STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 94-121
MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
PENDIDIKAN INDONESIA MELALUI
KONSEP HUMANIS A LA MANGUNWIJAYA
Andreas Maurenis Putra
Aktivis PMKRI Cabang Bandung St. Thomas Aquinas
Abstrak: Pendidikan memainkan peranan strategis untuk membawa manusia
pada kehidupan yang lebih bermartabat dan berkualitas, menjadi
manusia yang lebih manusiawi. Karena itu, pendidikan selalu
bersifat holistik-integral: terwujudnya kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Namun kini, ada
kecenderungan pendidikan bergeser arah kiblatnya ke pusaran nilai
pragmatis-materialistik oleh sebab kuatnya pengaruh pasar. Untuk
itu, tulisan ini bertujuan merespon isu tersebut dengan konsep
pendidikan humanistik Y.B Mangunwijaya sebagai pisau bedah.
Respon yang dimaksud adalah mendialogkan nilai dan pengalaman,
belajar berbasis live in, pelajaran atau mata kuliah filsafat-etika,
kebijakan kurikulum dan solusi sistemik. Respon ini diharapkan
dapat menjadi alternatif solusi bagi masa depan pendidikan
Indonesia. Dalam mencapai harapan (tujuan) tersebut, tulisan yang
bersifat reflektif ini akan menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan literatur.
Kata Kunci : Pendidikan humanistik, pragmatis-materialistik, respon, dialektika,
etika, kurikulum, solusi.
Abstrak: Education plays a strategic role in bringing humans to a more
dignified and quality life, becoming more humane. Therefore,
education is always holistic-integral: the realization of intellectual
intelligence, emotional intelligence and spiritual intelligence.
However, nowadays, there is a tendency for education to shift
towards a pragmatic-materialistic value vortex due to the strong
influence of the market. For this reason, this paper aims to respond
to this issue with the concept of Y.B Mangunwijaya's humanistic
education as a scalpel. The response referred to is dialogue of
values and experiences, live-in-based learning, philosophy-ethics
lessons or courses, curriculum policies and systemic solution. This
response is expected to be an alternative solution for the future of
Indonesian education. In achieving these expectations (goals), this
STULOS: JURNAL TEOLOGI 95
reflective writing will use a qualitative method with a literature
approach.
Keywords: Humanistic, education, pragmatic-materialistic, response, dialectics,
ethics, curriculum, solution.
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai pendidikan berarti menyoal sebuah proses yang
berlangsung sepanjang hidup. Itu sebabnya, pendidikan harus merupakan
sebuah pembelajaran yang holistik dari sekadar sarana sosialisasi atau
sebatas meneruskan informasi yang terlepas-lepas serta kosong tanpa
makna. Pendidikan harus menjadi wadah perealisasian diri atas semua
potensi manusia, sehingga menjadi kenyataan di dalam praksis
(Rousseau). Dalam kerangka holistik-integral tersebut, dunia pendidikan
mengemban amanah untuk menyiapkan anak didik agar dapat bertahan
hidup dan menumbuhkan karakter selaras nilai-nilai yang berlaku secara
lokal, nasional, dan global atau humanisasi. UU No. 20 Tahun 2003
menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Peran besar yang diemban oleh lembaga pendidikan adalah
sebagai pusat penghayatan, pengembangan dan pembentukan jati diri
kultural sebuah komunitas atau bangsa. Melalui dunia pendidikan setiap
kelompok masyarakat dapat merancang strategi pertumbuhan dan
perkembangan sumber daya manusia yang berkarakter dan mampu
berkompetensi untuk aktif dalam tatanan masyarakat yang beradab.
Pembelajaran secara holistik-integral menjadi sangat penting karena
melalui pendidikan keadaan suatu masyarakat dapat dipetakan bahkan
sebaliknya melalui dinamika masyarakat, dapat dilihat kondisi dinamika
pendidikan. Maka karakter yang dibentuk pun harus tetap
memperhatikan keterikatannya dengan konsep manusia sebagai makhluk
sosial.
96 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Sementara kenyataan yang ditampilkan oleh dunia pendidikan hari-
hari ini justru bertolak belakang dengan hakikat luhurnya: usaha manusia
untuk memanusiawikan manusia. Dunia pendidikan mendapatkan kritik
berkaitan dengan sistem pendidikan dan pengaruhnya terhadap kualitas
sumber daya manusia yang dihasilkan. Pendidikan mengalami distorsi
sehingga menjadi isu yang mesti mendapat penanganan serius. Proses
belajar mengajar yang berlangsung di dunia pendidikan formal sekarang
ini lebih banyak hanya sekadar mengejar target pencapaian kurikulum
yang telah ditentukan.1 Pendidikan dengannya, cenderung menjurus pada
tuntutan pasar. Dunia pendidikan formal layaknya jembatan menuju
perusahaan-perusahaan yang sedang menunggu di depan mata. Sekolah,
pada akhirnya, tidak memerdekakan dan membuat manusia menjadi lebih
humanum tetapi pabrik mencipta “robot-robot bernyawa” sesuai dengan
kualifikasi perusahaan. Pendidikan berada di pusaran nilai pragmatis-
materialistik. Pada akhirnya praktek pendidikan sekadar melihat anak
sebagai objek yang akibatnya peserta didik menjadi manusia yang
tertindas, senantiasa takut dan menjauhi komunikasi dengan
masyarakatnya. Peserta didik kehilangan pemerdekaan belajar, ruang-
ruang eksplorasi dan kreativitas dibatasi, dan kesempatan untuk
perenungan dan refleksi kritis diabaikan termasuk kebebasan memilih
yang melekat sebagai kodratnya.
Kisruh yang terjadi dalam dunia pendidikan, sebagaimana terlihat
dalam realitas di atas adalah gambaran pengabaian kemanusiaan anak
didik. Dengan kata lain, pendidikan harusnya memerdekakan anak didik
agar berkembang menjadi manusia utuh atau meminjam ungkapan
Mangunwijaya, “pemerdekaan”. Kemerdekaan untuk mewujudkan dan
memekarkan segala potensi yang ada dalam masyarakat dan lingkungan
sosial demi kesejahteraan hidup bersama. Merdeka berarti berjuang
untuk mengembangkan hidup secara utuh dan manusiawi dalam
semangat persaudaraan dan gotong royong. 2 Mengapa pendidikan
pemerdekaan Mangunwijaya? Sedari awal, pendidikan a la Mangunan
1 Zen Istiarsono, “Tantangan Pendidikan Dalam Era Globalisasi: Kajian
Teoritik” Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 (2017). 2 M. Andy Rudhito (edit.), Pendidikan yang Memerdekakan: Belajar dari
Romo Mangun, Kang Din dan Pengalaman, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2020), 5.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 97
telah menoreh makna: jalan bagi pembelaan martabat manusia melalui
proses pemekaran diri anak didik mengingat anak adalah pribadi yang
utuh dan multidimensi. Pendidikan Mangunan adalah sebuah model
perealisasian utuh diri manusia terutama dalam konteks Indonesia, untuk
memekarkan tunas bangsa. Pemerdekaan belajar inilah persis bagi
pendidikan Mangunan dipahami sebagai sebuah pendidikan yang
humanis. Jika direfleksikan secara mendalam, pendidikan a la Mangunan
adalah pendidikan yang menampilkan hakikat luhurnya. Ini mesti tetap
dihidupkan dalam proses dan dinamika pendidikan di Indonesia dewasa
ini, yang telah mengalami distorsi oleh karena kuatnya pengaruh
orientasi pasar yang dibawa oleh globalisasi. Menurut hemat penulis,
habitus pendidikan Mangunan sebagai pencetak pelaku pembangunan
masyarakat yang humanis akan senantiasa menjadi orientasi masa depan,
menjadi sebuah wawasan yang tetap futuristik sekaligus antisipatoris,
memekarkan tunas-tunas bangsa dengan nilai-nilai gotong royong,
persaudaraan dalam kebhinekatunggalikaan, dan kesetiakawanan sosial.3
Dengan demikian, pertanyaan penting yang menjadi konsen dari
artikel ini adalah bagaimana merespon nilai pragmatis-materialistik
pendidikan Indonesia dewasa ini dalam bingkai pemahaman pendidikan
“humanistik” a la Mangunwijaya? Respon ini akan menjadi alternatif
solusi bagi konsep pembelajaran dunia pendidikan yang kini sedang
diterpa ideologi pasar.
Batasan Masalah dan Metode
Batasan masalah ini dimaksudkan untuk menghilangkan argumentasi-
argumentasi yang terlampau bias. Artinya, tulisan ini tidak
membandingkan dengan hal-hal positif dalam pendidikan Indonesia
termasuk juga persoalan terbesar yaitu variasi pendidikan Indonesia
terlalu tinggi, antara desa dan kota, barat dan timur secara komprehensif.
Dengan bahasa yang sedikit kurang baik, penulis hanya sedang
mengkritik dan mengkritisi akibat buruk dari nilai pragmatis-
materialistik dalam dunia pendidikan sembari melihat bagaimana
3 Ibid., 6.
98 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
pendidikan humanistik a la Mangunwijaya berbicara dalam konteks
tersebut.
Dalam mengeksplorasi tema ini penulis akan menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dalam Research in Education: A Conceptual
Introduction, Jamesh Mc. Millan dan Sally Schumacher mengatakan
bahwa sekurang-kurang terdapat empat strategi pengumpulan data dalam
metodologi penelitian kualitatif yakni, observasi partisipatif, wawancara
mendalam, kajian literatur dan artefak. Strategi pengumpulan data yang
digunakan dalam telaah ini adalah kajian literatur. Penulis mencoba
mengumpulkan dan menganalisis khazanah pustaka bertema pendidikan,
baik yang berbicara mengenai pendidikan humanistik dari Mangunwijaya
maupun kajian tentang pengaruh orientasi pasar dalam pendidikan
Indonesia dewasa ini. Sumber-sumber pustaka tersebut lalu dianalisis
secara tafsir intertekstual dalam bingkai basis pemikiran Mangunwijaya
tentang pendidikan. Untuk mencapai harapan tersebut penulis memulai
dengan menjabarkan pemikiran-pemikiran tentang pendidikan, yang
kurang lebih dapat membantu memberi pemahaman yang cukup tentang
ideologi pendidikan itu sendiri. Pemikiran-pemikiran yang dimaksud
adalah gagasan yang dikemukakan oleh Nuryanto, Paulo Freire, dan Y.B
Mangunwijaya sendiri. Di bagian berikutnya, penulis menjabarkan
tentang nilai pragmatis-materialistik yang dibawa oleh ideologi pasar
dalam dunia pendidikan: arti dan dampaknya. Selanjutnya, penulis coba
membaca (membandingkan) pendidikan yang terjerumus ke dalam
pusaran ideologi pasar (pragmatis-materialistik) dengan konsep
pendidikan humanis dari Y.B Mangunwijaya, yang hasilnya adalah,
keduanya bertentangan. Di bagian terakhir, penulis memberikan respon
yang dapat dimaknai sebagai alternatif solusi bagi pendidikan masa
depan. Dengan kata lain, penulis menerjemahkan konsep humanis
Mangunwijaya secara baru jika memang orientasi pasar di dalam dunia
pendidikan Indonesia tetap dipertahankan.
Akhirnya penulis menyadari kurang komprehensifnya penjabaran
maka dengan rendah hati terbuka pada kritik dan saran yang
membangun. Meskipun telaah ini masih jauh dari sempurna dan banyak
hal yang tidak dimuat secara komprehensif namun harapan penulis
STULOS: JURNAL TEOLOGI 99
bahwa ide-ide yang tersaji dalam artikel ini dapat mencerahkan sekaligus
menjadi refleksi bersama.
Tinjauan Pustaka: Pemikiran-pemikiran Tentang Pendidikan
Terdapat banyak pemerhati dan pegiat pendidikan yang menerbitkan
penelitian berkaitan dengan pendidikan dalam beragam kajian.
Contohnya, kajian yang dilakukan oleh Muhammad Agus Nuryanto
(2017)4, Paulo Freire (2008)5, Y. B Mangunwijaya (2004)6. Nuryanto
memperlihatkan terjadinya pertarungan kepentingan antar ideologi dalam
pendidikan tinggi, yaitu kontestasi antara pendidikan tinggi yang
berbasiskan pada nilai-nilai akademik (academic values) yang cenderung
etis-utopis dan yang berbasiskan pada nilai-nilai korporasi (corporate
values) yang cenderung praktis-pragmatis. Baginya, institusi pendidikan
yang berbasis pada nilai-nilai korporasi atau pasar akan melahirkan
sivitas akademika yang mode of thought-nya adalah rasionalitas
teknokratik. Rasionalitas teknokratik memiliki kontribusi pada lunturnya
kesadaran historis-kritis sivitas akademika dengan cara menggeser ide
tentang perkembangan diri mereka yang bersifat moral dan etis dengan
hanya menekankan pada perkembangan diri yang bersifat teknis-
material.
Paulo Freire menolak praksis pendidikan gaya bank (banking
education) yang hanya membuat “pendidikan karenanya menjadi sebuah
kegiatan menabung. Para murid menjadi celengan bagi guru yang
merupakan penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi,
tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi
tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para
murid. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia
menolak pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk pasif yang
4 M. Agus Nuryanto, “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi,” The
Journal of Society and Media Vol. I, Nomor 1, (2017). 5 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S, 2008). 6Y.B Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan: Catatan Separuh Perjalanan
SDK Eksperimen Mangunan, (Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004).
100 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi
mengenai pendidikannya sendiri.
Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun), pegiat yang mempunyai
perhatian terhadap dunia pendidikan tanah air 7 yang pemikirannya
menjadi basis dari artikel ini, mengkritik pendidikan masa orde baru
(bahkan sesudah reformasi). Ia mengatakan pendidikan pada zaman
tersebut hanyalah indoktrinasi, penataran, dan pelatihan, bukan
pendidikan yang sesungguhnya, murid hanya menghafal materi
pelajaran. Orde baru yang sarat dengan gaya militer dan otoriter,
kemudian merambah dunia pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai
upaya melatih, mempawang sehingga pada intinya, tidak memerdekakan.
Romo Mangun menganggap bahwa pendidikan masa orde baru (atau
mungkin juga pada masa reformasi ini) tidak menghasilkan manusia-
manusia humanis. Pendidikan menampilkan diri sebagai sosialisator yang
tidak melihat anak memiliki nilai tersendiri, berkepribadian unik dengan
status bermartabat sebagai manusia yang harus dihormati meskipun
belum manusia sematang-matangnya. Bagi Romo Mangun strategi
pendidikan di Indonesia seharusnya mengikuti jiwa-jiwa besar para
pejuang kemerdekaan, dimana yang dibutuhkan bukanlah sistem hebat
dan praktis hanya untuk kaum elite dan calon-calon tuan dan nyonya di
atas rakyat, akan tetapi dunia siswa dan guru yang sekaligus adalah
pejuang pembela rakyat.
Perhatian besar Romo Mangun pada dunia pendidikan diinisiasi
oleh pemahamannya tentang manusia. Manusia mesti menjadi pusat
dalam pendidikan. Itu karena manusia tidak mengada secara terpisah dari
realitas sekitarnya namun ada dan bersama-sama dengan realitas dunia.
Realitas inilah mesti dihadapi, dibaca, direfleksikan supaya ada
kesadaran eksistensial menuju tercapainya esensi diri. Dalam bahasa lain,
konsep pedagogis demikian didasarkan pada pemahaman potensi diri
untuk berkreasi dalam realitas dan membebaskan diri dari penindasan
politik, ekonomi dan maupun budaya. Kesadaran tumbuh dari
7 Catatan penulis: Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Ki Hajar Dewantara,
Kartini, Darmaningtyas, Mochtar Bukhari dan sebagainya merupakan tokoh-tokoh
yang memiliki concern terhadap pendidikan Indonesia sebagaimana halnya Romo
Mangun.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 101
pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan
menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Pendidikan
di Indonesia yang hanya membebankan hafalan pada murid misalnya,
dikritik olehnya. Menurutnya, murid haruslah berada pada posisi primer.8
Peserta didik dianggap bernilai sekunder bukan subjek yang bebas dan
berpikir. Atas pembacaannya terhadap beberapa filsuf, antropolog,
politikus dan pakar pendidikan dari dunia Barat, Romo Mangun
mengatakan, “di Barat diakui umum, bahwa bapak filsafat dan gerakan
pendidikan modern (antifeodal anti-otoriter) di Barat diakui umum
adalah Socrates (470-399 SM) yang mengajarkan bahwa setiap manusia
dari dalam dirinya sudah hamil dengan kebenaran (truth). Guru,
pembina, pendamping, kita semua hanyalah bidan yang memang harus
aktif menolong tetapi kelahiran bayi (kebenaran) dilakukan oleh si
manusia atau anak yang bersangkutan itu sendiri.”9
Dengan demikian, pokok pikiran yang disampaikan oleh para
pegiat dan pemerhati pendidikan di atas disimpulkan sebagai berikut,
pertama, adanya kiblat proses pembelajaran ke teknis-material yang
artinya bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar (Nuryanto) dan
kedua, anak dirankeng kebebasannya. Anak didik hanya dilihat sebatas
objek yang tidak memiliki pilihan-pilihan bebas bertanggung jawab
sehingga sehingga proses belajar diartikulasikan ke dalam model pawang
dan indoktrinasi, semacam kegiatan menabung (Mangunwijaya, Freire).
Menurut hemat penulis, pokok argumentasi para pemikir perihal dunia
pendidikan lainnya (Freire dan Nuryanto) sangat sejalan dengan konsep
pendidikan yang digagas oleh Mangunwijaya atau yang lebih akrab
disapa Romo Mangun. Pokok pikiran tersebut mencerminkan ideologi
pendidikan: memanusiakan manusia, mendidik dan melahirkan generasi
dan masyarakat yang Pancasilais.
8 Ni Nyoman Oktaria Asmarani, “Filsafat Pendidikan Y.B. Mangunwijaya
Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia” Paper Fakultas Filsafat UGM,
(Maret 7, 2018), 14. Dikutip dari https://osf.io/preprints/inarxiv/7nf4d/. Diakses
pada Kamis, 26 November 2020, Pukul 16:36. 9 Yosef Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi
kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 55.
102 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Pendidikan Dalam Pusaran Nilai Pragmatis-Materialistik
Selain keberhasilan dari dunia pendidikan tak dapat dipungkiri juga hal-
hal yang mendistorsi, yang di aras paling dasar, mengekang kemanusiaan
anak didik. Di antara berbagai macam distorsi di dalam dunia
pendidikan, salah satunya, adalah pendidikan yang berorientasi pada nilai
pragmatis-materialistik. Konsekuensi masif globalisasi, salah satunya,
adalah perubahan sistem pendidikan. Dunia pendidikan semakin dituntut
menampilkan tata laksana yang baik yang didukung oleh kurikulum
adaptif maupun fleksibel. Sekolah misalnya, didorong untuk mampu
mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya yang adaptif
terhadap teknologi digital, khususnya di era Revolusi Industri 4.0. 10
Giroux juga mengamati, bahwa dunia pendidikan global sekarang ini
telah mengalami proses komodifikasi. Artinya, pendidikan menjadi
barang dagangan dengan tujuan utama mencari dan mengembangkan
keuntungan ekonomis.11
Di sini seringkali tak disadari tumbuhnya nilai-nilai individualistis,
hedonis, materialistis sebagai dampak buruk dari tuntutan untuk peka
terhadap teknologi -arus globalisasi. Pengaruh globalisasi dalam dunia
pendidikan secara kasat mata mengakibatkan pendidikan terkikis
nilainya. Pendidikan mampu menghasilkan lulusan yang pintar secara
kognitif, menguasai teori dan teknologi, tetapi seringkali kering dalam
nilai-nilai kemanusiaan dan sosial dalam penerapannya. Hilangnya
respek terhadap orang tua dan guru, hilangnya tanggung jawab sebagai
anak dan pelajar, adiksi pada media sosial dan komunikasi, hura-hura
merayakan kelulusan, pesta seks, minuman keras undangan pesta
berbikini, mencoret-coret baju seragam adalah potret degradasi nilai
dalam diri siswa dan mahasiswa.”12 Penekanannya adalah keberhasilan
yang diukur dengan angka atau nilai raport, menguasai teknologi, cepat
10 Madekhan, “Fungsi Pendidikan Dalam Perubahan Sosial Kontemporer”
Reforma: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 9, No. 1(2020) , 55. 11 Reza Antonius Alexander Wattimena, “Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry
Giroux Tentang Pendidikan dan Relevansinya Untuk Indonesia” Jurnal Filsafat,
Vol. 28, No. 2 (2018), 189. 12 Lih. Nurul Afifah, “Problematika Pendidikan di Indonesia Telaah dari
Aspek Pembelajaran), Elementary, (Vol.I edisi 1 Januari, 2015), 42
STULOS: JURNAL TEOLOGI 103
mencapai gelar Sarjana, Master, Doktor atau Profesor, setelah lulus dari
instansi pendidikan akan kerja di mana, dan sebagainya. Nilai-nilai
humanistik, jujur, disiplin, tanggung jawab terabaikan dan kurang
mendapat perhatian utama baik dari lembaga pendidikan maupun
masyarakat.” 13 Lulusan terdidik tak jarang tak mampu menunjukkan
kualitas keterdidikannya. Korupsi adalah salah satu contoh nyanta yang
dapat disaksikan di negeri ini.
Wattimena meyakini bahwa bahwa “sekarang ini, di Indonesia, dan
di seluruh dunia, paradigma pendidikan yang digunakan adalah
paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominant
paradigm). Artinya, segala sesuatu harus dilombakan, dan pemenang
bisa mendapatkan segalanya, mulai dari uang, kekuasaan, dan, tentu saja,
kenikmatan tanpa batas. 14 Penekanan pendidikan saat ini adalah
rasionalitas instrumental termasuk pembaharuan pendidikan yang
memberi perhatian kepada administrasi, teknologi pendidikan dan
efisiensi sebagai kriteria perubahan dan kemajuan. Ini mengerucut pada
kata investasi dan brand marketing. Orangtua menganggap ketika
mereka menyekolahkan anak, itu adalah langkah investasi agar kelak
mendapatkan pekerjaan sepadan dengan investasi di sekolah.15 Sekolah
ramai-ramai melakukan branding agar mereka tidak ditinggal para
konsumen. Kata investasi merupakan kata yang diderivasi dari domain
ekonomi. Pertanyaannya adalah mengapa opini publik sudah sedemikian
kuat memegang anggapan bahwa tujuan sekolah sama dengan mencari
kerja? Ini tak lain akibat dominannya budaya pragmatisme di masyarakat
dan pendidikan kita. Pragmatisme yang berasal dari habitus ekonomi
telah merambah ke dalam dunia pendidikan. Pragmatisme yang
membawa ideologi pasar meneror dunia pendidikan di berbagai jenjang.
13 Eva Dewi, “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan
Proses Dehumanisasi” SUKMA: Jurnal Pendidikan Vol. 3 Issue 1, 2019), 96. 14 Reza A. A Wattimena, “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat
Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks
Indonesia” Arete: Jurnal Filsafat, Vol. 1, No. 2, (2012), 158. 15 M. Agus Nuryanto, “Urgensi Filsafat Pendidikan Dalam Pusaran
Pragmatisme” dalam Pendidikan Posmodernisme Mukhrizal Arif, dkk. (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014), 11.
104 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Gejala arus pragmatisme pendidikan semakin menguat ditandai dengan
semakin dominannya corporate values dalam pendidikan kita. Kebijakan
pemisahan Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi
yang kemudian digabungkan dengan menjadi persoalan serius karena
menunjukkan gejala spesialisasi yang ujungnya adalah sikap pragmatis
dalam pendidikan. Kultur pragmatis dimaksudkan untuk menjamin
tenaga kerja sesuai permintaan pasar. Selain pemisahan, melalui UU
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, tampak bahwa
pendidikan akan dijadikan bidang jasa yang bisa dikomersilkan untuk
nantinya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara. UU
tersebut adalah bukti nyata kepatuhan pemerintah pada regulasi WTO
dalam liberalisasi jasa di bidang pendidikan tinggi, di mana
prinsip National Treatment dan Market Access berlaku juga
terhadapnya. 16 Nilai korporasi semakin menjadi nilai utama daripada
academic values yang semestinya menjadi basis institusi pendidikan.
Nilai-nilai dari domain ekonomi telah merasuk sangat kuat ke dalam
jantung pendidikan sehingga tidak mengherankan apabila “institusi-
institusi pendidikan berbondong-bondong mengajukan sertifikat ISO,
tidak hanya perguruan tinggi, tapi juga juga pendidikan dasar dan
menengah. Civitas akademika lebih fasih berbicara tentang efisiensi,
efektivitas, profit, produk, TQM, pasar kerja, dan lainnya yang berasal
dari domain ekonomi, daripada berbicara tentang keadilan, penderitaan,
demokrasi, multikulturalisme, dan solidaritas kemanusiaan.” 17 Ini
dimungkinkan karena “pendidikan bergeser dari basis ideologi koperasi
(kerjasama) yang diambilkan dari falsafah Pancasila ke basis ideologi
kompetisi yang diambilkan dari ideologi pasar bebas.” 18 Apabila
kecenderungan ini terus berlangsung akan terjadi arus sebaliknya dari
peran pendidikan sebagai pembentuk kehidupan publik, politik, dan
kultural menjadi pendidikan yang dibentuk oleh dunia pasar yang
menekankan bagaimana beradaptasi dengan dunia industri.
16 Danang T.P, “Awas Bahaya Pendidikan” LFS Cogito, (2015) dikutip dari
http://lsfcogito.org/awas-bahaya-pendidikan/ diakses pada Senin, 8 Desember 2020. 17 Ibid., 13. 18 Ibid.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 105
Ideologi pasar dan ideologi pendidikan jelas berbeda. Ideologi
pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik sedangkan
ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan
menekankan kompetisi dibanding koperasi. 19 Sehingga ketika dunia
pendidikan didominasi kekuatan pasar, institusi berkaitan akan
mengedepankan nilai-nilai korporasi yang penekanannya adalah
menguasai teknik-teknik dasar seturut visi dunia kerja dan nilai-nilai
humanitas segera dikorbankan. Peserta didik akan digiring mengadaptasi
sistem kerja masyarakat industri. Dunia pendidikan akan terseret oleh
kepentingan pasar. Institusi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai
korporasi atau pasar akan melahirkan civitas akademika yang berpola
pikir rasionalitas teknokratik (technocratic rationality). Dampaknya
adalah “mahasiswa lebih banyak memilih prodi-prodi yang menjanjikan
peluang kerja di masa depan daripada prodi-prodi yang berbau
pemikiran. Fakta lain, “di beberapa lembaga pendidikan kelas-kelas
humaniora menjadi “keranjang sampah” bagi mereka yang dianggap
tidak cerdas. Bidang ilmu humaniora menjadi pilihan terakhir dan banyak
diantara penemuannya dihinggapi pesimisme masa depan.”20
Kini tendensi reduksi sebatas investasi ekonomi untuk mendapat
lapangan pekerjaan membuat pendidikan tidak lagi dimaknai secara
lebih substantif, yaitu menyiapkan manusia untuk hidup di dan
bersama dunia.21 Artinya pendidikan sesungguhnya merupakan media
untuk menyiapkan manusia memiliki otonomi, kemandirian, dan
kemampuan untuk tidak sekedar hidup di dunia tapi juga terlibat dalam
proses transformasi dunia. Mengutip Colin Lankshear, “manusia adalah
'makhluk praksis' yang hidup secara otentik hanya ketika terlibat dalam
penyelidikan dan transformasi kreatif dunia.” 22 Dalam paradigma ini
hakekat pendidikan mestinya terealisasi. Kenyataannya, perealisasian itu
19 M. Agus Nuryanto, “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi,” The
Journal of Society and Media Vol. I (1) 2017, 3. 20 Eva Dewi, “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan
Proses Dehumanisasi”, 105. 21 M. Agus Nuryanto, “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi,” The
Journal of Society and Media, 38. 22 Ibid.
106 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
terbentur “marketisasi” pendidikan yang pada akhirnya melahirkan
industrialisasi pendidikan. Rasionalitas teknokratik hanya menekankan
pada kepentingan-kepentingan pragmatis atau apa yang disebut dengan
what is, tapi tidak memberi perhatian terhadap kepentingan-kepentingan
yang bersifat idealis-utopis, atau apa yang disebut dengan what should
dan can be. Akibatnya, nilai-nilai korporasi yang lebih pragmatis-teknis
dikedepankan sementara nilai-nilai moral-etis terpinggirkan. Tidak
mengherankan apabila “banyak mahasiswa lebih suka membaca buku-
buku how to yang ringan dan mudah dibaca tapi tidak mempertajam akal-
budi daripada buku-buku filsafat yang kaya pengetahuan, inspiratif, dan
mempertajam akal-budi dan nurani.” 23 Penulis mengamini bahwa
rasionalitas teknokratik dalam dunia pendidikan sangat dimungkinkan
karena sistem pembelajaran konteks Indonesia berproses di tengah
globalisasi. Globalisasi dan cara kerjanya telah mengambil peran sentral
dalam mengatur ritme kehidupan dan norma-norma yang terbentuk.
Globalisasi telah menjadi kekuatan besar. Ia memaksa suatu strategi
bertahan hidup (survival strategy) dan strategi pengumpulan kekayaan
(accumulative strategy) bagi individu dan kelompok. Proses ini telah
membawa “pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai
dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-prinsip komunikasi padat
dan canggih. Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan
mobilitas batas-batas sosial budaya. Pasar sekaligus mengaburkan batas-
batas itu akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat.
Apabila budaya pragmatis mendominasi pendidikan, pengetahuan
praktislah yang akan didesiminasikan dalam proses pembelajaran.
Penekanannya adalah pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki
ilmu pengetahuan. Rasionalitas yang akan dilahirkan dari proses
pendidikan seperti ini adalah rasionalitas teknokratik/instrumental yang
lebih menekankan pada konformitas dan adaptasi. Proses deseminasi
pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya, dan akibatnya
menghilangkan proses-proses edukatif yang penting seperti
menumbuhkan curiosity, bertanya, berdialog, dan berdiskusi. Model
pedagogis seperti ini sulit melahirkan critical subjectivity, yaitu subjek
23 Ibid., 38.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 107
yang bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan, subjek yang
bisa membedakan antara fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan
di media, dan subjek yang mampu memahami struktur terdalam dari
realitas.24 Sebaliknya, yang akan dilahirkan dari proses pedagogis seperti
ini adalah passive subjectivity, yaitu subjek yang hanya adaptif dan
konfirmatif dengan realitas kehidupan. Di sisi lain, budaya pragmatis
turut pula melahirkan masyarakat berstruktur industrial ditandai dengan
ciri-ciri,
Pertama, mentalitas teknologis. Terjadi kepercayaan berlebihan
pada alat (teknokratis) seakan-akan segala hal dapat dipecahkan dengan
teknologi. Akibatnya sentuhan tangan manusia dengan segenap
perasaannya dianggap mempunyai nilai yang lebih rendah karena
produknya tidak lebih baik, lama, dan tidak efisien. Pendidikan
karenanya diperlakukan secara industrial. Manusia berperilaku a la
mesin karena di dalamnya anak didik dilatih dengan pola kerja mesin
sehingga anak menjadi seperti komponen mesin industry.
Kedua, terjadinya diskriminasi ilmu. Ilmu eksakta dan keteknikan
mendapat respek lebih tinggi dari ilmu humaniora. Ada kebanggan
tersendiri apabila anak memasuki bidang-bidang keteknikan karena
lulusannya sudah memiliki cara berpikir yang sudah terpola karakter
industri yang memang butuh kepastian (measurable) dan bukti nyata
sebagaimana yang dibutuhkan para industrialis dalam mengelola
industrinya. Persepsi ini telah sedemikian mengakar kuat dalam pikiran
masyarakat sehingga para penekun ilmu-ilmu humaniora merasa minder
sebab dianggap sebagai anak yang tidak cerdas dan bernasib sial.
Pemeringkatan kasta melalui fakultas-fakultas favorit misalnya fakultas
ilmu terapan, fakultas ilmu eksakta dan urutan terakhir ilmu humaniora
jelas menjadi sarana “membimbing” setiap lulusan pendidikan menengah
memilih fakultas-fakultas favorit. Bahkan secara pribadi, terbesit rasa
bosan oleh pertanyaan “mahasiswa filsafat nanti kerja apa?” Belajar di
perguruan tinggi tidak ubahnya mendaftar lowongan pekerjaan.
24 Rose K.R (edit.), Pendidikan Posmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), 13.
108 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Ketiga, komersialisasi pendidikan. Adanya biaya sekolah yang
begitu mahal sehingga terjadi klasifikasi lembaga pendidikan yang butuh
dana besar dan mahal dan lembaga pendidikan yang butuh dana murah.
Mutu lembaga pendidikan tidak lagi dinilai dari segi kualitas akan tetapi
dari segi kuantitas. Johannes Oentoro (Mantan Rektor sekaligus Pendiri
Universitas Pelita Harapan) pernah menyinggung tentang pergeseran
makna pendidikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan sebuah pertanyaan yang krusial yakni apakah hasil proses
pemanusiaan itu “human being atau techno being”? 25 Komersialisasi
pendidikan mendegradasi kualitas pembelajaran dan memudarkan
harapan lahirnya generasi bangsa yang berkualitas humanum. Karenanya
perlu menaksirkan pembiayaan seimbang dengan kebutuhan suatu
lembaga pendidikan dan bukan komersialisasi. Menafsir tiga poin di atas,
pendidikan yang menjadikan manusia sebagai penguasa dari manusia
lainnya, yang rakus, serta tidak ingin memberikan apapun untuk
siapapun, kecuali itu memberikan keuntungan pada dirinya. Sadar atau
tidak, pola berpikir inilah yang kita kembangkan di dalam sistem
pendidikan kita di Indonesia, dan kita tanamkan secara sistematik serta
represif pada anak-anak kita.26 Paradigma pendidikan yang digunakan
adalah paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominant
paradigm). Artinya, segala sesuatu harus dilombakan, dan pemenang
bisa mendapatkan segalanya, mulai dari uang, kekuasaan, dan, tentu saja,
kenikmatan tanpa batas.27
Mentalitas teknologis, diskriminasi ilmu dan komersialisasi
pendidikan adalah gambaran dampak negatif globalisasi terutama
pengaruh kuatnya ideologi pasar terhadap proses pendidikan.
Pelaksanaan strategi tunggal tentu saja tidak cukup untuk melahirkan
para lulusan yang berkualitas secara akademik dan moral. Urgensi multi
pendekatan merupakan suatu keharusan yang oleh Kirschenbaum
25 Lih. Eva Dewi, “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan
Proses Dehumanisasi” SUKMA: Jurnal Pendidikan, 104-108. 26 Reza A. A Wattimena, “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat
Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks
Indonesia” Arete: Jurnal Filsafat, Vol. 1, No. 2, (2012), 158. 27 Ibid.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 109
menyebutnya pendekatan “komprehensif”: proses pendidikan yang
melibatkan orang tua, pendidik dan pemuka masyarakat yang mampu
bersatu padu melibatkan diri dalam memberikan pendidikan nilai dan
moralitas kepada generasi muda. 28 Selain bahwa pendekatannya
komprehensif, yang mesti dicatat adalah pendidikan bukan proses instan
tetapi proses yang terus-menerus (long life education). Ia tidak berhenti
ketika seseorang memperoleh pengakuan (ijazah) namun lebih dari itu,
merupakan proses berlangsung selama kehidupan manusia yang dalam
bahasa Mangunwijaya disebut belajar sejati.
Membaca Nilai Pragmatis-Materialistik Menurut Konsep
Humanistik Mangunwijaya
Tidak ada yang menyangkal bahwa Indonesia adalah negara yang sedang
bertumbuh menjadi negara ekonomi maju. Maka dalam hal ini, penting
untuk melahirkan generasi-generasi yang cerdas sains dan teknologi. Itu
artinya ada dampak signifikan terhadap dunia pendidikan. Penguatan
orientasi pasar di dalam dunia pendidikan sebagai bagian dari adaptasi
terhadap globalisasi akan tak terhindari dan kini sedang berlangsung.
Meskipun demikian, perlu selalu diingat bahwa orientasi pasar
menyebabkan diseminasi pengetahuan yang berakibat pada hilangnya
proses-proses edukatif penting seperti curiosity, bertanya, berdialog, dan
berdiskusi. Generasi yang dilahirkan justru kehilangan critical
subjectivity tetapi cenderung menjadi passive subjectivity yaitu subjek
yang hanya adaptif dan konfirmatif dengan realitas kehidupan.
Sementara dalam permenungan Romo Mangun, pendidikan mestinya
mencapai sasaran emansipatori yakni manusia yang eksplorator, manusia
kreatif, dan manusia yang integral. Sifat emansipatori merupakan wujud
manusia yang bisa dikatakan ideal. Model manusia seperti ini tidak
hanya mampu menggali apapun mengenai lingkungannya dan mampu
mengolahnya, tetapi juga memiliki keseimbangan dalam memaknainya,
28 Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009), 36.
110 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
baik untuk diri sendiri maupun bermakna bagi yang lain.29 Kritikannya
terhadap pendidikan orde baru yang bersifat pragmatis dan fragmentaris,
dengan biaya tinggi tetapi belum menyentuh sisi humanisme,
berwawasan pembangunan terencana menjadi sebuah keresahan dan
mesti dibaca sebagai problem serius pendidikan nasional. Begitu pun
kritikannya seakan terasa bergema hingga detik ini terutama jika
memperhatikan potret dunia pendidikan Indonesia.
Wajah pendidikan Indonesia dewasa ini tak pernah lepas dari
beragam kritik sehubungan dengan mentalitas teknologis yang melekat
erat di dalamnya. Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina, M.Si
mengatakan sudah saatnya masyarakat, dan negara/pemerintah
menyadari tidak tepatnya menerapkan ideologi pasar dalam dunia
pendidikan di Tanah Air. Kritikannya dilatarbelakangi oleh peningkatan
kasus pelecehan seksual terhadap anak dalam dunia pendidikan,
termasuk di Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS).30
Bagi Nia Elvina, pemerintah harus segera mengembalikan ideologi
pendidikan kita kepada ideologi bangsa ini, yaitu Pancasila. Dalam ruang
lingkup ini, penulis ingin mengingatkan, kembali kepada konsep belajar
humanistik Mangunwijaya. Kita melihat terjadinya diskrepansi antara
cita-cita Mangunwijaya dan praksis pendidikan. Tak jarang, anak
“dilihat” hanya sebagai objek yang siap dijejali dengan ilmu (ingat bank
education-nya Freire) dan guru menjadi seperti pawang atau spesialis-
spesialis yang menanamkan ideologi. Anak didik tidak ubahnya seperti
robot-robot yang siap menerima perintah, yang siap dikendalikan untuk
keperluan pragmatis, yang dalam konteks ini, keperluan dunia pasar. Ini
semua karena mesin besar bernama kapitalisme yang diusung globalisasi.
Dalam hal ini, penerapan pendekatan active learning, joyful learning dan
child-centered learning a la Romo Mangun tidak berlaku. Pendekatan
pertama adalah sistem belajar-mengajar yang memungkinkan anak bisa
29 Nuryadin, “Pemikiran Pendidikan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya” dalam
Pendidikan Posmodernisme, 256. 30 Ahad, “Sosiolog: Ideologi Pasar dalam Pendidikan Tak Tepat”, Republika,
20 April 2014. Dikutip dari https://republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/
14/04/20/n4bm0h-sosiolog-ideologi-pasar-dalam-pendidikan-tak-tepat. Diakses
pada Selasa, 02 Maret 2021, Pukul 14:33 WIB.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 111
aktif. Pendekatan kedua dimaksudkan mengedepankan kegembiraan dan
kegairahan anak –belajar sambil bermain. Pendekatan ketiga
dimaksudkan berpusat pada anak dengan mengembangkan secara
optimal pusat-pusat perhatiannya. 31 Tetapi anak hanya dilihat sebatas
objek, tabungan yang siap menabung sosialisasi dari pengajar maka
pengembangan potensi-potensi dalam diri anak terhalang.
Dunia pendidikan yang sejatinya dibangun berlandaskan nilai-nilai
objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan sebagai nilai
dasar dalam pencarian pengetahuan. Kini dimuati oleh nilai-nilai
komersial sebagai refleksi keberpihakan pada hegemoni kapitalis.
Pendidikan sebagai wahana pencarian pengetahuan dan kebenaran,
sekarang bergeser menjadi wahana pencarian keuntungan (profit). 32
Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan
ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan
nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan, dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia
pendidikan kehilangan sensitivitas kemanusiaan digantikan dengan
kalkulasi kehidupan materialisme. 33 Sesuatu yang sangat bertentangan
dengan konsep dan praksis pendidikan Mangunan, yang mana karena
alasan martabat, pendidikan keberpihakan kepada orang miskin digagas
dan diwujudkan melalui pendirian SDEK Mangunan.
Persis disini dikotomi dalam pendidikan terlihat. Tak heran,
sebagian besar sekolah atau universitas di Indonesia lebih mementingkan
aspek kuantitatif yang diukur berdasarkan, harus lulus mata pelajaran
dengan nilai tertentu, mendapatkan penghargaan atau untuk bisa juara
dalam perlombaan tertentu. Sekolah-sekolah terkooptasi oleh mekanisme
industri dan bisnis. Sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi.
Padahal model pendidikan demikian jelas merupakan bentuk reduksionis
terhadap hakikat dan makna pendidikan. Pendidikan hanya menjadi bekal
persaingan pasar bukan sebagai mobilitas sosial apalagi budaya. Praksis
31 Yosef Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi
kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 70-71. 32 Samrin, “Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik” Shautut
Tarbiyah, Ed. Ke 33, Th. XXI, (November 2015), 137. 33 Ibid., 138.
112 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
pendidikan disempitkan sekadar kegiatan transfer ilmu bukan praksis
nilai dalam kehidupan multikultural sebagaimana tercermin dalam
realitas bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan cenderung
ditempatkan sebagai kegiatan perdagangan bukan kebudayaan.
Sementara jika yang dimaksud adalah pendidikan sebagai kegiatan
kebudayaan bukan teknis berarti ukuran mutu dari pendidikan adalah
manusia yang mencapai kecakapan intelektual dan kecakapan rasa (hati,
afeksi). Pentingnya pendidikan humanistik tak terlepas dari kenyataan
masyarakat Indonesia secara khusus sikap para cerdas-terdidik yang
kerap kali apatis dengan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat bangsa,
lebih memilih jalan individualisme dan memamerkan gaya hidup
hedonistik ketimbang mengedepankan sikap welas asih terhadap jutaan
lian yang ada di negeri sendiri.
Wajah pendidikan kita terkurung dalam sebuah ruang kompleksitas
kontradiktif, antara “pemerdekaan” belajar dan kurikulum pemerintah
yang teramat kuat tekanannya. Hegemoni negara dalam sistem
pendidikan rupaya pernah dikritik oleh Romo Mangun karena “tidak lagi
memberi ruang pada individu untuk memilih cara belajarnya sendiri.
Dengan menempatkan materi pelajaran sebagai fokus, posisi anak di
dalam kelas hanya sebagai pendengar yang harus menghafal yang
diberikan guru. Sistem indoktrinasi seperti ini tidak memberi kesempatan
kepada anak untuk memahami dan guru hanya bertindak sebagai pawang
yang dikejar target untuk memberi materi hingga batas waktu yang telah
ditentukan negara melalui kurikulum.”34
Kini, keresahan atas disorientasi pendidikan semakin jelas
terdengar. Bahwa orientasi pasar yang begitu kuat mempengaruhi
berbagai macam kebijakan kontroversial demi keuntungan pribadi
ketimbang mengedepankan kesejahteraan publik. Tak perlu menampik
fakta sejumlah birokrat yang terjerumus ke dalam tindak korupsi. Juliari
Batubara yang menilap dana bansos Covid-19. Edhy Prabowo terjerat
kasus dugaan suap ekspor benih lobster. Kasus-kasus ini menjelaskan
bahwa pendidikan kehilangan daya integritasnya yang mampu membawa
34 Yosef Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi
kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 55.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 113
kaum terdidik berdialog dengan realitas sosialnya, memiliki pengetahuan
dan nilai baik-buruk dalam diri. Pedagogi gaya pasar menjerat subjek ke
dalam kepasrahan pada tuntutan pragmatis materialistik tanpa ada ruang
bagi pemikiran kritis mengolah pergulatan dalam dinamika bangsa.
Mestinya, pendidikan memampukan suatu karakter humanis dengan
keunggulan akademik sekaligus bela rasa terhadap situasi sosial yang
diwarnai dengan perjuangan keadilan melawan ketidakadilan. 35 Dalam
kasus ini, nilai-nilai korporasi yang lebih pragmatis-teknis dikedepankan
sementara nilai-nilai moral-etis terpinggirkan. Pendidikan karenanya
menjadi kering dalam nilai-nilai kemanusiaan dan sosial terutama
penerapannya. Pendidikan boleh dikatakan berat sebelah. Ideologi pasar
secara kasat mata turut menempatkan ilmu-ilmu dalam kasta. Misalnya
antara ilmu-ilmu teknis dan ilmu-ilmu pemikiran.
Pendidikan Dalam Pusaran Nilai Pragmatis-Materialistik
Dengan demikian berlawanan dengan konsep Romo Mangun bahwa
pendidikan membawa kesadaran bahwa hidup itu kompleks-
multidimensional namun tidak mudah bingung karena bisa menangkap
benang merah di tengah-tengah pluralitas dan kebhinekaan. Dengan kata
lain, pendidikan mengembangkan rasa solidaritas dan pelibatan-diri yang
bertanggung jawab. Yang ingin diajarkan di sini adalah “keterampilan
hidup”, kemampuan berinteraksi dengan lingkungan selama hidup.
Karenanya, salah satu cara yang dilakukan Romo Mangun adalah konsep
didaktika dan metodika dengan cara mengajak peserta didik ke pasar
untuk mengenal barang, mutu dan penjualan. Selain itu, Romo Mangun
mengajak anak didik untuk ikut terlibat dalam kegiatan memanen di
sawah.
Sebagaimana pendidikan itu memerdekakan maka pengalaman
keterlibatan di tengah kemiskinan (hidup di tengah warga Kali Code,
Grigak dan Kedung Ombo) menggugah hati Romo Mangun untuk
membebaskan mereka dari kebodohan dan kemiskinan, menaikan harkat
dan martabat kemanusiaan warga setempat. Tekad ini kemudian
35 Syahrani, Humanisasi Dalam Administrasi Dan Manajemen Pendidikan,
(Yogyakarta: Global Press, 2017), 6.
114 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
mendasari lahirnya pendidikan SD Eksperimental Kanisius Mangunan.
Proses pembelajaran di SDEK Mangunan menggunakan konsep
pemikiran Romo Mangun, dibantu oleh Dinamika Edukasi Dasar (DED)
sebagai laboratorium pendidikan. Dinamika Edukasi Dasar (DED) adalah
sebuah lembaga yang bergerak untuk terwujudnya manusia yang
humanis. Pelayanan DED didasarkan atas komitmen untuk membangun
pendidikan yang humanis, memegang teguh prinsip kesetaraan, ajrih
asih, transparansi, akuntabilitas, solidaritas, pembelajar, subsidiaritas,
dan dedikasi. DED menghayati dan mempromosikan nilai-nilai keadilan
sosial, demokrasi, egaliter, manusiawi, dan totalitas. 36 Filsafat
pendidikannya adalah filsafat pendidikan Pancasila. Ini menjadi antitesis
terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang nilainya
cenderung kapitalistik dan berpihak kepada kaum kaya semata. Dalam
konteks demikian, dapat dilihat bahwa kritik Romo Mangun atas
orientasi pendidikan pada nilai kapitalis, rupa-rupanya, membekas
hingga hari ini terutama jika kita melihat kasus-kasus yang menjerat
kaum terdidik baik yang bergulat di dunia pendidikan maupun dunia
politik. Sementara para kaum terdidik bersahut-sahutan menilap uang
rakyat, sebagian besar bangsa ini berjuang berpeluh keringat untuk
membiayai sekolah atau kuliah anak-anaknya, yang tak dipungkiri,
semakin mahal. Karena itu jika ditinjau dalam perspektif Mangunan, UU
20 Tahun 2003 dan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1-5, ketidakadilan dan
diskriminatif masih tetap berlaku dalam dunia pendidikan Indonesia saat
ini. Orientasi pendidikan pada nilai pragmatis-materialistik yang
disebabkan permintaan pasar demi daya saing global cenderung kurang
memperhatikan diskursus tentang keadilan, penderitaan, demokrasi,
multikulturalisme, dan solidaritas kemanusiaan. Nilai-nilai yang dalam
pendidikan humanistik a la Mangunwijaya sangat ditekankan. Dengan
kata lain, pendidikan humanis Mangunan menghindari gelagat
tumbuhnya nilai-nilai individualistis, hedonis dan materialistis a la
ideologi pasar.
Akhirnya, jika membaca pendidikan gaya pasar yang menekankan
nilai pragmatis-materialistik dan pendidikan a la Romo Mangun yang
36 Ibid., 262.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 115
holistik-integral maka sebetulnya ada benturan atau terjadi kontradiksi.
Meskipun tidak ada rencana menyudahi pendidikan berorientasi pasar
mengingat ada prospek kebutuhan pembangunan ekonomi di sisi lain,
perlu sekali ditemukan solusi. Semakin memperkuat sistem imun
pendidikan dewasa ini dengan pembelajaran yang humanistik bisa jadi
salah satu alternatif. Ini dimaksudkan agar menyeimbangi tekanan
pendidikan gaya pasar. Strategi pendidikan sedapat mungkin berjalan
dalam dua kutub sekaligus. Karena bagaimanapun, pendidikan senantiasa
memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility), memperhatikan
tantangan sejarah (historically attentive) dan penemuan makna dalam
dimensi kehidupan (philosophically creative). Model pendidikan
demikian sejalan dengan konsep humanistik Mangunwijaya yang berakar
pada Pancasila. Sebuah model pendidikan yang integral-komprehensif.
Dalam perspektif kebudayaan, pendidikan merupakan upaya sivilisasi
dan enkulturasi. Dari segi politik, pendidikan dipandang sebagai langkah
membentuk warga negara yang baik (good citizen), warga yang taat
aturan, beradab, bertanggung jawab dan memahami hak dan kewajiban
secara proporsional. Secara ekonomi bahwa pendidikan merupakan
human capital investment yang berarti pengetahuan, keterampilan dan
etos kerja yang dibentuk melalui proses pendidikan berkorelasi positif
bagi peningkatan penghasilan dan kesejahteraan. Kemudian dari
perspektif filosofis, pendidikan merupakan upaya humanisasi yang
sesungguhnya. Melalui pendidikan maka manusia dibentuk,
dikonstruksikan dan diarahkan menjadi manusia yang sesungguhnya
(humanized human being), makhluk rasional yang memiliki dan
memahami nilai humanitas yang berlaku secara universal. Dari perspektif
agama, pendidikan ditempatkan pada posisi tertinggi karena fungsinya
yang membentuk perilaku sesuai ajaran Tuhan yang diimani.37 Dengan
kata lain, keyakinan (iman) akan Allah yang mengasihi manusia
mestinya mendorong tindakan nyata untuk mewujudkan nilai-nilai
kehidupan dan mengupayakan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan
humanistik menyasar ke tujuan ini.
37 Brigida Intan Printina (edit.), Membumikan Moral dan Cita Benih Bangsa
(Yogyakarta: Deepublish, 2019), 5-6.
116 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Respon Bagi Pendidikan Masa Depan: Alternatif Solusi
Carut marutnya kenyataan hidup berbangsa dan bernegara, ketika
sebagian besar masyarakat kehilangan kesadaran berbangsa dan
pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila, perhatian mesti diarahkan
kembali pada hal substansial yaitu pendidikan secara khusus pendidikan
yang humanis. Namun begitu, konsep humanistik tidak boleh dibatasi
pada jenjang pendidikan dasar (seperti gagasan Romo Mangun)
melainkan diaplikasikan berkesinambungan selama individu mengenyam
pendidikan. Penguatan pendidikan humanistik di bangku pendidikan
dasar sangat penting. Namun tidak berarti berhenti di jenjang itu. Akan
sangat baik jika senantiasa diteruskan dari SD berlanjut ke Perguruan
Tinggi terutama mengingat orientasi pendidikan kini yang cenderung
menekankan ideologi pragmatis-materialistik demi daya saing di pasar
global.
Pendidikan a la Mangunan adalah model pendidikan yang
mengasah otak, hati dan tangan yang mesti diaplikasikan ke dalam
pendidikan Indonesia dewasa ini. Pergeseran oleh karena distorsi-distorsi
kapitalis merupakan alasan logis terkikisnya spirit humanistik (spirit
Mangunan, spirit Pancasila) dalam pendidikan kini. Maka
mengembalikan hakikat sejati pendidikan, pendidikan yang humanis
adalah urgensi. Jika pemerintah tidak ingin mengakhiri pendidikan yang
berorientasi pragmatis-materialistik (sebuah nilai yang dibawa ideologi
pasar) setidaknya penguatan nilai-nilai humanistik dalam pendidikan
perlu selalu diajarkan dan dipraktekan. Kuatnya paradigma pragmatis-
materialistik yang merubah kiblat pendidikan harus membenturkan kita
kembali pada persoalan eksistensial dasar pendidikan: hakikat dan nilai
untuk kemanusiawian. Maka kepada pegiat dan pemerhati pendidikan,
tidak keliru, untuk memperkuat nilai-nilai humanistik Mangunan yang
diterjemahkan secara baru.
Pertama, dialektika: dialog nilai dan pengalaman. Dialektika
seharusnya tidak terhambat oleh ruang kelas bahkan kurikulum.
Lembaga pendidikan perlu mendialogkan nilai dan pengalaman karena
internalisasi ilmu semakin tereduksi ketika, misalnya, perkuliahan
jurusan kelautan dan kehutanan lebih banyaknya berproses ruang kelas.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 117
Atau dengan contoh lain, perkuliahan mata kuliah ekonomi sepenuhnya
dilakukan di ruang kelas melalui teori-teori tanpa dipadukan dengan
praktek di lapangan. Dalam artian, praktek tidak dibatasi hanya pada saat
PKL (Praktek Kerja Lapangan) yang biasanya dilakukan di semester
terakhir. Pendidikan mestinya bersifat kontekstual yang berangkat dari
keragaman realitas bukan dari keragaman rumus yang disosialisasikan di
ruang kelas. Proses belajar di lapangan perlu dilakukan dalam jadwal
yang teratur dan rutin.
Kedua, pembelajaran berbasis live in. Mengadopsi pembelajaran
berbasis live in dalam dunia pendidikan dewasa ini bukan hal mustahil.
Peserta didik akan belajar “menerima dan memberi” diri sebagai bagian
sebuah keadaban masyarakat. Maka tidak harus menunggu kuliah kerja
lapangan namun fleksibilitas pembelajaran perlu memberikan jadwal
rutin kegiatan live in bagi peserta didik (SMA-Perguruan Tinggi) di
tempat sebagaimana disepakati bersama di sekolah. Ini sangat membantu
perkembangan afeksi dan psikomotorik siswa atau mahasiswa. Bukan
hanya semata-mata karena pengalaman Romo Mangun yang hidup di
tengah warga Kali Code, Grigak dan Kedung Ombo, atau ideologi
pendidikan dari Paulo Freire, atau kritikan Nuryanto terhadap ideologi
pasar. Tetapi karena kultur kehidupan kaum pelajar dewasa ini cenderung
memperlihatkan gelagat apatis sosial: gadget dan game online lebih
memikat ketimbang sosialisasi individu. Kecenderungan yang menjadi
fakta yang tak bisa diingkari.
Ketiga, sekolah dan kampus perlu memiliki kebijakan untuk
menyertakan mata pelajaran dan mata kuliah filsafat terutama Etika
dalam kriteria dan porsi yang sesuai dengan jenjang pendidikan. Menurut
hemat penulis, menyertakan subyek Etika ke dalam jenjang sekolah
maupun universitas sangatlah urgen selain mata pelajaran atau mata
kuliah Kewarganegaraan atau Agama. Dengan kata lain, semua lembaga
pendidikan baik itu sekolah dan sekolah tinggi atau universitas yang ada
di Indonesia diwajibkan memasukan Etika sebagai mata pelajaran atau
mata kuliah umum tanpa terkecuali, tak dibatasi hanya pada fakultas-
fakultas filsafat dan budaya.
118 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Keempat, pemerintah harus mengakomodasi ketiga usulan di atas
dalam kebijakan kurikulum dalam pasal khusus yang mengatur sehingga
semua lembaga pendidikan merasa penting (wajib) untuk melakukannya.
Selain dimuat ke dalam pasal khusus, pemerintah perlu
mempertimbangkan bantuan alokasi dana. Pemerintah berkewajiban
dalam komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional. Dana
dapat diambil dari dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam atau
dana-dana hasil korupsi. Untuk lembaga pendidikan yang melanggar atau
misalnya menyimpang, tanpa ragu-ragu, diberi tindakan tegas.
Kelima, solusi sistemik. Terdengar sangat radikal dan mustahil
namun apabila dirasa urgen dengan pertimbangan menyelamatkan sistem
pendidikan Indonesia, untuk dikembalikan ke pendidikan yang
humanistik (juga berdasarkan Pancasila) pemerintah dapat mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.
PENUTUP
Humanisasi sebagai kerangka besar visi pendidikan Mangunwijaya pada
akhirnya bermuara pada kemanusian yang holistik-integral yang mampu
mengedepankan nilai etis-humanistik ketimbang pragmatis-materialistik.
Dengan demikian, dunia pendidikan modern di Indonesia mesti tetap
mengusung konsep pendidikan humanistik Mangunwijaya jika ingin
tetap menjadi tempat bagi pembangunan humanisme di tanah air, dimana
warga bangsa mengalami transformasi eksistensi yang radikal.
Dengan mengacu pada Mangunwijaya, maka kita akan
mendapatkan kesimpulan bahwa pendidikan yang memanusiakan pada
hakikatnya akan membantu peserta didik mengembangkan nuraninya,
kesadaran kebangsaan sebagai bagian dari keadaban Indonesia.
Karenanya menurut hemat penulis, konteks pembelajaran Mangunan
adalah respon tepat atas distorsi pendidikan dewasa ini yaitu ideologi
pasar yang mengedepankan nilai pragmatis-materialistik demi persaingan
global.
Konsep humanistik Mangunwijaya tetap menjadi wawasan
futuristik dan antisipatoris. Dengan demikian, sangat tidak keliru, bagi
seluruh pegiat pendidikan baik formal maupun informal menghidupkan
STULOS: JURNAL TEOLOGI 119
Mangunan ke dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini melalui
upaya mendialogkan nilai dan pengalaman, belajar berbasis live in,
pelajaran atau mata kuliah filsafat-etika, kebijakan kurikulum dan solusi
sistemik. Kiranya pendidikan humanistik selalu menginspirasi
transformasi pendidikan kita guna menghasilkan manusia-manusia
Indonesia yang bermartabat: menjadi manusia yang utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S, 2008.
Mangunwijaya, Y.B. Pendidikan Pemerdekaan: Catatan Separuh
Perjalanan SDK Eksperimen Mangunan. Yogyakarta: Dinamika
Edukasi Dasar, 2004.
Nuryanto, M. Agus. “Urgensi Filsafat Pendidikan Dalam Pusaran
Pragmatisme” dalam Pendidikan Posmodernisme Mukhrizal Arif,
dkk. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
Pradipto, Yosef Dedy. Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi
kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Printina, Brigida Intan (edit.)., Membumikan Moral dan Cita Benih
Bangsa. Yogyakarta: Deepublish, 2019.
Rose K.R (edit.), Pendidikan Posmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014.
Rudhito, M. Andy (edit.),. Pendidikan yang Memerdekakan: Belajar dari
Romo Mangun, Kang Din dan Pengalaman. Yogyakarta:
Garudhawaca, 2020
Syahrani. Humanisasi Dalam Administrasi Dan Manajemen Pendidikan.
Yogyakarta: Global Press, 2017.
Zuchdi, Darmiyati. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009.
120 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK
Jurnal
Afifah, Nurul. “Problematika Pendidikan di Indonesia Telaah dari Aspek
Pembelajaran. Elementary, (Vol.I edisi 1 Januari, 2015), 42
Dewi, Eva. “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan
Proses Dehumanisasi.” SUKMA: Jurnal Pendidikan Vol. 3 Issue 1,
2019), 96.
Istiarsono, Zen. “Tantangan Pendidikan Dalam Era Globalisasi: Kajian
Teoritik.” Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 (2017).
Madekhan. “Fungsi Pendidikan Dalam Perubahan Sosial Kontemporer.”
Reforma: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 9, No.
1(2020), 55.
Nuryanto, M. Agus. “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi.”
The Journal of Society and Media Vol. I, Nomor 1, (2017).
Samrin. “Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik.” Shautut
Tarbiyah, Ed. Ke 33, Th. XXI, (November 2015), 137.
Wattimena, Reza A. A. “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis
Filsafat Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta
Keterbatasannya Pada Konteks Indonesia.” Arete: Jurnal Filsafat,
Vol. 1, No. 2, (2012), 158.
Wattimena, Reza A. A. “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis
Filsafat Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta
Keterbatasannya Pada Konteks Indonesia.” Arete: Jurnal Filsafat,
Vol. 1, No. 2, (2012), 158.
______________, “Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry Giroux Tentang
Pendidikan dan Relevansinya Untuk Indonesia.” Jurnal Filsafat,
Vol. 28, No. 2 (2018), 189.
Media Sosial
Ahad. “Sosiolog: Ideologi Pasar dalam Pendidikan Tak Tepat.”
Republika, 20 April 2014. Dikutip dari https://republika.co.id/berita
/sepakbola/liga-indonesia/14/04/20/n4bm0h-sosiolog-ideologi-
STULOS: JURNAL TEOLOGI 121
pasar-dalam-pendidikan-tak-tepat. Diakses pada Selasa, 02 Maret
2021, Pukul 14:33.
Asmarani, Ni Nyoman Oktaria. “Filsafat Pendidikan Y.B. Mangunwijaya
Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia.” Paper Fakultas
Filsafat UGM, (Maret 7, 2018), 14. Dikutip dari
https://osf.io/preprints/inarxiv/7nf4d/. Diakses pada Kamis, 26
November 2020, Pukul 16:36.
Danang T.P, “Awas Bahaya Pendidikan” LFS Cogito, (2015) dikutip dari
http://lsfcogito.org/awas-bahaya-pendidikan/ diakses pada Senin, 8
Desember 2020.
Top Related