasikan pendapatan masyarakat sekitar hutan di
Sumatera sekitar Rp 300.000,- – Rp 400.000,- per kepala keluarga per bulan.
Angka ini jauh di bawah upah minimum buruh di setiap provinsi di Indonesia.
Perburuan satwa mangsa harimau oleh masyarakat tersebut sangat
berpengaruh pada kelestarian harimau sumatera, karena sebagai pemangsa
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 8
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
keberadaan mereka sangat tergantung pada kelimpahan satwa mangsanya.
Ironisnya, perburuan satwa mangsa harimau di Sumatera dapat dilakukan secara
terbuka dan aman karena belum mendapatkan perhatian serius dari pihak yang
berwenang dan kalangan penggiat konservasi harimau sumatera. Keadaan ini
diperburuk dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat sekitar
hutan terhadap pentingnya melestarikan sumberdaya alam bagi kehidupan.
Banyak masyarakat sekitar hutan yang melakukan penebangan liar dan
pembukaan hutan untuk perkebunan dan perladangan, yang pada akhirnya
mengakibatkan kerusakan dan fragmentasi habitat harimau sumatera serta
menurunnya kualitas ekosistem hutan (Departemen Kehutanan, 2007).
Di dalam struktur piramida makanan, harimau terletak paling atas dengan
peran sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang
berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Keberadaannya sangat rawan
terhadap kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan
terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung
populasi hewan mangsa. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, harimau
mempertahankan populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya,
sehingga keseimbangan antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat
terjaga.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 9
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
III. TINJAUAN ASPEK HUKUM DAN KEBIJAKAN KONSERVASI HARIMAU SUMATERA
Harimau sumatera terdaftar pada status Kritis oleh IUCN 2006 Red List of
Threatened Animals dan juga dalam Apendiks I pada Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), serta dilindungi oleh
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
UU Nomor 5 Tahun 1990 pasal 21 ayat 2 menegaskan :
”Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi”.
Menindaklanjuti peraturan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan UU
yang menetapkan bahwa Perdagangan Tubuh Harimau adalah perbuatan kriminal.
Pelanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berupa hukuman
penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimum 100 juta.
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3 poin m menegaskan
“…dilarang mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang”.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 10
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Beberapa peraturan lainnya yang jelas mengatur tentang satwa adalah :
1. Peraturan Pemerintah No.13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.
2. Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam
di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan di Taman Hutan
Raya.
3. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
Pada tahun 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.42/Menhut-II/2007 tentang Strategi Rencana aksi Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) 2007 – 2017. Peraturan ini menetapkan Dokumen
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 yang di
dalamnya memuat strategi dan rencana aksi yang akan dievaluasi setiap 5 (lima)
tahun.
Meskipun telah diberikan status perlindungan penuh, baik di Indonesia
maupun di dunia internasional, namun bagian-bagian tubuh Harimau masih dapat
ditemui diperdagangkan secara terbuka di Sumatera. Bahasan tentang kebijakan
dan peraturan perundang-undangan tentang konservasi harimau sumatera ini pada
akhirnya juga akan sangat ditentukan oleh komitmen penegakan hukum yang ada.
Medan dan Pancur Batu adalah pusat utama dari perdagangan utama di Sumatera
Utara, namun tidak ada satu pun kasus yang dibawa ke pengadilan di kedua kota
tersebut selama kurun waktu 2004 dan 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa
upaya-upaya penegakan hukum masih kurang dilaksanakan di dua pusat penting
perdagangan bagian-bagian tubuh Harimau tersebut (Ng and Nemora, 2007).
Data mengenai jumlah perburuan dan kasus kepemilikan ilegal yang dibawa
ke pengadilan Indonesia dari tahun 2004 hingga saat ini didapatkan dari PHKA.
Terdapat 12 kasus pidana terkait Harimau dari tahun 2004 hingga akhir Desember
2006 di enam provinsi. Provinsi Jambi memiliki kasus paling banyak yang dibawa ke
pengadilan, yang kemungkinan besar terkait dengan peran aktif dari Taman
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 11
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Nasional Kerinci Seblat/FFI Tiger Team melawan para pemburu Harimau (Ng and
Nemora, 2007).
Hukuman tertinggi yang pernah diberikan adalah di Provinsi Sumatera Barat
pada tahun 2006, ketika tersangka diwajibkan membayar denda sebesar
Rp.1.000.000 dan hukuman kurungan penjara selama satu tahun dua bulan.
Penuntutan lainnya berbeda-beda dari mulai hanya hukuman penjara hingga
hukuman penjara dan denda yang mencapai Rp. 500.000. sebuah lokakarya
berjudul “Memberantas perdagangan dan perburuan liar terhadap Harimau
Sumatra“ (“Combating the trade and poaching of the Sumatran Tiger”) di Medan,
pada tanggal 28 Februari 2007 untuk mempresentasikan hasil-hasil survei dan untuk
memprioritaskan aksi-aksi penegakan hukum guna menghentikan tempat penjualan
dan para pedagang produk-produk Harimau di kota di Sumatera bagian Utara.
TRAFFIC menyajikan data rahasia dari seluruh tempat penjualan yang memiliki
bagian-bagian tubuh Harimau kepada Otoritas Pengelola CITES di Sumatera dan
Jakarta pada bulan April 2007. Walaupun telah diselenggarakan lokakarya dan
disampaikan informasi rahasia, sayangnya belum ada tindakan penegakan hukum
yang dilakukan terhadap pedagang yang menjual bagian-bagian tubuh Harimau di
Medan dan Pancur Batu (Ng and Nemora, 2007).
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 12
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
IV. TINJAUAN ASPEK ETIKA DAN MORAL TERHADAP KONSERVASI HARIMAU SUMATERA
Harimau sumatera dalam pandangan masyarakat adat tradisional
Minangkabau dianggap tetap memiliki etika ketika merasa terancam bahkan saat
disakiti. Orang Minangkabau menyebutnya “ampek langkah saat sang harimau
sumatera menahan sabar menunggu empat langkah menahan sakit sebelum
akhirnya bergerak melawan”. Bagi masyarakat Riau, sosok harimau dianggap hewan
agung. Masyarakat Desa Jumroh, desa yang terletak di kawasan blok Hutan adat
Senepis, suaka marga satwa harimau sumatera, biasanya memanggilnya dengan tok
belang, seperti memberi gelar kebangsawanan Datok atau Tok.
Menurut Keraf (2002) munculnya masalah lingkungan hidup adalah masalah
moral, persoalan perilaku manusia. Lingkungan hidup bukan semata-mata
persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi hingga level global yang kita alami
saat ini adalah persoalan moral atau krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu
etika dan moralitas untuk mengatasinya.
Dalam praktek kehidupan para profesional, konsep etika tersebut
dirumuskan sebagai aturan (kode etik) yang mengikat dan menetapkan perilaku
atau perbuatan para profesional tertentu. Dalam perspektif makna etika seperti
inilah, konsep etika konservasi mengandung makna sebagai aturan, ketentuan,
pedoman yang menetapkan suatu perbuatan manusia atau kelompok manusia itu
sesuai dengan asas dan prinsip-prinsip konservasi ataukah tidak.
Meskipun etika dan moral sama-sama membahas obyek yang sama yakni
perbuatan manusia, namun keduanya memiliki makna yang berbeda. Nata (1996)
mencatat, ada beberapa perbedaan antara etika dan moral.
Pertama, etika lebih menekankan penentuan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan tolok
ukur moral adalah norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan yang tumbuh
dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 13
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Kedua, etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran
konsep-konsep, sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul
dalam tingkah laku yang berkembang di dalam dan diterima masyakarat.
Ketiga, moral lebih dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan
etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Dalam perspektif konservasi biodiversitas, makna moral ini menempatkan
seseorang untuk selalu bertindak sesuai dengan asas-asas konservasi sekaligus
perwujudan penunaian kewajiban dasarnya sebagai makhluk Tuhan yang harus
senantiasa memelihara dan menjaga bumi beserta isinya. Adalah sungguh tidak
bermoral, jika manusia sebagai sebaik-baik ciptaan Tuhan yang mengemban
amanah mulia sebagai wakil Tuhan (khalifa-Nya) dan tergolong sebagai makhluk
berbudaya, beradab dan berakal budi, namun bertindak merusak dan menyebabkan
kepunahan biodiversitas di muka bumi ini.
Beberapa prinsip etika konservasi biodiversitas yang dapat dikaji dari pesan-
pesan ayat Al-Qur’an perlu dipahami dan dikembangkan dalam rangka mendukung
upaya konservasi. Beberapa prinsip etika konservasi biodiversitas yang dapat
diuraikan berdasarkan perspektif Al Quran sebagai berikut :
Prinsip Pertama : Tuhan sebagai Pencipta dan Pemilik hakiki segala sesuatu di bumi, dan adanya Keragaman Ciptaan-Nya
Al-Qur’an menggariskan bahwa pencipta dan pemilik hakiki bumi beserta segala
isi yang terkandung didalamnya adalah Tuhan. Tuhan pulalah yang menjadi Maha
Pemberi segenap keperluan hidup manusia. Banyak ayat Al-Qur’an menggariskan
tentang prinsip ini diantaranya tertuang dalam QS Thaha (20): 6, QS Al-Hijr (15): 20;
QS Al-Furqan (25): 59; QS Al-Baqarah (2): 29; QS Qaaf (50): 38; An-Nur (24): 45.
“Kepunyaan Allah-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi,
semua yang ada diantara keduanya dan semua yang ada di bawah bumi" (QS Thaha
: 6). "Dan Kami (Allah) telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan
hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu bukan pemberi
rezekinya" (QS Al-Hijr (15) : 20). "Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 14
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa" (QS Al-Furqan 25): 59).
"Dialah yang menciptakan bagimu segala yang ada di bumi semuanya ....(QS Al-
Baqarah (2): 29). "Dan sesungguhnya telah Kami (Allah) ciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa ....." (QS Qaaf (50): 38).
Prinsip ini menegaskan batasan kepada manusia untuk tidak boleh bertindak
melampaui kewenangan sebagai bukan pemilik sebenarnya (hakiki) dari bumi
beserta segenap isinya termasuk biodiversitas. Jangan bertindak mengingkari
(dzalim) atas prinsip ini. "Dan Dia (Tuhan) telah memberikan padamu
(keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah tidaklah dapat kamu menghitungnya.
Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim (mengingkari)" (QS Ibrahim (14): 34).
Al-Qur’an bahkan juga menunjukkan secara jelas konsep biodiversitas
(keanekaragaman hayati) ciptaan-Nya baik jenis flora, fauna dan ekosistem (QS An-
Nahl (16):11; Lukman (31) : 10; Fathir (35) : 27-28; Yaasin (36): 34, 71, 80; Al-An'am
(6) : 99, 141; Fathir (35): 12).
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya, dan sebagian berjalan dengan
dua kaki, dan sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
(QS An-Nuur (24): 45).
Prinsip Kedua: Manusia sebagai wakil Tuhan (Khalifah) yang bertugas sebagai
pengelola dan pemakmur bumi.
Prinsip ini menggariskan bahwa manusia hanya berstatus sebagai wakil
Tuhan dengan tugas utama mengelola dan memakmurkan bumi, sehingga tidak
dibenarkan bertindak melampaui batas kewenangan tersebut. Upaya
pengembangan pemanfaatan semua sumberdaya ciptaan Tuhan sebagai Pemilik
hakiki harus dikhidmatkan bagi kepentingan dan kemaslahatan kemakmuran bumi;
menyimpang dari prinsip ini berarti menyalahi dan berdampak negatif terhadap
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 15
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
kehidupan di bumi. Al-Qur’an menggariskannya dalam banyak ayat, diantaranya
tertuang dalam QS Al-Baqarah (2): 30; QS Huud (11): 61 sebagai berikut:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi" (QS
Al-Baqarah (2): 30)."Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu sebagai pemakmurnya" (QS Huud (11) : 61).
Prinsip Ketiga: Keseimbangan dan Keterukuran Alam Ciptaan
Al-Qur’an menggariskan prinsip tentang sifat keseimbangan dan keterukuran
alam sebagai ciptaan Tuhan. Karakter sumberdaya alam yang seimbang dan terukur
mengharuskan manusia sebagai wakil Tuhan dengan tugas utama pemakmur dan
penjaga bumi untuk senantiasa bertindak dalam koridor karakter dasar sumberdaya
yang seimbang dan terukur tersebut. Menyimpang dari prinsip ini pasti akan
menimbulkan ketidakseimbangan dan gangguan pada sistem alam yang seimbang
dan terukur tersebut. Diantara ayat Al-Qur’an yang menggariskan prinsip ini adalah
QS Al-Mulk (67): 3; QS Al-Hijr (15): 19 dan 21; Al-Qamar (54): 49 dan Al-Furqan
(25): 2.
"Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya
(sumbernya), dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
tertentu" (QS Al-Hijr (15): 21). "Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan
Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang" (QS Al-Mulk (67): 3). ”…dan Dia
telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya” (QS Al-Furqan (25): 2). "Dan Kami telah menghamparkan bumi dan
menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran" (QS Al-Hijr (15) : 19).
Prinsip Keempat: Prinsip larangan berbuat kerusakan di muka bumi dan dampak
kerusakan bumi.
Banyak ayat Al-Qur’an menegaskan tentang prinsip larangan membuat
kerusakan di muka bumi, diantaranya seperti digariskan pada QS Al-Baqarah (2): 11;
Al-A’raf (7): 56; An-Nahl (16): 34; Al-Qashash (28): 77; Asy-Syu’araa (26): 151-152).
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 16
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah
memperbaikinya (Surah Al-A’raf (7) ayat 56). “Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi (QS Al-Baqarah (2): 11). Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan" (QS Al-Qashash (28): 77).
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dengan sifat dasarnya yang seimbang dan
terukur, maka sebenarnya semua kerusakan yang terjadi di muka bumi adalah
akibat ulah perbuatan manusia. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)" (QS Ar-Rum (30): 41). Al-Qur’an juga menegaskan larangan mengikuti
perintah pemimpin manapun yang menyebabkan kerusakan di atas bumi. “ …..dan
janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang
membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan" (QS Asy-
Syu'araa' (26) : 151-152).
Prinsip Kelima: Larangan memanfaatkan sumberdaya secara berlebih-lebihan (boros) dan melampaui batas.
Al-Qur’an juga menegaskan tentang prinsip larangan pemanfaatan
sumberdaya secara berlebih-lebihan (boros) dan melampaui batas, selain menyalahi
karakter dasar sumberdaya yang seimbang dan terukur, tetapi lebih dari itu juga
menyalahi prinsip hakekat keberadaan manusia dengan fungsi dan tugas utama
sebagai pemakmur dan pengelola bumi. Hal ini antara lain seperti digariskan dalam
QS Al-Baqarah (2): 190; Al-An’am (6): 141; Al-Isra’ (17): 27; QS Al-Furqan (25): 67;
QS Al'Alaq (96): 6-7.
"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah
dari buahnya yang bermacam-macam itu bila dia berbuah dan tunaikan haknya di
hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 17
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan" (QS Al-An'am (6) : 141).
"Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara syetan" (QS Al-
Isra' (17): 27). "Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS Al-Baqarah (2): 190).
Prinsip Keenam: Semua fauna (binatang) di bumi memiliki hak yang sama dengan manusia sebagai sesama umat Tuhan dan Larangan membunuh spesies apapun tanpa alasan syar’i.
Al-Qur’an menegaskan perihal kedudukan semua binatang (fauna) di muka
bumi sebagai sesama umat seperti halnya manusia. Artinya mereka juga memiliki
hak hidup dan hak untuk diperlakukan secara baik dan benar sesuai karaker
dasarnya. Tidak boleh meniadakan hak hidup mereka tanpa alasan yang dibenarkan
(syar’i). “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu
(manusia). Tiadalah Kami (Tuhan) alpakan sesuatupun di dalam penciptaannya (Al-
Kitab), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun” (QS Al-An’am (6): 38). “Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar.
(QS Al-Furqan (25): 68).
Prinsip Ketujuh: Perintah mempelajari (berpikir) tentang gejala alam (hewan & tumbuhan)
Al-Qur’an juga secara tegas menggariskan prinsip yang terkait dengan
keharusan mempelajari atau berpikir tentang fenomena alam dalam rangka
mengembangkan pola pengelolaan yang benar dan sejalan dengan karakter dasar
sumberdaya alam sebagai ciptaan Tuhan. Diantara ayat-ayat Al-qur’an yang
menggariskan prinsip ini adalah QS An-Nahl (16): 11, 66-67; Al-Mulk (67): 19, 30;
Qaaf (50): 7-8; Ar-Ra’du (13): 4; Al-Fathir (35): 27; Al-Ghaasyiyah (88): 17-20.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 18
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Prinsip Kedelapan: Setiap orang atau komunitas harus bertanggungjawab atas seluruh perbuatannya dan akan menerima akibatnya di dunia maupun di akhir, sebesar atau sekecil apapun juga.
Al-Qur’an menggariskan bahwa setiap perbuatan manusia di dunia ini
siapapun dia akan diminta pertanggungjawabannya di dunia ini maupun di akhirat
nanti, sebesar biji sawi sekalipun perbuatan itu. Setiap perbuatan manusia secara
individual maupun kelompok dipastikan akan memperoleh balasan (ganjaran),
apakah perbuatan baik ataupun jelek. Al-Qur’an menegaskannya didalam beberapa
ayat berikut : QS Al-Zalzalah (99); 7-8; An-Naazi’aat (79): 34-41; Al-An’am (6): 132;
Al-A’raf (7): 6-9; Yunus (10): 52.
Prinsip Kesembilan: Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di muka bumi dan keharusan membangun kerjasama dalam kebaikan untuk kemasalahatan di bumi.
Al-Qur’an menetapkan bahwa semua manusia, tanpa membedakan suku
bangsa sesungguhnya memiliki kedudukan yang sama dan harus memperoleh
perlakuan yang sama. Yang membedakannya adalah kebajikan yang diperbuatnya
yang menghantarkannya menjadi mulia sebagai orang yang bertaqwa dalam
pandangan Tuhan. Untuk itulah maka setiap manusia atau komunitas
diperintahkan untuk saling kenal-mengenal dan saling membantu di dalam berbuat
kebajikan dan dilarang untuk saling tolong-menolong di dalam berbuat kerusakan;
setiap orang wajib bertindak adil terhadap siapapun dan dalam keadaan apapun.
Diantara ayat Al-Qur’an yang menggariskan tentang prinsip tersebut, yakni QS Al-
Hujuraat (49): 13; Al-Maidah (5): 2, 8; Al-An’am (6): 152.
Selain tinjauan dari perspektif Al Qur’an, banyak pula hadits yang telah
meriwayatkan sisi kasih sayang kepada hewan, di antaranya :
1. Larangan membuatnya lapar.
Abdullah bin Umar radhiyallhu ‘anhuma menceritakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang perempuan di azab disebabkan
seekor kucing yang dikurungnya sampai mati maka diapun masuk neraka
karenanya. Dia tidak memberinya makan tidak pula memberinya minum ketika
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 19
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
dia mengurungnya dan tidak pula dia melepaskannya untuk mencari makan dari
binatang-binatang tanah.” Sahal bin Hanzhalah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seeekor unta yang
kurus maka beliau berkata : “Takutlah kalian kepada Allah dalam urusan
binatang-binatang ini. Kendarailah dia dalam keadaan baik dan makanlah dia
dalam keadaan baik pula.”
2. Larangan Mengejutkannya/Membuatnya Khawatir
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menceritakan : “Kami pernah
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan lalu beliau
pergi menunaikan hajatnya, maka kami melihat seekor burung dengan dua
anaknya lalu kami mengambil kedua anaknya itu kemudian datanglah induk
burung itu dan mulai meletakkan sayapnya, kemudian datanglah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata : “Siapa yang mengejutkan (membuat khawatir)
burung ini dengan mengambil anaknya? Kembalikanlah anaknya kepadanya.”
3. Larangan membebaninya dengan beban yang tidak mampu dipikulnya.
Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhuma menceritakan : “Pada suatu hari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam salah satu kebun kaum
Anshar, tiba-tiba seekor unta mendekati beliau dan bersuara serta air mata unta
itu mengalir, ketika unta itu melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diapun mengeluarkan suaranya dan air matanya mengalir, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap punggung dan telinganya maka diapun
tenang. Lalu Nabi berkata : “Siapa pemilik unta ini?” Maka datanglah seorang
pemuda Anshar dan berkata : “unta itu milikku wahai Rasulullah.” Maka beliau
berkata : “Tidakkah engkau takut kepada Allah terkait binatang yang telah Allah
jadikan sebagai milikmu ini, sesungguhnya dia telah mengadu kepadaku bahwa
engkau telah membuatnya lapar dan membuatnya kelelahan”
Tinjauan dari perspektif Al Qur’an dan hadits di atas hendaknya mampu
diinterpretasikan lebih nyata dalam sistem kehidupan kita sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan perspektif, konflik yang terjadi terus menerus antara manusia dan
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 20
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
harimau seharusnya tidak perlu terjadi, sebab manusia sebagai makhluk yang
dianugerahi kelebihan akal serta pikiran dibanding makhluk lainnya di muka bumi
ini sepatutnya menjadi kaum yang mampu menjaga serta memelihara kelestarian
dan kelangsungan hidup ekosistem di bumi ini secara seimbang.
Pada akhirnya, realisasi tujuan dari setiap tahapan Pembangunan
Berkelanjutan harus benar-benar mampu menyeimbangkan ketiga pilar yaitu
ekologi, sosial dan ekonomi. Permasalahan utama yang dihadapi oleh upaya
konservasi harimau sumatera saat ini adalah karena habitat serta home-range yang
makin terbatas. Pada konteks ini, kesadaran dari semua pihak pada tataran etika
dan moral lingkungan, pengaturan lanskap ekologi pada tataran teknis sangat
dibutuhkan di samping pentingnya penegakan hukum yang adil bagi para pelaku
kejahatan lingkungan.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 21
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
V. KESIMPULAN
Konflik manusia dan harimau yang telah banyak memakan korban terutama
disebabkan karena habitat harimau yang semakin terdesak.
Pola hidup harimau sumatera secara alami membutuhkan habitat dan home-
range, sumber air dan satwa mangsa yang cukup untuk tetap bertahan hidup.
Jumlah populasi yang makin sedikit serta posisi perannya dalam mendukung
keseimbangan ekosistem di alam menjadi alasan utama mengapa spesies ini
harus dilindungi.
Kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada masih kurang didukung
penegakan hukum yang adil untuk semua pihak.
Terdapat banyak nilai etika dan moral menurut perspektif Al Qur’an dan hadits
yang dapat dijadikan landasan berfikir dan bertindak untuk konservasi termasuk
satwa harimau sumatera.
Kesadaran dari semua pihak pada tataran etika dan moral lingkungan menjadi
hal penting sebagai solusi utama konservasi harimau sumatera.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 22
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
VI. REFERENSI
Ahearns SC, Smith JLD, Joshi AR, Ding J. 2001. TIGMOD: An individual-based spatially
explicit model for simulating tiger/human Interaction in multiple use forests. Ecological Modelling 140 : 81-97.
Al Quran dan Terjemahannya, Wakaf Khadim Al Haramain asy Syarifain, Kompleks
Percetakan Al karin Raja Fard. AntaraNews. 2012. Konflik Harimau dan Manusia Terus Terjadi.
http://m.antaranews.com/berita/301913/konflik-harimau-dan-manusia-terus-terjadi [download 29 Maret 2012]
Borner M. 1978. Status and Conservation of the Sumatran tiger. Carnivore 1:97-102.
Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Dinata Y, Sugardjoto J. 2008. Keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae Pocock, 2929) dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Biodiversitas 9 (3) : 222-226.
Dinerstein E, Loucks C, Heydlauff A, Wikramanayake E, Bryja G, Forrest J, Ginsberg J,
Klenzendorf S, Leimgruber P, O’Brien T, Sanderson E, Seidensticker J, Songer M. 2006. Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005–2015. A User’s Guide. WWF, WCS, Smithsonian, and NFWF-STF, Washington, D.C. – New York.
Faust T, Tilson R. 1994. Estimating how many tigers are in Sumatra: a beginning.
Dalam: Tilson, R., K. Soemarna, W. Ramono, S. Luslie, K.H. Taylor, and U. Seal (eds.). Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Jakarta: Indonesian Directorate of Forest Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesota.
Franklin N, Bastoni, Sriyanto, Siswomartono D, Manansang J, Tilson R. 1999. Last of
the Indonesian tigers: a cause for optimism. Dalam : Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 23
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Griffith M. 1994. Population density of Sumatran tiger in Gunung leuser National Park. Dalam : Tilson R, Soemarna K, Ramono W, Luslie S, Taylor KH, Seal U (eds.). Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Jakarta: Indonesian Directorate of Forest Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesota.
Nata A. 1996. Akhlak Tasauf. PT Raja Grafindi Persada. Jakarta.
Ng J and Nemora. 2007. Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia
Nyhus PJ, Tilson R. 2004. Characterizing human-tiger conflict in Sumatra, Indonesia:
implications for conservation. Oryx Vol 38(1):68 – 74.
Karanth KU, Stith BM. 1999. Prey Depletion as a Critical Determinant of Tiger Population Viability. Dalam : Siedensticker J, Christie S, Jackson P (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
Keraf SA. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Linkie M, Martys DJ, Holden J, Yanuar A, Hartana AT, Sugardjito J, William NL. 2003.
Habitat destruction and poaching threaten the Sumatran tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx 37: 41-48.
O’Brien TG, Kinnaird MF, Wibisono HT. 2003. Crouching Tiger, Hidden Prey:
Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-139.
Santiapillai C, Ramono WS. 1985. On the status of the tiger (Panthera tigris sumatrae
Pocock, 1829) in Sumatra. Tiger paper 12(4):23- 29. Santiapilai C, Ramono WS. 1993. Conservation of Sumatran tiger (Panthera tigris
sumatrae) in Indonesia. Tiger Paper 20 : 44-48. Seal U, Soemarna K, Tilson R. 1994. Population biology and analysis for Sumatran
tiger. Dalam : Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
Seidensticker J. 1976. On the ecological separation between tigers and leopards. Biotropica
8(4) : 225- 234.
Shepherd CR, Magnus N. 2004. Nowhere to hide: The trade in Sumatran Tiger.
TRAFFIC Southeast Asia.
E T I K A D A N M O R A L L I N G K U N G A N | 24
– DEWI (P062110091) – RITA (P062110121) ritabulan.wordpress.com 2012
Sunquist ME, Sunquist FC. 1989. Ecological constraints on predation by large felids.
Dalam : Gittleman JL (ed.). Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution. Ithaca, NY.: Cornell University Press.
Sunquist ME, Karanth KU, Sunquist FC. 1999. Ecology, behavior and resilience of the
tiger and its conservation needs. Dalam : Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
Tilson R, Sriyanto EL, Rustiati, Bastoni, Yunus M, Sumianto, Apriawan, Franklin N
(ed.). 1994. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra: Langkah-langkah konservasi dan Manajemen In-situ dalam Penyelamatan Harimau Sumatra. Jakarta: LIPI.
TRAFFIC Southeast Asia. 2007. Perdagangan harimau di Sumatera: fakta dan
gambaran dari hasil survei TRAFFIC 2002 & 2006. Presentasi dalam Lokakarya Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau dan Gajah. Padang 29 – 31 Agustus 2007 (Tidak dipublikasikan)
Top Related