MODEL PRODUKSI DAUN PADA HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)
PUDJA MARDI UTOMO
SEKOLAH PASCA SARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Produksi Daun Pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Pudja Mardi Utomo NRP E161070061
ABSTRACT
PUDJA MARDI UTOMO. Leaves Production Model on Kayu Putih (Melaleucacajuputi subsp. cajuputi Powell) Plantation. Supervised by Endang Suhendang, Wasrin Syafii and Bintang CH Simangunsong.
Cajuput oil is one of important non-timber forest product in Indonesia, which is resulted from processing of kayu putih (Melaleuca cajuputi Subsp.cajuputi Powell) leaves. Perum Perhutani now managed about 24,000 hectars of kayu putih plantation in Java and 10 units of leaves processing mills with installed capacity of 53,760 tonnes per year. However, these mill were underutilized due to low leaves kayu putih production.
The objective of this study were: (1) to develop kayu putih leaves production model, for one leaves harvesting rotation, and (2) to determine a silviculture rotation age of kayu putih stand. Subject to field condition, number of tree, stand density, and biomass by part of tree from 36 temporary sample plot (TSP) of Age Class II at BKPH Sukun were them measured to develop kayu putih leaves production model and from 24 TSP of all Age Class (Age Class I – VIII) at BKPH Sukun were measured to determine a silviculture rotation age. Anaysis of oil and and sineol contens as well as some characteristics of cajuput oil were also conducted.
The result show that Morgan-Mercer-Flodin (MMF) equation was found as the best model in representing kayu putih leaves production model, with option sprout age of 7 months. A silviculture rotation age was estimated around 25 years (with Age Class V) using as stand maximum productivity as a proxy.
Keyword : leaves production model,cajuput oil, rotation, kayu putih.
RINGKASAN
PUDJA MARDI UTOMO. Model Produksi Daun Untuk Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell). Di bawah bimbingan Endang Suhendang, Wasrin Syafii and Bintang CH Simangunsong.
Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang penting di Indonesia. Hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha areal produktif jenis ini dan memiliki 10 pabrik pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Namun Pengelolaannya belum optimal karena sampai saat ini produksi daun kayu putih masih jauh dari kapasitas terpasang pabrik, yaitu sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun.
Tujuan penelitian adalah: (1). Mengetahui model produksi daun tanaman kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan (2). Mengetahui model produktivitas daun tanaman kayu putih dalam satu daur silvikultur. Untuk mendukung tujuan tersebut juga dilakukan analisis kandungan minyak, kualitas minyak dan beberapa sifat minyak pada umur tuans 6-12 bulan. Selanjutnya hasil model yang diperoleh digunakan untuk menentukan saat kapan daun dipanen dan saat kapan tanaman kayu putih diganti dengan tanaman baru.
Cara pengambilan data adalah survey, yaitu: pengamatan langsung dilapangan melalui pengukuran plot-plot ukur sementara (PUS). Plot ukur untuk pembuatan model dalam satu daur panen dibuat sebanyak 36 PUS dan 24 PUS untuk pembuatan model dalam satu daur silvikultur. Model produksi daun kayu putih terbaik dalam satu daur panen adalah Morgan-Mercer-Flodin model (MMF) dan pemangkasan optimum adalah pada umur tunas 7 bulan, dimana kurva laju pertumbuhan rata-rata bulanan maksimum berpotongan dengan kurva pertumbuhan bulan berjalan. Model produktivitas dalam satu daur silvikulktur adalah model polinomial. Daur silvikultur, yaitu umur tegakan kayu putih pada saat tanaman harus diganti dengan tanaman baru diperkirakan pada umur 25 tahun (KU V), oleh karena pada periode umur ini produktivitas daun tertinggi.
Kata kunci : Model produksi daun, minyak kayu putih, kayu putih
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB
MODEL PRODUKSI DAUN PADA HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)
PUDJA MARDI UTOMO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCA SARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
Penguji luar komisi pada ujian tertutup:1. Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc2. Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc
Penguji luar komisi pada ujian terbuka:1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS2. Dr. Ir. Mahfudz, MP
Judul Disertasi : Model Produksi Daun Pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell).
Nama : Pudja Mardi Utomo
NIM : E161070061
Disetujui
Ketua Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MSKetua
Ir. Bintang CH Simangunsong, MS, Ph.DAnggota
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.AgrAnggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir Hariadi Kartodiharjo, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2011 ini adalah Model Produksi
Daun Pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi
Powell).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS, Prof.Dr.Ir. Wasrin
Syafii, M.Agr, Ir.Bintang CH Siamangunsong, MS,Ph.D atas bimbingan,
kesabaran, dukungan moril, kritik dan saran yang sangat besar perannya dalam
penyelesaian penulisan disertasi ini. Semoga semua sumbangsih kepada penulis
menjadi amal ibadah bagi mereka.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Irdika Mansur,
M.For.Sc dan Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi
pada ujian tertutup, Dr.Ir. Budi Kuncahyo, MS, selaku wakil Program Studi Ilmu
Pengelolaan Hutan, Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS, selaku Wakil Dekan Fakultas
kehutanan IPB Bogor yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan
disertasi ini pada ujian tertutup. Prof.Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Dr.Ir.
Mahfudz, MP selaku penguji luar komisi, Prof.Dr.Ir. Bambang Hero S, M.Agr
selaku wakil Rektor IPB dan Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc F selaku wakil
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang telah memberikan saran dan
masukan untuk perbaikan disertasi ini pada ujian terbuka.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Kesatuan Pemangkuan
Hutan Madiun beserta staf, Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukun
beserta staf, Kepala Pabrik Kayu Putih Sukun dan staf, Pak mandor Sugeng
Wiyani dan Sugito, dan para pesanggem (pak Kawuk dan keluarga, pak Saikun
dan keluarga, Sunaryo dan keluarga), Staf Laboratorium Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat Bogor, dan para pihak yang telah membantu dalam
proses penelitian.
Ucapan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan dan jajarannya yang
telah memberikan beasiswa dan bantuan penelitian. Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari yang telah memberikan bantuan penelitian. Keluarga mas Herdy dan
keluarga dik Pudja yang telah memberikan bantuan beasiswa dan bantuan
penelitian.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada
ibunda Siti Kustiyah dan Clerry Mogonta, istri Fitri dan anak-anaku Nisa dan
Sultan tercinta, Mas Heru dan Tono beserta keluarga, Dik Kembaran, Nurni, Rudi
dan Giri beserta keluarga, paklik dan bulik Sardjono dan keluarga besar di
Manado, atas doa dan dukungannya yang tiada henti. Ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan
dan dukungan dalam penyelesaian studi penulis.
Semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang telah diberikan dibalas
Allah SWT dengan yang lebih baik dan lebih besar. Amin.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Namun
demikian, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi umat
manusia.
Bogor, Agustus 2012
Pudja Mardi Utomo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 11 Mei 1964 sebagai anak
ketiga dari pasangan Soemarno dan Siti Kustiyah. Penulis menikah dengan
Liedya Nur Fitri Panambunan dan dianugerahi seorang putri Rahmadianisa
Papuana dan seorang putra Sultan Achmad Foretsatrio. Pendidikan sarjana
ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor lulus pada tahun 1991. Pada bulan September tahun 1999 penulis diterima
di Program Magister pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Ilmu-Ilmu
Pertanian, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan
menyelesaikannya pada bulan Januari tahun 2002. Pada tahun 2007 mendapat
kesempatan melanjutkan ke jenjang Program Doktor pada Mayor Ilmu
Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas beasiswa
dari Kementerian Kehutanan.
Penulis bekerja sejak tahun 1992 sebagai Staf Peneliti pada Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari Papua Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tugas yang diemban adalah peneliti pada
bidang silvikultur.
i
DAFTAR ISI
Teks Halaman
DAFTAR ISI……………………………..……………………....................... iDAFTAR TABEL………………………..……………………....................... iiiDAFTAR GAMBAR…………………..…………………….......................... v
1. PENDAHULUAN……….……………………………………………. 11.1. Latar Belakang………….………………………………............................ 11.2. Perumusan Masalah……………..………………………………………... 41.3. Kerangka Pemikiran……………………………………………………… 61.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………… 81.5. Novelty………………………………………………………………….... 81.6. Hipotesis………………..……………………………………………….... 91.7. Batasan dan Asumsi………………………………………………………. 10
2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 112.1. Tegakan Hutan Tanaman Seumur dan Sejenis………………………….... 112.2. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan…………………………………………. 112.3. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Seumur…...…………. 122.4. Riap dan Etat............................................................................................... 142.5. Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan..................................................... 162.6. Pemodelan di Bidang Kehutanan................................................................ 182.7. Kayu Putih (Melaleluca cajuputi subsp. Cajuputi Powell)........................ 212.8. Aspek Silvikultur Kayu Putih..................................................................... 242.9. Minyak Kayu Putih..................................................................................... 312.10 Hasil-hasil penelitian sebelumnya.............................................................. 32
3. METODOLOGI..................................................................................... 413.1. Lokasi Penelitian dan Waktu........................................................................ 413.2. Batasan dan Istilah....................................................................................... 423.3.Jenis dan Cara Pengumpulan Data...............................................................3.4. Analisis Data................................................................................................
4452
4. HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH BKPH SUKUN............ 594.1. Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan...........................................................4.2. Keadaan Fisik..............................................................................................4.3. Keadaan Sosial dan Ekonomi......................................................................4.4. Tata Guna Lahan..........................................................................................4.5. Tumpangsari dan Agroforestri.....................................................................4.6. Sarana dan Prasarana...................................................................................
596165686870
ii
5. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 735.1. Model Produksi Daun dalam Satu Daur Panen.......................................... 745.2 Minyak Kayu Putih.................................................................................... 865.3 Hubungan Rendemen Minyak dan Produksi Optimal Daun……………. 925.4 Model Produksi Daun dalam Satu Daur Silvikultur................................... 94
6. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 1036.1 Kesimpulan………………………………………………………………. 1036.2 Saran……………………………………………………………………... 103
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 105
LAMPIRAN.......................................................................................... 113
iii
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1 Pengaruh perlakuan pemberian pupuk (npk), afval daun (a) dan gebrus (g) terhadap produksi daun kayu putih pada plot percobaan seluas 0,1 ha…………………………………………………………. 27
2 Produksi daun kayu putih per pohon berdasarkan umur dan diameter pohon………………………………………………………………… 28
3. Produksi daun kayu putih rata-rata (kg/ha) berdasarkan kelompok umur (ku) dan derajat kesempurnaan tegakan (dkn)………………. 28
4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih………………………………………………............................. 33
5 Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil…………………………………..................... 36
6
7..
Jenis dan sumber data serta metode pengolahan data untuk analisis………………………………………………………………..Keadaan kelas hutan kayu putih di bkph sukun pada jangka 2006-2010 dan jangka 2011-2015………………………………………..
49
63
8. Kondisi penduduk berdasarkan dewasa dan anak-anak serta jenis kelamin……………………………………………………................. 66
9. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan ……………………………… 75
10 Rekapitulasi hasil pengukuran biomasa tunas kayu putih di BKPH Sukun ……………………………………………………………….. 77
11 Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan Logistik……………………………………………………………… 78
12 Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman kayu putih berdasarkan model MMF………………………. 82
13 Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam……………………………………... 88
14. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan setelah dikonversi ke berat basah……………………………. 89
iv
15. Kadar sineol minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam…………………………………. 90
16 Beberapa sifat minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam……................................ 92
17. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII ………………………... 94
18. Rekapitulasi hasil pengukuran biomasa tegakan kayu putih di BKPH Sukun………………………………………………………… 95
19. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model hasil pengukuran dan hasil perhitungan kumulatif ………………………………………… 96
20 Nilai koefisien, Se dan R2 kurva model polinomial derajat dua hubungan biomasa, cabang dan daun dengan umur tegakan……….. 97
v
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Kayu Putih Sistem Pemangkasan Tunas ......... 7
2. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI)................................ 15
3. Peta lokasi penelitian di Ponorogo, Jawa Timur………………. 41
4. Daerah Produksi Daun Kayu Putih Optimum………………… 48
5. Alur Pengambilan Data……………………………………….. 54
6. Alur Analisis Data…………………………………………….. 57
7a. Kurva hubungan antara produksi biomasa dan umur tunas model Logistik ……………………………………… ………. 79
7b. Kurva hubungan antara produksi biomasa dan umur tunas model Logistik Morgan-Mercer-Flodin …………..…………... 80
8. Hubungan kurva produksi biomasa dan produksi DKP selama satu daur panen………………………………………………… 81
9. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) (a) biomasa dan (b) DKP tanaman kayu putih berdasarkan model MMF…………………………………………………… 83
10a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum produksi total biomassa ……………………………..
84
10b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum (a) produksi biomasa (b) produksi DKP……………..
85
11 Kurva (a) periode optimum biomasa dan (b) kurva rendemen (diarsir periode optimum berdasarkan rendemen ≥ 0,7%)……. 93
12 Kurva hubungan produktivitas biomasa dan umur tegakan dengan model Polinomial derajat 3……………………………. 97
13 Kurva model polinomial derajat dua hubungan biomasa, cabang dan daun dengan umur tegakan………………………. 98
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) atau dalam
literatur lama sering juga disebut Melaleuca leucadendron merupakan salah satu
jenis pohon dari famili Myrtaceae merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup
penting bagi industri minyak atsiri. Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih
berwujud sebagai hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku
(pulau Buru, Seram, Nusa Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua, sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di
Jawa Timur (Ponorogo, Kediri, Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu,
Majalengka) (Gunn, et al., 1996; Mulyadi, 2005; Perum Perhutani, 2005).
Potensi tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum
Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha jenis ini dan memiliki 10 pabrik
pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Pabrik yang dimiliki Perum Perhutani
tersebar di Pulau Jawa, yaitu, 5 unit di Jawa Timur, 4 unit di Jawa Barat dan satu
unit di Jawa Tengah. Kapasitas terpasang pabrik total kesepuluh PMKP tersebut
sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun. Tanaman jenis ini di Pulau Jawa
sudah dibudidayakan secara komersial dengan produksi minyak mencapai 300
ton/tahun (Rimbawanto, et al. 2009).
Potensi dan kapasitas pabrik yang besar ini belum bisa dimanfaatkan dengan
maksimal`dimana Indonesia hingga saat ini masih kekurangan pasokan minyak
kayu putih. Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak kayu
putih karena Perum Perhutani hanya mampu menyediakan kurang dari
sepertiganya saja (Perum Perhutani, 2010a). Dilihat dari segi kualitas tegakan
tanaman kayu putih dan rendemen minyak juga masih rendah. Hal ini
ditunjukkan dengan besarnya derajat kesempurnaan tegakan (Dkn) lebih kecil dari
0,8. Sebagai gambaran, hasil kajian Utomo (2001) hutan tanaman kayu putih di
BKPH Sukun hanya memiliki Dkn rata-rata 0,68 dengan produksi daun kayu
putih kurang dari 5.000 ton/tahun, dan rendemen minyak dari tegakan kurang dari
1,0%. Oleh karena itu perlu dicari terobosan untuk meningkatkan produktivitas
2
hutan tanaman kayu putih. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu rekayasa genetika dalam pembuatan tanaman,
manipulasi tempat tumbuh dan rekayasa pengelolaan hutan.
Rekayasa genetika atau pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh
bibit tanaman kayu putih unggul, yaitu tanaman yang mempunyai produksi daun
tinggi, kadar sineol tinggi, rendemen minyak kayu putih tinggi dan keunggulan
lainnya. Melalui rangkaian kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan CSIRO
Forestry and Forest Product Australia sejak tahun 1995 telah diperoleh hasil yang
cukup memuaskan. Hasil seleksi famili dari uji keturunan yang dilakukan
mendapatkan rendemen minyak sebesar 2% yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tegakan biasa antara 0,6-1,0% (Susanto et al., 2003). Lebih lanjut Susanto
et al. (2008) menunjukkan bahwa pada uji keturunan M. cajuputi di Paliyan dapat
meningkatkan rendemen dan kadar sineol antara 10%-21% dan pertumbuhan
antara 15%-20% dari rata-rata setelah seleksi pertama. Waktu yang diperlukan
untuk pencapaian peningkatan genetik tersebut adalah kurang dari 4 tahun.
Cara kedua adalah melalui manipulasi tempat tumbuh tanaman kayu putih,
seperti pengolahan tanah, pemupukan, perlindungan terhadap gulma, penambahan
bahan organik sekaligus pemulsaan dengan afval daun kayu putih dari pabrik,
tumpangsari dan sebagainya. Pemberian pupuk (NPK dan Afval) dan
penggebrusan atau kedua-duanya memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan plot yang tidak mendapat perlakuan. Plot yang mendapat pemeliharaan
dengan penambahan afval daun sebanyak 2.600 kg dan pupuk NPK 100 kg serta
gebrus pada plot percobaan memberikan hasil lebih baik terhadap produksi daun
kayu putih yaitu 1,44 kg/pohon dibanding tanpa perlakuan 1,13kg/pohon (Perum
Perhutani, 1984).
Sambil menunggu hasil kedua cara di atas, cara ketiga, yaitu meningkatkan
produktivitas hutan secara keseluruhan melalui rekayasa pengelolaan hutan kayu
putih. Guna mencapai tujuan pengusahaan yang ditetapkan, diperlukan strategi
pengelolaan yang baik, yakni strategi pengelolaan yang memadukan pengetahuan
biologi jenis yang diusahakan dengan pertimbangan ekonomi dan teknik
pengelolaan yang lazim dilakukan pada hutan tanaman. Penentuan strategi
3
pengelolaan tegakan hutan yang demikian itu dipermudah dengan adanya konsep-
konsep tujuan pengusahaan hutan produksi yang dapat dikuantifikasikan,
diprediksi dan diterjemahkan dalam struktur tegakan hutan.
Fenomena dinamika pertumbuhan tegakan selalu dihadapi pihak pengelola
dalam pengelolaan tegakan. Dinamika pertumbuhan tegakan tidak selalu
memenuhi harapan-harapan pengusahaan. Praktik-praktik pengelolaan tegakan di
Indonesia selama ini masih dikategorikan belum intensif. Beragamnya kegunaan
jenis pohon menyebabkan beragamnya pula tujuan pengusahaan. Pengaturan
tegakan hutan yang diusahakan untuk menyediakan bahan baku kertas tidak
seketat jika ditujukan untuk penyediaan bahan baku industri kayu pertukangan.
Demikian juga dengan pengaturan tegakan hutan untuk penyediaan bahan baku
minyak atsiri hanya diarahkan untuk mencapai volume biomassa daun yang
maksimum, sedangkan ukuran pohon tidak menjadi faktor pertimbangan utama.
Dengan demikian dalam praktik pengelolaan tegakan perlu memperhatikan tujuan
pengusahaan dan melibatkan kegiatan pengaturan dinamika pertumbuhan tegakan.
Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan
hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada studi
di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model
produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan
pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola
hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih.
Selama ini praktik pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa dilakukan
dengan sistem pangkas tunas, dimana pohon kayu putih pada semua kelas umur
dipangkas tunasnya setelah berumur 6 bulan ke atas dengan asumsi pada umur
tersebut kualitas dan rendemen minyak kayu putih sudah layak. Pengaturan
hasilnya belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas, secara umum
hanya berdasarkan luas total tanaman kayu putih dibagi 10, yang merupakan
jumlah bulan dalam setahun dikurangi 2 bulan untuk perbaikan dan perawatan alat
penyulingan. Konsep pengaturan hasil berdasarkan pendugaan hasil sebaiknya
dilakukan berdasarkan pada data dan informasi akhir dari sumberdaya serta
pendugaan nilai maksimum pemanenan lestari (Vanclay, 1995)
4
Permasalahan yang ada dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan
khususnya pada hutan tanaman kayu putih adalah belum ditemukan cara yang
tepat terutama kaitannya dengan pengaturan hasil. Salah satu hal penting dalam
menyusun pengaturan hasil adalah informasi pertumbuhan dan hasil yang dapat
digunakan untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas daun
kayu putih.
Sehubungan dengan informasi tentang pertumbuhan dan hasil tanaman kayu
putih belum tersedia, maka perlu dilakukan pembuatan model produksi daun kayu
putih. Melalui cara tersebut diharapkan diperoleh produktivitas daun kayu putih
tinggi dan kualitas minyak kayu putih yang baik.
1.2. Perumusan Masalah
Perum Perhutani (2010a) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu importir minyak kayu putih. Berdasarkan data statistik, kebutuhan domestik
minyak kayu putih sebesar 1.500 ton per tahun tetapi kemampuan produksi
minyak Indonesia hanya 500 ton per tahun, 300 ton diantaranya adalah produksi
Perum Perhutani. Padahal seperti telah disebutkan di atas potensi hutan tanaman
kayu putih di Jawa cukup besar, yaitu 24.000 ha, yang sampai dengan saat ini
belum mampu memenuhi kebutuhan daun kayu putih sesuai dengan kapasitas
terpasang pabrik sebesar 53.760 ton/tahun.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan tanaman kayu putih
di Jawa belum optimum, dimana derajat kerapatan normal tegakan kurang dari
80%, produktivitas rata-rata daun kayu putih antara tahun 2006-2010 hanya 1,8 kg
per pohon dan rendemen rata-rata 0,8% (Perum Perhutani, 2010b). Oleh karena
itu perlu dicari jalan keluar agar produktivitas daun kayu putih meningkat.
Sambil menunggu hasil penelitian pembuatan tanaman melalui rekayasa genetika
dan manipulasi tempat tumbuh, perlu disusun rencana pengaturan hasil yang
optimum dari tegakan tanaman kayu putih yang ada saat ini. Selama ini praktek
pengelolaan hutan tanaman kayu putih di P. Jawa dilakukan dengan sistem
pemangkasan tunas dan belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil
tunas, sehingga produksi daun kayu putih tidak maksimal.
5
Salah satu informasi penting dalam pengaturan hasil adalah model
pertumbuhan dan hasil. Namun demikian, berdasarkan hasil penelusuran pustaka
baik jurnal maupun karya ilmiah yang tidak diterbitkan (thesis dan disertasi)
model pertumbuhan dan hasil tanaman kayu putih dengan sistem pangkas tunas
belum diketahui, padahal ini sangat diperlukan. Informasi pertumbuhan pada
setiap periode tumbuh dan berkembang tanaman kayu putih dapat digunakan
untuk mengetahui saat kapan produksi daun kayu putih maksimal untuk dipungut.
Selain itu, informasi ini juga dapat dipakai untuk mengetahui kapan umur tunas
mempunyai kualitas dan rendemen yang tinggi.
Berdasarkan informasi dari model pertumbuhan dan hasil dapat dibuat
skenario pemanenan melalui penjadwalan pemangkasan pada umur tunas berapa
daun kayu putih mempunyai produktivitas dan kualitas minyak tertinggi atau
kombinasi antara produktivitas daun dan kualitas minyak tertinggi dalam satu
periode panen. Untuk mencapai hasil yang diharapkan maka perlu dilakukan
kajian ilmiah tentang model pertumbuhan dan hasil tunas daun kayu putih yang
dapat digunakan sebagai alat dalam pengaturan hasil sebagai dasar penyusunan
model pengelolaan hutan yang mampu mengatasi masalah produksi daun kayu
putih.
Salah satu cara untuk menentukan preskripsi pemangkasan (intensitas
pangkasan dan lama rotasi) yang optimum adalah dengan memaksimumkan daun
kayu putih atau disingkat DKP (merupakan campuran antara daun, ranting dan
cabang yang berdiameter < 0,5 cm) melalui model pertumbuhan tunas optimum.
Dengan mengetahui model ini akan diperoleh kurva pertumbuhan total tunas
maksimum, riap rata-rata bulanan tunas dan riap bulan berjalan. Selain itu juga
akan diperoleh informasi saat kapan daun kayu mempunyai kualitas dan rendemen
minyak yang tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini adalah Dapatkah rotasi pemanenan pangkas tunas dan daur
silvikultur untuk tegakan kayu putih ditentukan berdasarkan model pertumbuhan
daun kayu putih pada sistem pemangkasan tunas pada pengelolaan hutan
tanaman kayu putih? Untuk dapat menjawab permasalahan utama dalam
6
penelitian ini, selanjutnya permasalahan tersebut perlu diperinci ke dalam
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun
pada tegakan kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu
rotasi pemangkasan daun?
2. Pada umur berapakah rotasi pemangkasan tunas berdasarkan persamaan
matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih tersebut?
3. Bagaimanakah bentuk persamaan matematika untuk kurva laju pertumbuhan
daun pada tegakan kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam
beberapa rotasi pemangkasan daun?
4. Pada umur berapakah daur silvikultur tegakan kayu putih berdasarkan
persamaan matematika laju pertumbuhan daun tegakan kayu putih tersebut?
1.3. Kerangka Pemikiran
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam
penelitian ini adalah masalah model, yaitu menggambarkan keadaan pertumbuhan
kayu putih sistem tunas akan datang berdasarkan keadaan tunas pada saat
dilakukan penelitian. Adapun alat yang dipakai sebagai dasar untuk prediksi ini
adalah kurva produksi daun tegakan hutan tanaman kayu putih yang diperoleh
dari model. Kurva tersebut merupakan hubungan peubah umur tunas dan produksi
biomassa.
Model yang diperoleh tersebut sangat penting bagi kelestarian pengelolaan
hutan. Rencana pemanenan yang efisien memerlukan prediksi tentang kapan,
dimana dan seberapa banyak biomassa yang dapat dipanen. Dugaan kelestarian
hanya dapat dibuat jika dapat mengantisipasi kapan pemanenan berikutnya dapat
dilakukan. Secara jelas, prediksi-prediksi hasil adalah unsur penting untuk
efisiensi pengelolaan pembangunan hutan kembali baik di dalam formulasi
kebijakan, maupun di dalam perencanaan strategis dan dalam operasional
pengelolaannya.
Karakteristik penting dari model simulasi yang dibangun adalah preskripsi
pemangkasan optimum dan panjang rotasi pangkas tidak ditentukan, melainkan
merupakan luaran dari model yang dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku
7
dari tegakan hutan tanaman setempat. Sedangkan informasi mengenai
pertumbuhan dan hasil (growth & yield) yang diperlukan sebagai input simulasi
diperoleh berdasarkan data petak ukur permanen dan petak ukur sementara.
Hasil simulasi selanjutnya diuji, apakah menjamin kelestarian produksi daun
dan mempunyai kualitas minyak yang optimum? Dengan melakukan simulasi
dapat diperoleh preskripsi pengaturan hasil yang paling tepat bagi unit
pengelolaan hutan tanaman kayu putih bersangkutan. Alur kerangka pemikiran
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Kayu Putih Sistem Pemanenan Pangkas Tunas
8
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Tujuan umum adalah mengetahui model produksi daun kayu putih sistem
pangkas tunas pada hutan tanaman kayu putih. Sedangkan tujuan khusus adalah:
1. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun
tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan memperoleh jangka
waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan daun berdasarkan
persamaan tersebut.
2. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva laju pertumbuhan
daun tanaman kayu putih dalam satu daur silvikultur dan memperoleh umur
daur silvikultur optimal berdasarkan persamaan tersebut.
3. Mendapatkan informasi rendemen, kualitas dan sifat-sifat minyak kayu putih
pada periode optimum.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah:
1. Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berperan pada pengembangan teori
pertumbuhan dan hasil, khususnya tanaman kayu putih dengan sistem
pemanenan pangkas tunas.
2. Pada aspek pengelolaan hutan, akan berperan pada bentuk pengelolaan hutan
yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhan tanaman kayu putih.
3. Model yang diperoleh nantinya bisa dipertimbangkan dalam menjawab
permasalahan pengelolaan hutan untuk mendapatkan model pengelolaan
tanaman kayu putih.
4. Membantu Perum Perhutani dalam menentukan saat yang tepat dalam
memanen dan saat tepat mengganti tanaman baru serta menjamin terwujudnya
produksi daun kayu putih secara berkelanjutan.
1.5. Novelty
Penelitian disertasi yang dilaksanakan dengan judul ” Model Produksi Daun
pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)”
sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan
9
judul, tujuan dan permasalahan yang sama. Penelitian dapat disebut memiliki
novelty (kebaruan) jika memiliki tiga kriteria, yaitu fokus (focus), terdepan
dibidangnya (advance) dan ilmiah (scholar). Kriteria pertama, fokus penelitian ini
adalah merumuskan model produksi daun kayu putih sistem pemangkasan tunas.
Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di beberapa
jurnal luar negeri dan dalam negeri, penelusuran hasil penelitian yang tidak
dipublikasikan dalam bentuk Thesis maupun Disertasi di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor, serta penelusuran jurnal
penelitian dalam website, belum ada penelitian mengenai Model Produksi Daun
pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell).
Ketiga, proses penelitian ini menggunakan metode ilmiah, menggunakan teori-
teori pertumbuhan dan hasil yang lazim di hutan tanaman. Namun demikian
beberapa penelitian dengan permasalahan yang hampir sama telah dilakukan
tetapi obyek komoditas tanamannya berbeda atau sebaliknya jenis komoditas
tanaman yang sama tetapi metode, lokasi dan fokus penelitian yang berbeda.
Disamping itu kajian pengelolaan hutan tanaman kayu putih berdasar model
produksi daun kayu putih dan dikaitkan dengan rendemen dan kualitas minyak
yang dihasilkan merupakan kekhasan dan keaslian dari penelitian ini. Beberapa
penelitian yang menjadi sumber acuan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
4 dan Tabel 5.
1.6. Hipotesis
1. Bentuk kurva pertumbuhan daun kayu putih pada tegakan hutan tanaman
kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas berbentuk sigmoid,
mendekati bentuk kurva pertumbuhan ideal untuk organisme hidup.
2. Persamaan matematika kurva pertumbuhan untuk daun kayu putih dalam satu
siklus panen akan dapat dipergunakan untuk menentukan siklus (rotasi)
pemanenan daun, sedangkan persamaan matematika untuk laju pertumbuhan
daun kayu putih dalam beberapa siklus panen akan dapat dipergunakan untuk
menentukan daur silvikultur tegakan kayu putih.
10
1.7. Batasan dan Asumsi
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini bersifat umum dalam arti
berlaku di setiap unit pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Indonesia,
khususnya P. Jawa. Sehubungan faktor eksternal yang dihadapi cukup kompleks,
maka cakupan penelitian ini dibatasi bahwa model yang dihasilkan hanya berlaku
untuk areal penelitian, namun dapat pula diterapkan pada areal hutan tanaman
kayu putih lain yang memiliki kondisi tempat tumbuh dan karakteristik tegakan
yang sama dengan lokasi penelitian.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tegakan Hutan Tanaman Seumur dan Sejenis
Tegakan hutan dapat dipandang sebagai suatu unit analisis apabila tegakan
hutan adalah suatu unit hutan yang keadaannya seragam, baik seragam dalam
umur, jenis, struktur maupun kualitas tempat tumbuhnya, sedemikian rupa
sehingga dengan mudah dapat dibedakan dengan unuit hutan lainnya (Daniel et
al., 1979).
Tegakan hutan tanaman yang sejenis dan seumur adalah keadaan hutan
paling sederhana dan mudah dikenali. Karena pertimbangan kemudahan teknis
dan admiunistrasi pengelolaan, umumnya tegakan hutan tanaman yang sejenis dan
seumur diusahakan pada tempat tumbuh tanah yang mempunyai kualitas relatif
seragam. Adanya istilah umur mengindikasikan bahwa tegakan bersifat dinamis.
Kedinamisan sistem tegakan hutan selama pengusahaan ditunjukan dengan
perkembangan struktur tegakan yang disebabkan proses pertumbuhan dan
perlakuan silvikultur terhadap pohon-pohonnya. Pertumbuhan pohon-pohon
didalam tegakan sangat dipengaruhi oleh respon jenis terhadap kerapatan tegakan,
iklim dan tanah tempat tumbuhnya (Daniel et al., 1979).
Dalam pustaka-pustaka kehutanan keadaan hutan suatu saat sering
digambarkan sebagai struktur tegakan hutan. Umumnya hal ini dinyatakan dalam
bentuk daftar frekuensi dari salah satu atau beberapa ciri pohon. Ciri-ciri pohon
yang sering digunakan adalah yang mudah diukur dan berguna dalam kegiatan
perencanaan hutan. Ciri-ciri pohon yang bersifat demikian adalah diameter dan
tinggi pohon. Sehubungan dengan digunakannya kedua peubah tersebut maka
pohon-pohon di dalam tegakan hutan tanaman yang sejenis dan seumur dapat
dipandang sebagai populasi peubah ganda atau bivariate (Schreuder dan Hafley,
1977).
2.2. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan
Dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan pengertian pertumbuhan
tegakan dan hasil tegakan. Perbedaan pertumbuhan dan hasil adalah
konsepsinya, yaitu produksi biologis untuk pertumbuhan dan pemanenan untuk
12
hasil. Selanjutnya menurut Davis dan Johnson (1987), pertumbuhan tegakan
adalah perubahan dimensi tegakan yang terjadi selama periode waktu tertentu.
Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan
dikeluarkan dalam waktu tertentu atau jumlah kumulatif dalam waktu tertentu.
Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil, apabila besarnya hasil
sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus. Secara umum
dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan
pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu
itu, sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus
menerus setiap periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu tersebut.
Sedangkan menurut Manan (1976), pertumbuhan adalah pertambahan
ukuran secara perlahan-lahan dari organisme, populasi atau obyek selama kurun
waktu tertentu. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan perbedaan ukuran
pada akhir dan awal, pertumbuhan juga merupakan ekspresi ekologi, dimana
pertumbuhan pohon dipengaruhi kemampuan genetik dari jenis-jenis yang saling
berinteraksi dengan lingkungan pohon tumbuh. Faktor-faktor pengaruh
lingkungan seperti, iklim, edafis, topografi, persaingan dengan organisme lain,
semuanya merupakan indikator kualitas tempat tumbuh. Pertumbuhan tanaman
lebih baik terjadi pada tanah yang subur dalam hal fisik, kimia dan biologi
daripada pada tanah yang kurang subur.
2.3. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Seumur
Ada dua pengertian yang berkaitan dengan istilah hasil dalam bidang
kehutanan. Pertama, istilah hasil digunakan untuk menunjukan aliran produksi
hutan baik yang diukur dalam bentuk volume atau dari besaran yang lain yang
diperoleh dari kegiatan ekploitasi suatu hutan pada waktu atau periode tertentu
waktu tertentu. Kedua, istilah hasil digunakan untuk menunjukan volume atau
besaran-besaran yang lain yang dicapai oleh suatu tegakan pada waktu atau
periode waktu tertentu tanpa memperhatikan apakah hal itu sebagai perolehan dari
kegiatan eksploitasi tegakan yang bersangkutan atau tegakan hutan masih berdiri
(Davis, 1966).
13
Menurut Spurr (1952) hasil suatu tegakan merupakan akumulasi riap dari
tegakan yang bersangkutan selama peiode tumbuhnya atau sampai pada waktu
tertentu. Sedangkan pertumbuhan tegakan adalah pertambahan (riap) dari suatu
besaran (contoh: volume, luas bidang dasar, rata-rata diameter, tinggi pohon )
dalam periuode tertentu. Dengan demikian antara pertumbuhan dan hasil tegakan
mempunyai keterkaitan satu sama lain.
Selanjutnya Spurr (1952) menyatakan bahwa untuk mendapatkan fungsi
hasil tegakan ada dua pendekatan, yaitu pendekatan langsung dan tak langsung.
Pendekatan tak langsung, fungsi pertumbuhan tegakan ditentukan terlebih dahulu
kemudian berdasarkan integrasi fungsi tersebut diperoleh fungsi hasil tegakan.
Sedangkan dalam pendekatan langsung dilakukan proses sebaliknya.
Pada awal abad 19 studi-studi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan
tanaman sejenis dan seumur di Eropa telah dimulai jauh sebelum ilmu statistik
berkembang. Metode yang digunakan pada saat itu adalah metode grafik. Dalam
metode tersebut digunakan dua peubah bebas, yaitu umur tegakan dan bonita
tempat tumbuh. Sejalan dengan perkembanganm ilmu statistika dan komputer
studi-studi pertumbuhan dan hasil berkembang dengan pesat. Analisis regresi
linear berdasarkan metode kuadrat terkecil dapat diselesaikan dengan mudah dan
cepat, meskipun harus melibatkan peubah bebas yang banyak. Seleksi peubah
bebas berdasarkan seleksi bertahap dapat dilakukan dengan mudah. Analisis
regresi tidak linear pun dapat diselesaikan dengan mudah.
Menurut Revilla (1974) pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman
sejenis dan seumur dipengaruhi oleh umur, kualitas tempat tumbuh, kerapatan
tegakan dan intensitas penjarangan. Secara fungsional hal ini dapat dituliskan
dalam bentuk sebagai berikut:
G = f { A, SJ, SD, M } (1)
Y = g { A, SJ, SD, M } (2)
Dimana: G = pertumbuhan tegakan
Y = hasil tegakan
A = umur tegakan
SJ = kualitas tempat tumbuh
14
SD = kerapatan tegakan
M = intensitas penjarangan
F {...} dan g {...} menyatakan funsi dari
Jika fungsi pertumbuhan tegakan diketahui, maka hasil tegakan pada umur n
tahun dapat diduga berdasarkan rumus
Y = n
0
f { A, SJ, SD, M }A (3)
Atau dengan pendekatan Clutter (1963) :
Y =
n
i 0
G (4)
Sebaliknya jika fungsi hasil tegakan diketahui, maka pertumbuhan tahunan dapat
diduga berdasarkan rumus:
G = g { A, SJ, SD, M } / A (5)
atau dengan pendekatan Clutter (1963) :
G = Yn - Yn-1
=
n
i 0
G -
1
0
n
i
G (6)
Selanjutnya Revilla (1974) menunjukan pengaruh umur dan kerapatan (jumlah
pohon per hektar), ketiga kurva hasil tegakan per hektar bergerak naik hingga
ketigannya konvergen, yaitu pada saat tegakan sudah mencapai kapasitas daya
dukung tempat tumbuhnya, kemudian setelah itu bergerak asismtotik sesuai
dengan kapasitas tersebut. Gerak kenaikan masing-masing kurva tersebut pada
dasarnya mulai umur muda sampai tua dapat dibagi menjadi tiga segmen kenaikan
, yaitu: berturut-turut segmen kenaikan yang meningkat, tetap dan menurun.
2.4. Riap dan Etat
Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan tumbuh tanaman,
baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lain-
lain dalam satuan waktu tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland
(1996) pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan
(curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata-rata (mean annual
increment=MAI). CAI menunjukkan pertumbuhan tanaman setiap tahun,
15
sedangkan MAI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang
dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan,
CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman.
Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI,
setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi
pertambahan pertumbuhan. Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI)
Riap tegakan dibentuk oleh pohon yang masih hidup di dalam tegakan,
tetapi penjumlahan dari riap pohon tidak akan sama dengan riap tegakannya, oleh
karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan itu dapat saja mati,
busuk atau oleh sebab lainnya atau mungkin ditebang (Davis, et al. 2001).
Menurut Prodan (1968), riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan
(Current Annual Increment, disingkat CAI), riap periodik (Periodict Increment,
disingkat PI) dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, disingkat MAI).
CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, PI adalah riap dalam satu periode
waktu tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi
sampai periode waktu tertentu. Ketiga bentuk riap tersebut, secara matematis
dapat ditulis sebagai berikut:
a. CAI = Vt / t = Vt’ (7)
b. PI t 1-2 = Vt2 - Vt1 / t2-t (8)
c. MAI = Vt/ t (9)
dimana Vt adalah pertumbuhan kumulatif tegakan sampai umur t
Akumulasi pertumbuhan
CAI
Pertumbuhan MAI
Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3
Waktu
16
2.5. Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan
Menurut van Laar & Akca (1997) model pertumbuhan dan hasil berdasarkan
pendekatan pembuatannya dapat dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu model
empiris (empirical models), model analitis (analytical models) dan model proses
(process models). Model empiris merupakan model yang disusun sedemikian
rupa dari sekumpulan peubah yang dipandang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan atau hasil, sehingga menghasilkan suatu hubungan yang selaras
antara hasil dugaan dengan hasil sebenarnya. Model ini kurang
mempertimbangkan kerealistisan secara biologi. Oleh karena itu model tersebut
secara substansi tidak banyak memberikan tambahan pemahaman tentang proses
biologisnya. Model analitis merupakan model yang dibuat berdasarkan pengujian
hipotesis-hipotesis dan pertimbangan- pertimbangan biologis yang sangat kuat.
Model proses merupakan model yang sangat kompleks, karena model ini
mencakup berbagai pengaruh lingkungan, perlakuan silvikultur, perubahan cuaca
dan umur terhadap proses biologis seperti laju fotosintesis, mortalitas dan
pertumbuhan. Model-model empiris dan model analitis merupakan model yang
lebih banyak ditujukan untuk tujuan prediksi sedangkan model proses lebih
banyak ditujukan sebagai model untuk pemahaman (Vanclay, 1994).
Suhendang (1990) menyatakan bahwa pola pertumbuhan tegakan antara lain
dapat dinyatakan dalam bentuk kurva pertumbuhan yang merupakan hubungan
fungsional antara sifat tertentu tegakan, antara lain volume, tinggi, bidang dasar,
biomnassa dan diameter dengan umur tegakan. Bentuk kurva pertumbuhan
tegakan yang ideal akan mengikuti bentuk ideal pertumbuhan organisme,
termasuk tumbuhan, yaitu berbentuk sigmoid. Bidwel (1979) menyatakan bahwa
bentuk umum kurva pertumbuhan kumulatif tumbuh-tumbuhan akan memiliki
tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan eksponensial, tahap pertumbuhan mendekati
linear dan pertumbuhan asimtotis. Bentuk kurva pertumbuhan ini sebenarnya
merupakan suatu rincian dari bentuk kurva sigmoid yang dicirikan oleh adanya
titik belok dan garis asimtot dari kurva.
Hasil inventarisasi Wiroatmodjo (1984) dalam Suhendang (1990), model-
model matematika yang disarankan beberapa peneliti dapat dikelompokkan
17
menjadi dua, yaitu model yang tidak mempunyai asimtot dan model yang
berasimtot.
a. Model yang tidak mempunyai asimtot ialah:
Y = β0 + β1 A + β2 A2 + β3 A3+…. (10)
Y = β0 exp (β1 A) (11)
Y = β0 A2 (12)
Y = exp (-β1 A) (13)
Y = (β0 A2) exp (-β1 A) (14)
Dimana :Y adalah dimensi tegakan, yaitu : volume, tinggi pohon ,
diameter rata-rata, biomassa, dll, pada umur A; A merupakan Umur tegakan;
exp = 2,71828 dan β0, β1, β2 adalah konstanta. Model 10. merupakan bentuk
kurva polinomial untuk pertumbuhan dan riap yang disarankan oleh Prodan
(1968) dan diakuinya sebagai model yang tidak cocok untuk menggambarkan
proses pertumbuhan secara lengkap. Model 11. sebenarnya merupakan kurva
eksponensial yang hanya baik untuk menyatakan pertumbuhan pada tahap awal
saja dari kurva pertumbuhan seluruhnya. Model 14. merupakan hasil perkalian
antara 12. dan 13. Model Huggershoff yang mengembangkan model ini dalam
Prodan (1968), menyatakan bahwa kurva pada tahap pertumbuhan awal dapat
dinyatakan dengan model parabola berderajat 2 (12.), sedangkan tahap berikutnya
dapat diterangkan oleh model kurva eksponensial negative (model 10.), sehingga
kurva riap totalnya dapat diterangkan oleh model 14. Jadi model 14. adalah
model untuk laju pertumbuhan yang akan mencapa titik nol pada saat A=0 dan A
= ~.
b. Model yang mempunyai asimtot ialah:
Y = β0 + β1 / A (15)
Y = β0 + ( β1 / (A) β2) (16)
Y = β0 + ( β1) /A) +( β2/A2) (17)
Model 15, 16, 17 dikemukakan oleh Hossfeld pada tahun 1822 dan sampai
saat ini masih dipakai dalam menganalisis data pertumbuhan dan hasil tegakan
hutan (Prodan, 1968; Munez, 1981). Nilai β0 pada ketiga persamaan itu biasanya
18
positip, sedangkan nilai β1 negatip dan nilai β2 (pada persamaan 11 dan 12 juga
negatif.
Selain model-model di atas, beberapa fungsi pertumbuhan yang sering
digunakan dalam pemodelan fenomena-fenomena biologi antara lain: fungsi
Logistic(18), Gompertz(19), Log-logistic(20), Morgan-Mercer-Flodin(21),
Chapman-Richards (22), bentuk bentuk persamaan tersebut sebagai berikut:
Y = β0 / ( 1 + β1 exp (-β2 A)) (18)
Y = β0 exp (- β1 exp (-β2 A)) (19)
Y = β0 / [ 1 - β1 exp (-β2 ln A) ] (20)
Y = (β1 * β2 + β0 A β3) / (β2 + A β3 ) (21)
Y = β0 ( 1 - β1 exp (-β2 A) A / (1 – β3)) (22)
Dimana Y adalah dimensi tegakan, A merupakan umur tegakan; exp =
2,71828 dan β0, β1, β2, β3 adalah konstanta. Menurut Khamis (2005) model
Logistic (18) (Nelder, 1961; Oliver, 1964), model Gompertz (19), dan Chapman-
Richards (22) dikemukakan oleh Draper dan Smith (1981). Tsoularis dan Wallace
(2002) mengemukakan model Log Logistic (20) . Model 21 dikembangkan oleh
Morgan, Mercer dan Flodin (1975) dan Seber & Wild (1989) dan disebut model
Morgan - Mercer –Flodin.
2.6. Pemodelan di Bidang Kehutanan
Menurut Davis, 1966, pertumbuhan dan hasil secara matematis dapat
digambarkan sebagai perubahan dimensi atribut-atribut atau karaktersitik-
karakteristik hutan dalam satuan waktu tertentu. Semua atribut tersebut memiliki
hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan dan hasil ditentukan
oleh tapak (site) dan stocking. Kualitas tapak mencerminkan kapasitas suatu
bidang lahan untuk menumbuhkan pohon atau vegetasi lain diatasnya, sehingga
tapak dapat dianggap sebagai penyedia sumberdaya bagi pertumbuhan dan
perkembangan individu pohon/vegetasi diatasnya. Sedangkan stocking
mencerminkan realisasi kapasitas produksi yang dapat digunakan oleh
pertumbuhan pohon pada waktu tertentu, sehingga stocking merupakan ukuran
relatif hasil aktual dengan kapasitas produksi maksimumnya.
19
Berbagai macam model pertumbuhan dan hasil tegakan dapat
dikelompokkan menjadi (1) Model tegakan, (2) Model kelas diameter dan (3)
Model individual pohon (Davis et al.,2001). Hasil tegakan per satuan unit luas
dapat dihasilkan secara langsung oleh model (1), tetapi hasil tersebut juga dapat
dihasilkan oleh model (2) dan (3) melalui penjumlahan hasil setiap kelas diameter
maupun setiap individu pohon. Model tegakan terdiri dari dua tipe, yaitu : model
tanpa menyertakan variabel kepadatan tegakan(density-free models) dan model
dengan variable kepadatan (density variable models).
Model tanpa variabel kepadatan tegakan mengasumsikan bahwa
pertumbuhan dan hasil tegakan suatu jenis pada kualitas tapak dan lokasi tertentu
hanya merupakan fungsi dari umur. Model-model seperti ini biasa ditampilkan
dalam bentuk tabulasi, yang dikenal dengan istilah table hasil atau dalam bentuk
grafis (Davis, 1966). Tabel hasil merupakan model statis dan umumnya digunakan
dalam konsep tegakan normal atau fully stocked, atau level biomassa yang
diharapkan (Clutter et al.,1983; Davis et al .,2001).
Model tegakan dengan kepadatan tegakan merupakan model yang banyak
digunakan didalam praktek pengelolaan saat ini. Berdasarkan luaran yang
dihasilkannya, dapat dibedakan kedalam dua jenis model, yaitu: model eksplisit
dan model implisit (Clutter et. al., 1983). Model-model eksplisit menyediakan
estimasi pertumbuhan dan hasil tegakan secara simultan sebagai suatu fungsi dari
atribut-atribut tegakan seperti umur, indeks tapak (site index) atau peninggi, dan
kepadatan tegakan (jumlah batang persatuan luas atau luas bidang dasar) serta
interaksi ketiga atribut tadi. Kepadatan tegakan dapat dipandang sebagai fungsi
dari umur, kualitas tegakan dan kerapatan awal. Kualitas tapak diekspresikan
berdasarkan indeks tapak, yang dapat diperoleh dari pengembangan hubungan
tinggi pohon dominan dengan umurnya. Semua itu nampak dengan jelas bahwa
model pertumbuhan dan hasil tegakan hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem
interdependen berdasarkan porses pertumbuhan. Di dalam sistem demikian, setiap
persamaan menggambarkan hubungan-hubungan yang berbeda dari berbagai
variable yang ada didalam sistemnya, tetapi semua hubungan tersebut terikat
secara simultan (Palahi et. al.,2003). Clutter et. al . (1983) memberikan perhatian
tentang pentingnya kompatibilitas di dalam persamaan pertumbuhan dan hasil,
20
bahwa bentuk aljabar model hasil harus dapat diturunkan secara matematis
melalui integrasi dari model pertumbuhannya. Sullivan dan Clutter (1972) dalam
Clutter et .al. (1983) memperluas konsep tersebut dengan menggabungkan secara
simultan pendugaan hasil dan kumulatif pertumbuhan sebagai fungsi dari umur
awal, luas bidang dasar awal, indeks tapak dan umur yang akan datang.
Kelemahan utama dari model tegakan ini adalah tidak dapat memberikan
informasi tambahan mengenai struktur tegakan atau informasi khusus mengenai
individu pohon. Sehingga, model ini hanya sesuai digunakan pada kondisi dimana
hasil dan nilai ekonomi produk tidak tergantung ukuran pohon, contohnya tegakan
untuk tujuan kayu serpih.
Realitasnya, walaupun nilai jual produk tidak ditentukan oleh ukuran pohon,
tetapi biaya produksi sangat ditentukan oleh ukuran pohon, terutama dalam
operasional penebangan, semakin besar ukuran pohon maka biaya akan semakin
rendah. Hakkila (1994) telah mendemonstrasikan hasil penelitiannya dimana
ukuran batang memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas pemanenan
tiga sistem penebangan. Pengaruh yang sangat signifikan terlihat jelas pada
sistem penebangan mekanis (system forwarder dan system timber jack). Oleh
karena itu, model tegakan berbasis sebaran diameter (model implisit) menjadi
lebih sesuai untuk digunakan, karena selain mampu memrediksi pertumbuhan dan
hasil tegakan secara total, juga mampu mendeskripsikan struktur ukuran individu
pohon didalamnya. Selain itu, model implisit ini dapat digunakan baik untuk
menggambarkan status pertumbuhan dan hasil tegakan saat ini maupun tegakan
dimasa yang akan datang.
Model tegakan berbasis sebaran diameter banyak digunakan dengan tujuan
untuk lebih memperjelas hasil model tegakan pada setiap umur dengan
menambahkan informasi mengenai struktur kelas diameternya. Tinggi, volume
dan karaktersitik tegakan lainnya dapat dimasukan pada setiap kelas diameter.
Sehingga, model ini lebih bermanfaat bagi analisis ekonomi yang berhubungan
dengan analisis finansial pemanenan dan nilai kayu pada berbagai ukuran
diameter (Davis et. al., 2001).
21
2.7. Kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)
Kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) salah satu jenis dari famili
Myrtaceae dan tergolong keluarga Melaleuca, yang menghasilkan minyak atsiri
yang dikenal sebagai minyak kayu putih. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan
nama Gelam, tetapi nama tersebut jarang digunakan. Jenis ini merupakan sumber
bahan baku industri minyak kayu putih di Indonesia. Hutan tanaman jenis ini
yang terpusat di Pulau Jawa sudah diketahui dan dibudidayakan secara komersial
dan mempunyai luasan lebih dari 24.000 ha, dengan produksi minyak tahunan
mencapai 300 ton (Rimbawanto, et al.. 2009).
Tanaman kayu putih yang ada di P. Jawa, yaitu Melaleuca cajuputi subsp.
cajuputi diduga berasal dari benih yang didatangkan oleh penjajah Belanda dari
Pulau Buru pada abad 18 (Gunn, et al. 1996). Minyak kayu putih yang didapat
hasil penyulingan dari jenis tanaman tersebut dikelola oleh Perum Perhutani.
Selain itu di luar Jawa juga terdapat industri rumah tangga penyulingan yang
berada di Maluku yang diusahakan oleh rakyat dan menggantungkan sumber
daunnya pada tegakan alam yang tersebar di P. Buru, P. Seram, P. Ambon , P. Aru
dan P. Tanimbar.
2.7.1. Sifat Botani
Batang kayu putih terbungkus kulit yang tebal, berlapis-lapis putih
kekuning-kuningan warnanya, dan dapat dilepas dengan mudah tanpa menggangu
batang atau pohonnya. Kulit berlapis-lapis ini kering dan mempunyai sifat
sebagai gabus. Batang kayu putih tidak dapat digunakan sebagai bahan kontruksi
karena kayunya relatif kecil dan mudah lapuk. Batang kayu putih mudah dibelah
dan mudah retak, banyak digunakan untuk kayu bakar.
Bunga kayu putih terdapat di pucuk ranting-ranting tangkai pohon dan
hampir tiap-tiap pucuk ranting terdapat bunga. Bunga berwarna putih, bentuk
buah bulat berlubang yang tua berwarna merah tua keabu-abuan. Dalam buah
terdapat beberapa biji yang sangat halus dan ringan. Waktu yang dibutuhkan
proses perkembangan organ generatif pada M. cajuputi subsp. cajuputi dari tahap
inisiasi bunga hingga buah masak adalah 277 hari (Baskorowati, et al., 2008).
22
Kayu putih mempunyai daun yang sempit, tipis, permukaan rata, tangkai
pendek. kuat, mempunyai lebar antara 0,5 - 1,5 inchi dan panjang daun antara 2 -
4 inchi. Bentuk daun berbeda-beda walaupun satu jenis. Ada tiga macam bentuk
daun yaitu lonjong, lansit dan oval. Dilihat dari warna kuncup daunnya, kayu
putih mempunyai variasi warna merah, putih dan kuning. Daun jika diremas
mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri atau lebih dikenal
minyak kayu putih (Kasmudjo, 1992).
2.7.2. Sistematika
Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) atau dalam
literatur lama sering juga disebut Melaleuca leucadendron (Doran dan Turnbull,
1997) merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting bagi industri
minyak atsiri. Dalam Rimbawanto et al. (2009) jenis ini dibagi menjadi tiga
subspecies, yaitu: 1) subsp.cajuputi Powell tumbuh di bagian barat daya Australia
dan bagian timur Indonesia (Kepulauan Maluku dan Timor). 2). Subsp.
Cuminggiana Barlow tumbuh di bagian barat Indonesia (Sumatera, Jawa Barat
dan Kalimantan bagian selatan), malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam dan
3). Subsp.platyphylla Barlow tumbuh di bagian utara Queensland/Australia,
bagian barat laut Papua New Guenia, bagian selatan papua, Kep. Aru dan Kep.
Tanimbar (Craven dan Barlow, 1997)
Menurut Core dalam Djumantoro (1973), sistematika tanaman kayu putih
adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatopyta
Sub Divisi : Angiospremae
Klas : Dycotyledoneae
Sub Klas : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Melaleuca
Species : Melaleuca cajuputi, dalam literatur lama sering
disebut Melaleuca leucadendron
subspecies cajuputi
23
Menurut Djumantoro (1973), species yang dapat menghasilkan minyak kayu
putih masih belum jelas, namun ada beberapa species yang sudah diketahui dapat
menghasilkan minyak kayu putih dan telah dibudidayakan manusia diantaranya
adalah Melaleuca leucadendron LINN., dengan ciri daun kecil, Melaleuca
cajaputi ROXB., dengan ciri daun lebar dan Melaleuca viridiflora CORN., Dari
ketiga jenis ini yang banyak digunakan untuk industri minyak kayu putih adalah
M. leucadendron LINN. Tanaman ini dapat dikembangkan dengan stek akar
batang maupun biji.
2.7.2. Penyebaran
Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi tumbuh didataran rendah dan rawa tapi
jarang ditemukan didaerah pegunungan. Menurut Bailey (1963) dalam Ketaren
dan Djatmiko (1978), pohon kayu putih tumbuh baik didaerah air yang
bergaram,angin bertiup kencang berhawa panas dan sedikit dingin. Pohon kayu
putih paling baik tumbuh di daerah yang mempunyai ketinggian tempat kurang
dari 400 meter dari permukaan laut (Kasmudjo,1992).
Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan alam
dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (pulau Buru, Seram, Nusa
Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua,
sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di Jawa Timur (Ponorogo, Kediri,
Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka).
Soetrisno (1990), menyebutkan bahwa pulau Buru merupakan sumber
tanaman kayu putih, tumbuh dalam bentuk belukar yang bergerombol dengan
diselingi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Belukar itu sendiri tumbuh dari
tunas-tunas yang tingginya tidak lebih dari 30 sampai 40 cm. Hal ini terjadi
karena perladangan yang berpindah-pindah sehingga merupakan hutan sekunder.
2.7.3. Sifat-sifat Silvikultur
Tanaman kayu putih di alam tumbuh dengan subur, tidak pernah tercampur
dengan tanaman hutan lainnya kecuali rumput dan macam paku-pakuan yang
merambat (Djumantoro, 1973), tanaman kayu putih juga dapat tumbuh di atas
24
tanah yang kurang subur atau tandus yang tidak memerlukan syarat tumbuh yang
baik mengenai tanahnya,dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang bersifat
buruk, sehingga dapat disebut jenis pioner. Pohon ini mudah bertunas dari
tonggak-tonggak, oleh karena itu meskipun hutan sering mengalami kerusakan
karena api, pohon ini akan segera tumbuh kembali.
2.8. Aspek Silvikultur Kayu Putih
Pengelolaan tegakan merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan hutan
secara keseluruhan, pabrik yang modern tidak akan ada artinya kalau bahan
bakunya tidak terjamin dan berkesinambungan sepanjang waktu. Sebenarnya
kapasitas terpasang pabrik dapat terpenuhi apabila penanganan tegakan kayu putih
dilakukan dengan baik yaitu mulai persiapan lapangan, persiapan bibit,
penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemungutan daun dilakukan sesuai
dengan waktu dan kondisi wilayah saat itu. Aspek budidaya dan pengolahan daun
kayu putih yang berkaitan dengan hal tersebut secara singkat dapat digambarkan
sebagai berikut:
2.8.1. Penanaman
Pembuatan tanaman merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan
hutan yang berdasarkan asas kelestarian. Tegakan kayu putih yang baik dengan
Dkn (derajat kesempurnaan tegakan) tinggi akan menjamin produksi daun kayu
putih yang berkesinambungan dan lestari. Faktor-faktor yang mendukung
keberhasilan pembuatan tanaman adalah gebrus dan pembibitan. Pelaksanaan
gebrus yang tepat adalah pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau
dimana tanah tidak lengket dan tanah mudah dicangkul karena sudah ada air
walapun sedikit. Pembuatan bibit di persemaian juga harus dilakukan dengan
cermat melalui pemilihan bibit unggul, penggunaan media yang tidak mudah
pecah dan rusak serta umur semai telah cukup. Pengangkutan bibit ke lapangan
penanaman juga harus diperhatikan dengan serius karena kalau bibit sampai
terganggu akan mengakibatkan kegagalan tanaman.
Pembuatan tanaman kayu putih di lapangan berupa tanaman baris dengan
sistem tumpangsari dan diantaranya digunakan tanaman sela lamtoro (Leucaena
25
glauca). Dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) disebutkan
bahwa jarak tanamnya adalah 3 m x 1 m dengan tujuan selain meningkatkan
produksi daun juga memberi peluang yang lebih untuk kegiatan tumpangsari.
Dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan (Utomo, 2001)
memperlihatkan bahwa tanaman kayu putih dengan jarak jarang penampilan
diameter dan tinggi tajuk lebih baik dibandingkan dengan tanaman dengan jarak
agak rapat. Pohon contoh kayu putih sebanyak 18 pohon dengan jarak antara 3 - 4
meter memiliki diameter tajuk rata-rata 136,4 cm dan tinggi tajuk rata-rata 159,1
cm sedangkan tanaman kayu putih dengan jarak antar pohon 1 - 2 meter memiliki
diameter tajuk 110,5 cm dan tinggi tajuk 126,1 cm.
Namun demikian penanaman kayu putih dengan jarak rapat masih
dimungkinkan karena dari hasil penggukuran diameter tajuk siap dipungut atau
telah berumur 9 bulan terbesar hanya mencapai 183 cm, sehingga penanaman
dengan jarak 1 m masih bisa dilakukan. Berkaitan dengan jarak tanam tersebut
perlu dikaji lebih jauh, apakah jarak tanam ini diperoleh Dkn yang tinggi dan
mampu menjamin produktivitas daun yang tinggi pula. Selain itu untuk
memperoleh Dkn yang tinggi perlu dilakukan penyulaman atau penanaman
kembali pada areal-areal yang kosong atau bertumbuhan kurang.
Untuk melaksanakan kegiatan penanaman kembali pada tanah kosong dan
tanaman gagal atau areal tanaman kayu putih bertumbuhan kurang menggunakan
sistem tumpangsari seperti halnya pada sistem pembuatan tanaman baru. Sistem
tumpangsari sendiri adalah cara penanaman tanaman kehutanan yang dicampur
dengan tanaman pertanian yang dikerjakan dengan menggunakan tenaga
penduduk sekitar hutan atau sering disebut pesanggem. Sistem ini sangat
menguntungkan perusahaan karena biaya pembuatan tanaman menjadi lebih
murah. Jangka waktu penggarapan tumpangsari ini sebelumnya hanya 2 tahun
dan sekarang lama penggarapan diserahkan kepada pesanggem selama daur
dengan syarat tanaman pokok kayu putih dipelihara dan dijaga. Jangka waktu
penggarapan yang lama (selama daur) juga harus dikaji dengan cermat, apakah
keadaan ini dapat menguntungkan perusahaan dan pesanggem serta terjaganya
lingkungan antara lain: kesuburan tanah dan erosi.
26
2.8.2. Pemeliharaan
Selain kegiatan pembuatan tanaman, bagian lain yang penting agar
pembangunan hutan berhasil adalah pemeliharaan hutan. Maksud dari
pemeliharan hutan adalah untuk memperoleh tanaman kayu putih yang
berproduktivitas tinggi pada saat pemungutan daun serta menjaga kesuburan tanah
dan erosi. Kegiatan-kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain:
penyulaman, pengkayaan, penyiangan, pendangiran, pengebrusan, pemupukan
dan tumpangsari.
Penyulaman biasanya dilakukan sejak penanaman tahun berjalan sampai
dengan tanaman umur lima tahun menggunakan bibit yang telah disemaikan
terlebih dahulu. Sedangkan untuk tegakan yang umurnya lebih dari 5 tahun pada
lokasi-lokasi dengan jumlah pohon tidak standar dilakukan pengkayaan untuk
mempertahankan jumlah pohon per hektar tetap tinggi. Pemeliharaan dengan
penyulaman dan pengkayaan ini dilakukan sebagai usaha penanaman kembali
untuk menganti tanaman yang mati, sehingga jumlah tanaman setiap hektarnya
merata dan jumlah pohon sesuai standar yaitu Dkn = 1.
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik perlu dilakukan pendangiran
dan penyiangan /pengendalian gulma terhadap tanaman kayu putih. Gulma yang
tumbuh disekitar tanaman mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan
produksi akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan
pertumbuhan dan menghalangi sasaran produksi tanaman pada umumnya. Tujuan
dari pendangiran dan penyiangan itu sendiri adalah untuk mengemburkan tanah,
merangsang pertumbuhan tanaman dan memudahkan pemeliharaan.
Setelah adanya pendangiran, penyiangan dan gebrus dilakukan pemberian
pupuk sesuai dengan keperluan, dengan adanya perawatan ini diharapkan
pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik. Pemupukan bertujuan untuk
memelihara dan memelihara kesuburan tanah dengan memberikan unsur hara ke
dalam tanah secara langsung maupun tidak langsung dapat menyumbangkan
bahan makanan pada tanaman. Suriatna (1992) menyatakan bahwa pemupukan
akan memperbaiki pH tanah dan memperbaiki lingkungan tanah sebagai tempat
tumbuh tanaman.
27
Pemberian pupuk dan gebrus menurut hasil pengamatan di lapangan,
menunjukkan bahwa semua plot yang telah mendapatkan perawatan pemupukan
(NPK dan Afval ) dan penggebrusan atau kedua-duanya memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan plot yang tidak mendapat perlakuan. Pengaruh
pemupukan dan gebrus terhadap produksi daun kayu putih dapat dilihat pada
Tabel 1, dimana plot yang mendapat pemeliharaan dengan penambahan afval
daun sebanyak 2.600 kg dan pupuk NPK 100 kg serta gebrus pada plot percobaan
memberikan hasil yang signifikan terhadap produksi daun kayu putih yaitu 1,44
kg/pohon. Namun demikian penambahan afval daun sebanyak 2500 kg tanpa
pemberian pupuk juga menjadi pilihan yang baik jika harga pupuk lebih tinggi
daripada tambahan produksi daun. Sebaliknya pemberian pupuk lebih banyak,
pada perlakuan 4 dan 5, ternyata tidak diikuti produksi daun yang tinggi,
sebaliknya hasilnya lebih kecil. Sedangkan adanya gebrus menunjukan hasil yang
sangat baik dibandingkan dengan tanpa gebrus. Pemeliharaan hutan dengan
perlakuan tersebut diharapkan jumlah pohon sesuai dengan standar yaitu Dkn = 1.
Tabel 1. Pengaruh perlakuan pemberian pupuk (NPK), afval daun dan gebrus terhadap produksi daun kayu putih pada plot percobaan seluas 0,1 ha.
No. Perlakuan Jumlah pohon
Produksi DKP(kg)
Produksi DKP rata-rata/ pohon
(kg)1. Kontrol 457 511,33 1,132. G+A 2500 kg 430 548,66 1,223. G+A 2600 kg+NPK 100 kg 430 621,33 1,444 G+A 2600 kg+NPK 200 kg 440 630,00 1,435. G+A 3000 kg+NPK 300 kg 435 617,66 1,43
Sumber: RPKH Tahun 1984 s/d 1988 KPH Madiun Perum Perhutani Unit II
2.8.3. Produksi Daun Kayu Putih
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman,
termasuk produksi daun bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor ekstern. Tanaman kayu putih jenis atau varietas yang sama akan
memberikan hasil yang berbeda apabila sumber benih berbeda. Faktor eksternal
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, antara lain sinar matahari,
suhu, air, tanah dan unsur hara.
28
Selain hal tersebut di atas, pada Tabel 2 terlihat bahwa produksi daun kayu
putih juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan diameter batang. Umumnya kayu
putih dengan diameter besar akan memproduksi daun yang tinggi pula, kecuali
pada pohon yang sudah tua (lebih dari 30 tahun). Sedangkan produksi daun
optimum terjadi pada umur 15 tahun, yaitu 2,3 kg/pohon.
Tabel 2. Produksi daun kayu putih per pohon berdasarkan umur dan diameter pohon.
No. Umur Keliling rata-rata (cm)
Diameter Rata-rata (cm)
Berat daun rata-rata per pohon (kg)
1. 8 25,5 8,1 2,132. 15 30,6 9,8 2,383. 27 29,5 9,4 2,214. 33 23,9 7,6 2,195. 36 32,3 10,3 2,02
Sumber: Diolah dari Data Pengukuran SPH II Madiun Tahun 2000
Hasil penelitian Perum Perhutani (1982) dalam Sukirno (1994) yang tertera
pada Tabel 3, menunjukan bahwa derajat kesempurnaan tegakan (Dkn) juga
menentukan besarnya produksi daun per hektar, semakin tinggi Dkn semakin
tinggi pula produksi daunnya.
Tabel 3. Produksi daun kayu putih rata-rata (kg/ha) berdasarkan kelompok umur (KU) dan derajat kesempurnaan tegakan (Dkn)
KU Dkn (Derajat Kesempurnaan Tegakan)0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0
I - - - - - - - - - -II - - - - 2055,0 1633,3 1458,0 - 2459,0 -III - - - - 1638,5 1476,5 - 2233,0 - -IV - - 1587,0 1362,7 1590,5 1798,3 1659,0 - - -V - - 1336,0 1707,0 1420,0 1517,9 - - - -VI - - 1112,0 1204,0 1510,6 2057,6 1312,5 - - -VII - - - 1593,0 1457,5 2244,5 - - - -VIII - - - - - - - - - -
Rata-rata 1345,0 1466,7 1612,0 1788,0 1476,6 2233,0 2459,0
Sumber: Buku Rencana Pengusahaan Hutan BKPH Sukun Tahun 1982.
Dilihat dari produksi minyak, varietas kayu putih berkuncup putih
menghasilkan kadar cineol rata-rata 33,3 % dan rendemen minyak 1,2 % lebih
tinggi dibandingkan dengan kayu putih yang berkuncup merah dengan kadar
cineol 29,3 % dan rendemen minyak 0,8 %, sedangkan dilihat bentuk daunnya,
29
daun berbentuk langsit lebih banyak mengandung minyak dan daun yang
berbentuk lonjong kadar cineolnya lebih tinggi (LPHH, 1973 dalam Perum
Perhutani, 1985).
2.8.4. Pemungutan Daun Kayu Putih
Pada dasarnya teknik pemungutan daun kayu putih bisa dilaksanakan
dengan tiga cara yakni: (a) Cara Pangkas, (b) Cara Urutan, dan (c) Cara Rimbas
(Mulyadi, 2005). Untuk lebih jelasnya ketiga cara tersebut diuraikan di bawah ini.
2.8.4.1. Cara Pangkas
Cara pangkas dilaksanakan pada tegakan kayu putih untuk produksi daun
yang pertama atau pada tegakan yang tunas-tunasnya sudah terlalu tinggi sehingga
tidak bisa dijangkau tangan. Pangkasan pertama dilaksanakan setelah tanaman
berumur lima tahun.
1. Waktu Pangkas
Waktu pangkas dilaksanakan pada awal atau menjelang musim penghujan
guna menghasilkan tunas-tunas yang baik dan sehat.
2. Teknik Pangkasan
Tinggi pangkasan 110 cm dari permukaan tanah, untuk pangkasan
berikutnya pada ketinggian 3-5 cm dari pangkasan yang lama.
Apabila batang sudah benjol-benjol serta tidak bertunas lagi dipotong 10
cm di bawahnya.
Alat yang digunakan pada pangkasan adalah tongkat sepanjang 110 cm
dan gergaji potong untuk memperoleh hasil pangkasan yang rapi dan tidak
pecah.
Permukaan pangkasan agak miring yang disesuaikan dengan arah tebang
atau larikan.
Pelaksanaan pangkasan hanya dibenarkan pada areal dengan kemiringan 0
s/d 30%, jika kemiringan lebih dari 30% dilaksanakan dengan cara urut
atau dipertahankan uintuk perlindungan hutan.
30
2.8.4.2. Cara Urutan
Cara urutan adalah pemungutan daun kayu putih dengan meninggalkan
kuncup atau daun muda dengan cara diplurut dari ujung ke pangkal ranting.
Tanaman dapat diurut setelah umur empat tahun.
1. Waktu Urutan
Urutan bisa dilaksanakan setiap saat, tidak tergantung musim
Jeda waktu antara urutan pertama dan selanjutnya tiap dua tahun sekali,
sehingga ada waktu satu tahun untuk istirahat guna pembentukan daun
yang memenuhi syarat untuk diurut.
2. Teknis Urutan
Daun yang sudah tua diurut, dimulai dari ujung ranting, disisakan daun
muda lebih kurang seperempat bagian diurut sampai pangkal ranting.
Ranting yang diurut tidak boleh rusak atau patah.
2.8.4.3. Cara Rimbas
Cara rimbas adalah pemungutan daun dengan mengikutsertakan ranting
sampai kuncup daun dengan cara memotong cabang atau ranting yang
berdiameter maksimal 1 cm. Cara rimbas merupakan kelanjutan dari cara
pangkasan . Setelah dua tahun dari pelaksanaan pangkasan, pohon telah bertunas
membentuk cabang dan ranting daun, maka pemungutan dapat dilakukan dengan
cara rimbas.
1. Waktu Rimbas
Rimbas dapat dilakukan setiap waktu tidak tergantung musim.
Cara rimbas bisa dilaksanakan setiap tahun sekali, karena setelah dirimbas
tanaman kayu putih cepat bertunas terutama pada tanah yang subur.
Namun untuk tanah yang kurang subur sebaliknya dilakukan setiap dua
tahun sekali seperti pada cara urut.
2. Teknis Rimbas
Besar ranting yang dipotong berdiameter 0,5 s/d 1,0 cm, dengan alat
parang yang tajam. Ranting dan daun tersebut digunakan sebagai bahan
baku pembuatan minyak di pabrik.
31
Untuk rimbas berikutnya cabang atau ranting yang dipotong adalah 3 s/d
5 cm di atas pemotongan sebelumnya.
Bagian pangkal cabang atau ranting tidak boleh rusak, agar tunas tumbuh
kembali dengan baik.
3. Keuntungan-keuntungan Cara Rimbas
Cara rimbas dapat dilakukan setahun sekali, sehingga produksi daunnya
lebih tinggi dari cara urut yang hanya biasa dilakukan dua tahun sekali.
Hasil percobaan penyulinagn daun kayu putih yang berasal dari cara
rimbas remdemen lebih tinggi dibanding cara urut.
Cara rimbas lebih praktis dan cepat dibanding cara urut dalam
pemangkasan daun.
2.9. Minyak kayu putih
M. cajuputi merupakan salah satu dari berbagai jenis spesies Melaleuca
yang menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih. M. cajuputi
banyak digunakan untuk industri farmasi karena mengandung bahan yang sangat
berharga, yaitu sineol, yang merupakan salah satu jenis monoterpenes dari jenis
monocyclic, dalam jumlah besar (15-60%) (Brophy dan Doran, 1996,
Rimbawanto, et al. (2009).
Minyak kayu putih yang dikeluarkan dari daun diperoleh melalui proses
penyulingan (destilasi). Menurut Ketaren (1985) dalam industri pengolahan
minyak atsiri dikenal tiga macam sistem penyulinagan. yaitu (a) penyulingan
dengan direbus (water distillation), (b) penyulingan dengan air dan uap (water
and steam distillation) dan (c) penyulingan dengan uap (steam distillation).
Minyak kayu putih yang diperoleh dari proses penyulingan daun M.
cajuputi subsp. cajuputi terdiri dari komponen 1,8-cineole (3%-60%), dan
sesquiterpene alcohols globulol (trace-9%), viridiflorol (trace-16%) dan
spathulenol (trace-30%). Komponen minyak lainnya yang ditemukan dalam
jumlah cukup tinggi adalah limonene (trace-5%), β-caryophyllene (trace-4%),
humulene (trace-2%), viridflorene (0,5%-9%), α-terpinol (1%-8%), α- dan β-
selinene (masing-masing (0%-3%) dan caryophyllene oxide (tarce-7%).
Rendemen minyak bervariasi antara 0,4% sampai 1,2% (W/W %, berat basah).
32
Sedangkan kedua subspecies lainnya cumingiana dan platyphylla menghasilkan
minyak dengan kadar cineole rendah (Rimbawanto, et al. 2009).
Komposisi minyak kayu putih sangat beragam. Nampaknya masing-masing
daerah sebaran alami jenis ini mempunyai komposisi minyak yang berbeda-beda
dan hal ini sejalan dengan keragaman morfologi yang ditemukan (Doran, 1999).
Sedangkan menurut Kasmudjo (1992) menyatakan bahwa minyak kayu
putih yang dikeluarkan dari daun diperoleh melalui proses penyulingan (distilasi).
Minyak kayu putih tersebut mempunyai kandungan antara lain Sineol (kayu
putol). Sineol dalam minyak ini dapat diperoleh pada suhu didih 174 0 C - 1770 C,
sedangkan pada suhu dibawahnya akan diperoleh Pinenen (1560 C - 1600 C) dan
pada suhu di atasnya akan diperoleh Benzildehid (179,90 C), Terpinol (2180 C)
dan Sesqueterpen pada suhu antara 2300 C dan 2770 C.
2.10. Hasil-hasil penelitian sebelumnya
Untuk mendukung penelitian dan menghindari duplikasi penelitian maka
dilakukan review hasil-hasil penelitian yang telah ada dan dipublikasikan di
beberapa jurnal luar negeri dan dalam negeri. Selain itu juga dilakukan
penelusuran hasil penelitian yang tidak dipublikasikan dalam bentuk Thesis
maupun Disertasi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Institut Pertanian
Bogor, serta penelusuran jurnal penelitian dalam webside. Adapun yang direview
dan ditelusuri adalah penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih
(Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) dan tentang pemodelan pertumbuhan dan
hasil. Beberapa penelitian yang menjadi sumber acuan dari penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
33
Tabel 4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Anto Rimbawanto et al. (2009)
Status Terkini Pemuliaan Melaleuca cajuputi
Meningkatkan produksi melalui peningkatan rendemen minyak dan kualitas minyak melalui peningkatan kadar ceniol kayu putih
Uji Keturunan, Uji Perolehan Genetik, Nilai Heritabilitas, Uji Kualitas Minyak
Kayu putih asal Gunung Kidul dan Ponorogo memperlihatkan bahwa rendemen minyak dapat ditingkatkan, dari 0,6 – 1,0 % menjadi 2,0%. Heribilitas kayu putih uji keturunan Gunung Kidul lebih tinggi untuk semua parameter.
Dian Kartikasari (2007)
Studi Pengusahaan Minyak kayu Putih di PMKP Jatimunggul, KPH Indramayu
Mengetahui proses produksi minyak kayu putih (MKP) , peran Perhutani dalam memasok MKP, Pertumbuhan pasar MKP, kondisi Sosisl ekonomi masyarakat sekitar hutan
Peneltian survei melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan
Purposif sampling
Analisis diskriptif
PMKP Jatimunggul mem-produksi MKP kualitas Utama, pertumbuhan produksi MKP lima tahun terakhir (1999-2003) sebesar – 2,00 atau mengalami penurunan sebesar 200% karena serangan hama ulatKontribusi PMKP Jatimunggul terhadap pendapatan total KPH Indramayu sebesar 27,31%.Responden tidak banyak mendapat kontribusi langsung dari Perum Perhutani.
34
Lanjutan Tabel 4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Evelin Parera (2005)
Nilai Ekonomi Total Hutan Kayu Putih Kasus Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Propinsi Maluku
(1) Mengetahui keadaan potensi ekonomi hutann kayu putih; (2) Menghitung Nilai Ekonomi Total yang terkandung dalam hutan kayu putih; (3) menghitung kontribusi hutan kayu putih terhadap masyarakat dan daerah dan (4) Menentukan Strategi pengelolaan hutan kayu putih.
Peneltian survei melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan
Purposif sampling
Analisis diskriptif
Nilai stok hutan kayu putih Rp. 0,04 miliar/ha
Nilai Ekonomi Total Rp. 1,6 miliar/ha
Kontribusi terhadap Pemda Rp. 0,25 miliar/ha
Hutan kayu putih sebagai salah satu sumber PAD
Tri Mulyadi (2005)
Studi Pengelolaan Hutan Kayu Putih (Melaleuca leucadendronLinn) Berbasis Ekosistem di BDH Karang Mojo, Gunung Kidul, Yogyakarta
Mengetahui besarnya produktivitas daun kayu putih beserta aspek-aspek Ekosistemnya dan kondisi masyarakat sekitar Hutan
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Systematic Random Sampling
Produktivitas daun kayu putih 2,79s/d 4,45 ton/ha/tahun
Derajat Kerapatan Tegakan (Dkn) 0,47 s/d 0,49
Luas penutupan tajuk 20 -42,5 %, Tinggi tanaman 44 s/d 110 cm dan diameter tanaman 7 s/d 8 cm
35
Lanjutan Tabel 4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Budiadi, et al. (2005)
Productivity of kayu putih (Melaleuca leucadendron LINN)tree plantation managed in non-timber forest production systems in Java, Indonesia
To compared productivity of kayu putih tree plantations among three different sites in East, Central, and West Java, Indonesia..
Productivity of the plantations was analyzed in two categories: biomass production of individual trees and stand-level productivity.
For tree-level comparison, stand age was predicted to have a linear effect on biomass production.
Uused two-way ANCOVA to evaluate the effect of site and stand age on biomass production of individual trees
Survey
Purposif sampling
Plantations that were managed in tumpangsari system site Ponorogo and Indramayu had better performance than withouttumpangsari site Gundih In agroforestry plantations with tumpangsari, fertilizing for crops by the farmers is expected to also have positive effects on tree growth. In addition to differences in the farming system, low production in site G was probably also due to poor soil fertility. This suggested that, it may be difficult to realize both soil protection and economic enterprise in areas with poor soil fertility.Although kayu putih tree was planted to improve poor soil, it has become an important NTFP that is exploited by PT Perhutani in Java. We found that continuous extraction and commercialization of kayu putih oil results in unsustainable production in older plantations.
36
Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Haruni Krisnawati (2007)
Modelling stand growth and yield for optimising management of Acacia mangium Willd. Plantations in Indonesia
To develop an integrated system of growth and yield models that can provide inputs for management decision making and to incorporate these models into an optimisation system for identifying optimal stand management prescriptions.
Three general methods that can be used for constructing models:(1) the guide curve method, (2)the parameter prediction method, and(3)the difference equation method.
In general, the developed models were found to agree well with observed data and behave logically in describing the response to a wide range of site quality, initial spacing and thinning regimes. Stand yield prediction (either total or by product classes) derived by combining all the component models in the growth and yield prediction system also showed reasonable development and growth patterns for managed stands. The models provided a major improvement over the previous models in terms of the reliability of the estimates, their ability and efficiency in providing relatively detailed stand information, and flexibility to predict growth and product yields under desired management options.
37
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Budi Kuncahyo (2006)
Model Simulasi Pengaturan Hasil Lestari Yang Berbasis Kebutuhan Masyarakat Desa Hutan
(1) Mengkaji prospek kelestarian hutan dan metode pengaturan hasil yang digunakan oleh pengelola saat ini; (2) Mengkaji peubah-peubah sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan yang berpengaruh terhadap gangguan hutan dan (3) Menyususn model simulasi dan merumuskan suatu formula pengaturan hasil hutan yang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat desa sekitar hutan.
Peneltian survei melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan
Multistage cluster sampling
Analisis diskriptif
Berdasarkan model simulasi yang dibuat dapat ditentukan suatu formula pengaturan hasil yang mempertimbangkan peubah sosial ekonomi masyarakat desa hutan
Mohamad Subhan Labetubun (2004)
Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan)
Mendapatkan alternatif metode pengaturan hasil hutan tidak seumur yang optimal melelui pendekatan model dinamika sistem
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Purposif Sampling
Analisis diskriptif
Berdasarkan kondisi hutan yang ada dan informasi pertumbuhan dan hasil hutan bekas tebangan melalui pendekatan dinamika istem yang melibatkan model dinamika struktur tegakan, model keaneka-ragaman pohon dan model pengembalian ekonomi merupakan faktor yang perlu dijadikan pertimbangan dalam rencana pengaturan hasil hutan tidak seumur.
38
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
A. Kamis et al. (2005)
Nonlinear Growth Models for Modeling Oil Palm Yield Growth
To find out properly models for oil palm yield growth
The parameters are estimated using the Marquartt iterative method of non linear regression oil palm yield growth
This study found that the Gopertz, logistic, log-logistic, Morgan Mercer-Flodin and Chapman-Ricard growtrh models have the ability for quantifying a growth model phenomenon that exhibit a sigmoid pattern.
J.J. Colbert, et al (2003)
Comparing Models for Growth and Management of Forest Tracts
To compare the basic individual tree growth model incorporated in this model with alternative models that predict the basal area growth of trees.
The Stand Damage Model (SDM). It is a non-spatial individual, sample-tree diameter growth model.
alternative sigmoid growth models to the same historical data and compare these models' ability to predict short-term (5-year) and longer term growth of trees
Haruni Krisnawati (2001)
Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Dengan Pendekatan Dinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan)
Mendapatkan metode pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan pendekatan dinamika struktur tegakan.
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Purposif Sampling
Analisis diskriptif
Model dinamika struktur tegakan yang dihasilkan cukup handal dalam menggambarkan dinamika tegakan selama 6 tahun, dimana hasil pendugaan dengan model tidak berbeda secara nyata dengan kondisi aktualnya. Model ini dapat digunakan mensimulasikan tegakan selama beberapa waktu.
39
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
D. Fekedulegn, et al (1999)
Parameter Estimation of Nonlinear Growth Models in Forestry
The application of these partial derivatives in estimating the model parameters
The parameters are estimated using the Marquardt iterative method of nonlinear regression relating top height to age of Norway spruce (Picea abies L.)
The parameters of the nonlinear models in the context of the system being modelled are found to be critically important in the process of parameter estimation.
Endang Suhendang (1990)
Hubungan antara Dimensi Tegakan Hutan Tanaman dengan Faktor Tempat Tumbuh dan Tindakan Silvikultur pada Hutan Tanaman Pinus MerkusiiJungh de Vriece di Pulau Jawa
Mendapatkan model penduga yang dapat dipakai untuk mmeramal volume dan luas bidang dasar tegakan Pinus Merkusii Jungh de Vriece
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Purposif Sampling
Analisis diskriptif
Hubungan volume dan luas bidang dasar tegakan dengan keadaan tempat tumbuh dan tindakan silvikultur sangat kuat, sehingga peubah –peubah tersebut dapat dipakai untuk menduga kedua dimensi tegakan yang sudah ada dan yang akan dibangun.
Prabowo Pudjo Widodo (1989)
Model Penduga Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Seumur Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese
Merumuskan suatu model penduga pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman seumur Pinus merkusii
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Purposif Sampling
Analisis diskriptif
Model penduga pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman seumur Pinus merkusii yang diperoleh merupakan model simulasi yang mempunyai konsistensi yang mantap.
40
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Penulis dan Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Piran Wiroatmodjo (1984)
Model Perhitungan Pertumbuhan dan hasil kayu Bulat Hutan Tanaman Pinus Merkusii di Jawa
Mendapatkan model penduga pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman Pinus merkusiiyang bersifat luwes dan memenuhi persyaratan
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Purposif Sampling
Analisis diskriptif
Model penduga pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman Pinus merkusii yang bersifat luwes dan memenuhi persyaratan
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Bagian Kesatuan Hutan (BKPH) Sukun,
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur. BKPH Sukun termasuk Bagian Hutan Ponorogo Timur, Kesatuan
Pemangkuan Hutan Madiun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak
disebelah Barat Daya Gunung Wilis. Secara administratif termasuk wilayah
Kecamatan Pulung, Siman, Mlarak dan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Propinsi
Jawa Timur. Pengambilan data tegakan sampai dengan analisis minyak kayu putih
dilakukan pada bulan Juni 2011 sampai dengan April 2012. Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Ponorogo, Jawa Timur
Berdasarkan uraian di bab sebelumya hutan tanaman kayu putih BKPH
Sukun cukup layak untuk dijadikan sebagai model pengelolaan hutan tanaman
karena kawasan ini mempunyai karakter yang unik. Karakter-karakter tersebut
BKPH SukunPonorogo
42
antara lain hutan tanaman dengan sistem pemanenan tunas, pengaturan hasilnya
berdasar etat luas, areal kerjanya dikelilinggi 15 desa yang berpenduduk padat
dengan matapencaharian penduduk terbesar petani, minat masyarakat sebagai
pesanggem sangat besar, akses ke dalam areal hutan sangat mudah dan sangat
dekat dengan ibu kota kabupaten.
Selain itu, BKPH Sukun ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena
merupakan tempat yang cukup ideal untuk menyusun model pertumbuhan dan
hasil dalam rangka menyusun model pengelolaan hutan tanaman kayu putih yang
optimum. Dasar Pertimbangannya antara lain mempunyai luas areal hutan
produksi ± 3.450 ha, tegakan kayu putih mempunyai kelas umur yang lengkap
(KU I s/d KU IX), produktivitas daun kayu putih di BKPH Sukun belum
maksimal, kapasitas terpasang pabrik belum pernah terpenuhi dan di areal hutan
ini memungkinkan pelaksanaan kegiatan tumpangsari sepanjang tahun. Secara
teknis cara pemanenan daun kayu putih menggunakan sistem pangkas di areal
hutan BKPH Sukun baik di plong-plongan tumpangsari maupun diantara tegakan
kayu putih memudahkan pengukuran dimensi pohon kayu putih sepanjang tahun,
tidak terkendala tutupan semak-semak dan gulma sekitar tanaman.
3.2. Batasan dan Istilah
3.2.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah himpunan dari tegakan-tegakan
tanaman kayu putih (M. cajuputi) yang memiliki umur tunas satu bulan sampai
dengan dua belas bulan dan tegakan tanaman kayu putih seluruh kelompok umur
yang ada pada Kelas Perusahaan Kayu Putih BKPH Sukun, KPH Madiun.
3.2.2. Plot Ukur
Vanclay (1994) menyatakan bahwa data riap tegakan dapat diperoleh
dengan melakukan inventarisasi, yaitu inventarisasi secara statis (static inventory)
maupun secara dinamis (dynamic inventory). Inventarisasi statis ditujukan untuk
mengetahui potensi tegakan pada suatu waktu tertentu dilakukan dengan
menggunakan plot ukur sementara - PUS (temporary sample plot-TSP),
sedangkan inventarisasi dinamis yang ditujukan untuk mengumpulkan informasi
43
pertumbuhan tegakan dari waktu ke waktu dilakukan dengan pembuatan plot ukur
permanen- PUP (permanent sample plot-PSP).
Priyadi et al. (2006) mengemukakan bahwa PUP merupakan sarana penting
dalam pengumpulan data lapangan untuk mengetahui riap diameter dan volume
serta dinamika tegakan. Plot ukur (PUP dan PUS) merupakan miniatur dari
tegakan yang diwakilinya, sehingga dalam hal ini ukuran petak ukur sangat
berperan terhadap representatif tidaknya petak ukur tersebut mencerminkan
kondisi tegakan. Semakin besar ukuran, maka plot ukur akan semakin mampu
menampung keragaman parameter tegakan yang diwakilinya. Namun demikian,
semakin besar ukuran plot ukur akan semakin besar waktu dan biaya yang
dibutuhkan untuk pembuatan dan penggukurannya. Berhubung pada lolasi
penelitian tidak tersedia plot permanen, maka dalam penelitian ini plot ukur yang
digunakan adalah plot ukur sementara (PUS). Oleh karena itu, dilakukan kajian
untuk memperoleh informasi cara pembuatan dan pengukuran plot ukur yang
efektif dan efisien seperti cara yang dilakukan oleh Harbagung (2009) pada
penentuan ukuran optimal plot ukur permanen untuk hutan tanaman agathis
(Agathis laronthifolia Salisb.)
3.2.3. Satuan Contoh
Satuan contoh yang digunakan adalah Plot Ukur Sementara (PUS)
berbentuk persegi atau bujur sangkar. Dari hasil penelitian yang dilakukan
sebelumnya ukuran PUS adalah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x
25 m.
3.2.4. Dimensi Pohon Yang Diukur
Dimensi tegakan utama yang diselidiki dalam penelitian ini adalah volume
biomassa (kg) tunas tanaman kayu putih, berupa berat total tunas, berat dahan atau
ranting dan berat daun kayu putih yang dipakai sebagai bahan baku industri,
sedangkan beberapa informasi tegakan lain yang dicatat adalah umur tanaman
atau kelompok umur (tahun) dan umur tunas (bulan). Pohon contoh yang akan
diambil adalah tanaman kayu putih pada tegakan yang berkondisi baik dan
mempunyai pertumbuhan normal setiap umur tunas.
44
Adapun cara pengukurannya adalah sebagai berikut: (1). Produksi biomassa
per pohon kayu putih adalah besarnya massa ranting, cabang dan daun yang dapat
dipungut dari satu pohon kayu putih yang diukur dengan timbangan digital yang
berkapasitas 40 kg. 2). Produksi DKP per pohon kayu putih adalah besarnya
massa daun dan ranting atau cabang yang berdiameter ≤ 0,5 cm yang dapat
dipungut dari satu pohon kayu putih yang diukur dengan timbangan digital yang
berkapasitas 40 kg. (3). Umur pangkas atau umur tunas dihitung mulai
pemangkasan sebelumnya sampai saat pengukuran, yang dinyatakan dalam bulan.
(4). Umur tanaman diperoleh dari Buku RPKH Pengusahaan Kayu Putih KPH
Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dan konfirmasi langsung dengan
petugas lapangan (KRPH dan Mandor).
3.3. Jenis dan Cara pengumpulan Data
3.3.1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan melalui
pengukuran plot-plot ukur yang dibuat pada areal kerja BKPH Sukun, KPH
Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Data sekunder berupa keadaan
umum daerah penelitian dan data pendukung lainnya dari kantor lingkup Perum
Perhutani dan Pemerintah Daerah. Jenis data diuraikan sebagai berikut:
3.3.1.1. Data primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran pohon-
pohon dalam plot-plot ukur sementara (PUS) pada Petak kerja BKPH Sukun dan
Penyulingan daun dan uji minyak kayu putih di laboratorium Balitro Bogor.
1. Data pengukuran produksi daun kayu putih satu kali pemanenan tunas
Data diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur
sementara (PUS) yang mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan
dan diletakkan tersebar pada Petak 5a dan Petak 6 BKPH Sukun. Pada masing-
masing umur tunas dibuat 3 PUS berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x
25 m. Seluruh pohon dalam PUS diukur dan dicatat berat biomassanya. Petak 5a
45
dan 6 merupakan petak tegakan tanaman kayu putih KU II tahun tanam 2006
dengan luas masing-masing 83,7 ha dan 44,0 ha.
2. Data pengukuran produksi daun kayu putih satu daur silvikultur
Data diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur
sementara yang mempunyai umur tunas 12 bulan dan diletakkan tersebar pada
petak-petak kerja BKPH Sukun, yaitu:Petak 34f, Petak 5a, Petak 3a, Petak 9a,
Petak 6a, Petak 19b, Petak 19a, dan Petak 17b. Petak-petak tersebut terdiri dari
KU I sampai dengan KU VIII, dimana selang KU adalah 5 tahun. Masing-masing
KU dibuat 3 PUS berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x 25 m. Seluruh
pohon dalam PUS diukur dan dicatat berat biomassanya.
3. Data Kadar minyak, kualitas dan beberapa sifat minyak kayu putih
Data kadar minyak (rendemen) diperoleh dari hasil penyulingan daun kayu
putih yang mempunyai umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan. Masing-
masing umur tunas dilakukan dua kali penyulingan untuk memperoleh data yang
representatif. Hasil penyulingan masing-masing tunas di atas dicampur dan diuji
di laboratorium Perum Perhutani dan Balitro Bogor untuk memperoleh data
kualitas minyak berupa kadar sineol dan beberapa sifat minyak.
3.3.1.2. Data sekunder
Data untuk melengkapi data primer, yang diperoleh dari instansi pemerintah
maupun swasta yang ada kaitannya dengan penelitian; seperti Perum Perhutani,
Pemerintah Daerah dan perindustrian, data tersebut antara lain:
1. Data yang dikumpulkan dari kantor Perum Perhutani, meliputi:
(1). Risalah hutan kayu putih BKPH Sukun
(2). Pengelolaan hutan kayu putih BKPH Sukun
(3). Peta BKPH Sukun dan peta yang terkait lainnya
(4). Produksi daun dan minyak kayu putih
(5). Pengelolaan tumpangsari di lahan hutan kayu putih dan informasi lainnya.
2. Data yang dikumpulkan dari Pemerintah Daerah, meliputi:
46
(1). Keadaan umum daerah yang termasuk didalamnya adalah letak dan luas
wilayah, topografi, iklim dan tanah.
(2). Kependudukan yang meliputi: jumlah penduduk menurut umur.
(3). Tata guna dan pemikan lahan
(4). Produksi dan Produktivitas lahan
(5). Jumlah dan pemilikan ternak
(6). Keadaan bangunan rumah masyarakat dan data terkait lainnya.
3. Data Fisik Lingkungan, yaitu:
(1). Kesuburan tanah
(2). Curah hujan 10 tahun terakhir.
4. Data dari industri, yaitu:
(1). Kapasitas pabrik minyak kayu putih
(2). Produksi minyak kayu putih.
3.3.2. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara langsung
melalui pengukuran plot-plot ukur di hutan tanaman areal kerja BKPH Sukun
untuk memperoleh data primer. Data sekunder diperoleh melalui pengutipan
laporan-laporan yang ada di lingkup Perum Perhutani dan dari instansi terkait
lainnya. Bagaimana cara pengumpulan data masing-masing tujuan diuraikan di
bawah ini. Jenis data, sumber atau cara memperoleh data, dan metodenya secara
ringkas dapat dilihat pada Tabel 6.
3.3.2.1. Model produksi daun pada satu daur pemanenan tunas
Pengambilan data pohon contoh untuk pembuatan model produksi daun
adalah hasil pengukuran PUS pada petak tanaman kayu putih kelompok umur
(KU) II dan mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan. Tegakan
tanaman pada KU II dipilih sebagai lokasi penempatan plot-plot contoh dengan
alasan antara lain kerapatan tegakan > 95% dan kondisi lahan relatif seragam. Hal
ini bisa meminimalisir keragaman akibat perbedaan tempat tumbuh. PUS
diletakan menyebar ke seluruh petak sesuai dengan umur tunasnya. Pada masing-
masing umur tunas tegakan tanaman kayu putih dibuat 3 PUS. Pada penelitian ini
47
umur tunas yang diamati adalah umur 1 s.d 12 bulan, maka banyaknya PUS untuk
pembuatan model produksi daun dalam satu daur pemanenan adalah 36 buah atau
setiap umur tunas diulang 3x, Pohon yang ada dalam PUS seluruhnya diukur
untuk memperoleh data yang representatif. Data yang diperoleh dari PUS berupa
biomassa (Semua bagian pohon yang dipangkas) dan berat DKP (Campuran
antara daun dan ranting dengan diameter <0,5 cm) semua pohon.
3.3.2.2. Model Produksi Daun pada Satu Daur Pemanenan Tunas
Untuk memperoleh data dalam rangka menyusun model produksi daun pada
satu daur silvikultur dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas. Namun ada
perbedaan pada cara penempatan PUS-nya. Pada kasus ini PUS diletakan pada
tegakan kayu putih yang mempunyai KU I s/d VIII. Perbedaan lainnya adalah
setiap plot tidak ditempatkan pada Petak atau Anak Petak yang sama. Banyaknya
PUS unruk membuat model produksi daun pada satu daur silvikultur adalah 24
buah.
3.3.2.3. Laju pertumbuhan
Pertumbuhan atau riap (increment) tanaman kayu putih dalam penelitian ini
adalah pertambahan tumbuh tanaman kayu putih, berupa berat biomassa dan DKP
(Daun kayu putih sebagai bahan baku industry) dalam satuan waktu tertentu.
Pertumbuhan berat biomassa dapat digambarkan sebagai riap bulanan berjalan
(curren monthly increment=CMI) dan riap bulanan rata-rata (mean monthly
increment=MMI). Kedua bentuk riap tersebut, secara matematis dapat ditulis
sebagai berikut:
a. CMI = VA / A = VA’ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(23)
b. MMI = VA / A. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .(24)
dimana VA adalah pertumbuhan kumulatif biomassa tegakan sampai umur A
3.3.2.4. Rendemen, Kualitas dan beberapa Sifat Minyak Kayu Putih
Setelah diperoleh model dan diketahui periode produksi daun kayu putih
optimum, diambil daun contoh dan diuji di laboratorium untuk mengetahui
remdemen, kualitas dan beberapa sifat minyak kayu putih. Periode optimum
48
adalah saat dimana riap bulanan maksimum( Curent Monthly Increment, CMI)
berpotongan dengan riap bulanan rata-rata (Mean Monthly Increment, MMI)
sampai dengan CMI = 0 (daerah yang diarsir) sampai dengan akhir daur panen.
Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4.
Untuk memperoleh data rendemen (kadar minyak) dilakukan dengan cara
menyuling daun kayu putih selama 4 jam di laboratorium Balitro Bogor. Data
kualitas dan beberapa sifat minyak diperoleh dari hasil uji laboratorium Perum
Perhutani dan Balitro Bogor.
Gambar 4. Daerah Produksi Daun Kayu Putih Optimum
Periode Produksi Daun Optimum
0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Umur tunas (bulan)
Berat Daun (ton)
Pertumbuhan
CMI
MMI
49
Tabel 6. Jenis dan sumber data serta metode pengolahan data untuk analisis
Analisis Data Metode
Jenis Sumber
Model produksi
daun berdasarkan
umur tunas
Primer :
1. Berat biomassa kayu putih
2. Berat dkp sebagai bahan baku
industri
Pengukuran
langsung di
lapangan
Regresi non-
linear
Sekunder:
1. Umur tunas
2. Risalah petak tanaman
Perum
Perhutani
Model produksi
daun berdasarkan
umur tanaman
(Kelompok
Umur)
Primer :
1. Berat biomassa kayu putih
2. Berat dkp sebagai bahan baku
industri
Pengukuran
langsung di
lapangan
Regresi linear
Sekunder:
1. Umur tunas
2. Risalah petak tanaman
Perum
Perhutani
Rendemen
minyak
Primer :
1. Kadar minyak kayu putih Laboratorium
Balitro Bogor
Destilasi
Sekunder:
1. Umur tunas Perum
Perhutani
Kualitas dan sifat
minyak minyak
Primer :
1. Kadar Sineol
2. Berat jenis
3. Indeks bias
4.Putaran optic
5.Kelarutan dalan alkohol
Laboratorium
Balitro Bogor
Laboratorium
Perhutani
1.Metode Basah
2.Gravimetri
3.Refraktometer
4.Polarimeter
5.Volumetri
Sekunder:
1. Umur tunas Perum
Perhutani
50
Adapun cara untuk memperoleh data hasil rendemen, kualitas minyak dan
beberapa sifat minyak menggunakan metode seperti yang tercantum pada Tabel 6
. Masing-masing metode diuraikan secara singkat sebagai berikut:
3.3.2.4.1. Rendemen
Rendemen diukur didasarkan pada berat minyak hasil destilasi daun kayu
putih dan ranting dengan diameter ≤ 0,5 mm dan telah dikeringudarakan selama 2
minggu. Cara destilasi pada pengujian ini adalah pengkukusan (water steam
distillation) selama 4 jam dengan suhu didih air dan tekanan ± 1 atm. Adapun cara
perhitungannya adalah sebagai berikut (DSN, 1995, Perum Perhutani, 2008):
R =
x 100%
Dimana : R = Kadar minyak (rendemen)
Vmkp = Volume minyak yang diperoleh
= Bobot jenis
= Berat contoh daun kayu putih
3.3.2.4.2. Kadar Sineol
Metode ini disebut juga dengan metode basah atau konvensional karena saat
ini umumnya untuk menguji kadar minyak sudah menggunakan metode Gas
Chromathography (GC) yang lebih akurat hasilnya.
Prosedur kerja metode basah adalah sebagai berikut: minyak kayu putih
dimasukan ke dalam labu Casia dengan menggunakan pipet volume sebanyak 5
ml kemudian ditambahkan larutan resorcinol 50%, selanjutnya dikocok sampai
homogen selama 1-2 menit. Biarkan larutan tersebut selama 24 jam dan baca
skala minyak kayu putih yang tidak larut, dengan cara formula di bawah ini
(Perum Perhutani, 2008):
Kadar Sineol =
x 100%
Dimana : mkp = Berat contoh minyak kayu putih
x = Minyak kayu putih yang tidak terikat resorcinol
51
3.3.2.4.3. Bobot Jenis
Metode ini didasarkan pada perbandingan antara berat minyak pada suhu
yang telah ditentukan dengan berat air pada volume air yang sama dengan volume
minyak pada suhu tersebut. Adapun cara perhitungannya adalah sebagai berikut
(DSN, 1995):
=
Dimana : Ρ = Bobot jenis
M = masa (gram), piknometer kosong
m1= masa (gram), piknometer berisi air pada suhu 20 ℃m2= masa (gram), piknometer berisi contoh minyak kayu putih pada
suhu 20 ℃3.3.2.4.4. Indeks Bias
Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang
dipertahankan pada kondisi suhu tetap (DSN, 1995).
= 1 + 0,0004 (t1 –t)
Dimana : 1 = pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t1
0,0004 = faktor koreksi untuk indeks bias minyak kayu putih
3.3.2.4.5. Penentuan Putaran Optik
Metode ini dadasarkan pada pengukuran sudut bidang dari sinar
terpolartisasi yang diputar oleh lapisan minyak, dibaca langsung pada alat
Polarimeter.
3.3.2.4.6. Penentuan Kelarutan dalam Ethanol
Larutan pembanding (0,5 ml larutan perak nitrat 0,1 N + 50 ml larutan
Natrium Klorida 0,0002 N dan dikocok. Tanbahkan satu tetes asam nitrat encer
25%. Lindungi terhadap sinar matahari langsung.
Prosedur kerjanya sebagai berikut : menambahkan setetes demi setetes
ethanol dari kekuatan yang sesuai untuk minyak yang diuji dan dikocok sampai
diperoleh suatu larutan bening pada suhu 25 ℃ (DSN, 1995).
52
3.4. Analisis Data
Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis terhadap model regresi
non-linear yang diperoleh untuk model produksi daun pada satu daur panen dan
regresi linier pada satu daur silvikultur.
Model yang sering digunakan dalam fenomena-fenomena biologi antara
lain: fungsi Logistic, Gompertz, Von-Bartalanffy, Negative exponential,
Monomolekuler, Log-logistic, Richard’s, Weibull, Chapman-Richards, Morgan-
Mercer-Flodin, Polinomial, Kuadratik dan lain-lain, maka model yang akan diuji
di dalam penelitian adalah beberapa model baik yang berasimtot maupun yang
tidak berasimtot seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk model tak
berasimtot digunakan model yang disarankan oleh Prodan (1968) yaitu persamaan
(10) sampai dengan persamaan (14), sedangkan model yang berasimtot digunakan
model dari berbagai sumber, yaitu persamaan (15) sampai dengan persamaan (22).
Kurva dibuat berdasarkan metode kurva panduan (guide curve) yang dianalaisis
berdasarkan regresi non linier dan regresi linier. Alur pengambilan data dapat
dilihat pada Gambar 5.
Sehubungan teori model khusus untuk kayu putih belum ada, maka pada
penelitian ini digunakan beberapa model persamaan di atas, yang merupakan
persamaan regresi non-linear, dimana lazimnya pertumbuhan benda-benda hidup
adalah non-linear. Alasan penggunaan model-model persamaan ini adalah model
ini cocok digunakan untuk mengukur sebuah fenomena pertumbuhan yang
berbentuk sigmoid sepanjang waktu pertumbuhan (fase lengkap pertumbuhan).
Model-model ini cocok digunakan karena pada penelitian ini diamati dan diukur
tegakan tanaman kayu putih dalam rentang waktu yang lengkap. Untuk model
produksi daun dalam satu periode panen diukur umur tunas 1 bulan sampai
dengan umur tunas 12 bulan. Sedangkan model produksi daun dalam satu rotasi
silvikultur diukur tegakan tanaman kayu putih kelompok umur I (Tanaman umur
5 tahun) sampai dengan kelompok umur VIII (Tanaman umur 38 tahun).
Dalam penelitian ini pembentukan model pertumbuhan tegakan dilakukan
dengan menggunakan beberapa model yang cocok untuk organisma tingkat tinggi
yang mempunyai fase pertumbuhan lengkap dan dipilih model terbaik. Tahapan
53
prosedur analisis adalah seperti yang dilakukan Suhendang (1990), sebagai
berikut:
1. Eksplorasi data
2. Pembentukan model fungsi hasil tegakan
3. Pemilihan model fungsi hasil tegakan
4. Uji keabsahan model.
Secara rinci masing-masing tahapan diuraikan sebagai berikut:
1. Eksplorasi data
Eksplorasi data bertujuan untuk memeriksa data untuk melihat kemungkinan
pengelompokan obyek dan penyusutan ukuran peubah yang akan dianalisis lebih
lanjut.
2. Pembentukan model fungsi hasil tegakan
Pembentukan model fungsi hasil tegakan mencangkup kegiatan-kegiatan:
pendugaan parameter dan pemilihan peubah-peubah bebas yang penting untuk
setiap model yang dicobakan. Model fungsi hasil tegakan yang dicobakan
dikembangkan dari model fungsi pertumbuhan secara umum, yaitu suatu bentuk
hubungan antara dimensi tegakan dengan umurnya.
3. Pemilihan model fungsi hasil tegakan
Pemilihan model yamng dimaksudkan dalam tahapan ini adalah pemilihan
model fungsi hasil tegakan dari model-model yang dicobakan. Tahapan kegiatan
ini mencankup pekerjaan-pekerjaan pendugaan parameter model dan pengujian
keterandalan model.
Pendugaan parameter model dilakukan dengan jumlah kuadrat terkecil, oleh
karena data pengamatan berasal dari obyek-obyek yang berbeda. Pendugaan
parameter model ini dilakukan sesudah model fungsi hasil tegakan dijadikan
fungsi linear.
Pengujian keterandalan model dimaksudkan untuk memilih sejumlah model
yang dianggap paling baik dari setiap yang dilakukan. Beberapa macam besaran
yang dipakai dasar penilaian keterandalan model ini adalah koefisien determinasi
(R2) dan koefisien diterminasi yang terkoreksi (Ra2).
54
Gambar 5. Alur Pengambilan Data
4. Uji keabsahan model.
Uji keabsahan model (model validation) bertujuan untuk melihat
kemampuan model dalam menduga sekelompok data baru (yang tidak diikut
55
sertakan dalam pembentukan modelnya) yang memiliki keadaan yang relatif sama
dengan keadaan data yang dipakai untuk pembentukan modelnya, dilakukan
melalui dua cara.
Prosedur cara pertama yang dipakai dalam penelitian ini adalah prosedur uji
keabsahan model jactnife yang dikembangkan oleh Quenouille dan Tukey (1950)
(Efron, 1979) dalam Suhendang (1990), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hilangkan kasus pertama dari set data untuk menduga model
2. Tentukan penduga model berdasarkan (n-1) data sisanya, selain kasus pertama.
3. Tentukan penduga dari peubah tak bebas kasus pertama berdasarkan penduga
model yang diperoleh dari langkah kedua.
4. Ulangi langkah 1 sampai 3 untuk seluruh kasus yang ada, sampai kasus ke-n
Apabila Yi, yaitu penduga tak bebas dari kasus ke-I yang diperoleh dengan
memakai penduga model berdasarkan (n-1) kasus tanpa kasus ke-i, maka n kasus
yang ada akan diperoleh n buah simpanganŶi terhadap Yi, yaitu :
Ei = Yi - `Ŷi , untuk i = 1,2, .., n
dari n buah ei ini akan dapat ditenmtukan :
mi = (ei / Yi) x 100%, untuk i = 1,2, …, n
Selanjutnya, apabila : di = (mi)2, maka akan dapat dicari :
d =
n
i
d1
I /n
Sd2 = {(
n
i
d1
i2 – ((
n
i
d1
)2 ) / n } / (n-1)
CVd = ( Sd / d ) x 100%
Model akan makin baik apabila memiliki d dan CVd yang makin kecil.
Atas dasar ini, maka nilai d dan CVd ini selanjutnya dipakai sebagai kriteria
dalam menentukan model-model yang dicobakan.
Uji keabsahan model merupakan uji terakhir dilakukan dalam pemilihan
model terbaik. Selanjutnya cara kedua adalah pengujian keselarasan dan
performan model dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama model
dibandingkan dengan yang digunakan untuk penyelarasan model (internal
validation). Statistik uji yang digunakan adalah galad baku pendugaan (se), galat
rata-rata (RMSE), bias (Biass) dan koefisien diterminasi terkoreksi (R2adj). Selain
56
itu keselarasan model dibantu dengan grafis terhadap pola penyebaran residu dari
setiap prediksi untuk menditeksi adanya korelasi berantai (serial correlation) atau
outo correlation karena data dihasilkan dari pengukuran ulang.
Pada tahap kedua model dibandingkan dengan data penyusunnya yang telah
dikurangi sebanyak 25% dan 50% secara sistematik. Ktriteria uji yang digunakan
adalah bias dan efisiensi model (MEF). Efisiensi model ini merupakan indeks
performan model dalam bentuk skala yang ekuivalen dengan R2adj. MEF akan
bernilai ‘1” jika model benar-benar selaras sempurna, jika bernilai “0” model
menunjukan tidak lebih baik dari pendugaan dengan menggunakan nilai rata-rata
biasa dan jika bernilai negatif maka model sangat buruk. Persamaan MEF ini
dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
MEF = 1 -
n
i
n
i
yyipn
yyin
1
2
1
2
))(
)ˆ()1(
dimana y adalah nilai observasi rata-rata. Pada tahap ketiga merupakan evaluasi
secara kualitatif yaitu berdasarkan biological realism. Pngujian secara biologi ini
dimaksudkan untuk menguji tingkat kerealistisan model terhadap teori, hukum
dan prinsip-prinsip biologis serta realitas lapangan. Karakteristik model yang diuji
pada validasi ini adalah:
1. Nilai dan tanda dari masing-masing koefisien regresi terutama nilai
asimtot.
2. Kualitas ekstrapolasi diluar kisaran data yang digunakan
3. Perkembangan tinggi pada tanaman muda
Model terpilih adalah model yang memiliki performan terbaik berdasarkan
kriteria kuantitatif maupun kualitatif. Model terpilih selanjutnya akan digunakan
untuk pembuatan model pertumbuhan tunas kayu putih. Alur analisis data dapat
dilihat pada Gambar 6.
57
Gambar 6. Alur Analisis Data
58
4. HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH BKPH SUKUN
4.1. Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan
Dalam buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas
Perusahaan Kayu Putih di BKPH Sukun menjelaskan bahwa sejak jaman
Pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, tanah-tanah gundul dan
tandus banyak terdapat di Ponorogo. Tanah tersebut timbul karena terjadi
pengrusakan hutan secara sembarangan, seperti penebangan pohon yang tidak
teratur, penggarapan lahan yang keliru, kebakaran hutan dan pengembalaan ternak
yang tidak terkendali. Usaha untuk merehabilitasi tanah-tanah tersebut telah
dilaksanakan dengan menanam berbagai jenis pohon , namun hasilnya tidak
memuaskan. Gambaran sejarah pengelolaan di hutan BKPH Sukun (Perum
Perhutani, 2000b) sebagai berikut:
1. Periode 1924-1936
Pada tahun 1924 Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan peneliti dari
Lembaga Penelitian Hutan (LPH) Bogor untuk melakukan penelitian penanaman
kayu putih yang berasal dari Pulau Buru, di daerah Sukun, Pulung dan Bondrang
pada areal seluas 0,25 ha. Tujuan utama percobaan tersebut adalah untuk
menemukan jenis yang cocok untuk reboisasi tanah-tanah gundul dan tandus di
daerah tersebut. Ternyata hasilnya memuaskan maka penanaman jenis kayu putih
di BKPH Sukun diperluas terus menerus. Pada akhir tahun 1930-an penanaman
kayu putih sudah berproduksi baik maka dimulai percobaan penyulingan daun
kayu putih. Selanjutnya dibangun sebuah pabrik yang sangat sederhana dan tidak
permanen. Tungku hanya dibuat dari batu kali yang disemen dengan tanah liat
dan ketel daun berupa drum dari besi yang berkapasitas ± 3 kwintal daun sekali
masak.
2. Periode 1947-1955
Periode ini sudah masuk dalam masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tahun 1947 mulai dilakukan penyempurnaan alat-alat penyulingan dengan
peralatan yang lebih baik dan permanen, termasuk pengembangan pabrik minyak
60
kayu putih. Kapasitas ketel daun ditingkatkan yaitu mampu menampung 1.000 kg
(1 ton) daun kayu putih setiap kali masak dan alat pemasaknya adalah boiler
bekas ketel uap lokomotif. Pada tahun 1948 terjadi Agresi Militer Belanda II dan
Pemberontakan PKI di Madiun pabrik minyak kayu putih dibakar sehingga tidak
dapat beroperasi lagi. Setelah keadaan mulai aman pada tahun tahun 1950 teknisi
kehutanan secara sembunyi-sembunyi mulai melakukan penyulingan lagi dengan
kapasitas ketel daun ± 250 kg, sambil memperbaiki puing-puing pabrik yang
telah hancur dan akhirnya dapat dioperasikan lagi sampai tahun 1955.
3. Periode 1956-1974
Setelah beroperasi kurang lebih lima tahun maka pada tahun 1956 dilakukan
pembangunan pabrik yang permanen. Alat-alat baru yang dipasang meliputi 6
ketel daun yang masing-masing berkapasitas 1,7 ton daun, 3 buah boiler,
kondensor dari kuningan dan separator dari bahan gelas untuk meningkatkan
efisiensi kerja dan mutu minyak kayu putih. Ketel daun yang awalnya dibuat dari
tembaga yang dilapisi dinding semen dan pengisian maupun pengeluaran dari
ketel masih mengunakan tenaga manusia, disempurnakan menjadi ketel yang
terbuat dari besi yang dilapisi plat alumunium dengan kapasitas tetap dan untuk
pengisian dan pengeluaran dari ketel dipergunakan alat mekanis. Alat mekanis ini
berupa keranjang daun dari besi dan alumunium serta katrol. Penggunaan alat
mekanis ternyata dapat menghemat waktu pemasakan menjadi 8 jam dari 9 jam
sekali masak, sehingga setiap hari mampu masak sebanyak 3 shift.
4. Periode 1975-1985
Pada periode ini pabrik semakin berkembang walau tidak banyak
mengalami perubahan, hanya tahun 1975 pipa penyaring minyak dilapisi
alumunium dan posisi ketel daun yang semula di atas lantai diubah menjadi
separo bagian ketel daun dimasukan ke dalam lantai. Maksud perubahan ini
adalah untuk memudahkan bongkar muat daun dengan derek.
61
5. Periode 1986-sekarang
Dalam periode ini diadakan modifikasi menyeluruh, dimana semua instalasi
yang berhubungan dengan minyak bahannya diganti dengan bahan stainless steel.
Boiler diganti dengan boiler baru yang berkapasitas 3 ton uap air per jam,
sehingga proses pemasakan bisa dipercepat menjadi 5-6 jam. Kapasitas ketel
daun masih sama tetapi kapasitas terpasang pabrik meningkat menjadi 4 shift dari
3 shift artinya pabrik mampu memasak daun kayu putih sebanyak 12.000
ton/tahun. Untuk lima tahun ke depan seperti yang tercantum dalam Buku
Rencana Kelestarian Perusahaan Hutan tahun 2011 s/d 2015, kapasitas terpasang
pabrik tetap 12.000 ton/tahun. Dalam periode ini produksi daun kayu putih
mencapai 9.000 ton/tahun.
4.2. Keadaan Fisik
4.2.1. Letak dan Luas
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sukun termasuk Bagian Hutan
Ponorogo Timur, Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun merupakan Kelas
Perusahaan Kayu Putih terletak di sebelah Barat Daya Gunung Wilis. Secara
administratif termasuk wilayah Kecamatan Pulung, Siman, Mlarak dan Jenangan,
Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur.
Wilayah hutan yang dikelola BKPH Sukun dibagi ke dalam 5 Resort Polisi
Hutan (RPH) dan terdiri atas 55 petak. Berdasarkan data (Perum Perhutani,
2010b) jumlah luas seluruh wilayah BKPH Sukun adalah 3.701,0 ha dan 35,1 ha
berupa alur, ditinjau dari kelas hutannya dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1. Hutan Produktif : 2.306,8 ha (62,3 %)
2. Hutan Tak Produktif (LTJL, Tpr, Tkl, Tkpbk) : 1.155,9 ha (31,2 %)
3. Hutan Bukan Untuk Produksi (Tbp, Ldti, SA/HW) : 238,3 ha ( 6,4 %)
BKPH Sukun dan pabrik minyak kayu putih terletak pada Alur A yang
merupakan jalan raya Pulung - Ponorogo, dengan jarak ± 13 km ke arah Timur
dari kota Ponorogo. BKPH Sukun merupakan Hutan Kelas Perusahaan Kayu
Putih dan wilayah kerjanya dikelilinggi oleh pemukiman penduduk yang banyak
62
berinteraksi dengan hutan. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan
hutan BKPH Sukun terdapat 15 desa yang secara administratif masuk ke dalam 4
kecamatan, yaitu: Kecamatan Pulung 5 desa, Kecamatan Jenangan 6 desa,
Kecamatan Siman 3 desa dan Kecamatan Mlarak satu desa.
Kondisi hutan di BKPH Sukun secara umum belum baik. Produksi daun
kayu putih masih jauh dari harapan antara tahun 2006 s/d 2010 tiap tahun hanya
mampu berproduksi ± 6.300 ton daun kayu putih. Padahal apabila jumlah pohon
per hektarnya 3.000 pohon dan setiap pohon menghasilkan 2 kg daun maka
produksi daun mencapai 6.000 kg/ha/tahun. Dengan kata lain BKPH Sukun
mampu memproduksi maksimal daun kayu putih ± 18.000 ton dan andaikata
hanya mampu tiga perempatnya saja maka kapasitas terpasang pabrik dapat
terpenuhi. Tidak tercapainya produksi daun ini antara lain disebabkan oleh:
kegagalan tanaman, pemeliharaan tegakan belum intensif, kebakaran hutan pada
masa lalu, pengembalaan ternak.
Keadaan hutan BKPH Sukun saat ini dan dibandingkan dengan hasil risalah
tahun 2006 dan risalah ulang tahun 2010 (Perum Perhutani, 2010b) pada Tabel 7,
terjadi penurunan pada kelas hutan produktif dari 62,33% menjadi 58,12% dan
hutan tak produktif turun dari 31,23% menjadi 24,79% , sebaliknya terjadi
peningkatan pada kelas hutan bukan untuk produksi dari 6,44 % menjadi 17,09%.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, adanya penurunan potensi tersebut antara
lain disebabkan oleh kebakaran hutan yang hampir dialami setiap tahun dan
pemeliharaan yang kurang intensif. Penyebab lain penurunan potensi adalah
digunakannya sebagian areal produktif sebagai gubuk kerja para pesanggem.
Akibat lainnya adalah produksi daun kayu putih tidak memenuhi kapasitas pabrik
terpasang.
4.2.2. Topografi
Secara umum keadaan topografi wilayah BKPH Sukun adalah
bergelombang ringan, berjurang dengan punggung membujur ke arah Barat.
Diantara punggung tersebut terdapat sungai-sungai yang mengalir dari Timur Ke
Barat antara lain: Sungai Jurang Awang sampai Cimanuk, Sungai Plosorejo.
Keadaan lapangan yang bergelombang dan berjurang ini rawan terhadap erosi.
63
Tabel 7. Keadaan kelas hutan kayu putih di BKPH Sukun pada jangka 2001-2005 dan jangka 2006-2010.
Kelas Hutan Jangka 2006-2010 Jangka 2011-2015Luas (ha) % Luas (ha) %
I. ProduktifKU IKU IIKU IIIKU IVKU VKU VIKU VIIKU VIIIKU IX
407,90682,70525,70257,60
00
162,40202,5068,00
11,0218,4514,206,96
00
4,395,471,84
836,80343,70505,30354,6042,80
00
88,100
22,409,20
13,529,491,15
00
2,360
Jumlah I 2306,8 62,33, 2.171.30 58,12
II. Tak ProduktifLTJLTPRTKLTKP BK
0135,50105,30915,10
03,662,85
24,73
039,5082,40
804,30
01,062,21
21,53
Jumlah II 1155,90 31,23 926,20 24,79
III. Bukan Untuk Produksi
TBPLDTISA/HW
32,3031,20
174,80
0,870,844,72
1,50456.20180,90
0,0412,214,84
Jumlah III 238,30 6,44 638,60 17,09
Jumlah I+II+III 3701,0 100 3.736,10 100Sumber: RPKH Jangka 2011 s/d 2015 KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jatim
4.2.3. Tanah
Penelitian yang mendalam tentang jenis tanah khususnya di wilayah Kelas
Perusahaan Kayu Putih BKPH Sukun belum pernah ada, namun demikian
keadaan tanah secara umum terdiri dari tanah Laterit agak miskin mineral tetapi
mempunyai sifat fisik yang baik antara lain kesarangan dan daya tahan air (Perum
Perhutani, 2010b). Pohon kayu putih yang tidak membutuhkan syarat-syarat
tempat tumbuh tertentu dapat tumbuh baik di kawasan tersebut.
64
4.2.4. Iklim.
Salah satu unsur iklim yang penting dan mudah diukur dalam bidang
kehutanan adalah curah hujan. Oleh karena data curah hujan tahun 2008 sampai
dengan 2011 tidak tersedia, maka data curah hujan selama 10 tahun terakhir yang
digunakan adalah data mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2007. Data curah
hujan yang direkam stasiun pencatat curah hujan Pulung pada periode tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tipe iklim di wilayah BKPH Sukun menurut klasifikasi iklim Schmidt dan
Ferguson yang ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah curah hujan
pada bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) dalam periode waktu yang cukup
panjang. Schmidt dan Ferguson menyatakan dalam rumus:
Q = D / W x 100%
dimana: Q = Quation Index (besarnya dalam persen)
W = Jumlah Bulan Basah (BB)
D = Jumlah Bulan Kering (BK)
Dari besarnya Q tersebut dapat diketahui tipe iklim dari suatu daerah tertentu.
Adapun ketentuan-ketentuan penentuan iklim menurut Schmidt dan Ferguson
adalah sebagai berikut:
1. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Basah (BB) apabila curah hujan
lebih besar dari 100 mm.
2. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Lembab (BL) apabila curah hujan
antara 60 - 100 mm.
3. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Kering (BK) apabila curah hujan
kurang dari 60 mm.
4. Berdasarkan nilai Q yang merupakan perbandingan jumlah bulan basah (BB)
dan jumlah bulan kering (BK) dalam persen, maka Schmidt dan Ferguson
mengklasifikasikan tipe iklim adalah sebagai berikut:
a. Tipe Iklim A, Sangat Basah = 0 % < Q < 14,3 %
b. Tipe Iklim B, Basah = 14,3 % < Q < 33,3 %
c. Tipe Iklim C, Agak Basah = 33,3 % < Q < 60,0 %
d. Tipe Iklim D, Sedang = 60,0 % < Q < 100,0 %
e. Tipe Iklim E, Agak Kering = 100,0 % < Q < 167,0 %
65
f. Tipe Iklim F, Kering = 167,0 % < Q < 300,0 %
g. Tipe Iklim G, Sangat Kering = 300,0 % < Q < 700,0 %
h. Tipe Iklim H, Luar Biasa kering = Q > 700,0 %
Bersadarkan data curah hujan selama 10 tahun terakhir di lokasi penelitian
yang diwakili stasiun pencatat curah hujan Dinas Pengairan Pulung diketahui
bahwa:
a. Jumlah Bulan Kering (BK) : 44 bulan
b. Jumlah Bulan Basah (BB) : 70 bulan
maka besarnya nilai Q adalah :
Q = (44 / 70) x 100 % = 62,9 %
Berdasarkan nilai Q tersebut maka menurut Schmidt dan Ferguson tipe iklim di
wilayah BKPH Sukun adalah iklim D (Sedang) dengan curah hujan rata-rata 2016
mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 97 hari hujan/tahun.
Ditinjau dari tipe iklim ternyata BKPH Sukun memiliki tipe iklim umumnya
daerah Jawa. Oleh karena itu dalam penyusunan perencanaan hutan perlu
memperhatikan faktor iklim wilayah tersebut. Data mengenai curah hujan sangat
penting antara lain untuk merencanakan waktu tanam dan pemungutan daun kayu
putih. Di wilayah terdapat curah hujan yang sangat sedikit dan kering pada bulan-
bulan tertentu ( Juni s/d Oktober) maka perencanaan penanaman yang matang
sangat diperlukan. Di lain pihak, banyaknya curah hujan pada bulan-bulan
tertentu (Nopember s/d Mei) perencanaan pemungutan daun kayu putih mutlak
diperlukan karena selain transportasi dan tenaga pemungut sulit, pada musim
hujan rendemen minyak kayu putih lebih rendah.
4.3. Keadaan Sosial Ekonomi
4.3.1. Kependudukan
Jumlah penduduk berdasarkan golongan dewasa dan anak-anak serta jenis
kelamin di 4 kecamatan yang mengelilingi wilayah BKPH Sukun dapat dilihat
pada Tabel 8. Dari gambaran tabel tersebut diketahui bahwa rasio jenis kelamin
laki-laki dan perempuan berimbang, sedangkan jumlah penduduk dewasa 76,9 %
dan anak-anak 24,1 %. Komposisi penduduk demikian akan lebih
66
menguntungkan karena umumnya tenaga kerja yang diperlukan adalah tenaga
kerja dewasa. Jumlah penduduk perempuan yang cukup besar akan
menguntungkan perusahaan karena cocok untuk digunakan sebagai tenaga pungut
daun kayu putih. Sedangkan Tingkat kepadatan, jumlah kepala keluarga
penduduk rata-rata disekeliling BKPH Sukun pada Tahun 2009 berturut-turut 924
orang/km2 dan 11.444 kk (BPS dan Bappeda, 2010).
Tabel 8. Kondisi penduduk berdasarkan dewasa dan anak-anak serta jenis kelamin.
No. Kecamatan Dewasa Anak-anak Jumlah JumlahL P L P L P L+P
1. Siman 16.605 16.724 4.717 4.446 21.322 21.190 42.512
2. Jenangan 20.242 21.052 5.751 5.628 25.993 26.680 52.673
3. Mlarak 15.934 13.538 4.526 3.595 20.460 17.133 37.493
4. Pulung 18.613 19.467 5.288 5.205 23.901 24.672 48.573
Jumlah 71.394 70.781 20.282 18.894 91.676 89.675 171.251
Sumber: Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo Tahun 2010
Angkatan kerja merupakan unsur penting dalam pembangunan wilayah,
termasuk di dalamnya pembangunan kehutanan. Ketersediaan tenaga kerja dapat
berdampak positif maupun negatif tergantung kondisi saat itu. Akan memberi
nilai positif apabila jumlah tenaga kerja yang tersedia dapat terserap oleh lapangan
kerja yang tersedia. Sebaliknya apabila tenaga kerja yang tersedia tidak
diimbangi lapangan kerja yang cukup akan menimbulkan pengangguran yang
mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya hutan semakin besar.
Angkatan kerja yang dimaksud adalah penduduk yang berumur 15 s/d 59
tahun, selanjutnya digolongkan menjadi tiga, yaitu: angkatan kerja muda (15 - 24
tahun); angkatan kerja produktif (25 - 49 tahun); dan ankatan kerja tua (50 - 59
tahun). Jumlah penduduk dewasa dan anak-anak di 4 kecamatan sekitar BKPH
Sukun sebagai berikut dewasa 142.175 jiwa dan anak-anak 39.176 jiwa.
4.3.2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting keberhasilan suatu
pembangunan wilayah khususnya dalam melaksanakan program pembangunan.
67
Tingkat pendidikan yang memadai dapat meningkatkan pemahaman dan
pelaksanaan terhadap program yang dibuat oleh pemerintah. Berkembangnya
kesempatan kerja di luar bidang pertanian dipengaruhi tingkat pendidikan
masyarakat.
Kondisi tingkat pendidikan penduduk di sekitar BKPH Sukun umumnya masih
relatif rendah sebagian besar hanya tamat SD yaitu 46,6%, ada yang tidak tamat
SD bahkan ada yang tidak sekolah. Penduduk yang tamat SLTP sebesar 28,4 %
dan tamat SLTA sebesar 24,9 % (BPS dan Bappeda, 2010). Tingkat pendidikan
yang masih rendah ini akan berdampak pada pelaksanaan program pembagunan
wilayah karena sulit menerima penyuluhan dari pemerintah. Keadaan ini
ditambah lagi dengan persepsi masyarakat bahwa hutan adalah tempat mencari
nafkah mereka secara turun temurun khususnya untuk mencari kayu bakar dan
makanan ternak. Kondisi ini merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh
perusahaan dalam mengelola hutan.
4.3.3. Mata Pencaharian
Secara garis besar mata pencaharian penduduk di 4 kecamatan sekitar BKPH
Sukun adalah petani, baik petani yang memiliki lahan maupun petani yang hanya
menggarap lahan milik orang lain (buruh tani) 73,23 %. Keadaan ini dapat
dikatakan bahwa penduduk sekitar BKPH Sukun merupakan masyarakat agraris
karena hampir ¾ penduduknya bertani (BPS dan Bappeda, 2010).
4.3.4. Pemilikan Ternak
Ternak bagi masyarakat merupakan tabungan dan lapangan pekerjaan tambahan
yang penting. Banyak manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dari usaha ternak
seperti: tenaga untuk mengolah lahan pertanian, penghasil pupuk yang sangat baik
untuk tanaman pertaniannya dan yang penting sewaktu-waktu dapat dijual untuk
kebutuhan mendesak. Umumnya penduduk desa sekitar BKPH Sukun lebih suka
memelihara ternak sapi dan kambing sedangkan ternak lain kurang diminati.
Keberadaan ternak dipihak masyarakat dapat meningkatkan pendapatan namun
demikian dipihak perusahaan merupakan ancaman terhadap kawasan hutan akibat
penggembalaan yang meningkat. Untuk itu perusahaan harus mencari jalan keluar
68
untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak tersebut. Jumlah pemilikan ternak
masyarakat tahun 2010 adalah 20 ekor kerbau, 12.500 ekor sapi, 30 ekor kuda,
4.020 ekor domba dan 12.452 ekor kambing (BPS dan Bappeda, 2010).
4.4. Tata Guna Lahan
Tata guna lahan di 4 kecamatan sekitar BKPH Sukun secara umum dapat
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: lahan pertanian (sawah, tegalan,
pekarangan); lahan hutan; dan lahan untuk kegunaan lain. Lahan sawah di
kawasan ini seluas 8.029 ha (30,83 % dari total lahan), tegalan 3.621 ha (13,81
%), pekarangan 4.833 ha (18,44 %), hutan 9.138 ha (34,86 %) dan sisanya lahan
untuk kegunaan lain seluas 593 ha (2,26 %) (BPS dan Bappeda, 2010).
Keberadaan lahan hutan yang cukup luas (9.138 ha) merupakan potensi yang
sangat diharapkan oleh masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar bertani
untuk menambah lapangan pekerjaan, baik sebagai pesanggem maupun tenaga
buruh lainnya.
Berdasarkan luas lahan pertanian dan jumlah kepala keluarga yang ada di 4
kecamatan sekitar BKPH Sukun, maka rata-rata pemilikan lahan pertanian
berturut-turut adalah kecamatan Siman 0,22 ha/kk, Pulung 0,43 ha/kk, Jenangan
0,27 ha/kk dan Mlarak 0,40 ha/kk. Kondisi ini menunjukan bahwa masyarakat
sekitar BKPH Sukun masih kekurangan lahan pertanian. Padahal kemampuan
keluarga petani untuk mengerjakan lahan basah (sawah) adalah 0,7 ha dan
ditambah lahan kering berupa tegalan atau pekarangan seluas 0,3 ha, dengan kata
lain menurut Hardjosoediro setiap keluarga petani mampu menggarap lahan seluas
1,0 ha (Simon, 1994). Melihat angka-angka di atas, kebutuhan akan lahan
pertanian masih sangat besar.
4.5. Tumpangsari dan Agroforestry
Prinsip sistem tumpangsari di BKPH Sukun adalah menanam kayu putih
dalam baris-baris yang teratur, dan bidang tanaman dipersiapkan dengan
menggunakan tenaga petani setempat. Pada waktu yang bersamaan, petani yang
bekerja di bidang tanaman tersebut, dikenal dengan istilah pesanggem,
69
diperkenankan menanam tanaman pangan diantara larikan kayu putih dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Perum Perhutani.
Sistem tumpangsari ini diangap berhasil baik karena dapat memecahkan
masalah pembuatan permudaan dengan biaya yang murah. Sistem tersebut tidak
hanya memecahkan masalah permudaan hutan kayu putih saja tetapi juga
memberi sumbangan untuk menyediakan lahan garapan bagi petani miskin sekitar
hutan. Namun demikian, untuk tanah-tanah yang kurus hasil tumpangsari sering
tidak memuaskan. Kelemahan sistem ini adalah erosi karena pengerjaan tanah
yang intensif dan pengurasan nutrisi oleh tanaman pangan. Untuk mengatasi hal
tersebut dilakukan penanaman tanaman sela jenis lamtoro. Setelah itu sistem
tumpangsari menjadi sistem permudaan hutan kayu putih yang penting dan
dipakai sampai sekarang dengan beberapa modifikasi.
Sistem tumpangsari di BKPH Sukun sejak tahun 2003 mulai dilakukan
pelebaran jarak tanam, yaitu jarak tanam diperlebar dari 1 x 3 m menjadi 1 x 6 m.
Adapun alasan pelebaran jarak tanam diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas daun per satuan pohon, karena larikan tanaman pokok selebar 2
meter terbebas dari tanaman tumpangsari. Sebenarnya tujuan utama tumpangsari
adalah untuk meningkatkan produktivitas daun kayu putih dan pendapatan
pesanggem dengan hasil tanaman pangan seperti: jagung, ketela pohon, kacang-
kacangan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kegiatan tumpangsari di BKPH
Sukun dilakukan sepanjang tahun, karena antara tanaman pokok kayu putih dan
tanaman tumpangsari hampir tidak terjadi persaingan dalam memperoleh sinar
matahari. Namun demikian berdasarkan pengamatan, adanya tanaman
tumpangsari belum berhasil meningkatkan produktivitas daun karena para
pesanggem tetap tidak disiplin. Para pesanggem tetap menganggu dan membuat
kerusakan terhadap tanaman pokok kayu putih (Perum Perhutani, 2010b).
Akhirnya mulai tahun 2011 jarak tanam kayu putih dipertahankan ke jarak tanam
1 x 3 m.
Menurut definisi Lundgren dan Raintree (1982) dalam Nair (1993) kegiatan
tumpangsari di BKPH Sukun termasuk praktik agroforestry. Agroforestry adalah
suatu nama kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan
lahan dimana tanaman perenial berkayu (pohon, perdu, bambu) yang secara
70
sengaja ditanam di lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau
peternakan dalam suatu pengaturan spatial atau temporal, dan terdapat interaksi
baik secara ekonomis maupun ekologis antara komponen-komponen yang
berbeda.
Penggunaan teknik agroforestry telah dikenal luas dan dapat diterima
sebagai teknik yang dapat dipakai untuk intensifikasi di bidang kehutanan.
Penerapan teknik ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas lahan hutan,
tidak hanya produksi daun kayu putih tetapi juga hasil pangan, pakan ternak,
kesempatan kerja dan kayu bakar.
4.6. Sarana dan Prasarana
Jalan Transportasi, sarana jalan merupakan faktor penting dalam
pengelolaan hutan. Jalan angkutan yang ada di wilayah BKPH Sukun berupa
jalan darat yang berasal dari alur-alur yang diperkeras sepanjang 35,1 km, jalan
Kabupaten dan Kecamatan sepanjang 147,3 km. Jalan angkutan yang terpenting
adalah jalan raya beraspal antara Ponorogo dan Pulung yang merupakan Alur A
sepanjang ± 6 km. Jalan ini dipergunakan baik untuk pengangkutan minyak kayu
putih ke luar pabrik maupun sebagai jalan poros semua alur yang ada di areal
hutan. Jalan lainnya adalah Alur B yang menghubungkan desa-desa di sebelah
Barat dan Selatan Pulung dan Ponorogo melalui desa Merak.
Di tengah hutan kayu putih terdapat komplek bangunan pabrik minyak kayu
putih tepatnya di dusun Sukun, desa Sidoharjo, kecamatan Pulung, kabupaten
Ponorogo menempati areal seluas ± 3 ha. Bangunan pabrik minyak kayu putih
ini terdiri dari gedung pabrik dan kantor dengan luas 899,8 m2, bangunan los
briket seluas 600 m2, tempat solar seluas 88 m2, rumah generator 93 m2 dan
bengkel pertukangan seluas 108 m2. Ruang yang ada di dalam pabrik digunakan
untuk boiler,, ruang ketel daun, ruang penampungan minyak, ruang penyimpanan
daun dan tempat peralatan lainnya.
Industri minyak kayu putih Sukun ini telah memenuhi beberapa persyaratan
untuk mengadakan produksi dan pengembangan dimasa datang yaitu: dekat
dengan sumber bahan mentah yaitu daun kayu putih, persediaan air cukup, tenaga
kerja cukup tersedia, lokasi pabrik dekat dengan jalan transportasi dan iklim di
71
daerah ini baik untuk pertumbuhan jenis tanaman kayu putih. Pabrik minyak
kayu putih ini menggunakan 6 ketel (4 ketel yang masih baik) dengan kapasitas
terpasang 40 ton daun kayu putih (DKP) setiap hari atau dalam satu tahun dengan
hari efektif sekitar 300 hari (bulan Januari dan Pebruari revisi pabrik) maka
kapasitas dalam satu tahun sebesar 12.000 ton DKP. Namun demikian sampai
dengan saat ini kapasitas terpasang tidak terpenuhi, rata-rata hanya ± 11 ton DKP
per hari kecuali pada bulan Juli s/d September bisa mencapai 30 ton DKP.
72
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan tegakan merupakan proses pertambahan dari suatu besaran
tegakan dalam periode tertentu. Besaran pertumbuhan tegakan atau riap dalam
penelitian ini dilihat dari parameter produksi tunas. Pertumbuhan dan hasil dapat
mengandung dua arti apabila dilihat dari periode waktu yang dipakai dalam
perhitungannya, yaitu tingkat dan laju. Pertumbuhan dan hasil dalam arti total
menunjukan jumlah sampai periode waktu tertentu, sedangkan dalam arti laju
menunjukan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya dinyatakan
untuk setiap tahun. Laju pertumbuhan tegakan kayu putih disebut sebagai riap
tegakan dalam memproduksi tunas dalam bentuk biomassa setiap tahun
(kg/ha/tahun), sedangkan banyaknya biomassa maksimal yang dapat dipanen per
periode (tahun) disebut sebagai hasil. Oleh karena itu, dinamika pertumbuhan
tegakan kayu putih dapat diduga dengan menggunakan suatu model matematis
hubungan antara parameter pertumbuhan berupa produksi biomassa dan umurnya.
Model matematis yang dibangun akan dapat digunakan untuk memproyeksikan
hasil tegakan pada periode panen optimal dan saat kapan pengantian tanaman
dilakukan.
Model matematis tersebut dapat digambarkan dalam bentuk kurva, yaitu
kurva pertumbuhan dan kurva laju pertumbuhan (riap) produksi biomassa. Kurva
pertumbuhan produksi biomassa adalah kurva model matematik yang
menggambarkan pertumbuhan tunas dalam tegakan kayu putih ditinjau dari aspek
perkembangan dimensi produksi biomassa pohon-pohon dalam tegakan mulai
bertunas sampai saat dipanen. Kurva laju pertumbuhan merupakan hasil turunan
pertama kurva pertumbuhan.
Untuk membangun model pertumbuhan di atas maka dilakukan pengukuran
pada PUS berdasarkan umur tunas untuk model produkasi dalam satu daur panen
dan berdasarkan umur tegakan (kelompok umur) untuk model produksi dalam
satu daur silvikultur. Selain itu, juga dilakukan pengujian terhadap DKP umur
tunas 6 sampai 12 bulan untuk mengetahui kadar minyak, kualitas minyak dan
beberapa sifat minyak, yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
74
pengambilan keputusan periode panen yang tepat. Adapun hasil-hasil pengukuran
masing-masing tujuan dan pengujian minyak diuraikan sebagai berikut.
5.1. Model Produksi Daun dalam Satu Daur Panen Tunas
5.1.1. Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran dimensi tegakan berupa produksi biomassa dan DKP di
lapangan pada plot-plot ukur sementara (PUS) setiap umur tunas disajikan pada
Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa pada umur tunas 1 sampai dengan 3 bulan
biomassa seluruhnya berupa DKP karena cabang dan ranting ukurannya masih <
0,5 cm. Berat per pohon merupakan hasil pembagian dari berat per plot ukur
dibagi dengan jumlah pohon dalam plot. Berat per hektar diperoleh dari konversi
berat per plot ke hektar, dimana dari luas plot 625 m2 atau 0,0625 ha.
Dari hasil pengukuran PUS umur tunas 4 sampai dengan 12 bulan baik laju
produksi biomassa maupun produksi DKP mempunyai kecenderungan laju yang
sama. Pada umur tunas 4 bulan mempunyai laju pertumbuhan tercepat, dimana
dari 1785 kg/ha menjadi 4061 k/ha dan selanjutnya laju bersifat linier sampai
umur 9 bulan dan umur tunas 10 sampai 12 bulan laju mulai stabil.
Demikian pula yang terjadi pada produksi biomassa per pohon juga terus
meningkat seiring dengan bertambahnya umur tunas, walaupun terjadi penurunan
pada umur tunas 12 bulan. Berbeda dengan produksi DKP, produksi cabang
meningkat tajam mulai terjadi pada umur tunas 7 bulan, yaitu dari 1008 kg/ha
menjadi 1992 kg/ha dan terjadi peningkatan lagi pada umur tunas 10 bulan.
75
Tabel 9. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per hektar (kg/ha)
Total biomassa
Cabang DKP
1 1 1.584 0,99 130,56 0,00 130,562 1.552 0,97 113,60 0,00 113,603 1.600 1,00 154,56 0,00 154,56
Rata-rata 1.578 0,99 132,91 0,00 132,91
2 1 1.600 1,00 532,00 0,00 532,002 1.600 1,00 560,00 0,00 560,003 1.568 0,98 592,32 0,00 592,32
Rata-rata 1.589 0,99 561,44 0 561,44
3 1 1.584 0,99 1.655,04 0,00 1.655,042 1.568 0,98 1.993,60 0,00 1.993,603 1.600 1,00 1.707,20 0,00 1.707,20
Rata-rata 1.584 0,99 1.785,28 0,00 1.785,28
4 1 1.600 1,00 3.573,12 280,16 3.292,962 1.552 0,97 4.883,84 362,88 4.520,963 1.600 1,00 4.729,60 359,68 4.369,92
Rata-rata 1.584 0.99 4.395,52 334,24 4.061,28
5 1 1.600 1,00 4.997,92 823,2 4.174,722 1.584 0,99 5.530,56 876,48 4.654,083 1.600 1,00 5.341,60 923,36 4.418,24
Rata-rata 1.595 1,00 5.290,03 874,35 4.415,68
6 1 1.584 0,99 5.214,88 593,28 4.621,602 1.600 1,00 6.008,96 1.184,32 4.824,643 1.568 0,98 5.998,56 1.247,52 4.751,04
Rata-rata 1.584 0,99 5.740,80 1.008,37 4.732,43
7 1 1.584 0,99 7.245,60 1.866,88 5.378,722 1.568 0,98 7.170,88 1.942,08 5.228,803 1.584 0,99 7.521,76 2.168,16 5.350,24
Rata-rata 1.578 0,99 7.312,75 1.992,37 5.319,25
8 1 1.568 0,98 7.690,24 2.285,28 5.404,962 1.600 1,00 7.716,16 2.206,40 5.509,763 1.600 1,00 7.756,00 2.267,36 5.488,64
Rata-rata 1.589 0,99 7.720,80 2.253,01 5.467,79
9 1 1.584 0,99 8.126,40 2.666,40 5.460,002 1.600 1,00 8.160,64 2.537,44 5.623,203 1.568 0,98 8.244,80 2.620,48 5.624,32
Rata-rata 1.584 0,99 8.177,28 2.608,11 5.569,17
76
Lanjutan…Tabel 9. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu
putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per hektar (kg/ha)
Biomassa Cabang DKP10 1 1.568 0,98 9.330,40 3.442,24 5.888,16
2 1.600 1,00 9.492,64 3.772,64 5.720,003 1.552 0,97 9.680,16 3.764,64 5.915,52
Rata-rata 1.573 0,98 9.501,07 3.659,84 5.841,23.
11 1 1.584 0,99 10.120,96 3.832,00 6.288,962 1.600 1,00 11.031,52 3.962,40 7.069,123 1.584 0,99 9.243,84 3.372,48 5.871,36
Rata-rata 1.589 0,99 10.132,11 3.722,29 6.409,81
12 1 1.584 0,99 9.410,24 3.710,88 5.699,362 1.600 1,00 9.826,72 3.862,72 5.964,003 1.568 0,98 8.931,68 3.470,56 5.461,12
Rata-rata 1.584 0,99 9.389,55 3.681,39 5.708,16
5.1.2. Model produksi daun
Data biomassa untuk menyusun model produksi daun kayu putih dalam satu
rotasi pangkas dibagi dalam 12 umur tunas dan masing-masing umur tunas dibuat
plot ukur sebanyak 3 buah. Ukuran plot ukur adalah 25m x 25m, diperoleh dari
hasil kajian penentuan luas optimum plot ukur sebelum dilakukan penelitian.
Penentuan luas optimum plot ukur dilakukan dengan membuat petak contoh
masing-masing seluas 1 hektar pada tegakan tanaman kayu putih KU II, KU III
dan KU V. Penentuan letak plot ukur dan pengumpulan data dilakukan di areal
yang mempunyai karakteristik yang sama untuk mengurangi terjadinya
keragaman akibat faktor tempat tumbuh, umur tegakan dan varitas tanaman.
Rekapitulasi rata-rata hasil pengukuran biomassa pada plot ukur tanaman kayu
umur tunas 1 bulan s/d 12 bulan, perhitungan berat biomassa per pohon dan per
hektar untuk penentuan model produksi daun dalam satu kali panen yang
dilakukan di tegakan tanaman kayu putih BKPH Sukun disajikan pada Tabel 10.
77
.Tabel 10. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tunas kayu putih di BKPH Sukun
No Umur
Tunas(bulan)
Berat Biomassa Per PlotUkur (kg)
Berat Biomassa Per Pohon(kg)
Berat Biomassa Per Hektar(kg)
Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP1 1 8,31 0 8,31 0,08 0 0,08 132,91 0 132,912 2 35,09 0 35,09 0,35 0 0,35 561,44 0 561,443 3 111,58 0 111,58 1,13 0 1,13 1.785,28 0 1.785,284 4 274,72 20,89 253,83 2,78 0,21 2,57 4.395,52 334,24 4.061,285 5 330,63 54,65 275,98 3,32 0,55 2,77 5.290,02 874,35 4.415,686 6 358,80 63,02 295,78 3,62 0,64 2,99 5.740,80 1.008,37 4.732,437 7 457,05 124,52 332,45 4,63 1,26 3,37 7.312,74 1.992,37 5.319,258 8 482,55 140,81 341,74 4,86 1,42 3,44 7.720,80 2.253,01 5.467,799 9 511,08 163,01 348,07 5,16 1,65 3,52 8.177,28 2.608,11 5.569,1710 10 593,82 228,74 365,08 6,04 2,33 3,71 9.501,06 3.659,84 5.841,2311 11 633,26 232,64 400,61 6,37 2,34 4,03 10.132,11 3.722,29 6.409,8112 12 586,85 230,09 356,76 5,93 2,32 3,60 9.389,54 3.681,39 5.708,16
5.1.2.1. Pemilihan model persamaan
Berdasarkan hasil eksplorasi dan penelaahan model-model persamaan
matematis untuk fenomena biologi dan organism tingkat tinggi dari berbagai
pustaka diperoleh beberapa persamaan yang cocok untuk menyusun model
persamaan produksi daun sistem pemanenan pangkas tunas. Model tersebut
adalah logistik (persamaan 18) dan model MMF (Moran-Mercer-Flodin) atau
persamaan 21. Alasan persamaan ini dipilih adalah kedua persamaan ini cocok
digunakan untuk fenomena-fenomena biologi dengan pertumbuhan berbentuk
sigmoid, tepat untuk makhluk hidup tingkat tinggi yang mempunyai fase (stage)
yang lengkap, yaitu mulai fase muda (juvenile stage), fase dewasa (adolescent
stage), fase masak (mature stage) sampai fase tua (senescent stage).
Karakteristik dari kurva pertumbuhan pada umumnya mempunyai titik
belok dan asimtot, model ini mampu mengistimasi parameter asimtot, parameter
akselerasi pertumbuhan dan parameter bentuk dari pertumbuhan. Sehubungan
model produksi daun kayu putih sampai saat ini belum ada dan pertumbuhan
tunas sendiri termasuk pada fase mana, maka penggunaan kedua model ini untuk
penyusunan model produksi daun kayu putih sistem pemanenan tunas adalah
tepat.
78
Dari kelima model tersebut ternyata dua model yang dipilih pada tulisan
ini juga cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena pertumbuhan yang
menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu. Model tersebut adalah
model Gompertz, Logistic, Log-logistic, Morgan-Mercer-Flodin dan Chapman-
Richards.
Dari hasil pengukuran biomassa dan DKP yang telah direkap pada Tabel 10
dan dimasukkan pada model yang dipilih diperoleh nilai-nilai konstanta yang
disajikan pada Tabel 11, sedangkan persamaan yang diperoleh adalah persamaan
18 (Model Logistik) dan persamaan 21 (Model Morgan-Mercer-Flodin).
Tabel 11. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan Logistik
Persamaan a b c d Se R2
Model Logistik 9527.0257 21.9574 0.61251 - 0,69 0,97
Model MMF -1.9398 43.1035 115.5357 2.1950 0,53 0,98
5.1.2.2. Uji statistik dan pemilihan model terbaik
Hasil uji keterandalan model berdasarkan pada besarnya koefisien
determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (R2Adj), Biass, khi-kuadrat,
RMSE, Se dan S2 dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa persamaan model MMF dan Logistik memberikan arti bahwa model
persamaan yang dihasilkan di atas handal dan dapat digunakan untuk
menggambarkan kurva produksi daun kayu putih. Dilihat dari nilai-nilai yang
tidak berbeda,maka kedua model ini dapat digunakan. Namun demikian pada
tulisan ini hanya akan dipakai salah satu model saja, yaitu model MMF. Hasil uji
keterandalan model produksi daun kayu putih dapat dilihat pada Lampiran 2.
79
5.1.2.3. Kurva produksi daun
Hasil persamaan matematis di atas setelah dilukis dalam bentuk kurva
disajikan pada Gambar 7. Pada kedua gambar tersebut terlihat bahwa model
MMF kurvanya ada kecenderungan naik walapun tidak tajam, sedangkan pada
model Logistik kurva pertumbuhan sudah cenderung datar. Berdasarkan
kecenderungan ini, model MMF lebih cocok digunakan pada penyusunan model
produksi. Keadaan ini sesuai dengan keadaan di lapangan dan sifat biologi,
dimana tanaman kayu putih masih punya potensi meningkat pada umur tunas
setelah 12 bulan.
Selanjutnya hubungan antar umur tegakan dan produksi biomassa maupun
DKP dimodelkan dengan model pertumbuhan non linear Morgan-Mercer-Flodin.
Model ini cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena pertumbuhan
yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu.
Gambar 7a. Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model Logistik
Umur tunas (bulan)
Produksi biomassa (kg/ha/bulan)
0 2 4 6 8 10 120
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Y = a/(1+b*exp(-cA))
80
Gambar 7b. Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model Morgan-Mercer-Flodin
5.1.2.4. Hubungan kurva produksi biomassa dan kurva DKP
Pada Gambar 8 terlihat bahwa kurva produksi biomassa dan kurva produksi
DKP setelah tunas umur 6 bulan mempunyai kecenderungan yang berbeda. Pada
kurva produksi biomassa setelah umur tunas tersebut masih menunjukan
peningkatan lajunya walaupun linier. Berbeda dengan kurva produksi DKP
setelah umur tunas 6 bulan lajunya mendekati nol. Hal ini bisa dijelaskan, bahwa
pada saat umur tunas tersebut produksi daun stabil, sebaliknya produksi biomassa
lain berupa cabang atau ranting meningkat.
Umur tunas (bulan)
Produksi biomassa (kg/ha/bulan)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 120
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Y = (a*b+c*Ad)/(b+Ad)
81
`
Gambar 8. Hubungan kurva produksi biomassa dan produksi DKP selama satu daur panen
5.1.3. Kurva laju pertumbuhan
Kurva Curent Monthly Increment (CMI) merupakan turunan pertama dari
kurva pertumbuhan. CMI menunjukkan pertumbuhan tanaman atau tunas setiap
bulan, sedangkan MMI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu,
yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi
pertumbuhan, CMI dan MMI digambarkan dalam bentuk grafik untuk
menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva
MMI bertemu atau berpotongan dengan CMI.
Pada Tabel 12 dan Gambar 9a CMI biomassa tinggi terjadi pada umur tunas
4 bulan yaitu, 1426,71 kg/ha/bulan. MMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat
selanjutnya riap turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada
pertumbuhan tunas kayu putih setelah umur 5 bulan sangat stabil. Namun
demikian, dari tabel tersebut diketahui pertumbuhan berat biomassa per hektar
kumulatif tunas meningkat dengan bertambahnya umur tunas. Hasil perhitungan
Umur tunas (bulan)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 120
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Kurva total biomassa
Kurva DKP
Produksi (kg/ha/bulan)
82
riap bulanan berjalan dan riap rata-rata bulanan baik biomassa maupun DKP dapat
dilihat pada di bawah ini.
Hal yang sama CMI DKP tinggi terjadi pada umur 4 bulan (1567,18
kg/ha/bulan). CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan
selanjutnya riap turun secara tajam sampai umut 7 bulan. Pada umur tunas 8 bulan
CMI turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai
umur 5 bulan pertumbuhan menurun secara linier, seperti yang telah dibahas di
sebelumnya mulai umur 6 bulan produksi DKP stabil tetapi produksi cabang dan
ranting masih meningkat walaupun tidak tajam.
Tabel 12. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.
Umurtunas
(bulan)
Beratdata lapangan
Beratdata model
Riapbulan berjalan
(CMI)bata-rata bulanan
(MMI)Total
biomassa(kg)
Cabang(kg)
DKP(kg)
Total biomassa
(kg)DKP(kg)
Total biomassa
(kg)DKP(kg)
Total biomassa
(kg)DKP(kg)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 01 132,96 0 132,96 75,17 75,17 75,00 75,17 75,17 50,342 560,8 0 560,80 927,25 927,25 852,08 545,54 463,63 297,943 1.785,28 0 1.785,28 2.205,25 2.205,25 1.278,00 1.437,85 735,08 677,914 4.395,52 328,16 4.067,36 3.631,96 3.631,96 1.426,71 1.567,18 907,99 900,235 5.290,08 808,96 4.481,12 4.987,85 4.987,85 1.355,89 1.019,10 997,57 924,006 5.740,80 639,84 5.100,96 6.163,28 6.163,28 1.175,43 544,06 1.027,21 860,687 7.255,20 1.951,84 5.303,36 7.132,26 7.132,26 968,98 283,15 1.018,89 778,188 7652,8 2.336,96 5.315,84 7.911,39 7.911,39 779,13 152,78 988,92 700,009 7.834,88 2.411,84 5.423,04 8.531,83 8.531,83 620,44 86,74 947,98 631,8610 9.444,48 3.613,44 5.831,04 9.025,50 9.025,50 493,67 51,77 902,55 573,8511 10.132,16 3.722,24 6.409,92 9.419,94 9.419,94 394,44 32,32 856,36 524,6212 9.389,6 3.681,44 5.708,16 9.737,27 9.737,27 317,33 20,99 811,44 482,65
83
(a)
(b)
Gambar 9. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) (a) biomassa dan (b) DKP tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1000.00
1200.00
1400.00
1600.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
MMI
CMI
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1000.00
1200.00
1400.00
1600.00
1800.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
MMI
CMI
Biomasa (kg/ha/bulan)
Umur Tunas (bulan)
DKP (kg/ha/bulan)
Umur Tunas (bulan)
84
5.1.4. Penentuan daur optimum produksi daun dalam satu daur panen
Pada kasus ini kurva CMI biomassa berpotongan dengan kurva MMI terjadi
pada umur tunas 7 bulan, sehingga penentuan titik umur tunas optimum bisa
ditentukan berdasarkan perpotongan kurva sampai akhir daur panen. Lebih lanjut,
apabila berdasarkan produksi DKP, maka periode optimum menjadi lebih lebar
menjadi 7 bulan. Oleh karena itu, untuk menentukan daur optimum diperlukan
parameter lain seperti: kadar minyak (rendemen), kualitas minyak (kadar sineol)
atau parameter lain yang terkait dengan industri minyak kayu putih.
Gambar 10 a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum produksi total biomassa
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biomasa
MMI
CMI
Biomasa (kg/ha/bulan)
Umur Tunas (bulan)
85
Gambar 10 b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum produksi DKP
Dari Tabel 12. dan Gambar 10a dimuka dapat diketahui bahwa rata-rata
produksi daun segar terus meningkat dari umur tunas 1 bulan s/d umur tunas 11
bulan kemudian menurun pada umur tunas 12 bulan. Pertumbuhan dengan
peningkatan tajam terjadi sampai umur tunas 4 bulan, umur tunas 7 s/d 11 bulan
produksi stabil, yaitu: 7313 s/d 10.132 kg/ha dan pada umur tunas 12 bulan
menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa umur tunas 7 bulan dapat dilakukan mulai
pemangkasan karena produksi daun mulai stabil. Produksi biomassa baik pada
tegakan maupun individu pohon meningkat seiring dengan meningkatnya umur
tunas. Namun demikian pada umur tunas 12 bulan terjadi penurunan produksi
biomassa.
Penurunan pada umur 12 bulan merupakan fenomena alami yang terjadi
pada pertumbuhan tunas kayu putih, dimana pada umur tersebut terjadi
pemangkasan tunas alami (natural pruning) dan perontokan daun tua. Keadaan
ini ditunjang pada saat pengambilan data terjadi puncak musim kemarau. Untuk
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
7000.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DKP
MMI
CMI
DKP (kg/ha/bulan)
Umur Tunas (bulan)
86
mengetahui berapa besar biomassa yang hilang karena rontok dan saat kapan
terjadinya hal terjebut perlu kajian lebih lanjut. Pertanyaan lain adalah apakah
setelah tunas berumur 12 bulan atau lebih terjadi kecenderungan penurunan atau
justru terjadi kenaikan produksi perlu penelitian lebih lanjut. Namun demikian,
berdasarkan pengamatan dari sisa tanaman kayu putih yang tidak sempat
dipangkas pada periode sebelumnya, produksi biomassa menunjukkan
kencenderungan naik pada umur tunas 24 bulan dan 36 bulan.
Apabila perhitungan didasarkan pada kurva pertumbuhan tunas kayu putih,
CMI dan MMI produksi DKP, maka umur tunas optimum adalah 5 bulan karena
pada umur tersebut terjadi perpotongan kurva CMI dan MMI maksimum. CMI
sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya riap
turun secara linier sampai umut 8 bulan. Pada umur tunas 9 bulan CMI turun
mendekati nol dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai
umur 5 bulan pertumbuhan mendatar sampai umur 12 bulan.
Dari uraian di atas, berdasarkan kurva produksi total biomassa saat
pemangkasan berikutnya adalah 7 bulan dari pemangkasan sebelumnya. Sedang
berdasarkan kurva produksi DKP saat pemangkasan optimum adalah 5 bulan.
Namun demikian, pada umur tersebut berdasarkan pengalaman di lapangan daun
masih muda dan dikawatirkan rendemen dan kadar sineolnya masih rendah. Selain
itu, sampai umur tunas 8 bulan masih terjadi peningkatan walaupun tidak tajam.
Oleh karena itu, berdasarkan kurva ini umur pemangkasan tunas sebaiknya
dilakukan pada umur tunas 9 bulan karena pada bulan berikutnya laju
pertumbuhan sampai umur tunas 12 bulan mendekati nol. Setelah saat
pemangkasan optimum diketahui, langkah selanjutnya adalah menentukan saat
kapan umur tunas mempunyai rendemen dan kualitas minyak yang tinggi.
5.2. Minyak Kayu Putih
5.2.1. Kadar minyak (rendemen)
Hasil penyulingan dengan destilasi yang dilakukan di Laboratorium Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor diperoleh kadar minyak kayu putih
(rendemen) yang berbeda pada setiap umur tunas. Untuk memperoleh hasil
87
minyak yang maksimal dilakukan penyulingan cara mengkukus daun kayu putih
selama 4 jam, suhu antara 150 s/d 175 0 C.
Sehubungan jarak lokasi pengambilan sampel daun kayu putih dengan
Laboratorium Balitro Bogor sangat jauh, maka daun kayu putih yang disuling
adalah daun yang telah dikeringanginkan selama 2 minggu. Maksud dari
pengeringan ini adalah daun tidak layu atau busuk., sehingga kandungan minyak
dalam daun terjaga. Daun yang disuling adalah daun yang telah mempunyai umur
6 s/d 12 bulan dan hanya terdiri dari daun dan ranting yang mempunyai diameter
≤ 0,5 mm. Masing-masing umur tunas dilakukan dua kali penyulingan agar
diperoleh hasil yang representatif.
Seperti terlihat pada Tabel 13 bahwa rendemen minyak kayu putih terus
naik seiring dengan meningkatnya umur tunas, yaitu umur tunas 6 s/d 12 bulan
kecuali pada umur tunas 11 bulan rendemen lebih tinggi. Dibandingkan dengan
hasil penyulingan di pabrik yang berkisar 0,6 % s/d 0,9 %, hasil ini relatif tinggi,
dimana pada setiap umur tunas memiliki rendemen di atas 1%. Hal ini dapat
dimengerti, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa daun yang disuling pada
penelitian ini adalah daun yang telah dikeringkan dan hanya terdiri dari daun dan
ranting kecil saja, sedangkan daun kayu putih yang disuling di pabrik merupakan
daun yang baru dipetik dan masih basah serta kandungan airnya masih tinggi.
Pada umumnya daun yang dipetik hari itu akan disuling hari itu juga, sehingga
daun masih segar dan mempunyai masa yang relatif berat.
Besarnya penyusutan daun kayu putih setelah dikeringanginkan selama 2
minggu pada umur tunas 6 dan 12 relatif sama, yaitu 68%. Demikian juga pada
umur tunas 7 s/d 10 bulan mempunyai penyusutan masa daun yang relatif sama
sebesar 64%, kecuali pada umur tunas 11 bulan sebesar 53%. Perbedaan besarnya
penyusutan ini mempengaruhi perhitungan rendemen. Namun demikian, setelah
daun dikonversi menjadi berat basah, rendemen hasil penyulingan baik di
laboratorium maupun di pabrik relatif sama kecuali pada umur tunas 11 bulan.
Rendemen pada umur tunas 9 bulan s/d 12 bulan berkisar 0,58 % s/d 1,01 %
hampir sama dengan hasil penyulingan pabrik pada umur tunas yang sama,
sedangkan umur tunas 11 bulan rendemennya hampir dua kali lipat, yaitu sebesar
88
1,58%. Perbedaan rendemen yang cukup mencolok ini, kemungkinan disebabkan
tercampurnya varietas lain pada contoh daun yang disuling.
Tabel 13. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam.
Umur tunas
(bulan)
No contoh
Berat contoh(gram)
Volume minyak
(ml)
Bobot jenis
Berat minyak(gram)
Rendemendaun kering
( % )
Rendemendaun basah
( % )
Rendemendaun basah
rata-rata( % )
6 1 2000 29 0,9291 27 1,35 0,43 0,442 2000 30 28 1,39 0,45
7 1 1900 29 0,9086 26 1,39 0,51 0,512 1900 30 27 1,43 0,52
8 1 1700 29 0,9283 27 1,58 0,56 0,522 2200 31 29 1,31 0,47
9 1 1900 33 0,9099 30 1,58 0,58 0,582 2000 35 32 1,59 0,58
10 1 2200 49 0,9267 45 2,06 0,71 0,702 2200 48 44 2,02 0,69
11 1 2200 84 0,9237 78 3,53 1,65 1,582 2300 81 75 3,25 1,52
12 1 2100 72 0,9255 67 3,17 1,01 1,012 2200 75 69 3,16 1,01
Perbedaan penyusutan masa daun disebabkan antara lain oleh bentuk daun,
ketebalan daun dan varietas kayu putih. Dilihat dari produksi minyak, varietas
kayu putih berkuncup putih menghasilkan kadar sineol rata-rata 33,3 % dan
rendemen minyak 1,2 % lebih tinggi dibandingkan dengan kayu putih yang
berkuncup merah dengan kadar cineol 29,3 % dan rendemen minyak 0,8 %,
sedangkan dilihat bentuk daunnya, daun berbentuk langsit lebih banyak
mengandung minyak dan daun yang berbentuk lonjong kadar sineolnya lebih
tinggi (LPHH, 1973 dalam Perum Perhutani, 1985).
Hasil tersebut senada dengan hasil kajian Susanto, et al. (2008),
menyatakan bahwa hasil evaluasi kebun benih uji keturunan di Paliyan
menujukkan adanya keragaman pertumbuhan dan sifat minyak diantara pohon
induk dan asal induk (provenan). Berdasarkan data uji keturunan M. cajuputi di
Paliyan menunjukan adanya individu pohon yang mempunyai kualitas minyak
yang superior yaitu rendemen minyak sampai 4,78% dan kadar sineol sampai 73%
(Santoso, et al., 2008).
89
Walaupun hasil analisis minyak pada umur tunas 11 bulan merupakan
keaadaan yang sebenarnya di lapangan, akan tetapi diduga akibat tercampurnya
contoh daun oleh varitas kayu putih yang mempunyai sifat superior, maka
diperoleh data sifat-sifat minyak kayu putih yang secara ekstrim berbeda dengan
umur tunas yang lain (6-10 dan 12 bulan). Atas dasar ini, maka data ini
dipandang sebagai data pencilan (outlier) dan selanjutnya diangap tidak ada.
Akan tetapi data ini tetap berguna sebagai informasi tambahan, hasil penelitian ini
diharapkan akan menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya. Sifat kandungan
minyak superior ini tidak dimiliki oleh semua pohon, termasuk pohon yang
diambil contoh daunnya. Hasil analisis minyak pada umur 11 bulan yang
mempunyai perbedaan nilai sangat mencolok dan diangap pencilan data,
khususnya pada nilai kadar sineol dan rendemen, maka data ini tidak dipakai pada
pembahasan selanjutnya. Pada Tabel 14 terlihat bahwa pada umur tunas 6-9 bulan
hanya memiliki rendemen di bawah 0,6%, sedang pada umur tunas 12 bulan
memiliki rendemen yang relatif baik.
Tabel 14. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan setelah dikonversi ke berat basah
Umur tunas (bulan) 6 7 8 9 10 12
Rendemen DKP kering udara 1) (%) 1.37 1.41 1.45 1.58 2.04 3.16
Berat setelah penyusutan (%) 32,0 36,5 35,6 36,5 34,4 32,1
Rendemen DKP basah (%) 0.44 0.51 0.53 0.58 0.70 1.01
5.2.2. Kualitas Minyak
Menurut Perum Perhutani secara umum mutu minyak kayu putih
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu mutu Utama dan mutu Standar. Keduanya
dibedakan oleh kadar sineol, yaitu senyawa kimia golongan ester turunan terpen
alkohol yang terdapat dalam minyak atsiri seperti kayu putih. Minyak kayu putih
mutu Utama mempunyai kadar sineol ≥ 55%, sedang mutu Standar kadar
sineolnya kurang dari 55%. Karena kegunaannya yang cukup luas, maka untuk
menjaga mutu minyak kayu putih selain berdasarkan besarnya kadar sineol juga
ditentukan oleh sifat-sifat minyak lainya. Menurut SNI (1995), Mutu minyak
90
kayu putih selain ditentukan oleh kadar sineol juga ditentukan oleh sifat-sifat
minyak, yaitu : warna, bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam
alkohol. Menurut SNI 06-3954-1995, kayu putih dikatakan bermutu apabila
mempunyai kadar sineol 50 – 65%, warna kekuning-kuningan sampai kehijau-
hijauan, memiliki bobot jenis yang diukur pada suhu 20oC sebesar 0,91 – 0,92,
memiliki indeks bias pada suhu 20oC berkisar antara 1,466 – 1,472, putaran
optiknya pada suhu 27,5oC sebesar (-4)o – 0o, larut dalam alkohol dan tidak
mengandung lemak dan minyak pelican.
Dari hasil analisis di laboratorium Perum Perhutani pada masing-masing
umur tunas mempunyai kadar sineol yang baik. Pada umur tunas 8 s/d 12 bulan
mempunyai kadar sineol ≥ 55% (mutu utama), sedangkan umur tunas 6 dan 7
mempunyai kadar sineol <50%. Namun demikian, analisis minyak ini masih
kasar dimana kadar sineol yang terbaca tidak seluruhnya bukan mutlak sineol
tetapi tercampur unsur kimia lain yang tidak terditeksi. Ini merupakan salah satu
kelemahan metode basah atau sering disebut metode konvensional. Oleh karena
itu untuk mengetahui kadar sineol yang lebih akurat harus menggunakan metode
GC. Pada metode GC semua unsur senyawa kimia yang terkandung dalam minyak
akan terbaca semua, paling tidak unsur utamanya. Hasil analisis laboratorium
kadar sineol masing-masing umur tunas dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Kadar sineol minyak kayu putih umur tunas 6 - 12 bulan
Umur tunas (bulan) 6 7 8 9 10 12
Kadar sineol (%) 48 54 55 58 56 59
5.2.3. Beberapa sifat minyak
Hasil pengujian dengan metode GC di laboratorium Balitro Bogor, minyak
kayu putih hasil penyulingan daun yang berasal dari BKPH sukun terdiri dari dari
48 unsur. Lima komponen utama yang dapat dideteksi, yaitu: sineol (56,94%),
borneol (12,51%), α-pinene (3,28%), β-pinene (2,41%) dan terpinol (2,30%).
91
Secara umum, kayu putih yang diperoleh dikatakan bermutu karena memiliki
kadar sineol sesuai ketentuan SNI, yaitu memiliki kadar sineol antara 50 – 65%.
Minyak kayu putih hasil analisis di laboratorium Balitro Bogor mempunyai
bau khas minyak kayu putih dan memiliki warna kekuning-kuningan, bobot jenis
yang diukur pada suhu 25oC sebesar 0,90 – 0,93, memiliki indeks bias pada suhu
25oC berkisar antara 1,46 – 1,47 dan putaran optiknya sebesar (- 703’) – (- 0056’).
Indeks bias adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara sinus sudut
datang dengan sinus sudut bias cahaya, sedangkan yang dimaksud putaran optik
adalah besarnya pemutaran bidang polarisasi suatu zat. Disamping itu, minyak
kayu putih yang bermutu akan tetap jernih bila dilakukan uji kelarutan dalam
alkohol 80%, yaitu dalam perbandingan 1 : 1, 1 : 2, dan seterusnya s.d. 1 : 10.
Hasil anailis beberapa sifat minyak kayu putih yang dilakukan laboratorium
Balitro Bogor tersebut menunjukkan bahwa pada semua umur tunas memiliki sifat
yang hampir sama. Perbedaan cukup mencolok hanya terjadi pada umur tunas 4
bulan, dimana minyak yang dihasilkan mempunyai putaran optik terendah.
Dibanding dengan standar SNI, beberapa hasil analisis sifat minyak yang
diperoleh tidak memenuhi standar. Putaran optic seharusnya berkisar antara (-0) –
(-4), minyak hasil penyulingan umur tunas 6 – 9 bulan diluar kisaran yang
dierkenankan.
Walapun dalam penelitian ini tidak dilakukan uji kandungan minyak lemak
minyak pelican, dalam minyak kayu putih tidak diperkenankan adanya kandungan
minyak tersebut. Minyak lemak merupakan minyak yang berasal dari hewan
maupun tumbuhan, seperti lemak sapi dan minyak kelapa, yang mungkin
ditambahkan sebagai bahan pencampur dalam minyak kayu putih. Demikian juga
minyak pelican yang merupakan golongan minyak bumi seperti minyak tanah dan
bensin biasa digunakan sebagai bahan pencampur minyak kayu putih, sehingga
merusak mutu kayu putih tersebut. Beberapa sifat minyak kayu putih hasil analisis
di laboratorium Balitro Bogor disajikan pada Tabel 16.
92
Tabel 16. Beberapa sifat minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam.
Umur tunas (bulan)
Berat jenis 250/250 C
Indeks bias 250 C
Putaran optik
Kelarutan dalam alkohol
Warna
6 0,9291 1,4695 - 505’ larut kekuning-kuningan7 0,9086 1,4696 - 5044’ larut kekuning-kuningan8 0,9283 1,4693 - 5027’ larut kekuning-kuningan9 0,9099 1,4692 - 703’ larut kekuning-kuningan10 0,9267 1,4695 - 0056’ larut kekuning-kuningan12 0,9255 1,4693 - 305’ larut kekuning-kuningan
5.3. Hubungan rendemen minyak dengan produksi optimal daun
Sehubungan dengan kadar sineol dan beberapa sifat minyak pada umur
tunas 6 s/d 12 bulan relatif seragam, maka yang dilakukan menentukan saat
optimum pemanenan tunas adalah rendemen. Apabila rendemen dimasukkan
sebagai faktor pembatas, maka saat optimum terjadi pada 12 bulan, dimana
rendmen minyak lebih dari 1 % seperti yang terlihat pada gambar 11.
93
(a)
(b)
Gambar 11. Kurva (a) periode optimum biomassa dan (b) kurva rendemen (diarsir periode optimum berdasarkan rendemen ≥ 0,7%)
5.4. Model Produksi Daun Dalam Satu Daur Silvikultur
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biomasa
MMI
CMI
Umur tunas (bulan)
Rendemen (%)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 120
0.2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
Biomasa (kg/ha/bulan)
Umur Tunas (bulan)
94
5.4.1. Hasil pengukuran
Hasil pengukuran dimensi tegakan berupa produksi biomassa dan DKP
untuk membangun model produksi dalam satu daur silvikultur disajikan pada
Tabel 17 . Data tersebut merupakan hasil pengukuran di lapangan pada plot-plot
ukur sementara (PUS) setiap kelompok umur (KU I s/d VIII), dimana rentang
kelompok umur adalah 5 tahun. Selain itu setiap KU yang diambil contoh telah
mempunyai umur tunas 12 bulan.
Tabel 17. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII
Kelompok Umur
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per plot
Kerapatan(%)
Berat per hektar(kg/ha)
Biomassa Cabang DKPI 1 96 0,96 8.224,64 3.241,12 4.983,52
2 97 0,97 9.080,00 3.597,12 5.482,883 98 0,98 8.564,80 3.412,80 5.152,00
Rata-rata 97 0,97 8.623,15 3.417,01 5.206,13II 1 95 0,95 12.285,92 4.856,48 7.429,44
2 94 0,94 10.087,68 4.141,28 5.946,403 93 0,93 10.831,52 4.732,80 6.098,72
Rata-rata 94 0,94 11.068,37 4.576,85 6.491,52III 1 134 0,67 14.373,12 5.628,64 8.744,48
2 137 0,69 11.863,04 3.797,60 8.065,443 144 0,72 10.317,76 3.363,52 6.954,24
Rata-rata 138 0,69 12.184,64 4.263,25 7.921,39IV 1 157 0,79 16.515,68 5.661,92 10.853,76
2 153 0,76 17.786,24 5.928,16 11.858,083 152 0,76 15.718,40 5.238,88 10.479,52
Rata-rata 154 0,77 16.673,44 5.609,65 11.063,79V 1 137 0,44 13.576,96 5.811,36 7.765,60
2 142 0,46 15.562,08 7.070,56 8.491,523 140 0,45 18.299,36 7.608,16 10.691,20
Rata-rata 140 0,45 15.812,80 6.830,03 8.982,77VI 1 112 0,36 12.465,28 7.052,32 5.412,96
2 105 0,33 12.384,32 6.224,16 6.160,163 104 0,33 13.330,08 6.796,00 6.534,08
Rata-rata 107 0,34 12.726,56 6.690,83 6.035,73VII 1 108 0,35 14.763,68 5.237,92 9.525,76
2 101 0,32 8.077,44 3.354,56 4.722,883 115 0,37 11.789,44 4.020,16 7.769,28
Rata-rata 108 0,35 11.543,52 4.204,21 7.339,31VIII 1 159 0,51 6.703,52 1.642,72 5.060,80
2 161 0,52 7.431,84 2.335,04 5.096,803 163 0,52 6.658,08 2.092,48 4.565,60
Rata-rata 161 0,52 6.931,14 2.023,41 4.907,73
Secara umum, semakin tinggi umur tegakan semakin menurun tingkat
kerapatan tegakannya. Pada tegakan kelompok umur VII tingkat kerapatannya
95
tinggal sepertiganya dibanding pada umur tegakan awal. Hal ini disebabkan
selama proses pertumbuhan tegakan terjadi gangguan, antara lain : kematian,
kebakaran hutan, pemangkasan awal yang tidak tepat, hama penyakit dan
sebagainya.
5.4.2. Model produktivitas daun
Pengukuran biomassa yang dilakukan di tegakan tanaman kayu putih BKPH
Sukun di PUS ukuran 25m x 25m sebanyak 3 buah pada masing-masing
kelompok umur tegakan tanaman kayu putih. Hasil pengukuran biomassa pada
plot ukur tanaman kayu putih kelompok umur I s/d VIII, perhitungan berat
biomassa per hektar untuk penentuan model produktivitas daun dan kerapatan
tegakan direkapitulasi pada Tabel 18. Pada pengukuran ini umur tunas tegakan
semua plot ukur adalah seragam yaitu 12 bulan.
Tabel 18. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tegakan kayu putih di BKPH Sukun
Kelompok umur
tegakan
Umur tegakan
Kerapatan tegakan
(%)
Berat per pohon Berat per hektar
Biomassa(kg)
Cabang(kg)
DKP(kg)
Biomassa(kg)
Cabang(kg)
DKP(kg)
I 5 0,98 5,56 2,20 3,35 8.623,15 3.417,01 5.206,13II
8 0,94 7,36 3,04 4,31 11.068,37 4.576,85 6.491,52III
13 0,69 5,53 1,94 3,59 12.184,64 4.263,25 7.921,39IV
17 0,77 6,77 2,28 4,49 16.673,44 5.609,65 11.063,79V
22 0,45 7,07 3,05 4,02 15.812,80 6.830,03 8.982,77VI
26 0,33 7,45 3,91 3,54 12.726,56 6.690,83 6.035,73VII
34 0,35 6,65 2,43 4,22 11.543,52 4.204,21 7.339,31
VIII 38 0,52 2,69 0,78 1,91 6.931,15 2.023,41 4.907,73
5.4.2.1. Pemilihan model persamaan
Seperti yang dilakukan pada pemilihan model pada sub bab sebelumnya,
pemilihan model persamaan untuk menyusun model produksi daun dalam satu
daur silvikultur juga berdasarkan hasil eksplorasi dan penelaahan model-model
persamaan matematis untuk fenomena biologi dan organisma tingkat tinggi dari
96
berbagai pustaka. Untuk menyusun persamaan model produksi daun dalam satu
daur silvikultur diperoleh persamaan yang tepat, yaitu model polinomial
(persamaan 10).
5.4.2.2. Uji statistik dan pemilihan model
Hasil uji keterandalan model berdasarkan pada besarnya koefisien
determinasi (R2) dan Se serta nilai koefisien kedua persamaan yang diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 19. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persamaan model
polinomial dihasilkan di atas handal dan dapat digunakan untuk menggambarkan
kurva produktivitas daun kayu putih. Hal serupa dilakukan oleh Budiadi (2005)
dalam melakukan penelitian tentang produktivitas hutan tanaman kayu putih juga
menggunakan model polinomial berderajat 3.
Tabel 19. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model hasil pengukuran dan hasil perhitungan kumulatif
Persamaan a b c d Se R2
Polinomial 0.84 1.90 -0.07 0.0006 1.57 94.09%
5.4.2.3. Kurva produktivitas daun
Hasil persamaan matematis di atas setelah dilukis dalam bentuk kurva
disajikan pada Gambar 12. Pada gambar tersebut terlihat bahwa model polinomial
kurvanya ada kecenderungan naik tajam dan setelah sampai titik puncak turun
kembali secara tajam dan berbentuk parabola.
97
Gambar 12. Kurva hubungan produktivitas biomassa dan umur tegakan dengan model Polinomial derajat 3.
5.4.2.4. Kurva prokduktivitas biomassa, cabang dan daun
Bentuk persamaan kurva biomassa, kurva cabang dan kurva DKP di bawah
ini adalah polinomial derajat 2 atau lebih dikenal dengan model kuadratik.
Adapun Nilai koefisien, Se dan R2 disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai koefisien, Se dan R2 kurva model polinomial hubungan biomassa, cabang dan daun dengan umur tegakan
Persamaan a b c Se R2 r
Biomassa 3.8979874 1.1274811 -0.02831747 1.63 85.38 % 0.924
Daun 2.6969293 0.60697511 -0.01544286 1.75 61.15 % 0.782
Cabang 0.12157258 0.60493607 -0.01383264 1.19 70.39 % 0.839
Umur Tegakan (tahun)
Produktivitas Biomasa (ton/ha/tahun)
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.00.00
4.00
8.00
12.00
16.00
20.00
Y = a+bA+cA2+dA3
98
Gambar 13. Kurva model polinomial derajat dua hubungan biomassa, cabang dan daun dengan umur tegakan
Korelasi antara produksi biomassa dan umur tanaman berdasarkan
persamaan regresi berhubungan sangat kuat, baik pada tegakan maupun individu
pohon. Hal ini menunjukan bahwa model produksi biomassa pada hutan tanaman
sistem pemanenan pangkas tunas di BKPH Sukun sangat dipengaruhi oleh umur
tanaman. Demikian juga korelasi antara produksi DKP dengan umur tanaman
mempunyai hubungan yang nyata, walaupun kurvanya lebih landai dibanding
dengan kurva produksi biomassa.
Pada umur tanaman 25-an tahun mulai terjadi penurunan produksi.
Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain, pangkas perdana yang
kurang baik dan tidak tepat, kebakaran dan pengambilan biomassa yang dilakukan
terus menerus yang berdampak pada menurunnya tingkat kesuburan tanah.
Pemangkasan perdana, yaitu pemotongan pohon setinggi ± 110 cm dari
permukaan tanah yang dilakukan saat tanaman berumur 4 tahun setelah tanam.
Pemotongan yang tidak tepat mengakibatkan lubang atau celah pada batang
kering atau menjadi sarang semut dan rayap. Kebakaran tegakan juga memberi
Umur tegakan (tahun)
0 5 10 15 20 25 30 35 400
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Total biomassa
DKP
Cabang
Produktivitas (ton/ha/tahun)
99
andil terjadinya penurunan produktivitas biomassa pohon mulai tua karena bentuk
batang tidak sempurna lagi.
Terjadinya kebakaran tegakan, pengambilan biomassa yang terus menerus
juga menurunkan produktivitas biomassa. Asupan nutrisi pada tegakan tidak
sebanding dengan biomassa yang diambil juga mempengaruhi menurunnya
produktivitas biomassa. Kesuburan tanah hutan yang rendah tersebut dan sistem
pemangkasan yang diterapkan pada hutan kayu putih menimbulkan dampak yang
kurang baik terhadap kelestarian kesuburan tanah. Dengan sistem pangkas daur
hara tertutup yang seharusnya ada menjadi terputus karena terjadi penggangkutan
keluar biomassa tanaman kayu putih yang berupa daun dan ranting kecil ke pabrik
dan cabang lainnya digunakan penduduk sebagai kayu bakar, sehingga hampir
tidak ada biomassa yang kembali ke tanaman. Akibat lain dari cara ini adalah
proses dekomposisi serasah di permukaan tanah sangat sedikit, padahal proses ini
yang memperkaya unsur hara ke tanah. Apabila keadaan ini dibiarkan terus dalam
jangka waktu lama akan menyebabkan produktivitas daun kayu putih menurun.
Hal ini diperkuat hasil analisis tanah yang dilakukan Sukirno (1994) bahwa
tanah hutan BKPH Sukun termasuk tanah kurang subur. Adapun hasil analisis
tersebut berdasarkan pada kriteria Lembaga Penelitian Tanah Bogor bahwa pH di
lokasi penelitian, BKPH Sukun umumnya adalah agak masam sampai netral (6,10
- 6,80). Sedangkan unsur hara makro antara lain nitrogen, kalsium, pospor dan
bahan organik adalah sebagai berikut: C-tersedia sangat rendah sampai rendah
(0,67 % - 5,02 %), N-total sangat rendah sampai rendah (0,06 % - 0,10 %), P-
tersedia kurang (0,23 ppm - 2,19 ppm), K-tersedia rendah sampai tinggi (0,18 -
0,62) sedangkan bahan organik sangat rendah sampai rendah (1,15 % - 5,47%).
Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelestarian kesuburan tanah perlu
dilakukan penambahan unsur hara ke dalam tanah yang berupa pupuk atau bahan
ornanik lainnya. Sedangkan untuk memulihkan daur hara yang terputus akibat
penggangkutan biomassa ke pabrik dan ke rumah penduduk dilakukan melalui
pengembalian sisa pabrik yang berupa afval daun kembali ke lahan hutan.
Kegiatan lain yang mendukung kegiatan di atas adalah penanaman tanaman sela
dan tumbuhan bawah diantara tanaman kayu putih serta pembuatan angelan untuk
mengurangi erosi.
100
Produktivitas tinggi apabila kerapatan tegakan juga tinggi. Kerapatan
tegakan mempunyai korelasi positif dengan produktivitas biomassa apabila
dikombinasikan dengan umur tanaman. Hal ini senada dengan hasil kajian
Budiadi (2005), bahwa umur tanaman lebih kuat korelasinya dengan produktivitas
baik dikombinasikan maupun tidak tidak dikombinasikan dengan kerapatan
tegakan. Selanjutnya Budiadi (2005) mengilustrasikan, bahwa tegakan muda
dengan kerapatan tinggi di KPH Madiun produksi biomassanya tidak lebih tinggi
dibanding dengan tegakan tua, sebaliknya tegakan umur 21 tahun di KPH
Indramayu, produksi biomassa lebih besar daripada tegakan umur 31 tahun
walaupun kerapatan tegakan lebih kecil.
Secara umum, produksi biomassa meningkat seiring dengan bertambahnya
umur tegakan. Periode perubahan produktivitas tegakan berdasarkan persamaan
regresi yang diperoleh dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Periode naik, periode
tegakan stabil dan periode tegakan turun. Pada periode naik, tanaman masih
muda, batang tanman relatif kecil dan cabang relatif sedikit, sehingga produksi
juga rendah.
Selain hal tersebut di atas, produksi daun kayu putih juga dipengaruhi oleh
umur tanaman dan diameter batang. Umumnya kayu putih dengan diameter besar
akan memproduksi daun yang tinggi pula, kecuali pada pohon yang sudah tua
(lebih dari 30 tahun). Sedangkan produksi daun optimal terjadi pada umur 15
tahun, yaitu 2,3 kg/pohon (Perum Perhutani, 2000a),
Pada periode stabil, produksi maksimum terjadi pada umur tegakan 17 s/d
22 tahun atau Kelompok Umur IV s/d Kelompok Umur V, dengan produktivitas
15.812 s/d 16.673 kg/ha/tahun. Periode produksi maksimum berhubungan erat
dengan cara pemanenan atau pemangkasan tunas. Tunas biasanya dipotong 10 cm
di atas batas tumbuh tunas. Jika cara memangkas tunasnya benar, tajuk dapat
tumbuh membesar dengan bertambahnya umur tanaman dan biomassa yang
dihasilkan juga akan lebih besar (Faculty of Forestry, 1987, Budiadi et al., 2005).
Sedangkan pada periode tegakan turun, Tegakan mulai tua dan produksi
biomassa mulai menurun. Hal ini terjadi karena menurunnya kemampuan untuk
memproduksi biomassa seiring dengan menurunnya kerapatan tegakan. Seperti
telah disebutkan pada paragraf sebelumnya produktivitas turun kemungkinan
101
disebabkan oleh sering terjadinya kebakaran, kematian pohon, penurunan kualitas
tanah akibat pemanenan yang dilakukan terus menerus dan terjadi kompetisi
antara tanaman kayu putih dengan tanaman tumpangsari dan gulma. Namun
alasan terakhir ini perlu kajian yang lebih mendalam, karena tumpangsari juga
bisa memberi efek positif ketika petani memupuk tanamannya.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mempertahankan kelestarian produksi
daun atau biomassa kayu putih, maka tegakan yang telah berumur lebih dari 25
tahun segera diganti dengan tanaman baru.
5.4.3. Kurva laju pertumbuhan
CAI menunjukkan laju pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI
menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang dihitung
berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan
MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Namun
demikian, pada kasus ini kurva CAI dan MAI yang diperoleh tidak bisa digunakan
karena pada penelitian ini hanya dilakukan pengukuran satu kali saja dan kurva
tidak sigmoid.
102
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
1. Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih
yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi
panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai
berikut:
Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950) (R2 = 98%).
2. Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut
pada angka 1, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7
bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya. Akan tetapi apabila
umur tajuk tegakan ditentukan dengan kadar minyak tertinggi, maka rotasi
pemangkasan daun kayu putih adalah 12 bulan.
3. Persamaan matematika untuk kurva produktivitas daun tegakan kayu putih
yang dipanen dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam beberapa
rotasi pemangkasan daun merupakan fungsi polinomial dengan bentuk
penduga persamaan sebagai berikut:
Y = 0,84 + 1,90 A - 0,07 A2 + 0,0006 A3 (R2 = 94%).
4. Berdasarkan penduga persamaan matematika untuk kurva produksi daun
tegakan kayu putih tersebut pada angka 3, maka daur silvikultur untuk
tegakan kayu putih adalah 25 tahun.
6.2. SARAN
Ketelitian dan ketepatan persamaan untuk penduga model pertumbuhan
daun kayu putih sangat tergantung kepada ketelitian dan kecukupan data
yang dipergunakan untuk menduga model tersebut. Untuk mendapatkan
data dengan kualitas seperti itu, diperlukan adanya petak ukur permanen-
PUP (permanent sample plot-PSP). Untuk keperluan ini, maka disarankan
104
pada lokasi penelitian perlu dibuat PUP untuk memperoleh data
pertumbuhan tegakan dari waktu ke waktu, sehingga akan dapat diperoleh
data pertumbuhan yang teliti dan lengkap..
DAFTAR PUSTAKA
Alder, D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. FAO. Rome.
Baskorowati, L., R. Umiyati, N. Kartikawati, A. Rimbawanto, M. Susanto. 2008. Pembungaan dan pembuiahan Melaleuca cajuputi subsp. Cajupti Powell di Kebun Benih Semai Paliyan, Gunung Kidul, Yogyakarta. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 2 (2): 189-202. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Bettinger P, Boston K, Siry J.P, Grebner D.L. 2009. Forest Management andPlanning. Academic Press – Elsevier.
Bidwell, G.S. 1979. Plant Physiology. Second Edition. Collier Macmillan International Edition, New York.
[BPS dan Bappeda]. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Kabupaten Ponorogo Dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo. Ponorogo.
Brophy, J.J, Doran, J.C. 1996. Essential oils of tropical asteromyrtus in Melaleuca species: In search of interesting oils with commercial potential, ACIAR Monograph No. 40.
Budiadi, Y. Kanazawa, H.T. Ishii, MS Sabarnurnin, P.Suryanto. 2005. Productivity of Kayu Putih (Melaleuca leucadendron LINN) tree plantation managed in non-timber forest production system in Java, Indonesia. Agroforestry System (2005) 64: 143-155.
Clutter J.L., Forston J.C., Pienaar L.V., Bristen G.H., Bailey R.C., 1983. Timber Management: a quantitative approach. John Willey & Sons. NewYork. Pp 233.
Colbert J.J, M. Schuckers , D. Fekedulegn. 2003. Comparing model for growth and management of forest tracts. CAB International. Modeling Forest Systems. 335- 346.
Craven, L.A. , Barlow, B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca (Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119.
Daniel, T.W., J.A. Helm , F.S. Baker. 1979. Principles of Silviculture. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
Davis, T.W. 1966. Forest Management: Regulation and Valuation. McGraw-Hill Book Company, New York. 519p
106
Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, T.E. Howard.. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Value: FourthEdition. . McGraw-Hill Book Company, New York.
Davis, L.S., K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York.
Djumantoro, S. 1973. Tinjauan pengaruh bermacam-macam mulching terhadap pertumbuhan anakan Melaleuca leucadendron di Wana Gama I. Sarjana Fakultas Kehutana UGM. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
[DSN-Dewan Standarisasi Nasional]. 1995. Standar Nasional Indonesia. Minyak Kayu Putih. SNI 06-3954-1995.
Doran, J.C. 1999. Cajuput Oil. In Southwell, I , Lowe, R.(eds.) Tea Tree: the Genus Melaleuca (Medical and Aromatic Plant: Industrial Profiles). Harwood Academic Publisher, pp 221-233.
Doran, J.C, Turbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in the Tropic. ACIAR Monograph No. 24. Australian Centre for International Agriculturean Research. Canberra.
Draper N.R., H. Smith, 1981. Applied Regression Analisys. Jhon Wiley and Sons, New York.
Faculty of Fotestry. 1987. ‘Acacia auriculiformis, Melaleuca leucadendron’Development Section, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Fekedulegn, D., Mairitin, P Mac S, Jim J.C. 1999. Parameter estimation of nonlinear growth models in forestry. Silva Fennica 33 (4) 327-336
Fries, J. 1974. Growth model for tree and stand simulation. IUFRO Working Party S4, 01 – 4. Proceedings of Meeting 1973. Skogshogskolan Royak College of Forestry, Stockholm.
Gunn, B., McDonald, M, Lea D. 1996. Seed and Leaf Colelections of Melalleuca cajuputil Powell in Indonesia and Nothern Australia. Australian Tree Seed Centre, CSIRO Forest and Forest Product, Canberra, ACT.
Hakkila, P. 1994. The development of small-log harvesting for the Indonesian pulp and paper industries. Enso Forest Development Ltd. Imatra. Finland. 72p.
Harbagung. 2010. Teknik dan perangkat pengaturan hasil: Sintesa hasil penelitian kuantifikasi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman. Pusat penelitian dan pengembangan peningkatan produktivitas hutan. Bogor.
107
Harbagung. 2009. Penentuan Ukuran Optimal Petak Ukur Permanent Untuk Hutan Tanaman Agathis (Agathis laronthifolia Salisb.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 6 No.2: 81-97.
Helms, J.A. 1998. The dictionary of Forestry. The Society of American Forester and CABI Publishing, Walingford.210p.
Kasmudjo. 1992. Hasil minyak kayu putih harus diambil secara bertahap. Duta Rimba 17 (14). Jakarta.
Ketaren, S, 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka. Jakarta
Ketaren, S , Djatmiko, B. 1978. Minyak Atsiri Bersumber dari Daun. Departemen Teknologi Hasil pertanian. Fatemeta IPB. Bogor.
Khamis, A., Z. Ismail,K. Haron, A.T. Muhammed. 2005. Nonlinear growth models for modeling oil palm yield growth. Journal of Mathematics and Statistics 1 (3): 225-233
Krisnawati, H . 2007. Modelling stand growth and yield for optimising management of Acacia mangium Willd. Plantations in Indonesia. Submitted in total fulfilment of the requirements of the degree of Doctor of PhilosophySchool of Forest and Ecosystem Science The University of Melbourne. Melbourne. Unpublish. 315p
Krisnawati, H . 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika struktur tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan). Thesis Program Pascasarjana S-2 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan.
Kuncahyo, B. 2006. Model simulasi pengaturan hasil lestari yang berbasis kebutuhan masyarakat desa hutan. Disertasi Doktor pada SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Labetubun MS. 2004. Metode pengaturan hasil hutan tidak seumur melalui pendekatan model dinamika sistem. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan
Manan, S. 1976. Silvikultur. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Morgan, P.H, L.P. Mercer, N.W. Flodin. 1975. General model for nutrional response of higher organisms, Proc.Nat.Acad.Sci. USA. 72:4327-4331.
Mulyadi, T. 2005. Studi pengelolaan kayu putih Melaleuca leucadendron LINN berbasis ekosistem di BDH Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Thesis
108
Program Pascasarjana S-2 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Munez, P.S. 1981. Growth, yield and economic cutting cycle of natural Mindoro Pine (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) stand. IUFRO Meetring, UPLB College of Forestry, Los Banos, The Philippines.
Myer, R.H. 1986. Clasical and modern regression with applications. Duxubury Press, Boston. 359p.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publiser Dordrwecht. The Netherlands.
Navar J. 2009. Allomatric equation for tree species and carbon stocks for forests of Northwestern Mexico. Forest Ecology ang Management 257: 427-434.
Nelder, J.A. 1961. The fitting of a generalizatiomn of the logistic curve. Biometrics 13: 89-110.
Nyland RD. 1996. Silviculture. Concept and Applications. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York-Toronto.
Oliver, F.R. 1964. Methode of estimating the logistic function. Applied Satatistics 13:57-66.
Palahi M, Pukkala, T., Miina, J., Montero, G. 2003. Individual-tree growth and mortality models for Scots pine (Pinus sylvestris L.) in north-east Spain. Annals of Forest Science 60:1–10.
Parera, E. 2005. Nilai ekonomi total hutan kayu putih kasus desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Propinsi Maluku. Tesis pada SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan
[Perum Perhutani]. 2010a. Cayuput Oil. http://www.perhutaniproducts.com [2 Pebruari 2010]
[Perum Perhutani]. 2010b. Rencana Pengaturan Kelestaraian Hutan Kelas Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun Jangka Perusahaan 1 Januari 2011 s/d 31 Desember 2015. Seksi Perencanaan Hutan II Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
[Perum Perhutani]. 2008. Standard Operational Procedure (SOP) Pengujian Minyak Kayu Putih. Perum Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
[Perum Perhutani]. 2005. Rencana Pengaturan Kelestaraian Hutan Kelas Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun Jangka Perusahaan 1 Januari 2006 s/d 31 Desember 2010. Seksi Perencanaan Hutan II Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
109
[Perum Perhutani]. 2000a. Tarif Volume Lokal (TVL) Daun Kayu Putih KPH Madiun . Seksi Perencanaan Hutan II Madiun. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
[Perum Perhutani]. 2000b. Rencana Pengaturan Kelestaraian Hutan Kelas Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan Ponorogo Timur Jangka Perusahaan 1 Januari 2001 s/d 31 Desember 2005. Seksi Perencanaan Hutan II Madiun. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
[Perum Perhutani]. 1985. Pedoman Pengelolaan Kelas Perusahaan Kayu Putih. Direksi Perum Perhutani. Jakarta.
[Perum Perhutani]. 1984. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun Jangka Perusahaan 1 Januari 1984s/d 31 Desember 1988. Seksi Perencanaan Hutan II Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Priyadi, H, P. Gunarso, M. Kanninen. 2006. Workshop Summary. In Priyadi, H, P. Gunarso, and M. Kanninen, (End). Permanent Sample Plot:More than Just Forest Data. Centre for International Forestry Research pp: xvi-xviii.
Prodan, M. 1968. Forest Biometrics, Translation in Engilsh by S.H. Gardier. Pergamon Press, Oxford.
Ratkowsky, D.A. 1983. Nonlinear Regression Modeling. Marcel Dekker. New York. 276p
Revilla, A.V. Jr. 1974. Yield Prediction in Forest Plantation. Phillippenes Forest Research Symposium on Industrial Forest Plantation. Garcia Memorial Hall, Manila.
Ricards, F.J. 1959. A flexible growth fuction for empirical use. Journal of Experimental Botany 10: 290-300.
Rimbawanto, A, NK Kartikawati, L. Baskorowati, M, Susanto, Prastyono. 2009. Status terkini pemuliaan Melaleuca cajuputi. Prosiding Hasil-hasil PenelitianHal. 148-157. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. . Yogyakarta.
Schreuder F.S., W.L. Hafley. 1977. A useful bivariate distributions for describing stand structure tree heights and diameters. Biometrics 33: 471-477.
Schnute, J. 1981. A versatile growth model with statistically stable parameters. Can.J. Fish.Aquat. Sci. 38: 11-28.
Seber, G.A.F. , C.J. Wild. 1989. Nonlinear Regression. John Wiley and Sons. New York.
110
Simon, H. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial. Aditya Media. Yogyakarta.
Soetrisno, E. 1990. Prospek Pabrik Penyulingfan Minyak Kayu Putih Ditinjau dari Segi Potensi Daun di BKPH Jatimunggul, KPH Indramayu. ATK Propinsi Jawa Barat. Bandung.
Spurr, N.H. 1952. Forest Inventory. The Ronald Press Company. New York.
Suhendang, E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di Pulau Jawa. Disertasi Doktor pada. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Sukirno, D.P. 1994. Kajian Penaksiran Biomas Tanaman Melaleuca leucadendron Linn Umur 6 Tahun di RPH Tambaksari, BKPH Sukun, KPH Madiun. Thesis S-2 Program PPS UGM. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Susanto, M. A. Rimbawanto, Prastyono, N.K. Kartikawati. 2008. Peningkatam genetika pada pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2(2): 231- 241. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Susanto, M, J.C. Doran, R. Arnold, A. Rimbawanto. 2003. Genetic variation in growth and oil characteristcs of Melaleuca cajuputi subsp. cajupti and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15(3): 469-482.
Sukirno, D.P. 1994. Kajian penaksiran biomas tanaman melaleuca leucadendron linn umur 6 tahun di rph tambaksari, BKPH Sukun, KPH Madiun. Thesis S-2 Program PPS UGM. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Suriatna, S. 1992. Pupuk dan Pemupukan. PT. Melton Putra. Jakarta.
Tsoularis, A, J. Wallace. 2002. Analysis of logistic growth models. Math. Biosci. 179: 21-55.
Utomo, P.M. 2001. Rekayasa pengelolaan hutan kayu putih dalam perspektif sosial, ekonomi dan lingkungan. Thesis Program Pascasarjana S-2 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Vanclay, J.K. 1994. Growth model for tropical forest. CAB International, Wilingford, UK. 380p.
Vanclay, J.K. 1995. Growth model for tropical forest: A synthesis of models and methods, Forest Science 41 (1): 7 – 42.
111
Van Laar A., Akça A., 1997. Forest Mensuration .Cuvillier Verlag. Gottingen. 418p.
Widodo, P.P. 1989. Model penduga pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman seumur Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di Pulau Jawa. Disertasi Doktor pada. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Wiroatmodjo, P. 1984. Model perhitungan pertumbuhan dan hasil kayu bulat tanaman Pinus merkusii di Jawa. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
113
Lampiran 1. Data Curah Hujan Tahun 1998 s/d 2007 Stasiun Penakar Curah Hujan Pulung Ponorogo Sub Das Madiun
Tahun
Bulan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH
(hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm)
Januari 10 218 22 286 15 189 15 336 20 407 19 250 14 329 13 204 20 310 12 257Februari 17 449 20 274 16 208 15 202 18 295 19 300 15 288 14 142 23 272 20 512Maret 23 391 12 302 23 340 18 254 18 381 14 329 17 249 16 273 16 192 16 354April 19 408 8 153 17 278 15 218 15 328 10 119 9 122 15 318 21 382 20 361Mei 13 220 6 121 3 20 4 46 3 20 6 120 5 68 2 6 11 219 8 122Juni 15 323 1 36 2 12 8 22 0 0 4 32 3 20 5 92 0 0 5 151Juli 12 125 0 0 0 0 5 28 0 0 0 0 3 11 4 98 0 0 0 0
Agustus 1 51 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0September 7 105 1 5 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 66 0 0 0 0
Oktober 17 314 10 141 8 300 16 143 0 0 1 8 1 4 5 61 0 0 4 52November 14 266 18 274 16 487 12 233 9 312 17 231 13 104 8 81 6 28 15 514Desember 14 390 18 275 0 0 13 132 24 398 17 535 18 414 24 611 20 224 23 789
Jumlah 162 3260 116 1867 100 1834 121 1614 107 2141 107 1924 99 1610 107 1952 117 1627 123 3112BB 11 8 6 7 6 7 6 5 6 8BL 0 0 0 0 0 0 1 5 0 0BK 1 4 6 5 6 5 5 2 6 4
Keterangan : HH = Hari hujan; CH = Curah hujan; BB = Bulan basah; BL = Bulan lembab; BK = Bulan kering
114
Lampiran 2. Uji keterandalan model produksi daun kayu putih
Persamaan Se S2 R2 R2Adj RMSE Bias Χ2
hit Χ2tabel
Model MMF 0,53 0,51 0,98 0,96 0,26 0,094 0,83 4,57
Model Logistik 0,69 0,87 0,97 0,93 0,43 0,036 1,74 4,57
115
Lampiran 3a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per hektar (kg/ha)
Biomasa Cabang DKP1 1 1584 0,99 130,56 0,00 130,56
2 1552 0,97 113,60 0,00 113,603 1600 1,00 154,56 0,00 154,56
Rata-rata 1578 0,99 132,91 0,00 132,91
2 1 1600 1,00 532,00 0,00 532,002 1600 1,00 560,00 0,00 560,003 1568 0,98 592,32 0,00 592,32
Rata-rata 1589 0,99 561,44 0 561,44
3 1 1584 0,99 1655,04 0,00 1655,042 1568 0,98 1993,60 0,00 1993,603 1600 1,00 1707,2 0,00 1707,2
Rata-rata 1584 0,99 1785,28 0,00 1785,28
4 1 1600 1,00 3573,12 280,16 3292,962 1552 0,97 4883,84 362,88 4520,963 1600 1,00 4729,6 359,68 4369,92
Rata-rata 1584 0.99 4395,52 334,24 4061,28
5 1 1600 1,00 4997,92 823,2 4174,722 1584 0,99 5530,56 876,48 4654,083 1600 1,00 5341,6 923,36 4418,24
Rata-rata 1595 1,00 5290,027 874,35 4415,68
6 1 1584 0,99 5214,88 593,28 4621,62 1600 1,00 6008,96 1184,32 4824,643 1568 0,98 5998,56 1247,52 4751,04
Rata-rata 1584 0,99 5740,8 1008,37 4732,43
7 1 1584 0,99 7245,6 1866,88 5378,722 1568 0,98 7170,88 1942,08 5228,803 1584 0,99 7521,76 2168,16 5350,24
Rata-rata 1578 0,99 7312,747 1992,37 5319,25
8 1 1568 0,98 7690,24 2285,28 5404,962 1600 1,00 7716,16 2206,4 5509,763 1600 1,00 7756 2267,36 5488,64
Rata-rata 1589 0,99 7720,8 2253,01 5467,79
Lanjutan…
116
Tabel 3a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per hektar (kg/ha)
Biomasa Cabang DKP9 1 1584 0,99 8126,40 2666,40 5460,00
2 1600 1,00 8160,64 2537,44 5623,203 1568 0,98 8244,80 2620,48 5624,32
Rata-rata 1584 0,99 8177,28 2608,11 5569,17
10 1 1568 0,98 9330,40 3442,24 5888,162 1600 1,00 9492,64 3772,64 5720,003 1552 0,97 9680,16 3764,64 5915,52
Rata-rata 1573 0,98 9501,067 3659,84 5841,23
11 1 1584 0,99 10120,96 3832 6288,962 1600 1,00 11031,52 3962,40 7069,123 1584 0,99 9243,84 3372,48 5871,36
Rata-rata 1589 0,99 10132,11 3722,29 6409,81
12 1 1584 0,99 9410,24 3710,88 5699,362 1600 1,00 9826,72 3862,72 59643 1568 0,98 8931,68 3470,56 5461,12
Rata-rata 1584 0,99 9389,547 3681,387 5708,16
117
Lampiran 3b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per pohon (kg/ha)
Biomasa Cabang DKP1 1 1584 0,99 0,08 0,00 0,08
2 1552 0,97 0,07 0,00 0,073 1600 1,00 0,10 0,00 0,10
Rata-rata 1578 0,99 0,08 0,00 0,08
2 1 1600 1,00 0,33 0,00 0,332 1600 1,00 0,35 0,00 0,353 1568 0,98 0,38 0,00 0,38
Rata-rata 1589 0,99 0,35 0,00 0,35
3 1 1584 0,99 1,04 0,00 1,042 1568 0,98 1,27 0,00 1,273 1600 1,00 1,07 0,00 1,07
Rata-rata 1584 0,99 1,13 0,00 1,13
4 1 1600 1,00 2,23 0,18 2,062 1552 0,97 3,15 0,23 2,913 1600 1,00 2,96 0,22 2,73
Rata-rata 1584 0.99 2,78 0,21 2,57
5 1 1600 1,00 3,12 0,51 2,612 1584 0,99 3,49 0,55 2,943 1600 1,00 3,34 0,58 2,76
Rata-rata 1595 1,00 3,32 0,55 2,77
6 1 1584 0,99 3,29 0,38 2,922 1600 1,00 3,76 0,74 3,023 1568 0,98 3,83 0,80 3,03
Rata-rata 1584 0,99 3,62 0,64 2,99
7 1 1584 0,99 4,57 1,18 3,402 1568 0,98 4,57 1,24 3,333 1584 0,99 4,75 1,37 3,38
Rata-rata 1578 0,99 4,63 1,26 3,37
8 1 1568 0,98 4,90 1,46 3,452 1600 1,00 4,82 1,38 3,443 1600 1,00 4,85 1,42 3,43
Rata-rata 1589 0,99 4,86 1,42 3,44
118
Lanjutan…
Lampiran 3b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per pohon (kg/ha)
Biomasa Cabang DKP9 1 1584 0,99 5,13 1,68 3,45
2 1600 1,00 5,10 1,59 3,513 1568 0,98 5,26 1,67 3,59
Rata-rata 1584 0,99 5,16 1,65 3,52
10 1 1568 0,98 5,95 2,20 3,762 1600 1,00 5,93 2,36 3,583 1552 0,97 6,24 2,43 3,81
Rata-rata 1573 0,98 6,04 2,33 3,71
11 1 1584 0,99 6,39 2,42 3,972 1600 1,00 6,89 2,48 4,423 1584 0,99 5,84 2,13 3,71
Rata-rata 1589 0,99 6,37 2,34 4,03
12 1 1584 0,99 5,94 2,34 3,602 1600 1,00 6,14 2,41 3,733 1568 0,98 5,70 2,21 3,48
Rata-rata 1584 0,99 5,93 2,32 3,60
119
Lampiran 3c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per plot ukur (kg/ha)
Biomasa Cabang DKP1 1 1584 0,99 8,16 0,00 8,16
2 1552 0,97 7,10 0,00 7,103 1600 1,00 9,66 0,00 9,66
Rata-rata 1578 0,99 8,31 0,00 8,31
2 1 1600 1,00 33,25 0,00 33,252 1600 1,00 35,00 0,00 35,003 1568 0,98 37,02 0,00 37,02
Rata-rata 1589 0,99 35,09 0,00 35,09
3 1 1584 0,99 103,44 0,00 103,442 1568 0,98 124,60 0,00 124,603 1600 1,00 106,70 0,00 106,70
Rata-rata 1584 0,99 111,58 0,00 111,58
4 1 1600 1,00 223,32 17,51 205,812 1552 0,97 305,24 22,68 282,563 1600 1,00 295,60 22,48 273,12
Rata-rata 1584 0.99 274,72 20,89 253,83
5 1 1600 1,00 312,37 51,45 260,922 1584 0,99 345,66 54,78 290,883 1600 1,00 333,85 57,71 276,14
Rata-rata 1595 1,00 330,63 54,65 275,98
6 1 1584 0,99 325,93 37,08 288,852 1600 1,00 375,56 74,02 301,543 1568 0,98 374,91 77,97 296,94
Rata-rata 1584 0,99 358,80 63,02 295,78
7 1 1584 0,99 452,85 116,68 336,172 1568 0,98 448,18 121,38 326,803 1584 0,99 470,11 135,51 334,39
Rata-rata 1578 0,99 457,05 124,52 332,45
8 1 1568 0,98 480,64 142,83 337,812 1600 1,00 482,26 137,90 344,363 1600 1,00 484,75 141,71 343,04
Rata-rata 1589 0,99 482,55 140,81 341,74
120
Lanjutan…
Lampiran 3c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur tunas
(bulan)
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per hektar
Kerapatan(%)
Berat per plot ukur (kg/ha)
Biomasa Cabang DKP9 1 1584 0,99 507,90 166,65 341,25
2 1600 1,00 510,04 158,59 351,453 1568 0,98 515,30 163,78 351,52
Rata-rata 1584 0,99 511,08 163,01 348,07
10 1 1568 0,98 583,15 215,14 368,012 1600 1,00 593,29 235,79 357,503 1552 0,97 605,01 235,29 369,72
Rata-rata 1573 0,98 593,82 228,74 365,08
11 1 1584 0,99 632,56 239,50 393,062 1600 1,00 689,47 247,65 441,823 1584 0,99 577,74 210,78 366,96
Rata-rata 1589 0,99 633,26 232,64 400,61
12 1 1584 0,99 588,14 231,93 356,212 1600 1,00 614,17 241,42 372,753 1568 0,98 558,23 216,91 341,32
Rata-rata 1584 0,99 586,85 230,09 356,76
121
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil pengukuran biomasa tegakan kayu putih di BKPH Sukun
No Kelompok umur
tegakan
Umur tegakan
Kerapatan tegakan
(%)
Berat per plot ukur (kg)
Berat per pohon(kg)
Biomasa(kg)
Cabang(kg)
DKP(kg)
Biomasa(kg)
Cabang(kg)
DKP(kg)
1 I5 0,98 8623,15 3417,01 5206,13
5,56 2,20 3,35
2 II8 0,94 11068,37 4576,85 6491,52 7,36 3,04 4,31
3 III13 0,69 12184,64 4263,25 7921,39 5,53 1,94 3,59
4 IV17 0,77 16673,44 5609,653 11063,79 6,77 2,28 4,49
5 V22 0,45 15812,80 6830,03 8982,77 7,07 3,05 4,02
6 VI26 0,33 12726,56 6690,83 6035,73 7,45 3,91 3,54
7 VII34 0,35 11543,52 4204,21 7339,31 6,65 2,43 4,22
8 VIII38 0,52 6931,15 2023,41 4907,73 2,69 0,78 1,91
122
Lampiran 5a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII
Kelompok Umur
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per plot
Kerapatan(%)
Berat per plot ukur (kg/ha)
Biomasa Cabang DKPI 1 96 0,96 514,04 202,57 311,47
2 97 0,97 567,50 224,82 342,683 98 0,98 535,30 213,30 322,00
Rata-rata 97 0,97 538,95 213,56 325,38
II 1 95 0,95 767,87 303,53 464,342 94 0,94 630,48 258,83 371,653 93 0,93 676,97 295,80 381,17
Rata-rata 94 0,94 691,77 286,05 405,72
III 1 134 0,67 898,32 351,79 546,532 137 0,69 741,44 237,35 504,093 144 0,72 644,86 210,22 434,64
Rata-rata 138 0,69 761,54 266,45 495,09
IV 1 157 0,79 1032,23 353,87 678,362 153 0,76 1111,64 370,51 741,133 152 0,76 982,40 327,43 654,97
Rata-rata 154 0,77 1042,09 350,60 691,49
V 1 137 0,44 848,56 363,21 485,352 142 0,46 972,63 441,91 530,723 140 0,45 1143,71 475,51 668,20
Rata-rata 140 0,45 988,30 426,88 561,42
VI 1 112 0,36 779,08 440,77 338,312 105 0,33 774,02 389,01 385,013 104 0,33 833,13 424,75 408,38
Rata-rata 107 0,34 795,41 418,18 377,23
VII 1 108 0,35 922,73 327,37 595,362 101 0,32 504,84 209,66 295,183 115 0,37 736,84 251,26 485,58
Rata-rata 108 0,35 523,02 352,09 260,25
VIII 1 159 0,51 418,97 102,67 316,302 161 0,52 464,49 145,94 318,553 163 0,52 416,13 130,78 285,35
Rata-rata 161 0,52 433,20 126,46 306,73
Lampiran 5b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII
123
Kelompok Umur
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per plot
Kerapatan(%)
Berat per hektar(kg/ha)
Biomasa Cabang DKPI 1 96 0,96 8224,64 3241,12 4983,52
2 97 0,97 9080,00 3597,12 5482,883 98 0,98 8564,80 3412,80 5152,00
Rata-rata 97 0,97 8623,15 3417,01 5206,13
II 1 95 0,95 12285,92 4856,48 7429,442 94 0,94 10087,68 4141,28 5946,403 93 0,93 10831,52 4732,80 6098,72
Rata-rata 94 0,94 11068,37 4576,85 6491,52
III 1 134 0,67 14373,12 5628,64 8744,482 137 0,69 11863,04 3797,60 8065,443 144 0,72 10317,76 3363,52 6954,24
Rata-rata 138 0,69 12184,64 4263,25 7921,39
IV 1 157 0,79 16515,68 5661,92 10853,762 153 0,76 17786,24 5928,16 11858,083 152 0,76 15718,4 5238,88 10479,52
Rata-rata 154 0,77 16673,44 5609,653 11063,79
V 1 137 0,44 13576,96 5811,36 7765,602 142 0,46 15562,08 7070,56 8491,523 140 0,45 18299,36 7608,16 10691,20
Rata-rata 140 0,45 15812,80 6830,03 8982,77
VI 1 112 0,36 12465,28 7052,32 5412,962 105 0,33 12384,32 6224,16 6160,163 104 0,33 13330,08 6796,00 6534,08
Rata-rata 107 0,34 12726,56 6690,83 6035,73
VII 1 108 0,35 5237,92 9525,762 101 0,32 8077,44 3354,56 4722,883 115 0,37 11789,44 4020,16 7769,28
Rata-rata 108 0,35 11543,52 4204,21 7339,31
VIII 1 159 0,51 6703,52 1642,72 5060,802 161 0,52 7431,84 2335,04 5096,803 163 0,52 6658,08 2092,48 4565,60
Rata-rata 161 0,52 6931,147 2023,413 4907,733
124
Lampiran 5c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII
Kelompok Umur
Plot ukursementara
Jumlah pohon
Per plot
Kerapatan(%)
Berat per pohon(kg/ha)
Biomasa Cabang DKPI 1 96 0,96 5,35 2,11 3,24
2 97 0,97 5,85 2,32 3,533 98 0,98 5,46 2,18 3,29
Rata-rata 97 0,97 5,56 2,20 3,35
II 1 95 0,95 8,08 3,20 4,892 94 0,94 6,71 2,75 3,953 93 0,93 7,28 3,18 4,10
Rata-rata 94 0,94 7,36 3,04 4,31
III 1 134 0,67 6,70 2,63 4,082 137 0,69 5,41 1,73 3,683 144 0,72 4,48 1,46 3,02
Rata-rata 138 0,69 5,53 1,94 3,59
IV 1 157 0,79 6,57 2,25 4,322 153 0,76 7,27 2,42 4,843 152 0,76 6,46 2,15 4,31
Rata-rata 154 0,77 6,77 2,28 4,49
V 1 137 0,44 6,19 2,65 3,542 142 0,46 6,85 3,11 3,743 140 0,45 8,17 3,40 4,77
Rata-rata 140 0,45 7,07 3,05 4,02
VI 1 112 0,36 6,96 3,94 3,022 105 0,33 7,37 3,70 3,673 104 0,33 8,01 4,08 3,93
Rata-rata 107 0,34 7,45 3,91 3,54
VII 1 108 0,35 8,54 3,03 5,512 101 0,32 5,00 2,08 2,923 115 0,37 6,41 2,18 4,22
Rata-rata 108 0,35 6,65 2,43 4,22
VIII 1 159 0,51 2,64 0,65 1,992 161 0,52 2,89 0,91 1,983 163 0,52 2,55 0,80 1,75
Rata-rata 161 0,52 2,69 0,78 1,91
Top Related