P
MENGENAL METODE TANAM SEDERHANA
BIOPLANTBOOROleh : Eko Ermawanto, SP.
Penyuluh Kehutanan Kab. Mojokerto
BIOPLANTBOOR Adalah Metode menanam tanaman hutan secarasederhana yang dilakukan dengan memadukan antara Pemberian MikroOrganisme Lokal, Bahan Organik yang berasal dari serasah hutan denganalat Bor Tanah yang dirancang secara khusus, adapun Urutan pekerjaanpraktek penggunaan metode ini adalah sebagai berikut :
1. Pasang ajir tanamansesuai dengan jaraktanam
2. Siapkan Bor tanah yangdirancang khususdengan ukuran panjang100 cm dan ujungnyadari baja berbentukseperti mata Bor ,tahankarat dan menghasilkanlubang dengan diameter10 cm
3. Putar kearah kanansehinggga kedalaman50 Cm.
Q
4. Lubang telah terbentukdengan ukuran dalam50 cm dan diameter 10cm.
5. Bersihkan piringantanaman disekitarlubang tanam.
6. Larutkan Dekomposerdari Mikro OrganismeLokal (MOL) dengandosis 100 Mili literkedalam gembor yangberisi air bersihsebanyak 10 liter air
7. Aduk hingga merata .
R
8. Siramkan larutanmikroba tersebut kebahan organik yangberasal dari daunleguminose/kacang2an,atau serasah darilimbah hutan.
9. Aduk hingga meratasampai kelembaban 85%
10.Masukkan kedalamlubang bahan organiktersebut sampaiketinggian 40 cmkemudian timbundengan tanah,sisakan10 cm untuk lubangtanaman.
11.Masukkan bibit tanamansengon dengan lebihdulu melepas polybagdengan hati-hati.kemudian siramlubang tersebut denganlarutan mikroba sampaijenuh air.
S
12.Bumbun tanamansengon tersebut dengantanah yang ada disekitarpiringan tanaman.
13.Tutup bumbunan tanahdisekitar tanamandengan mulsa daridaun-daunan, gunamengurangi penguapandan menciptakan iklimmikro yang baik bagipertumbuhan tanaman.
Kelebihan Penggunaan metode Bioplantboor adalah sebagai berikut :1. Alatnya mudah digunakan murah, praktis, ringan dan mudah dibawa kelokasi
areal tanam.2. Hasil Uji coba dengan metode tersebut tanaman mengalami stagnasi sangat
rendah pada awal tanam karena kondisi iklim mikro disekitar tanaman lembabdan penguapan sangat rendah sehingga mendukung pertumbuhan tanaman.
3. Tanaman dapat tumbuh subur karena adanya bantuan lubang biopori yangterbentuk secara alami oleh aktivitas mikrobia dan makrobia disekitar akartanaman, yang melapukkan bahan organik secara perlahan sehingga adakeseimbangan keadaan Fisik, Kimia dan biologi tanah yang dapatmenyediakan unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
4. Dalam Satu Hectar dengan jarak tanam 2 x 3 meter maka jumlah populasitanaman sebanyak 1650 batang, berarti pula dengan metode tersebutterdapat lubang biopori yang terbentuk disekitar lubang tanam sebanyak 1650unit/buah, sehingga dapat berfungsi sebagai resapan air sekaligus dapatmendukung program konservasi tanah dan air / Rehabilitasi Hutan danLahan, karena limpasan aliran permukaan lebih terkendali dan banyakmeresap kedalam tanah dan sedikit yang mengalir di permukaan tanah.
5. Erosi tanah dapat diperkecil, dan kesuburan tanah dapat ditingkatkan denganpenambahan bahan organik dan mikroba yang menguntungkan bagi tanahdan pertumbuhan tanaman.
6. Metode tersebut dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah.7. Penambahan bahan organik ke lahan sangat dianjurkan untuk mengatasi
hilangnya unsur hara pada saat panen.
1
HUTAN TANAMAN RAKYAT
Oleh : Agus Budhi Prasetyo
PENDAHULUAN
Sebuah terobosan baru belum lama ini dimunculkan pemerintah dalam upaya pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan melalui program Hutan Tanaman Rakyat. Program HTR di harapkan mampu
mampu meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar tergolong
miskin.
Sebuah nuansa baru pengelolaan kehutanan belum lama ini dimunculkan pemerintah dalam upaya
memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Dalam bab 1 pasal 1: 19 PP no 6 th 2007 disebutkan Hutan
Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Program HTR merupakan terobosan baru dalam mengentaskan kemiskinan penduduk di sekitar
hutan. Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, mengindikasikan jumlah
penduduk Indonesia mencapai 237 juta orang. BPS menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta di
antaranya tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang di antaranya tergolong dalam
kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan
sebanyak 3,4 juta orang di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, pemerintah kemudian mengajukan program HTR dengan memberikan jatah lahan 15 hektare
bagi tiap kepala keluarga. Dengan total lahan yang dicadangkan seluas 5,4 juta ha, maka ada sekitar
360.000 kepala keluarga yang mendapat jatah HTR. Dengan asumsi tiap keluarga terdapat 5 anggota,
maka program HTR diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan sebesar 1.800.000 penduduk.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah siapakah yang menjadi sasaran pembangunan HTR,
seperti apakah pola yang akan dikembangkan, bagaimana mekanisme pembangunan HTR tersebut, dan
bagaimana standar biaya serta pendanaannya.
PEMBAHASAN
Seperti disebutkan diatas HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Merujuk pengertian ini sasaran dari
pembanguan HTR adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau di sekitar hutan, masyarakat disini
terdiri dari perorangan atau kelompok masyarakat yang dapat diberikan ijin pengelolaan hutan, kemudian
kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi HTR adalah kawasan hutan produksi yang tidak
produktif, tidak dibebani izin/hak lain, letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan dan telah
ditetapkan pencadangannya oleh Menteri Kehutanan. Dalam pengembangannya, Hutan Tanaman Rakyat
ini kedepan akan menggunakan 3 pola yakni :
a. HTR Pola Mandiri, adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-
HTR.
b. HTR Pola Kemitraan, adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-
HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh
pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak.
c. HTR Pola Developer, adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya
diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya
pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang ijin dan dikembalikansecara mengangsur
sejak Surat Keputusan IUPHHKHTR diterbitkan.
Pembangunan HTR ini diharapkan ke depan mampu meningkatkan kontribusi kehutanan
terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan sehingga
diperlukan kerangka acuan dalam pengembangannya agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam
implementasinya di lapangan. Adapun tahapan-tahapan dalam pembangunan HTR selanjutnya diatur pula
mekanisme penetapan pencadangan lokasi HTR dan prosedur perijinan HTR seperti tersebut dibawah ini :
Mekanisme Penetapan Pencadangan Lokasi HTR
a. Alokasi dan Penetapan Areal Pembangunan HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan Kriteria
: Kawasan HP yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak dan diutamakan dekat dengan Industri
Hasil Hutan.
b. Untuk pembangunan HTR,Ditjen Planologi atas nama Menteri Kehutanan menyampaikan peta
arahan indikatif lokasi HTR per provinsi kepada Bupati dengan tembusan kepada : Dirjen BUK,
Sekjen, Gubernur, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan
Kepala Balai BUKH.
c. Dirjen BUK melakukan sosisalisasi program Pembangunan HTR dan peta arahan indikatif lokasi
HTR kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
d. Sekjen Kemenhut melaksanakan sosialisasi tentang Pembiayaan Pembangunan HTR melalui BLU
cq. Pusat Pembiayaan Pembangunan Kehutanan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
e. Kepala BPKH memberikan asistensi teknis kepada Dinas Kehutanan provinsi/kabupaten/kota
berdasarkan petunjuk teknis dari Dirjen Planologi.
f. Kepala Dinas Kehutanan kabupaten/kota menyampaikan pertimbangan teknis kawasan areal
tumpang tindih perizinan, rehabilitasi dan reboisasi, program pembangunan daerah kepada
Bupati/Walikota dilampiri dengan peta lokasi HTR Skala 1: 50.000.
g. Bupati/Walikota menyampaikan usulan rencana pembangunan HTR kepada Menteri Kehutanan
dilampiri peta usulan lokasi HTR Skala 1: 50.000 yang ditembuskan kepadaDirjen BUK danDirjen
Planologi.
h. Dirjen Planologi melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR lalu menyiapkan lokasi pencadangan
areal HTR dan hasilnya disampaikan kepadaDirjen BUK.
i. Dirjen BUK melakukan verifikasi administrasi dan teknis lalu menyiapkan konsep keputusan
Menteri Kehutanan tentang penetapan lokasi pencadangan areal HTR dan dilampiri peta pencadangan
areal HTR serta mengusulkannya kepadaMenteri Kehutanan.
j. Menteri Kehutanan menerbitkan pencadangan areal untuk pembangunan HTR dan disampaikan
kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Gubernur
k. Bupati/Walikota menyampaikan sosialisasi ke desa/masyarakat, bisa melalui LSM pusat, provinsi
atau kabupaten/kota.
Mekanisme Perijinan HTR
Dalam mekanisme perijinan ini di bagai dalam dua kelompok yaitu :
A. Perorangan atau Kelompok Tani
a. Pemohon (perorangan atau kelompok tani) mengajukan permohonan IUPHHKHTR kepada
Bupati/Walikota melalui Kepala Desa, pada areal yang telah dialokasikan dan ditetapkan oleh
Menteri Kehutanan
b. Persyaratan permohonan yang diajukan olehPemohon yakni Foto copy KTP, Surat
Keterangan dari Kepala Desa bahwa benar pemohon berdomisili di desa tersebut dan sketsa areal
yang dimohon dilampiri dengan susunan anggota kelompok.
c. Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan oleh perorangan atau
Kelompok Tani dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Camat dan Kepala BP2HP
d. Kepala BP2HP melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis.
e. Kepala BPKH atau pihak lain yang mewakili melakukan pengukuran, verifikasi lahan dan
perpetaan dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis.
f. Bupati/ Walikota menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau Kelompok
atas nama Menteri Kehutanan yang dilampiri peta areal kerja skala 1: 50.000 dengan tembusan
Menteri Kehutanan, Dirjen BUK, Dirjen Planologi dan Gubernur.
g. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan melaporkan kepada Menteri
Kehutanan, rekapitulasi penerbitan Keputusan IUPHHK-HTR secara periodik tiap 3 (tiga) bulan.
B. Koperasi
Selain untuk perorangan, pengajuan IUPHHK-HTR ini dapat dilakukan melalui koperasi yang
dibentuk oleh perorangan/kelompok tani yang berminat. Adapun mekanisme permohonan perijinannya
adalah sebagai berikut :
a. Pemohon mengajukan permohonan IUPHHK-HTR kepada Bupati/Walikota pada areal yang
telah dialokasikan dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
b. Persyaratan permohonan yang diajukan olehPemohon yakni Foto copy Akte Pendirian
koperasi, Surat Keterangan dari Kepala Desa bahwa benar Koperasi dibentuk di desa tersebut dan
Peta areal yang dimohon dilampiri dengan Skala 1:5000 atau 1:10.000 serta dilampiri dengan
susunan anggota Koperasi
c. Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan oleh koperasi dan
membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Camat dan Kepala
BP2HP
d. Kepala BP2HP melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.
e. Kepala BUKH atau pihak lain yang mewakili melakukan pengukuran, verifikasi lahan dan
perpetaan dan hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.
f. Bupati/ Walikota menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR kepada koperasi atas nama Menteri
Kehutanan yang dilampiri peta areal kerja skala 1: 50.000 dengan tembusan Menteri Kehutanan,
Dirjen BUK, Dirjen Planologi dan Gubernur.
g. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan melaporkan kepada Menteri
kehutanan, rekapitulasi penerbitan Keputusan IUPHHK-HTR secara periodik tiap 3 (tiga) bulan.
Dalam skema pembangunan HTR, jenis tanaman yang dapat dikembangkan terdiri dari :
A. Tanaman Hutan Berkayu,
Tanaman hutan berkayu ini di bagi dalaam beberapa kelompok jenis yaitu :
1. Kayu Pertukangan, antara lain :
a. Kelompok Jenis Meranti (Shorea sp)
b. Kelompok Jenis Keruing (Dipterocarpus sp)
c. Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae :
1. Jati (Tectona grandis)
2. Sengon (Paraserianthes falcataria)
3. Sonokeling (Dalbergia latifolia)
4. Mahoni (Swietenia macrophylla)
5. Kayu Hitam (Diospyros celebica)
6. Akasia (Acacia mangium)
7. Rajumas (Duabanga molucana)
8. Sungkai (Peronema canescens)
2. Kayu Serat, antara lain :
1. Eucaliptus (Eucalyptus spp)
2. Akasia (Acacia mangium)
3. Tusam (Pinus merkusii)
4. Gmelina (Gmelina arborea)
B. Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu
Yang termasuk jenis tanaman budidaya tahunan berkayu tersebut adalah :
1. Karet (Hevea brasiliensis)
2. Durian (Durio zibethinus)
3. Nangka (Artocarpus integra)
4. Mangga (Mangifera indica)
5. Rambutan (Nephelium lapaceum)
6. Kemiri (Aleuritus moluccana)
7. Duku (Lansium domesticum)
8. Pala (Myristica fragrans)
C. Komposisi Tanaman Pokok
Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR ditetapkan sbb :
- Tanaman Hutan Berkayu ± 70%
- Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu ± 30%
Pemegang izin dapat melakukan kegiatan Tumpang Sari Tanaman Budidaya musiman/Palawija
diantara tanaman pokok s/d 2-3 tahun.
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian
persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan.
Referensi lengkap mengenai jenis-jenis pohon“Buku Informasi Kesesuaian Jenis Pohon untuk
Hutan Tanaman”.
Pembiayaan HTR
Permasalahan pelik dalam pembangunan HTR yakni persoalan dana. Maklum saja pembangunan
hutan tanaman tidak bisa diagunkan(non collateral), produksi kehutanan bersifat jangka panjang (non
bankable) dan risiko usaha yang tinggi sehingga investor kurang tertarik dalam melakukan pembiayaan
pembangunan hutan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kemudian membentuk lembaga
keuangan alternatif dalam rangka mendukung pembangunan HTR. Pada 5 Februari 2007, Menteri
Keuangan dan Menteri Kehutanan menyepakati terbentuknya Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan
(BP2H) yang merupakan salah satu instansi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU). Tugas dari BP2H adalah memfasilitasi pemberian pinjaman dana bergulir
bagi pembangunan hutan; serta mencari dan mengelola dana hibah dari negara dan lembaga donor yang
terkait dengan pembangunan hutan. Adapun pihak yang dapat memanfaatkan dana ini adalah Badan
Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Swasta /Badan Usah Milik Daerah dan perusahaan patungan
BUMN dengan BUMS atau Koperasi yang bergerak di bidang kehutanan, Koperasi dan Kelompok Tani
Hutan dengan persyaratan secara umum merupakan pemegang ijin pemanfaatan hutan tanaman, tidak
dalam daftar hitam dalam perbankan, memiliki tenaga teknis kehutanan, memiliki NPWP dan tidak
mempunyai tunggakan pajak, serta memenuhi syarat untuk memperoleh pinjaman sesuai ketentuan yang
diatur menteri kehutanan. Bunga pinjaman untuk Badan Usaha Berbadan Hukum dikenakan pada suku
bunga yang berlaku di bank umum sedangkan untuk koperasi dan kelompok tani dikenakan bunga sesuai
tingkat bunga yang perlaku di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pengembalian pinjaman ini dilakukan
setelah panen/daur tanaman dengan cara sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjaman/akad kredit.
Bilamana terjadi penyimpangan maka akan diberlakukan sanksi seperti berikut : a) Dalam hal debitur
BUMN/S/D jika tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjaman dikenakan
sanksi denda sebesar 2% (dua persen) pertahun ditambah bunga dengan tingkat suku bunga yang berlaku
pada bank umum per tahun. b) Dalam hal debitur Koperasi atau Kelompok Tani Hutan, ketua kelompok
dan anggota kelompok tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjaman,
dikenakan sanksi tanggung renteng untuk memenuhi kewajibannya. Mekanisme pinjaman dana ini khusus
HTR dapat dilihat dalam skema berikut :
Sumber : Presentasi BLU-BPPH, 2007
PENUTUP
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat sebagai kebijakanPemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan ekonomi (pro-growth)
sebagaimana menjadi agenda revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, sekaligus juga merupakan
implementasi dari Kebijakan Prioritas Kementerian Kehutanan dalam Revitalisasi Sektor Kehutanan dan
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan, mensejahterakan masyarakat dan memperluas
lapangan kerja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pelaksanaannya benar-benar memberi manfaat bagi
masyarakat adalah sebagai berikut :
a) Proses birokrasi hendaknya lebih disederhanakan sehingga waktu pengurusan IUPHHK-HTR dan
Penetapan Pencadangan Lokasi HTR bisa lebih dipercepat.
Lengkap/tolak
(1-8 thn)
PANEN
Ya
Gagal/Tolak
PemohonHTR
BP2H(Lai-Adm)
Cek Lapangan
Akad Kredit
PembangunanHutan Tanaman Rakyat
BP2H(Evaluasi)
Pencairan bertahap
b) Penetapan Lokasi pembangunan dan pengembangan hutan tanaman rakyat secara cermat dengan
memperhatikan sebaran lokasi industri pengolahan kayu, pasar kayu olahan, serta ketersediaan
sarana-prasarana untuk menjangkau industri dan pasar.
c) Peran aktif pemerintah daerah dalam sosialisasi pembangunan HTR.
d) Pengembangan HTR ini sebaiknya terintegrasi dengan pengembangan KPHP.
e) Pelibatan lembaga penelitian kehutanan dalam hal ini Badan Litbang Kehutanan untuk proses alih
teknologi peningkatkan kemampuan masyarakat dalam pembangunan (termasuk teknik
pembukaan lahan yang ramah lingkungan) dan pengelolaan hutan tanaman (termasuk
pengendalian hama-penyakit), serta pemasaran hasil dari hutan tanaman.
f) Pendampingan yang intensif untuk mengembangkan kelembagaan masyarakat.
g) Kemudahan bagi masyarakat untuk mencapai sumber pendanaan.
h) Fasilitasi oleh pemerintah untuk membangun kemitraan antara masyarakat dengan industri dan
pasar kayu agar nantinya pola kemitraan pada pembangunan HTR tidak menjadi sistem ijon baru
dan justru merugikan masyarakat.
�
KAMPANYE BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo)DI SUAKA MARGASATWA BAKIRIANG
BALAI KSDA SULAWESI TENGAH
Oleh:POPPY OKTADIYANI, S.Hut.1
Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang merupakan kawasan pengawetan sumber
daya alam hayati dan penyangga kehidupan, kawasan ini menyimpan beberapa
komunitas tumbuhan dan satwa endemik Sulawesi yang langka/ terancam punah di
Provinsi Sulawesi Tengah seperti Burung Maleo (Macrocephalon maleo), Monyet hitam
sulawesi (Macaca tonkeana), Musang coklat (Macrogalidia muschenbroeckii), Nuri
sulawesi (Tanygnatus sumatranus), Rangkong sulawesi (Rhyticeros cassidix) yang
perlu dijaga keberadaanya dari aktifitas manusia seperti perburuan, pembukaan lahan,
kebakaran hutan karena dapat menyebabkan kepunahan tumbuhan maupun satwa
tersebut.
Burung maleo (Macrocephalon maleo) yang merupakan salah satu spesies
kunci dari kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang serta harta karun bagi Sulawesi
Tengah dan bagi masyarakat seluruh dunia. Mengingat maskot ini mempunyai makna
yang besar bagi masyarakat Sulawesi Tengah, yaitu sebagai lambang kemandirian
karena Burung Maleo mulai hidup mandiri sejak dalam lokasi peneluran serta sebagai
lambang kesetiaan karena Burung Maleo ini bersifat monogami yang hidup setia
sampai mati dengan pasangannya.
Statusnya saat ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa adalah ‘Dilindungi’. Menurut CITES/
organisasi perdagangan tumbuhan dan satwa liar dunia termasuk kategori ‘Appendix
I’ (Daftar spesies hidupan liar yang tidak boleh diperdagangkan secara internasional)
sedangkan menurut IUCN/ organisasi konservasi alam dunia adalah ‘terancam
punah’, sehingga perlunya dilakukan upaya pelestarian Burung Maleo dari kepunahan.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) telah
menetapkan Burung Maleo (Macrocephalon maleo) sebagai salah satu dari 14 (empat
belas) spesies terancam punah Indonesia yang akan ditingkatkan populasinya sebesar
3% (tiga persen) dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Program Rencana Strategis
2010 – 2014. Balai KSDA Sulawesi Tengah mendapat tugas untuk meningkatkan
populasi spesies terancam punah sebanyak 4 (empat) jenis termasuk Burung Maleo
� o¡‹„·“·⁄?j¡⁄·‡\‹\‹?l·~\?a\“\ƒ?jrc`?r·“\•¡†ƒ?s¡‹£\⁄
Q
(Macrocephalon maleo), spesies yang lainnya Anoa (Bubalus quarlesii dan Bubalus
depressicornis), Babirusa (Babyrousa babyrussa), dan Burung Kakak Tua Kecil Jambul
Kuning (Cacatua sulphurea).
Dalam rangka menyadarkan semua pihak dalam melestarikan Burung Maleo,
Balai KSDA Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Tengah, MGDP PT Pertamina EP, PT. Donggi Senoro LNG, dan Kelompok
Kerja Konservasi Maleo (K3M) melaksanakan Kampanye Pelestarian Burung Maleo di
SM Bakiriang pada tanggal 7 Oktober 2013. Acara ini dihadiri oleh Wakil Gubernur
Sulawesi Tengah, Direktur Jenderal PHKA diwakili oleh Kepala Sub Direktorat
Pemanfaatan dan Pengawetan Jenis Direktorat KKH, Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) lingkup Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Banggai, Kepala
Balai Besar dan Kepala Balai Unit Pelaksana Teknis Kemeterian Kehutanan di Provinsi
Sulawesi Tengah, General Manager MGDP PT Pertamina EP, Presiden Direktur PT
Donggi Senoro LNG, dan masyarakat sekitar kawasan SM Bakiriang.
Dalam kampanye ini diisi acara seperti pameran konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya; penanaman pohon untuk pemulihan ekosistem SM
Bakiriang; kunjungan ke lokasi Konservasi Ex-situ di lokasi PT. Donggi Senoro LNG
Desa Uso Kecamatan Batui; serta pelepasan/ re-stocking Burung Maleo ke habitat
aslinya SM Bakiriang. Sumber anakan Burung Maleo yang dilepasakan yaitu 27 (dua
puluh tujuh) ekor diperoleh dari hasil Konservasi In-situ yaitu penetasan semi alami di
SM Bakiriang kerjasama dengan MGDP PT Pertamina EP dan penetasan semi alami
Balai KSDA Sulawesi Tengah di luar kawasan SM Bakiriang; serta hasil Konservasi
Ex-situ dengan teknologi inkubator di lokasi PT. Donggi Senoro LNG Desa Uso
Kecamatan Batui sebanyak 11 (sebelas) ekor. Setelah kegiatan restocking Burung
Maleo ini rencana dilanjutkan dengan kegiatan penanaman di areal nesting ground
Burung Maleo seluas 2 (dua) Ha dengan jenis Palapi, Nyantoh, Kemiri, Cemara laut,
Ketapang, dan Rhizophora. Upaya penanaman ini akan terus dilakukan bersama
dalam rangka konservasi dalam perbaikan habitat Maleo di SM Bakiriang.
Konservasi Burung Maleo tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dari
satu sektor saja, tetapi harus melibatkan stakeholder terkait, antara lain pemerintah
daerah, lintas Kementerian, LSM, Perguruan Tinggi, sektor swasta, dan masyarakat.
Beberapa sektor swasta yang telah terlibat saat ini adalah Matindok Gas Development
Project (MGDP) PT Pertamina EP sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Balai
KSDA Sulawesi Tengah dengan PT Pertamina EP Nomor: 116/IV.K-26/1/2010 dan
Nomor: 008/EP2Q10/2010-S0 tanggal 3 Februari 2010 tentang Kerjasama
R
Pengelolaan Kawasan SM Bakiriang Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah
untuk Area Perlintasan Pipa PT Pertamina EP serta PT Donggi Senoro LNG sesuai
Perjanjian Kerajasama antara Balai KSDA Sulawesi Tengah dengan PT Donggi
Senoro LNG tentang Pelestarian Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Nomor:
S.421/IV.K-26/1/2013 dan Nomor: 004/DSLNG-AGR/IV/2013 tanggal 11 April 2013.
Selain sektor swasta, dari pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ikut
berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian Burung Maleo, seperti Kelompok Kerja
Konservasi Maleo (K3M) dan Aliansi Tompotika (AlTo). Maka dari itu mari kita dukung
oleh kita semua program pelestarian SM Bakiriang dan termasuk di dalamnya
pelestarian Burung Maleo sebagai warisan sumberdaya alam di Sulawesi Tengah.
Seperti yang dikatakan Kepala Balai KSDA Sulawesi Tengah dalam akhir
sambutannya “Saya selaku pengelola kawasan SM Bakiriang, sangat berharap agar
upaya pelestarian Burung Maleo di SM Bakiriang tidak hanya menjadi tanggung jawab
satu sektor pemerintahan saja, tetapi harus melibatkan stakeholders terkait, antara lain
pemerintah daerah, lintas Kementerian, LSM, Perguruan Tinggi, dan sektor swasta
serta kesadaran masyarakat. Mengingat jenis Burung Maleo ini merupakan
sumberdaya alam yang ‘terancam punah’, sehingga perlunya upaya pelestarian
Burung Maleo dari kepunahan”.
�
PEDOMAN BUDIDAYA TANAMAN DURIAN (Durio zibethinus)
Oleh : Jumali, SP.
Penyuluh Kehutanan Kab. Sleman
I. Pendahuluan
Tanaman durian merupakan tanaman buah berupa pohon. Tanaman durian semula
berupa tanaman liar yang berasal dari hutan Malaysia,Sumatra, dan Kalimantan. Buah durian
sangat digemari hampir semua orang dan sudah dikenal di Asia Tenggara sejak abad VII
Masehi. Buah durian rasanya manis, harum dengan warna dagingnya putih sampai
kekuningan dan banyak mengandung kalori, vitamin, lemak dan protein. Di Thailand budidaya
tanaman durian sudah dilakukan secara intensif dalam kawasan berbentuk kebun yang cukup
luas, sedang di Indonesia pada umumnya masih berupa tanaman yang di tanam di pekarangan.
Manfaat tanaman durian selain diambil buahnya, pohonnya dapat dipakai sebagai pencegah
erosi di lahan yang miring, batangnya dapat digunakan sebagai bahan tinggi, sehingga
bangunan, bijinya mempunyai kandungan pati cukup dapat dipakai sebagai alternatif
pengganti makanan, kulitnya dapat dipakai sebagai bahan abu gosok yang bagus.
II. Syarat Tumbuh
a. Iklim.
Durian tumbuh dengan baik di daerah tropika basah dengan curah hujan > 2.000
mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun dengan lama bulan basah 9-10
bulan/tahun dan 1-2 bulan kering sebelum berbunga. Intensitas cahaya 40-50%,
dengan suhu 22-30ºC.
b. Ketinggian Tempat.
Ketinggian tempat yang baik antara 100-500 M dpl, jika ditanam pada daerah yang
lebih tinggi akan menurunkan mutunya.
c. Tanah.
1) Tanaman durian akan tumbuh dengan baik pada tanah dengan pH 5-7 dan optimum
pada pH 6-6,5.
�
2) Kondisi drainase lahan harus baik, dengan kedalaman air tanah antara 50-150 cm
dan 150-200 cm, karena akar durian sangat peka (busuk) bila terendam air.
3) Tanah grumosol dan andosol cocok untuk tanaman durian.
4) Tanah subur dan kaya kandungan bahan organik.
III. Budidaya
a. Pengolahan lahan.
1) Lahan dibersihkan dari rerumputan, sisa tebangan, tanaman liar, kemudian
dibajak/dicangkul
2) Di sekitar kebun perlu dibuat saluran drainase guna menghindari adanya genangan.
3) Kegiatan pengolahan lahan dilakukan sebelum musim hujan.
b. Penanaman.
1) Jarak tanam 10 x 10 M untuk jenis durian genjah, dan 12 x 12 M untuk jenis durian
sedang dan dalam.
2) Lubang tanam dengan ukuran 80 x 80 x 70 cm atau 70 x 70 x 60 cm atau
disesuaikan dengan jenis tanah dan kondisi lahan, tanah galian bagian atas (20
cm) dipisahkan dengan tanah galian bagian bawah dan dibiarkan selama 2-3 minggu.
3) Lubang tanam ditutup kembali, dengan tanah galian atas lebih dahulu
dimasukkan setelah dicampur dengan pupuk organik/pupuk kompos sebanyak + 30
kg/lubang.
4) Penanaman dilakukan awal musim hujan pada sore hari agar bibit yang sudah
ditanam tidak langsung terkena matahari.
5) Bibit ditanam sekitar 5 cm di atas pangkal batang dan diikat pada batang kayu/bambu
agar tanaman dapat tumbuh tegak lurus.
6) Bibityang sudah ditanam sebaiknya diberi naungan untuk menghindari sengatan
matahari curah hujan yang lebat. Naungan dapat dibongkar setelah tanaman
berumur 3-5 bulan.
7) Tanah di sekitar tanaman sebaiknya ditutup rumput/jerami kering sebagai mulsa,
agar kelembaban tanah dapat stabil.
c. Pemeliharaan.
1) Penyiangan, dilakukan untuk membuang gulma yang tumbuh di sekitar tanaman (1
m dari batang pohon) yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman.
2) Penyiraman, hal-hal yang perlu diperhatikan :
a. Tahap awal pertumbuhan penyiraman dilakukan setiap hari pagi dan sore hari,
tetapi tanah tidak boleh tergenang terlalu lama (terlalu basah).
b. Kebutuhan air pada masa vegetatif 4-5 L/hari dan pada masa produktif 10-12
L/hari.
c. Setelah tanaman berumur satu bulan penyiraman dilakukan 3x/minggu. Jika
tanaman sudah berbuah, penyiraman harus diperhatikan karena kalau kekurangan
air dapat mengakibatkan kerontokan buah.
d. Tanaman durian akan membutuhkan banyak air setelah panen karena diperlukan
untuk memulihkan kondisi tanaman menjadi normal kembali.
3) Pemupukan pada tanaman yang belum berbuah, dilakukan dengan dosis sbb:
a. Pemupukan NPK (15:15:15) dilakukan 2 kali/tahun, dengan dosis sbb:
1. Tanaman umur 1 tahun, dosis pupuk NPK 40 - 80 gr/pohon/tahun.
2. Tanaman umur 2 tahun, dosis pupuk NPK 150 - 300 gr/pohon/tahun.
3. Tanaman umur 3 - 4 tahun, dosis pupuk NPK 400 - 600 gr/pohon/tahun.
b. Pupuk organic/kompos/pupuk kandang diberikan setahun sekali pada akhir musim
hujan dengan dosis minimal 15-20kg/pohon.
�
4) Pemupukan pada tanaman yang sudah menghasilkan/berbuah, dengan
dosis/pohon sbb :
a. Sesudah pemangkasan, pupuk organik 40-60 kg, urea 670 gr, SP-36 890 gr, KCl
530 gr
b. Saat pucuk mulai menua, urea 335 gr, SP-36 445 gr, KCl 265gr
c. Dua bln setelah pemupukan kedua, urea 180 gr, SP-36 650 gr, KCl 150 gr
d. Saat muncul bunga, urea 45 gr, SP-36 225 gr, KCl 100 gr
e. Satu bulan sbelum panen, urea 180 gr, SP-36 650 gr, KCl 150gr.
5) Cara memupuk, dibuat selokan melingkari tanaman dengan garis tengah selokan
disesuaikandengan lebarnya tajuk pohon. Kedalaman selokan dibuat 20-30 cm dan
tanah cangkulan disisihkan di pinggirnya. Sesudah pupuk disebarkan secara merata
ke dalam selokan, tanah tadi dikembalikan untuk menutup selokan dan diratakan.
Apabila tanah dalam keadaan kering segera lakukan penyiraman.
6) Pemangkasan akar.
a. Pemangkasan akar akan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman sampai
40% selama 1 musim. Selama itu pula tanaman tidak dipangkas.
Pemangkasan akar selain membuat tanaman menjadi cepat berbuah juga
meningkatkan kualitas buah, buah lebih keras dan lebih tahan lama.
b. Waktu pemotongan akar paling baik pada saat tanaman mulai berbunga, paling
lambat 2 minggu setelah berbunga. Jika dilakukan melewati batas, hasil
c. tanaman durian diiris sedalam 60-90 cm dan sejauh 1,5-2 meter dari panen
berkurang dan pertumbuhan terhambat.
d. Cara pemotongan: kedua sisi barisan pangkal batang.
7) Pemangkasan bentuk, dilakukan dengan :
a. Tanaman sudah berumur 1 tahun.
b. Pelihara satu batang utama, potong calon cabang primer yang tidak diinginkan
(cabang dengan pertumbuhan terlalu panjang, tidak normal atau terserang hama &
penyakit), cabang-cabang primer terpilih diatur jaraknya sekitar 40-60 cm.
c. Pertumbuhan cabang diarahkan supayamendatar atau
membentuk sudut sekitar 90 derajat dengan batang utama, dengan mengikat
pucuk cabang dengan tali yang diberi pemberat.
d. Tunas-tunas liar yang tumbuh di cabang terpilih harus
dipangkas dan sisakan 1-2 cm dari pangkal cabang.
e. Tinggi tanaman dipertahankan sekitar 4 m dari permukaan tanah dan cabang
terendah berjarak 0,7-1 m dari permukaan tanah.
f. Oleskan pada bagian yang dipangkas dengan ter/meni/pestisida
8) Pemangkasan pemeliharaan, dilakukan dengan :
a. Tanaman sudah mulai berproduksi pertama
b. Memangkas cabang bersudut kecil, cabang dan ranting yang terserang hama &
penyakit. Pemangkasan ranting pada cabang besar/produktif dibersihkan dengan
menyisakan 1/3 bagian ujung
c. Memangkas cabang/tunas liar yang tumbuh tidak pada tempatnya
d. Memangkas dahan dan ranting yang rapat, bersilangan atau
tersembunyi/terlindung
e. Memangkas dahan dan rantingyang lemah serta tajuk bagian atas yakni turun 1
ruas pada ujung ranting (terminal)
f. Memangkas dahan dan ranting yang pertumbuhannya ke arah dalam tajuk atau ke
�
arah bawah
g. Pertahankan ketinggian optimal 3-4 m atau 5-6 m
h. Oleskan pada bagian yang dipangkas dengan ter/meni/pestisida
9) Penyerbukaan buatan, dilakukan dengan :
a. Mengumpulkan serbuk sari dalam kantong plastic bersih dengan menggoyang-
goyangkan bunga atau disapu dengan kuas halus
b. Melakukan penyerbukan buatan pada malam hari jam 19.00-21.00, dengan
mengoleskan serbuk sari ke kepala putik memakai kuas halus
10) Penjarangan buah. Penjarangan buah bertujuan untuk mencegah kematian durian
agar tidak menghabiskan energinya untuk proses pembuahan. Penjarangan
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, rasa buah, ukuran buah dan frekuensi
pembuahan setiap tahunnya. Penjarangan dilakukan bersamaan dengan proses
pengguguran bunga, begitu gugur bunga selesai, besoknya harus dilakukan
penjarangan (tidak boleh ditunda-tunda).
Penjarangan dilakukan secara :
a. Penjarangan secara mekanis, dilakukan :
1. Pada saat buah sebesar bola tenis dengan menyisakan tiap dompol 1-2 buah
dengan bentuk normal, sehat dan bebas dari hama & penyakit,
2. Buah tidak saling bersinggungan dengan membuat jarak antara dompol
dalam satu cabang 20-30 cm.
b. Penjarangan kimiawi, yaitu dengan menyemprotkan hormon tertentu (Auxin A),
pada saat bunga atau bakal buah baru berumur sebulan. Pada saat itu sebagian
bunga sudah terbuka dan sudah dibuahi. Ketika hormon disemprotkan, bunga
yang telah dibuahi akan tetap meneruskan pembuahannya sedangkan bunga
yang belum sempat dibuahi akan mati dengan sendirinya.
d. Hama dan Penyakit.
1. Hama
a) Penggerek buah (Jawa : Gala-gala), bagian yang diserang buah.
Gejala, buah yang diserang kadang-kadang jatuh sebelum tua. Pengendalian
dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu,
membungkus/membrongsong buah terpilih sejak dini
pengasapan di bawah pohon pada sore hari untuk mengusir
imago
2) Mekanis yaitu, mengumpulkan buah yang terserang hama dan gugur untuk
dimusnahkan/dikubur
3) Biologis yaitu, menggunakan semut rang-rang untuk mengusir imago atau
menggunakan musuh alami lain yaitu lalat Tachinidea (Argyroplax basifulfa),
Ventura, sp.
4) Kimiawi yaitu, penyemprotan insektisida, seperti Basudin, Sumithion 50
AC, Thiodan 35 EC, dengan dosis 2-3 cc/liter air.
b) Lebah mini, gejala, bagian yang diserang ranting dan daun.
Gejala: penggerekan ranting-ranting muda dan memakan daun- daun muda.
Pengendalian yaitu, menggunakan parvasida, seperti Hostathion 40 EC
(Triazofos 420 gram/liter), dan insektisida, seperti Supracide 40 EC dosis
�
420 gram/liter dan Temik 106 (Aldikarl 10%).
c) Ulat penggerek bunga.
Gejala : kuncup bunga terserang akan rusak dan putiknya banyak yang
berguguran, benang sari dan tajuk bunga rusak semua, sedangkan kuncup dan
putik patah karena luka digerek ulat.
Pengendalian yaitu, menyemprotkan obat-obatan seperti Supracide 40 EC,
Nuvacrom SWC, Perfekthion 400 EC (Eimetoat 400 gram/liter).
d) Kutu loncat durian, bagian yang diserang daun.
Gejala : kutu loncat bergerombol menyerang pucuk daun yang masih muda
dengan cara menghisap cairan pada tulang-tulang daun sehingga daun-daun akan
kerdil dan pertumbuhannya terhambat; setelah menghisap cairan, kutu ini
mengeluarkan cairan getah bening yang pekat rasanya manis dan merata ke
seluruh permukaan daun sehingga mengundang semut-semut bergerombol.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu, dilakukan sanitasi kebun terutama daun kering
2) Mekanis yaitu, daun dan ranting-ranting yang terserang dipangkas dan
dimusnahkan
3) Kimiawi yaitu, menyemprotkan insektisida Supracide 40 EC dosis 100-150
gram/5 liter air.
e) Penggerek batang dan cabang.
Gejala : adanya lubang kecil bekas gerekan pada batang, dahan atau ranting
dan mengeluarkan cairan dan kotoran berwarna kemerahan, akibatnya tanaman
kering, daun layu/rontok dan mati.
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis, sanitasi kebun dari gulma dan tanaman inang seperti tanaman
jeruk, kopi, kakao, sirsak dll.
2) Mekanis, memotong bagian tanaman yang terserang 5 cm di bawah lubang
gerek, kemudian membakarnya supaya larva mati atau memasukkan kawat
ke dalam lubang gerekan sehingga larva mati karena tertusuk kawat.
3) Biologis, menggunakan musuh alami yaitu Brazon zeuzerae (fam. Tachinidea)
dan cendawan Beauveria bassiana.
4) Kimiawi, aplikasi parafin karbolinium plantarum dengan dosis 2 cc/L atau
menginfus tanaman menggunakan insektisida sistemik melalui batang atau
ujung akar.
f) Rayap, bagian yang terserang batang.
Gejala : adanya alur atau terowongan dari tanah yang menempel di batang.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu, membersihkan kebun dari sisa bonggol kayu atau gulma
dan membersihkan batang tanaman dari alur/terowongan rayap
2) Kimiawi yaitu, menggunakan Furadan disekeliling pohon dengan dosis 30-
50 gr/pohon atau aplikasi insektisida Decis 2,5 EC, Diazinon 600 EC sesuai
dosis anjuran.
g) Kumbang daun dan buah muda.
Gejala : adanya perubahan warna pada bagian yang terserang (warna
perunggu) serta permukaan atas daun terdapat bercak berwarna kekuningan.
Pengendalian dilakukan dengan cara:
1) Biologis, menggunakan musuh alami predator dari Fam. Coccinellidae dan
Chrysophidae.
2) Kimiawi, aplikasi akarisida Antimit 570 EC (bahan aktif progargit) dosis 7
�
cc/liter.
h) Penggerek biji.
Gejala : lubang pada kulit buah kemudian masuk ke dalam daging buah
hingga ke dalam biji.
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu, memusnahkan buah dan biji yang terserang
2) Mekanis yaitu,
membungkus/membrongsong buah terpilih sejak dini
pengasapan di bawah pohon pada sore hari untuk mengusir
imago
3) Kimiawi yaitu, penyemprotan dengan insektisida terdaftar dan berijin,
dilakukan setelah tanaman selesai berbunga.
i) Kutu dompolan, bagian yang terserang bunga dan buah.
Gejala : bunga dan buah muda yang terserang menjadi gugur. Pengendalian
dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu,
Pemupukan dan pengairan yang seimbang, sesuai rekomendasi
hindarkan tanaman durian dari tanaman inang hama
2) Mekanis yaitu, sanitasi lingkungan dengan memusnahkan bagian tanaman
yang terserang dan membersihkan gulma di sekitar tanaman durian
3) Biologis yaitu,
pemanfaatan musuh alami seperti semut hitam, cendawan parasit Empusa
fresenil, atau predator Cryptolaemus montrouzieri
penggunaan insektisida botani seperti larutan umbi bawang putih dicampur
cabai
4) Kimiawi yaitu,
aplikasi insektisida bila dijumpai kerusakan buah 20% setelah
penjarangan ketiga
mencegah datangnya semut yang membawa kutu, dengan cara melilitkan
kain, yang telah dibasahi insektisida, pada batang/cabang tanaman.
j) Tupai, bagian yang terserang buah.
Gejala : bagian permukaan kulit buah rusak sampai bagian daging buah.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Mekanis yaitu,
melakukan pembersihan tanaman terutama pada bagian yang menjadi
sarang tupai
mengusir tupai dengan cara gropyokan, perangkap,atau menembak
dengan senapan angin
2) Kimiawi yaitu, dengan umpan buah-buahan yang sudah diberi racun, seperti
Klerat atau Furadan.
2. Penyakit
a) Phytopthora parasitica dan Pythium complectens, bagian yang terserang buah.
Gejala : daun durian yang terserang menguning dan gugur mulai dari daun
yang tua; cabang pohon kelihatan sakit dan ujung- ujungnya mati, diikuti dengan
berkembangnya tunas-tunas dari cabang di bawahnya; kulit di atas permukaan
tanah menjadi coklat dan membusuk; pembusukan pada akar hanya terbatas
pada akar-akar sebelah bawah, tetapi dapat meluas dari ujung akar lateral sampai
ke akar tunggang; dilihat dari luar akar yang sakit tampak normal, tetapi jaringan
�
kulitnya menjadi colat tua dan jaringan pembuluh menjadi merah jambu.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu,
pilih bibit durian kerikil untuk batang bawah karena jenis ini lebih tahan
terhadap serangan jamur sehingga dapat terhindar dari serangan penyakit
busuk
upayakan drainase yang baik agar tanah tidak terlalu basah dan air
tidak mengalir ke permukaan tanah pada waktu hujan
2) Mekanis yaitu, pohon yang sakit dibongkar sampai ke akarnya dan dibakar.
b) Kanker batang.
Gejala : kulit batang durian yang terserang mengeluarkan blendok (gum)
yang gelap; jaringan kulit berubah menjadi merah kelam, coklat tua atau hitam;
bagian yang sakit dapat meluas ke dalam sampai ke kayu; daun-daun rontok dan
ranting-ranting muda dari ujung mulai mati.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu :
a) Perbaikan drainase agar air hujan tidak mengalir di permukaan tanah
b) menanam tanaman yang tahan terhadap penyakit tersebut
c) memangkas daun yang tidak produktif untuk mengurangi kelembaban
kebun
d) melakukan rotasi tanaman
e) melakukan pemupukan dengan pupuk organik/kandang yang dicampur
kapur dan mengupayakan pH tanah 6,5
2) Mekanis yaitu, eradikasi tanaman sakit parah/mati, kulit yang sakit
dikerok/dibuang sampai bagian yang sehat kemudian dibakar. Luka kerokan
dibuat oval meruncing di bagian tas dan bawah sehingga luka cepat tertutup.
Luka kerokan kemudian diolesi fungisida dan ditutup dengan karbolinum
3) Biologis yaitu, aplikasi jamur antagonis, Trichoderma
harzianum, ke permukaan tanah
4) Kimiawi yaitu, mengkored/mengupas kulit yang sakit sampai ke kayunya yang
sehat dan potongan tanaman yang sakit harus dibakar, sedangkan bagian
yang terluka diolesi fungisida, misalnya Difolatan 4 F 3%.
c) Jamur upas, bagian yang diserang cabang tanaman.
Gejala : pada cabang-cabang dan kulit kayu terdapat benang- benang jamur
mengkilat seperti sarang laba-laba pada cabang-cabang. Jamur berkembang
menjadi kerak berwarna merah jambu dan masuk ke dalam kulit dan kayu
sehingga menyebabkan matinya cabang.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu, memangkas bagian tanaman yang tidak produktif untuk
mengurangi kelembaban
2) Mekanis yaitu, jika jamur sudah membentuk kerak merah jambu
sebaiknya dilakukan pemotongan cabang kira-kira lebih 30 cm ke bawah ke
bagian yang berjamur dan dimusnahkan
3) Kimiawi,
Melumasi cabang yang terserang dengan fungisida, misalnya calizin RM
menyemprotkan Antrocol 70 WP (propineb 70,5%), dosis 100-200
gram/liter air atau 1-1,5 kg/ha aplikasi.
d) Busuk buah.
Gejala awal serangan terdapat bercak-bercak basah berwarna coklat
kehitaman pada kulit buah, kemudian busuk pada bagian yang terserang
terbentuk miselium dan sporangia berwarna putih.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu,
Perbaikan drainase supaya tanah tidak terlalu basah/lembab
areal pertanaman dibersihkan dari tanaman inang patogen seperti pepaya,
nenas, jeruk dan coklat
2) Mekanis yaitu,
memangkas daun dan dahan yang kurang diperlukan untuk mengurangi
kelembaban
pemusnahan buah yang terserang penyakit
menghindari buah hasil panen bersentuhan dengan tanah
tinggi cabang terbawah minimal 1 m.
e) Busuk akar.
Gejala : timbulnya bercak nekrotik pada akar lateral dimulai dari bagian ujung;
pada tingkat serangan yang tinggi, di atas permukaan tanah terdapat ujung
cabang pohon yang mati, diikuti dengan berkembangnya dari cabang di
bawahnya, daun layu dan gugur.
Pengendalian dilakukan dengan cara :
1) Kultur teknis yaitu,
perbaikan drainase agar tanah tidak terlalu lembab/basah
penggunaan batang bawah yang tahan penyakit
2) Mekanis yaitu,
menghindari luka mekanis pada bagian akar dan pangkal batang pada
waktu pemeliharaan tanaman
membongkar (eradikasi) tanaman yang terserang berat dan akarnya
dimusnahkan
3) Kimiawi yaitu, menggunakan fungisida sistemik dengan cara dikocorkan atau
diinfuskan ke akar
f) Bercak daun.
Gejala : adanya bercak-bercak kecil basah pada daun yang semakin
melebar, daun kemudian mengering dan gugur. Pengendalian dilakukan dengan
cara :
1) Kultur teknis yaitu, memperlebar jarak tanam.
2) Kimiawi yaitu, penyemprotan fungisida dan penyiraman yang teratur sejak dari
pembibitan
IV. Daftar Pustaka
Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Depatemen
Pertanian, 2006. Standard Operating Procedure (SOP) Durian Sitokong, Kabupaten
Kutai Kertanegara
Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian
Pertanian, 2010. Standard Operating Procedure (SOP) Durian Kajang, Kabupaten
Tanggamus
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. 2000. Tentang Budidaya Pertanian Durian (Bombaceae
sp).
PENINGKATAN MODAL SOSIAL
PENYULUHAN KEHUTANAN
Oleh
Pramono Dwi Susetyo
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang tertuang dalam
Undang- Undang No. 16 tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan pasal 3
dinyatakan bahwa tujuan pengaturan
sistem penyuluhan meliputi pengembangan
sumberdaya manusia dan peningkatan
modal sosial dan seterusnya. Dalam ayat
penjelasannya disebutkan bahwa
pengembangan sumberdaya manusia
antara lain peningkatan semanagat,
waawasan, kecerdasan, ketrampilan, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
membentuk kepribadian yang mandiri.
Sedangkan peningkatan modal sosial
antara lain pembentukan kelompok,
gabungan kelompok/asosiaisi, manajemen,
kepemimpinan, akses modal dan akses
informasi. Pembahasan yang
diinformasikan pada bab dibawah ini
adalah peningkatan modal sosial ditinjau
dari sektor kehutanan yang mungkin dapat
dijadikan sebagai reference untuk
dikembangkan lebih lanjut.
PEMBENTUKAN KELOMPOK
Dalam Keputusan Menteri
Kehutanan 132/Menhut- II/2004 tentang
Pedoman Umum Penyuluhan Kehutanan,
yang dimaksud dengan penyuluhan
kehutanan pada intinya adalah proses
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk
menguatkan dan mengembangkan
kelembagaan masyarakat serta
pendampingannya. Kelembagaan
masyarakat adalah kelompok masyarakat
didalam dan di sekitar hutan yang dibentuk
dan dikembangkan secara partisipatif,
bergerak dibidang usaha kehutanan yang
bersifat produktif berbasis ekonomi,
lingkungan ,sosial , budaya dan agama.
Jelas sudah bahwa dalam kegiatan
penyuluhan kehutanan harus terjadi
interaksi dan mengandung unsur penyuluh,
kelompok tani hutan (kelembagaan),
pemberdayaan dan pendampingan yang
terus menerus.
L. Suhardiyono, mendeskripsikan
bahwa kelompok tani (termasuk tani
hutan) adalah kumpulan sejumlah petani
yang memiliki kepentingan dan tujuan
yang sama dan terikat secara informal.
Dalam pembentukannya kelompok tani
biasanya dipimpin oleh ketua kelompok
yang dipilih atas dasar musyawarah dan
mufakat diantara anggota anggota
kelompok tani. Pada waktu pemilihan
ketua kelompok tani, sekaligus dipilih
kelengkapan struktur organisasi kelompok
tani yaitu sekretaris, bendahara, serta seksi
seksi yang akan mendukung kelompoknya.
Jumlah seksi seksi yang ada disesuaikan
dengan tingkat dan volume kegiatan yang
akan dilakukan dengan
mempertimbangkan jumlah anggota
kelompok yang ada. Masing masing
pengurus kelompok dan anggota kelompok
harus memiliki tugas, wewenang, dan
tanggung jawab yang jelas dan dapat
dimengerti oleh setiap anggota yang
diserahi tugas. Kelompok harus memiliki
dan menegakkan peraturan peraturan yang
berlaku bagi setiap anggota kelompoknya,
dengan sangsi sangsi yang jelas dan tegas.
Biasanya jumlah anggota kelompok
berkisar antara 10 sampai dengan 25 orang
anggota.
Disamping pengorganisasian
kelompok, tugas kelompok yang tak kalah
pentingnya adalah membuat administrasi
keanggotaan dan menyusun program kerja
kelompok tani. Selain itu kelompok tani
harus memantau hasil pelaksanaan
kegiatan untuk mengetahui hasil fisik
pekerjaan yang telah dicapai baik secara
kualitas maupun kuantitas hasil
pekerjaannya.
Guna kelompok tani dapat
berkembang dengan wajar, maka penyuluh
harus mengarahkan agar perkembangan
kelompok dapat berlangsung secara
dinamais , dan diarahkan agar kelompok
tani dapat mempersiapkan kader kader
pengurus kelompok yang akan menjadi
penerus dari generasi pengurus sekarang
demi kesinambungan dan eksistensi
kelompok tani dimasa yang akan datang.
Struktur Organisasi Kelompok Tani
Seringkali masyarakat yang tinggal
didalam dan sekitar hutan dibuat tidak
berdaya hanya karena aturan perudangan
yang mengukungnya, meskipun mereka
telah menetap turun temurun beberapa
generasi disana. Akses masuk kekawasan
hutan selama ini malah makin hari makin
dipersulit. Dengan telah terbitnya PP No 6
Tahun 2007 pengganti PP No.34 Tahun
2002 maka akses masyarakat kekawasan
hutan makin dibuka dan dipermudah.
Masyarakat tidak hanya dianggap sebagai
obyek tetapi dianggap sebagai subyek yang
harus terlibat dalam pemanfaatan kawasan
hutan yang telah menghidupinya bertahun
tahun.
Guna memperoleh manfaat SDH
secara optimal dan adil, dilakukan
Sekretaris Bendahara
Seksi II Seksi IIISeksi I
Ketua
pemberdayaan masyarakat setempat
melalui pengembangan kapasitas dan
pemberian akses dalam rangka
peningkatan kesejahteraannya. Yang
dimaksud dengan masyarakat setempat
adalah kesatuan sosial yang terdiri dari
Warga Negara Indonesia (WNI) yang
tinggal didalam dan atau disekitar kawasan
hutan yang memiliki komunitas sosial
dengan kesamaan mata pencaharian yang
bergantung pada hutan dan aktifitasnya
dapat berpenguruh pada ekosistem hutan.
Pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan melalui kegiatan Hutan Desa,
Hutan Kemsyarakatan dan Kemitraan.
Pada areal hutan yang belum dibebani ijin
pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan
hutan, dilakukan melalui Hutan Desa dan
Hutan Kemasyarakatan. Sedangkan pada
areal yang telah dibebani ijin pemanfaatan
hutan, pemberdayaan masyarakatnya dapat
dilakukan dengan Pola Kemitraan.
Dalam kegiatan hutan desa
pelibatan kelompok masyarakat terdapat
dalam pasal 87 (1) yang menyatakan
bahwa pemberdayaan masyarakat setempat
melalui hutan desa dilakukan dengan
memberikan hak pengelolaan kepada
lembaga desa. Sedangkan dalam kegiatan
hutan kemasyarakatan terdapat dalam pasal
96 (ayat 3) yang menyatakan bahwa
IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Hutan Kemasyarakatan) diberikan
kepada kelompok masyarakat setempat
berupa koperasi.
Salah satu kegiatan baru dan
sedang digalakkan pemerintah sekarang
adalah kegiatan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR). Meskipun aspek bisnis (ekonomi)
ditonjolkan sebagaimana Hutan Tanaman
Industri, namun tak kalah pentingnya unsur
pemberdayaan masyarakat sangat kuat.
Masyarakat didalam dan disekitar hutan
harus menjadi subyek dalam kegiatan ini
dengan membentuk kelompok berupa
koperasi misalnya. Kementerian
Kehutanan telah mengalokasikan kawasan
hutan produksi yang terindikasi tidak
produktif untuk ditetapkan sebagai areal
HTR seluas 5,4 juta hektar. Untuk realisasi
pelaksanaannya, pada tahap pertama akan
dilakukan klarifikasi kondisi riil
dilapangan. Kawasan hutan produksi
tersebut tersebar pada 8 propinsi yaitu
Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel untuk
Sumatera dan Kalbar, Kalsel, Kalteng dan
Kaltim untuk Kalimantan dan 102
kabupaten di P. Sumatera dan Kalimantan.
Alokasi lahan tersebut direncanakan
selesai tahun 2010, dengan asumsi bahwa
alokasi lahan untuk pembangunan HTR
setiap tahun rata rata 1,4 juta hektar.
Penetapan lokasi didua pulau besar
tersebut karena pertimbangan bahwa
konsentrasi industri perkayuan Indonesia
masih terfokus di lokasi tersebut.
Kelompok Pelaku Utama
Masyarakat yang menjadi binaan
penyuluh kehutanan dikenal dengan
kelompok tani hutan , yang dikembangkan
dengan pendekatan berbasis lingkungan,
ekonomi dan sosial. Berdasarkan data yang
ada saat ini, jumlah kelompok binaan yang
tercatat sebanyak 27.363 kelompok tani
dengan jumlah anggota 1.328.040 orang.
Berdasarkan klasifikasi tingkatan
kemampuannya maka sebagian besar
jumlah kelompok tersebut, yakni 48 %
masih tergolong kelas pemula, sedangkan
20 % kelompok tani madya, 28 %
kelompok tani lanjut, sisanya 4 %
merupakan kelompok tani utama.
Kelompok pelaku utama yang sudah ada
dan harus ada dalam kegiatan
pembangunan kehutanan adalah kelompok
tani Hutan Kemasyarakatan, kelompok tani
Hutan Desa, kelompok tani Hutan
Tanaman Rakyat, kelompok tani PHBM
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)
yang dilakukan Perum Perhutani di P.
Jawa, kelompok tani Program Sosial
Forestry, kelompok tani melalui PMDH
(Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) oleh
Pengusaha HPH dan kelompok tani hutan
lainnya.
Kelompok Pelaku Usaha
Kelompok pelaku usaha biasanya
tergabung dalam asosiasi asosiasi seperti ;
APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia), Apkindo (Asosiasi Pengusaha
Kayu Lapis Indonesia), Asmindo (Asosiasi
Industri Permebelan dan Kerajianan
Indonesia), API (Asosiasi Perlebahan
Indonesia), Asosiasi Mebel Rotan
Indonesia, Asosiasi Pulp dan Kertas
Indonesia, Asosiasi Masyarakat Pengusaha
Industri Penggergajian Kayu Indonesia,
dan asosiasi hasil hutan dan industri kecil
kehutanan lainnya.
GABUNGAN KELOMPOK/ASOIASI
Dalam kegiatan penyuluhan
kehutanan gabungan kelompok tani
(Gapoktan) hutan masih belum dikenal
luas karena kegiatan pembangunan
kehutanan masih bersifat parsial tidak
sebagaimana kegiatan pembangunan
pertanian yang mengenal adanya hamparan
sehingga gapoktan sangat dibutuhkan.
Untuk masa yang akan datang, dengan
adanya program baru HTR dalam
pembangunan kehutanan bukan mustahil
apabila diperlukan adanya gapoktan hutan,
mengingat kegiatan ini membutuhkan
lahan dan hamparan hutan yang cukup
luas.
Bagi pelaku usaha besar dibidang
kehutanan telah dikenal adanya asosiasi
pengusaha sesuai dengan jenis usahanya
sebagaimana telah dibahas diatas.
MANAJEMEN
Manajemen dalam arti luas
menurut Sondang P. Siagian adalah seni
memperoleh hasil melalui berbagai
kegiatan yang dilakukan oleh orang lain.
Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam
kegiatan manajemen terdapat fungsi fungsi
manajemen yang sangat pokok yaitu
perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan.
Dalam UU No. 16 Tahun 2006,
kegiatan perencanaan penyuluhan
dituangkan dalam programa penyuluhan.
Programa penyuluhan terdiri atas programa
penyuluhan desa/keluruhan atau unit kerja
lapangan, programa penyuluhan
kecamatan, programa penyuluhan
kabupaten/kota, programa penyuluhan
propinsi, dan programa penyuluhan
nasional. Programa penyuluhan disusun
setiap tahun yang memuat rencana
penyuluhan tahun berikutnya dengan
memperhatikan siklus anggaran masing
masing tingkatan mencakup
pengorganisasian dan pengelolaan
sumberdaya sebagai dasar pelaksanaan
penyuluhan. Kegiatan pengorganisasian
dinyatakan dalam pembentukan organisasi
kelembagaan berupa Badan Koordinasi,
Badan Pelaksana, Balai Penyuluhan dan
Pos Penyuluhan.
Kegiatan pelaksanaan penyuluhan
dilakukan oleh penyuluh dengan menyusun
dan melaksanakan rencana kerja tahunan
berdasarkan program penyuluhan.
Pemerintah melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyuluhan yang
diselenggarakan baikm oleh pemenrintah
daerah maupun swasta atau swadaya.
Pada manajemen tingkat kelompok
tani hutanpun harus berlaku sebagimana
fungsi fungsi manajemen yang ada.
Tingkat perencanaan diimplementasikan
dalam program kerja kelompok yang
disusun bersama secara partisipatif,
ditingkat pengorganisasian dibentuk
kelompok dengan struktur dan tanggung
jawab yang jelas. Sedangkan ditingkat
pelaksanaan anggota kelompok saling bahu
membahu untuk melaksanakan progam
kerja yang telah disusun guna mencapai
tujuan bersama yang saling
menguntungkan.
Pengawasan harus dilakukan untuk
mengetahui keberhasilan pelaksanaan dan
sekaligus dilakukan evaluasi untuk
perbaikan dimasa yang akan datang.
KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan diartikan sebagai
kegiatan mempengaruhi orang orang agar
suka berusaha mencapai tujuan tujuan
yang telah ditetapakan kelompok
(Moekiyat,1989). Lebih lanjut Siagian
(1987) mengatakan bahwa inti dari
manajemen adalah pengambilan keputusan
yang tepat. Sedangkan dalam pengambilan
keputusan faktor utama yang menonjol
adalah kepemimpinan yang efektif. Dalam
penyelenggaraan penyuluhan
kepemimpinan yang efektif berada
ditangan Kepala Badan Penyuluhan baik di
tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota,
Kepala Balai maupun Kepala Pos
Penyuluhan. Disamping itu para penyuluh
baik ditingkat ahli maupun terampil secara
fungsional melekat jiwa kepemimpinan
dalam membina dan mendampingi
masyarakat. Dalam organinasi kelompok
tani, kepemimpinan berada dan menjadi
tanggung jawab ketua kelompok.
AKSES MODAL
Akses modal, akses pasar dan akses
informasi merupakan satu kesatuan
komponen yang tak terpisahkan dalam
kegiatan yang ekonomi (binis). Dalam
skala petani biasanya modal merupakan
faktor utama dalam memulai,
menggerakkan dan membesarkan kegiatan
agrisilvobisnis. Berbagai upaya pemerintah
telah ditempuh untuk membantu
permodalan petani hutan dengan skim
kredit yang murah dan mudah. Sebagai
contoh Kementerian Kehutanan sejak
tahun 1988/1989 telah menyalurkan Kredit
Usaha Tani Konservasi Daerah Aliran
Sungai (KUKDAS) dan pada tahun
1993/1994– 1997/1998 diperluas di 21
propinsi di Indonesia. Penyaluran KUK-
DAS kepada petani mencapai Rp. 41,9
milyar. Sejak tahun 1997 penyaluran
kredit ini diperluas untuk kegiatan Kredit
Usaha Hutan Rakyat (KUHR) dan Kredit
Usaha Persuteraan Alam (KUPA). Sampai
dengan tahun 2000, penyaluran KUHR
mencapai Rp. 107, 5 miyar dan KUPA
mencapai Rp. 29,7 milyar. Namun sayang
ketiga jenis kredit murah untuk petani ini
berhenti karena berbagai hal dan kendala.
Mulai awal tahun 2007, pemerintah
mengenalkan program/kegiatan baru
kepada petani hutan berupa Hutan
Tanaman Rakyat yang juga mendapat
bantuan permodalan dari pemerintah.
Pemerintah mengalokasi dana Rp.
9,7 triliun untuk pembangunan HTR
tersebut. Menteri Keuangan selaku
pemegang otoritas keuangan telah setuju
dengan membentuk Badan Layanan Umum
(BLU) di Kementerian Kehutanan dengan
nama Badan Pembiayaan Pembangunan
Hutan (BP2H) dengan sumber pembiayaan
dari Dana Reboisasi (DR) Rekening
Pembangunan Hutan.
Kegiatan pembangunan HTR ini
diharapkan akan dapat menyerap tenaga
kerja sebanyak 360 ribu kepala keluarga
(KK), dengan luasan 15 hektar setiap KK.
Disamping itu, saat ini pemerintah melalui
Kementerian Negara Koperasi dan UKM
telah menyiapkan Kredit Usaha Kecil dan
Menengah (KUKM) untuk masyarakat
kecil dan menengah termasuk diantaranya
dapat dimanfaatkan oleh petani.
AKSES INFORMASI
Akses informasi adalah
kemampuan kelompok tani/petani
memanfaatkan informasi yang terkait
dengan usaha melalui berbagai sarana dan
prasarana yang ada, dengan cara yang
mudah, murah dan cepat. Akses informasi
dapat diperoleh melalui berbagai cara dan
sarana. Media massa surat kabar, radio,
telivisi merupakan sarana efektif untuk
memperoleh informasi. Teknologi terbaru
yang kini dikenal cepat, mudah dan murah
adalah melalui internet yang dapat
menembus batas negara, ideologi, agama
dan sebagainya. Melalui internet petani
dapat dengan mudah mengakses pasar,
modal, paket teknologi terbaru bahkan
dapat berkomunikasi melalui surat
elelektronik (email) dengan sesama petani
dimana saja dan kapan saja. Dibidang
pertanian, akses informasi nampaknya
telah lebih maju satu langkah. Microsoft
raksasa di perangkat lunak (software)
komputer menggandeng Institut Pertanian
Bogor (IPB) dukung revitalisasi pertanian
lewat Teknologi Informasi (TI). Melalui
program ini Microsoft akan mendirikan
pusat belajar berbasis masyarakat yang
disebut Community Training Learning
Center (CTLC) untuk petani didaerah yang
memiliki keterbatasan akses terhadap
informasi. Enam diantaranya ditempatkan
di Jawa Barat dan satu di Kalimatan
Timur. Diharapkan pemenuhan kebutuhan
akan akses informasi menjadi salah satu
upaya mengurangi ketergantungan petani
kepada tengkulah, dapat memperluas
pasar, meningkatkan produksi,
meningkatkan taraf hidup dan terus
mengembangkan pengetahuannya dengan
petani lain.
PENYULUH KEHUTANAN EX OFFICIO
Oleh Pramono DS
Kepala Bagian Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan
Sekretariat Badan P2SDM Kehutanan
Sungguh naif bilamana seorang Kepala Balai Taman Nasional (BTN) misalnya, kurang
berminat dan selalu menghindar untuk bertemu serta bermusyawarah dengan masyarakat yang
merambah kawasan hutan di wilayah kerjanya. BarangkaliKepala BTN ini lupa atau kurang
menyadari bahwa secara ex officio, karena jabatannya;yang bersangkutan merangkap sekaligus
sebagai fungsi penyuluh kehutanan– meskipun bukan jabatan fungsional penyuluh- yang harus
berinteraksi dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
UU Nomor 16 Tahun 2006 hanya mengenal tiga kriteria penyuluh yaitu penyuluh PNS,
penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Pengertian penyuluh kehutanan adalah perorangan
warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Merujuk pada pengertian
penyuluh tersebut maka setiap kepala satuan kerja (Satker) tingkat pusat maupun daerah
khususnya Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di lapangan karena jabatannya
(ex officio) sadar maupun tidak sadar, telah melakukan kegiatan penyuluhan di lapangan.
Bentuknya dalam kegiatan pendampingan, pemberdayaan, sosialisasi dan sejenis yang
melibatkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Yang termasuk dalam katagori Penyuluh
Kehutanan Ex Officio (PKEO) ini antara lain adalah Polisi Kehutanan dan PPNS digarda depan,
Kepala UPT seperti Taman Nasional (TN), Balai Koservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) , Balai
Pengelolaan DAS (BPDAS), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pemantauan
Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP), Balai Sutera Alam (BPA), Balai Perbenihan Tanaman
Hutan (BPTH) dan UPT lainnya. Di tingkat pusat yang menyandang PKOE adalah Menhut,
dirjen teknis, Kepala Badan P2SDM Kehutanan, Kepala Badan Litbang dan Kepala Pusat
Penyuluhan. Di tingkat daerah, satker yang masuk jajaran PKOE adalah Kepala Dinas
�
Kehutanan Provinsi/Kabupaten, Sekretaris Bakor Penyuluhan Provinsi dan Kepala Bapel
Penyuluhan Kabupaten/Kota, para pemangku hutan di jajaran BUMN sektor kehutanan.
Di Pulau Jawa misalnya, Perum Perhutani selaku BUMN pemangku kawasan hutan di
Jawa; sudah sejak beberapa tahun terakhir ini telah melaksanakan fungsi ex officio sebagai
penyuluh bagi para petugas dijajaran depan yaitu Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH)
atau lebih dikenal dengan sebutan Mantri Hutan.
Dengan slogan ”drop the gun” para Mantri Hutan ini dididik dan dilatih di Pusdiklat
Perhutani Madiun tentang pengetahuan komunikasi sosial(komsos) yang salah satu materi
ajarnya adalah tentang ilmu penyuluhan. Pada level jajaran diatasnya yaitu KBKPH atau Asper
juga diterapkan pelatihan yang sama. Seyogyanya hal ini juga berlaku untuk level pemangku
hutan Perum Perhutani pada manajemen paling atas yaitu KKPH atau Administratur yang materi
ajarnya sudang barang tentu berbeda pada setiap jenjang manajemennya.
Pada era sekarang, Mantri Hutan tidak hanya bertugas menjaga keamanan kawasan
hutannya, tetapi juga harus mampu untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar
tentang program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
VIP Penyuluhan Kehutanan
Guna memperoleh manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna dari sinergitas antara
PKOE dan PK maka PKOE perlu terlebih dahulu mendalami VIP Penyuluhan Kehutanan. VIP
yang dimaksud adalah visi, interpretasi dan persepsi tentang penyuluhan kehutanan.
Visi tentang penyuluhan kehutanan berarti harus memahami tentang Renstra
Kementerian Kehutanan 2010– 2014 yang menyangkut tupoksinya sendiri yang lebih teknis
maupun penyuluhan dan Renstra Badan P2SDMK yang sementara dalam proses penyusunan.
Dalam Renstra Kemhut tersebut disebutkan bahwa dalam misi ke 7 (tujuh) atau terakhir dari 7
(tujuh) misi Kemhut adalah mewujudkan sumberdaya manusia kehutanan yang professional.
Misi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas SDM kehutanan yang professional melalui
pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan kehutanan.Sedangkan sasaran strategisnya adalah
�
terbentuknya 50 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peranserta pelaku utama dan pelaku
usaha dalam pemberdayaan masyarakat. Program, kegiatan dan indikator kinerja penyuluhan
kehutanan adalah terbentuknya 50 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peranserta pelaku
utama dan pelaku usaha dalam pemberdayaan masyarakat, terbentuknya 500 kelompok
masyarakat produktif mandiri dan sertifikasi PK sebanyak 1500 orang.
Interpretasi atau penafsiran tentang penyuluhan kehutanan antar PKOE dari pusat dan
daerah harus sama. Dengan adanya UU No. 16 tahun 2006 , sasaran penyuluhan kehutanan telah
bergeser dan lebih fokus pada masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Semua
kegiatan yang terkait dengan pemberdayaan, pendampingan dan sosialisasi PK dan penyuluhan
hadir disana baik secara fisik maupun psikis.
Secara kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan didaerah harus
berkoordinasi dengan Badan Koordinasi (Bakor) Penyuluhan ditingkat provinsi dan Badan
Pelaksana (Bapel) Penyuluhan ditingkat kabupaten/kota. Sebagai turunan dari UU ini telah terbit
PP 43 tahun 2009 tentang pembiayaan, pembinaan dan pengawasan penyuluhan pertanian,
perikanan dan kehutanan.
Dalam PP ini telah diperjelas dan dipertegas tentang biaya penyelenggaraan penyuluhan,
biaya operasional kelembagaan penyuluhan, biaya operasional penyuluh PNS, biaya pengadaan
dan pemeliharaan sarana & prasarana dan tunjangan profesional dan profesi.
Sementara itupersepsi atau pemahaman tentang penyuluhan kehutanan PKOE perlu
ditingkatkan dan dikembangkan. Melalui Permenhut No. P.9 tahun 2011 tentang pelimpahan
sebagian urusan pemerintahan (dekonsentrasi) bidang kehutanan 2011 kepada 33 Gubernur
pemerintah provinsi selaku wakil pemerintah termasuk di dalamnya adalah urusan penyuluhan.
Jenis urusan pemerintahan yang dilimpahkan dalam penyuluhan adalah pembinaan penyuluhan,
fasilitasi penyuluhan, monitoring & evaluasi penyuluhan.
Melalui Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pelaksanaan dan Teknis Dana
Dekonsentrasi Penyuluhan yang diterbitkan setiap tahun, pembinaan penyuluhan antara lain
meliputi kegiatan admnistrasi, peningkatan kapasitas SDM, pengembangan materi, biaya
operasinal penyuluh. Fasilitasi penyuluhan antara lain meliputi kegiatan peningkatan ketrampilan
masyarakat, percontohan pemberdayaan masyarakat, demplot penyuluhan terpadu, sedangkan
monev penyuluhan penyuluhan terdiri dari kegiatan lomba Penghijauan dan Konsevasi Alam
(PKA) dan monitoring & evaluasi itu sendiri.
Disamping itu sudah sejak beberapa tahun terakhir ini, melalui DAK Kehutanan yang
diberikan kepada daerah kabupaten dan kota ; sebagian dananya dialokasikan untuk mendukung
kegiatan penyuluhan berupa pengadaan sarpras penyuluhan. Sarana & prasarana tersebut
meliputi pengadaan kendaraan bermotor roda dua, komputer, infocus dan lain lain yang
digunakan untuk kegiatan penyuluhan kehutanan serta pengembangan demplot untuk
mendukung penyuluhan kehutanan. Pengadaan sarana & prasarana penyuluhan kehutanan
disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Potensi ” Penyuluh Kehutanan ”
Tanpa mengengesampingkan upaya untuk melakukan rekruitmen Penyuluh Kehutanan
(PK) yang baru, maka sesungguhnya potensi SDM penyuluh kehutanan yang legal maupun ex
officio cukup besar. Terlepas dari kontroversi sepakat tidaknya istilah Penyuluh Kehutanan Ex
Officio (PKOE), berdasarkan data yang ada- PKOE ini diprediksi tidak kurang 4000 orang baik
di lingkup Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota,
Bakorluh/Bapelluh, maupun BUMN sektor kehutanan.
Secara kuantitatif, potensi PKOE tersebut cukup besar baik dijajaran tingkat pusat
maupun didaerah. Andaikata potensi PKOE dan Penyuluh Kehutanan (PK) terjadi sinergi dalam
melaksanakan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan secara keseluruhan, maka betapa
besarnya manfaat yang akan diperolehnya.
Pertemuan/rapat bilaterial antara jajaran Badan Penyuluhan dan SDM Kehutanan
(BP2SDMK) dengan lingkup jajaran Eselon I merupakan wahana yang sangat tepat untuk
membahas tentang program/kegiatan yang dapat disinkronkan untuk menjadi materi penyuluhan
yang aktual dan dapat diimplementasikan dilapangan. Benang merah masalah penyelenggaraan
penyuluhan kehutanan khususnya maupun kegiatan pembangunan kehutanan umumnya
diharapkan dapat diuraikan satu persatu menjadi satu kesatuan yang integral, terprogram, terarah
�
dan aplikabel. Rapat bilateral dengan para pihak dapat lebih diperluas lagi misalnya melibatkan
BUMN sektor kehutanan seperti Perum Perhutani dan Inhutani. Disamping itu, pertemuan
semacam ini dapat dibudayakan untuk dilakukan secara berkala minimal setiap triwulan
sehingga hal hal baru yang bersifat aktual dapat diikuti perkembangan dilapangan. Sebaliknya
ditingkat pengambil kebijakan dapat memperoleh feetback dari perkembangan dilapangan yang
selalu dinamis. Sinergitas antara PK dan PKOE yang dapat dimanfaatkan secara powerful, sangat
membantu Badan P2SDM Kehutanan selaku penanggungjawab penyelenggaraan penyuluhan
kehutanan dalam melaksanakan tugasnya ditengah tengah keterbatasan jumlah SDM penyuluh
maupun alokasi anggaran yang ada. Semoga.
P
TEKNOLOGI PEMBUATAN ARANG DAN CUKA KAYU ( Wood Venegar)
N. JAOJAH, SP
Penyuluh Kehutanan Kabupaten Cianjur
1. Pengertian Arang dan Cuka
Arang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon yang
berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar dari pori-porinya masih tertutup dengan
hidro-karbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air,
nitrogen dan sulfur. Proses pengarangan akan menentukan dan berpenga-ruh terhadap
kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994). Proses pembuatan arang
dilakukan dengan cara memanaskan dalam suatu tempat tertutup (kiln) tanpa kontak
dengan udara langsung pada suhu 400 - 6000 C. Kiln dapat terbuat dari bata, logam
atau tanah liat
Cuka kayu adalah hasil destilasi pembakaran kayu yang banyak mengandung
berbagai macam unsur hara mikro yang bermanfaat untuk tanaman. Manfaat Cuka
kayu antara lain (1) Mempercepat tumbuh tanaman, (2) Mengatasi tumbuh tanaman
liar (3) Menghilangkan bau tidak sedap (4) Menghambat pertumbuhan mikro organism
(5) Mencegah tumbuh jamur-jamur (6) Menolak kehadiran binatang kecil (7) Sebagai
Farmasi (obat-obatan).
Pada saat ini hasil peralatan Alat Pendingin Asap dan proses untuk memproduksi
cuka kayu dari pembuatan arang telah berhasil untuk mendapatkan Hak Paten dari
Pemerintah Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Paten Ditjen Hak Kekayaan
Intelektual Kementerian Hukum dan HAM dengan sertifikat Paten No ID.POO28528
tanggal 13 Juni 2011 dan pada tanggal 26 Nopember 2012 telah diselenggarakan
promosi paten kepada pengguna di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta.
Cuka kayu/Wood vinegar, Cairan distilat, pyrolegneous acid, asap cair, cairan
arang, miracle charcoal water (Jepang) berasal dari kondensat asap proses pembuatan
Q
arang berupa cairan, warna hitam-kuning, bau menyengat, sifat asam, berbagai macam
jenis komponen kimia.
Berdasarkan Surat keterangan dari Puslitbang Hasil Hutan Bogor Nomor
KT.9/VIII /P3KKPHH-6/2011, dan hasil uji laboratorium tingkat keasaman (pH) sebesar
3,89-3,92, kandungan asam asetat 1,36 - 1,44%, berat jenis 1,0152 dan phenol
sebesar 0,0554 -0,0611%. Hasil analis GCMS komponen kimianya terdiri dari asam
asetat, phenol, furfril akohol. Kandungan hara Mn = 1,03 - 1,05 ; Na = 1,37 - 8,04; Mg
= 7,94 – 13,37; Ca = 9,08 -9,85; Fe = 337,40 – 344,75; K = 540,05 – 548,90 sesuai
dengan surat Kepala Pustekolah Nomor KT.9/VIII /P3KKPHH-6/2011 bahwa Cuka kayu
dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida dan bio fertilizer pada tanaman.
2. Proses Pembuatan Arang Dan Cuka Kayu
Persiapan Bahan Baku
Proses pembuatan arang dengan
metode karbonisasi telah dikenal baik ini
dapat dibuktikan dengan data ekspor
arang termpurung kelapa ke manca
Negara. Hal yang baru dari proses adalah
limbah asap proses karbonisasi yang
selama ini di buang bebas ke udara,
dimanfaatkan menjadi cairan cuka kayu sebagai produk tambahannya. Denngan cara
mengatur proses karbonisasi secara terpadu dihasilkan selain arang kayu berkualitas
baik dihasilkan juga cuka kayu yang banyak kegunaannya. Selain bahan kayu untuk
produksi arang dan cuka kayu, pada tungku drum ini dapat pula digunakan bahan kayu
atau potongan limbah kayu diameter kecil dan limbah seleberan dari industri
penggergajian kayu.
Bahan baku kayu yang berasal dari limbah pembukaan ladang, berupa kayu sisa
potongan cabang yang sudah tidak bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, serta
R
berukuran diameter 5-10
panjang 10-20 cm. Selain i
“dolog” berukuran besar
digunakan, namun perlu d
dibelah sesuai dengan uk
dikehendaki serta sesuai deng
tungku drum. Selain itu dap
bahan baku berupa tempu
sekam padi, ranting daun, dsb.
Proses Pembakaran
a. Cara pembakaran
Pada bagian dasar tungku
b. Pendinginan arang
±
ya
ke
R
cm dengan
itu, potongan
r juga dapat
dipotong dan
ukuran yang
engan kapasitas
apat digunakan
purung kelapa,
sb.
ku drum diberi ganjal dengan bata setinggi ±
3 lokasi titik. Selanjutnya, d
diberi potongan kayu baka
kayu kering yang telah diber
tanah. Setelah api dinya
sampai nyala bara api mere
tungku melalui lubang u
bahan baku kayu yang ter
tungku dapat terbakar denga
Proses pengarangan biasa memerlukan
± 7 sampai 9 jam - bila kayu relatif basa
yang keluar sudah terlihat menipis puti
kebiru-biruan, lubang udara di bagian
R
i ± 5-10 cm, pada
, di bawah tungku
kar atau serutan
iberi sedikit minyak
yalakan, tunggu
erembet ke dalam
udara sehingga
terdapat di dalam
gan sempurna.
kan waktu selama
sah. Apabila asap
utih atau bening
n bawah tungku
S
ditutup serapat mungkin dengan diberi pasir atau tanah.
Untuk memulai proses pendinginan, di bagian atas penutup
tungku diberi tanah atau pasir serta cerobong asap ditutup
dengan kain basah atau rumput yang rapat dan kemudian
dilapisi tanah, sehingga tidak ada udara yang masuk ataupun keluar.
c. Pemanfaatan asap pembakaran untuk cuka
Cuka kayu (wood vinegar) Asap hasil pembakaran pada proses pembuatan arang
kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan cuka kayu (wood vinegar).
Kegiatan ini bisa dilakukan pada saat pembuatan arang dengan menggunakan metode
tungku lubang tanah sertadrum. Beberapa manfaat dari cukakayu, antara lain dapat
digunakan sebagai insektisida dan herbisida organik. Hal ini berarti pemanfaatan cuka
kayu sebagai insektisida akan lebih aman bagi lingkungan.
Batang bambu yang sudah dipotong dan dilubangi dipasangkan pada bagian atas
cerobong asap, serta diusahakan agar sebagian besar asap masuk melewati batang
bambu. Semakin panjang batang bambu yang digunakan, proses pendinginan akan
menjadi lebih baik. Hal ini karena luas permukaan pada bambu bagian dalam untuk
proses pendinginan semakin besar.
Pembentukan Arang Dan Cuka Kayu
Pengambilan cairan asap dilakukan dengan lima tahapan, yang pertama cairan asap
ditampung mulai dari awal sampai suhu asap mencapai 80o C, yang kedua cairan asap
diambil pada suhu 100oC, yamg ketiga diambil pada suhu 150oC, yang ke empat pada
suhu 125oC dan yang terakhir pada suhu 1800C.
a. Asap Cair/Cuka Kayu
Asap cair pada umumnya tercampur dengan taringan yang mengapung dibagian
atas cairan dan tar berat yang mengandung bagian bawah cairan. Asap yang baik
T
terbebas dari kedua jenis tar ini dan
dapat dipisahkan dengan cara
membiarkan 1-3 bulan atau dengan
cara mendetilasi. Kualitas asap cair
(wood vinegar) yang baik berwarna
kuning, bau agak lemah, transparan
atau tidak ada gumpalan atau
suspensi kadar asap organic berkisar
1-18%, berat jenis lebih 1,001 gr/cm dan derajat keasaman (pH) 1,56-3,7.
b. Hasil Arang
Arang yang dihasilkan dengan cara tersebut sifat dan karakternya bersifat baik. Hal
ini dibuktikan dari hasil pengujian kadar air, abu, zat terbang, karbon tertambat nilai
kalor dan derajat kemurnian hasil pengujian arang yang telah dilakukan dari setiap hasil
uji coba pembuatan arang.
3. Manfaat dan Aplikasinya
Cuka kayu bagi tanaman dapat dimanfaat sebagai Biopestisida dan BioFertilzer
Manfaat Cuka kayu,
a) bagi tanaman
1) Merangsang pertumbuhan pokok dan sayuran.
2) Menguatkan akar dan daun.
3) Menyuburkan tanah.
4) Menanbah rasa asli kepada hasil pertanian dan juga produk-produk berkaitan
5) Menghalang pembiakan virus dan penyakit dalam tanah.
6) Menghalang virus dan seranggan perusak untuk memperbaiki keadaan tanah
7) Menambah kuantitas mikrob yang berguna.
8) Menghalau serangga perusak.
U
9) Mengelakkan penyakit yang disebabkan oleh bakteria.
10) Menambah baik kualits buah dan menambah kandungan gula dalam buah.
11) Sebagai pemangkin tumbesaran biji benih.
12) Sebagai bahan tambahan kepada baja kompos. Membantu hewan ternak
lebih sehat dan melindungi dari penyakit. Menjadikan daging hewan dan
susu lebih berkualitas
b) Bagi Kesehatan,
Cuka kayu bagi kesehatan dapat digunakan untuk mengurangi bau busuk,
sebagai obat jerawat kudis dan Deodoran, aroma ikan, keperluan mandi,
farmasi, laundry, pengusir rayap/binatang kecil dll.
Aplikasi Cuka kayu telah diterapkan di Kawasan Wisata Terpadu Dewi Sri
Bojongpicung, Kab. Cianjur
Cuka Kayu ini sudah diaplikasikan pada tanam padi oleh KWT Dewi Sri
Bojongpicung pada luasan 1400 M2 ( 100 tumbak ) dan menghasilkan gabah kering
panen sebanyak 1.200 Kg ( 12 kwt), juga telah di coba oleh Penyuluh Kehutanan
dengan luasan 700 M2 (50 tumbak) dan menghasilkan gabah kering panen sebanyak
550 Kg. Dosis untuk tanaman padi yaitu 1 ltr Cuka Kayu dengan 50 ltr air, waktu
pemberian bisa 4 – 5 kali penyemprotan yaitu pada umur :30 hari setelah tanam.
Penyemprotan cuka kayu dilakukan 4--5 kali pada konsentrasi 0,25% selang
tujuh hari. Waktu penyemprotan antara pukul 7-10 pagi. Selain itu, cuka kayu berfungsi
sebagai pupuk dan pestisida dapat diterapkan pada tanaman sayuran seperti buncis,
kacang panjang, kubis, ketimun
Tanaman sayuran yang dipupuk pada takaran yang biasa digunakan oleh
penyuluh/petani sayur disemprot dengan cuka kayu konsentrasi 2% dilakukan pada
umur sayuran satu bulan setelah tanam dengan selang tujuh hari sampai masa panen.
Tanaman sayuran yang disemprot dengan cuka kayu tidak perlu disemprot dengan
pestisida
V
Pemanfaatan cuka kayu pada tanaman stek pucuk dengan cara penambahan
pada media hingga basah pada konsentrasi cuka kayu 0,5% dilakukan sebelum stek
pucuk ditanam. Setelah satu bulan tanam disemprot pada tanah/media sebanyak 1
ml/polibag pada konsentrasi cuka kayu 1% dengan selang tujuh hari sampai mencapai
tinggi yang diinginkan. Untuk tanaman bibit, penyemprotan cuka kayu dilakukan pada
konsentrasi 1,5--2% dengan selang 7--10 hari. Sudah diaplikasikan pada bibit jati dan
pinus di Persemaian Pongdok Landak Haurwangi KPH Cianjur.
Aplikasi Cuka Kayu pada Jerawat & Bau Badan
1) Oleskan pada ketiak untuk menghilang bau tidak menyenangkan sebelum
menggunakan pewangi biasa.
2) Oleskan pada muka berjerawat, biarkan 5 menit dan bilas dengan air bersih setiap
hari
Aplikasi Cuka Kayu pada Penyakit Kulit
1) Oleskan pada kaki yang bermasalah atau rendam kaki pada larutan 10% gred
kosmetik.
2) Untuk masalah yang kritikal, basahkan kapas dengan cuka kayu asli gred kosmetik
dan kepitkan di celah-celah jari kaki.
3) Oleskan pada kulit yang menghadapi masalah alahan, bilas selepas 5 menit atau
bancuh 2 sendok teh cuka kayu asli ke tab mandi. Ini akan menghilangkan gatal-
gatal, alahan dan memulihkan penyakit kulit.
4) Sapu cuka kayu asli menggunakan putik kapas pada kutil/ketiak akan melembut
dan mematikan sel-sel seterusnya menghaluskan kulit.
5) Kaedah mandian juga akan mematikan sel-sel ketiak secara jangka panjang.
Aplikasi cuka kayu pada pembibitan Albazia dilaksanakan di Kecamatan Pegelaran
dengan cara disemprotkan pada tanaman setiap seminggu sekali.
W
Lain-lain Aplikasi
1. Persiapan
a) Alat - alat yang diperlukan :
1. Golok
2. Gergaji
3. Drum pembakaran lengkap dengan pendingin
4. Botol kemasan
5. Label
b) Bahan-bahan yang diperlukan dalam keadaan basah :
1. Kayu limbah
2. Batok Kepala
3. Bambu
2. Langkah Kerja
1. Bahan-bahan dari kayu atau bambu di potong-potong ± 20 cm ( Kayu atau
bambu dalam keadaan basah)
2. Dimasukan kedalam drum sampai penuh
3. Pemetikan api dilakukan dari lubang yang sudah tersedia.
4. Api merambat ke atas maka terjadi pembakaran kayu di dalam drum.
5. Lalu tutup bagian atas drum
6. Hubungkan dengan alat destilasi /pendingin
7. Amati dan biarkan selama 9 jam (selama proses pembakaran cuka kayu
keluar melalui alat destilasi
8. Setelah selesai pembakaran lalu tutup lubang api, biarkan 12 jam untuk
proses pendinginan arang .
9. Setelah arang dingin lalu dibuka, kemudian diklasifikasikan yaitu arang yang
utuh dan arang yang bubuk kemudian dimasukan ke dalam karung, arang
yang bubuk bisa dijadikan briket arang.
X
10. Cuka kayu di saring dengan kain ata busa supaya hasilnya lebih bening
kemudian di kemas dalam botol yang berukuran 1000 ml, 500 ml, dan 250
ml.
3. Kegunaan arang dan cuka kayu :
a) Arang digunakan sebagai sumber bahan bakar untuk menggantikan fosil
b) Cuka kayu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dalam bidang
pertanian maupun industri, antara lain sebagai bahan pengawet, penggumpal
getah karet, pembasmi hama dan penyubur tanaman, karbol, serta pengusir
serangga.
4. Prospek Pasar
a) Arang dijual kepada pengrajin pandai besi, tukang sate
b) Cuka kayu dijual kepada masyarakat sekitar, para petani, koperasi rimbawan
Hutbun, dan keluar daerah Cianjur, seperti Bogor dan Jakarta
5. Analisa Usaha Arang dan Cuka Kayu
Biaya untuk 4 kali produksi yaitu :
1. Tenaga Kerja sebanyak 8 HOK x Rp. 40.000 = Rp. 240.000
2. Bahan Baku sebanyak 240 Kg x Rp. 300 = Rp. 72.000
3. Lisrtik = Rp. 20.00
4. Kemasan, Label @ 500x 600 = Rp. 300.000
Jumlah Biaya Produksi = Rp. 632.000
Biaya Penyusutan Alat jangka usia ekonomis 5 tahun, bunga Bank 2,5% per
tahun, harga alat Rp. 10.000.000, jadi penyusutan alat per tahun Rp.1.250.000
dan per bulan Rp. 104.170,-
Jadi biaya total pembuatan arang cuka kayu dan Rp. 632.000 + 104.170 = Rp.
736.170,-
Penerimaan rata-rata satu kali produksi dapat menghasilkan arang 12 kg x
Rp.2500 = Rp 30.000 kg arang, dan cuka mampu menghasilkan sebanyak 15
PO
liter x Rp. 30.000 = Rp. 450.000 . kalau dalam satu bulan melakukan
pembakaran rata-rata 4 kali pembakaran maka diperoleh penghasilan sebagai
berikut :
1. Arang 12 Kg x 4 kali Rp. 2500 = Rp. 120.000
2. Cuka 15 liter x 4 kali Rp 30.000 = Rp 1.800.000
Jumlah = Rp 1.920.000
Jadi penghasilan bersih dalam satu Bulan Rp. 1.920.000 – Rp.736.170 = Rp.
1.183.830
6. Rekomendasi
a. Kalau dikembangan di seluruh Indonesia sangat cocok sekali karena tersedianya
limbah kehutanan dalam jumlah yang banyak
b. Pestisida yang ramah lingkungan
c. Membuka lapangan pekerjaan.
�
Teknik Pengendalian Penyakit
Karat Puru Pada Pohon SengonOleh :
Budi Budiman, S.Hut.
Indri Puji Rianti, S.Hut.
Dalam rangka mendukung gerakan penanaman
satu milyar pohon yang digalakan oleh
pemerintah, banyak masyarakat yang berinisiatif
untuk melakukan penanaman pohon pada lahan
miliknya termasuk dengan mengembangkan
program Hutan Rakyat. Seiring dengan
digalakkannya program Hutan Rakyat, kini
banyak masyarakat yang mengalihfungsikan
lahannya yang semula berfungsi sebagai sawah
tadah hujan dan ladang menjadi Hutan Rakyat.
Sengon merupakan salah satu jenis tanaman
kehutanan yang banyak diminati oleh
masyarakat sebagai tanaman hutan rakyat
karena diketahui memiliki nilai ekonomis yang
tinggi dengan daur yang relatif pendek.
Dengan maraknya gerakan penanaman sengon
pada Hutan Rakyat, hama dan penyakit pada
pohon sengon mulai bermunculan. Hama dan
penyakit yang menyerang pohon tersebut
disebabkan karena pola penanaman masyarakat
yang sebagian besar menggunakan sistem
monokultur. Salah satu penyakit yang
menyerang pohon sengon pada penanman
monokultur di Hutan Rakyat tersebut adalah
penyakit karat puru.
Serangan penyakit karat puru pada pohon
sengon menyebabkan kerugian yang berakibat
pada penurunan kualitas kayu dan volume
produksinya. Pulau Jawa yang diketahui sebagai
penghasil kayu sengon terbesar di Indonesia saat
ini mengalami hambatan produksi karena
terkendala dengan adanya penyakit karat puru.
Oleh karena itu, diperlukan cara untuk
menanggulangi penyakit karat puru pada pohon
sengon agar tidak menjadi epidemi dan
merugikan industri kayu rakyat. Salah satu cara
untuk menanggulangi penyakit karat puru ini
yaitu dengan mengembangkan teknik
pengendalian hama dan penyakit tanaman yang
efektif. Penyebarluasan informasi mengenai
teknik penanggulangan penyakit karat puru yang
menyerang pohon sengon juga sangat diperlukan
sehingga petani mendapat pengetahuan yang
memadai untuk menanggulangi serangan
penyakit karat puru. Tulisan ini diharapkan
menjadi salah satu pegangan bagi Penyuluh
Kehutanan di lapangan untuk memberikan
pengetahuan kepada petani maupun
pengembang hutan rakyat dalam menanggulangi
serangan penyakit karat puru yang menyerang
pohon sengon.
Gambar 1. Karat Puru yang Menyerang Pohon
Sengon Hutan Rakyat di Kab. Majalengka (Foto :
Indri Puji Rianti, 2012)
Gambaran Umum Karat Puru
Penyakit karat puru adalah penyakit yang
menyerang pohon sengon dan akasia dengan ciri
berupa adanya benjolan pada daun, cabang,
o¡‹„\¤ƒ‡j\‒\‡?o·‒·o¡‹„\¤ƒ‡
j\‒\‡?o·‒·
�
dahan, ranting dan batang pohon yang dapat
mengakibatkan kematian pohon. Puru atau dapat
disebut galls pada penyakit karat puru umumnya
berbentuk menyerupai spiral yang bermozaik.
Penyakit ini dapat menyerang tanaman sengon
sejak masih di persemaian hingga tanaman di
lapangan sampai dengan umur diatas 3 tahun
dengan Intensitas serangan mencapai 100%
pada persemaian 50% pada tanaman di
lapangan (Teguh Hardi TW, Puslitbanghut).
Gambar 2. Puru (gall) pada ranting pohon
sengon (Foto : Indri Puji Rianti, 2012)
Sejarah Penyakit Karat Puru
Di Indonesia penyakit karat puru diketahui sudah
menyerang pohon sejak tahun 1996 di pulau
Seram, Maluku. Di Pulau Jawa penyakit ini
semakin terkenal sejak tahun 2003 karena
menyerang pohon sengon di sebagian besar
wilayah Provinsi Jawa Timur. Namum, informasi
tersebut kurang mendapat perhatian dan tidak
ditanggapi secara serius sehingga penyakit karat
puru tersebut menyebar di beberapa daerah di
Jawa Timur seperti Banyuwangi, Bondowoso,
Pasuruan, Malang, Probolinggo, Jember dan
Kediri (Rahayu, 2008).
Penyakit Karat Puru mulai menyebar ke Provinsi
Jawa Tengah mulai Tahun 2005. Hal ini diketahui
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sri Rahayu, Dosen Patologi Hutan UGM pada
Tahun 2006 di daerah-daerah seperti di
Purworejo, Purwokerto, Banjarnegara, Magelang,
Temanggung dan Wonosobo yang
mengindikasikan tersebarnya gall rust penyakit
karat puru yang muali menyerang persemaian di
Kutoarjo bahkan pada ketinggian 78 mdpl.
Penyakit karat puru saat ini telah sampai di Jawa
Barat. Di wilayah Majalengka, penyakit ini mulai
menyerang tanaman sengon hutan rakyat pada
umur 1-2 tahun. Gall rust penyakit karat puru ini
menyerang batang, dahan hingga daun tanaman
sengon, sehingga petani hutan rakyat mengalami
kesulitan dalam mengendalikan penyakit ini.
Penyebab Penyakit Karat Puru
Patogen penyebab penyakit karat puru pada
sengon adalah jamur Uromycladium sp. Dua
jenis Uromycladium yang diketahui
mengakibatkan pembentukan bintil-bintil dalam
jumlah sangat besar pada tunas berkayu dan
bagian-bagian lain dari pohon akasia dan albisia
yang terserang yaitu U. notabile dan U.
tepperianum.
�
Gambar 3. Bentuk tubuh buah Uromycladium
tepperianum (Foto : I lla Anggraini, 2007)
Gejala Penyakit Karat Puru
Gejala penyakit karat puru dapat ditandai dengan
adanya hiperplasia (pertumbuhan lebih) pada
bagian tumbuhan yang terserang. Gejala
penyakit diawali dengan adanya pembengkakan
lokal (tumefaksi) di bagian pohon yang terserang
(daun, cabang, dan batang). Lama kelamaan
pembengkakan berubah menjadi benjolan-
benjolan yang kemudian menjadi bintil - bintil
kecil atau disebut puru (gall). Jika serangan
penyakit ini dibiarkan dan semakin parah maka
seluruh bagian pohon akan dipenuhi oleh puru
sehingga pohon menjadi mati.
Gejala penyakit karat puru dapat muncul sejak
tanaman sengon yang terinfeksi masih di
persemaian. Gejala karat puru pada semai
tanaman sengon dapat diketahui dengan
kerontokan pada daun semai yang berwarna
kuning, keriting dan melengkung (2-3 minggu).
Pada semai yang berusia 6 minggu, gejala karat
puru dapat terlihat dengan garis putih yang
memanjang pada batang semai, gejala ini akan
semakin terlihat jelas saat semai ditanam di
lapangan, garis-garis putih pada batang tersebut
akan membentuk gall di sepanjang batang.
Gejala lain yang ditunjukan akibat terinfeksinya
semai oleh jamur karat puru yaitu pucuk
melengkung dan kaku, serta pembengkokan
batang disertai bercak warna coklat.
Tanaman sengon dilapangan yang terinfeksi
jamur Uromycladium sp sejak dipersemaian akan
menunjukkan gejala yang sangat cepat dan
mudah terlihat jelas. Namun, kecepatan
penunjukkan gejala ini juga tergantung pada
kondisi tanah dan iklim mikro tempat tumbuh.
Pada tanaman muda sebelum umur 2 tahun,
gejala umumnya berupa tumor yang terbentuk
pada batang atau cabang, atau pada ruas-ruas
cabang. Bentuk gall sangat bervariasi.
Permukaan gall yang masih baru atau segar
tampak dilapisi milyaran teliospora aktif
berwarna coklat kemerahan, yang siap
disebarkan melalui angin ke tanaman di
sekitarnya (Rahayu, 2008).
Teknik Pengendalian Penyakit
Karat Puru
Dalam siaran pers Pusat Informasi Kehutanan
Kementerian Kehutanan No. S.256/PIK-1/2009
pada tanggal 18 Mei 2009 tentang Pencegahan
Dan Pengendalian Penyakit Karat Puru,
dijelaskan bahwa upaya serius untuk pencegahan
dan pengendalian penyakit Karat Puru ini perlu
segera dilakukan secara terpadu oleh Badan
Litbang Kehutanan, Ditjen BPK, Ditjen RLPS,
Pusdiklat Kehutanan, Pusbinluh, Pusinfo, Perum
Perhutani, PT INHUTANI I-V, APHI, dan
APKINDO.
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
karat puru pada tanaman sengon dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:
a. Pra Epidemi
Upaya pencegahan pra epidemi dapat
dilakukan dengan cara promotif yang meliputi
sosialisasi/diseminasi, penyuluhan cara-cara
pencegahan, serta tindakan preventif dengan
menghidari pola tanam monokultur termasuk
dalam pengembangan Hutan Rakyat.
Tindakan preventif terhadap infeksi jamur
penyebab karat puru meliputi kegiatan
S
sillvikultur antara lain dengan pengaturan
jarak tanam, pemupukan yang tepat,
pemangkasan, pengendalian gulma secara
selektif, dan menggunakan pola tanam
multikultur. Pola tanam multikultur pada hutan
rakyat sengon ini dapat dilakukan dengan
menggunakan tanaman jenis mimba yang
diketahui dapat mengendalikan penyebaran
vektor karat puru.
b. Epidemi
Pengendalian epidemi dapat dilakukan melalui
eradikasi yaitu dengan menebang pohon yang
berpenyakit; isolasi yaitu dengan penjarangan
pohon; dan terapi yaitu dengan pengobatan
pohon yang terinfeksi.
Pengendalian penyakit karat puru melalui
pengobatan pada pohon yang terinfeksi dapat
dilakukan dengan cara mekanik, yaitu
menghilangkan puru pada pohon yang
terserang. Puru yang menempel pada batang,
dahan, ranting dan daun pohon yang
terinfeksi diambil, dikumpulkan dan dikubur
dalam tanah agar tidak menular. Setelah puru
dihilangkan batang pohon yang terinfeksi
dilabur dan disemprot dengan bahan sebagai
berikut :
1. Kapur 1 kg dilarutkan dalam air 5 - 10liter.
2. Belerang 1 kg dilarutkan dalam air 5 - 10liter.
3. Kapur dicampur dengan belerang denganperbandingan1:1 dilarutkan dalam air 5 -10 liter.
4. Kapur dicampur dengan garam denganperbandingan10:1 dilarutkan dalam air 5 -10 liter.
5. Belerang dicampur garam denganperbandingan 10 : 1 dilarutkan dalam air 5- 10 liter .
Catatan :
Larutan dapat digunakan untuk 50 pohon
yang terinfeksi.
Bahan-bahan untuk larutan labur lebih
pekat dibandingkan dengan untuk
semprot.
Larutan disaring terlebih dahulu sebelum
dilakukan penyemprotan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode
tersebut dapat menekan pertumbuhan karat
puru dengan prosentase keberhasilan sebagai
berikut :
1. Perlakuan belerang dapat menekan
pertumbuhan puru sebesar 91,73%
2. Perlakuan kapur dapat menekan
pertumbuhan puru sebesar 94,32%
3. Perlakuan kapur : belerang (1:1) dapat
menekan pertumbuhan puru sebesar
sebesar 96,06%.
4. Perlakuan belerang : garam (10 : 1) dapat
menekan pertumbuhan puru sebesar
93,45%.
5. Perlakuan kapur : garam (10 : 1) dapat
menekan pertumbuhan puru sebesar
96,67.
c. Pasca Epidemi
Pengendalian penyakit karat puru pada
sengon juga dapat dilakukan dengan pasca
epidemi yaitu dengan cara rehabilitasi dan
rotasi tanaman pada lahan yang sama,
pemuliaan pohon (benih, bibit unggul tahan
penyakit), dan konversi jenis tanaman.
Penutup
Penyakit karat puru yang menyerang pohon
sengon merupakan penyakit yang harus segera
diatasi karena dapat menyebabkan kematian
pohon yang tentunya dapat berpengaruh pada
volume produksi hutan tanaman sengon. Selain
�
itu penyakit karat puru yang tidak sampai
menyebabkan kematian pohon, dapat
mengurangi kualitas kayu sehingga mengurangi
nilai ekonomisnya. Menurunya produksi kayu
sengon dapat berdampak pada industri
perkayuan yang berbasis pada sengon. Dengan
diketahuinya teknik pengendalian penyakit ini
diharapkan dapat mengurangi tingkat kematian
pohon dan dalam jangka panjang dapat
meningkatkan nilai pendapatan petani dan
pengembang hutan rakyat sengon.
Bahan PustakaPusat Litbang Hutan Tanaman. 2009. Penyakit
Karat Puru Pada Sengon (Paraserianthes
falcataria) dan Teknik Pengendaliannya.
Bogor.
Rahayu, S. 2008. Penyakit Karat Tumor padaSengon (Falcataria moluccana (Miq.)Barneby & J.W. Grimes). Makalah WorkshopPenanggulangan Serangan Karat Puru padaTanaman Sengon 19 Nop 2008. Balai BesarPenelitian Bioteknologi dan PemuliaanTanaman Hutan, Badan Litbang Kehutanan.Jakarta.
Masyhud. 2009. Pencegahan dan PengendalianPenyakit Karat Puru. Siaran Pers PusatInformasi Kehutanan Nomor: S.256/Pik-1/2009. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Top Related