MODEL PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CPNS
( Studi tentang Implementasi PP Nomor 56 Tahun 2012
di Kabupaten Klaten )
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II pada
Jurusan Magister Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana
Oleh :
TOTO MARYANTO
R 100160014
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2017
1
MODEL PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CPNS
( Studi Implementasi PP Nomor 56 Tahun 2012 di Kabupaten Klaten )
Abstrak
Salah satu permasalahan nasional di negara kita adalah pegawai honorer yang selama ini
memang menjadi permasalahan kepegawaian di negara kita saat ini. Keberadaan dari
tenaga honorer tersebut bisa dikatakan antara dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Namun
dalam kenyataannya, dalam melakukan tugas-tugas pelayanan dalam pemerintahan, baik
itu pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, sebagian besar banyak
dilakukan dan dikerjakan oleh tenaga honorer yang mana mereka diangkat oleh masing-
masing instansi/SKPD. Jumlah tenaga honorer yang semakin banyak harus menjadi
perhatian serius pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. PP Nomor 56
Tahun 2012 tentang Perubahan kedua atas PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan. Tenaga Honorer menjadi CPNS juga belum dapat menyelesaikan
permasalahan tenaga honorer secara tuntas. Penelitian tesis ini merupakan penelitian
hukum empiris. yang berfokus pada perilaku masyarakat hukum dan memerlukan data
primer sebagai data utama yang berupa wawancara dengan tenaga honorer dan kuisioner
yang penulis sebarkan dan data dari narasumber BKPPD Kabupaten Klaten. Hasil
pembahasan dari analisa data penelitian didapatkan hasil bahwa PP Nomor 56 Tahun
2012 belum relevan untuk diterapkan dalam penyelesaian masalah pengangkatan tenaga
honorer menjadi CPNS, apalagi untuk penyelesaian tenaga honorer yang lain, sehingga
perlu dibuat aturan baru yang lebih relevan untuk dapat menyelesaikan permasalahan
tenaga honorer yang ada saat ini.
Kata Kunci : CPNS, Pengangkatan, tenaga honorer
Abstract
One of the national problems in our country is the honorary employees who have
been the problem of human resources in our country today. The existence of the
honorary staff can be said between required and unneeded. In reality, however, in
carrying out ministry tasks in the government, both in the central government and
local government, most of them are done and done by the honorary staff they are
appointed by each agency / SKPD. The increasing number of honorary staff
should be the government's serious concern to solve the problem. Government
Regulation Number 56 Year 2012 regarding the Second Amendment to
Government Regulation Number 48 Year 2005 regarding Appointment. Honorary
Personnel became CPNS also not yet able to solve the problem of honorary staff
thoroughly. This thesis research is an empirical law study. which focuses on the
behavior of the legal community and requires primary data as the main data in the
form of interviews with honorary staff and questionnaires that the author
distributed and data from sources BKPPD Klaten. The result of the discussion
from the analysis of research data got the result that PP No. 56 Year 2012 has not
been relevant to be applied in solving the problem of appointment of honorary
staff to CPNS, let alone for other honorary workers settlement, so need to make
new rules more relevant to be able to solve the problem of honorary workers there
is this moment.
Keywords: honorary staff, CPNS, Appointment
2
1. PENDAHULUAN
Permasalahan pegawai honorer yang selama ini memang menjadi
permasalahan kepegawaian di negara kita saat ini. Kedudukannya yang masih
menjadi dilematis antara diperlukan atau tidak diperlukan lagi.
Decentralization policy in Indonesia, as it has been implemented in
recent years has impacted strongly on regional levels of government. An
examination of how decentralization policy has affected good governance
implementation at regional of government levels is timely.1
Semakin banyaknya tenaga honorer yang menjamur di berbagai
instansi pemerintah menjadi permasalahan baru bagi pemerintah.
Keberadaannya itu sendiri bisa dikatakan antara masih diperlukan dan tidak
tidak diperlukan. Sebab dalam kenyataannya, dalam melakukan tugas-tugas
pelayanan dalam di berbagai instansi pemerintahan, pada kenyataannya
sebagian besar masih banyak dilakukan dan dikerjakan oleh tenaga honorer
yang mana mereka diangkat oleh masing-masing instansi dan SKPD
pemerintah yang terkait. PP Nomor 48 Tahun 2005 sebenarnya sudah
mengatur tentang larangan pejabat pemerintah untuk mengangkat pegawai
honorerkecuali ditentukan oleh PP.
Dengan dikeluarkan PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua atas PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan pemerintah tentang tenaga honorer yang ada di instansi-instansi
pemerintah. Dalam PP Nomor 56 tahun 2012 sebagai perubahan atas PP
Nomor 48 tahun 2005 ada beberapa perubahan yang mendasar tentang
ketentuan dalam pengangkatan tenaga honorer. Berikut penulis uraikan
perubahan mendasar pada kedua peraturan pemerintah tersebut.
1 Mardiasmo, Diaswati and Barners, Paul H, and Sakurai, Yuka (2008), Implementation of Good
Governance By Regional Governments in Indonesia: The Challenges. In Brown, Kerry A. And
Mandell, Myrna and Furneaux, Craig W. and Beach, Sandra, Eds. Proceedings Contemporary
Issues in Public Management: the Twelfth Annual Conference of the International Research
Society for Public Management (IRSPM XIII), pages pp. 1-36, Brisbane, Australia.
3
Tabel 01
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS
PP Nomor 48 Tahun 2005 PP Nomor 56 Tahun 2012
No. Isinya No. Isinya
1
2
3
Didasarkan pada usia dan masa
kerja, sebagaimana telah diatur
dalam pasal 3 ayat 2.
Diprioritaskan untuk tenaga
honorer yang sumber
penghasilannya dari APBN dan
APBD, sebagaimana diatur dalam
pasal 6 ayat 1
Pada prinsipnya diprioritaskan
untuk tenaga honorer yang
berusia paling tinggi dan
mempunyai masa kerja paling
banyak.
Pengangkatan dilakukan melalui
seleksi administrasi, disiplin,
integritas dan tes tertulis.
1
2
3
Untuk tenaga honorer yang
penghasilannya bersumber baik
dari APBN/ABBD dan
penghasilannya tidak bersumber
dari APBN/APBD, sebagaimana
diatur dalam pasal 6.
Tenaga honorer yang
penghasilannya bersumber dari
APBN/APBD dilakukan melalui
pemeriksaan administrasi setelah
dilakukan verifikasi dan validasi.
Tenaga honorer yang sumber
penghasilannya tidak berasal dari
APBN/ABBD, dilakukan melalui
pemeriksaan administrasi setelah
dilakukan verifikasi dan validasi,
serta ujian tertulis.
Dengan melihat tabel perbedaan di atas masih perlu keseriusan dari
pemerintah untuk menangani tenaga honorer yang ada. Nyatanya dalam
perkembangannya, tenaga honorer yang ada semakin lama semakin
bertambah walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan
untuk mengangkatnya menjadi CPNS. Hal ini dapat disebbakan oleh
beberapa faktor, antara lain kurangnya lapangan kerja yang ada dibanding
dengan banyaknya jumlah lulusan pencari kerja, tingkat sumber daya manusia
yang dimiliki oleh pencari kerja belum bisa memenuhi harapan yang
dibutuhkan oleh instansi maupun perusahaan, dan alternatif terakhir bagi
pencari kerja yang kesulitan mencari kerja sehingga menjadi tenaga honorer
4
menjadi pilihan yang harus dilakukan walaupun sudah diketahui hak-hak
yang diterima menjadi tenaga honorer mungkin belum bisa untuk mencukupi
kehidupan hidup.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap penulis terhadap salah
satu tenaga honorer yang bernama M. Lina Budi Astuti yang berkerja di
salah satu instansi pendidikan negeri di wilayah Kabupaten Klaten.
Dikatakannya bahwa2 :
“Selain mengabdikan diri kepada negara, menjadi tenaga honorer hanya
sebagai alternatif pilihan terakhir dikarenakan kurangnya lapangan keja
yang disediakan oleh pemerintah, dan harapan yang utama adalah agar
dapat diangkat menjadi CPNS dari jalur tenaga honorer, setelah ada
perhatian dan penghargaan dari pemerintah atas pengabdiannya.”
Namun berbeda lagi dengan pendapat tenaga honorer yang lain,
seperti yang diungkapkan oleh Agung Prasetya. Disampaikannya bahwa :
“Menjadi tenaga honorer merupakan pengabdian yang mulia dan akan terus
dilakukannya walaupun hak-hak yang diterima belum sebanding dengan
pengabdian yang dilakukan, namun harapan perhatian dari pemerintah untuk
mengangkat sebagai CPNS sangat ditunggu-tunggu bagi semua tenaga
honorer.”3
Dari hasil wawancara di atas dapat penulis sampaikan bahwa
mayoritas tenaga honorer yang ada, menjadi CPNS adalah harapan satu-
satunya. Mereka rela untuk menerima upah yang jauh dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup tanpa mengetahui sampai kapan mereka dapat
mendapat perhatian dari pemerintah untuk dapat diangkat menjadi pegawai
negeri sipil.
Apa yang menjadi harapan dari filosofis pemerintah tersebut yaitu
adanya penghargaan terhadap tenaga honorer yang telah mengabdi pada
pemerintah melalui perekrutan tenaga honorer menjadi CPNS, pada
2 Wawancara dengan M. Budi Astuti, Guru Tidak Tetap (GTT) di SMA N 1 Polanharjo,
Kabupaten Klaten, pada tanggal 10 Juli 2017 3 Wawancara dengan Agung Prasetya, Guru Tidak Tetap (GTT) di SMK Negeri 1 Juwiring,
Kabupaten Klaten, pada tanggal 11 Juli 2017
5
kenyataannya belum bisa menuntaskan atau mengakomodir semua honorer
yang ada.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Jenis Penelitian
Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian
hukum empiris adalah penelitian yang berfokus pada perilaku masyarakat
hukum dan memerlukan data primer sebagai data utama disamping data
sekunder.
2.2 Sumber Data
a. Data Primer
(1) Jawaban kuesioner dari Pegawai Honorer
(2) Narasumber yang bersangkutan dengan cara observasi
wawancara.
b. Data Sekunder
(1) Bahan Hukum Primer
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara
b) Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
c) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil
d) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perubahan Pertama Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Pegawai Negeri Sipil
e) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Pegawai Negeri Sipil
6
(2) Bahan Hukum Sekunder
a) Hasil penelitian hukum berupa skripsi dan thesis yang
berkaitan dengan pengangkatan Tenaga Honorer kategori II
menjadi CPNS di Kabupaten Klaten, antara lain:
b) Buku-buku penunjang penulisan penelitian yang berkaitan
dengan pengangkatan Tenaga Honorer kategori II menjadi
CPNS di Kabupaten Klaten, antara lain:
(3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2007, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
2.3 Cara Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan atau studi dokumen dan studi lapangan.
a. Studi Kepustakaan
b. Studi Lapangan berupa kuisioner dan wawancara
2.4 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian hukum empiris digunakan analisis data
kualitatif yaitu analisis yang yang dilakukan dengan memahami dan
merangkai data yang telah dikumpulkan secara sistematik sehingga
diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan yang diteliti.4
4 Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.10
7
3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Pelaksanaan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS di
Kabupaten Klaten
Pasal 6 ayat 1 PP Nomor 48 tahun 2005 dijelaskan bahwa
pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dilakukan secara bertahap
mulai TA 2005 sampai dengan TA 2009, dengan memprioritaskan tenaga
honorer yang sumber penghasilannya dibiayai oleh APBN/APBD.
Sedangkan dalam pasal 6 ayat 2 PP tersebut dinyatakan bahwa tenaga
honorer sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 tersebut seluruhnya telah
diangkat menjadi CPNS sebelum tahun 2009, maka tenaga honorer yang
bekerja pada instansi pemerintah dan penghaslannya tidak dibiayai oleh
APBN dan APBD dapat diangkat menjadi CPNS. Maka berdasarkan
peraturan pemerintah tersebut, maka Kabupaten Klaten bersama-sama
dengan Provinsi Jawa Tengah dan seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah melakukan inventarisasi tenaga honorer yang tidak dibiayai
oleh APBN dan APBD. Dari hasil inventarisasi tersebut terdapat
database tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibiayai dari APBN
dan APBD sebanyak 2.627 orang.
Kemudian terbit SE MENPAN dan RB Nomor 03/2012, tanggal
12 Maret 2012, tentang Data Tenaga Honorer Kategori I (K-1) dan
Daftar Nama Tenaga Honorer Kategori II (K-2). Dari surat edaran
tersebut terhadap tenaga honorer K-II diperintahkan untuk melakukan
perekaman data tenaga honorer K-II sesuai dengan data yang jumlahnya
telah disampaikan kepada MENPAN dan RB berdasarkan formulir yang
telah diisi oleh tenaga honorer dan disahkan oleh PPK atau pejabat lain
yang ditunjuk dan pejabat yang bertanggung-jawab di bidang
pengawasan. Pemerintah Kabupaten Klaten selanjutnya melakukan
pendistribusian formulir tersebut untuk diisi tenaga honorer selanjutnya
disahkan oleh Asisten Administrasi Sekda Klaten dan Inspektur
Kabupaten Klaten. Dari kegiatan ini, tenaga honorer yang
mengembalikan formulir sebanyak 2.567 orang, sehingga data ini
8
berbeda dengan hasil inventarisasi pada tahun 2010, dikarenakan
beberapa hal, antara lain :
a. ada tenaga honorer yang mengundurkan diri, meninggal dunia,
menjadi PNS dan sebab lain sehingga tidak memenuhi syarat sesuai
dengan SE MENPAN dan RB No. 05 tahun 2010 tentang pendataan
tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah;
b. adanya tenaga honorer yang tercecer (belum terdata) dalam kegiatan
inventarisasi tahun 2010.
Setelah selesai melaksanakan kegiatan inventarisasi tersebut
kemudian dilakukan penyampaian data tenaga honorer tersebut dilakukan
penyampaian tenaga tenaga honorer K-II kepada PPK Pusat dan Kepala
BKN, berdasarkan SE MENPAN RB No. B/751/M.PAN-RB/02/2012,
tanggal 18 Maret 2013. Kemudian surat edaran tersebut diitndaklanjuti
oleh Kepala BKN dengan mengeluarkan Surat Kepala BKN Nomor
K.26-30/V.50/3/93 tanggal 19 Maret 2013 tentang Pengumuman/Uji
Publik terhadap Tenaga Honorer K-II yang ditujukan kepada PPK Pusat
dan Daerah. Menindaklanjuti surat tersebut Pemerintah Kabupaten
Klaten mengadakan Uji Publik daftar tenaga honorer K II pada tanggal
27 Maret 2013 sampai dengan 02 April 2014. Kemudian Pemerintahan
Kabupaten Klaten pada tanggal 03 Nopember 2013, dilaksanakan tes
kemampuan dasar bagi tenaga honorer K-II yang diikuti oleh 2.531 orang
dan 34 orang tidak hadir. Selanjutnya dari seluruh peserta yang
mengikuti tes seleksi tersebut, sebanyak 1.098 peserta yang dinyatakan
lulus seleksi berdasarkan Surat MENPAN dan RB Nomor
B/789/M.PAN/2/2014 tanggal 09 Februari 2014 perihal pengumuman
seleksi CPNS tahun 2013 dari tenaga honorer K-II. Dalam point 4 surat
tersebut disebutkan bahwa “masing-masing instansi sebelum
menyampaikan berkas usulan NIP ke BKN wajib memverifikasi ulang
kebenaran dokumen dari masing-masing tenaga honorer K-II, dan apabila
diketahui tidak memenuhi syarat administrasi yang ditentukan, maka
yang bersangkutan tidak dapat diangkat atau batal menjadi CPNS.” Hal
ini juga disebutkan dalam Peraturan Kepala BKN No. 9 tahun 2012 pada
9
Bab IV tentang tata cara pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS,
pada butir c disebutkan tentang pemeriksaan kelengkapan yang
dinyatakan bahwa Kepala/Biro Bagian Kepegawaian/BKD instansi yang
bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk melakukan penelitian
kelengkapan berkas persyaratan administrasi dan keabsahan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Seperti penulis jelaskan dalam kerangka pemikiran di atas bahwa
untuk menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan PP Nomor 56
Tahun 2012 di Kabupaten Klaten penulis menggunakan rujukan teori
Soerjono Soekanto mengenai lima faktor yang mempengaruhi
penegakkan hukum yaitu, Faktor hukumnya sendiri, faktor penegak
hukum, faktor masyarakat, faktor budaya dan faktor sarana prasarana.
Sehingga PP Nomor 56 Tahun 2012 sebagai produk hukum bekerjanya
juga tidak terlepas dari kelima faktor tersebut. Salah satunya yaitu faktor
isi atau substansi hukumnya sendiri.
Ajaran Stufenbau Theorie5 yang dikemukakan Hans Kelsen yang
menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-
norma. Validitas (kesalahan) dari setiap norma (terpisah dari norma
dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi. Hans Kelsen
mengungkapkan hukum mengatur pembentukannya sendiri karena satu
norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain.
Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara ditentukan
dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi
validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan antara
norma yang mengatur pembentukan norma yang lain lagi adalah
“superordinasi dan subordinasi. Norma yang menentukan pembentukan
norma lain adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat
adalah norma yang lebih rendah . Jenjang perundang-undangan adalah
urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada Undang – Undang
yang bersangkutan, dengan mengingat badan yang berwenang yang
5 Soedarsono, Jurnal Unibraw, Kedudukan dan Perlindungan Hukum Tenaga Honorer Setelah
Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2014, Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2017.
10
membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang – Undang
juga dibedakan dalam Undang – Undang tingkat atasan dan tingkat
bawahan yang dikenal hirearki. Undang – Undang yang lebih rendah
tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang – Undang yang
lebih tinggi .
Isi dari PP Nomor 56 Tahun 2012 utamanya dalam pasal 6 yang
menentukan kriteria tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi CPNS
menimbulkan kersahan di kalangan tenaga honorer utamanya tenaga
honorer yang tidak dapat masuk dalam kategori yang diatur dalam
peraturan tersebut. Sehingga hal ini dapat menimbulkan keinginan dari
sebagian tenaga honorer untuk dapat masuk dalam kategori tersebut
bagaimanapun caranya. Akibatnya, dimungkinkan akan muncul “tenaga
honorer siluman” yaitu tenaga honorer yang seharusnya tidak masuk
dalam kategori yang sudah ditentukan dalam peraturan tersebut. Hal ini
yang harus diantisipasi oleh pemerintah melalui pejabat yang dilimpahi
kewenangan untuk menangani kegiatan pengangkatan tenaga honorer
tersebut.
PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang pengangkatan tenaga honorer
menjadi CPNS sebenarnya pada awal mulanya berdasarkan pada filosofis
dari pemerintah yang ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
dari tenaga honorer sebagai wujud apresiasi/penghargaan terhadap masa
kerja dan pegabdian mereka kepada pemerintah. Namun dengan
dikeluarkannya PP Nomor 56 Tahun 2012 tersebut tetap belum dapat
dijadikan sebagai salah satu produk hukum yang dapat digunakan untuk
menyelesaian permasalahan tenaga honorer yang ada sehingga perlu
dibuatkan produk hukum yang lebih memihak kepada semua tenaga
honorer tanpa ada kriteria-kriteria baik itu kriteria umur, sumber
penghasilan, maupun masa kerja, dengan pengecualian tenaga honorer
yang sudah mencapai BUP.
11
3.2 Dampak dari pelaksanaan PP 56 tahun 2012 terhadap tenaga
honorer di Kabupaten Klaten
Merujuk dari teori Soerjono Soekanto bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi dalam penegakan hukum yaitu faktor masyarakat.
Sehingga budaya dalam masyarakat menjadi salah satu faktor utama
dalam penegakan hukum. Kepatuhan dan daya tanggap masyarakat
(tenaga honorer) sebagai sasaran dari PP Nomor 56 tahun 2012 tersebut
tentunya juga dipengaruhi oleh manfaat yang diterima oleh tenaga
honorer itu sendiri. Bagi tenaga honorer yang memenuhi persyaratan
yang sudah ditentukan dari PP tersebut tentu akan menerima pelaksanaan
dari peraturan tersebut, namun bagi tenaga honorer yang tidak masuk
dalam kriteria yang ditentukan dalam rumusan peraturan tersebut jelas
akan menolak dan melakukan protes terhadap aturan tersebut agar segera
direvisi atau bahkan dikeluarkan aturan yang baru untuk dapat lebih
memihak kepada nasib mereka. Disini terlihat jelaas adanya budaya
penolakan dari masayarakat yang mana dalam hal ini adalah tenaga
honorer yang merasa dirugikan yang bertujuan untuk segera merevisi
atau menggnati aturan tersebut untuk lebih memihak dan mengakomodir
tenaga honorer yang tidak masuk dalam kategori yang ditentukan dalam
PP tersebut.
Bagi tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS
karena pengangkatannya sebagai tenaga honorer dimana honorer yang
bekerja diatas tahun 2005 dan telah menyalahi aturan pada PP No. 56
tahun 2012 maka tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya
adalah : tidak melakukan pengangkatan tenaga honorer, tenaga kontrak
maupun pegawai tidak tetap lagi sesuai dengan yang diamanatkan PP No.
48 tahun 2005, pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia
produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki
dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun
dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa
uang ataupun cinderamata sebagai tanda terima kasih daerah, karena
12
telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan bersama-sama
membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan
APBD dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.
3.3 Model yang relevan untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi
CPNS
Seperti dijelaskan pada kajian teori diatas bahwa untuk
menjelaskan tentang model pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS
berdasarkan PP Nomor 56 Tahun 2012, khususnya di Kabupaten Klaten
penulis menggunakan teori Soerjono Soekanto mengenai 5 (lima) faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses penegakan hukum tersebut antara lain : faktor
hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas,
faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sehingga, Peraturan
Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, sebagai produk hukum bekerjanya
juga tidak terlepas dari kelima faktor tersebut. berikut penulis akan lebih
memaparkan dengan jelas sebagai berikut :
a) Dari faktor hukumnya sendiri
Penilaian tentang berlakunya PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
secara yuridis, berdasar Stufent Theory dari Hans Kelsen6 bahwa
sistem hukum pada hakekatnya merupakan sistem hirarkis yang
tersusun mulai peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Dari
faktor Penegak Hukum
b) Dari faktor Sarana dan Fasilitas
Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu maka tidak mungkin
penegakkan hukum akan dapat berlangsung dengan lancar. Sarana
dan prasarana tersebut mencakup tenaga manusia yang terampil dan
berpendidikan, organisasi yang baik dan peralatan yang memadai
serta keuangan yang cukup.
c) Dari faktor Masyarakat
6 Budiman N.P.D.Sinaga, 2004 hal. 18
13
Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang terkait dengan
pelaksanaan PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi CPNS.
Selain dari uraian di atas, penulis akan menawarkan model lain
yang mungkin dirasa relevan untuk mengatasi permasalahan tenaga
honorer yang ada sampai sekarang. Sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun
2014 tentang ASN ini diharapkan dapat mampu mengurangi beban
pemerintah tentang permasalahan tenaga honorer. Dalam pasal 6 undang
undang ini dijelaskan bahwa ASN terdiri dan PNS dan PPPK. Dengan
lahirnya undang-undang ini diharapkan ada keberpihakan terhadap
tenaga honorer yang sudah lama mengabdikan diri kepada negara.
Namun mengenai petunjuk pelaksanaan mengenai undang-undang ini
sampai sekarang masih belum ada. PPPK sebagai alternatif terakhir bagi
tenaga honorer yang mungkin tidak dapat diangkat pada seleksi
pengangkatan tenaga honorer sebagai CPNS diharapkan dapat
menampung nasib mereka.
Masih banyaknya tenaga eks honorer kategori II yang belum
terangkat menjadi CPNS, dan sampai sekarang belum ada lagi kejelasan
mengenai tenaga honorer kategori II yang tidak lolos seleksi
pengangkatan sebagai CPNS. Selain itu, juga masih banyak pula tenaga
honorer non kategori yang sampai sekarang juga belum ada kejelasan
tentang status kepegawaiannya serta kesejahteraan yang mereka terima
masih jauh dari cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Padahal
disisi lain dalam Undang UUD 1945 juga disebutkan bahwa setiap warga
berhak mendapatkan pekerjaan dan kehdiupan yang layak. Dengan
pendapatan yang sangat minim dibawah UMK sangat sulit untuk dapat
dikatakan hidup dengan layak.
Sehingga, diharapkan dalam UU ASN tersebut dapat dimasukan
pasal tenaga honorer yang sudah lama mengabdi dan notabene sudah
berusia lebih dari 46 (empat puluh enan) tahun dapat langsung otomatis
diangkat menjadi CPNS tanpa harus melaui tes tertulis dengan tingkat
kesulitan soal yang dirasa tidak akan mampu dikerjakan oleh mereka.
14
Pertimbangan dengan adanya pengangkatan langsung tenaga
honorer menjadi CPNS dan/atau PPPk dengan melihat pengabdian
mereka yang sudah lama terhadap pemerintah, paling tidak pemberian
apresiasi dan penghargaan terhadap loyalitas pengabdian mereka.
Karena, salah salah satu unsur yang utama bagi pegawai adalah loyal
terhadap pemerintah.
Model lain yang penulis sampaikan kepada pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan tenaga honorer yang ada yaitu dengan
memberikan sanksi yang tegas terhadap PPK dan Kepala SKPD di
instansi-instansi pemerintah yang mengangkat tenaga honorer.
Sebenarnya sudah ada larangan yang mengatur tentang pengangkatan
tenaga honorer tersebut. Dalam Pasal 8 PP Nomor. 48 tahun 2005 sudah
jelas disebutkan bahwa sejak dikeluarkannya peraturan tersebut, semua
PPK dan pejabat lain di lingkungan instansi dilarang untuk mengangkat
tenaga honorer dan sejenisnya kecuali ditentukan oleh peraturan
pemerintah. Menurut penulis seharusnya dimasukkan lagi ketentuan yang
mengatur tentang pemberian sanksi terhadap PPK dan pejabat lainnya
yang melanggar aturan tersebut, mungkin dengan disertai sanksi sanksi
pidana, pencopotan jabatan dan sebagainya. Sangat tepat jika dalam PP
perlu ditambahkan pasal-pasal yang mengatur tentang pemberian sanksi
– sanksi terhadap pelanggaran pasal 8 peraturan tersebut. Sehingga
akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat
ditegakkan. Selain itu adanya sanksi yang dapat menimbulkan efek jera
bagi pelaku, diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran terhadap
pelanggaran pasal tersebut.
4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Model
Pengangkatan Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten tentang pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
15
4.1.1 Pelaksanaan PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang pengangkatan tenaga
honorer menjadi CPNS di Kabupaten Klaten, dirasa masih belum bisa
menyelesaikan permasalahan tenaga honorer saat ini. Hal ini disebabkan
karena :
a. Faktor hukumnya sendiri
Hal-hal yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2012 khususnya tentang syarat-syarat yang tersebut dalam
pasal peraturan pemerintah tersebut. Secara substansi hukumnya
sendiri, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012
mengenai penggolongan tenaga honorer masih terbagi dalam
kategori-kategori yang belum sepenuhnya berpihak kepada
seluruh tenaga honorer yang ada.
b. Faktor penegak hukum
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil baik di tingkat pusat maupun daerah dalam hal pendataan
tenaga honorer seperti yang sudah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 yang ditindaklanjuti dengan
Surat Edaran MENPAN dan RB tersebut masih belum berjalan
secara maksimal dengan masih adanya tenaga honorer yang tidak
memenuhi kriteria yang dimaksud dapat terdata dan masuk
sebagai tenaga honorer kategori I dan dan Tenaga Honorer
Kategori II.
c. Faktor Sarana dan Fasilitas
Aspek pendaaan keuangan dari kegiatan pengadaan pegawai
negeri sipil yang dibebankan pada APBD sangat memberatkan
daerah sehingga dapat mempengaruhi dalam proses kelancaran
mekanisme pelaksanaan kegiatan pengadaan pegawai negeri sipil
tersebut.
16
d. Faktor Masyarakat
Masih sangat minimnya respon dari masyarakat tentang
kegiatan uji publik dari daftar nominatif tenaga honorer yang
disampaikan dari pusat dan ditindaklanjuti dari Badan
Kepegawaian Daerah sehingga pengadaan pegawai negeri sipil
dari tenaga honorer masih dimungkinkan terdapat tenaga honorer
yang tidak masuk dalam kriteria yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tersebut dapat mengikuti
proses seleksi pengadaan pegawai negeri sipil.
4.1.2 Dampak dari pelaksanaan PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang
pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS di Kabupaten Klaten,
menimbulkan kekhawatiran bagi tenaga honorer K-II yang tidak lolos
seleksi dan tenaga honorer non kategori, sebab sampai dengan saat ini
belum adanya kepastian dari pemerintah mengenai kejelasan nasib
tenaga honorer tersebut, sedangkan usia yang semakin bertambah
menimbulkan kekhawatiran masih dapat diangkat menjadi CPNS atau
tidak.
4.1.3 Model yang relevan untuk diterapkan sehingga dapat menyelesaikan
tenaga honorer yang ada, antara lain :
a. Tenaga honorer K-II yang tidak lolos seleksi dapat langsung
diangkat menjadi CPNS dan atau diangkat menjadi PPPK tanpa
harus melalui seleski tes tertulis yang sulit dilalui oleh tenaga
honorer yang sudah usia lanjut dengan memperhatiakn loyalitas
pengabdian yang dilakukan.
b. Tenaga honorer non kategori dapat diberi kesempatan untuk dapat
mengikuti seleksi pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS
atau PPPK dengan melihat pengabdian yang dilakukan secara
terus menerus di instansi pemerintah dimana tenaga honorer
bekerja.
c. Pelarangan pengangkatan tenaga honorer oleh pejabat instansi
pemerintah dengan disertai sanksi hukum bagi yang melanggar
Sehingga akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap pasal
17
tersebut dapat ditegakkan. Selain itu adanya sanksi yang dapat
menimbulkan efek jera bagi pelaku, diharapkan dapat
meminimalisir pelanggaran terhadap pelanggaran pasal tersebut.
4.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dan telah
disimpulkan di atas, untuk dapat menyelesaikan permasalahan tenaga
honorer yang ada saat ini, penulis menyampaikan saran-saran sebagai
berikut :
4.2.1 Perlu adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012
terutama dalam hal tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil khusunya Tenaga Honorer Kategori
II dapat langsung diangkat menjadi CPNS dengan mekanisme
yang sama seperti tenaga honorer K-I.
4.2.2 Perlu segera dibuat peraturan untuk mengakomodir tenaga honorer
Kategori II yang tidak dapat lolos seleksi pengangkatan tenaga
honorer menjadi CPNS dapat diangkat langsung tanpa melalui
proses mekanisme ujian tertulis yang tentunya jelas sangat
memberatkan tenaga honorer yang sudah berumur lanjut yang
notabene sudah mempunyai masa kerja yang sudah cukup lama,
dengan memperhatikan loyalitas pengabdian yang bekerja secara
terus menerus sampai dengan sekarang.
4.2.3 Agar di dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 diatur mengenai
pengangkatan langsung tenaga honorer menjadi CPNS dan/atau
PPPK tanpa harus melalui seleksi ujian tertulis yang jelas tidak
akan mampu dilalui oleh tenaga honorer yang sudah usia lanjut
dengan pertimbangan sebagai apresiasi dan penghargaan terhadap
pengabdiannya.
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
18
Absori, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Muhammadiyah
University Press, 2009
Bambang Sunggono, 1997, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Insan Cendikia
Irfani Islami, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta, Bumi
Aksara, 2004.
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang PT.
Suryandaru Utama, 2005
Joko Purwanto, Analisis Kebijakan Publik : Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Yogyakarta, Bumi Aksara, 1989.
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2004.
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 1983
Malayu Hasibuan,2011, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara,
Jakarta, hlm. 27
Ninik Maryanti dan Basri Salipi, 1988, Perkembangan Sistem Penggajian
Pegawai Negeri Sipil, PT Bina Aksara, Jakarta, hlm. 5
Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976
Riant Nugroho, Kebijakan Publik, Formulast, Implementasi dan Evaluasi,
Jakarta, Edisi Kedua, Gramedia, 2004.
R. Slamet Santoso, Model dalam Kebijakan Publik
SolichinAbdul Wahab, Public Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami dan
Analisis Kebijakan Pemerintah, Surabaya : Airlangga University Press, 1997.
Sumadi Surya Brata, Penelitian Kualitatif, Jakarta, Edisi Keempat, Bumi Aksara,
2004.
Soetandyo Wignjosoebroto, Mengembangkan Ketaatan Hukum di Sanubari
Warga Masyarakat Lewat Proses Belajar, Makalah, Surabaya, Fisip UNAIR,
1974.
19
b. Jurnal
Eko Prasojo, Teguh Kurniawan, Defny Holidin, An Analisys of The Government
System in Indonesia, Draft of The Final Repport, June 2007, administrative
Sciences Departement University of Indonesia and Korea-Australia Research
Centre University of New South Wales.
Nurhadiantomo, Wardah Yuspin, Hukum Progresif dan Kearifan Lokal,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013
Mardiasmo, Diaswati and Barners, Paul H, and Sakurai, Yuka (2008),
Implementation of Good Governance By Regional Governments in Indonesia: The
Challenges. In Brown, Kerry A. And Mandell, Myrna and Furneaux, Craig W.
and Beach, Sandra, Eds. Proceedings Contemporary Issues in Public
Management: the Twelfth Annual Conference of the International Research
Society for Public Management (IRSPM XIII), pages pp. 1-36, Brisbane,
Australia.
United Nations, ESCAP, PBB Web Site/Website PBB Locator, Proverty and
Development Division, Good Governance, htt://www.unescap.org/pdd/prs/Project
Activities/Ongoing/gg/governance.asp, 28/05/2010
Yeremias T Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori
dan Isu, Gava Media, Yogyakarta, 2004,hlm. 55
William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1998,hlm. 24
Top Related