Download - Menikahi Wanita Hamil

Transcript

Hukum Nikah dalam Keadaan Hamil

April 18, 2010 - Fiqh - Tagged: hamil, nikah - 5 comments

PERTANYAAN Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita yang sedang hamil?

Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan? Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian menikah lagi, atau langsung menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?

Dalam hal ini, apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?

Manakah cara berdzikir yang benar sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak?

Dari Mugiyono, Jakarta Pusat

Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al- Alim Al-Hakim sebagai berikut.

JAWABAN PERTAMA Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:

Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.

Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal iyadzu billah , mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini-.

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai lepas iddah[1] nya, dan iddahnya ialah sampai ia melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta ala ,

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. [ Ath-Thalaq: 4 ]

Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam firman Allah Ta ala ,

Dan janganlah kalian ber- azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis iddahnya. [ Al-Baqarah: 235 ]

Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsir -nya, tentang makna ayat ini, Yaitu, jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas iddahnya. Kemudian beliau berkata, Dan para ulama telah bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa iddah.

Lihat Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zadul Ma ad 5/156.

Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al- Alim Al-Khabir , masalah ini kami uraikan sebagai berikut.

Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.

Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat pertama , bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:

Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu Ubaid.

Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi iy, dan Abu Hanifah.

TarjihYang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109, Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan.

Tarjih di atas berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla ,

Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin. [ An-Nur: 3 ]

Lalu, dalam hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin sh, beliau berkata,

. : : : (( )) . : Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata, Maka saya datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam lalu saya berkata, Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi Anaq? . Martsad berkata, Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat), Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik . Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata, Jangan kamu menikahi dia . . (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul )

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,

Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dhaifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima , atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh terhapus hukumnya , adalah pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang mengatakan haram menikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh Asy-Syinqithy dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Maad 5/114-115.

Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar lamil Kutub), dan Al-Jami Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

CatatanSebagian ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas, dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa 32/125, kelihatan condong ke pendapat ini.

Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny 9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini (dilakukan) pada saat ber-khalwat berduaan padahal tidak halal ber-khalwat dengan Ajnabiyah perempuan bukan mahram walaupun untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina?

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:

Ikhlas karena Allah.

Menyesali perbuatannya.

Meninggalkan dosa tersebut.

Ber-azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.

Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan. Dan bukan di sini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu Alam.

Syarat Kedua , telah lepas iddah.

Para ulama berbeda pendapat apakah lepas iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:

Pertama , wajib iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakhaiy, Rabiah bin Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua , tidak wajib iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafiiy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafiiy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber- jima sampai istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

Dalil pertama , hadits Abu Said Al-Khudry radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,

Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali. (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin Abdullah An-Nakhaiy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)

Dalil kedua , hadits Ruwaifi bin Tsabit radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , beliau bersabda,

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani dalam Mujam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)

Dalil ketiga , hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,

. Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda, Barangkali orang itu ingin menggaulinya? ( Para sahabat) menjawab, Benar. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya . Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu Alam.

CatatanNampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah Azza Wa Jalla,

Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. [ Ath-Thalaq: 4 ]

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan bahwa iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan iddah perempuan yang ditalak.

Namun, yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra` dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudry di atas. Adapun iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,

Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). [ Al-Baqarah: 228 ]

Kesimpulan Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas iddahnya.

Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas iddah adalah sebagai berikut:

Kalau ia hamil, iddahnya adalah sampai melahirkan.

Kalau ia belum hamil, iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Taala Alam.

Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah Al-Majmu 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Maad 5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

JAWABAN KEDUA Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat maupun karena zina, iddahnya adalah sampai melahirkan. Para ulama bersepakat bahwa akad nikah pada masa iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya mengetahui haramnya melakukan akad pada masa iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd hukuman sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam. Demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya, Setelah berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa iddah?

Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas iddahnya.

Tetapi pendapat mereka diselisihi oleh Imam Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat terdahulu dari Imam Syafi iy, tetapi belakangan Imam Syafi iy berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat yang terakhir ini merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, dan beliau melemahkan atsar Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik, bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas iddah. Wal ilmu indallah .

Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

JAWABAN KETIGA Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima , maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum mengambil atau belum dilunasi mahar tersebut.

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. (diriwayatkan olehSyafi iy sebagaimana dalam Musnad -nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm 5/13, 166, 7/171, 222, Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad -nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700, Sa id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thahawy dalam Syarh Maani Al-tsar 3/7, Abu Ya la dalam Musnad -nya no. 4682, 4750, 4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654, dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak sah, sebagaimana nikah di masa iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.

Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ala ,

Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan. [ An-Nisa`: 4 ]

Juga firman Allah Subhanahu Wa Ta ala ,

Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban. [ An-Nisa`: 24 ]

Banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A lam .

Lihat Al-Mughny 10/186-188, Shahih Al-Bukhary ( Fathul Bary )9/494, Al-Fatawa 32/198, 200, dan Zadul Maad 5/104-105.

Pertama: Pendapat ulama yang melarang ( menganggap tidak sah )pernikahan wanita hamil karena zina.Ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Rabiah, Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Ibnu Sirin, Abu Hanifah dalam satu riwayat, Abu Yusuf, Ibnul Arabi dan Asy-syanqithi.

Alasan-alasan:

1. Adanya masa iddah (masa menunggu) bagi wanita hamil, artinya wanita hamil karena zina itu harus menjalankan masa iddah, yakni sampai dia melahirkan kandungannya.

Analisis:

Alasan ini bisa diterima, sebab iddah wanita yang sedang hamil dari perzinaan masuk dalam pembicaraan ayat keempat dari surat Ath-Thalak pada lafal Wa ulatil ahmali ajaluhunna an yadlana hamlahunna artinya wanita yang dalam keadaan hamil menunggu sampai melahirkan kandungannya jika ingin menikah. Masa menunggu ini ditujukan untuk membebaskan/ mengosongkan rahimnya dari kehamilan tersebut, agar tidak terjadi kekacauan nasab janin yang sedang dia kandung.

1. Supaya suami itu tidak menyiramkan air maninya kepada tanaman orang lain. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari menyenggamai tawanan perempuan yang hamil sampai dia melahirkan. (lihat Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq, jl.2 hlm.88)

Analisis:Alasan mereka agar suami itu tidak menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain untuk larangan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu bisa diterima, sebab dengan melakukan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu menyebabkan orang laki-laki yang menikahinya itu menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain. Kalimat agar suami itu tidak menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain merupakan kiasan untuk larangan bersenggama dengan wanita hamil yang bukan dari air maninya. Alasan mereka itu sesuai dengan hadits Riwayat Ruwaifi bin Tsabit. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:.

r Artinya: Dari Ruwaifi bin Tsabit, dari An-Nabi saw, beliau bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air maninya kepada anak orang lain. (H. R. At Turmudzi, jz.3, hlm. 428, k. 9 An Nikah, b. 35 Fi Maa Jaa Fir-Rajuli, h.1131)Hadits itu mengandung pengertian larangan menyenggamai perempuan yang masih dalam keadaan hamil yang kehamilannya itu bukan dari air maninya. Asal larangan ini ditujukan untuk tawanan wanita yang didapat dari perang Hunain. Artinya, wanita tawanan yang menjadi budak, jika dalam keadaan hamil, tidak boleh disenggamai oleh pemiliknya, karena kehamilan itu bukan dari maninya. Jika wanita hamil itu disenggamai, janin yang ada di dalam rahimnya akan dinasabkan kepada orang yang menyenggamainya, padahal janin itu tidak berhak dinasabkan kepadanya. Untuk menghindari hal ini maka tawanan wanita hamil yang menjadi budak itu tidak boleh disenggamai oleh pemiliknya sampai dia melahirkan kandungannya.

1. Hadits Abud Darda` tentang keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk melaknat orang yang ingin menyenggamai tawanan perempuan yang menjadi budaknya yang sedang dalam keadaan hamil dari orang lain.

r r Artinya: Dari Abud Darda, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal untuknya, .(H.R Muslim, jl.2 jz.4 hlm.161 k. An-Nikah b. Tahrimil Wath-il Hamilil Musabbayah)Maksud dari hadits ini adalah orang yang menyenggamai tawanan wanita hamil yang menjadi budaknya itu menyebabkannya menasabkan janin yang ada dalam rahim wanita tersebut kepada dirinya yang lantas menjadi ahli warisnya -padahal hal ini dilarang, karena janin itu bukan dari air maninya-. Untuk menghindari hal ini, maka wanita hamil itu tidak boleh disenggamai.

Adapun penggunaan larangan menyenggamai wanita hamil untuk melarang menikahi wanita hamil karena zina adalah dilihat dari segi penasaban janin yang ada dalam rahim wanita itu. Janin budak wanita hamil yang bukan dari air mani tuannya tidak dinasabkan kepadanya

Kedua: Pendapat yang membolehkan (menganggap sah ) pernikahan wanita hamil karena zina.Ulama yang membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Ibnu Hazm.

Alasan-alasan:1. Menurut Imam Abu Hanifah, wanita yang hamil dari perzinaan boleh dinikahi sebelum rahim wanita tersebut dibebaskan dari kehamilan, hanya saja tidak boleh disenggamai sampai dia melahirkan kandungannya. Sedang Imam Syafii membolehkan pernikahan dan persenggamaan setelah pernikahan itu dengan wanita hamil karena perzinaan. Alasan beliau adalah, air mani dari perzinaan (yang menyebabkan kehamilan wanita) itu tidak dihargai, sehingga kehamilan yang disebabkan oleh air mani tersebut tidak dinasabkan kepadanya.

Analisis:

Pendapat Abu Hanifah dan Syafii tentang bolehnya melaksanakan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu kurang tepat, sebab wanita hamil karena zina harus menunggu sampai melahirkan kandungannya jika ingin menikah. Masa menunggu ini ditujukan untuk membebaskan rahim wanita tersebut dari janin yang sedang ia kandung agar tidak terjadi kekacauan nasab janin yang ada dalam rahim wanita tersebut.

Adapun pendapat Imam Syafii yang membolehkan menyenggamai wanita hamil karena zina setelah pernikahan tersebut dengan alasan bahwa air mani yang menyebabkan adanya kehamilan itu tidak dihargai, sehingga tidak bisa dinasabkan kepada orang laki-laki yang menyebabkan adanya kehamilan itu , kurang tepat, sebab tidak ada dalil yang dijadikan sandaran untuk pendapat tersebut.

1. Hadits riwayat Abuz Zubair yang menceritakan perintah Umar kepada seseorang agar dia menikahkan saudara perempuannya yang dikatakan pernah berzina.

: - , : . , : Artinya: Kami meriwayatkannya dari jalan Malik dari Abuz Zubair, dia berkata: Aku melamar kepada seorang laki-laki akan saudara perempuannya, Dia menuturkan bahwa dia (saudara perempuannya) telah berbuat dosa -yakni berzina- Maka kabar itu sampai kepada Umar, kemudian dia memukulnya atau hampir memukulnya, dan dia berkata: apa urusanmu dengan kabar itu. Ibnu Wahb berkata, telah mengabari aku Amr bin Al-Harits dengan kabar ini dari Abiz Zubair. Dan didalamnya (disebutkan) bahwa Umar berkata kepadanya: Nikahkanlah dia dan diamlah! (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jz. 10, hlm.28)Analisis:Hadits ini kurang tepat untuk dijadikan dalil tentang kebolehan menikahi wanita hamil karena zina. Sebab isinya tidak menceritakan tentang pernikahan wanita hamil karena zina. Yang diceritakan adalah tentang pernikahan seorang wanita yang pernah berzina.

1. Hadits riwayat Abu Yazid tentang perintah Umar bin Al-Khaththab kepada seorang agar menikahkan seorang pemuda dan pemudi yang berzina -dengan perzinaan tersebut pemudi itu hamil- setelah keduanya dihukum had.

: .Dan dari jalan Ismail bin Ishaq, telah menghabari kami Ali bin Abdirrahman, telah mengabari kami Sufyan bin Uyainah, telah mengabari kami Ubaidullah bin Abi Yazid dari bapaknya, dia berkata: Suba bin Tsabit menikahi anak perempuan Mauhib bin Rabah sedangkan dia mempunyai anak laki-laki dari selainnya dan dia (istri Suba itu) mempunyai anak perempuan dari selainnya. Maka anak laki-laki itu berzina dengan perempuan tersebut Kemudian anak gadis tersebut nampak hamil, kemudian ia ditanyai maka ia mengakui. Lalu hal itu dilaporkan kepada Umar bin Khaththab, maka keduanya mengaku. Kemudian dia (Umar) menghukum keduanya dengan hukuman had dan dia menghasung agar keduanya disatukan (dinikahkan), namun anak laki-laki itu enggan. (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jz. 10, hlm.28)Analisis:Hadits ini juga tidak dapat dijadikan dalil, karena isinya tidak menunjukkan bahwa Umar membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina, sebab beliau memerintahkan kedua pemuda tersebut dinikahkan setelah keduanya dihukum had, sedangkan hukum had dilaksanakan setelah wanita itu melahirkan, sebagaimana riwayat dibawah ini:

, , , , , , , , , .Bahwa Wahb bin Rabah menikah dengan seorang perempuan, sedang perempuan itu mempunyai anak perempuan dari selain Mauhib dan Mauhib mempunyai anak laki-laki dari selain perempuan itu, kemudian anak laki-laki Wahb itu berzina dengan anak perempuannya istri Wahb itu, lantas perkara itu diadukan kepada Umar bin Al-Khaththab, maka Umar menghukum anak laki-laki Mauhib itu dan menunda pelaksanaan hukuman perempuan itu sampai dia melahirkan (kandungannya), kemudian dia (Umar) menghukumnya dan dia (Umar) menghasung agar keduanya disatukan (dinikahkan), namun anak laki-laki Wahb enggan.(H.R Abdurrazzaq, jl.7 hlm.203-204 b. Ar Rojuli Yazni Bimroatin..hd.12793)Hamil lalu dinikahkan, tidak sah?

Beberapa tahun terakhir ini ada fenomena baru yang sangat mengharukan. Khususnya yang terjadi berbagai pelosok negri kita Indonesia. Setelah sebelumnya perkara ini hampir tidak pernah terjadi.

Hamil diluar nikah. Iya, itu yang penulis maksud. Jika dikota-kota besar, mungkin yang demikian sudah tidak asing ditelinga kita. walaupun sebenarnya ini adalah perkara yang asing. Namun sekarang, fenomena ini menjamur hingga kepedesaan yang sebelumnya aman-aman saja dari pelaku kejahatan ini.

Dulunya, disebuah daerah di salah satu pedalaman sumatera sana, seseorang bisa kena denda lantaran mencolek salah satu anggota badan perempuan. Makanya pada waktu itu kita tidak akan medapati ada sepasang muda-mudi yang berpegangan tangan, atau main colak-colek, lantaran takut didenda dengan sejumlah harta yang lumayan besar nominalnya pada waktu itu.

Tapi sekarang, menurut desas-desus cerita yang penulis dapatkan, denda seperti itu sudah hilang entah pergi kemana, dan yang mengagetkan serta membuat gempar warga menjamurnya fenomena hamil di luar nikah, sehingga sang Ayah seakan terpaksa menikahkannya, dengan hati yang menangis darah.

Fonomena seperti ini ternyata sudah menjamur di berbagai tempat di negri kita, kemarin penulis sempat mendengar beberapa cerita dari teman-teman tentang perkara ini, mereka semua mengeluhkan bahwa akhir-akhir ini ada banyak sepasang pengantin yang menikah dan didapati pengantin perempuannya sudah hamil sekian bulan.

Konon katanya para pelajar dan mahasiswa/i di negri kita ini sudah sekian persen yang tidak bersegel lagi. Bahkan diantara mereka ada yang menjadiakannya sebagai modal untuk mencari duit, biar bisa membeli hape yang bagus, de el el.

Pendapat Ulama Tidak ada orang tua yang senang jika mendapati anakya berlaku mesum seperti itu, sebagai langkah preventif jauh hari Islam sudah mengajarkan bagaimana tatacara bergaul antara lawan jenis, hingga akhirnya Islam menjadikan perilaku zina itu sebagai dosa besar. Dan pelakunya harus di cambuk atau dirajam, walau dalam tataran aplikakasinya tidak semudah yang kita bayangkan.

Namun yang terjadi memang sudah terjadi, tidak ada yang bisa disalahkan, kita semua salah. Jika memang ada seorang perempuan yang hamil diluar nikah, lalu kemudian dinikahkan dalam kondisi hamil tersebut, bagaimana hukumnya? Apakah sah? Atau jangan-jagan tidak sah?

Perkara ini menjadi perdebatan diantara ulama, setidaknya terbagi dalam tiga pendapat:

1. Pendapat PertamaKalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang menikahinya itu dia yang menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut, akan tetapi jika yang menikainya itu orang lain, maka dia tidak boleh melakukan hubungan suami-istri sampai si perempuannya melahirkan. (Lihat: al-Kasai, Badai as-Shonai, 2/269)

2. Pendapat KeduaKalangan Syafiiyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya saja makruh hukumnya menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad. (lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/191).

Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka merestui hubungan perzinahan yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan ia merupakan perilaku yang sangat tercela.

Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan sama sekali. Zina memang haram, tapi nikahkan halal. Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.

Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW berikut:

Perkara yang haram tidak bisa mengaharamkan yang halal (HR. Ibnu Majah. 2015)

Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang pernah ada, diantaranya ini erupakan pendapat Abu Bakar RA, Umar RA, Ibnu Umar RA, dan Ibnu Abbas RA. (Lihat: AlMawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/189)

Mungkin jika ibaratkan dengan kasus lain seperti cotoh berikut: Ada orang yang sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian. Barang curian itu jelas haramnya, sedangkan sholat itu wajib (5 waktu), apakah barang hasil curian yang haram itu bisa mengahramkan sholat yang wajib? Ga bisa kan? Terlebih jika yang sholat sudah menyempurnakan syarat dan rukun-rukunnya, maka secara fiqih hokum sholatnya sah. Walau disisi lain di juga berdosa dengan barang hasil curian itu. Begitulah kira-kira.

Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga ayatnya yang berisikan: 1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

3. Pendapat KetigaPendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang menzinahi maupun bagi selainnya. Ini adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatawa, 32/110, dan Kasyfu al-Qona, 5/83).

Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107) menyatakan bahwa yang demikian karena keumuma hadits berikut:

Janganlah kalian menggauli perempuan yang sedang hamil samapai ia melahirkan (HR. Hakim. 2790)

Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak bolehnya mengauli budak yang sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga bisa dipakai untuk selain budak.

Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri yang sudah sah, oke-oke saja. Tidak ada masalah. Jangan panik dulu J

Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:

Dari Abud Darda, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal untuknya, .(H.R Muslim) Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan keharamannya, berdasarkan ayat berikut:

laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (QS. An-Nur: 3)

Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika pernikahan seperti ini dibolehkan, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan sedikit lalai serta mengangagap remeh perkara ini.

Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih sah ko. Begitu mungkin dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina yang sekrang terus berkembang dan menjamur diamana-mana.HAMIL DI LUAR NIKAH MENURUT ISLAM

Hamil di luar nikah menurut hukum islam ?

Zaman sekarang ini banyak Remaja atau perempuan yang hamil di luar nikah karena pergaulan bebas, kemudian dikarena tidak mau menanggung malu, pihak orang tua menikahkan anak yang hamil dengan laki-laki (baik yang menghamili maupun yang tidak menghamili).

Lalu, apakah pernikahannya ini sah?

Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita.

Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa pernikahan tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi.

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar.

QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.

Jumhur ulama berdasar pada hadis Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).

Sedangkan boleh tidaknya perempuan yang berzina menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, para ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut:

Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut diharamkan, pendapat ini adalah pendapatnya Hasan al-Bishry dan lain-lainya. Mereka berdasar pada firman Allah SWT :

Dan perempuan yang berzina tidak menikahinya kecuali laki-laki yang berzina atau pun musrik dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang yang beriman (An-Nur: 3).

Ayat ini menurut mereka menyatakan akan keharaman menikahnya perempuan yang berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut dibolehkan. Sedang ayat di atas bukan menjelaskan keharaman hal tersebut tetapi mununjukan atas pencelaan orang yang melakukannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama.

Mereka pun berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasay dari Ibnu Abbas, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, ia berkata: Sesungguhnya istriku tidak bisa menjaga dirinya dari perbuatan zinah. Nabi pun bersabda: Jauhkalah dia. Orang itu menjawab: aku khawatir jiwaku akan mengikutinya (karena kecintaannya). Nabi pun bersabda padanya: Kalau begitu bersenang-senanglah dengannya (Nailul Author)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah:

Sesuatu yang harom tidak dapat menghalalkan yang haram. (HR Baihaqy)

Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang wanita yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal;

1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan: Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagain berikut:

a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24)

b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan.

Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain (HR Abu Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita hamil disebabkan orang lain.

2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah melakukan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak sah.

3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa), hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda kehamilan.

4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasar pada firman Allah: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) juga sabda Rasulullah SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halalMenikah dalam Kondisi Hamil

JI saya mau tanya, apa hukumnya kalau saya menikah dengan isteri saya dalam keadaan sedang hamil? Apakah saya harus menikah ulang setelah isteri saya melahirkan?

Saya sangat mengharapkan jawaban nya. Saya ucapkan banyak terima kasih atas saran-sarannya.

Jawaban:

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sahabat JI, Haram hukumnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain. Karena hal itu akan mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut.

Dalilnya adalah beberapa nash berikut ini:Nabi SAW bersabda, "Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan." (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim)

Nabi SAW bersabda, "Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." (HR Abu Daud dan Tirmizy)

Adapun bila wanita yang hamil itu diniakhi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah, maka umumnya para ulama membolehkannya, dengan beberapa varisasi detail pendapat:

1. Pendapat Imam Abu HanifahImam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

2. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin HanbalImam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya.

Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.

3. Pendapat Imam Asy-Syafi'iAdapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.

4. Undang-undang Perkawinan RIDalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, berangkat dari beberapa nash berikut ini

Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Juga dengan hadits berikut ini:

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Isteriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR Abu Daud dan An-Nasa`i)

Tidak Perlu Nikah UlangKetika seorang laki-laki menikah dengan wanita yang terlanjur dihamilinya, maka akad nikahnya itu sudah sah. Sehingga tidak perlu diulangi lagi, karena akad nikah cukup sekali saja. Kalau sudah sah, maka tidak perlu ada pengulangan.

MENIKAH DALAM KEADAAN HAMIL

Menikahi perempuan perawan maupun janda hukumnya adalah sah-sah saja. Bahkan jika dengan syarat yang benar dan niat yang baik bisa menjadi amal ibadah yang sangat besar pahalanya. Karena pada dasarnya pernikahan adalah ibadah.

Namun demikian, besarnya nilai ibadah dalam pernikahan tidak lantas dapat mempermudah semua urusan nikah, apalagi jika ternyata perempuan yang hendak dinikah sedang hamil, maka perlu keterangan lebih lanjut. Karena pastilah perempuan itu telah berhubungan dengan lelaki yang menyebabkan kehamilannya.

Jika wanita yang hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, maka pernikahan dengannya hanya dapat dilakukan dengan sah setelah ia melahirkan. Begitu juga jika perempuan yang hamil itu telah dicerai suaminya, maka baru dapat dinikahi setelah ia melahirkan.

Hal ini jelas berdasar pada surat Thalq ayat 4:

Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah setelah melahirkan kadungannya.Berbeda jikalau ternyata perempuan hamil itu belum memiliki suami, atau hamil diluar nikah (hamil karena zina) yang dalam bahasa sehari-hari disebut hamil gelap , maka hukumnya sah menikahinya saat itu juga dan juga boleh me-wathi-nya (berhubungan seks dengannya), tanpa menunggu perempuan itu melahirkan bayinya. Sebagaimana keterangan dari Hasyiatul Bajuri :

Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.Adapun mengenai nasab keberadaan si bayi tergantung pada lamanya jarak antara perkawinan dan kelahiran. Jikalau jarak antara pernikahan dan kelahiran lebih dari enam bulan walaupun dua detik, maka bayi itu bernasab pada bapaknya (lelaki yang mengawini ibunya dalam keadaan hamil). Akan tetapi jika jarak antara perkawinan dan kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka nasab bayi itu kepada ibunya. Demikian dai keterangan kitab yang di pinggir (hamis) Buaghyatul Musytarsyidin, begitulah teksnya

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa perkara terpenting sehubungan dengan mengawini perempuan hamil adalah memastikan terlebih dahulu, bahwa perempuan itu sedang tidak memiliki suami yang sah baik karena ditinggal mati, dicerai atau karena hamil zina.Namun, jika perempuan yang hamil itu masih memiliki suami yang sah, sudah barang tentu tidak akan sah akad nikahnya, selain itu juga bisa menyebabkan perang dengan suaminya, karena itu sama halnya dengan menikahi istri orang. Wallahu alam

Page 22 of 23