1
2
3
4
5
6
7
METODA PENEMUAN FAKTA
SECARA INKUISITOIR DAN AKUISITOIR
A. Metoda Manakah Yang Lebih Baik ?
Suatu kenyataan bahwa upaya untuk mencari dan menemukan fakta yang digarap oleh
peradilan pidana dilakukan dengan berbagai sistem dan metoda yang dilakukan berbeda
antara negara satu dengan yang lain. Merupakan masalah penting adalah usaha menjawab
metoda manakah yang lebih baik?
Sistem peradilan pidana Anglo-Amerika dan Eropa-kontinental menunjukan dua cara
pendekatan untuk menemukan fakta yang pada dasarnya berbeda: metoda akuisitoir
(berlawanan) dan metoda inkuisitoir. Kedua metoda tadi seperti yang masih ditemukan masa
kini lebih merupakan akibat pertumbuhan sejarah dan merupakan akibat pertanyaan dan
penelitian ilmiah mengenai apa yang merupakan cara terbaik untuk menemukan fakta.
Dengan kata lain masing-masing metoda dan sistem memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing yang tumbuh dalam sejarah penerapan hukum acara pidana dalam kurun
waktu yang lama dan mapan pada masyarakat yang bersangkutan. Jadi sistem akuisitoir yang
cocok di Amerika belum tentu di Eropa, demikian pula sistem inkuisitoir dan sebaliknya yang
tumbuh dengan berbagai faktor pengaruh yang berbeda.
Di Amerika Serikat, Wigmore menyebut “pemeriksaan ulangan untuk mengetahui
kebenaran pemeriksaan sebelumnya” sebagai alat penggerak hukum terbesar yang pernah
ditemukan untuk mencari kebenaran hakiki. Sebagian besar sarjana Jerman menganggap
metoda inkuisitoir untuk menanggapi barang bukti sebagai prosedur terbaik untuk
menemukan fakta. Namun kedua pendapat tadi didasarkan pada keyakinan yang bersifat
umum dan bukan didasarkan pada penelitian ilmiah yang empiris. Masalah penerapan sistem,
apakah pemeriksaan secara inkuisitoir yang merupakan metoda yang lebih baik untuk
menemukan kebenaran hakiki tidak dapat dijawab oleh para ahli hukum. Mereka harus
berpaling kepada para ilmuwan sosial.
BAB
1
8
Beberapa tahun yang silam di Amerika Serikat, Thibaut dan Walker Psikoloog dan
seorang ahli hukum telah mengadakan serangkaian eksperimen mengenai pendekatan secara
akuisitoir ataukah pendekatan secara inkuisitoir yang merupakan metoda terbaik untuk
menemukan fakta. Berdasarkan eksperimen-eksperimen ini mereka tiba pada kesimpulan-
kesimpulan yang sangat menyolok. Mereka menyatakan bahwa “untuk proses pengadilan
perkara pidana prosedur yang biasa disebut secara akuisitoir jelas berada di paling atas”.
Berdasarkan eksperimen tadi prosedur akuisitoir mengakibatkan ditemukannya lebih
banyak fakta yang dengan demikian memberikan perlindungan yang lebih baik dalam
menghindari bahaya adanya keputusan yang keliru. Disamping itu diharap dapat
menghindarkan kemungkinan timbulnya prasangka para hakim secara lebih baik
dibandingkan dengan prosedur tipe lain. Partisipan maupun para pengamat telah merasakan
bahwa metoda secara akuisitoir lebih adil dibandingkan dengan prosedur secara inkuisitoir.
Penjelasan secara mendetail mengenai eksperimen dimana kesimpulan-kesimpulan ini
didasarkan tidak akan diuraikan disini, karena akan banyak sekali hasil penelitian tersebut dan
tidak efektif untuk artikel ini. Jelaslah bahwa eksperimen-eksperimen tadi dipikirkan dengan
mahir dan dilaksanakan dengan cara sempurna menurut metoda penelitian ilmiah yang
representatif. Betapapun bisa ditemukan adanya kesangsian yang kuat yang sangat erat
hubungannya dengan penghidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan yang sah mengenai acara yang bersifat inkuisitoir.
Eksperimen tadi diselenggarakan bersama mahasiswa dari fakultas hukum dan sekolah
tinggi hukum dilengkapi dengan laboratoriumnya. Proses penemuan fakta dilakukan dengan
mengumpulkan beberapa informasi berdasarkan fakta baik yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan bagi satu pihak atau lainnya yang harus dianggap benar.
Eksperimen tadi menyampingkan problem-problem khas dalam menanggapi dan
menilai bukti yang berkaitan dengan keterangan-keterangan saksi yang samar-samar, tidak
tegas dan berlawanan. Mereka juga tidak mempermasalahkan dilemma bahwa tersangka harus
menghadapi alat-alat perlengkapan yeng kuat dari para penuntut umum (kejaksaan).
Masalah-masalah seperti ini terdapat dalam acara yang bersifat akuisitoir maupun
inkuisitoir. Selanjutnya, Thibault dan Walker mengemukakan fakta bahwa dalam acara pidana
sering timbul kesulitan bagi tersangka untuk menemukan bukti yang menguntungkan bagi
dirinya sebelum persidangan. Mereka menyebutkan bagian dari masalah ketika mereka
menyarankan “bahwa sumber-sumber yang memadai harus tersedia bagi penggugat. Namun,
tidak difokuskan pada pertanyaan seperti apa yang harus dilakukan oleh seorang tersangka
yang tidak mempunyai dana untuk mencari bukti atau membayar seorang tenaga ahli hukum
yang oleh pihak penuntut umum maupun hakim dianggap tidak perlu. Inipun merupakan
masalah, tidak hanya bag akuisitoir.
9
Sebegitu jauh sampai kini, pertanyaan mengenai yang mana sebenarnya metoda
pencarian fakta yang lebih baik belum terjawab secara memuaskan melalui riset yang empiris.
Oleh sebab itulah pada kesempatan ini hanya dapat disampaikan komentar yang bersifat
sementara. Kita dapat mempertentangkan demi kemanfaatan sistem inkuisitoir yaitu, bahwa
hakim yang harus memutus perkara benar-benar mengetahui informasi apa yang ia butuhkan
dan pertanyaan apa yang akan diajukan kepada tersangka dan kepada para saksi.
Dengan melakukan interogasi terhadap tersangka dan saksi hakim akan memperoleh
informasi ini, jadi berbicara pada sumber dimana hakim dalam persidangan akuisitoir harus
menunggu dan melihat apa yang akan disajikan kepadanya oleh para pihak. Hakim yang
mengajukan sendiri sebagian besar pertanyaan tidak boleh memikul resiko yang sama yakni
memperoleh informasi yang berat sebelah, seperti halnya hakim dalam persidangan
inkuisitoir. Sebaliknya, kita harus selalu perhatikan, bahwa pada sistem inkuisitoir hakim
harus melakukan tiga macam pekerjaan sekaligus; ia harus mengadakan pemeriksaan
pendahuluan, harus mengadakan pemeriksaan untuk memperbaiki pemeriksaan sebelumnya,
dan ia harus menilai barang bukti.
Dalam menilai barang bukti mungkin hakim diharuskan menilai berdasarkan efisiensi
pertanyaan sendiri. Terdapat resiko di mana hakim secara psikologis terlampau dibebani
dengan tugas-tugas yang berlainan. Sudah barang tentu menarik sekali untuk mendengar dari
para psikolog mengenai sejauh mana pertimbangan-pertimbangan tentang pelbagai cara
menanggapi barang bukti dapat diterima atau disangkal berdasarkan data yang empiris.
Interogasi terhadap para saksi dan tersangka dapat dihubungkan dengan
menyelenggarakan suatu wawancara. Masalah wawancara macam apa yang mirip dengan
interogasi ini tidak dijelaskan. Riset terhadap masalah-masalah tehnis suatu tanya jawab telah
mengungkapkan bahwa betapapun yang mewawancarai mengharapkan agar tidak memihak,
ia dapat mempengaruhi orang yang diinterogasi melalui kepribadiannya, melalui peranan
sosial dan profesional yang dimainkan dan melalui susunan pertanyaan-pertanyaan serta
melalui ungkapan-ungkapan dalam pertanyaannya, sedemikian rupa sehingga hasil
wawancara akan merupakan bahan yang bermanfaat bagi hakim dalam rangka mencari data
yang dapat menunjang keyakinannya.
Secara tidak sadar ia cenderung mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mencari
informasi yang mendukung hipotesanya. Sekaligus orang yang diwawancarai tadi secara tidak
sadar pula cenderung untuk menyesuaikan jawaban-jawaban pada apa yang menurut
keyakinan di minta oleh si penanya dari orang itu. Pengaruh sponsor ini dikenal sekali di
kalangan psikolog sosial. Kesimpulan-kesimpulan apa saja yang bisa ditarik dari penemuan-
penemuan seperti ini sepanjang yang menyangkut menemukan kebenaran hakiki dalam acara
yang akuisitoir maupun yang inkuisitorial.
10
Berkas yang ada pada hakim yang memeriksa dalam acara inkuisitorial sering menjadi
sasaran kecaman oleh pengacara dalam Common Law. Hakim harus mempelajari berkas
perkara dengan hati-hati sekali sebelum disidangkan, demikian pula jaksa (penuntut umum)
yang mempersiapkan kasus dalam acara yang akuisitoir. Tanpa adanya berkas perkara, hakim
tidak dapat memutuskan dalam susunan bagaimana barang bukti harus ditanggapinya,
demikian pula ia tidak dapat mempersiapkan bahan-bahan untuk menginterogasi tersangka
dan para saksi.
Dengan mempelajari berkas perkara yang telah dipersiapkan oleh polisi dan jaksa
secara kurang cermat dapat menimbulkan resiko yang mengurangi upaya pencarian kebenaran
hakiki, di mana hakim akan sangat dipengaruhi untuk memutus demi kepentingan mereka
(jaksa, polisi). Pada waktu persidangan ia mungkin mengalami kesukaran untuk mendengar
tentang barang bukti dengan pikiran yang terbuka. Pengaruh sampingan dari berkas yang
dibuat polisi atau jaksa yang bisa mengurangi obyektivitas kebenaran dapat terjadi apabila
oknum-oknum penyidik dan penuntut tidak melaksanakan misinya dengan dedikasi seorang
penegak hukum dan penegak kebenaran.
Suatu eksperimen empiris yang dilakukan oleh para kriminolog telah mengungkapkan
beberapa pengaruh prasangka berkas perkara terhadap para hakim. Masih merupakan
pertanyaan yaitu apakah hasil yang telah diperoleh dalam situasi laboratorium ini dapat
dianggap cukup representatif sebagai situasi persidangan yang sesungguhnya. Sebaliknya para
psikolog memberitahukan bahwa persepsi sebagian besar tergantung pada asumsi secara tidak
sadar yang dibawa kepada suatu saat. Mereka mendefinisikan persepsi sebagai suatu
kompromi antara apa yang diharapkan untuk dilihat dan apa yang sesungguhnya dapat dilihat.
Apa yang dapat “diramalkan” dari kemungkinan asas psikologis ini sepanjang yang
menyangkut kemampuan menemukan fakta oleh hakim?
Hingga sejauh manakah terdapat resiko di mana berkas perkara mempengaruhi
pertimbangan yang dipengaruhi pengalaman profesi seorang hakim?
Dapat orang bertanya lebih lanjut apakah dalam persidangan secara akuisitoir berkas
perkara tidak dapat membantu hakim dalam menemukan fakta?
Sekali lagi riset yang bersifat empiris dapat membantu untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut diatas.
B. Penemuan Fakta Dalam Hubungan Dengan Adanya Acara Akuisitoir Dan Inkuisitoir
Apabila orang akan membahas persoalan mengenai metoda manakah yang lebih baik
untuk menemukan fakta, janganlah meremehkan kenyataan tentang perbedaan-perbedaan
besar dalam persidangan antara metoda yang bersifat akuisitoir dan inkuisitoir serta
perbedaan antara sesama negara yang menerapkan salah satu metoda seperti umpamanya
11
metoda akuisitoir di Inggris beda dengan di Amerika dan metoda inkuisitoir di Belanda beda
dengan di Jerman dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan ini harus diperhatikan apbila
perbandingan antara kedua metoda penemuan fakta tadi yang kekuatan penerapannya harus
didukung dan dihormati secara konsisten dengan segala konsekuensinya. Sebagai contoh di
Amerika Serikat hakim yang mengadili suatu perkara menduduki posisi yang agak lemah.
Dalam sebagian besar jurisdiksi, hakim dalam persidangan bersama dewan juri tidak
diperkenankan untuk memberikan komentar mengenai bobot barang bukti atau mengenai
dapat dipercayainya saksi-saksi, agar tidak memberikan kesan kepada dewan juri bahwa ia
condong ke pihak yang satu atau lainnya. Larangan bagi pemberian komentar mengenai
barang bukti memaksa para hakim untuk tetap berhati-hati dalam seluruh persidangan, karena
segala keterangan serta pertanyaan-pertanyaan bahkan intonasi (tekanan suara) suaranya dapat
sangat sekali mempengaruhi dewan juri.
Bahkan dalam jurisdiksi-jurisdiksi Amerika di mana hakim dibolehkan memberikan
komentar terhadap barang bukti, dan juga dalam persidangan di mana ia duduk tanpa juri, ia
tetap bersifat positif dalam arti keobyektifannya untuk tidak memihak. Praktek pengadilan
Inggris betapapun memperlihatkan bahwa praktek peradilan semacam itu adalah keliru.
Sidang pengadilan di Inggris diselenggarakan dalam suatu suasana yang bersifat
profesionalisme, kerjasama dan moderat.
Tidak seperti halnya dengan pengacara Amerika, di Inggris pengacara terikat keras oleh
tolak ukur dan etika profesi. Lebih jauh dipertentangkan, bahwa persidangan yang bersifat
akuisitoir sangat menguntungkan tertuduh yang mampu membayar pengacara yang ulung
(yang menguasai bidangnya). Ditinjau dari dekat, asumsi inipun nampaknya tidak beralasan.
Sudah barang tentu kita tidak boleh meremehkan, bahwa memang ada manfaatnya untuk
mendapatkan seorang pengacara yang baik, namun hal ini berlaku baik bagi sidang perkara
yang menggunakan metoda akuisitoir maupun inkuisitoir.
Sebaliknya harus selalu dicamkan, bahwa dalam acara persidangan dengan sistem
akuisitoir kedua belah pihak yakin jaksa dan pembela tidak mempunyai hak-hak dan
kewajiban yang serupa. Jaksa harus membuktikan perkaranya dengan kesangsian yang besar,
sedangkan tertuduh tidak dibebani untuk membuktikan ketidak-salahannya. Jaksa harus tetap
adil dan tidak memihak selama jalannya persidangan, ia tidak boleh menekan bukti yang
menguntungkan terdakwa.
Sumber-sumber yang terbatas bagi pembela untuk mempersiapkan persidangan hingga
titik tertentu diimbangi dengan hak-hak untuk minta penemuan dan inspeksi bagi keadilan. Di
Inggris, pembela bahkan dapat minta kepada saudara jaksa untuk membantu mencari saksi
atau bukti lainnya. Para hakim Inggris menjalankan pengawasan yang luas pada persidangan,
12
mereka secara aktif turut ambil bagian dalam menjajagi fakta-fakta (mencari fakta-fakta).
Mereka pada umumnya tidak akan bimbang atau ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan pada para saksi dan memberikan komentar terhadap barang bukti.
Memang benar, terkadang hakim Inggris nampak melangkah terlampau jauh, pengadilan
banding berpendapat bahwa hakim terlalu aktif, atau dengan perkataan lain terlampau
“inkuisitorial”. Dalam diktumnya yang sangat terkenal Pengadilan banding menyatakan
bahwa; hakim yang melakukan sendiri pemeriksaan dalam persidanga dapat dikatakan turun
dalam arena dan penglihatannya dapat menjadi tertutup awan akibat debu sengketa tadi.
Secara tidak disadari ia kehilangan manfaat observasi yang tidak memihak dan tenang. Dalam
suatu perkara hakim terang-terangan menginterupsi penyajian barang bukti sedemikian
seringnya hingga boleh dikatakan ia merintangi pembela.
Intervensi berlebihan yang dilakukan oleh hakim ini dianggap merupakan hal yang
demikian seriusnya sebagai suatu kondite yang tidak baik hingga atas anjuran “Lord
Chancellor” (semacam ketua Mahkamah Agung) ia diminta mengundurkan diri. Ini sudah
barang tentu, sangat kontras dan bertentangan sekali dengan persidangan secara inkuisitorial
di mana seperti yang telah ditandaskan tadi, hakim bebas untuk mencampuri pembela apabila
ia menginginkannya. Seorang hakim Inggris harus berhenti karena ia telah memeriksa saksi-
saksi. Ia telah berbuat tepat sekali seperti apa yang dilakukan para hakim di Eropa-
Kontinental pada masa kini.
Setiap harinya perbedaan-perbedaan dalam metode inquisitorial dalam menemukan
fakta dapat dilihat dengan tajam apabila kita banyak melakukan pengamatan dengan
membandingkan persidangan-persidangan pengadilan Prancis dan Jerman. Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Prancis, baik jaksa maupun tertuduh
bersama pembelanya boleh mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seorang saksi
apabila terjadi suatu sidang Pengadilan “Cour d’assises” di mana duduk tiga hakim
profesional dan sembilan hakim yang ditunjuk di antara orang awam dan yang memeriksa
kasus-kasus yang serius.
Agar tidak membingungkan orang-orang awam tersebut, pertanyaan-pertanyaan dari
tiga orang hakim tadi harus diajukan melalui hakim ketua majelis. Sudah barang tentu cara-
cara seperti ini membawa asas inkuisitoir pada titik-titiknya yang ekstrim. Dalam praktek,
betapapun, hakim ketua nampaknya sering mengambil jalan kebijaksanaannya dan
membolehkan adanya pertanyaan-pertanyaan langsung setelah ia selesai memeriksa saksi.
Pihak yang berkuasa di Prancis telah menunjukan bahwa pembela terkadang malahan diberi
ijin untuk minta agar saksi diperiksa ulang kembali secara ketat.
13
Pada persidangan pengadilan di Jerman kurang diperhatikan adanya resiko pengaruh
hakim-hakim awam yang dapat mengurangi faktor keobyektifan dalam persidangan. Dengan
demikian, hak jaksa, tertuduh, dan pembela, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tambahan setelah hakim selesai dengan interogasi terhadap saksi, tidak dibatasi.
Di Prancis, sebagian besar perkara diperiksa oleh suatu “tribunal correctionnel”
(pengadilan koreksi), yang tidak mengikut-sertakan hakim-hakim awam. Pada persidangan-
persidangan pengadilan ini pendengaran saksi-saksi dan penanggapan terhadap barang bukti
sebagian besar diganti dengan sekedar memeriksa laporan-laporan polisi.
Laporan polisi dihubungkan dengan semacam nilai aprobasi hingga tersangka dibebani
untuk menyangkalnya. Sebaliknya, tersangka tidak mempunyai hak untuk minta
dikonfrontasikan dengan saksi yang telah memberikan kesaksiannya yang berlawanan
terhadap polisi. Pada persidangan pengadilan Jerman lebih ditekankan pada penemuan fakta
sesungguhnya oleh hakim. Hakim diharuskan untuk mendasarkan keputusannya pada apa
yang ia telah dengar langsung dari para saksi, oleh sebab itu pernyataannya yang diberikan
secara lisan tidak boleh diganti dengan membacakan catatan-catatan polisi pada pemeriksaan
sebelumnya oleh pejabat kepolisian.
Ilustrasi-ilustrasi di atas yang secara kontras menyoroti perbedaan dalam persidangan
antara negara-negara yang sama-sama menerapkan metoda yang sama tetap terdapat
perbedaan. Maka di samping perbedaan prinsip antara metoda inquisitoir dibanding metoda
yang akuisitoir, ternyata ada perbedaan yang kurang prinsipiil antara tiap metoda dalam
penerapannya di negara yang berbeda (Inggris – Amerika, Jerman – Prancis dan lain
sebagainya) Terjadinya kenyataan ini tentunya dipengaruhi oleh sejarah perkembangan acara
baik dalam persidangan di pengadilan maupun pada tahap pemeriksaan pendahuluan ditiap
negara.
Dalam hal ini tentu dipengaruhi oleh aspek-aspek lain yang khas (di luar acara
peradilan semata) di masing-masing negara. Maka dalam perkembangannya sekarang dapat
terjadi bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana terjadi kombinasi penerapan antara metoda
inkuisitoir dan akuisitoir dengan mengambil unsur-unsur yang paling mendekati citra
masyarakat yang bersangkutan.
Maka dapat ditarik kesimpulan perbedaan pemeriksaan inkusatoir dan aqusatoir terletak
pada tempat pemeriksaannya, inkusatoir diperiksa ditingkat penyidikan tersangka dijadikan
sebagai objek, penasehat hukumnya bersifat pasif. Sedangkan pada tingkat akusatoir
dipengadilan terdakwa dijadikan sebagai subjek, penasehat hukumnya bersifat aktif.
14
SEGALA SESUATU YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PEMBUKTIAN
A. ARTI HUKUM PEMBUKTIAN
Hukum pembuktian adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur
tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang
sah,dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-
fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat- syarat dan
tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak
dan menilai suatu pembuktian.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang “tidak
cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa
“dibebaskan” dari hukuman sesuai pasal 191 (1) KUHAP yang berbunyi : jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil, pemeriksaan disidang kesalahan terdakwa atas
perbuatannya yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang
disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan
hukuman, yang sesuai dengan Pasal 193 (1) KUHAP yang berbunyi : jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh karena itu, hakim harus hati-
hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti
sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap
alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
BAB
2
15
Dalam uraian pembuktian ini, kita akan membicarakan beberapa hal yang berkaitan
dengan masalah pembuktian, seperti apa yang dimaksud dengan pembuktian, sistem
pembuktian, pembebanan pembuktian dan kekuatan pembuktian yang melekat pada
setiap alat bukti yang diatur oleh Undang-undang.
B. SUMBER - SUMBER FORMAL HUKUM PEMBUKTIAN
a. undang - undang:
b. doktrin atau pendapat para ahli Hukum;
c. yurisprudensi/Putusan Pengadilan
-. Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka
sumber hukum yang utama Undang - Undang No. 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara
Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan
Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor.3209.
-. Apabila didalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai
kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau
yurisprudensi.
C. MEMBUKTIKAN
-. Menurut van Bummulen dan Moeljatno, adalah memberikan kepastian yang layak
menurut akal (redelijk) tentang:
a. apakah hal yang tertentu itu sungguh - sungguh terjadi;
b. apa sebabnya demikian.
-. Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu
peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
D. ALAT BUKTI
Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
16
E. YANG BERHAK MENGAJUKAN ALAT BUKTI
-. Pengajuan alat bukti yang sah menurut undang-undang didalam persidangan
dilakukan oleh:
a. penuntut umum dengan tujuan untuk membuktikan dakwaannya
b. terdakwa atau penasihat hukum, jika ada alat bukti yang bersifat meringankan, atau
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
-. Pada dasarnya yang mengajukan alat bukti dalam persidangan adalah penuntut umum
(alat bukti yang memberatkan/acharge) dan terdakwa atau penasihat hukum (jika ada
alat bukti yang bersifat meringankan/adhecharge)
-. Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal ini merupakan jelmaan asas
praduga tak bersalah (Pasal 66 KUHAP). Jadi pada prinsipnya yang membuktikan
kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.
-. Karena hakim dalam proses persidangan pidana bersifat aktif oleh karena itu apa bila
dirasa perlu hakim bisa memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan saksi
tambahan.
-. Demikian sebaliknya apabila dirasa oleh hakim cukup, hakim bisa menolak alat-alat
bukti yang diajukan dengan alasan hakim sudah menganggap tidak perlu, karena sudah
cukup meyakinkan. Namun demikian harus diingat bagi hakim, mengajukan alat bukti
merupakan hak bagi penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum. Oleh karena
itu penolakan pengajuan alat bukti haruslah benar-benar dipertimbangkan dan beralasan.
F. HAL - HAL YANG HARUS DIBUKTIKAN
-. Dasar pemeriksaan persidangan adalah surat dakwaan (untuk perkara biasa) atau
catatan dakwaan (untuk perkara singkat) yang berisi perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh seorang terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat sebagaimana
didakwakan.
-. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan tindak pidana.
G. HAL- HAL YANG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN
Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang secara umum sudah diketahui
(fakta notoir) seperti: mata hari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat,
kendaraan yang berjalan pada malam hari menyalakan lampu, berjalan sebelah kiri.
17
H. TUJUAN DAN KEGUNAAN PEMBUKTIAN
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan
persidangan adalah sebagai berikut:
a. bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim
yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah
sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
b. bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah merupakan usaha
sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar
menyatakan seorang terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau
meringankan pidananya.Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin
harus mengajukan alat - alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya.
Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
c. bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang
ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat
hukum/terdakwa dibuat atas dasar untuk membuat keputusan.
J. ARAH PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
Dalam pemeriksaan persidangan, majelis hakim setelah memeriksa dan memperhatikan
alat - alat bukti yang ada, maka akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. perbuatan apa yang telah terbukti dari hasil pemeriksaan persidangan
b. apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbutan tersebut
c. kejahatan atau pelanggaran apakah yang telah dilakukan terdakwa
d. pidana apakah yang harus dijatuhkan pada terdakwa.
18
SISTEM PEMBUKTIAN,
MACAM-MACAM ALAT BUKTI DAN
KEKUATAN PEMBUKTIAN
A. SISTEM PEMBUKTIAN
Adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan,
penguraian alat bukti dan dengan cara - cara bagaimana alat - alat bukti itu dipergunakan
dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya didepan sidang
pengadilan.
1. Di dalam teori dikenal 2 (dua) sistem pembuktian yaitu:
a. SISTEM PEMBUKTIAN POSITIF
- Sistem pembuktian positif (positief wetelijk) adalah sistem pembuktian yang
menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
- Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya
didasarkan pada alat bukti yang sah.
- Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan
hakim sama sekali diabaikan.
- Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara
pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-
undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.
- Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. Namun
demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni hakim akan
berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh
nuraninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-caradan alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
- Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena
itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdara.
b. SISTEM PEMBUKTIAN NEGATIF
- Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem
pembuktian conviction in raisone.
BAB
3
19
- Hakim didalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang
terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan
keyakinan (nurani) hakim sendiri.
- Jadi didalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, yakni:
WETTELIJK : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
NEGATIEF : adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
- Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditembah dengan alat
bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan dipersidangan seperti yang
ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan
terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
2. Setelah dipelajari beberapa sistem pembuktian, dapatlah dicari sistem pembuktian
apa yang dianut oleh KUHAP.
- Dalam KUHAP sistem pembuktian diatur dalam Pasal 183 yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
- Dari Pasal tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada 2(dua)
syarat, yaitu:
a. minimum 2 (dua) alat bukti
b. dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana.
- Jadi meskipun didalam persidangan telah diajukan dua atau lebih, namun bila
hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut akan
dibebaskan.
- Dari yang diuraikan diatas jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian
negatife wettelijk.
- Minimum pembuktian yakni 2 (dua) alat bukti yang bisa disimpangi dengan 1
(satu) alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam Pasal 205 sampai
Pasal 216 KUHAP). Jadi jelasnya menurut penjelasan Pasal 184 KUHAP,
pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan 1 (satu) alat bukti dan
keyakinan hakim.
B. MACAM-MACAM ALAT BUKTI MENURUT UU YANG BERLAKU
1. Alat bukti dahulu diatur dalam Pasal 295 Het Hezelane Inland Reglement( HIR),
yang macamnya disebutkan sebagai berikut:
a. keterangan saksi.
b. surat-surat.
20
c. Pengakuan.
d. tanda-tanda (petunjuk).
Yang dianggap sebagai bukti yang syah hanyalah apa yang terdapat dalam pasal
295 HIR, selain dari yang empat macam ini tidak dianggap syah, umpamanya:
sangkaan belaka, hasil nujun perdukunann yang lazim dipraktekkan di
kampungang-kampung seperti misalnya melihat tanda-tanda dalam sebuah
primbon, melihat gambar dikuku yang telah dicat hitam oleh anak kecil, melihat
telapak tangan, dan mencocokkan fenomena alam dan sebagainya.
Yang dimaksud kesaksian yaitu keterangan lisan seorang, dimuka sidang
pengadilan, dengan disumpah terlebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang ia
dengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat
sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukan
merupakn kesaksian yang syah, melainkan disebut saksi “ de auditu/testimoni
deauditu ”.
Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam Undang-undang wajib
memberikan kesaksian, sesuai dengan pasal 80 HIR yang berbunyi ayat 1:
pegawai dan Penuntut Umum atau jaksa pembantu yang melakukan pemeriksaan
itu menyuruh supaya sitertuduh atau terdakwa dan saksi-saksi yang dianggapnya
perlu, datang kepadanya untuk didengarkan keteranaganya.
dan ayat 2 untuk pememeriksaan terdakwa atau tertuduh dia tidak ditahan dan
saksi-saksi disuruh panggil, orang-orang yang dipanggil wajib datang
kepadanya, dan selain dari itu saksi-saksi wajib memberikan keterangan tentang
apa yang sebenarnya terjadi. Kalau orang-orang tersebut itu tidak datang, maka
mereka itu dapat disuruh panggilnya sekali lagi dan dalam hal itu dapat dapat
disertakannya perintah untuk membawanya, ataupun kemudian dari pada itu
diperintakannya akan menjemput dan membawanya.
dan 262 HIR ayat 1 jika seorang saksi dengan tidak ada sebabyang syah tidak
atau enggan mengungkap sumpah, atau enggan memberikan yang benar, maka
ketua ketua dapat menunda perkara pada persidangan berikutnya, tetapi tidak
boleh lama dari empat belas hari. Dan ayat 2 dalam hal itu maka saksi itu pada
itu juga disanderakan atas perintah ketua, dan dibawa menghadap pengadilan
negeri sekali lagi pada persidangan yang akan datang
21
dan pasal 224 KUHP, barang siapa sipanggil sebagai saksi, atau juru bahasa
menurut undang-undang dengan sengaja tidakmemenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya diancam:
1. dalam perkara pidana, pidana penjara paling lama sembilan bulan
2. dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Dan yang dapat dikecualikan sebagai saksi diatur dalam pasal 274. Dengan
memperhatikan apa yang ditentukan dalam pasal yang berikut di bawah ini, maka
tidak dapat didengar sebagai saksi dan dapat meminta mengundurkan diri sebagai
saksi :
1. Keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam turunan ke atas atau ke bawah dari
pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan;
2. Suatu atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang atau perempuan dari pesakitan
atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan; lagi pula saudara ibu atau
saudara bapa baik laki-laki, maupun perempuan, juga yang karena perkawinan, dan
anak saudara laiki-laki dan anak saudara perempuan.
3. Suami atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi
pesakitan, biarpun telah bercerai;
4. Budak yang telah dibebaskan oleh pesakitan atau dari salah seorang yang serta
menjadi tertuduh (Semenjak tahun 1860 perbudakan sudah tidak ada lagi).
Pasal 275. (1) Jika jaksa pada pengadilan negeri dan pesakitan bersama-sama dengan
tegas mengizinkan, maka orang-orang yang tersebut pada pasal di atas ini, dapat juga
dikabulkan memberi kesaksian asal mereka turut meluluskan.
(2) Orang itu dapat diluluskan oleh pengadilan negeri untuk memberi keterangan
dengan tidak bersumpah, biarpun tidak ada izin itu.
Pasal 277. (1) Orang-orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia kerena
kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya yang sah dapat meminta mengundurkan
diri dari memberikan kesaksian; akan tetai hanya mengenai hal yang diketahui dan
dipercayakan kepadanya itu saja.
Pasal 278. Hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan dengan tidak
mengangkat sumpah ;
1. anak-anak, yang belum diketahui dengan pasti apakah umurnya sudah sampai lima
belas tahun;
2. orang gila, meskipun kadang-kadang ia dapat memakai ingatannya dengan terang.
22
Keterangan saksi itu harus diberikan dimutidka sidang pengadilan, jadi bukan
di muka penyidik Polisi dan Jaksa, kecuali dalam hal tertentu bahwa keterangan orang
yang diberikan diatas sumpah dalam pemeriksaan pendahuluan oleh Polisi, Jaksa,
KPK, pun dapat dianggap sebagai kesaksian apa bila itu tidak dapat menghadap sidang
Pengadilan, karena telah meninggal dunia, atau tidak dipanggil karena bertempat
tinggal jauh dan keterangan itu dibacakan dimuka persidangan.
Surat sebagai alat bukti ditentukan dalam pasal 304,305, dan 306 HIR. Pasal
304 menentukan: bahwa peraturan tentang kekuatan bukti surat-surat umum dan
surat-surat khusus dalam perkara perdata harus diperhatikan pula terhadap bukti dalam
perkara pidana. Surat dapat dibagi dua, surat atau akte otentik : surat yang dibuat
dalam bentuk menurut Undang-undang oleh atau disaksikan oleh pejabat umum
(Polisi, Jaksa, Notaris atau PPAT, Dokter, Panitra, Juru sita, Camat, Wedana dan lain
sebagainya). Yang ditempat surat itu dibuat berkuasa untuk itu seperti yang diatur
dalam pasal, 1868-1872 BW : Suatu akte otentik ialah suatu yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan dehadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat dan 165 HIR. : Surat (akte) yang
syah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau didepan pegawai umum
yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak
dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat dak daripadanya tentang segala
hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai
pemberitahuan sahnya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu
berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) tersebut.
Yang dimaksut dengan “dibuat” dan “disaksikan” artinya bahwa pegawai itu hanya
menyebutkan (menuliskan) saja dalam dalam surat itu hal-hal yang diberitahukan
kepadanya oleh orang lain, misanya penyidik Polisi membuat berita acara laporan atau
pengaduan atau seorang notaris membuat surat wasiat atau surat perjanjian untuk
orang-orang yang menghadap kepadanya.
Surat bawah tangan adalah: surat-surat yang dibuat dengan sengaja untuk
membuktikan suatu pernyataan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian tertentu, tidak
dengan peraturan pegawai umum, yang ditanda tangani oleh orang-orang yang
mennyatakan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian tersebut, misalnya surat
perjanjian jual beli tanah, sewa menyewa, utang-piutang dan lain sebagainya yang
dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak terkait dan tidak didepan Pejabat Umum.
Kekuatan surat otentik dengan surat bawah tangan pada umumnya dapat dikatakan
sama, hanya apa bila sangkaan dari pihak lain, bahwa tanda tangan yang ada disurat itu
23
disangkal atau palsu oleh salah satu pihak, maka bagi pihak yang menyangkal surat atau
menyatakan palsu harus dapat membuktikannya, bahwa tanda tangan atau surat itu tidak
palsu.
Surat-surat sebagai bukti, baik otentik maupun bawah tangan misalnya: surat kelahiran,
surat nikah, surat ijajah, surat wasiat, surat perjanjian hutang, surat jual beli, surst tanah,
surst mobil atau motor, surat muatan, surat neraca, surat kapal, obligasi, visum et
repertum, surat keterangan lembaga kriminologi dari Universitas Indonesia, surat dari
laboratorium mabes Polri dan lain sebagainya.
Pasal 305 HIR : keterangan, laporan dan pemberitaan yang diperbuat oleh orang-orang
yang mengaku jabatannya, pangkat atau pekerjaannya yang umu, harus berisi
pernyataan bahwa mereka memberikanya atau memperbuatkannya atas sumpah ketika
menerima jabatan atau kemudian dapat diperkuat dengan sumpah supaya
berlakusebagai surat keterangan.
Pasal306 HIR : ayat 1 pemberitaan seorang ahli yang diangkat karena jabatannya untuk
menyatakan timbangan dan pendapatnya atau segala hal ihkwal atau keadaan suatu
perkara, hanya dapat digunakan sebagai keterangan bagi hakim. Ayat 2 hakim sekali-
kali tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat seorang ahli yang diberikan itu, jika
pendapat itu bertentangan dengan keyakinannya.
2. Sedangkan dalam KUHAP, macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184
KUHAP, yaitu:
Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa.
3. Sedangkan alat bukti yang diatur oleh Undang-undang tentang Informasi
Transaksi Elektronik (ITE) No 11 tahaun 2008 yaitu:
a. Alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan perundang-
undangan; dan
b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen
elktronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan dan
angka 4 dan pasal 5 (1),(2),(3) dan hal-hal yang telah diketahui oleh
umum, (notoir feit), hal ini tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 ayat 2
KUHAP). Contoh:
24
Matahari terbit diufuk Timur, dan tenggelam dibagian barat, besi yang ditempa
itu panas, air limbah mengalir dari atas kebawah, berjalan sebelah kiri,
menyalakan lampu kendaraan pada malam hari.
Bila dibandingkan dengan alat-alat bukti yang tercantum dalam (Pasal 295 HIR),
maka alat-alat bukti yang disusun oleh KUHAP lebih banyak jumlahnya dan
susunan yang berlainan. Yaitu dengan ditambahkan alat bukti “keterangan ahli”
dalam HIR, diganti istilahnya dengan “keterangan terdakwa” pada KUHAP.
Ada alat bukti lain, yang disebut “pengetahuan hakim”, yakni alat bukti pada
pemeriksaan tingkat pertama dan terakhir pada Mahkamah Agung, yang disebut
forum previlegiatum. Pada zaman republik Indonesia Serikat (RIS), maka forum
itu diadakan, yakni untuk memeriksa dan mengadili para pejabat tinggi, setingkat
dengan Menteri, anggota DPR dan lain sebagainya. Alat bukti “pengetahuan
hakim” itu tidak dikenal sebagai alat bukti dilingkungan KUHAP.
4. Alat bukti menurut Undang-undang N0 24 tahun 2003 tentang makamah
kositusi pasal 36 ayat 1 yang terdiri dari:
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan saksi
c. Keterangan ahli
d. Keterangan para pihak
e. Petunjuk
f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima
atau disimpansecara elektronik dengan alat optikatau yang serupa
dengan itu.
5. Undang-undang PTUN NO 9 Tahun 2004 yang diatur dalam pasal 100 ayat
1 terdiri dari:
a. surat atau tulisan
b. keterangan ahli
c. keterangan saksi
d. pengakuan para pihak
e. pengetahuan hakim.
6. Urutan Alat Bukti yang diatur Undang-undang Makamah Agung
Pada Pasal 78 Undan-undang NO 1 tahun 1950,Undang-undang NO14 tahun 1984
dan Undang-undang NO 5 2004 susunan dan urutan alat bukti ditingkat Mahkamah
Agung (sama dengan Pasal 339 Ned Sv yang baru), sebagai berikut:
- Pengetahuan Hakim (eigenwaarneming van de rechter),
- Keterangan terdakwa (verklaring van de verdachte),
25
- Keterangan saksi (verklaring van de getuige),
- Keterangan orang ahli (verlaring van de deskundige), dan
- Surat-surat (schriftelijke bescheiden)
KUHAP tidak meniru ketentuan Undang-undang N0. 1 tahun 1950, atau Nederlans
Strafrecht, dan juga HIR, tetapi berupa paduan antara yang lama dan yang baru,
dengan menambah alat bukti “petunjuk” yang tidak diatur dalam Undang-undang
N0. 1 tahun 1950 dan Nederlands Strafrecht. KUHAP juga tidak meniru Pasal 295
HIR, yang menyatakan bahwa “segala macam alat bukti dapat dirobohkan dengan
alat bukti penyangkal.”
Menurut R. Tresna, maksud dari Pasal 295 HIR itu tiada lain pernyataan bahwa
didalam perkara pidana tiada satu alat buktipun mempunyai kekuatan memaksa
hakim, sehingga hakim harus menerima saja bukti itu sebagai hal yang tidak dapat
disangkal lagi.
Menurut hemat penulis, Pasal 295 HIR tidak perlu ditiru, sebab pembuktian dalam
perkara pidana tidak mengenal adanya bukti penyangkal seperti dalam perkara
perdata. Keyakinan hakim dalam beracara pidana memegang peran penting. Biarpun
terdapat setumpuk alat bukti diajukan oleh penuntut umum, namun jika hakim tidak
yakin akan kesalahan terdakwa, maka tidak ada arti alat bukti yang setumpuk itu
diserahkan kepada hakim.
3. Dari urutan-urutan penyebutan alat bukti dapat disimpulkan bahwa pembuktian
dalam perkara pidana, lebih dititikberatkan pada keterangan saksi.
4. keterangan ahli merupakan hal yang baru dalam hukum acara pidana Indonesia. Hal
ini merupakan pengakuan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi, seorang hakim
tidak bisa mengetahui segala hal, untuk itu diperlukan bantuan seorang ahli.
Dahulu keterangan ahli hanya sebagai penerang bagi hakim seperti yang diatur
dalam Pasal 306 HIR. Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk meyakini pendapat
seorang ahli apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli tersebut.
5. Pengakuan Terdakwa
- Pengakuan terdakwa sudah dibuang di dalam KUHAP, diganti dengan keterangan
terdakwa. Keterangan terdakwa mempunyai arti yang lebih luas dari pada
pengakuan terdakwa. Dalam keterangan terdakwa dimungkinkan adanya
pengakuan dari seorang terdakwa.
- Pengakuan terdakwa dahulu merupakan target utama, sehingga dalam praktek
pemeriksaan pendahuluan (sekarang pemeriksaan penyidikan ) sering terjadi
penekanan secara phisik dan psikhis untuk mendapatkan pengakuan tersangka.
26
- Dahulu ada pendapat bahwa pengakuan merupakan raja dari segala alat bukti,
dengan alas an siapa yang paling tahu suatu perbuatan pidana terjadi kecuali diri
terdakwa sendiri.
C. KEKUATAN PEMBUKTIAN
─ Kekuatan dan penilaian alat bukti terdapat dalam Pasal 185 sampai dengan Pasal 189
KUHAP. Kekuatan alat bukti atau juga dapat disebut sebagai efektivitaksi alat bukti
terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah
psiko sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum, dan hubungan dengan warga
masyarakat dan partisipasi masyarakat. Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah
maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku
manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum
secara ilmiah.
Suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap atau perilaku
pihak lain menuju ke satu tujuan yang dikehendaki: artinya apabila pihak lain itu
mematuhi hukum. Tetapi kenyataan tidak jarang orang tidak mengacuhkan atau bahkan
melanggar dengan terang-terangan, yang berarti orang itu tidak taat pada hukum.
─ Arti kekuatan alat bukti adalah seberapa jauh nilai alat bukti itu masing – masing dalam
hukum pembuktian, yang diterangkan oleh:
a. Pasal 185 KUHAP, mengatur penilain keterangan saksi.
b. Pasal 186 KUHAP, mengatur penilain keterangan ahli.
c. Pasal 187 KUHAP, mengatur penilain surat.
d. Pasal 188 KUHAP, mengatur penilain petunjuk.
e. Pasal 189 KUHAP, mengatur penilain keterangan terdakwa.
─ Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 (dua) golongan:
a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut
memang sudah demikian halnya yang benarnya atau semestinya demikian.
Yang dimaksud sesuatu, misalnya:
- harga emas lebih mahal dari perak.
- tanah dikota lebih mahal harganya dari pada tanah didesa.
Yang dimaksud dengan peristiwa, misalnya:
- pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan
demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.
Misalnya:
- kendaraan yang larinya 100 km/jam, maka kendaraan tersebut akan tidak stabil
dan sulit dihentikan seketika.
- arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bias
menyebabkan seseorang mabuk.
27
ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI
1. PEMANGGILAN DAN PEMERIKSAAN SAKSI-SAKSI
2. Pemanggilan Terhadap Saksi
Menurut Pasal 146 ayat (2) dan Pasal 227 KUHAP:
- Pemanggilan terhadap saksi, dilakukan oleh penuntut umum yang harus memuat
tanggal, hari serta jam sidang serta perkara apa ia dipanggil.
- Harus sudah diterima saksi, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum mulai
sidang.
- Pemanggilan dilaksanakan ditempat tinggal mereka atau ditempat kediaman
terakhir.
- Petugas yang melaksanakan Pemanggilan tersebut harus bertemu sendiri dan
berbicara langsung dengan yang dipanggil dan membuat catatan bahwa
panggilan tersebut telah diterima yang bersangkutan dengan membubuhkan
tanggal serta tanda tangan. Bila yang dipanggil tidak mau menandatangani maka
petugas harus mencatat.
BAB
4
28
- Apabila yang dipanggil tidak terdapat disalah satu tempat sebagaimana
dimaksud, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa dan bila diluar
negeri melalui perwakilan Republik Indonesia ditempat dimana orang yang
dipanggil biasa berdiam. Bila tidak berhasil surat panggilan ditempelkan
ditempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan.
3. Saksi Tidak Mau Hadir di Persidangan
- Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi
setelah dipanggil kesuatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi
dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan
undang – undang yang berlaku (penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP).
- Dalam hal saksi tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua
sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi tidak akan mau
hadir maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).
- Perintah menghadapkan saksi dipersidangan tersebut bila perlu dengan pengawalan
polisi Negara.
- Pasal 224 KUHP : Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa
menurut Undang-undang yang harus dipenuhinya diancam pidana:
1. di dalam perkara pidana maksimum 9 (sembilan) bulan penjara;
2. di dalam perkara perdata maksimum 6 (enam) bulan penjara.
4. Syarat-syarat untuk Menjadi Saksi
a. Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu
peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi (Pasal
1 butir 26 KUHAP).
b. Namun demikian agar di dalam persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang
sejauh mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa,
KUHAP membagi dalam 3 (tiga) golongan pengecualian:
Golongan A:
Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi
(Pasal 168 KUHAP):
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa.
saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan
anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
29
suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Alasan bagi keluarga untuk tidak dapat didengar sebagai saksi antara lain adalah:
- pada umumnya mereka tidak obyektif bila didengar sebagai saksi;
- agar hubungan kekeluargaan mereka tidak retak;
- agar mereka tidak merasa tertekan waktu memberikan keterangan;
- secara moral adalah kurang etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang
kurang baik keluarganya.
Golongan B
Golongan saksi yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan
keterangan (Pasal 170 KUHAP):
- mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan
hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundang-undangan;
- agar jika tidak ada ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim
yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
1. Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan, misalnya adalah dokter, apoteker,
Notaries atau PPAT.
2. orang yang terkena harkat dan martabatnya, misalnya adalah pastor.
3. orang yang terkena jabatannya, misalnya adalah banker terhadap keuangan
nasabahnya.
Golongan C
Golongan saksi yang boleh diperiksa tanpa sumpah (Pasal 171 KUHAP):
- anak yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau belum pernah kawin
- orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik
kembali.
1. Terhadap orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa sangat berbahaya untuk diperiksa
sebagai saksi. Karena menurut KUHP, orang-orang seperti itu tidak bisa
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Oleh karena itu sebaiknya jangan
mengajukan saksi orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa.
2. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(Pasal 1 butir 29 KUHAP).
3. A. Karim Nasution membagi menjadi 2 (dua) golongan pengecualian saksi yaitu:
30
a. absolute onbevoegd, yaitu mutlak tidak dapat didengar keterangannya sebagai
saksi karena umurnya masih muda atau sakit ingatan.
b. relatief onbevoegd, yaitu orang-orang yang bisa mengundurkan diri sebagai
saksi.
4. Tata Cara Memeriksa Saksi
a. mencegah jangan sampai saksi berhubungan dengan yang lain sebelum memberi
keterangan dipersidangan (Pasal 159 ayat (1) KUHAP).
ketentuan ini bermaksud agar para saksi tidak mempengaruhi dan saling
menyesuaikan didalam memberikan keterangan.
b. - Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan
yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang, setelah mendengar
pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum (Pasal 160 ayat 1 huruf a
KUHAP).
- Yang didengar pertama-tama adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 huruf b
KUHAP).
c. Hakim ketua menanyakan identitas saksi yakni nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan (Pasal 160 ayat 2 KUHAP). Maksud dan ketentuan ini adalah agar saksi
tersebut tidak keliru dengan orang lain.
d. Apakah saksi tersebut kenal dengan terdakwa sebelum atau sesudah melakukan
perbuatan yang didakwakan serta apakah berkeluarga sedarah atau semenda dan
sampai derajat keberapa dengan terdakwa (Pasal 160 ayat 2 KUHAP).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas adalah untuk mengetahui, apakah saksi
tersebut bisa didengar keterangannya sehubungan dengan ketentuan Pasal 168 dan
Pasal 169 KUHAP.
e. Sebelum memberi keterangan saksi wajib bersumpah atau berjanji menurut cara
agamanya masing-masing (Pasal 160 ayat 3 KUHAP).
f. - Segala kejadian di sidang dicatat dalam berita acara. Berita Acara tersebut
memuat hal-hal yang penting dari keterangan saksi, kecuali oleh hakim ketua cukup
menunjuk kepada keterangan pemeriksaan penyidikan.
- Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim, ketua
sidang wajib memerintahkan supaya dibuat catatan khusus tentang suatu keadaan
atau keterangan.
- Berita Acara tersebut ditanda tangani oleh hakim ketua sidang dan panitera
(Pasal 202 KUHAP).
31
5. Sumpah Saksi
a. Bunyi sumpah saksi adalah bahwa ia sebagai saksi akan memberikan keterangan
yang sebenarnya dan tidak lain daripada sebenarnya (Pasal 160 ayat 3 KUHAP).
b. Sumpah saksi bisa diberikan sebelum saksi memberikan keterangan (Promissoris)
atau sesudah saksi memberikan keterangan baru dikuatkan dengan sumpah sumpah
(assertoris). Demikian bunyi Pasal 160 ayat 3, 4 KUHAP.
c. Sumpah bagi seorang saksi sebenarnya untuk mendorong atau memotivasi seorang
saksi untuk berkata benar. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penyumpahan
sebelum seorang saksi memberikan keterangan.
d. Bagi seorang yang agamanya tidak memperbolehkan bersumpah, sumpah tersebut
diganti dengan berjanji (Staatsblad 1920 Nomor 69 Pasal 5).
e. Keterangan saksi yang diberikan dibawah sumpah atau janji merupakan alat bukti.
Jika keterangan tersebut diberikan tanpa mengucapkan sumpah atau janji bukan
merupakan alat bukti, tetapi hanya merupakan keterangan saja yang menguatkan
keyakinan hakim.
f. Pengucapan sumpah atau janji bisa dilakukan di luar sidang dan hakim dapat
menunda pemeriksaan atas saksi tersebut. Pengucapan sumpah atau janji tersebut
dihadiri panitera dengan pembuatan berita acara (Pasal 223 KUHAP).
6. Saksi Tidak Mau Bersumpah
- Terhadap saksi yang tidak mau bersumpah atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan
tetap dilakukan.
- Terhadap saksi tersebut bisa dilakukan penyanderaan di dalam Rumah Tahanan
Negara (rutan) yang paling lama 14 (empat belas) hari berdasarkan penetapan ketua
majelis hakim.
- Apabila waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lampau, maka keterangan yang
diberikan merupakan keterangan saja, yang menguatkan keyakinan hakim (Pasal
161 KUHAP dalam hal saksi atau ahli tampa alasan yang sah menolak untu
disumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat 3 dan ayat 4
maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan
hakim ketua sidang pengadilan dapat dikenakan sandera ditempat rumah tahanan
negara paling lama 14 hari kurungan.
7. Urutan-Urutan Yang Mengajukan Pertanyaan
32
a. - Penuntut umum atau penasihat hukum boleh bertanya kepada para saksi dengan
perantaraan hakim ketua sidang.
- Hakim ketua sidang bisa menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. (Pasal 164 KUHAP).
- Dalam praktek baik penuntut umum atau penasihat hukum boleh bertanya
kepada saksi secara langsung. Apabila pertanyaan tersebut tidak relevan, hakim
ketua baru memperingatkan untuk tidak bertanya seperti itu.
b. - Urutan-urutan yang memberikan pertanyaan adalah hakim ketua sidang dan
anggota, penuntut umum baru penasihat hukum atau terdakwa. (Pasal 165 KUHAP).
Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa hakim tidak boleh mengambil
oper tugas dan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Karena dalam KUHAP menganut sistem yang membuat surat dakwaan adalah penuntut
umum. Oleh karena itu yang harus membuktikan adalah penuntut umum. Karena itu
urutan-urutan yang mengajukan pertanyaan adalah penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum, baru majelis hakim.
8. Pertanyaan-Pertanyaan Yang Dilarang Diajukan Kepada Saksi
- Dalam ketentuan Pasal 166 KUHAP, disebutkan bahwa pertanyaan yang
bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada saksi.
- Pertanyaan yang bersifat menjerat adalah pertanyaan mengenai suatu perbuatan
atau tindak pidana yang tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah
dinyatakan oleh saksi.
- Ketentuan ini mencerminkan bahwa keterangan saksi harus diberikan secara
bebas dipersidangan di semua tingkat pemeriksaan (Penjelasan Pasal 166 KUHAP).
- Contoh pertanyaan yang menjerat kepada saksi:
Jadi terdakwa ini yang mengambil uang saudara?
padahal saksi tidak menyatakan bahwa terdakwa yang mengambil uangnya,
karena waktu itu ia sedang bepergian (tidak berada ditempat).
- sebenarnya yang seharusnya dilarang tidak hanya pertanyaan yang bersifat
menjerat saja, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan:
bersifat mengarahkan
memberikan alternative
menyebut kualifikasi yang didakwakan.
- . Contoh pertanyaan yang bersifat mengarahkan:
33
Yang dilakukan terdakwa kepada saksi B apakah memukul?
Seharusnya bunyi pertanyaannya adalah, apa yang dilakukan terdakwa
kepada saksi B?
-. Contoh pertanyaan yang menyebut kualifikasi.
Siapakah yang membunuh A?
Siapakah yang mencuri uang saudara?
Membunuh dan mencuri merupakan hal yang harus dibuktikan. Jadi
pertanyaan kepada saksi harus mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa,
sehingga jawabnya misalnya menikam atau mengambil.
9. Keterangan Yang Diberikan Oleh Saksi Harus Bersifat Bebas
- Dalam pemeriksaan perkara pidana R.SOESILO,. Saksi merupakan kawan
penting bagi polisi, jaksa dan hakim. Karena itu sudah sewajarnya mereka
mendapat perlakuan yang layak, kecuali bila ada alasan-alasan untuk tidak
bersikap demikian. Tiap-tiap saksi mempunyai alasan-alasan sendiri untuk
memberi keterangan atau tidak. Kepada mereka masing-masing pemeriksa harus
mengambil sikap berlainan yang setimpal.
- Saksi didalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan haruslah
bebas (Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP).
- Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan
tekanan bagaimanapun bentuknya, lebih-lebih didalam persidangan. Tekanan
tersebut misalnya ancaman dan sebagainya menyebabkan saksi menerangkan hal
yang berlainan dari pada hal yang dianggap sebagai pernyataan yang bebas
(penjelasan Pasal 166 KUHAP).
- Pemeriksaan oleh penuntut umum sudah tidak dikenal lagi dalam sistem
KUHAP, karena penuntut umum sudah tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan lanjutan. Dulu dalam RUU-HAP memang ada ketentuan yang
menyatakan penuntut umum bisa melakukan penyidikan lanjutan. Rupanya
ketika dibahas di DPR-RI, penjelasan Pasal 166 KUHAP lupa disesuaikan.
- Apabila dirasa saksi memberi keterangan akan merasa tertekan dengan kehadiran
saksi lainnya, maka saksi yang lain tersebut bisa dikeluarkan dari ruang sidang
(Pasal 172 KUHAP).
- Demikian bila saksi merasa tertekan dengan kehadiran terdakwa, maka terdakwa
tersebut dikeluarkan dari ruang sidang. Pemeriksaan tersebut baru boleh
dilanjutkan, bila keterangan saksi tersebut diberitahukan kepada terdakwa (Pasal
173 KUHAP). Maksud ketentuan tersebut, agar terdakwa bisa memberikan
tanggapan.
10. Hak Terdakwa Dalam Pemeriksaan Saksi
34
- Setiap saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya (Pasal 164 ayat 1 KUHAP).
- Tidak ada ketentuan yang mengharuskan terdakwa untuk membenarkan
keterangan saksi, oleh karena itu terdakwa boleh membantah.
- Bahkan untuk itu terdakwa barhak mengajukan saksi untuk menguji kebenaran
keterangan mereka (Pasal 165 ayat 4 KUHAP).
- Dengan demikian baik saksi yang meringankan (a decharge) atau yang
memberatkan (a charge) bagi terdakwa, yang mencantumkan dalam surat
pelimpahan perkara dan yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau
penuntut umum bisa dihadirkan. Hakim berkewajiban untuk mendengarkan saksi
tersebut. (Pasal 160 ayat 1 huruf c KUHAP).
Mengenai pengajuan saksi ada SEMA Nomor 2 Tahun 1985 yang menyatakan
Mahkamah Agung berpendapat tanpa mengurangi kewenangan hakim dalam
menentukan jumlah saksi-saksi mana yang dipanggil untuk hadir di sidang
pengadilan, juga terdakwa atau penasihat hukum untuk kepentingan pembelaannya,
hendaknya hakim menseleksi secara bijaksana terhadap saksi untuk hadir
dipersidangan. Karena tidak ada keharusan hakim untuk memeriksa seluruh saksi
yang ada dalam berkas perkara.
11. Keterangan Saksi Berbeda Dengan Berita Acara Penyidikan
- Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana terdapat dalam
berita acara penyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam
pemeriksaan sidang.
- Jika terangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam
berkas perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta
meinta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara
persidangan (Pasal 163 KUHAP).
- Namun harus diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus disertai
alasan yang bisa diterima. Apabila bisa diterima baru bisa dicatat dalam berita
acara persidangan. Namun apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja pencabutan
keterangan saksi tersebut harus ditolak.
12. Saksi Tidak Hadir Dalam Sidang Dengan Alasan Yang sah
a. Saksi yang tidak bisa hadir di dalam sidang dengan alasan:
- meninggal dunia
- karena berhalangan yang sah
- tidak dipanggil karena jauh tempat kediamannya
35
- karena tugas negara
maka keterangan yang telah diberikan di dalam pemeriksaan penyidikan dibacakan
(Pasal 162 ayat 1 KUHAP).
b. keterangan saksi yang dibacakan tersebut sama nilainya dengan keterangan saksi
yang tidak dibawah sumpah atau janji.
c. Jika keterangan saksi tersebut diberikan di muka penyidik dengan mengucapkan
sumpah atau janji maka nilainya sama dengan keterangan saksi dibawah sumpah
yang diberikan dalam sidang (Pasal 162 ayat 2 KUHAP).
13. Keterangan Saksi Palsu
a. Menurut Pasal 174 KUHAP
- Apabila keterangan saksi yang diberikan dipersidangan disangka palsu, ketua
majelis hakim memperingatkan pada saksi bahwa saksi bisa diancam dengan
Pasal 242 ayat 1 KUHP: barang siapa dalm keadaan dimana Undang-undang
menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan
akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengansengaja memberikan
keteranagan palsu diatas sumpah, baik dengan lisan atau tertulis, secara pribadi
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
- Apabila saksi tetap dalam keterangannya, hakim ketua sidang karena jabatannya
atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah
supaya saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan dakwaan saksi
palsu.
- panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat
keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan
saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditanda tangani oleh hakim ketua
sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk
diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.
- jika perlu hakim ketua sidang bisa menangguhkan persidangan perkara semula
sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
b. Bahwa keterangan saksi yang diberikan tersebut tidak hanya sekedar berbohong,
akan tetapi keterangan saksi tersebut haruslah justru bertentangan dengan yang
diterangkan mengenai fakta-fakta yang terjadi.
c. Penundaan sidang bisa terjadi apabila saksi yang memberikan kesaksian palsu
adalah saksi kunci. Tentu saja harus diperhatikan masa penahanan terhadap
terdakwa.
36
d. Sehubungan dengan hal tersebut di atas timbul dua permasalahan yakni:
- siapakah yang diserahi tugas melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang
disangka telah memberikan keterangan palsu, mengingat perkara tersebut
adalah perkara baru
- siapakah yang berwenang untuk melakukan penahanan atas perintah hakim
tersebut.
e. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikemukakan jalan keluar sebagai berikut:
- saksi yang telah disangka memberikan keterangan palsu sebelumnya sudah
diperiksa oleh penyidik. Jika penuntut umum menganggap perlu dilakukan
pemeriksaan dapat dilakukan melalui penyidik, akan tetapi jika penuntut
umum berpendapat tidak perlu dilakukan pemeriksaan, maka langsung
perkara tersebut diajukan ke sidang pengadilan atas dasar berita acara sidang
yang ditandatangani hakim ketua sidang dan panitera. Perkara tersebut bila
diajukan dengan acara singkat atau acara biasa.
- sebaiknya yang melakukan penahanan terhadap saksi yang memberikan
keterangan palsu adalah hakim ketua sidang dengan mengeluarkan penetapan
penahanan.
A. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI
1. Bunyi Pasal 185 KUHAP
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang
pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan
suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi
itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan.
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
37
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain
tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan
dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang
lain.
2. Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan
yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan
dengan pembuktian. Syarat sahnya keteranagn saksi, alat bukti keterangan saksi
merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkra pidana
yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian
perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-
kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi,”the degree of evidence”keterangan
saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian. (Pasal 185 ayat 1 KUHAP).
a. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka yang harus
diterangkan dalam sidang adalah:
apa yang saksi lihat sendiri;
apa yang saksi dengar sendiri;
apa yang saksi alami sendiri.
dengan menyebut alasan mengapa saksi dapat melihat, mendengar dan mengalami hal
itu.
b.- Keterangan saksi didepan penyidik, bukan keterangan saksi, jadi bukan
merupakan alat bukti. Keterangan saksi didepan penyidik hanya sebagai pedoman
hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang.
- Apabila berbeda antara keterangan yang diberikan di depan penyidik dengan
yang diberikan di depan sidang, hakim wajib menanyakan dengan sungguh-sungguh
dan di catat (Pasal 163 KUHAP)
3. Asas Unnus Testis Nullus Testis
a. asas unnus testis, nullus testis artinya adalah satu saksi bukan merupakan saksi. Di
dalam KUHAP diatur dalam Pasal 185 ayat 2 yang berbunyi:
38
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.
b. Asas Unnus Testis, nullus testis tersebut dapat disimpangi berdasarkan Pasal 185
ayat 3 KUHAP, yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila
disertai dengan satu alat bukti lain yang sah.
c. Berdasarkan tafsir, acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti lain, misalnya:
- satu keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa.
- satu keterangan saksi ditambah satu alat bukti surat.
d. Mengenai ketentuan “satu saksi bukanlah saksi”, menurut Mr.Modderman dalam
bukunya “De wettelijk bewijsleer instrafzaken” A.Karim Nasution,
mengemukakan bahwa inti sebenarnya dari aturan tersebut bukanlah terletak pada
angkanya, karena tidaklah ada suatu alasan untuk mengatakan bahwa keterangan
seorang saksi kurang dipercaya kejujurannya, dibandingkan dengan keterangan dua
orang saksi, tapi alasannya adalah bahwa dengan keterangan seorang saksi saja,
maka kemungkinan untuk mengadakan pengecekan timbal balik antara alat-alat
bukti akan tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu untuk pembuktian yang sah
diperlukan sekurang-kurangnya dua kesaksian, untuk dapat menghukum atas dasar
dua kesaksian tidaklah diisyaratkan bahwa harus ada persesuaian tertentu antara
kedua kesaksian tersebut, tetapi yang penting terdapat titik pertemuan antara satu
sama lain.
4. Penilaian Dari Keterangan Saksi
a. Penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi adalah bebas,
artinya seorang hakim bebas untuk menerima atau menolak isi keterangan seorang
saksi yang diberikan di Persidangan.
b. Keadaan tersebut ada benarnya, karena seringkali seorang saksi di dalam
menerangkan dilandasi suatu motivasi tertentu.
c. Ada ketentuan yang harus diperhatikan oleh hakim di dalam menilai keterangan
seorang saksi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk mengingatkan hakim agar
memperhatikan keterangan saksi secara bebas, jujur dan obyektif.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 185 ayat 6 KUHAP. Dalam menilai
kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh
memperhatikan
─ persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
39
─ persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
─ alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu.
─ cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
5. Saksi Tanpa Sumpah
a. Agar keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian, pada prinsipnya harus
memenuhi syarat:
─ saksi hadir dalam persidangan;
─ saksi harus bersumpah;
─ saksi tersebut menerangkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia
alami dengan menyebutkan dasar pengetahuannya.
b. Dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP disebutkan, bahwa keterangan dari saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan bukti, namun
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
c. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP, dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa keterangan saksi dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Keterangan saksi yang disumpah.
2. Keterangan saksi yang tidak disumpah.
d. Keterangan saksi, baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila dinyatakan
saksi yang sebelumnya disumpah/berjanji atau dikuatkan oleh sumpah/janji.
e. Keterangan saksi yang tidak disumpah, bisa terjadi karena:
─ saksi menolak untuk bersumpah atau berjanji dan dalam waktu penyanderaan
telah lampau, saksi tersebut tetap tidak mau bersumpah (Pasal 161 KUHAP).
─ berita acara pemeriksaan saksi yang dibacakan di sidang, karena saksi tersebut
tidak bisa dihadirkan
dan waktu pemeriksaan penyidikan tidak disumpah
(Pasal 162 KUHAP).
─ saksi yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan yang memberikan
keterangan tanpa sumpah (Pasal 169 ayat 2 KUHAP).
─ anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau
sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. (Pasal 171
KUHAP)
f. Keterangan saksi tanpa sumpah tersebut, dapat dipergunakan sebagai:
40
─ keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat 2 KUHAP)
yaitu dalam hal tenggang waktu penyandraan tersebut telah lampau daa saksi
atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keteranagan
yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim.
─ dapat dipakai sebagai petunjuk (penjelasan Pasal 171 KUHAP) yaitu anak yang
belum cukup umur dan orang yang sakit ingatan
g. Bila ketentuan tersebut dikaitkan dengan Pasal 185 ayat 7 KUHAP dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
─ tidak merupakan alat bukti, meskipun sesuai satu dengan yang lain;
─ jika keterangan tersebut sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah,
“dapat”, dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sudah ada, yakni:
menguatkan keyakinan hakim;
dapat dipakai sebagai petunjuk.
Karena kata “dapat”, maka hakim tidak terikat untuk mempergunakannya, jadi
sifatnya bisa dipakai atau dikesampingkan jika bertentangan dengan keyakinan
hakim.
C. BENTUK – BENTUK SAKSI
Saksi adercharge: saksi yang memberikan keterangan menguatkan pihak terdakwa.
Saksi acharge: saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan
pihak jaksa (melemahkan pihak terdakwa)
Saksi mahkota: dimana salah seorang diantara terdakwa dapat menjadi saksi
kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu tidak dituntut atas tindak pidana dimana ia
sebenarnya merupakan salah satu pelakunya atau ia dapat dimaafkan atas kesalahannya.
- Dalam praktek, antara seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama
melakukan tindakan pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain.
- Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas, disebut saksi mahkota (kroongetuige),
pada saat yang lain ia dijadikan terdakwa.
- Berkas pemeriksaan terhadap para tersangka dipisah, atau disebut pemisahan berkas
perkara (splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan
dakwaan penuntut umum, sehingga ditempu cara mengajukan sesama tersangka
sebagai saksi atas tersangka yang lain.
- Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
dengan keputusan nomor 66 K/Kr/1967, tanggal 25 Oktober 1967.
41
- Namun demikian kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan
terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga ada kemungkinan saksi tersebut diancam
atau dikenakan Pasal 224 KUHP.
- Kemungkinan yang timbul, para terdakwa yang diperiksa seperti ini akan saling
memberatkan atau saling meringankan.
- Salah satu penyebab bebasnya para terdakwa dalam kasus Marsinah yang
menggemparkan adalah praktek Splitsing.
- Doktrin hukum yang menyatakan prinsip saksi mahkota itu tidak boleh digunakan,
karena melanggar hak asasi manusia. Terdakwa tidak bisa menggunakan hak
mungkir, karena terikat sumpahnya ketika menjadi saksi. Penggunaan saksi mahkota
di Pengadilan menurut Adi Andojo Soetjipto sudah salah kaprah. Mahkamah
Agung bermaksud meluruskan hal ini.
- Di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1174K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995
dengan terdakwa Ny. Mutiari, SH dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1952
K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995 dengan terdakwa Bambang Wuryangtoyo,
Widayat dan Ahmad Sutiyono Prayogi dengan ketua majelis hakim agung Adi
Andojo Soetjipto, SH telah memberi pertimbangan sebagai berikut:
“Oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian, di mana saksi
adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama yang dipecah-
pecah adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung hak asasi
manusia, lagipula para terdakwa telah mencabut keterangannya didepan penyidik
dan pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan phisik maupun psikis
dapat dibuktikan secara nyata, disamping itu keterangan saksi-saksi lain yang
diajukan ada persesuaian satu sama lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
terdakwa dibebaskan.”
- Dengan adanya yurisprudensi Nomor 1174 K/Pid/1994 dan Nomor 1592 K/Pid/1994
tersebut, praktek saksi mahkota seharusnya diakhiri.
- Menurut penulis, seharusnya penyidik sebelum melakukan penyidikan hendaknya
mengfungsikan secara maksimal penyidikan sehingga mendapatkan saksi yang
cukup dan tidak perlu menggunakan saksi mahkota.
saksi korban / saksi utama yang melapor atau yang mengadu. Yaitu antara seorang
terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindakan pidana, bisa
dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain
Saksi relatif enbevoegd:
42
mereka yang tidak mampu secara nisbi/relatif, mereka ini didengar tetapi tidak
sebagai saksi, anak yang belum mencapai lima belas tahun, orang gila.
Saksi absolud anbevoegd:
Hakim dilarang untuk mendenar mereka sebagai saksi keluarga sedarah, semenda,
suami/istri salah satu pihak (Pasal 186 KUHAP)
Saksi de auditu:
saksi yang tidak perlu didengar kesaksiannya karena mendengar dari pihak ketiga.
Saksi verbalisan (Penyidik):
1. Apabila dalam persidangan, terdakwa mencabut keterangannya pada waktu
pemeriksaan penyidikan (berita acara penyidikan) atau mungkir, seringkali penyidik
yang memeriksa perkara tersebut dipanggil jadi saksi.
2. Alasan yang paling sering dipergunakan adalah terdakwa ketika diperiksa dalam
penyidikan ditekan atau dipaksa atau diancam atau dipukul atau disiksa.
3. jika alasan yang dipergunakan dipukul atau disiksa, seringkali hakim bertanya mana
bekas pukulan atau siksaan penyidik? Tentu saja pertanyaan seperti ini sangat lucu.
Karena pukulan atau siksaan kadang-kadang sudah hilang, kecuali jika berkas
perkara tersebut cepat-cepat dilimpahkan atau siksaan tersebut mengakibatkan luka.
4. disamping pertanyaan seperti tersebut diatas pada kesempatan sidang berikutnya,
penyidik yang memeriksa terdakwa dipanggil dalam sidang dan dijadikan saksi.
5. secara formal majelis hakim akan bertanya kepada penyidik yang pada garis
besarnya sebagai berikut:
─ apakah benar saudara yang memeriksa terdakwa pada waktu penyidikan?
─ apakah dahulu dalam memeriksa, saudara mempergunakan cara-cara menekan atau
memaksa atau mengancam atau memukul atau menyiksa?
─ apakah berkas perkara penyidikan (berita acara penyidikan) sebelum ditanda tangani
oleh terdakwa sudah saudara bacakan terlebih dahulu?
─ apakah saudara di waktu menyuruh menandatangani berita acara penyidikan kepada
terdakwa dengan cara menekan atau memaksa atau mengancam atau memukul atau
menyiksa?
6. Tentu saja penyidik akan memberi jawaban sebagai berikut:
─ benar yang memeriksa diri terdakwa adalah saksi
─ saksi dalam memeriksa tidak memaksa atau menekan atau memaksa atau
mengancam atau memukul atau menyiksa terdakwa
─ waktu terdakwa menandatangani berita acara pemeriksaan penyidikan tidak
dipaksa
43
─ waktu terdakwa akan menandatangani berita acara terlebih dahulu dibacakan dan
tidak menekan atau memaksa atau mengancam.
Jawaban seperti tersebut diatas sudah pasti akan keluar dari penyidik. Karena secara
rasio setiap orang akan mempunyai kecenderungan untuk membenarkan apa yang
dilakukan. Juga tidak kalah pentingnya setiap orang akan mempunyai
kecenderungan menjaga nama korps-nya.
7. Namun demikian seorang hakim tentu saja tidak langsung percaya terhadap
keterangan saksi verbalisan atau menolak keterangan yang diberikan tersebut.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi:
─ mungkin benar penyidik tidak melakukan penekanan atau memaksa atau
mengancam atau memukul atau menyiksa diri terdakwa
─ mungkin benar penyidik melakukannya
─ atau mungkin penyidik tidak melakukan, tetapi anggota lain yang melakukan
perbuatan tersebut.
8. Terlepas dari praktek-praktek demikian, dengan kehadiran seorang penyidik dalam
persidangan, hakim dapat mengorek latar belakang suatu perkara secara kronologis.
Apakah sebelumnya sudah mencukupi alat-alat bukti permulaan, sebelum dilakukan
penyidikan terhadap seseorang. Pada pokoknya dengan bertanya kepada penyidik,
bisa diketahui secara lengkap, mulai dari laporan atau pengaduan tentang adanya
tindak pidana.
9. Untuk mengetahui lebih banyak proses penyidikan, misalnya dapat diajukan
pertanyaan sebagai berikut:
─ adanya kasus ini diperiksa oleh penyidik, atas laporan atau pengaduan siapa?
─ sesudah menerima laporan atau pengaduan tersebut apakah yang dilakukan oleh
penyidik?
─ apakah penyidik memeriksa terlebih dahulu, atau mencari saksi-saksi yang lain,
selain saksi pelapor
─ siapa dulu yang diperiksa, terdakwa atau saksi-saksi, sambil dikontrol tanggal
pemeriksaan terhadap diri terdakwa atau saksi
─ dengan alat-alat bukti apa saja sehingga dilakukan pemeriksaan terhadap diri
terdakwa
10. hakim perlu mengingat bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian
ada 2 (dua) tahap, yakni:
─ penyelidikan
─ penyidikan
44
Penyidikan baru bisa dilakukan, sesudah dilakukan terlebih dahulu penyelidikan.
Jika alat-alat bukti belum cukup sudah melakukan pemeriksaan terhadap diri
terdakwa, maka jelas bahwa fungsi penyelidikan tidak difungsikan secara maksimal.
11. Dari fakta-fakta tersebut maka bisa dipertimbangkan, apakah terdakwa didalam
mencabut keterangan yang diberikan dalam berita acara penyidikan beralasan atau
tidak.
12. Perlu diingat pula, bahwa keterangan terdakwa (bukan keterangan tersangka) dalam
urutan-urutan penyebutan alat-alat bukti terletak paling akhir, sehingga seharusnya
pemeriksaan tersangka dalam penyidikan juga paling akhir.
apabila dalam persidangan, terdakwa mencabut keterangannya pada waktu
pemeriksaan penyidikan (BAP) / Mungkir, seringkali penyidik yang memeriksa
perkara tersebut dipanggil untuk menjadi saksi.
Saksi bersuara: saksi yang ditemukan / Hakim dan jaksa, seperti surat-
surat segel, ursum dari dokter.
Saksi diam: Sidik jari, darah yang menempel didinding atau dilantai,
sperma.
Saksi beriri sendiri.
Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus
diperhatikan oleh hakim. Dalam Pasal 185 ayat (6), dikatakan, dalam menilai keterangan
saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:
(a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain
(b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
(c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tertentu.
(d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.
Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut, maka setiap saksi harus dinilai
mengenai cara hidup serta sesuatu yang pada umumnya dapat berpengaruh pada cara hidup
dan kesusilaan. Seperti adat istiadat, kebiasaan, pergaulan dan lain-lain, dapatlah dibayangkan
hal itu diberikan kebebasan kepada hakim untuk memberi penilaiannya. Keterangan saksi
yang dinyatakan dimuka sidang harus mengenai apa yang ia lihat dalam mata kepala sendiri,
ia dengar dengan telinganya sendiri, ia alami dengan panca inderanya sendiri, adalah
keterangan saksi sebagai alat bukti, yang disebut dalam Pasal 185 ayat 1 KUHAP.
Keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga (orang lain), misalnya pihak ketiga
menceritakan tentang suatu kejadian tabrakan mobil. Maka kesaksian demikian disebut
testimonium de auditu. Keterangan saksi yang demikian tidak dapat diartikan sebagai saksi,
45
menurut Pasal 185 ayat 1, tetapi dapat dianggap sebagai tambahan alat bukti, asal dipenuhi
Pasal 185 ayat 7.
Dalam setiap kesaksian harus disebutkan alasan saksi mengapa memberikan
keterangan ini, atau dengan kata lain segala sebab tentang pengetahuan saksi. Jadi, saksi harus
memberikan keterangan tentang sebab musababnya tentang suatu kasus yang sedang
diperiksa. Misalnya: saksi memberikan keterangan tentang jual-beli itu. Keterangan demikian
kurang cukup, dan perlu diperdalam lagi, dengan keterangan mengapa ia melihat jual-beli itu;
misalnya karena perjanjian jual beli itu dilakukan dirumahnya dan saksi membuatkan
perjanjian itu. Suatu keterangan saksi disertai alasan sebab musababnya atau alasan
pengetahuannya, harus dianggap sebagai alat bukti kurang sempurna (Pasal 185 ayat 6, huruf
c KUHAP)
Kemudian ditegaskan dalam Pasal 185 ayat 5, bahwa pendapat atau rekaan (rekayasa)
yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Jadi, rekayasa
pendapat dari hasil akal (ratio concludendi) tidak dianggap sebagai keterangan saksi.
Dalam memberikan keterangan saksi diharuskan bersumpah atau berjanji menurut
agama atau kepercayaan masing-masing, sehingga memiliki nilai kesaksian sebagai alat bukti.
Apabila keterangan saksi tidak disertai dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu
sesuai dengan satu dan lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang
disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang
sah. (Pasal 185 ayat 7).
Akhirnya, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya
didasarkan kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi kurang mencukupi asan minimum
alat bukti, dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup (Pasal 185 ayat 2. Artinya
kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim. Ketentuan
Pasal 185 ayat 2 ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah
lainnya (Pasal 185 ayat 3).
Sering terjadi dalam praktek, dalam suatu peristiwa dibutuhkan beberapa orang saksi
dalam arti bahwa seorang saksi dengan saksi lain pengetahuannya berbeda atau seorang saksi
hanya mengetahui satu faset dari keseluruhan kejadian, hingga perlu adanya beberapa saksi
untuk didengar keterangannya. Jadi, penilaian terhadap beberapa saksi itu masing-masing
berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain tentang pelbagai peristiwa untuk
membuktikan satu peristiwa di serahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Dalam KUHAP tidak diatur mengenai kejadian bilamana seorang saksi didengar
keterangannya oleh penyidik kemudian meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah
tidak dapat hadir dalam persidangan, hingga berita acara itu dibacakan saja. Biasanya dalam
46
praktek, dalam saksi memberikan keterangan dimuka penyidik tidak disumpah. Karena
demikian, maka pertimbangan mengenai nilai kesaksian diserahkan kepada kebijaksanaan
hakim. Agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1. Syarat obyektif:
b. Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
c. Tidak boleh ada hubungan keluarga;
d. Mampu bertanggungjawab, yakni sudah berumur 15 (lima belas) tahun atau
sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2. Syarat formal:
a. Kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b. Kesaksian tersebut harus diucapkan dibawah sumpah
Tidak dikenai asas unus testis nullus testis.
3. Syarat subyektif/internal:
a. Saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri;
b. Dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan
mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.
ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI
A. PENGERTIAN
a. Ahli
1. Yang disebut ahli menurut:
Pasal 120 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian khusus
Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan
tulisan palsu
Pasal 133 KUHAP menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk menentukan korban
luka keracunan atau mati adalah ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli
lainnya. Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-003/J.A./2/1984,
pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan
digunakan sebagai alat bukti bahwa suatu tindakan pidana telah terjadi, atau
BAB
5
47
siapa saja yang bersalah melakukannya telah disepakati oleh Ketua Mahkamah
Agung, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia sebagai
berikut:
untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ahli otentikasi
diberikan oleh Laboratorium Krimanal MABAK
untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentifikasi diberikan oleh
Laboratorium Kriminil POM ABRI
untuk perkara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu
Laboratorium Kriminil berdasarkan kesepakatan antara unsur penegak hukum
yang duduk dalam team untuk perkara konektisitas. Menurut Pedoman
Pelaksanaan KUHAP , keterangan dokter bukan keterangan ahli tetapi
keterangan saja yang merupakan petunjuk. Yang disebut keterangan ahli dalam
Pasal 133 KUHAP yakni keterangan ahli kedokteran kehakiman untuk
pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat.
2. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal-Pasal tersebut di atas tidak disebutkan
secara jelas syarat-syarat tentang ahli, kecuali untuk dokter ahli kehakiman
atau dokter. Sehingga dibuka kemungkinan seorang ahli dari kalangan tidak
terdidik secara formal.
3. - Menurut A. Karim Nasution janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa
orang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang telah memperoleh
pendidikan khusus atau orang yang telah memiliki ijasah tertentu. Setiap orang
menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal,
atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang itu.
- Nederburgh mengemukakan, bukan berarti dalam memerlukan bantuan
ahli kita harus selalu minta bantuan sarjana-sarjana atau ahli-ahli ilmu
pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang
berpendidikan, namun dalam bidangnya toh sangat cenderung (scherpzinnig).
Umpamanya: tukang kayu, tukang sepatu, pembuat senjata, pemburu dan
sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat memberi pertolongan yang
sangat diperlukan.
b. Keterangan ahli
jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, yakni
diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan, atas permintaan
penyidik, ahli membuat laporan, atau visum et repertum dan dibuat oleh ahli yang
bersangkutan, yang bernilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
48
Keterangan ahli yang diminta dapat disampaikan disidang peradilan, yang
diajukan oleh Penuntut Umum, Penesehat Hukum.
Keterangan ahli dapat disampaikan secara lisan dan langsung dicacatat dalam
berita acara oleh panitra, dengan diucapkan diatas sumpah atau janji dan
keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keterangan
ahli merupakan salah satu ciri khas dari perkembangan hukum acara pidana
moderen, sehinga sangat berguna untuk membuat jelas dan terang suatu tindak
pidana yang dilakukan terdakwa.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir
28 KUHAP).
Dari keterangan diatas, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli tidak
dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang ahli
dan pengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus.
Ahli mempunyai 2 (dua) kemungkinan bisa sebagai alat bukti keterangan
ahli atau alat bukti surat.
Apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan
mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan
(penjelasan Pasal 186 KUHAP), maka keterangan ahli tersebut sebagai alat
bukti surat.
B. PEMANGGILAN DAN PEMERIKSAAN AHLI
1. Pemanggilan Terhadap Ahli
Dasar hukum pemanggilan seorang ahli adalah sama dengan dasar hukum
pemanggilan seorang saksi, yakni Pasal 146 ayat 2 dan Pasal 227 KUHAP.
Pemanggilan terhadap ahli dilakukan oleh penuntut umum yang memuat secara
jelas tanggal, hari serta jam sidang serta untuk perkara apa ia dipanggil.
Selanjutnya lihat kembali pemanggilan terhadap saksi.
Dalam praktek tidak sulit untuk menghadirkan ahli dalam sidang pengadilan, apa
lagi kalau ahli tersebut seorang yang berpendidikan. Kebanyakan mereka
menyadari tugas dan kewajiban seseorang selaku ahli. Di samping itu masalah
yang diterangkan oleh ahli dalam sidang bersifat netral, yaitu merupakan penilaian
atau penghargaan terhadap suatu keadaan.
2. Ahli Tidak Mau Hadir Di Persidangan
49
Menjadi ahli pada dasarnya sama dengan menjadi saksi adalah merupakan suatu
kewajiban hukum. Menolak kewajiban tersebut dapat dikenakan pidana
berdasarkan ketentuan undang-undang (Pasal 159 ayat 2 KUHAP).
Ancaman menolak kewajiban ahli terdapat dalam Pasal 224 KUHP.
Selanjutnya lihat kembali uraian tentang saksi tidak mau hadir di persidangan.
3. Tata Cara Pemeriksaan Ahli
Hakim ketua sidang menanyakan identitas ahli, mengenai nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama,
dan pekerjaan.
Sebelum memberikan keterangan, ahli wajib bersumpah atau berjanji menurut cara
agama masing-masing (Pasal 179 ayat 2 KUHAP).
Keterangan ahli yang diberikan dalam sidang dicatat dalam berita acara
pemeriksaan (penjelasan Pasal 186 KUHAP). Berita acara tersebut ditandatangani
oleh hakim ketua sidang dan panitera seketika setelah putusan perkara itu
diucapkan (Pasal 200 KUHAP).
4. Sumpah ahli.
Sebelum memberi keterangan, ahli wajib mengucapkan sumpah atau berjanji
menurut cara agama yang dianutnya (Pasal 179 ayat 2 KUHAP).
Bagi seseorang yang agamanya tidak memperbolehkan bersumpah, sumpah
tersebut diganti dengan berjanji (Staatsblaad 1920 nomor 69 Pasal 5).
Bunyi sumpah seorang ahli, “bahwa selaku ahli akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya” (Pasal 179 ayat 2 KUHAP).
5. Ahli Menolak Untuk Bersumpah
Terhadap ahli yang tidak mau bersumpah atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan
tetap dilakukan.
Terhadap ahli tersebut bisa dilakukan penyanderaan di dalam RUTAN paling lama
14 (empat belas) hari berdasarkan penetapan hakim ketua sidang.
Apabila waktu 14 (empat belas) hari tersebut terlampau, maka keterangan yang
diberikan merupakan keterangan saja, yang menguatkan keyakinan hakim. (Pasal
161 KUHAP dengan penjelasannya).
6. Ahli Tidak Hadir Dalam Sidang Dengan Alasan Sah
Keterangan ahli yang tidak hadir dalam sidang dengan alasan yang sah, keterangan
tersebut dibacakan.
50
Jika keterangan ahli tersebut sebelum diberikan didepan penyidik sudah
mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 120 ayat 2 KUHAP), maka nilainya sama
dengan keterangan ahli yang dinyatakan dalam sidang.
Jika keterangan ahli tersebut diberikan didepan penyidik tidak mengucapkan
sumpah atau janji, maka keterangan yang diberikan, merupakan keterangan saja
yang menguatkan keyakinan hakim (Bandingkan dengan ahli yang menolak untuk
bersumpah atau berjanji setelah disandera, tetap tidak mau bersumpah atau
berjanji).
7. Penelitian ulang
a. Penelitian ulang dengan bahan baru dapat dilakukan terhadap keterangan ahli atau
hasil keterangan ahli.
b. Penelitian ulang tersebut dapat dilakukan:
karena jabatan hakim ketua sidang untuk menjernihkan duduk persoalan;
karena keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum.
c. Apabila dilakukan penelitian ulang, dilakukan oleh instansi semula, dengan
komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang
untuk itu. (Pasal 180 KUHAP).
d. Dengan demikian terdakwa atau penasehat hukum berhak menolak keterangan ahli
atau hasil keterangan ahli.
C. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI
1. Dalam Pasal 186 KUHAP, disebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang
ahli nyatakan didepan sidang pengadilan.
2. Suatu keterangan ahli baru mempunyai nilai pembuktian, bila ahli tersebut dimuka
hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Dengan
bersumpah baru mempunyai nilai sebagai alat bukti.
3. Jika ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucapkan sumpah dimuka
penyidik maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang diucapkan dalam sidang.
4. Bila keterangan ahli diberikan tanpa sumpah:
karena sudah disandera, dan tetap tidak mau bersumpah
tidak hadir dan ketika pemeriksaan di depan penyidik tidak bersumpah terlebih
dahulu.
maka keterangan ahli tersebut hanya bersifat menguatkan keyakinan hakim.
5. Dengan demikian selaku ahli, maka ia mempunyai kewajiban:
datang di persidangan
mengucapkan sumpah
memberikan keterangan menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
51
6. Apa yang diterangkan oleh seorang ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan
dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain
merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan. Hal ini berbeda
dengan keterangan seorang saksi yang justru dilarang untuk memberikan kesimpulan-
kesimpulan. Keterangan saksi hanyalah merupakan pengungkapan kembali fakta-fakta
yang oleh saksi dilihat, didengar dan dialami sendiri. Lebih jelasnya disebutkan dalam
ketentuan Pasal 185 ayat 5 KUHAP, baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh
dari pemikiran bukan merupakan keterangan saksi.
7. Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang
hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna
keterangan ahli dipersidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan
kebenaran, dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak.
8. Apabila bersesuaian dengan kenyataan yang lain dipersidangan, keterangan ahli
diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan,
bisa saja di kesampingkan oleh hakim. Namun yang perlu diingat apabila keterangan
ahli dikesampingkan harus berdasar alasan yang jelas, tidak bisa begitu saja
mengesampingkan tanpa alasan. Karena hakim masih mempunyai wewenang untuk
meminta penelitian ulang bila memang diperlukan.
9. Apabila dibandingkan dengan ilmu manajemen, keterangan ahli adalah sama dengan
atau setara dengan pendapat seorang staf ahli, yang memberiikan masukan bagi
manager dalam pengambilan keputusan. Manajer bebas memakai atau
mengesampingkan pendapat seorang staf ahli dalam pengambilan keputusan. Hanya
saja keterangan ahli dalam persidangan diharuskan memenuhi tata cara tertentu
sebelum memberikan pendapatnya.
Dari keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, hakim dapat minta
bantuan seorang ahli, dalam praktek sering disebut sebagai saksi ahli (expertis, deskundigen).
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian
khusus dan objektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah
pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal. Sebagai asas dalam peradilan, hakim tidak boleh
menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang tidak
mengaturnya. Ia harus menemukan hukum itu.
Hal itu bukan berarti hakim dianggap tahu segalanya atau dianggap sebagai manusia
serba tahu, karena itu ia membutuhkan dan menggunakan keterangan seorang ahli agar
memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu hal yang menyangkut perkara yang
ditanganinya. Misalnya mengenai kebakaran, hakim membutuhkan pengetahuan tentang
kelistrikan maka dipanggilah saksi ahli listrik dan seterusnya. Contoh lain: sebuah waduk
pecah atau jembatan runtuh maka dalam kaitan ini dibutuhkan keterangan ahli beton
bertulang.
52
Mengenai saksi ahli diatur dalam Pasal 160 ayat 4 yang menetapkan bilamana
pengadilan menganggap perlu, seorang ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu
selesai memberikan keterangan, dan dalam Pasal 161 ayat 2 ditentukan saksi ahli yang tidak
disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah tetapi
hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Siapa atau apa yang
disebut sebagai ahli tidak diberi penjelasan oleh KUHAP, sehingga dengan demikian tentang
ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau keahliannya yang khusus
tetapi ditentukan oleh karena panggilan pengadilan yang wajib dipenuhi. Oleh karena itu,
seorang ahli yang disidik oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara, bila
merasa dirinya tidak mempunyai keahlian khusus wajib mengundurkan diri. Dalam praktek
dinegara kita, pendidikan formal yang menjadi ukurannya. Seharusnya perlu ditambahkan
syarat pengalaman dalam salah satu bidang.
Dalam Pasal 1 butir 28, diberi pengertian umum tentang keterangan ahli yang
menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 menyebutkan pengertian keterangan ahli
dalam proses pemeriksaan sidang yaitu apa yang dinyatakan oleh seorang ahli dalam sidang.
Keterangan ahli dalam Pasal 1 butir 28 dan Pasal 186 menimbulkan persoalan, jika
dihubungkan dengan penjelasan Pasal 133 ayat 2 yang berbunyi: “Keterangan yang diberikan
oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang
diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.”
Menurut penulis, keterangan ahli kedokteran kehakiman atau keterangan yang
dimaksud dalam Pasal 133 diberikan dalam proses penyidikan. Jadi bukan dalam sidang,
sehingga keterangan dokter bukan ahli kehakiman dapat dianggap sebagai alat bukti “surat”
(Pasal 184 sub c), sedang apabila keterangan dokter bukan ahli kehakiman diberikan dalam
sidang, harus dianggap sebagai alat bukti “keterangan saksi” (Pasal 184 sub a).
Apabila dibandingkan keterangan saksi dan keterangan ahli, maka ada perbedaan
antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Saksi memberi keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia alami, ia dengar, ia
lihat, ia rasakan dengan alat panca inderanya, sedangkan ahli memberi keterangan
mengenai penghargaan dari hal-hal yang sudah ada dan mengambil kesimpulan
mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa.
2. Pada saksi dikenal adanya asas unnus testis nullus testis yang tidak dikenal pada ahli,
sehingga dengan keterangan seorang ahli saja, hakim membangun keyakinannya
dengan alat-alat bukti yang lain.
53
3. Saksi dapat memberi keterangan dengan lisan dan ahli dapat memberi keterangan lisan
maupun tulisan.
4. Hakim bebas menilai keterangan saksi dan hakim tidak wajib turut kepada pendapat,
kesimpulan dan saksi ahli bilamana bertentangan dengan keyakinan hakim;
5. kedua alat bukti: saksi dan saksi ahli digunakan hakim dalam mengejar dan mencari
kebenaran sejati.
ALAT BUKTI SURAT
A. PENGERTIAN
Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai bahan pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-
tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah
pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Menurut para ahli :
- AsserAnema surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang
dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
- Pitlo : Tidak termasuk dalam kata surat, adalah foto dan peta, barang-barang ini
tidak memuat tanda bacaan.
- Sejalan dengan pikiran Pitlo, Sudikno Mertokusumo, potret atau gambar tidak
memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran, demikian pula denah atau peta,
BAB
6
54
meskipun ada tanda-tanda bacaannya, tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran
atau isi hati seseorang. Itu semuanya hanya sekedar merupakan barang atau benda
untuk meyakinkan saja (demonstrative evidence).
- Mahkamah Agung Republik Indonesi, dalam suratnya yang ditujukan kepada
Menteri Kehakiman Republik Indonesia, tanggal 14 Januari 1988, nomor
39/TU/88/102/Pid, berpendapat microfilm atau microfiche dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat
bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat 1 sub c KUHAP, dengan
catatan baik microfilm atau microfiche itu sebelumnya dijamin otentifikasinya
yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadapa
perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama.
- Jika pendapat Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut diterima, maka
sesuai dengan pendapat Paton alat bukti dapat bersifat:
Oral: Merupakan kata-kata yang di ucapkan dalam persidangan, keterangan
saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa.
Documentary: Surat.
Domonstrative evidence: alat bukti yang bersifat material adalah barang fisik
lainnya, misalnya microfilm dan microfische tersebut.
B. MACAM-MACAM SURAT
1. Bunyi Pasal 187 KUHAP, secara lengkap adalah sebagai berikut:
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 187 ayat 1 huruf c, dibuat atas jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, desertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undang atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktiaan yang lain.
2. a. Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
yakni surat-surat resmi hanyalah yang diatur dalam:
- Pasal 187 huruf a KUHAP.
55
- Pasal 187 huruf b KUHAP.
- Pasal 187 huruf c KUHAP.
Sedangkan yang diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP termasuk surat biasa,
yang setiap hari bisa dibuat oleh seseorang.
b. Surat – surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP, memang
sejak semula diperuntukkan untuk membuktikan sesuatu.
3. a. Yang dimaksud dengan surat yang diatur didalam Pasal 187 huruf a KUHAP
adalah:
- Berita acara, misalnya berita acara yang dibuat oleh seorang penyidik.
- Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, misalnya surat-surat yang dibuat oleh
seorang notaris.
b Menurut SEMA nomor 1 Tahun 1985 tentang kekuatan Pembuktian Berita Acara
Pemeriksaan. Saksi dan Visum et Repertum Yang Dibuat di Luar Negeri Oleh
Pejabat Asing disebutkan bahwa berita acara pemeriksaan sakti yang dibuat oleh
polisi dari negara asing diluar negeri, baru dapat digunakan sebagai alat bukti yang
sah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Dalam berita acara tersebut kehadiran penyidik POLRI atau penyidik lainnya ٭
harus dicantumkan dengan tegas.
,Apabila kehadiran penyidik POLRI atau penyidik lainnya tidak dicantumkan ٭
maka berita acara tersebut harus disahkan oleh Kedutaan Besar RI/Perwakilan
RI di negara yang bersangkutan.
4. - Yang dimaksud dengan surat yang diatur dalam Pasal 187 huruf b KUHAP adalah:
- Surat yang dibuat oleh pejabat di lingkungan pemerintahan (eksekutif).
- Surat – surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis misalnya hakim.
5. - Yang dimaksud dengan surat yang diatur oleh Pasal 187 huruf c KUHAP adalah
sama dengan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP.
- Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat
berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
- Laporan tersebut itu mencakup didalamnya visum et repertum, yang sebenarnya
telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatblad 1937-350.
- Menurut SEMA nomor 1 Tahun 1985 mengenai visum et repertum yang dibuat
oleh pejabat dari negara asing, baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang
sah apabila visum et repertum tersebut disahkan oleh Kedutaan Besar/Perwakilan
RI dinegara yang bersangkutan.
- Ada Yurisprudensi dari Mahkamah Agung nomor 10K/Kr/1969 tanggal 5
November 1969 bahwa visum et repertum tidak ada, bisa diganti dengan
keterangan saksi ahli.
56
6. Yang dimaksud dengan surat yang diatur oleh Pasal 187 huruf d KUHAP adalah surat-
surat biasa yang berlaku jika ada hubungannya dengan isi alat bukti yang lain.
Misalnya:
- Surat ancaman dari terdakwa kepada korban dalam perkara pembunuhan.
- Surat cerita antara terdakwa dengan saksi dalam perkara membawa lari seorang
gadis di bawah umur.
7. Dari macam-macam surat resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a, b
dan c KUHAP, maka dapat digolongkan:
a. Acte ambtelijk, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta
otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum tersebut. Jadi
isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang yang ia lihat dan ia lakukan.
Misalnya:
Berita Acara tentang keterangan saksi yang dibuat oleh penyidik.
b. Acte partij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak di hadapan pejabat umum.
Pembuat akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak
dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan keterangan-
keterangan yang berisi kehendak para pihak.
Misalnya:
- Akta jual beli yang dibuat dihadapan notaris.
8. Macam-macam surat adalah:
Surat biasa.
Surat otentik.
Surat dibawah tangan. Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 187 KUHAP, maka:
Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik.
Pasal 187 huruf d termasuk surat biasa.
C. TATA CARA PEMERIKSAAN SURAT
1. Tata cara pemeriksaan surat dalam KUHAP tidak diatur sama sekali. Demikian pula
tentang kekuatan alat bukti surat, juga tidak disinggungisinggung di dalam KUHAP.
Yang diatur dalam Pasal 187 KUHAP, sebenarnya adalah macam-macam surat.
2. Sebelum membicarakan perihal pembuktian surat menurut A. Karim Nasution yang
pertama-tama perlu dikemukakan, bahwa hanya surat-surat yang telah diserahkan
dalam perkaralah yang dapat dianggap sebagai alat bukti. Jika surat-surat tersebut
tidak diserahkan dan dimasukan dalam berkas perkara yang ada pada hakim, maka
surat-surat itu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, pun tidak untuk membuktikan
adanya suatu petunjuk atau aanwijzing. Walaupun sesuatu surat dipergunakan sebagai
57
alat bukti, namun surat tersebut tetap harus dibacakan atau isinya secara ringkas
diberitahukan dalam persidangan, jika hakim ingin mempergunakan sebagai alat bukti.
3. Dahulu didalam HIR, ada 2 (dua) Pasal utama yang harus diperhatikan bagi seorang
hakim yaitu Pasal 304 dan 297.
a. Pasal 304 HIR:
bahwa aturan tentang kekuatan pembuktian dan surat-surat umum dan surat-surat
khusus dalam proses perdata, harus juga diperhatikan terhadap kekuatan
pembuktian dalam proses pidana.
b. Pasal 297 HIR:
Segala rupa alat bukti dapat dilemahkan dengan bukti penyangkal.
4. Untuk dapat lebih mendalami alat bukti surat, maka dalam pembahasan lebih lanjut
akan dibicarakan kekuatan alat bukti surat menurut hukum acara perdata dan menurut
hukum acara pidana. Sebagai bagian dari alat bukti dalam pembuktian, maka
perkembanagan alat bukti surat ini, berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dengan diterimanya beberapa alat bukti yang diatur oleh
undang-undang N0 11 tahun 2009 tentang ITE. Diantaranya surat elektronik, email,
sms, dan sebagainya. Hal yang penting dalam perkarang tindak pidana adalah surat
resmi dari instansi atau lembaga tinggi negara seperti Badann Pemeriksaan Keuangan
(BPK), maupun Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) Badan Pemeriksaan
Keuangan Pembangunan (BPKP) Inspekturat Jendral (Irjen) diberbgai depertemen,
hasil audit independen serta laporan masyarakat lain.
D. KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Meskipun tidak ada pengaturan khusus, tentang cara memeriksa alat bukti surat
seperti yang diatur dalam Pasal 304 HIR, maka harus diingat bahwa sesuai dengan
sistem negatif yang dianut oleh KUHAP, yakni harus ada keyakinan dari hakim
terhadap alat bukti yang diajukan dipersidangan. Nilai alat bukti oleh karena itu
bersifat bebas.
Bahwa karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran material
atau kebenaran sejati, maka konsekuensinya hakim bebas untuk menggunakan atau
mengesampingkan sebuah surat.
Disamping itu haruslah diingat pula tentang adanya minimum pembuktian
walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk
surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti
yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti
58
surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Bagaimanapun
sikap kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak
cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan
dari alat bukti lain. Berarti sifat kesempurnaan formalnya, harus tunduk pada asas
batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
perlu diingat dua hal tentang kekuatan alat bukti surat yaitu:
a. Bahwa bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap bukti-
bukti surat dalam perkara perdata, namun surat-surat tersebut dalam perkara
pidana dikuasai oleh aturan, bahwa mereka harus menentukan keyakinan
hakim. Dengan demikian maka dalam perkara perdata, hakim adalah
berkewajiban untuk memutus suatu perkara menurut kekuatan bukti dari suatu
akta otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkalan, tetapi dalam perkara
pidana, akta yang sama dapat saja dikesampingkan oleh hakim.
b. Bahwa pembuktian dalam perkara perdata adalah bertujuan untuk memutuskan
apa yang oleh kedua belah pihak yang berperkara dianggap benar (kebenaran
formal) sedang tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk
mencari kebenaran material.
Dalam Ketentuan Umum tidak terdapat pengertian tentang apa surat itu; menurut
Pitlo, suatu surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi
pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini diatas kertas, karton kayu atau kain
adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita
kenal atau dari huruf Cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri.
Tidak termasuk dalam kata surat adalah foto dan peta; barang-barang ini tidak memuat tanda
bacaan. Seseorang menerima sejumlah uang atau barang, baru merasa dirinya aman jika ia
memberi suatu tanda terima.
Orang yang memberi tanda terima itu harus mengerti bahwa tulisan atau surat tanda
terima itu kemudian hari dapat dipergunakan terhadap dirinya sebagai bukti bahwa ia benar
telah menerima uang atau barang itu. Pada asasnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau
memberatkan bagi orang yang menulisnya atau sipembuat. Pengecualian terhadap asas ini
terdapat dalam Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatakan “Hakim
adalah bebas untuk kepentingan masing-masing akan memberi kekuatan bukti sedemikian
rupa kepada pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya dalam
tiap-tiap kejadian khusus harus diberikannya.” Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 167
HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa pemegangan buku itu menguntungkan
59
pembuatnya. Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibagi dalam dua golongan: akte dan surat-
surat lain bukan akte. Sedangkan akte dapat dibagi dalam dua:
1. akte otentik,
2. akte dibawah tangan.
Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar dari
suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja untuk pembuktian. Keharusan
tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai akte ternyata dari Pasal 1869 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dengan demikian, karcis kereta api, tiket resi dan
lain-lain bukan termasuk akte. Akte otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang
berwenang untuk itu ditempat akte itu dibuat (Pasal 1869 BW, Pasal 165 HIR atau Pasal 285
Rbg). Akte –akte lainnya yang bukan otentik dinamakan akte dibawah tangan.
Menurut Pasal 1868 BW tersebut ada dua macam akte otentik, yakni: suatu akte yang
dibuat oleh dan suatu akte yang dibuat di hadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-
undang, contoh: Laporan rapat perseroan dengan dengan dihadiri oleh semua anggota persero
adalah akte otentik yang dibuat oleh notaris. Berita Acara sidang dan berita acara
pemanggilan saksi adalah akte otentik yang dibuat oleh panitera pengganti, Juru sita
Pengadilan. Contoh akte yang dibuat dihadapan notaris: dua pihak menghadap notaris,
menerangkan bahwa mereka telah mengadakan perjanjian (misalnya jual beli, hutang piutang
dan lainnya) dan minta kepada notaris agar perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte. Akte
demikian adalah akte otentik yang dibuat oleh Catatan Sipil.
Akte dibawah tangan ialah akte yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh pihak-
pihak tanpa bantuan dari pegawai umum yang berwenang untuk itu (S 1867 Nomor 29 untuk
Jawa dan Madura dan untuk luar Jawa dan Madura diatur Pasal 286-305 Rbg). Termasuk
pengertian surat dibawah tangan menurut Pasal 1S. 1867 No. 29 (dan 286 Rbg, Pasal 1874
BW) ialah akte dibawah tangan, surat-surat, daftar (register) catatan mengenai rumah tinggal
dan surat-surat lain yang dibuat tanpa bantuan pegawai umum yang berwenang. Akte dibawah
tangan dapat dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh
undang-undang dan dibukukan menurut aturan yang diadakan oleh undang-undang.
Pembubuhan pernyataan oleh notaris atau pegawai lainnya seperti tersebut diatas disebut
“legalisasi” yang berarti pengesahan. Pejabat-pejabat lain yang berwenang memberi legalisasi
adalah: Hakim, Bupati, Kepala Daerah, Walikota (Ordonansi tahun 1916 Nomor 46).
Disamakan dengan tanda tangan adalah cap jempol yang dibubuhi pernyataan yang
bertanggal oleh Notaris, Hakim, Bupati, Kepala Daerah, Walikota yang menyatakan bahwa
pejabat tersebut kenal kepada pembubuh cap jempol tersebut atau orang tersebut telah
60
diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akte telah dijelaskan kepada orang tersebut dan bahwa
setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pejabat tadi. Akte tersebut kemudian
harus dibukukan dalam buku khusus yang disediakan guna keperluan itu (Ordonansi tahun
1916 Nomor 46).
Dalam akte otentik tidak menjadi persoalan mengenai tanda tangan, tetapi dalam akte
dibawah tangan, pemeriksaan tentang benar atau tidaknya akte yang bersangkutan yang telah
ditanda tangani oleh yang bersangkutan merupakan masalah pokok. Apabila tanda itu
disangkal maka perlu diperiksa kebenaran tanda tangan tersebut. Surat sebagai alat bukti
disebutkan dalam Pasal 184 dan diatur dalam Pasal 187. lengkapnya Pasal 187
berbunyi:“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu
keadaan.
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi daripadanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.
Kiranya, Pasal 187 ini ditiru Pasal 83 UU no. 1 tahun 1950 (dengan perbedaan
redaksi), minus “putusan secara sah diambil oleh badan pengadilan atau hakim” tidak ada
penjelasan terhadap ketentuan Pasal 187 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat resmi
(openbaar) dan surat-surat biasa (bijzonder) didalam Hukum Acara Perdata dapat diterapkan
dalam penilaian Hukum Acara Pidana, seperti disebutkan dalam Pasal 304 HIR. Oleh karena
itu diserahkan kepada pertimbangan hakim. Ketegasan kepada Pasal 52, yang harus diartikan
bahwa tersangka ataupun saksi dalam pemeriksaan penyidik memberikan keterangan secara
bebas.
Kemudian, keterangan terdakwa sebagai alat bukti disebut dalam Pasal 184 sub e dan
juga disebut dalam Pasal 188, tentang kadar keterangan terdakwa adalah sama dengan
keterangan tersangka dimuka penyidik (Pasal 52 jo Pasal 117), artinya terdakwa memberikan
keterangan secara bebas. Menurut penulis, Pasal 295 HIR yang menyebut “pengakuan”
(bekentenis) sebagai alat bukti dan Pasal 307 HIR yang menyebut “pengakuan salah”
61
(gerechtelijke bekentenis) sebagai kekuatan alat bukti (bewijstkracht), berbeda kadar atau
derajat dengan”keterangan terdakwa” dalam Pasal 184 sub e dan Pasal 189 KUHAP sebagai
alat bukti dan kekuatan pembuktian sebab yang terakhir ini diberikan secara bebas.
Maka dalam Pasal 189 ayat (1) diberikan batasan dalam operasional alat bukti
“keterangan terdakwa” ialah apa yang dinyatakan oleh terdakwa disidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau ia alami sendiri. Bilamana Pasal 189 ayat 1 ini
dibandingkan dengan Pasal 1 butir 27, yang memberikan batasan tentang keterangan saksi
bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti berupa keterangan mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri. Jadi kedua Pasal tersebut ada
persamaan wajib memberi keterangan yaitu keterangan dari apa yang sesungguhnya terjadi
(de materieele waarheid). Selain itu keterangan terdakwa dapat berisi:
1. pembenaran seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebut dalam surat dakwaan.
2. penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan.
Oleh karena pengertian keterangan terdakwa mempunyai makna lebih luas daripada
pengertian pengakuan salah, penulis tidak menggunakan kata “keterangan salah” atau
“pengakuan salah”, sebab kedua terminologi tersebut berkonotasi sebagai sesuatu yang
berlawanan atau prinsip presumption of innocence. Dikatakan terdakwa bersalah apabila
sudah ada putusan yang berkekuatan tetap dengan penghukuman pidana kepadanya. Yang
menjadi masalah ialah bagaimana jika terdakwa mencabut keterangannya dahulu yang dibuat
dimuka penyidik dan bagaimana penilaian terhadap keterangan terdakwa? Menurut penulis,
hakim dalam menghadapai masalah ini harus berprinsip pada keterangan terdakwa sebagai
alat bukti, yaitu apa yang ia nyatakan dalam persidangan.
Pencabutan keterangan terdakwa atas keterangannya dimuka penyidik harus
dibuktikan adanya paksaan dan atau tekanan. Kedua alasan itu disebut di dalam penjelasan
Pasal demi Pasal tidak limitatif, tetapi jika ada alasan lain yang tepat dan masuk akal
(aanemelijk), misalnya salah paham dalam pengertian suatu hal maka pencabutan itu dapat
diterima baik.
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asal keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti
yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2). KUHAP
memberi penegasan bahwa keterangan terdakwa dimuka sidang hanya merupakan bukti bagi
diri sendiri, dan tidak bagi kawan terdakwa (mede beklaagde) (Pasal 189 ayat 3). Dalam
praktek sering terjadi bahwa terdakwa menyeret kawannya menjadi mede beklaagde hanya
karena balas demdam atau alasan lain. Berkenaan dengan penerapan alat-alat bukti yang
bermacam-macam itu. KUHAP memberikan tekanan bahwa keterangan dari terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat
62
4). Ketentuan ini, menurut penulis memberikan penegasan bahwa KUHAP menganut
pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie).
Oleh karena itu, satu alat bukti misalnya berujud keterangan terdakwa baik itu
mengandung pembenaran seluruhnya atau sebagian perbuatan yang didakwakan ataupun
penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang didakwakan tidak merupakan bukti
sempurna untuk menjatuhkan hukuman pidana. Demikian juga, tidak seorangpun dapat
dikenakan hukuman pidana hanya didasarkan atas penyangkaan belaka. Bagi hakim pidana
tidak ada alat bukti satupun yang akan mengikat hakim perihal kekuatan pembuktian. Jika ada
akte otentik diajukan dalam perkara pidana, hakim untuk mempunyai keyakinan tentang
ketiadaan salah terdakwa, tidak memerlukan kontra bukti, lain halnya dengan hakim perdata
ALAT BUKTI PETUNJUK
A. PENGERTIAN
Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam praktek, hendaknya digunakan dengan
hati-hati karena sangat dekat dengan sifat kewenangan yang dominan dalam penilaian
yang bersifat subjektif sekali. Oleh karenanya hakim dalam menggunakan alat bukti
petunjuk harus penuh kearifan dan bijaksana dan berdasarkan hati nurani,
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat 1
KUHAP).
BAB
7
63
Berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan
keterangan terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat
dan keterangan terdakwa.
a Pengertian diperoleh berarti alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti
langsung (indirect bewijs).
b Oleh karena itu banyak yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan
alat bukti.
van Bemmelen
“Akan tetapi kesalahan yang terutama adalah, bahwa orang telah menganggap
petunjuk-petunjuk itu sebagai suatu alat bukti, sedang dalam kenyataannya
adalah tidak demikian,”
P.A.F.LAMINTANG
“Petunjuk memang hanya merupakan dasar yang dapat dipegunakan oleh
hakim untuk menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau dengan
perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti, seperti misalnya
keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu
kenyataan, melainkan ia hanya merupakan suatu dasar pembuktian belaka,
yakni dari dasar pembuktian mana kemudian hakim dapat menganggap suatu
kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara
kenyataan tersebut dengan kenyataan yang dipermasalahkan.”
c Dalam Nederlandse Strafvordering (Hukum Acara Pidana Belanda) yang baru,
alat bukti petunjuk sudah tidak dipergunakan lagi, karena penyimpulan hakim
terhadap alat bukti langsung sudah dianggap lebih berwibawa.
d Menurut A. Hamzah , jika diperhatikan Pasal 188 ayat 3 KUHAP yang
menyatakan bahwa untuk menilai kekuatan alat bukti petunjuk adalah:
“kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani hakim” pada waktu
pemeriksaan dimuka sidang yang dilakukannya dengan arif dan bijaksana.
Kecermatan dan keseksamaan hakim disini adalah “pengamatan hakim” dimuka
sidang. Jadi sebenarnya KUHAP telah mengakui pentingnya peranan pengamatan
hakim sebagai alat bukti, tetapi tidak secara tegas dicantumkan dalam Pasal 184
KUHAP.
e Terlepas dari setuju atau tidak petunjuk dianggap sebagai alat bukti, perlu diingat
“Pembuktian sebagai dasar perkara pidana sering harus didasarkan atas petunjuk-
petunjuk. Hal ini karena jarang sekali seorang yang melakukan kejahatan, terlebih-
lebih mengenai tindak pidana berat, akan melakukannya dengan terang-terangan.
64
Pelakunya selalu berusaha menghilangkan jejak perbuatannya. Hanya karena
diketahui keadaan-keadaan tertentu tabir tersebut kadang-kadang dapat terungkap
sehingga kebenaran yang ingin disembunyikan terungkap.”
B. HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ALAT BUKTI PETUNJUK
Alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP, merupakan gabungan
Pasal 310, 311 dan 312 HIR dahulu, dengan sedikit perubahan.
Pasal 310 HIR berbunyi:
“Yang dimaksud dengan petunjuk-petunjuk adalah perbuatan-perbuatan, kejadian-
kejadian atau hal-hal yang adanya persesuaiannya baik satu sama lain maupun dengan
perbuatan yang dituduhkan terhadap terdakwa dapat menunjukan dengan nyata bahwa
sesuatu kejahatan telah dilakukan dan siapa yang melakukannya.”
Pasal 311 HIR berbunyi:
Adanya petunjuk-petunjuk hanya dapat dibuktikan oleh:
1. saksi-saksi;
2. surat-surat;
3. pemeriksaan sendiri ataupun penyaksian oleh hakim;
4. pengakuan sendiri oleh tertuduh, biarpun dilakukan tidak dimuka hakim.
Pasal 312 HIR berbunyi:
Hal menilai kekuatan bukti dari petunjuk – petunjuk tersebut tiap-tiap keadaan
khusus diserahkan pada kebijaksanaan hakim, ia hendaknya insyaf benar akan
memeriksa hal itu dengan secermat-cermatnya.
2 Dalam KUHAP, ketentuan yang mengatur petunjuk sebagai alat bukti terdapat dalam
Pasal 188, yang berbunyi:
(1) Petunjuk adalah perbuatan kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi.
b. Surat.
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
65
3. Kata menunjukkan (Pasal 310 HIR) atau menandakan (Pasal 188 ayat 1 KUHAP),
mempunyai arti bahwa dari alat bukti petunjuk tidak diperoleh kepastian mutlak.
Bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan.
4. Kata persesuaian (baik dalam Pasal 310 HIR maupun Pasal 188 ayat 1 KUHAP)
merupakan kekuatan utama petunjuk sebagai alat bukti, karena kesesuaian tersebut
antara yang satu dengan yang lain dalam hal perbuatan, kejadian atau keadaan maka
hakim menjadi yakin akan perbuatan yang dilakukan terdakwa.
C. KEKUATAN ALAT BUKTI PETUNJUK
1. Seperti yang diuraikan diatas, perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya
merupakan hal yang penting.
2. Dari ketentuan Pasal 188 ayat 1 dihubungkan dengan ayat 2 KUHAP, maka perbuatan,
kejadian atau keadaan yang bersesuaian tersebut harus diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa.
3. Dalam mempergunakan alat bukti petunjuk tugas hakim akan lebih sulit, ia harus
mencari hubungan antara perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik kesimpulan yang
perlu serta mengkombinasikan akibat-akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu
keputusan tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan.
4. Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP tersebut kiranya
orang dapat mengetahui bahwa pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk
di dalam berbagai alat bukti itu, tidak mungkin akan dapat diperoleh oleh hakim tanpa
mempergunakan suatu redenering atau suatu pemikiran tentang adanya persesuaian
antara kenyataan yang satu dengan kenyataan yang lain, atau antara suatu kenyataan
dengan tindak pidananya sendiri.
5. Dari perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang dijumpai
oleh hakim didalam keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa seperti itulah,
KUHAP dapat membenarkan hakim membuat suatu pemikiran, atau lebih tepat jika
penulis mengatakan, bahwa hakim dapat membuat suatu konstruksi untuk memandang
suatu kenyataan sebagai terbukti.
6. Dalam penerapannya kepada hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan
apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk. Semuanya harus
dipertimbangkan secara cermat dan teliti (Pasal 188 ayat 3 KUHAP).
7. Perlu diingat bahwa keterangan terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri (Pasal
189 ayat 3 KUHAP), maka keterangan kawan terdakwa yang bersama-sama
melakukan perbuatan tidak boleh dipergunakan sebagai petunjuk.
66
8. Karena adanya syarat yang satu dengan yang lain harus terdapat persesuaian, maka
dengan demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada 2 (dua) petunjuk
untuk memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah
bukti lain ada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.
Pengertian petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat 1 adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain maupun dengan
tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Batasan ini sesuai dengan batasan Pasal 310 HIR. Dalam ayat 2, perbuatan,
kejadian atau keadaan itu hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi.
b. Surat.
c. Keterangan terdakwa.
Hal ini sejalan dengan Pasal 311 HIR. Ayat 3 memberikan tekanan dalam menerapkan
petunjuk sebagai alat bukti bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu diserahkan kepada pertimbangan hakim dengan kearifan dan
kebijaksanaan setelah hakim melakukan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya, Menuru Wiryono Prodjodikoro, apa yang disebut
sebagai petunjuk sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil
dengan menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa. Petunjuk sebagai alat bukti, ditiru dari HIR Pasal 310, 311, dan 312
yang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950 sudah dihapuskan.
67
ALAT BUKTI KETERANGAN TERDAKWA
A. PENGERTIAN
Alat bukti keterangan terdawa merupakan urutan terakhir dalam pasal 184 ayat 1.
Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk
menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan sesudah pemeriksaan
keterangan saksi-saksi. Dalam HIR alat bukti ini disebut “ pengakuan tertuduh”. Maka
didalam KUHAP disebut dengan keterangan terdakwa. Kalau ditinjau dari pengertian
grametikal atau tata bahasa memang terdapat perbedaan makna antara” pengakuan” dan
“keterangan” pada pengakuan terasa benar mengandung suatu pernyataan tentang apa yang
dilakukan seseorang misalnya: kalau Toto mengaku mengambil HP nya Andi berti pengakuan
itu mengandung pernyataan bahwa Toto benar melakukan perbuatan mengambil HP nya
Andi.
BAB
8
68
Dimana keterangan pengakuan itu mengandung penjelasan Toto mengambil HP nya
Andi akan tetapi sekalipun benar ada terasa perbedaan itu pada hakikatnya tidak
mengakibatkan kedua istilah itu saling bertentangan. Sedangkan pada istilah” keterangan
terdakwa “ sekaligus meliputi “ pengakuan” dan “ pengingkaran” sedangkan dalam istilah “
pengakuan tertuduh” hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tampa mencakup
pengertian pengingkaran. Oleh karna itu keterangan terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus
meliputi peryataan “ pengakuan” dan “ pengingkaran” dan menyerahkan penilaianya kepada
hakim, yang mana dari keterangan terdakwa sebagai ungkapan pengakuan dan yang mana
pula dari keterangan itu bagian yang berisi pengingkaran.
a. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP).
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. (Pasal
1 butir 14 KUHAP).
b. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal
189 ayat 1 KUHAP).
c. Pengertian keterangan terdakwa adalah lebih luas dibanding dengan pengakuan
terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih
maju daripada pengakuan terdakwa.
d. Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa, Keterangan
terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa.
Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:
Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan.
Mengaku ia bersalah.
e. Namun demikian ada kemungkinan terdakwa memberikan pengakuan untuk
sebagian:
Terdakwa mengaku melakukan delik yang didakwakan.
Tetapi ia tidak mengaku bersalah.
Misalnya:
.Terdakwa mengaku membunuh korban ٭
.Tetapi ia tidak mengaku bersalah, karena membela diri ٭
f. Pengakuan dalam hukum acara perdata, tidak bisa dipisah-pisahkan (Pasal 174
HIR), sedangkan menurut hukum acara pidana bisa dipisah-pisah, yakni:
Terdakwa benar melakukan delik yang didakwakan.
69
Terdakwa mengaku bersalah, tetapi tidak sebesar yang didakwakan.
Misalnya:
.Terdakwa mengaku melakukan pencurian ٭
Terdakwa mengaku bersalah tetapi tidak mencuri Rp 1.000,- hanya mencuri Rp ٭
500.
Karena yang dilarang adalah perbuatannya, maka pemisahan pengakuan seperti itu
tidak ada artinya. Paling-paling hanya merupakan hal-hal yang meringankan
terdakwa.
g. Pengakuan terdakwa dalam prakteknya di masa HIR sangat buruk sekali. Seperti
yang telah diuraikan dimuka, bahwa pengakuan terdakwa merupakan target utama
dalam pemeriksaan penyidikan (dahulu pemeriksaan pendahuluan) dengan alasan
siapa yang paling mengetahui suatu perbuatan, kecuali dirinya sendiri.
h. Pasal dalam HIR, yang paling memberatkan bagi diri terdakwa (dahulu tertuduh)
adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 309 HIR yang berbunyi:
“Pencabutan dari suatu pengakuan tentang bersalah dimuka pengadilan tidak
membatalkan. Kecuali jika pencabutan itu berdasarkan sebab-sebab yang
diterima”.
i. – Keadaan tersebut lebih berat dengan adanya putusan Mahkamah Agung
tanggal 23 Februari 1960 No. 229 K/Kr/1959 menyatakan bahwa berdasarkan
Pasal 309 HIR, pengakuan seorang terdakwa diluar sidang yang kemudian
disidang pengadilan dicabut, akan tetapi dengan alasan yang tidak berdasar
merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa.
Demikian juga putusan Mhkamah Agung tanggal 27 september 1961 No. 85
K/Kr/1961, menyebutkan bahwa menurut ketentuan Pasal 309 HIR, merupakan
kebijakan “judek facti”, apakah pencabutan pengakuan yang dibuat dimuka
polisi diterima atau tidak oleh hakim. Suatu pengakuan tidak dapat ditiadakan
oleh karena alasan yang tidak dimengerti.
j. Sebenarnya sudah sejak lama ketentuan HIR berlaku dahulu sudah diperingatkan
oleh R. Soesilo seorang polisi yang ahli dalam ilmu kepolisian dan penyidikan
dalam melakukan penyidikan harus dihindari cara-cara kuno: “Cara-cara
pemeriksaan model kuno biasanya dilakukan dengan mengejar suatu pengakuan
dari terdakwa dengan jalan apa saja. Akan tetapi cara modern menghendaki lain.
Yang dikejadr bukannya pengakuan terdakwa, akan tetapi kecukupan bukti-
buktinya (baik bukti hidup maupun bukti mati). Jika bukti-bukti sudah cukup,
biarkanlah terdakwa mungkir, toh akhirnya ia dihukum juga”.
70
k. Penggunaan kekerasan atau penyiksaan dalam pemeriksaan penyidikan untuk
mendapatkan pengakuan sebenarnya menyiratkan kekurang mampuan aparat
penyidik dalam melakukan tugasnya. Walaupun penjahat itu merupakan “musuh”
polisi, tidak selayaknya untuk mempergunakan alat-alat yang “rendah” yang pada
hakekatnya akan merendahkan juga martabat polisi, sebagai abdi utama daripada
masyarakat.
Alat-alat rendah itu antara lain:
– menghina dan memaki-maki.
– menyiksa jasmaniah dan rohaniah.
– mendustai dan memancing-mancing.
– memberikan janji yang tidak dipenuhi.
– menyuap untuk mendapatkan pengakuan-pengakuan yang dikehendaki dan lain
sebagainya.
l. Pedoman pelaksanaan KUHAP menyebutkan bahwa penyidikan merupakan suatu
cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan yang berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanhholan, tindakan
pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum.
Dengan mempergunakan fungsi penyelidikan secara maksimal maka alat bukti
akan lebih lengkap, sehingga praktek menggunakan penekanan, kekerasan dan
penyiksaan untuk memeras pengakuan tidak diperlukan lagi.
m. Oleh karena itu, pengakuan oleh terdakwa harus memenuhi syarat-syarat yang
tidak mudah untuk diterima sebagai alat bukti
1) Pengakuan tersebut harus diberikan oleh terdakwa sendiri sehingga suatu
keterangan pengakuan yang diberikan oleh pembelanya tidak dapat dianggap
sebagai pengakuan. Selanjutnya pengakuan harus diberikan secara bebas dan
tidak dipaksa, dan tidaklah boleh memperolehnya dengan jalan memancing
atas dasar pertanyaan-pertanyaan yang menjerat. Paksaan, kekerasan atau
tipu daya menyebabkan suatu pengakuan menjadi tidak berharga sebagai alat
bukti yang sah.
2) Suatu pengakuan haruslah diberikan dimuka hakim. Yang dimaksudkan
disini adalah suatu pengakuan yang diberikan disidang pengadilan yang
memeriksa perkara terdakwa tersebut. Suatu pengakuan yang diberikan pada
jaksa, pembantu jaksa atau siapapun bukanlah pengakuan. Di luar
pengadilan, maka suatu pengakuan hanyalah menimbulkan petunjuk, dan
hanyalah menjadi alat bukti yang sah jika didukung oleh petunjuk-petunjuk
lain.
3) Pengakuan harus dengan teliti menyatakan cara-cara kejahatan tersebut
dilakukan dan oleh sebab itu juga bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan
tertentu untuk melakukan suatu tindak pidana. Keterangan terdakwa bahwa
71
ia bersalah terhadap kejahatan yang dituduhkan padanya tidaklah dapat
dianggap telah mencukupi.
4) Suatu pengakuan harus selanjutnya diberikan dengan tegas. Diamnya
seorang terdakwa, ia malahan pengakuan sebagian, dan ia tidak dapat
memberi penjelasan tentang hal-hal yang memberatkan kesalahannya, dan
harus mengakui kekuatan alat-alat bukti, belumlah merupakan pengakuan
kesalahan, hal tersebut hanyalah dapat dianggap ada, jika terdakwa tegas
menerangkan bahwa ia telah melakukan kejahatan yang dituduhkan
kepadanya.
5) Pengakuan harus dikuatkan dengan keadaan-keadaan lain. Keadaan-keadaan
yang dimaksud oleh pembuat undang-undang bukanlah harus bahwa
peristiwa tersebut menyimpulkan suatu kesalahan, tetapi cukuplah bahwa
keadaan-keadaan tersebut membuat pengakuan tersebut dapat dipercaya,
keadaan-keadaan mana seharusnya harus dapat dibuktikan. Keadaan-keadaan
tersebut dengan demikian dapat merupakan alat-alat bukti yang sah, ataupun
keadaan-keadaan yang bukan merupakan alat bukti yang sah.
6) Akhirnya jika pengakuan tersebut seyogyanya dapat diterima, maka hakim
haruslah merasa yakin atasnya. Hakim tidaklah mempunyai perasaan ragu,
apakah mungkin pengakuan tersebut diberikan bertentangan dengan
kebenaran, atau dengan maksud untuk melindungi orang lain, atau karena
untuk mencegah pemeriksaan lebih lanjutnya, atau karena alasan-alasan lain
selama kebenaran dari suatu alat bukti tidak seluruhnya dapat diterima oleh
akal, maka tidaklah dapat ia memberikan keyakinan penuh.
n. Untuk mencegah dibebaskan seorang terdakwa disidang pengadilan, sebenarnya
bisa dicegah sejak dini, dengan mengingat hal-hal sebagai berikut:
Mengingat adanya jaminan hak asasi manusia di dalam melakukan
pemeriksaan penyidikan, sehingga sedapat-dapatnya dihindari pemeriksaan
yang mengarah pada pemerasan pengakuan.
Ketentuan Pasal 309 HIR sudah tidak terdapat dalam KUHAP. Hal ini
merupakan konsekuensi hilangnya alat-alat bukti pengakuan terdakwa yang
diganti dengan keterangan terdakwa.
Mengfungsikan penyidikan secara maksimal.
Mempergunakan prapenuntutan secara benar bagi penuntut umum.
Hindari praktek penggunaan saksi mahkota.
Jangan memaksakan suatu berkas dilimpahkan ke pengadilan kalau memang
tidak cukup alat bukti.
B. PANGGILAN DAN PEMERIKSAAN TERDAKWA
1. Panggilan Terhadap Terdakwa
72
a. Menurut Pasal 146 ayat 1 dan Pasal 227 KUHAP:
Pemanggilan terhadap terdakwa, dilakukan oleh penuntut umum yang harus
memuat tanggal, hari serta jam sidang untuk perkara apa ia dipanggil.
Selanjutnya sama dengan pemanggilan terhadap seorang saksi.
b. Menurut peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 04-Um.01.06
th. 1983 tentang Tata Cara Penempatan Perawatan Tahanan dan Tata Tertib
Rumah Tahanan Negara Pasal 23 disebutkan:
Pengeluaran tahanan untuk sidang pengadilan, surat panggilan harus diterima
oleh kepala rumah tahanan negara selambat-lambatnya 1 x 24 jam sebelum
sidang.
2. Terdakwa Tidak Mau Hadir Di Persidangan
Menurut ketentuan Pasal 154 KUHAP, dalam sidang pertama:
a. Jika terdakwa berada dalam tahanan: Terdakwa dipanggil masuk dalam keadaan
bebas.
b. Jika terdakwa tidak berada dalam tahanan dan tidak hadir:
Bila tidak dipanggil secara sah, maka diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi
dan sidang ditunda.
Bila sudah dipanggil secara sah, maka diperintahkan dipanggil sekali lagi dan
sidang ditunda.
Bila sudah dipanggil untuk kedua kalinya secara sah, dan tetap tidak mau
hadir, maka terdakwa dapat dihadirkan secara paksa pada sidang berikutnya.
Kalau perlu dengan bantuan polisi negara.
Jika dalam suatu perkara terdapat lebih dari satu orang terdakwa, maka
pemeriksaan bisa terus dilangsungkan terhadap terdakwa yang hadir.
c. Terhadap diri terdakwa (dalam huruf b), apabila memenuhi ketentuan Pasal 21
ayat 1 dan 4 KUHAP, biasanya setelah diperiksa akan dilakukan penahanan oleh
hakim ketua sidang. Karena terdakwa tersebut dianggap mempersulit jalannya
pemeriksaan.
C. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Terdakwa
1. Bunyi Pasal 189 KUHAP Secara Lengkap Adalah Sebagai Berikut:
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
73
2) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
2. Yang menjadi alat bukti adalah keterangan terdakwa, bukan keterangan tersangka
yakni keterangan yang diberikan ketika dulu ia diperiksa dimuka penyidik.
3. Dari ketentuan Pasal 189 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP keterangan tersebut bisa dibagi
menjadi 2 (dua) golongan, yakni:
– Diberikan diluar sidang, yaitu merupakan keterangan tersangka yang diberikan
didepan penyidik.
– Diberikan didalam sidang pengadilan.
4. – Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah merupakan alat
bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat,
apa yang ia lakukan, dan apa yang ia alami.
– Keterangan tersebut dalam suasana yang lebih bebas dari tekanan.
5. – Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang (keterangan tersangka) dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti dalam sidang, asal keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya. (tafsir A. Contratio dari Pasal 189 ayat 2 KUHAP).
– Dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan jangan sampai hanya mengejar
keterangan tersangka saja dalam pemeriksaan penyidikan. Karena tanpa alat bukti
yang sah lainnya, tidak akan mempunyai arti.
– Apalagi jika keterangan tersangka tersebut dalam berita acara penyidikan dicabut
dalam sidang, maka akan lebih parah jika tidak ada alat bukti yang sah lainnya.
6. – Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
– Dengan demikian keterangan terdakwa tersebut tidak bisa untuk memberatkan
sesama terdakwa.
– Oleh karena itu di dalam pemeriksaan yang terdakwanya lebih dari seorang, jika
ingin mendapatkan suatu keterangan yang obyektif, sebaiknya diperiksa satu
persatu. Hal ini untuk mencegah agar sesama terdakwa tidak saling mempengaruhi
atau menyesuaikan diri.
74
– Dari ketentuan tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya KUHAP
melarang sesama terdakwa dijadikan saksi antara yang satu terhadap yang lain.
7. – Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain. (Pasal 189 ayat 4 KUHAP).
– Oleh karena itu pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum
pembuktian. Jadi meskipun seorang terdakwa mengaku, tetap harus dibuktikan
dengan alat bukti lain, karena yang dikejar adalah kebenaran material.
– Hal ini berbeda dengan pengakuan dalam hukum acara perdata, yang merupakan
alat bukti sempurna. Karena dalam hukum acara perdata yang dicari kebenaran
formal.
Kelahiran RUU Hukum Acara Pidana nasional yang berlandaskan dan dijiwai oleh
Pancasila dan UUD 1945, memang sudah lama dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Ada kesepakatan bahwa Hukum Acara Pidana ini untuk menegakkan ketertiban
umum tetapi sekaligus juga melindungi hak asas manusia tiap-tiap individu. Dalam kaitannya
dengan keterangan terdakwa dalam perumusan Pasal 52 dan 117 tidak dapat dilepaskan dari
prinsip hukum diterapkannya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), baik
dalam pemeriksaan penyidikan maupun dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh karena
itu, keterangan terdakwa dimuka penyidik dan hakim dilandasi oleh kebebasan memberi
keterangan (Pasal 52) yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik dan hakim.”
Pengertian kebebasan memberi keterangan dalam penjelasan Pasal demi Pasal
diberikan sebagai berikut: “Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak
menyimpang dari pada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari
rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka
atau terdakwa.” Menurut penulis, kata “rasa takut” harus dihubungkan atau ditujukan kepada
“paksaan” dan atau “tekanan”. Jika kata “paksaan” itu harus diartikan sebagai paksaan badan
(fisik) dan kata “tekanan” mengandung makna sebagai “dorongan psikis” atau rohani.
Misalnya diancam, ditakut-takuti. Seseorang yang tertekan jiwanya tidak bebas dalam
memberi keterangan sehingga tidak mencapai tujuan pemeriksaan yang sebenarnya. Kata
“sebenarnya”, disalin dari waarheid, truth.
Bilamana dibandingkan dengan salah satu alat bukti “pengakuan” dalam Pasal 295
HIR dari asal kata bekentenis dan dihubungkan dengan Pasal 307 HIR, yang berbunyi:
75
“Eene bekentesis, door den beklaagde voor de rechter afgelegd, dat hij de strafbare
daad, aan hem ten laste gelegd, heeft gepleegd, vergezeld van eene bepaalde en nauw keurige
opgave van omsdtandigheden, welke ook, hetzij uit eene verklaring van den persoon, tegen
wien het feit is gepleegd, of uit andere beeijsmiddelen bekend zijn en daar mede overstemmen,
kan een volledig bewijs van schuld opleveren. Suatu pengakuan yang diberikan oleh
sitertuduh atau persakitan dimuka hakim bahwa ialah yang melakukan tindak pidana yang
dituduhkan kepadanya, dan pengakuan itu disertai dengan pemberitahuan yang tertentu dan
teliti, mengenai hal ikhwal apa juga yang diketahui baik oleh suatu keterangan dari orang
yang dikenai perbuatan itu, baik dari alat bukti yang lain yang sesuai dengan pengakuan itu,
boleh menjadikan bukti yang lengkap tentang kesalahan itu.
Maksud ketentuan itu mengandung pengakuan salah oleh terdakwa dimuka sidang
pengadilan bahwa apa yang didakwakan itu seluruhnya benar (gerechtelijke bekentenis) dan
jika pengakuan itu disertai keterangan yang jelas tentang keadaan-keadaan mengenai
peristiwa pidana yang dilakukan, semua atau sebagian cocok dengan keterangan saksi korban
atau dengan lain bukti, dapat menjadi bukti sempurna. Jadi, seorang terdakwa yang mengaku
salah terhadap dakwaan seluruhnya, belum cukup guna menjatuhkan suatu hukuman pidana
kepadanya, melainkan harus ada keterangan dari luar terdakwa yang menguatkan terdakwan
itu. Dalam praktek, ada kemungkinan terdakwa sengaja mengaku salah, yang bertentangan
dengan kebenaran karena upah atau menolong belaka. Dalam Pasal 117 KUHAP disebutkan:
“Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun
dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 117 memberikan keleluasan kepada terdakwa dan saksi
untuk menerangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka sendiri dan penyidik akan
mencatat apa kata-katanya.
76
BARANG BUKTI
A. PENGERTIAN
barang bukti antara lain terdapat dalam Pasal-Pasal 21 ayat 1 KUHAP : perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan barang bukti
yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa melarikan diri merusak atau menghilangkan barang bukti
dan mengulangi lagi tindak pidana.
45 ayat 2 KUHAP: hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang
dipakai sebagai barang bukti. 46 ayat 2 KUHAP: apa bila perkara sudah diputus,
maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada
mereka yang disebut dalam putusan oleh hakim bahwa benda itu dirampas untuk
Negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakan sampai tidak dapat dipergunakan
BAB
9
77
lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkarang lain.
Pasal 181ayat 1 KUHAP hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa
segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 Undang-
undang ini. Ayat 2 jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua kepad
saksi.
istilah barang bukti tersebut tidak terdapat dalam ketentuan yang diatur dalam
Pasal 1 KUHAP yang berisi tafsir otentik.
1. Cara Mendapatkan Barang Bukti
Di dalam KUHAP ditentukan cara-cara untuk memperoleh barang bukti:
a. penggeledahan diatur dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan, penyidik
dapat melakukan pengeledahan dadan menurut tata cara yang ditentukan dalam
Undang-undang. pasal 37 KUHAP ayat 1 pada waktu menangkap tersangka,
penyidik hanya berwenang mengeledah pakayan termasuk benda yang
dibawanya serta, apabila terdapat duugaan keras dengan alasan yang cukup
bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Ayat 2 pada
waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang mengeledah
pakayan dan atau mengeledah badan tersangka. dan Pasal 125 KUHAP dalam
hal penyidik melakukan pengeledahan rumah terlebih dahulu menunjukan
ttanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 dan 34 KUHAP. Pasal 127
ayat 1 KUHAP, untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah,
penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang
bersangkutan. Ayat 2 dalam hal ini penyidiik berhak memerintahkan setiap
orang yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama
penggeledahan berlangsung.
b. penyitaan (diatur dalam Pasal 38 ayat 1 penyitaan hanya dapat dilakukan oleh
penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat. pasal 46
KUHAP AYAT 1 benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada
orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada mereka yang
berhak terhadap benda tersebut. Pasal 128 KUHAP dalam hal penyidik
melakukan penyitaan, terlebih dahulu menunjukan tanda pengenalnya kepada
78
orang darimana benda itu disita. dan Pasal 130 ayat 1 KUHAP benda sitaan
sebelum dibungkus, dicatat berat,dan jumlahnya menurut jenis masing-masing
maupun sifat khas tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari
mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi cap jabatan dan
ditanda tangani oleh penyidik.
c. pemeriksaan surat (diatur dalam Pasal 47 ayat 1 penyidik berhak membuka,
memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atauperusahaan komunikasi atau pengangkutan jika
benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang
dibarikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri. Ayat 2 untuk kepentinga
tersebut penyidik dapat meminta kepada kantor pos dan telekomunikasi kepala
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk
menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan
surat tanda penerimaan. pasal 49 ayat 1 KUHAP penyidik membuat berita
acara tentang tindakan sebagaimana dimaksut dalam pasal 48 dan pasal 75
KUHAP dan Pasal 131 KUHAP dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian
rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keteranagn dari
berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya penyidik segera pergi
ketempat yang dipersangkakan untuk mengeledah, memeriksa surat, buku atau
surat daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
Termasuk pengertian penggeledahan adalah penggeledahan rumah,
penggeledahan badan dan penggeledahan pakaian (Pasal 32 KUHAP).
Penggeledahan badan di dalamnya termasuk pemeriksaan rongga badan
(penjelasan Pasal 37 KUHAP).
Termasuk pengertian pemeriksaan surat adalah penyitaan surat,
pemeriksaan buku atau kitab, daftar dan sebagainya (Pasal 131 KUHAP).
Apabila di dalam penggeledahan atau pemeriksaan surat, terdapat barang-barang
yang diperlukan untuk pembuktian suatu tindak pidana, maka terhadap barang-
barang yang diketemukan tersebut dilakukan penyitaan.
Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan, menurut Pasal 39 KUHAP adalah:
a. benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana.
b. benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
c. benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
79
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 45 KUHAP menyatakan bahwa:
a. apabila benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan sehingga tidak
mungkin untuk disimpan terlalu lama, atau biaya penyimpanannya terlalu
tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat
dijual lelang.
b. hasil pelelangan tersebut dipakai sebagai barang bukti.
c. guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil
benda tersebut untuk pembuktian.
2. Pengertian Barang Bukti
Dari cara mendapatkan barang bukti tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
pengertian barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan,
dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk diambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
B. PEMERIKSAAN BARANG BUKTI
1. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP pemeriksaan barang bukti
adalah sebagai berikut:
barang bukti tersebut harus diperlihatkan kepada terdakwa dan ditanyakan apakah
terdakwa mengenal barang bukti atau benda-benda tersebut.
jika perlu benda-benda tersebut diperlihatkan kepada saksi oleh ketua sidang dan
tentu saja harus ditanyakan pula apakah saksi juga mengenal barang-barang yang
dijadikan barang bukti.
apabila dianggap perlu untuk pembuktian , hakim ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya
minta keterangan tentang hal ini.
2. Jika dikaitkan dengan Pasal 45 KUHAP, terhadap barang yang lekas rusak atau
membahayakan atau penyimpanannya menjadi tinggi biayanya, maka barang bukti
yang ditunjukan adalah uang hasil pelelangan dan sebagian kecil benda-benda
tersebut.
3. Apabila barang bukti dalam bungkusan, maka membukanya harus di muka saksi
korban dan terdakwa, sehingga tidak menimbulkan masalah. Pada waktu dibuka
tersebut harus dihitung dan dicocokkan jenis-jenisnya.
80
C. KEGUNAAN BARANG BUKTI DALAM PERSIDANGAN
1. Kalau dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara
material barang bukti seringkali sangat berguna bagi hakim untuk menyandarkan
keyakinannya.
2. Seperti yang kita ketahui KUHAP menganut sistem pembuktian negatif, yakni:
a. adanya macam-macam alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
b. adanya keyakinan bagi hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah telah
melakukan tindak pidana.
3. Namun demikian meskipun telah ada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang serta telah melebihi minimum pembuktian, tetapi hakim tidak harus yakin
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Singkatnya hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat bukti yang ada, meskipun
alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.
4. Seringkali hakim membebaskan seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada
di dalam persidangan.
5. Contoh kasus:
Pernah terjadi bahwa seseorang yang bernama Sarno diajukan ke persidangan
pengadilan atas dasar dakwaan bahwa Sarno telah membunuh Kosim dengan jalan
menembak dengan senapan pemburu.
Semua saksi yang ada telah memberikan keterangan dibawah sumpah bahwa benar
Sarno telah menembak Kosim dengan senapan pemburu di hutan.
Demikian juga Sarno telah mengakui bahwa dirinya telah membunuh Kosim
waktu di hutan, ketika berburu.
Namun demikian hakim tidak yakin, karena melihat diri terdakwa yang
berpenampilan sederhana seperti orang desa kebanyakan. Kemudian hakim
meyuruh terdakwa untuk mengambil senapan dan sebutir peluru (yang diajukan
sebagai barang bukti) untuk diisikan ke senapan tersebut. Ternyata terdakwa tidak
bisa mengisikan peluru ke dalam senapan.
Atas dasar keadaan tersebut, hakim membebaskan diri Sarno karena hakim tidak
yakin, meskipun semua alat bukti telah membuktikan diri Sarno bersalah.
Ternyata memang benar bahwa Sarno hanya sekedar orang upahan yang disuruh
mengakui perbuatan orang lain.
6. Dengan contoh diatas, maka hakim menyandarkan keyakinannya kepada barang bukti
yang diajukan dalam persidangan.
81
7. a. Dalam kasus surat palsu, hakim sering melihat kejanggalan surat palsu yang
dijadikan barang bukti. Misalnya tahun yang terdapat dalam kertas segel adalah
tahun 1990, tetapi isinya dibuat dan ditandatangani tahun 1987, sehingga tidak
mungkin terjadi.
b. Surat yang dibuat tahun 1967, tetapi memakai ejaan baru (E.Y.D).
8. Pemeriksaan dan penyimpulan oleh hakim terhadap barang bukti, mirip dengan
pengetahuan hakim dalam sidang, yang tidak menjadi alat bukti dalam KUHAP.
Padahal dalam RUU-KUHAP mengakui alat bukti pengetahuan hakim dalam sidang
termasuk dalam salah satu alat bukti.
9. Sekali lagi hal tersebut merupakan pengakuan, meskipun tidak dengan jelas, KUHAP
mengakui alat bukti pengetahuan hakim dalam sidang sebagai alat bukti.
ALAT – ALAT BUKTI
MENURUT PASAL 1866 BW
Menurut kitab Undang-undang hukum perdata pasal 1866 Burgeljk Wetboek (BW) alat
bukti terdiri dari:
Bukti Dengan Tulisan.
Bukti Dengan Saksi.
Bukti Dengan Persangkaan.
Bukti Dengan Pengakuan.
Bukti Dengan Sumpah.
1. Menurut Teguh Samudra surat yang digunakan sebagai alat bukti adalah: suatu
pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diujutkan dengan tanda-tanda bacaan dan
dimuat dalam suatu benda. Dalam pasal 1867 BW alat bukti dengan tulisan dapat dibagi
menjadi dua macam :
BAB
10
82
A. bukti tulisan atau otentik, dalam pasal 1868 BW yang dimaksud denga akte otentik
adalah: suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang dan dibuat
oleh atau dihadapan pengawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana
akte dibuat.
Contoh akte jual beli sebidang tanah yang dibuat oleh pejabat pembuat akte tanah ( PPAT
atau NOTARIS ) disuatau wilayah tertentu yang sesuai dengan wilayah hukuumnya
berkenaan dengan peristiwa jual beli tersebut.
B. Bukti dengan tulisan dibawah tangan akte bawah tangan berdasarkan pasal 1869 BW
menyebutkan bahwa suatu akte yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai
dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat deperlakukan
sebagai akte otentik, namun demikian mempunyai suatu kekuatan sebagai tulisan dibawah
tangan dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan
Contoh; perjanjian sewa menyewa rumah yang dibuat oleh penyewa dengan yang punya
rumah tampa dihadiri oleh notaries dan ini cukup pihak-pihak yang bersangkutan saja.
Fungsi surat atau akta.
Surat atau akta mempunyai bermacam-macam fungsi didalam hukum :
1.syrat untuk menyatakan adanaya suatu perbuatan hukum. Akta bawah tangan sebagai
syarat pokok minimum (formalitas causa) untuk lengkapnayasuatu perbuatan hukum kita
dapati misalnya dalam pasal 81ayat 1, 830, 866, 979, 982, 987, 1028,1228, 1240, 1646,
1804 ayat 2 dan 1888 B.W berbagai penyimpangan dari kontrak karya, misalnya tagihan-
tagihan, pada order dalam hal dimana dikehendaki suatu akta bawah tangan, maka suatu
akta otentik akan mencukupi juga. Akta otentik sebagai syarat pokok untuk lengkapnaya
suatu perbuatan hukum jika dalam segala hal ini tidak ada akta, maka perbuatan hukum
tidaklah terjadi. Akta disini mempunyai mempunyai fungsi hukum materil.
2.alat pembuktian. Jelas sekali, bahwa suatu akta dapat memenuhi sekaligus lebih dari
satu fungsi, dan akta yang ditentukan sebagai satu-satunya alat bukti tentu saja
mempunyai daya pembuktian.
3.alat pembuktian satu-satunya.(probattionis causa) tentang hal ini ada disebut antara lain
oleh pasal 205 B.W, barang yang dibawa oleh oleh suami dan/atau istrikedalam
perkawinan, tetap tinggal jadi milik pribadi, juga tampa perincian dalam akta syarat
perkawainan atau dalam daftar yang dilampirkan disitu, akan tetapi ada bantahan, suami
atau istri yang menuntut barang-barang ini hanya boleh membuktikan haknya dengan
perincian tersebut. Jadi pasal 205 B.W tidak memberikan aturan hukum materil, tetapi
aturan hukum pembuktian. Hal yang serupa terdapat juga dalam pasal-pasal seperti
tersebut dimuka W.v.K. perseroa firma dan persetujuan asuransi dapat juga berdiri dengan
83
sah tampa akta, demikian perseroan bukti dari suatu perbuatan hanya dapat diberikan
dengan suatu akta.
2. Bukti dengan saksi
Berdasarkaqn pasal 1895 BW menyebutkan bahwa pembuktian dengan saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal dimana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Menurut
Sudikno Mertokusumo dan Teguh Samudra menyatakan bahwa kesaksian adalah :
kepastian yang diberikan kepada hakim didepan persidangan pengadilan tentang peristiwa
yang sedang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu diantara pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.
Contoh: seorang yang dipanggil dipersidangan untuk menjadi saksi dalam suatu perkara
perjanjian tidak tertulis antara seorang penghutang dengan orang yang menghutangkan .
3. Bukti dengan persangkaan
Persangkaan bukanlah alat pembuktian. Persangkaan adalah uraian atau pandangan inilah
yang paling banyak dianut pada waktu sekarang. Persangkaan fakta-fakta yang diketahui
disimpulkan kearah mendekati kepastian, tentang adanya suatu pikiran yang sebelumnya
tidak diketahui. Jadi dalam persanggkaan, kita berhubungan bukti langsung. Seperti saya
membuktikan bahwa saya pada suatu hari tertentu tidak berada di Jakarta dan untuk itu
saya buktikan, pada saat itu berada di padang, hakim menarik kesimpulan, bahwa saya
tidak di Jakarta, hakim berbuat demikian juga, apa bila Undang-undang tidang
menyingung “persangkaan”. Tampa memakai persangkaan orang hampir tidak mungkin
melaksanakan pembuktian.
Berdaserkan pasal 1915 BW yang dimaksud persanggkaan adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal kearah suatu perkara yang tidak tekenal. Dilihat dari bentuknya ada 2 ( dua ) macam
persangkaan yaitu.
A. persangkaan menurut undang-undang atau menurut hukum berdasarkan pasal
1916 BW yang dimaksud dengan persangkaan menurut undang-undang adalah ;
persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang,
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu dan peristiwa tertentu. Contoh:
dalam pasal 1394 BW yang menyatakan bahwa dengan tiga surat tanda
pembayaran, dari mana tiga pembayaran, dari mana ternyata tiga pembayaran
ansuran berturut-turut, terbitlah suatu persangkaan bahwa ansuran-ansuran yang
lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya.
Persangkaan menurut undang-undangdapat dibagi dua yang dapat dibantah dan
yang tidak dapat dibantah. Persangkaan yang dapat dibantah adalah yang
84
mengalah terhadap bukti lawan. Sedangakan persangkaan yang tidak dapat
dibantah adalah persangkaan yang kebal terhadap bukti lawan.
B. persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang atau persangkaan hakim
pasal 1922 BW disebutkan bahwa persangkaan-persangkaan yang tidak
berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbang dan
kewaspadaan hakim, namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-
persangkaan lain, selai yang penting, dan teliti dan sesuai satu sama lainnya.
Persangkaan-persangkaan yang demikian hanyalah boleh dianggap dalm hal-hal
dimana undang-undang mengijinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula
apa bila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan suatu akte,
berdasarkan alas an adanya itikat buruk atau penipuan. Contoh ; untuk
membuktikan jual beli yang disangkal oleh tergugat, pertama-tama yang harus
dibuktikan adanya jual beli tersebut dengan alat-alat bukti surat dari saksi.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut maka dapat diperoleh persangkaan memang
ada jual beli diantaranya. Kedua macam alat bukti ( surat dan saksi ) itu
menimbulkan pada persangkaan-persangkaan yang satu dengan yang lainnya
saling berhubungan.
Perbedaan antara persangkaan berdasarkan undang-undang atau hukum dengan
persangkaan kenyataan atau menurut hakim adalah : pada yang terakhir, pikiran
bebas dari hakimlah yang menentukan bardasarkan fakta yang terbukti. Pada yang
pertama undang-undanglah yang mewajibkan hakim memakai jalan pikiran yang
demikian. Persangkaan berdasarkan kenyataan. Seperti : seseorang yang diterima
oleh hakim, bahwa ia tidak berada dikota Bandung, karena ia telah membuktikan
ia telah berada di kota Jakarta persangkaan berdasarkan undang-undang ada dalam
1430 B.W. andaikata pasal ini tidak ada, mungkin sekali hakim dapat menarik
kesimpulan, bahwa sesudah kwitansi dari tiga ansuran berturut-turut diperlihatkan
kepadanya angsuran-angsuran yang lebih dahulu sudah dibayarlunas. Tetapi
sekarang undang-undang memerintahkan hakim: kalau sudah ada kwitansi dari
tiga jangka waktu yang berturut-turut, mestilah tuan menerima, bahwa juga jangka
waktu sebelumnya sudah dilunasi.
4. Bukti dengan pengakuan, adalah: keterangan sepihak dari salah satu pihak
dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau
sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. Pengakuan tidak saja dapat
berhubungan dengan suatu hak, dimana suatu pendapat yang tidak luput dari bantahan
tetapi dapat juga berhubungan dengan suatu fakta. Pengakuan tentang suatu aturan hukum
adalah omong kosong belaka, diman hakim sendiri mestilah mengetahui hukum (hukum
objektif) dan melaksanakan.
85
Berhubunagn dengan ini ada aturan dari pasal 1963, yang berisikan, bahwa orang yang
sudah melakukan pengakuan hanya dapat menariknya kembali, apa bila ia dapat
membuktikan, bahwa pengakuannya adalah akibat dari kekilafan tentang fakta-fakta.
Jikalau tidak ada kekilafan,jikalau orang yang mengaku dengan sadar telah menerangkan
hal yang tidak benar, maka tidaklah mungkin, dia menarik kembali pengakuannya,
walaupu dia berhasil dengan berbagai jalan membuktikan bahwa pengakuannya itu
berisikan dusta. Juga dari sini ternyata, bahwa pengakuan bukanlah alat pembuktian.
Karena alat pembuktian gunanya adalah untuk kebenaran. Berdasarkan bunyi pasal 1923
BW pengakuan adalah: sesuatu yang dikemukakan terhadap suatu pihak, pengakuan ini
dapat dibagi 2 (dua ) yaitu:
A. Pengakuan dimuka hakim.
Berdasarkan bunyi pasal 1925 BW menyebutkan bahwa pengakuan yang dilakukan
dimuka hakim memberi suatu bukti yang sempurna terhadap siapa telah melakukan baik
sendiri maupun dengan perentara seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Contoh:
misalnya Andi menuntut Amin berdasarkan persetujuan jual beli untuk membayar harga
sebanyak Rp 1000.000, dimuka hakim didalam persidangan, dan Amin mengakui bahwa ia
telah membuat persetujuan pembelian dengan Andi dan oleh karena itu Amin berhutang dan
wajib membayarnya kepada Andi.
B. Pengakuan diluar sidang pengadilan
Undang-undang berbicara tentang pengakuan diluar pengadilan dan tentang
pengakuan lisan diluar pengadilan, peradilan dan kebanyakan Berdasarkan bunyi pasal 1927
B.W bahwa suatu pengakuan lisan yang dilakukan diluar sidang pengadilan tidak dapat
dipakai, selain dalam hal-hal tertentu dimana diijinkan pembuktian dengan saksi-saksi. Dalam
pasal 1928 B.W disebutkan dalam hal yang terakhir dalam penutup pasal yang lalu, adalah
terserah pada pertimbangan hakim, untuk menentukan kekuatan mana yang diberikan kepada
suatu pengakuan lisan yang dilakukan diluar sidang pengadilan. Contoh : salah satu pihak
yang berpekara mengakui perbuatan yang ia lakukan diluar persidangan ( misalnya dikampus,
atau dikantor ) saat ditanya oleh sekelompok wartawan.
Pengakuan diluar pengadilan adalah keterangan yang diberikan oleh saklah
seorangdari para pihak berpekar, diluar pengadilan, yang berisikan pengakuan dari apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan dalam perkara ini. Mungkin keteranagan ini sudah diberikan
sebagai pengakuan didepan pengadilan dalam suatu perkara lain. Dalam perkara ini ia
merupakan pengakuan diluar pengadilan.
Pengakuan tertulis diluar pengadilan adalah merupakan pengakuan yang diberikan
oleh salah satu para pihak yang berperkara, diluar perkara in, yang isinya membenarkan apa
yang dikemukakan oleh pihak lawan dalam perkara ini. Jadi suatutulisan yang datang dari
86
salah satu pihak. Tulisan ini adalah alat bukti sebagai lawan dari pengakuan dimuka
pengadilan. Tentang daya pembuktian dari pengakuan tertulis diluar pengadilan sebagian ahli
berpendapat yang sama. Ia mempunyai daya pembuktian yang beba. Memang undang-undang
tidak menyatakan dengan tegas, akan tetapi pengakuan lisan diluar sidang pengadilan dan
sejara peraturan tentang pengakuan diluar pengadilan membenarkan paham bahwa aturan
yang diletakkan atas dasar yang tertulis.
Pengakuan lisan diluar pengadilan adalah keteranag lisan yang diberikan oleh salah
satu para pihak diluar perkara ini, yang isinya membenarkan apa yang diterangkan oleh pihak
lawan dalam perkara tersebut. Dimana pengakuan lisan diluar pengadilan bukan alat
pembuktian, karena alat pembuktian, adalah alat yang dipakai dalam perkara untuk
menyakinkan hakim tentang sesuatu kebenaran.
Menurut sifatnya pengakuan dibagi menjadi tiga macam:
a. Pengakuan murni, misalnya tanto menuntut dodi berdasarkan persetujuan jual beli
sebidang tanah, untuk membayar harga sebanyak Rp. 3000.000 dan dodi mengakui bahwa ia
telah mambuat persetujuan pembelian dengan tanto oleh karna itu dodi berutang kepada tanto.
b. Pengakuan dengan kualifikasi, misalnya: Agus menurut Bandi atas dasar
persetujuan jual sebuah rumah dengan harga yang telah mereka sepakati Rp 85.000.000,bandi
menjawab bahwa ia telah membeli rumah Agus seharga Rp.85.000.000, tetapi dengan syarat.
Pengakuan kualifikasi adalah pengakuan dimana orang mengakui sebagian dari pada yang d
itutut oleh penagih, tetapi menambahkan sesuatu yang mengenai intisari dari pada persoalan,
sehingga sebetulnya orang tidak mengakui apa-apa tetapi memberikan gambaran menurut
panddangannya sendiri pula, pembelian murni lain dari pada pembelian bersyarat.
c. Pengakuan dengan klasule dodo menuntut herman karna berutang sebanyak Rp
5000.000 herman menjawab bahwa apa yang dikemukakan oleh dodo itu benar, tetapi ia
sudah bayar, atau ia mempunyai tagihan lawan pula dan oleh karena itu ia mengemukakan
perjumpaan. Pengakuan dengan klausule adalah pengakuan dimana orang membenarkan
sepenuhnya apa yang dikemukakan oleh penggugat, akan tetapi menambahkan pula
pendapatnya sendiri berdasarkan mana ia merasa dapat menolak tuntutan yang diajukan oleh
penggugat. Batas antara pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausule tidak
dapat ditarik dengan tajam.
5. Bukti dengan sumpah.
Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara menonjol apabila
kepentingannya diprtaruhkan. Selain dari itu ilmu psikologi mengajarkan pada kita, bahwa
tidak berkata benar tidak selalu disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk
mengatakan sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan yang
87
sebenarnya. Tidak ada satu keteranganpunyang dapat dipastikan, berisi kebenaran,
walaupun tergantung dari orang yang memberikan keterangan itu dan dari keadaan
sekeliling dimana ini telah terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada
yang lain.
Sejak dari dahulu sudah diketahui,alat untuk memastikan suatu keterangan: yaitu sumpah.
Sumpah adalah sesuatu yang menguatkan keterangan dengan berseru kepada tuhan.
Gemetar akan kemungkaran dan takut kepada hukuman tuhan, dapat memberikan
pengaruh yang baik kepada barangsiapa yang cinta atas kebenaran. sudah tentu seseorang
yang jujur,tampa memakai penguatan ini, tidak akan menyelewengkan keterangan yang
diberikannya, sebagai mana halnya kalau ia memberikan keterangan diatas sumpah. Akan
tetapi soalnya disini adalah untuk orang-orang jujur. Siapa yang tidak percaya kepada
tuhan, tidak takut untuk membuat tuhan menjadi murka, juga tidak takut akan hukuman
tuhan. Sumpah tidak akan membuat ia lebih jujur, kecuali kalao ada perasaan
tahyulsedikit, yang berpengaruh baik pada dirinya.
Perlu diingat, bahwa kata sumpah dipakai dalam dua arti. Karena kadang-kadang arti yang
menguatkan keteranagan, dan kadang-kadang, kalau orang menyebut kata sumpah, maka
yang dimaksud adalah isi dari keterangan. Dalam bagian ini yang biasa dimaksudkan
dengan sumpah adalah isi dari keterangan.
Berdasarkan bunyi pasal 1929-1945 BW terdapat 2 ( dua ) macam sumpah dimuka Hakim
A. sumpah pemutus (sumpah decesoire pihak yang memerintahkan dinamakan deverent,
dan yang melakukan dinamakan delaat) adalah: sumpah yang oleh pihak yang satu
diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara padanya.
Dan dapat diperintahkan tentang segala persengketaan, yang berupa apapun juga, selain
tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal
dimana pengakuan mereka tidak akan boleh diperhatikan. Dimana sumpah pemutus dapat
diperintahkan dalam setiap tinggkat perkara, bahkan juga apa bila tiada upaya lain yang
manapun untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang diperitahkan penyumpahanya itu.
Sumpah itu hanya dapat diperintahkan tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri
oleh orang yang kepada sumpahnya digantungkan pemutusan perkaranya. Sumpah pemutus
aytau memutusakan adalah alat terakhir dan berbahaya, karena selalu ada orang yang bersedia
untuk melakukan sumpah palsu, apa bila ia akan mendapatkan keuntungan materil dari
padanya. Untuk orang-orang yang hati nuraninya, tinta kepada tuhan atau takut kepada tuhan,
tidak begitu kuat, hingga ia tidak menjadikan halangan melakukan sumpah palsu. Contoh :
sumpah pocong, sumpah mimbar dan sumpah kelenteng.
B. sumpah tambahan atau sumpah Hakim (sumpah suppletoire dan sumpah penafsiran
atau aestimatoir) adalah: sumpah yang oleh hakim karena jabatannya diperintahkan salah
88
satu pihak untuk mengakat sumpah, dan yang menolak untuk mengakatnaya atau menolak
mengembalikannya sumpah itu, ataupun barang siapa memerintahkan sumpahh dan setelah
kepadanya dikembalikan sumpah itu, menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam
tuntutan maupun tangkisan. Contoh: sumpah penaksir, yaitu sumpah yang diperintahkan
hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang pengganti
kerugian. Pada pasal 1967-1976 mengatur tentang sumpah pemutus, pasal 1977-
1980mengatur tentang sumpah hakim kedua pasal terakhir ini memberikan aturan bentuk bagi
sumpah didepan pengadilan pada umumnya.
PEMBUKTIAN TERBALIK
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGERTIAN UMUM
Korupsi merupakan penyakit yang membebani negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa penyakit korupsi telah melebar kesegala
lapisan dalam struktur pemerintahan. Korupsi telah menjadi isu sentral, bahkan sangat populer
melebihi isu apa pun yang muncul di Indonesia.Trend perilaku korupsi tampak semakin
endemis yang merambah dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan
suatu yang biasa dan seakan-akan telah membudaya dalam masyarakat indonesia.
Korupsi secara etimologi berasal dari bahasa latin, corruptio atau corruptus yang
berarti: merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga mengandung arti kejahatan,
kebusukan, tidak bermoral, dan kebejatan. Korupsi diartikan pula sebagai perbuatan yang
buruk seprti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berarti: buruk, busuk, rusak, suka memakai barang
BAB
11
89
(uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi), penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan), untuk kepentingan
pribadi atau orang lain.
Secara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi. Pertama
motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang ditimbulkan oleh
tindakan korupsi. Dalam hal ini, pelaku merasa mendapatkan kepuasan dan kenyamanan
tersendiri ketika berhasil melakukannya. Pada tahap selanjutnya korupsi menjadi gaya hidup,
kebiasaan, dan tradisi/budaya yang lumbrah. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan
korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian melekat dari pelaku itu sendiri.
Mutivasi kedua ini misalnya melakukan korupsi karena alasan ekonomi, ambisi untuk
mencapai suatu jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf hidup atau karir jabatan
secara jalan pintas. Secara agak rinci terjadinya korupsi disebabkan oleh tiga hal: pertama
corroption by greed (keserakahan) korupsi ini terjadi pada orang yang sebenarnya tidak
butuh, tidak mendesak secara ekonomi, bahkan mungkin sudah kaya. Jabatan tinggi, gaji
besar, rumah mewah, popularitas menanjak tetapi kekuasaan yang tak terbendung
menyebabkanya terlibat praktek korupsi. Mental serakah dan rakus inilah yang pernah
diingatkan oleh Nabi Muhammad saw bahwa kalau saja seorang anak adam memiliki dua
lembah emas, iapun berkeinginan untuk mendapatkan tiga lembah emas lagi.
Kasus korupsi karena serakah inilah yang banyak terjadi dilingkungan pejabat tinggi
dan penguasa. Kedua corruption by need (kebutuhan) korupsi yang dilakukan karena
keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs). Misalnya korupsi yang
dilakukan oleh seseorang karena gajinya yang sangat rendah jauh dibawah standar upah
minimum dan terdesak untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu, seperti pembayaran SPP
anak yang masih bersekolah korupsi ini banyak dilakukan oleh pegawai/kariawan kecil,
polisi/prajurit rendahan buruh kasar, tukang parkir, sopir angkutan umum. Ketiga corruption
by chance (adanya peluang). Korupsi ini dilakukan karena adanya peluang yang besar untuk
melakukan korupsi, peluang untuk cepat kaya melalui jalan pintas, peluang cepat naik jabatan
secara instan, biasanya ini didukung oleh lemahnya sistim organisasi, rendahnya akuntabalitas
publik, longgarnya pengawasan masyarakat, dan keroposnya penegakan hukum yang
diperparah dengan sanksi hukum yang tidak membuat jera. Dalam kenyataan sehari-hari,
seringkali korupsi justru diberi kesempatan dan diberi peluang, bahkan dilindungi, sehingga
menggoda para pejabat atau pemegang amanah untuk berbuat korupsi atau menerima suap,
padahal sebelumnya tidak pernah terlibatt korupsi.
Secara lebih khusus, penyebab terjadinya korupsi antara lain : pertama rendahnya
pengalaman nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Kedua struktur pemerintahan atau
90
kepemimpinan organisasi (baik profit maupun nonprofit) yang bersifat tertutup (tidak
transparan) dan cendrung otoriter. Dalam kondisi demikian, kecendrungan terjadi
penyelewengan kekuasaan sangat tinggi. Ini menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi dan suap
menyuap. Ketiga kurang berfungsinya lembaga penyimbang (DPR, DPD dan DPRD) bagi
Presiden, Gubenur, Bupati dan Wali kota. Hal ini diawali dengan cara yang tidak sah dalam
memperoleh kekuasaan (jabatan publik) dengan money politics manipulasi surat suara, atau
politik dagang sapi. Keempat tidak berfungsinya lembaga pengawas dan penegak hukum,
serta sanksi hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku korupsi. Sebuah kepemimpinan atau
pemerintahan yang tidak dibarengi dengan pengawasa yang ketat cendrung bertindak korup(
power tends to corrupt ). Kelima minimnya keteladanan pemimpin atau pejabat dalam
kehidupan sehari-hari. Sulit mencari pemimpin yang sederhana, hemat, qona’ah, (menerima
dan menikmati rahmat yang sudah ada) dermawan dan tidak bermental rakus. Sebaliknya
banyak pemimpin yang justru hidup bermewah-mewahan, boros, pelit, dan sombong.
Keteladanan yang baik dari pemimpin menjadi sangat penting, sebab masyarakat luas lebih
cendrung meniru pemimpinnya. Begitu pentingnya sebuah keteladanan, dalam sebuah
ungkapan: satu teladan yang baik, lebih baik dari seribu petuah bijak. Keenam rendahnya
upah/kariawan yang berakibat rendahnya tingkat kesejahteraan. Tinggkat upah dan gaji juga
ikut berpengaruh pada meluasnya tindak korupsi, walaupun tidak bisa dipukul rata. Kenyataan
sering menunjukan, jika penghasilan sangat kecil atau dibawah standar sehingga tidak cukup
memenuhi kebutuhan pokok akan memicu terjadinya korupsi.
Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan budaya masyarakat, korupsi juga ikut
tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk dan jenis yang sangat beragam. Banyak
pakar yang berusaha mengelompokkan jenis-jenis korupsi. Prof.Dr.M. Amin Rais
mengatakan sedikitnya ada empat macam jenis korupsi: pertama korupsi ekstortif, yaitu
sogokan atau suap yang dilakukan oleh pengusaha kepada penguasa, misalnya untuk
mendapakan HPH (Hak Penguasaan Hutan) , atau fasilitas tertentu, seseorang menggunakan
uang untuk menyogok pejabat yang berwenang. Kedua korupsi manipulatif, misalnya
seorang yang memiliki kepentingan ekonomis meminta kepada eksekutif maupun legislatif
untuk membuat peraturan atau Undang-undang yang menguntungkan bagi usaha ekonominya,
sekalipun berdampak negatif bagi rakyat banyak. Ketiga korupsi nepotistik, korupsi yang
terjadi karena adanya ikatan keluarga, misal seseorang yang selalu mementingkan istri, anak,
menantu, keponakan untuk mendapatkan fasilitas yang berlebihan dan tidak masuk akal.
Keempat korupsi suversif, korupsi dimana mereka merampok kekayaan negara secara
sewenang-wenang untuk dialihkan kepada pihak asing, tentu dengan sejumlah keuntungan
pribadi. Misalnya penambangan pihak asing yang kongkalingkong dengan pejabat tertentu
91
dengan pembagian yang tidak wajar seperti dalam kasus Freeport, Busang, Barriek dan Bre-
X.
Di antara bentuk-bentuk korupsi yang paling sering terjadi dan paling banyak
dibicarakan adalah pertama: pungutan liar. Kedua penyupan. Ketiga pemerasan. Keempat
pengelapan. kelima penyeludupan. Keenam pemberian hadiah atau hibah yang berkaitan
dengan jabatan/propesi atau tugas seseorang. Delik korupsi adalah sebagaimana juga delik
pidana pada umumnya dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan
negara atau perekonomian negara, yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak
perkara-perkara/delik korupsi lolos dari “jaringan” pembuktian sistem KUHAP. Karena itu
pembuktian undang-undang Tindak pidana Korupsi mencoba menerapkan upaya hukum
pembuktian terbalik, sebagaimana diterapkan dalam sistem beracara pidana di Malaysia.
Upaya pembentukan undang-undang ini, tidak tanggung-tanggung, karena baik dalam
delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo Undang-undang no 20 tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori
itu ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan dengan cara menerapkan pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang menggunakan sistem pembuktian
negatif menurut undang-undang. (negatief wettelijk overtuiging). Jadi, tidak menerapkan teori
pembuktian terbalik murni, (zuivere omskeering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik
terbatas dan berimbang.
B. PEMBUKTIAN TERBALIK
Dalam penjelasan atas Undang-undang N0. 31 Tahun 1999, dikatakan pengertian
“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
− Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa
apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak
pidana korupsi”. Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana
korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
− Kata-kata “berimbang”, mungkin lebih tepat “sebanding”, dilukiskan sebagai/berupa
penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income
terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak
seimbang dengan output, atau; dengan kata lain input lebih kecil dari output. Dengan
92
demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output tersebut (misalnya
berujud rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dollar dalam rekening bank, dan
lain-lainnya), adalah hasil perolehan dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Dalam
pemeriksaan delik korupsi ada dua Hukum Acara Pidana, yakni Hukum Acara Pidana yang
tercermin dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, sebagai penyimpangan dari Hukum
Acara Pada KUHAP dan Hukum Acara Pidana yang termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
C. TEORI PEMBUKTIAN DELIK KORUPSI
Didalam Pembuktian pada delik korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni:
1. teori bebas, yang diturut oleh terdakwa dan
2. teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum. Teori bebas
sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berujud dalam, hal-hal
sebagai tercantum dalam Pasal 37 Undang-undang N0. 31 tahun 1999, sebagai berikut:
(1). Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
(2). Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber
panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat
alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.(5) Dalam
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan teori negatif menurut undang-
undang tercermin tersirat dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Karena itu
persyaratan pemberian pidana dalam sistem KUHAP sangat berat, yakni:
1. Minimum dua alat bukti sah, menurut undang-undang.
2. Keyakinan hakim.
3. Ada tindak pidana yang benar-benar terjadi.
4. Terdakwa itu manusianya yang melakukan perbuatan.
93
5. Adanya kesalahan pada terdakwa.
6. Pidana macam apa yang akan dijatuhkan hakim.
D. PARA PIHAK DALAM MENYIKAPI PEMBUKTIAN DELIK KORUPSI
Kembali kepada persoalan pokok, pembuktian terbalik terbatas dan berimbang, maka
bagaimana pelaku-pelaku Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 terhadap wacana tersebut,
mungkin penulis dapat menggambarkan, atau membayangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sikap terdakwa
Bagi terdakwa, wacana demikian ada segi-segi yang perlu diperhatikan dalam memilih
alternatif: apakah ia akan menggunakan hak itu atau tidak. Karena menggunakan hak atau
tidak, semuanya ada konsekuensinya. Dalam menggunakan hak terdakwa ada dua hal
yang harus diperhatikan oleh terdakwa, yakni:
1. Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan
oleh Penuntut Umum.
2. Ia berkewajiban untuk keterangan tentang seluruh harta bendanya sendiri, harta benda
istrinya atau suami (jika terdakwa adalah perempuan), harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang bersangkutan.
Pada syarat pertama ini, merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP,
yang menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak pidana, bukan
terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidka
melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu contoh rekayasa: suatu alibi bagi terdakwa ialah
jika pada waktu perbuatan korupsi dilakukan, terdakwa tidak melakukan delik korupsi (delict
action), ia tidak berada ditempat kejadian (locus delictie) dan atau ia tidak berada pada waktu
dilakukan perbuatan (tempus delictie), maupun ia tidak melakukan perbuatan yang diuraikan
dalam ketentuan Pasal 55 dan atau Pasal 56 KUHP, serta Pasal 480 KUHP, pada saat waktu
(tempus delictie) perbuatan terjadi/dilakukan, atau disekitar tempat (locus delictie) perbuatan
tersebut terjadi/dilakukan.
Syarat kedua ialah ia berkewajiban memberi keterangan tentang asall usul/perolehan
hak atau asal usul/pelepasan hak atas harta bendanya pribadi, anak istrinya, ataupun orang lain
atau korporasi yang diduga berkaitan dengan delik korupsi tersebut. Perolehan/pelepasan hak
itu mengenai kapan; bagaimana, dan siapa saja, yang terlibat dalam perolehan/pelepasan hak
itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi. Penggunaan hak
terdakwa ini dapat menguntungkan dan merugikan kedudukan terdakwa dalam
pembelaannya.
2. Sikap Penuntut Umum
94
Penuntut Umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang
kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari
sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.
Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik
korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal ini merupakan pembuktian
terbalik terbatas, karena penuntut umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Dan
bagi penuntut umum, ia tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sesuai dengan teori
negatif menurut undang-undang adalah pada terdakwa ada kesalahan atau tidak dan apa
terdakwa inilah yang melakukan perbuatan.
1. Sikap Hakim
Terhadap keterangan terdakwa itu, hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap
Hakim bebas dalam menentukan pendapatnya, sebagai berikut:
1.Keterangan terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja.
2. Jika keterangan terbukti tidak melakukan delik korupsi, maka keterangan itu, dipakai
sebagai hal yang menguntungkan bagi pribadinya.
3. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang/sebanding dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, maka
keterangan itu, dapat dipergunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain, keterangan itu
merugikan bagi kedudukan terdakwa.
4. Perhatian Bagi Penegak Hukum
Perlu diperhatikan dalam menerapkan teori negatif menurut undang-undang (negatief
wettelijk), terdapat dua hal yang merupakan syarat, yakni:
a). wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh undang-
undang.
b). negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh
undang-undang saja belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah
diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan keyakinan hakim. Dengan demikian antara alat-
alat bukti dengan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan casual (sebab akibat).
Jadi, Pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan yang
ditetapkan oleh undang-undang dan keyakinan hakim bahwa tindak pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Karena itu oleh pembentuk undang-undang
diajukan 5 (lima) macam alat bukti ( Pasal 184 KUHAP), akan tetapi Hakim tidak yakin
95
bahwa suatu delik korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya, maka Hakim
pidana akan membebaskan terdakwa (vrijspraak), atau akan melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsvervolging).
Selain teori negatief wettelijk, tercermin pada Pasal 183 KUHAP. Asas negatief
wettelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal 189 ayat 4 KUHAP, bahwa berdasarkan
“keterangan terdakwa” saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan, melainkan harus disertai dengan alat-alat bukti yang lain.
Jadi, Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya
berdasarkan satu saksi saja (unus testis nullus testis), oleh karena dianggap sebagai bukti yang
tidak cukup (Pasal 185 ayat 2 KUHAP), artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja
tidak dianggap sempurna oleh hakim (onvoldoende bewijs). Ketentuan Pasal 185 ayat (2)
dianggap tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3
KUHAP). Walaupun Hakim yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, akan tetapi keyakinan hakim hanya dilandasi oleh salah satu alat
bukti yang berupa keterangan terdakwa maka terdakwa tidak dapat dihukum, karena akan
melanggar asas dari minimum bukti yang diminta oleh undang-undang (leer van het minimum
bewijs), sebagaimana termuat dalam Pasal 183 KUHAP.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, bahwa teori pembuktian negatif menurut undang-
undang (negatief wettelijk) dari HIR sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan:
1. memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa
untuk dapat menjatuhkan suatu pidana, jangan hakim terpaksa memberi pidana kepada
seorang terdakwa sedangkan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
2. Berfaedah, jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar
ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.
Sedangkan D.Simons menyatakan bahwa teori pembuktian negatif menurut undang-
undang ini, Pemidanaan didasarkan pada pembuktian yang berganda (doubble grondslag),
yaitu pada peraturan undang-undang dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang.
Dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan perundang-undangan. Bagaimana
peraktek peradilan di Indonesia. Penulis sependapat dengan Wiryono Prodjodikoro, pada
kesempatan tukar pikiran antara hakim, bercerita tentang pengalamannya sebagai hakim/ketua
sidang. Sering kejadian hakim mulai dengan menentukan keyakinannya tentang terbukti atau
tidaknya suatu kejadian dan baru kalau hakim yakin betul: bahwa terdakwa telah bersalah,
maka diusahakan supaya ada alat-alat bukti yang mencukupi syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang agar dapat menjadi dasar keyakinannya itu.
96
E. INTI TEORI PEMBUKTIAN TERBALIK (balanceced probality principle)
1. Setiap orang berhak memiliki kekayaan/aset yang diperoleh secara sah, kecuali terbukti
sebaliknya.
2.Tersangka /terdakwa yang ketahuan asal-ususl asetnya sehingga seharusnya beban
pembuktian asal usul aset berada pada tersangka/terdakwa.
3. Pembuktian terbalik atas aset tersangka/terdakwa tidak merupakan pelanggaran HAM.
4. Ada pemisahan antar pemilik aset dan asetnya yang diduga berasal dari tindak pidana.
5. Aset tindak pidana merupakan subjek hukum setara dengan pemiliknya.
6. Pembuktian terbalik atas aset melepaskan pertanggungjawaban pidana terhadap pemiliknya
F. KELEMAHAN PEMBUKTIAN TERBALIK
1. Pembuktian terbalik atas aset tindak pidana dalam praktek, “sulit memisahkan” aset yang
diduga berasal dari tindak pidana dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidananya.
2. Pembuktian terbalik atas aset tindak pidana rentan terhadap pemberlakuan surut
(regtroaktif) sehingga bertentangan dengan ketentuan pasal 1 ayat 1 tentang asas non-
regtroaktif-Asas legalitas sebagai Asas fundamental dan Asas Universal yang diakui sistim
hukum pidana ( UUD 1945 pasal 281 ayat 1)
3. Pembuktian terbalik atas kesalahan pelaku bertentangan dengan prinsip HAM Universal
(ICCPR-UU No 12 tahun 2005)
4. Rentan terhadap penyalahgunaan wewenang aparatur penegak hukum antara lain penerapan
hukum yang diskriminatif.
5. Rentan terhadap penolakan kerjasama internasional karena mayoritas sistim hukum negara
lain tidak menganut sistim pembuktian terbalik atas aset tindak pidana.
G. SOLUSI EKSES PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK
1. diperlukan Undang-undang yang khusus pembuktian terbalik baik hukuk materil maupun
hukum formil yang sangat ketat.
2. Penerapan pembuktian terbalik atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana harus
diberlakukan terhadap seseorang dalam status terdakwa dengan kesempatan seluas-luasnya
membuktikan sebaliknya.
3. Penerapan pembuktian terbalik atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana harus
didahului/dibuktikan dengan AUDIT FORENSIK dari lembaga independen dan kridibel dan
diatur dalam Undang-undang
97
4. Diperlukan komikmen politik pemerintah untuk melakukan langkah moratorium penerapan
pembuktian terbalik saat ini belumjuga terealisasikan.
5. Studi banding sistim pembuktian terbalik kenegara yang menganut sistim Civil Law dan
sisti hukum Common Law.
PERIHAL KETENTUAN-KETENTUAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-undang. No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berlaku
terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999, dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang
No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan (UU ini sebagai
pengganti dari UU No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana korupsi). Adapun tujuan dengan di Undangkannya UU Korupsi ini diharapkan
dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat
dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi
yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat
pada umumnya.
PENGERTIAN
Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu
diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara.
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
98
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)
Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan,
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karenanya :
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang
menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut :
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan
kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 )
Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau
perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana
korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara
melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
99
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan
formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan
tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut :
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3.
Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi,
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian
kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana
si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara
tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana
korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak diatur sebelumnya yakni
dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu undang-undang no. 3 Tahun 1971.
Undang-undang ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat
ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu
menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman
pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga
pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan
berupa uang pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18.
Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari
negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan
dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar,
pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan
100
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
ayat 2 ).
Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. sedangkan proses
penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan
tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau
terdakwa. (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27).
Dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik ,penuntut umum, atau
hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada Bank dengan mengajukan hal
tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia dapat dibaca pada Pasal 29 tentang rahasia Bank).
PEMBUKTIAN TERBALIK
Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila
terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28
dan Pasal 37)
PERAN SERTA MASYARAKAT
Undang-undang ini juga memberikan peran serta masyarakat dan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta diberikan perlindungan hukum dan
penghargaan setinggi-tingginya oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 41 UU ini dan Pasal
102, 103 KUHAP).
Dari uraian tersebut di atas dapat disampaikan bahwa dalam rangka mencapai tujuan
yang lebih efektif sebagai wahana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ini dilengkapi berbagai macam ketentuan pidana yang
101
perbeda dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1971, adapun berbedaan tersebut adalah sebagai
berikut :
No. Ancaman Pidana UU 7/1971 UU 31/1999 Pasal
UU 7/1971 UU 31/1999
1
Ancaman pidana
maksimal
Seumur hidup
atau pidana
penjara 20 th
pidana mati
Ps 28, 29,
30, 31, 32.
Ps 2(2)
2
Ancaman pidana
minimum
tidak ada
ancaman pidana
minimum
ada ancaman
pidana
minimum
Ps 28, 29,
30, 31.
Ps 2(1), 3, 5,
6, 7, 8, 10, 11,
12.
3
Ancaman pidana denda
maksimal
maks Rp 30 juta
maks Rp 1
milyar
Ps 28 Ps 2(1)
4
Ancaman pidana denda
minimum
tidak ada
ancaman
ada ancaman Ps 28, 29,
30, 31.
Ps 2(1), 3, 5,
7, 8, 10, 11, 12.
5
Ancaman pidana
tambahan/pengganti
tidak ada sanksi
ada anksi Ps 34c Ps 18(3)
Tampak bahwa undang-undang No. 31 Tahun 1999 lebih lengkap dan lebih berat
ancaman pidananya dari pada undang-undang No. 3 Tahun 1971, baik dari segi normatif
maupun dari segi sanksinya.
ATURAN PERALIHAN
Di samping mengandung banyak kelebihan, ternyata dalam undang-undang No.31
Tahun 1999 terdapat pula kekurangan-kekurangan dimana pembuat undang-undang tidak
melengkapi aturan peralihan. Hal ini berbeda pada waktu UU No. 3 Tahun 1971
menggantikan UU No. 24 Prp. Tahun 1960, Pembuat Undang-undang mencantumkan Pasal
36 (UU No. 3 Tahun 1971) sebagai Aturan Peralihan yang berbunyi sebagai berikut :
Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan saat UU. Ini berlaku,
tetapi diperiksa dan diadili setelah UU ini berlaku, maka diberlakukan UU yang berlaku pada
saat tindak pidana dilakukan.
Peranan Aturan Peralihan ini adalah mengatur keadaan yang terjadi, namun belum
dituntaskan penanganannya hingga lahirnya UU baru. Tidak dilengkapinya UU. No.31 Tahun
1999 dengan Aturan Peralihan, terkesan telah terjadi kekosongan hukum sehingga tidak
mustahil menimbulkan suatu pertanyaan dasar hukum yang akan bisa dipergunakan oleh
aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus perbuatan korupsi dalam era UU 3 tahun
1971, namun penanganannya pada era UU No. 31 Tahun 1999.
102
Sedangkan dalam Pasal 44 UU No.31 Tahun 1999 menyatakan :
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam Pasal 45 UU No.31 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan menempatkannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dari uraian tersebut di atas, secara sepintas nampak kesan UU No. 3 Tahun 1971 tidak
bisa digunakan lagi sejak tanggal diundangkannya UU 31 Tahun 1999, yaitu tanggal 16
Agustus 1999, sebab UU 31 tahun 1999 tidak dilengkapi Aturan Peralihan, juga dengan
merujuk asas umum dalam pasal 1 KUH Pidana UU Pidana hanya berjalan ke depan dan tidak
berlaku surut, maka UU No. 31 Tahun 1999 hanya dapat digunakan terhadap perbuatan
korupsi yang terjadi setelah tanggal 16 Agustus 1999.
Untuk mengatasi dilema demikian maka , aparat penegak hukum seyogianya merujuk
pada Pasal 1 KUHPidana, Pasal 1 ayat (1) KUHPidana menegaskan UU Pidana hanya
berjalan ke depan dan tidak berlaku surut, perbuatan pidana diadili berdasarkan UU Pidana
yang sudah ada sebelum perbuatan pidana itu terjadi, dan bukan berdasarkan UU Pidana yang
baru.
Dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan pidana, maka Pasal 1 ayat (1 dan 2)
KUHPidana berfungsi sebagai Aturan Peralihan. Bila terjadi perubahan perundang-undangan
pidana setelah perbuatan pidana dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkannya ketentuan
yang paling meringankan terdakwa.
Dengan merujuk pada rumusan tersebut di atas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1
dan 2 KUHPidana, maka berkaitan dengan dasar hukum yang dapat digunakan sebagai
landasan menangani kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum berlakunya UU No.
31 Tahun 1999 diperoleh jalan keluar penyelesaiannya yang secara hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan yaitu:
berdasarkan rumusan tersebut di atas yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, maka aturan
pidana yang dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menyidik, menuntut, dan
mengadili Tindak Pidana korupsi sebelum berlakunya UU No. 31 tahun 1999 adalah
103
aturan pidana korupsi yang sudah ada saat kasus itu terjadi yaitu UU No. 3 tahun 1971
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang yang baru yaitu UU No. 31 Tahun 1999 ternyata lebih berat baik dari
segi normatif maupun sanksinya dari pada UU No. 3 tahun 1971
berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (2) KUHPidana di atas, Aturan Pidana Korupsi
yang lebih menguntungkan bagi tersangka adalah UU No. 3 Tahun 1971 daripada UU
No. 31 tahun 1999.
Dari penjelasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan sementara bahwa :
Penyebutan dalam Pasal 44 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa UU No. 3 tahun 1971
dinyatakan tidak berlaku lagi adalah dalam pengertian apabila UU No. 3 tahun 1971
dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menangani perbuatan korupsi yang terjadi
atau dilakukan sebelum tanggal 16 Agustus 1999. Dengan landasan prinsip hukum
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, maka UU No. 3 Tahun 1971 masih dapat
dipergunakan sebagai dasar hukum penindakannya.
Langkah hukum bagi penegak hukum yang ditempuh dapat mempergunakan UU No.
3 Tahun 1971 sebagai dasar hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi
yang terjadi atau dilakukan sebelum tanggal 16 Agustus 1999.
Referensi :
Undang-Undang No.3 Tahun 1971
Undang-Undang No.31 Tahun 1999
Suara Pembaruan
KUHP
104
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara
105
adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
106
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya
diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung
menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
107
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
108
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
109
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan
Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
110
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
111
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat
(2) frasa yang berbunyi "keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya"
diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan
tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5)
dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
112
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau
perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15,
dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B,
dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga
dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
113
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak
pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok
dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan
terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara
pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat
harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi
yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2),
maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan
yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44
sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
114
Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan
diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415,
Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
115
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
DAFTAR ISI
JUDUL ...............................……………………………..........…………… i
KATAPENGANTAR…...............................……………………………………………....ii
DAFTARISI..........................................................................................................................iii
BAB I. METODE PENEMUAN FAKTA SECARA INQUSATOIR DAN AQUSATOIR......1
A. Metode Manakah Yang Lebih Baik...................................................................1
B. Penemuan Fakta dalam hubungan dengan adanya acara Aqusatoir dan Inqusatoir5
BAB II. SEGALA SESUATU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBUKTIAN........8
A. Arti Hukum Pembuktian.......................................................................................8
B. Sumber-Sumber Formal Hukum Pembuktian…………………………………...9
C. Membuktikan……………………………………………………………………9
116
D. Alat Bukti.....................................................……………………………………9
E. Yang Berhak mengajukan Alat Bukti.................................................................10
F. Hal-Hal yang harus dibuktikan...........................................................................10
G. Hal-Hal yang tidak perlu dibuktikan..................................................................10
H. Tujuan dan Kegunaan Pembuktian.....................................................................11
J. Arah Pemeriksaan Persidangan............................................................................11
BAB III. SISTEM, MACAM DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN.....................................12
A. Sistem Pembuktian.............................................................................................12
B. Macam – Macam Alat Bukti..............................................................................14
C. Kekuatan Pembuktian.........................................................................................16
BAB IV. ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI................................................................18
A. Panggilan dan Pemeriksaan Saksi......................................................................18
B. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi..............................................................27
C. Bentuk-Bentuk Saksi..........................................................................................32
BAB V. ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI...................................................................39
A. Pengertian Ahli...................................................................................................39
B. Pemanggilan dan Pemeriksaan Ahli...................................................................41
C. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Ahli...............................................................43
BAB VI. ALAT BUKTI SURAT..........................................................................................46
A. Pengertian Surat.................................................................................................46
B. Macam-Macam Surat.........................................................................................47
C. Tata Cara Pemeriksaaan Surat...........................................................................49
D. Kekuatan Alat Bukti Surat................................................................................50
BAB VII. ALAT BUKTI PETUNJUK................................................................................55
A. Pengertian Petunjuk..........................................................................................55
B. Yang Berhubungan dengan Petunjuk...............................................................56
C.Kekuatan Alat Bukti Petunjuk..........................................................................57
BAB VIII. ALAT BUKTI KETERANGAN TERDAKWA...............................................60
A. Pengertian Terdakwa.......................................................................................60
B. Pemanggilan dan Pemeriksaan Terdakwa.......................................................64
C. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Terdakwa....................................................65
BAB IX. BARANG BUKTI................................................................................................69
A. Pengertian Barang Bukti..................................................................................69
B. Pemeriksaan Barang Bukti...............................................................................70
C. Kegunaan Barang Bukti Dalam Persidangan...................................................71
117
BAB X. PEMBUKTIANN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI...........73
A. Pengertian Umum............................................................................................73
B. Pembuktian Terbalik........................................................................................73
C. Teori Pembuktian Delik Korupsi.....................................................................74
D. Para Pihak Dalam Menyikapi Pembuktian Delik Korupsi..............................77
LAMPIRAN – LAMPIRAN ..............................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................165
118
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Wignyapranaka; Filsafat Hukum, Makalah untuk lingkungan Fakultas Hukum,
tanpa tahun.
Abdurrachman, S.H. Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia,
Penerbit Alumni/1980/Bandung.
Achmad Soema Di Prodjo, R., Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni,
Bandung, 1977.
Andi Hamzah, SH: Delik-delik tersebar diluar KUHP dengan komentar, cet 1980.
Apeldoorn, Prof. Dr. L.J.: Pengantar Ilmu Hukum cet, 1981.
Atang Ranoemihardja, R., Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1983.
Bassioum & savitski; The Criminal Justice System of USSR, 1979 dalam revenue
international De Droit Penal 3et 4 Trime Stres Toulouse 1982 pada karya Joachim Hermann,
The Philosophy of Criminal Justice.
Bemmelen, J.M van. Strafvovdering, leerbook van Het Nederlandse, Strafprocesrech,
Martinur Nijhoff’s Gravenhage, 1950.
Conahay Mc.; Mullin and Fredrick, The Use of Social Science in Trials with Political
and Racial Overtone dalam The Trial of Joan Little, 41L & Probation Contemporar 1977.
Coutts: The Accused, A Comparative Study, 1966 dalam Revue International De Droit
Penal 3et 4 Trime Stres, Toulouse 1982, Pada,karya Joachim Hermann, The Philosophy of
Criminal Justice.
Hadari Djanawi Tahir, Drs.S.H. Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP. Penerbit
Alumni/1981 Bandung.
Hawi Sasangka, Drs, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, 2003.
119
Martiman Prodjohamidjojo, SH., Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi,
Mandar Maju, Bandung, 2001.
Miyahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 1985.
Soedono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum, Armico,
Bandung, 1984.
Sumarjati Kartono, S.H. Apakah The Rule of Raw Itu. Penerbit Alumni, Bandung, 1969.
120
121
Top Related