Warga Pesisir, Haruskah Tersingkir?
Studi dampak Pembangunan di wilayah Pesisir Surabaya
--BC Nusantara--
abstraksi
Dalam tulisan ini akan disajikan bagaimana pembangunan infrastruktur dan industrialisasi di wilayah pesisir telah menghilangkan sumber-sumber penghidupan warga. Perubahan peruntukan kawasan yang didesain dalam tata ruang kota dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung bertumbuhnya industrialisasi dan perdagangan paska
infrastruktur dibangun. Ruang hidup warga pesisir semakin menyempit. Perubahan desain peruntukan kawasan yang lebih
modern, mengancam kaum nelayan kehilangan sumber penghidupan dari perairan laut. Kaum perempuan semakin merana dengan pembangunan yang dilakukan di wilayah ini.
Kemiskinan bagi mereka adalah keniscayaan.
Pengantar
Tulisan ini mencoba menyajikan bagaimana pembangunan di
wilayah pesisir Surabaya telah memarginalisasi hidup
masyarakat pesisir. Menyajikan dampak-dampak yang telah
dirasakan oleh warga yang kesehariannya memanfaatkan
sumber daya pesisir dan laut sebagai basis ekonomi utama.
Kaum perempuan menjadi fokus utama untuk melihat potret
perubahan akibat pembangunan yang dilakukan.
Kajian terhadap dokumen-dokumen resmi institusi
pemerintah dan badan lainnya; dokumen yang dikeluarkan
oleh perusahaan; kumpulan berita media; dokumen internal
report WALHI untuk kasus penambangan pasir laut di
Kenjeran selat Madura; dokumen film WALHI Jawa Timur, dan
temuan selama studi lapangan singkat di 2 kelurahan
Tambakwedi dan Kedungcowek pada kurun September-Oktober
1
2008 dengan metode nonrandom sampling1, menjadi bahan
utama dalam penulisan.
Paper ini diawali dengan memaparkan gambaran singkat
pesisir Jawa, wilayah studi, relasi warga dengan wilayah
pesisir laut, dan dampak pembangunan yang dilakukan
pemerintah. Fokus analisis adalah pada berkurangnya ruang
hidup warga dan hilangnya sumber-sumber penghidupan warga
yang diakibatkan dari tekanan pembangunan infrastruktur
jembatan Suramadu dan Industri pertambangan pasir laut.
Paper ini diakhiri dengan kesimpulan tentang desain
pembangunan wilayah pesisir Surabaya yang menyingkirkan
kaum nelayan dengan berkurang dan hilangnya ruang hidup
dan sumber produksi mereka.
Pesisir Jawa, potret krisis warga
Sebagai pulau yang strategis dengan berbagai aktivitas
perekonomian yang menjanjikan, pemerintah membangun
berbagai fasilitas yang cukup fantastis di Pulau Jawa,
mulai dari penyediaan kawasan industri, perkantoran,
transportasi, pariwisata hingga pemukiman mewah, yang
sebagian besar didirikan disepanjang pesisir Jawa.
“Praktek-praktek pembangunan yang bias daratan pasca
diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 (sebelumnya UU No.
22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, mendorong
percepatan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan
dalam beberapa tahun terakhir. Bergesernya kepentingan
eksplorasi menjadi eksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan, secara besar-besaran, dirasa sudah jauh
meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan. Hal
ini tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan bio-
1 Merupakan pemilihan sampel secara sengaja dikarenakan peneliti memilih dengan pertimbangan responden yang dipilih dapat memberikan informasi sesuai dengan permasalahan penelitian. Lihat: www.socialresearchmethods.net/kb/sampnon.php
2
fisik saja, namun juga turut memberikan tekanan yang
cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat yang
terlanjur menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan.”2
Pantai Utara Jawa merupakan pusat aktivitas berbagai
kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. WALHI mencatat
berbagai aktivitas tersebut tidak lepas dari sejumlah
persoalan yang cukup kompleks, mulai dari kerusakan fisik
lingkungan, semakin parahnya kerusakan ekosistem pesisir
dan laut, hingga berbagai masalah sosial yang hadir di
tengah-tengah masyarakat pesisir yang jumlahnya mencapai
65% dari seluruh penduduk Pulau Jawa3. Infrastruktur Jalan
Raya Pos (de grote postweg) yang dibangun sejak kekuasaan
Daendels telah dipertahankan sedemikian rupa menghasilkan
kerusakan ekologis yang sangat parah disepanjang pantai
utara Jawa.
Propinsi Jawa Timur berada diantara Propinsi Jawa Tengah
dan Propinsi Bali. Bagian utara berbatasan dengan Laut
Jawa dan bagian selatan berbatasan dengan Lautan Hindia.
Luas wilayah Jawa Timur lebih dari 147 ribu km2 terbagi
atas 11 jenis kawasan4. Jawa Timur memiliki 60 buah pulau,
yang terbesar adalah Pulau Madura. Dua pertiga daratan
Jawa Timur terdiri dari daerah pegunungan.5
Pada wilayah Jatim telah ditetapkan 32 blok migas yang
meliputi hampir seluruh pulau Madura mulai dari Sumenep
sampai Bangkalan, Gresik meliputi daratan hingga
perariran di Pulau Bawean, Lamongan, Tuban, Bojonegoro,
Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan
2 Lihat www.walhi.or.id – Potret Kerusakan Lingkungan Pesisir Jawa3 ibid4 kawasan hutan 12,26 ribu km2 (26,02%), persawahan seluas 12,28 ribu km2 (26,07%), pertanian tanah kering mencapai 11,44 ribu km2 (24,29%), pemukiman / kampung seluas 5,7 ribu km2 (12,12%), perkebunan seluas 1.581 km2 (3,36%), tanah tandus / rusak seluas 1.293,78 km2 (2,75%), tambak / kolam mencapai 737,71 km2 (1,57%), kebun campuran seluas 605,65 km2 (1,29%) selebihnya terdiri dari rawa/danau, padang rumput dan lain-lain seluas 1.201,42 km2 (2,55%).5 WALHI Jawa Timur, Fakta Krisis Wilayah Jawa Timur – Bahan UNFCC Bali 2007
3
Banyuwangi. Sebagaian besar wilayah konsesi migas ini
berada di wilayah lautan.
‘Krisis merupakan rangkaian sebab akibat dari berbagai peristiwa alam dan kegiatan manusia dari waktu ke waktu. Kejadian, peristiwa dan kegiatan yang menimbulkan dampak negatif terhadap warga dan aset-aset kehidupannya merupakan rangkaian proses terjadinya krisis.’6
Ketidakberpihakan pemerintah pada wilayah pesisir bisa
dibuktikan dengan tingkat kerusakan lingkungan dan
kemiskinan di sepanjang permukiman pesisir Jawa.
Setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, lebih
dari 90 desa di sepanjang Pantai Utara maupun Selatan
Jawa terkena bencana abrasi. Bahkan, Di Kabupaten Demak,
sebuah desa beserta 300 hektar lahan tambak masyarakat
hilang akibat abrasi pasca kegiatan reklamasi dan
pembangunan break water di pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Demikian halnya kemiskinan, setidaknya
sepertiga (33,86%) dari masyarakat Jawa Timur yang
tinggal di pesisir dalam kondisi miskin. Bahkan, di
Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Sumenep lebih dari 50%
dari total jumlah penduduknya dalam kategori miskin.7
Suramadu, jembatan untuk siapa?
Proyek infrastruktur berbentuk pembukaan jalan-jalan
baru, akan membabat hutan dan kawasan-kawasan pertanian
maupun permukiman. Proyek air dilakukan melalui
pembuatan waduk dan DAM. Berbagai pelabuhan juga
mengikuti pembangunan infrastruktur jalan. Jalan Raya Pos
direplikasi dengan membuat Jalan Lintas Selatan(JLS)
yang melintasi jalur pesisir selatan dari Kabupaten
Banyuwangi sampai Pacitan. Jalan ini akan menghubungkan
Banten di Jawa Barat dengan Banyuwangi di Jawa Timur.
6 Java Collapse, Dokumen Catatan Perdana 20077 www.walhi.or.id
4
Berdasarkan data proyek infrastruktur di Jatim dibutuhkan
biaya sebesar US$ 5.096.607 million.8
Pasca infrastruktur summit pemerintah mengeluarkan
PERPRES 36 Tahun 2005 yang jelas-jelas untuk kepentingan
pemilik modal dan memposisikan warga negara sebagai pihak
yang harus diperlakukan untuk dipaksa menyerahkan
tanahnya ketika dibutuhkan negara atas nama pembangunan.
Secara eksplisit disebutkan bahwa negara boleh mencabut
hak atas tanah warga negara. Rasionalitas itu menjelaskan
pemerintahan dan negara sebagai alat modal untuk
melakukan operasi kepentingannya melalui kebijakan
pemerintah Propinsi Jawa Timur.
Bencana banjir bandang, tanah longsor, banjir rob, dan
angin topan terjadi di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa
Timur. Selain korban jiwa, jelas ada kerugian ekonomi,
lingkungan dan sosial yang sangat besar. Tidak menutup
kemungkinan luas wilayah maupun jumlah kerugian akan
bertambah jika dilihat dari kondisi lingkungan hidup yang
belum menunjukkan arah kebaikan hingga kini. Konsep
pembangunan dengan asas pertumbuhan (growth development)
yang dilakukan selama ini telah menimbulkan eksploitasi
sumberdaya alam yang sulit diperbaiki.
Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) direncanakan
menghubungkan kota Surabaya dengan Pulau Madura.
Direalisasikan pada era presiden Megawati Sukarnoputri.
Jembatan sepanjang 5,3km ini diharapkan menjadi jembatan
termegah di wilayah timur Indonesia. Semula, biaya yang
direncanakan untuk membangunnya sejumlah 4,2 triliun
rupiah. Perubahan perencanaan teknis pembangunan jembatan
dan kenaikan harga, menjadikan jembatan ini kini berbiaya
4,9 triliun rupiah. Direncanakan beroperasi pada tahun
2009.
8 www.usembassyjakarta.org/econ/infra-summit5
Suramadu merupakan proyek yang dibiayai pemerintah pusat
melalui Anggaran Pendapatan Belanja Nasional(APBN).
Sumber pembiayaan tersebut berasal dari pinjaman luar
negeri. Terungkap setidaknya pemerintah menerima pinjaman
dari Bank Exim of China. Pengerjaannya melibatkan dua
konsorsium perusahaan-perusahaan konstruksi dari
Indonesia dan China.
Jembatan ini sejak proses awal memunculkan masalah
terhadap model pembebasan tanah warga. Mayoritas warga
yang tanah tinggalnya terkena proyek akses menuju
jembatan Suramadu sepanjang 4,35km, menerima nilai
penggantian dari Panitia Pengadaan Tanah(P2T) Proyek
Jembatan Suramadu. Namun, beberapa warga masih bertahan
untuk tidak melepaskan tanahnya jika penggantiannya tidak
layak.
Argumen untuk menilai kelayakan harga tanah yang berlipat
dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) masih tidak bisa
menjelaskan bagaimana warga mencari tanah pengganti bagi
mereka. Terutama bagi mereka yang memiliki usaha, sangat
keberatan dengan jumlah penggantian.9 Tim Pelaksana
sendiri kemudian berencana menggunakan Perpres 65/200610
untuk menghadapi warga yang mempertahankan nilai
penggantian diatas plafon 5 juta per meter persegi.
Padahal, perhitungan warga menunjukkan angka 8 juta per
meter sebagai nilai yang sepadan bagi mereka untuk dapat
mencari pengganti lahan di wilayah lain.11
Hal yang sama terkait pembebasan lahan akses Suramadu
juga terjadi di Pulau Madura. Wilayah kaki jembatan ini
berada di Kabupaten Bangkalan dengan luas area yang
dibutuhkan 670,949m2. Pemerintah menetapkan harga 35 ribu
per meter persegi, sedangkan warga menginginkan harga
pengganti antara 200 hingga 250 ribu per meter persegi.
9 Lihat Jawa Pos, Minggu 20 April 200810 Perpres ini merupakan Perubahan Atas Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum11 Lihat Surya 5 Maret 2008
6
Perbedaan penetapan harga dari pemerintah dan permintaah
warga terpaut jauh pada kisaran 165 ribu hingga 225 ribu
rupiah.12
Pembangunan jembatan inipun menyisakan cerita pahit bagi
keberlanjutan sumber produksi Nelayan Kedungcowek.
Hartining(52thn), seorang perempuan Nambangan13 yang
bertumpu sebagai hidup sebagai nelayan menyampaikan
perubahan yang terjadi berupa turunnya jumlah tangkapan
gragu14.
‘Sangat menurun sejak ada Suramadu. Biasanya bisa dapat
gragu 1 perahu atau ton-tonan, sekarang dapat 1 kwintal
saja sudah alhamdulillah. Tidak tahu juga kalau ada efek
dari Lapindo, yang pembuangan ke laut itu’15(Hartining, 52
tahun)
Perubahan yang terjadi pada jumlah tangkapan gragu
menjadikan Nelayan Nambangan yang terkenal dengan
produksi gragu tersebut beralih mencari kerang. Saat
kerang juga berkurang, nelayan beralih kembali untuk
mencari ikan teri bulu ayam untuk bahan ikan asin.
Demikian halnya dengan jumlah tangkapan kepiting
rajungan. Jumlah tangkapan sebelum ada aktivitas
pembangunan jembatan rata-rata sekitar 10 kg. Kini mereka
hanya bisa mendapatkan rata-rata 2 kg. Ikanpun juga
semakin sulit didapatkan, sehingga memaksa para Nelayan
untuk mencari ke wilayah laut yang lebih jauh.
Sepuluh tahun lalu, lima hasil laut Surabaya dengan
jumlah tangkapan tertinggi adalah Kerang (1.118ton),
Simping (938ton), Udang putih (889,6ton), Teri
(875,8ton), dan Udang Kecil (826,9ton).16
12 Lihat Jawa Pos, Rabu 9 Januari 2008: Lahan Sisi Madura Belum Beres13 Salah satu dusun diantara 2 dusun lain Kedungcowek dan Cumpat di kelurahan Kedungcowek14 Gragu adalah sejenis udang kecil yang dulu umum menjadi tangkapan utama nelayan dusun Nambangan(Kedungcowek)15 WALHI JATIM, Data Interview Warga Pesisir Surabaya, Oktober 200816 Bappeda Kotamadya Surabaya, Surabaya dalam Angka 1998.
7
Abrasi menjadi ancaman nelayan. Selain wilayah tinggal
perkampungan yang terancam ombak besar, lumpur di wilayah
ini juga semakin berkurang. Wilayah hidup berbagai biota
laut seperti kerang, kepiting, dan teripang menjadi
hilang. Padahal selain kerang yang bisa didapatkan lebih
dari seribu ton, jumlah tangkapan kepiting juga menembus
hingga 246,9ton per tahunnya.17
Yang lebih menyedihkan adalah tingkat konsumsi bahan
bakar yang semakin bertambah sebagai konsekuensi
kebutuhan menjangkau wilayah yang lebih jauh. Perahu
layar tidak bisa lagi leluasa melintasi wilayah perairan
ini. Bensin, sebagai bahan bakar motor tempel yang
digunakan membutuhkan setidaknya 4 liter untuk sekali
jalan. Hasil yang hanya 15 ribu dari hasil tangkapan
memaksa mereka berhutang untuk bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Umiyati, seorang nelayan perempuan dari
Tambakwedi menyebutnya dengan istilah pak pok18. Perahu
layar yang biasanya menjadi alternatif untuk menekan
biaya produksi melaut warga, kesulitan untuk melintasi
wilayah jembatan ini.
Namun, persoalan kehilangan mata pencaharian tidak
dirasakan oleh warga yang tidak bersandar penghasilan
dari hasil laut. Infrastruktur jalan diharapkan akan
menciptakan peluang usaha baru. Suyati contohnya,
perempuan berusia 32 tahun yang merupakan warga
pengontrak di wilayah Kedungcowek menyampaikan keinginan
untuk membuat sebuah usaha setelah adanya Jembatan
Suramadu ini. Suaminya yang tidak menggantungkan
penghasilan dari sumber daya alam laut menjadi alasan
penjelas ketiadaan dampak pembangunan Jembatan Suramadu
terhadap kehidupannya.
Dampak pembangunan yang dirasakan adalah persoalan
berkurangnya lahan, gangguan suara bising, debu, dan
17 ibid18 Istilah lokal yang bermakna impas
8
retak-retak pada bangunan rumah. Namun, setelah dilakukan
penggantian oleh pelaksana proyek masalah tersebut tidak
berkepanjangan.
Pasir dikeruk, ekonomi remuk
Tidak hanya Riau yang kehilangan pasir untuk pembangunan
perluasan daratan Singapura. Di Selat Madura, wilayah
kecamatan Kenjeran Surabaya, aktivitas penambangan pasir
laut juga terjadi. Aktivitas ini melibatkan sejumlah
perusahaan. Awalnya masyarakat tidak merasakan dampak
signifikan dari pengerukan ini. Namun, sejak PT Gora
Gahana melakukan penambangan pasir laut, mereka mulai
merasakan dampak negatif aktivitas tersebut.
Dampak pertama yang mereka rasakan adalah kerusakan
wilayah tangkap ikan mereka yang dikenal dengan
Petorosan. Nelayan Kedungcowek lazim memiliki petorosan
yang berfungsi untuk perangkap ikan yang dipasang di
berbagai tempat di wilayah laut Selat Madura.
Nelayan di wilayah Kedung Cowek dapat dibedakan menjadi
tiga tipe nelayan. Pertama, Nelayan Petorosan: nelayan
yang mencari ikan dengan membuat sejenis perangkap jaring
yang dipasang pada beberapa kayu kelapa yang ditancapkan
ke dasar laut. Kedua, Nelayan Jala: yaitu nelayan yang
mencari ikan dengan alat jaring, dan Ketiga, Nelayan
pencari Kerang: nelayan yang mencari kerang dengan cara
menyelam ke dasar laut. Nelayan tipe ketiga ini sangat
bergantung dengan kondisi tanah lumpur dan pasir didasar
laut.
Penambangan pasir yang dilakukan oleh PT Gora Gohana
menurut warga sudah dimulai sejak 1989. Meski pada tahun
1985 mereka juga mencatat adanya penambangan yang
dilakukan oleh PT Tropical. Penambangan yang dilakukan
oleh Tropical berjarak sekitar 2 mil dari wilayah Kejawan
9
Lor. Dengan tidak adanya sosialisasi kepada warga tentang
aktivitas industri ini, praktis warga tidak tahu menahu
pula mengenai perijinan pertambangan. Pada masa awal ini,
warga cukup tenang karena volume pasir dirasakan belum
berkurang.19
Beroperasinya PT Gora Gahana pada 1991 diawali dengan
mempekerjakan beberapa warga untuk membuat bagan sebagai
alat mengukur ketebalan pasir yang akan ditambang pada
dua tahun sebelumnya. Warga tidak pernah dimintai
persetujuan aktivitas ini. Padahal wilayah operasi
perusahaan meliputi area petorosan milik warga. Dan untuk
meminimalisir keresahan warga, perusahaan memberikan
kompensasi kepada sekitar 30 nelayan petorosan. Namun,
inilah yang kemudian semakin memicu kemarahan warga.
Kapal perusahaan yang beraktivitas didatangi dan
dihentikan aktivitasnya. Jumlah nelayan petorosan yang
sejumlah 100 orang dan dengan tidak diberi penggantian
secara merata membuat kecemburuan satu dengan lainnya.
Pada tahun 2002 warga kembali mendengar adanya rencana
penambangan pasir oleh perusahaan yang sama, namun tanpa
sebab yang jelas rencana ini tidak terealisasi.
Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi kembali rencana
penambangan. Sosialisasi yang dilakukan, hanya pada
tingkat kelurahan dan tidak diteruskan kepada warga.
Trauma akan dampak penambangan pada puluhan tahun
sebelumnya menjadi dasar warga untuk menolak rencana ini.
Namun, adanya peluang mendapatkan sejumlah kompensasi
dari perusahaan menjadikan beberapa nelayan mendukung
rencana ini.
Penambangan pasir yang dilakukan oleh PT Gora Gohana
menurut warga sudah dimulai sejak 1989. Meski pada tahun
1985 mereka juga mengingat adanya penambangan yang
dilakukan oleh PT Tropical. Penambangan yang dilakukan
19 WALHI JATIM, Internal Report Kasus Penambangan Pasir Kenjeran 200610
oleh Tropical berjarak sekitar 2 mil dari wilayah Kejawan
Lor. Dengan tidak adanya sosialisasi kepada warga tentang
aktivitas industri ini, praktis warga tidak tahu menahu
pula mengenai perijinan pertambangan. Pada masa awal ini,
warga cukup tenang karena volume pasir dirasakan belum
berkurang.20 Patut pula diperhatikan kondisi politik
kekuasaan bisa juga sebagai faktor yang bisa
meminimalisir perlawanan dari warga dikala itu.
Beroperasinya PT Gora Gahana pada 1991 diawali dengan
mempekerjakan beberapa warga untuk membuat bagan sebagai
alat mengukur ketebalan pasir yang akan ditambang pada
dua tahun sebelumnya. Warga tidak pernah dimintai
persetujuan aktivitas ini. Padahal wilayah operasi
perusahaan meliputi area petorosan milik warga. Dan untuk
meminimalisir keresahan warga, perusahaan memberikan
kompensasi kepada sekitar 30 nelayan petorosan. Namun,
inilah yang kemudian semakin memicu kemarahan warga.
Kapal perusahaan yang beraktivitas didatangi dan
dihentikan aktivitasnya. Jumlah nelayan petorosan yang
sejumlah 100 orang dan dengan tidak diberi penggantian
secara merata membuat kecemburuan satu dengan lainnya.
Pada tahun 2002 warga kembali mendengar adanya rencana
penambangan pasir oleh perusahaan yang sama, namun tanpa
sebab yang jelas rencana ini tidak terealisasi.
Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi kembali rencana
penambangan. Sosialisasi yang dilakukan, hanya pada
tingkat kelurahan dan tidak diteruskan kepada warga.
Trauma akan dampak penambangan pada puluhan tahun
sebelumnya menjadi dasar warga untuk menolak rencana ini.
Namun, adanya peluang mendapatkan sejumlah kompensasi
dari perusahaan menjadikan sekelompok nelayan mendukung
rencana ini.
20 WALHI JATIM, Internal Report Kasus Penambangan Pasir Kenjeran 200611
Beberapa dampak yang dirasakan warga terkait dengan
penambangan antara lain:21
Pertama, populasi biota laut terutama ikan di Selat
Madura menurun akibat banyaknya tempat-tempat berkembang
biak ikan yang rusak. Hal ini mengurangi penghasilan
karena jumlah ikan tangkapan yang menurun;
Kedua, Nelayan harus menempuh jarak lebih jauh untuk
mendapatkan ikan yang membutuhkan biaya bahan bakar
berlipat hingga 4 kali dari masa sebelumnya;
Ketiga, Nelayan harus masuk ke wilayah tangkap nelayan
wilayah lain yang untuk itu membutuhkan biaya keamanan
bagi nelayan di wilayah lain;
Keempat, pengerukan mengakibatkan pasir tempat berkembang
biak kerang menjadi rusak karena baik pasir maupun
kerangnya tersedot.
Kelima, petorosan banyak yang rusak. Padahal pembuatan
satu petorosan menelan biaya jutaan rupiah.
Keenam, hilangnya pasir laut mengakibatkan tergerusnya
tanah permukiman yang berbatasan langsung denga laut.
Sekurangnya empat juta rupiah dikeluarkan oleh warga
dusun Nambangan dan Cumpat untuk memperbaiki tanggul.
Beberapa perubahan lingkungan akibat jembatan Suramadu
dan penambangan pasir menjadikan Nelayan semakin sulit
untuk mendapatkan sumber penghasilan. Masalah pembangunan
Jembatan Suramadu ataupun penambangan pasir hanyalah satu
contoh tekanan bagi kawasan pesisir Surabaya. Ancaman
yang lebih besar bagi wilayah ini adalah dampak
pembuangan lumpur Lapindo ke selat Madura. Lumpur yang
mengandung logam berat dan hidrokarbon22 ini semakin
menambah tekanan bagi kehidupan di laut. Arah arus air
21 WALHI JATIM, dokumen kasus Penambangan Pasir Kenjeran 200722 WALHI Jawa Timur, Riset Awal Logam Berat dan PAH Lumpur Lapindo 2008
12
laut di selat Madura berpotensi menyebarkan lumpur ke
seluruh wilayah bagian selat ini.23
Belum lagi ancaman berikutnya berupa perubahan desain
wilayah untuk menjadi pusat industri, perdagangan,
perumahan, maupun pengembangan lainnya yang membutuhkan
lahan sedikitnya lima kelurahan di wilayah ini.
Penolakan penambangan pasir oleh warga tidak menyurutkan
perusahaan penambang pasir laut. Setelah PT Gora Gahana
dilawan oleh warga, sebuah perusahaan masih mengajukan
ijin untuk mengeruk di wilayah selat Madura. WALHI Jawa
Timur mencatat CV Surya Hanlyn, milik suami seorang
aparat penegak hukum di Surabaya Timur mengajukan
Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup(ANDAL)
untuk memuluskan rencananya.24
Adaptasi atas perubahan wilayah hidup dilakukan nelayan
dengan mengalihkan sumber penghasilan dari tangkapan
biota laut dari satu jenis ke jenis lainnya tidak semakin
memperbaiki kehidupan warga. Tekanan demi tekanan
pembangunan infrastruktur wilayah pesisir Surabaya
menimbulkan efek ikutan berupa penetrasi kapital di
kawasan ini.
Perubahan iklim global menimbulkan terjadinya banjir rob
yang kini makin sering terjadi. Ancaman banjir di
perkampungan pesisir akibat pasang air laut yang sangat
tinggi ini menjadi penekan baru bagi warga pesisir
Surabaya. Tanggul-tanggul yang diperbaiki warga setiap
tahunnya tidak lagi mampu membendung air pasang ini.
Modernisasi yang Mengusir
Wilayah pantai Kenjeran dan Tambakwedi masuk kategori
penggunaan zona 3 dan 4 dalam RTRW Surabaya. Fungsi zona
23 Lihat Raja Siregar, 2006: Dampak Pembuangan Lumpur Lapindo ke Laut 24 Lihat: KA ANDAL Penambangan Pasir Laut Perairan Muara Kalilondo Kelurahan Keputih Kecamatan Sukolilo CV Surya Hanlyn 2006
13
3 secara khusus adalah untuk wisata bahari, areal
penangkapan ikan, budidaya perikanan, dan pelayaran
kapal. Sedangkan zona 4 berfungsi untuk konservasi dan
rehabilitasi lingkungan laut dan pantai, serta areal
penangkapan dan budidaya perikanan.
Setelah Suramadu dibangun, pemerintah kota Surabaya telah
menyiapkan desain masterplan untuk mendukung pengembangan
wilayah ini menjadi pusat bisnis.25 Pemerintah
mempersilahkan investor untuk mengurus ijin untuk
investasi industri, perdagangan, maupun perumahan dengan
melakukan pembangunan di kawasan ini.
Undangan dari pemerintah kota ini disambut dengan
antusias. Setidaknya oleh PT Surabaya Industrial Estate
Rungkut(SIER) yang sangat tertarik dengan menggarap lahan
di sekitar Suramadu. Manajemen SIER melihat prospek yang
cerah jika kawasan ini dikembangan sebagai Kawasan
Industri.26
Pembangunan infrastruktur jembatan yang disempurnakan
dengan berbagai rencana pembangunan pelabuhan besar di
sekitar jembatan dan fasilitas umum berupa terminal
penghubung, museum, dan prasarana wisata bahari mengancam
keberadaan sedikitnya lima kelurahan di wilayah kecamatan
Kenjeran dan Bulak.
Pengembangan kaki Suramadu yang membutuhkan 600 hektar
lahan telah menempatkan kelurahan Kedungcowek, Kenjeran,
Tambakwedi, Bulak, dan Gading ini dalam posisi akan
digusur. Lima kelurahan tersebut secara administratif
terbagi dalam tiga kecamatan: Kenjeran, Bulak, dan
Tambaksari.
Bagaimana perkampungan wilayah pesisir? Praktis dengan
rencana dibangunnya perumahan murah, perkampungan ini
juga harus segera hilang. Pemerintah kota telah
25 Lihat Kompas, 11 April 2008: Pemkot siapkan RTRW26 Lihat Surya, 28 Februari 2008: SIER Bidik Kaki Jembatan Suramadu
14
memikirkan rencana bedol desa bagi warga yang tinggal di
wilayah ini dan melihatnya sebagai hal yang tidak
merugikan warga.27
‘Sebagai pulau yang strategis dengan berbagai aktivitas perekonomian yang menjanjikan, pemerintah membangun berbagai fasilitas yang cukup fantastis di Pulau Jawa. Mulai dari penyediaan kawasan industri, perkantoran, transportasi, pariwisata hingga pemukiman mewah, yang sebahagian besar didirikan disepanjang pesisir Jawa. Sayangnya, kegiatan pembangunan ini tidak mempertimbangkan fisik Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari total luas daratan Indonesia.’28
Jared Diamond menggunakan sebuah kerangka kerja ketika
mempertimbangkan situasi kolapsnya sebuah masyarakat.
Kerangka ini terdiri atas lima perangkat faktor yang
cenderung berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat,
yaitu: kerusakan lingkungan, perubahan iklim, permusuhan
dengan tetangga, lenyapnya mitra dagang, serta bagaimana
masyarakat merespon perubahan dan kerusakan lingkungan
hidup.
Jika melihat kerangka kerja tersebut, warga di wilayah
pesisir Surabaya hampir memenuhi prasyarat untuk kolaps.
Hal ini masih ditambah pula dengan faktor kebijakan yang
menentukan keberlanjutan ruang hidup mereka. Pilihan
‘modernisasi’ kawasan dengan mengganti keberadaan
permukiman pesisir menjadi kawasan yang lebih ‘modern’
yang direncanakan oleh pemerintah, merupakan faktor
penekan dari luar keinginan warga. Namun demikian, faktor
inilah yang kemudian akan membuat syarat ‘kolaps’ sebuah
masyarakat bisa dipenuhi.
Tiga pelabuhan besar di sisi selatan pulau Madura yang
akan dibangun untuk melengkapi keberadaan jembatan
Suramadu semakin menunjukkan kelangsungan fungsi yang
27 Lihat Surya, 15 April 2008: Terancam Bedol Desa.28 www.walhi.or.id – Potret Kerusakan Lingkungan Pesisir Jawa
15
akan segera lenyap. Pelabuhan di Bangkalan untuk terminal
peti kemas internasional, di Sampang untuk perikanan
nasional, dan di Sumenep untuk Pariwisata. Pembangunan
pelabuhan peti kemas di Bangkalan akan meningkatkan
volume peti kemas yang melintas di selat Madura.
Pelabuhan peti kemas Suramadu yang saat ini menampung 500
peti kemas akan ditopang oleh terminal peti kemas
Bangkalan tersebut yang lebih dikhususkan pada ukuran
peti kemas besar.29
Satu pelabuhan perikanan nasional yang akan dibangun di
Sampang menunjukkan perencanaan pengembangan wilayah yang
tidak konsisten. Satu sisi pemerintah telah mempersempit
ruang tangkap bagi para nelayan, satu sisi berharap
peningkatan produksi perikanan.
Nelayan menjadi sangat rentan terhadap rencana alih
peruntukkan kawasan. Ketrampilan turun menurun hidup
sebagai nelayan tidak akan mungkin menjawab keberlanjutan
hidup mereka jika dipindahkan ke wilayah daratan.
‘Jika petani punya Sawah, Kami punya Laut’30
Hilma, seorang nelayan Nambangan tidak ingin digusur ke
tempat lain. Ia berharap hidup seperti saat ini yang
dijalani daripada harus hidup dengan mata pencaharian
sebagai petani. Ia dan nelayan lainnya tidak memiliki
ketrampilan untuk melakukannya.
Kaum perempuan nelayan yang tinggal di wilayah Nambangan
dan Cumpat mengorganisir diri dalam Kelompok Ibu Mandiri.
Berbagi aktivitas dijalankan untuk menguatkan kemampuan
hidup mereka. Rencana memanfaatkan lahan pekarangan
sempit untuk menanam sejumlah jenis tumbuhan sayuran yang
lebih bermanfaat akan menjadi cerita yang tak pernah
direalisasikan di wilayah ini saast ruang hidup mereka
digusur.
29 Lihat Jawa Pos 14 Maret 2008: Tiga Pelabuhan Besar susul Suramadu.30 WALHI Jawa Timur, Film Dokumen Mengeruk Pasir Merusak Pantai 2007
16
Warga Pesisir Surabaya hanya mendengar dari mulut ke
mulut mengenai rencana penggusuran wilayahnya yang akan
dirubah menjadi kawasan modern. Sosialisasi hanya
terbatas bagi mereka yang memiliki akses dan dianggap
penting untuk diminta pendapat. Para Nelayan seperti
Umiyati dan lainnya berharap jika harus berpindah, mereka
ingin tetap dekat dengan laut.
Pelajaran Penting
Proyek infrastruktur wilayah yang dilakukan oleh
pemerintah bertujuan untuk menciptakan laba pada semua
pelaku yang terlibat di seluruh rantai pengaturannya.
Manfaat kepada wilayah setempat nyaris tidak dirasakan.
Studi pesisir Surabaya dalam paper singkat ini telah
memaparkan bagaimana penderitaan yang harus dipikul oleh
warga. Kemakmuran yang menjadi cita-cit bukan milik
mereka. Kemakmuran hanyalah untuk kaum elit dan
beralaskan kesengsaraan warga.
Atas nama pembangunan, tindakan–tindakan kreatif
destruktif sebagai syarat pengembangan produksi dan
perombakan sistem kehidupan besar–besaran mengharuskan
negara mengeluarkan biaya tinggi dan berhutang kepada
pihak lain. Rakyat harus kembali menanggung beban ‘biaya
pembangunan’ melalui pajak dan pungutan lainnya.
Keselamatan warga dengan terjaminnya wilayah sumber
penghidupan disingkirkan tanpa mereka bisa menikmati
manfaat ‘pembangunan’ itu sendiri.
Industrialisasi tidak selalu tumbuh secara terencana dan
selalu berbenturan dengan tata ruang di tiap wilayah.
Rencana Tata Ruang mengikuti kemauan pelaku industri
untuk mengeruk laba. Penggusuran dan bencana yang
diakibatkan oleh industri selalu mengorban rakyat. Kaum
perempuan nelayan yang membantu menopang ekonomi keluarga
17
dalam posisi tersulit saat diharuskan pergi dari wilayah
tinggalnya.
Pustaka
Cetak
Diamond, Jarred,”Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive”, Penguin Group, New York. 2005.
18
Neumann, Roderick P. “Making Political Ecology”. Hodder Arnold, London, 2005
Gahana, PT Gora, “Studi Review AMDAL Penambangan Pasir Laut Pada Wilayah Eksploitasi D.U 509 JATIM Perairan Selat Madura: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”, PT Gora Gahana, tanpa tahun.
Hanlyn, CV Surya, ”Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan PENAMBANGAN PASIR LAUT PERAIRAN MUARA KALILONDO KELURAHAN KEPUTIH KECAMATAN SUKOLILO Surabaya,” CV Surya Hanlyn, 2006
JATIM, WALHI,” Dokumen Kasus Penambangan Pasir Kenjeran 2006”, Tidak dipublikasikan.
JATIM, WALHI,”Data Interview Warga Pesisir Surabaya 2008,” Tidak Dipublikasikan.
JATIM, WALHI,”Riset Awal Logam Berat dan PAH Lumpur Lapindo”, WALHI JATIM, 2008
Siregar, Raja,”Studi Dampak Pembuangan Lumpur Lapindo ke Laut 2006”, Tidak Dipublikasikan.
SPES,editor. “Economy and Ecology in Sustainable Development”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Surabaya, Bappeda Kotamadya, dan Surabaya, BPS,”Surabaya Dalam Angka 1998”, Surabaya, 1999
Toer, Pramoedya Ananta.”Jalan Raya Pos”, Hasta Mitra, 2003.
Torre, Isabel de la, and Barnhizer, David, editors. “ The Blues of Revolution: The Damaging Impact of Shrimp Farming”. ISA Net, WA USA. 2003
Internet
www.walhi.or.id
Film
JATIM, WALHI: “Mengeruk Pasir Merusak Pantai”, 2007
19