8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
1/94
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
2/94
DAFTAR ISI
BAB I 1MENAGIH KEBERPIHAKAN SOSIAL DALAM PROSES KEBIJAKAN DIGUNUNGKIDUL 1Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah
CATATAN PEMBUKA 1TUJUAN DAN TARGETACTION RESEARCH 3KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN SOSIAL SEBAGAI ISU STRATEGIS
KEBIJAKAN
4
Memahami Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial 5Keterkaitan kemiskinan dan ketimpangan Sosial dengan Kualitas
Pendidikan dan Kesehatan
6
MENDESAIN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 8Substansi Kebijakan: Dekomodifikasi-Stratifikasi dan Input-Ouput 9Infrastruktur Kebijakan: Struktur Sosial yang Demokratis 12Proses Kebijakan: Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan
Demokratis
15
Instrumen Kebijakan: Desain Kelembagaan dan Anggaran 15MENARIK PELAJARAN DARI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 16METODE PENELITIAN 17ALUR ARGUMEN
BAB II 20MASALAH KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL 20Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah
LANSKAP KEMISKINAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 20LANSKAP KETIMPANGAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 23
BAB III 26ORIENTASI SUBTANSI KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL 26
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
3/94
Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah
ORIENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DIGUNUNGKIDUL
26
PROBLEMA ORIENTASI SUBSTANSI KEBIJAKAN PENANGGULANGANKEMISKINAN DI GUNUNGKIDUL 28
BAB IV 33DINAMIKA GOVERNANCE DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DI GUNUNGKIDUL 33Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A.
DERAJAT TRANSPARANSI 34DERAJAT PARTISIPASI 38DERAJAT AKUNTABILITAS 41DERAJAT KESETARAAN 43
BAB V 44INSTRUMEN KELEMBAGAAN SIMPUL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DIGUNUNGKIDUL (1)
44
Hasrul Hanif
MENGHADIRKAN TKPKD SEBAGAI KELEMBAGAAN SIMPUL 44PROBLEMA KINERJA TKPKD SEBAGAI KELEMBAGAAN SIMPUL 48Desain dan Kapasitas Kelembagaan 48Daya Dukung Kelembagaan 49
BAB VI 51INSTRUMEN ANGGARAN SOSIAL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DIGUNUNGKIDUL (2)
51
Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A.
VISI DAN ORIENTASI SOSIAL DALAM RENCANA STRATEGIS 51SKETSA ANGGARAN SOSIAL 55Pendapatan 56
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
4/94
Rendahnya Kemandirian Fiskal 56Ironi Kaum Miskin (masih) Sebagai Penyumbang Terbesar 57
Belanja 60Realisasi Belanja 60(Masih) Besarnya Belanja Tidak Langsung 60Orientasi Belanja Urusan Pendidikan 62Orientasi Belanja Urusan Kesehatan 66Orientasi Belanja Urusan Ekonomi 69Orientasi Belanja dalam Peningkatan Akses Masyarakat dalam
Pengarusutamaan Gender
731. Peningkatan Angka Melek Huruf 732. Angka Lama Sekolah 733.
Perluasan Kesempatan Kerja 74
4. Peningkatan Usia Harapan Hidup 745. Penguatan Pengarusutamaan Gender (PUG) 756. Pengurangan Angka kematian Ibu 767. Pengurangan Angka Kematian Anak 77
Efisiensi dan Kepatuhan Belanja APBD 78
BAB VII 81REKOMENDASI KEBIJAKAN 81Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati, Wasingatu Zakiyah
DAFTAR PUSTAKA
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
5/94
1
BAB IMENAGIH KEBERPIHAKAN SOSIAL DALAM PROSES KEBIJAKAN DIGUNUNGKIDUL
Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah
CATATAN PEMBUKA
danya komitmen sosial, yang menegaskan sebuah keberpihakan proses kebijakan yang
dikelola dalam sebuah tatakelola pemerintahan daerah yang ada terhadap upaya
memenuhi hak-hak dasar warganegara dan melindungi komunitas-komunitas yang tidak diuntungkan
(disadvantages), merupakan sebuah keharusan dalam mengelola urusan publik. Hal ini sangatlah wajar
mengingat salah satu basis legitimasi politik bagi sebuah rejim yang berkuasa, baik Pemerintah
maupun pemerintah daerah, adalah kemampuannya menyediakan kesejahteraan bagi seluruh
warganegara tanpa pengecualian dan mengurangi segala hal yang bisa menyebabkan kesenjangan
sosial, termasuk di dalamnya kemiskinan dan diskriminasi berbasis gender. Terlebih, pada aras global,
kesepakatan membuana yang tertuang dalam Millineum Development Goals(MDGs) kembali
menegaskan akan pentingnya mengurangi kemiskinan sekaligus mengarusutamakan gender- sebagai
agenda salah satu agenda global yang tidak bisa diabaikan.1
A
Dalam konteks tersebut, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), kemudian menjadi area yang menarik untuk mengkaji bagaimana pelembagaan komitmen dan
keberpihakan sosial dari tata pemerintahan daerah yang ada, terutama pasca pemberlakuan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah dan menguatnya MDGs sebagai diskursus global. Setidaknya ada
Argumentasi bab ini ditulis berdasarkan poin-poin diskusi Hasrul Hanif dan Wasingatu Zakiyah. Dikembangkan dan
dinarasikan melalui pengayaan subtansi oleh Hasrul Hanif.
1 MDGs merupakan target global yang relatif ambisius yang didorong oleh PBB dan kemudian diamini oleh banyak
negara di dunia- dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan memlaui pencapaian
beberapa target (goals ) penting pada maksimal tahun 2015, yaitu: (1) Menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang
ekstrim, (2) mencapai pendidikan dasar universal, (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
(4) mengurangi kematian anak-anak, (5) memperbaiki kesehatan ibu hamil, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, TBC dan
penyakit lainnya, (7) menjamin keberlanjutan lingkungan, (8) membangun kerjasama global untuk pembangunan.lihat
http://www.undp.or.id/mdg/targets.asp. Diunduh 20 mei 2010.
http://www.undp.or.id/mdg/targets.asphttp://www.undp.or.id/mdg/targets.asp8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
6/94
2
beberapa alasan mendasar, yaitu: (1) Gunung Kidul, selama ini, menjadi salah satu daerah di propinsi
DIY yang masih dihadapkan dengan masalah kesejahteraan sosial yang masih cenderung rendah.
Karakter topografi wilayah, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia, dan sederet alasan lainnya
menjadi rangkaian penyebab masih kuatnya persoalan kemiskinan dan ketimpangan di daerah yang
berada di selatan Pulau Jawa ini, (2) Karena kondisi tersebut, Gunung Kidul, setidaknya dalam satu
dasawarsa terakhir ini, kemudian menjadi salah satu etalase penting dari berbagai program
peningkatan kesejahteraan sosial sekaligus penanggulangan kemiskinan, baik yang berasal dari dana
Pemerintah maupun pemerintah daerah atau yang didanai oleh lembaga-lembaga donor internasional
yang dikelola oleh berbagai organisasi non pemerintah (ORNOP) maupun dana masyarakat yang
terserap pada organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang ada.
Dari pengalaman Kabupaten Gunung Kidul, kita akan berusaha menarik pelajaran (lesson
drawing ) tentang desain kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial dan, secara secara lebih khusus,
penanggulangan kemiskinan. Lebih jauh, kita juga akan mencoba mengidentifikasi seberapa jauh
berbagai kebijakan yang ada mampu mengarusutamakan penanggulangan kemiskinan responsif
gender. Hal ini menjadi penting dikarenakan perempuan merupakan salah satu komunitas yang
paling sering tidak diuntungkan oleh berbagai dampak kebijakan yang ada selama ini. Selain itu,
pengalaman empiris menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai proses
kebijakan,terutama dalam pembuatan kebijakan (policy-making ), memberikan warna sendiri terhadap
opsi-opsi atau prioritas kebijakan yang ada. Oleh karena itu, aksi afirmatif dibutuhkan untuk
memastikan keterlibatan perempuan secara optimal dan mendorong kebijakan responsif gender
dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah.
Dengan demikian, kajian ini berusaha untuk mendalami lebih jauh berbagai proses kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Tentu saja, studi
ini tidak hanya bermaksud menelusuri bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
ada di Kabupaten Gunung Kidul semata. Lebih jauh, kajian ini akan melihat aspek instrumentatif
penting dalam proses kebijakan, yaitu: Pertama, desain kelembagaan. Studi ini akan, secara khusus,
akan melihat bagaimana desain kelembagaan dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
dikembangkan di kabupaten Gunung Kidul terlebih ketika ada banyak program penanggulangan
kemiskinan yang ditelorkan baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun institusi-institusi
lainnya. Kedua, anggaran dan proses penganggaran. Hal menarik lainnya yang akan dikaji juga dalam
penelitian ini adalah sejauh mana proses serta subtansi (baca: isi) perencanaan dan penganggaran
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
7/94
3
daerah yang ada di Kabupaten Gunung Kidul tidak hanya mampu didorong untuk menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat miskin tapi juga dikelola secara partisipatif dengan melibatkan
publik secara luas (pro-poor & participatory planning and budgeting).
TUJUAN DAN TARGET ACTION RESEARCH
Kajian ini, pada dasarnya, merupakan action researchyang diharapkan menjadi salah satu basis
penting bagi proses advokasi kebijakan di Gunungkidul. memiliki tujuan akhir untuk dua hal
mendasar: (1) mengoptimalkan strategi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan yang responsif
gender dalam perencanaan dan penganggaran daerah, (2) mendorong Pemerintah Daerah Gunung
Kidul agar memiliki sensitifitas dan komitmen yang sangat kuat terhadap upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan secara partisipatif melalui pelembagaan komitmen tersebut di dalam: a)
berbagai rencana strategis yang ada, b) proses pembuatan kebijakan (policy-making ) serta c) subtansi
dan proses perencanaan dan penganggaran daerah.
Oleh karena itu, kajian ini berusaha untuk mengidentifikasi masalah, peluang, tantangan dalam
rangka pengarusutamaan responsif gender serta upaya penguatan komitmen pemerintah daerah
dalam proses kebijakan penanggulangan kemiskinan di kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY.
Harapannya, dari kajian ini bisa dirumuskan acuan penting (benchmark ) dalam berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang responsif gender di berbagai daerah dengan rambu-rambu
(milestone ) yang jelas. Dengan kata lain, proses pelembagaan acuan utama ini nantinya tidak hanya
didapat melalui pemahaman yang bagus terhadap konteks kebijakan semata (endogenous learning)
melainkan juga lahir dari berbagai upaya untuk mendorong secara kuat proses pembelajaran antar
daerah secara horizontal (horizontal learning) atau bukan sekedar replikasi kebijakan (exogenous learning).
Tentu saja, upaya menemukan acuan utama tersebut membutuhkan adanya desain kebijakan
yang betul-betul lahir dari pengalaman empiris yang ada (evidance-based policy ). Agar perumusan
kebijakan berbasis bukti tersebut bisa dihadirkan maka kajian ini secara khusus berusaha untuk:
Memahami masalah kemiskinan dan ketimpangan serta desain kebijakan yang berusaha untukmerespon pelbagai masalah tersebut di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY.
Memahami lebih jauh bagaimana pola interaksi aktor-aktor dan derajat tata kelolapemerintahan (governance ) di Kabupaten Gunungkidul, propinsi DIY, sebagai ruang interaksi
kebijakan.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
8/94
4
Menakar kapasitas dan orientasi instrumen kebijakan pada dua instrumen kebijakan yangsangat penting, berupa desain kelembagaan dan anggaran, dengan:
Menakar kapasitas kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah(TKPKD) kabupaten Gunung Kidul, dalam melakukan fungsi koordinasi terhadap
berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul,
propinsi DIY.
Mengkaji proses institusionalisasi komitmen dan orientasi pemerintah daerah terhadappenanggulangan kemiskinan dengan mendalami visi perencanaan dan subtansi
penganggaran daerah di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY.
Dari berbagai tujuan tersebut setidaknya ada dua keluaran atau hasil (output) dari kajian ini:
Identifikasi dan pemetaan tentang persoalan-persoalan pengarusutamaan penanggulangankemiskinan yang responsif gender serta pelembagaan orientasi dan komitmen pemerintah
daerah dalam penanggulangan kemiskinan melalui proses perencanaan dan penganggaran di
kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY.
Rekomendasi strategi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan responsif gender danpelembagaan orientasi dan komitmen pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan
penganggaran daerah.
KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN SOSIAL SEBAGAI ISU STRATEGIS KEBIJAKAN
Sebagaimana kita sudah mafhum, dalam proses kebijakan, kemiskinan dan ketimpangan
merupakan salah satu masalah sosial yang dianggap sebagai isu strategis sehingga menjadi mendesak
untuk diselesaikan. Setidaknya ada beberapa alasan mendasar yang bisa menjustifikasi hal tersebut:
Kemiskinan dan ketimpangan memiliki dampak spillover yang sangat luas.Kemiskinan berpotensi memberikan dampak-dampak ikutan berantai seperti deprivasi
sosial, kesenjangan sosial, hingga munculnya ketidakstabilan sosial, dsb, apabila tidak
diselesaikan secara baik.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
9/94
5
Kemiskinan dan ketimpangan memiliki critical point penyelesaian masalah.Karena efeknya yang berantai maka penyelesaian masalah kemiskinan dan ketimpangan
justru akan menyelesaikan banyak masalah ikutan lainnya pula.
Kemiskinan dan ketimpangan menyita kehirauan (concern) publik. Kemiskinandan ketimpangan, hingga saat ini menjadi kehirauan publik yang sangat kuat dalam rejim
politik manapun dan apapun. Isu ini selalu muncul dalam setiap level tata pemerintahan
dan berulang setiap periode.
Kemiskinan dan ketimpangan melibatkan mobilisasi sumberdaya publik yangsangat luas. Dalam bab-bab berikutnya, penulis akan menjelaskan lebih jauh bahwa
upaya merespon isu kemiskinan dan ketimpangan membutuhkan pendayagunaan
sumberdaya publik yang berlapis, mulai dari penyiapan infrastruktur kebijakan, penataan
ulang pola relasi aktor dalam localgovernance, hingga penyiapan instrumen kebijakan seperti
desain kelembagaan dan anggaran.
Namun sebelum lebih jauh melakukan analisa terhadap kebijakan penanggulangan
kemiskinan, alangkah baiknya bila kita berusaha untuk menemukan pemahaman yang sama tentang
apa itu kemiskinan dan ketimpangan sosial serta apa kaitannya dengan aspek-aspek sosial lainnya.
Memahami Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial
Pendefinisian tentang kemiskinan sangat erat dengan kapasitas sumberdaya yang dimiliki
oleh seseorang. Seseorang yang disebutkan miskin pada dasarnya merupakan orang yang memiliki
kekurangan sumberdaya-sumberdaya material ketika akan terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial
yang ada atau seseorang yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan atau
standar hidup yang layak menurut lingkungan dia tinggal. Dengan kata lain, gagal untuk bisa
terlibat dalam aktivitas normal dan memperoleh keuntungan dikarenakan oleh ketidakcukupan
sumberdaya material. Oleh karena itu, mendefinisikan kemiskinan akan sangat terkait dengan dua
indikator penting: (1) individu tersebut semestinya berapa dalam level konsumsi dan standar
hidup yang abnormal, (2) kondisi tersebut disebabkan oleh kekurangan akses terhadap
sumberdaya-sumberdaya material (Lyntastad, Keilman,Bojer & Thomsen, 1997: 14-15).
Hal yang menarik untuk dicatat lebih jauh adalah proses kemiskinan ini tidak terjadi hanya
semata-mata pada individu semata melainkan komunitas. Dengan kata lain ada kondisi kultural
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
10/94
6
dan struktural yang kemudian menempatkan seseorang menjadi miskin dikarenakan dirinya
menjadi bagian dari sebuah komunitas. Ada proses marjinalisasi secara ekonomi, sosial dan
budaya pada sebuah komunitas yang kemudian membuat individu yang menjadi bagian dari
komunitas tersebut mengalami proses kemiskinan (lihat Kymlicka, 1995).
Robert Chambers (dalam Soetrisno, 1999:19) menjelaskan bahwa kemiskinan bisa dilihat
dari jebakan kekurangan (deprivation trap ) atau ketidakberuntungan yang melilit seseorang atau
sebuah komunitas, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4)
kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Dua hal yang terakhir dianggap sebagai faktor struktural
yang turut menyumbang paling banyak terhadap penyebab kemiskinan.
Sedangkan ketimpangan sendiri lebih merupakan bentuk ketidaksetaraan distribusi atas
kesempatan, penghargaan dan kekuasaan diantara individu, rumah tangga, dan kelompok-
kelompok sosial yang ada. Oleh karena itu ketimpangan sosial dengan gamblang bisa dilihat
dalam dua bentuk alokasi yang berbeda siapa mendapatkan apa (ketidaksetaraan dalam dampak)
dan siapa melakukan apa (ketidaksetaraan dalam kesempatan)- melalui empat tingkatan sosial
yang berbeda (individu, kelompok, organisasi dan institusi) (Manza, 2006: 286-287).
Secara konkrit, para pembuat kebijakan biasanya lebih memfokuskan pada ketimpangan
distribusi pendapatan yang dilihat dari dua hal berikut ini: Pertama, distribusi pendapatan personal
atau distribusi ukuran pendapatan. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan
yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan darimana sumber
penghasilan tersebut. Kedua, distribusi pendapatan fungsional.ukuran ini berfokus pada bagian
pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tnaha, tenaga kerja
dan modal). Kritik terhadap cara pikir ini muncul karena ketika mengukur distribusi pendapatan
fungsional, kita sering mengabaikan hal-hal di luar faktor produksi seperti faktor politik, lobi
pemilik modal, dsb. (Todaro & Smith, 2008: 234,240,242).
Keterkaitan Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial dengan Kualitas Pendidikan danKesehatan
Hal yang menarik adalah ketika Amartya Sen (1999: bab IV) menegaskan bahwa inti dari
kemiskinan adalah bukan rendahnya pendapatan semata melainkan persoalan kekurangan
kapabilitas (capability deprivation ) atau hilangnya kapasitas untuk keluar dari belenggu kemiskinan
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
11/94
7
yang bersifat struktural. Kekurangan kapabilitas ini bisa dilihat dari beberapa hal penting berikut
ini: (1) Kurangnya kapasitas kekuasaan. Dalam konteks ini orang menjadi miskin karena
sumberdaya kekuasaan sama sekali tidak dimiliki oleh mereka sehingga tidak memiliki posisi tawar
dan akses untuk terlibat dalam proses kebijakan publik yang justru seringkali memberikan dampak
negatif atau positif terhadap mereka, (2) Kurangnya kesempatan. Seseorang atau sebuah
komunitas menjadi miskin dikarenakan tidak ada kesempatan untuk pengembangan diri, (3)
Kurangnya rasa aman dan jaminan sosial. Seseorang menjadi miskin dikarenakan tidak
terpenuhinya pemenuhan-pemenuhan dasar dalam dirinya secara sosial, seperti rasa aman dan
jaminan sosial dalam ketidakpastian, dsb.
Intinya, untuk dapat memahami konsep kesejahteraan manusia secara umum, dan
kemiskinan secara khusus, kita harus berpikir lebih dari sekedar ketersediaan komoditas-
komoditas dan memperhatikan kegunaannya melainkan manfaat yang bisa dihasilkan oleh
seseorang pada sebuah komoditas dengan karakteristik-karakteristik tertentu yang dimiliki atau
dikendalikan oleh orang tersebut, atau bisa kita sebut sebagai kemampuan memfungsikan
(functioning). Misalnya, sebuah buku seberapapun mahal harganya tetap tidak akan bermanfaat bagi
orang buta huruf. Kebebasan memilih, atau kontrol yang dimiliki oleh seseorang terhadap
hidupnya sendiri adalah aspek utama dalam memahami kesejahteraan secara mendalam (Todaro
& Smith, 2008:23).
Di sinilah urgensi menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar yang tidakbisa dikecualikan menjadi relevan. Pendapatan riil memang menjadi hal penting untuk melihat
tingkat kemiskinan individu atau komunitas, namun hal yang terpenting lainnya adalah kapasitas
dari individu atau komunitas tersebut untuk mengkonversi karakteristik komoditas tersebut agar
berfungsi secara optimal. Kapabilitas untuk memfungsikan komoditas tersebut akan sangat
ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikan dan kesehatan yang ada. Peran pendidikan dan
kesehatan berikisar mulai dari hal-hal yang dasar seperti nutrisi dan energi yang dibutuhkan
seseorang,dimana kedua hal tersebut dapat diperoleh secara bebas dari parasit, sampai pada
kemampuan tingkat tinggi untuk menghargai kekayaan kehidupan manusia yang dihasilkan oleh
pendidikan yang memiliki cakupan luas dan mendalam (ibid: 24).
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
12/94
8
MENDESAIN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Setelah memahami gambaran tentang kemiskinan serta urgensi kesehatan dan pendidikan
dalam proses pemiskinan atau sebaliknya- penciptaan kesejahteraan sosial maka pertanyaan
berikutnya adalah gambaran kebijakan seperti apa yang bisa mendorong proses penanggulangan
kemiskinan atau penciptaan kesejahteraan sosial bisa tercapai secara maksimal?
Sebuah kebijakan pada dasarnya merupakan sebuah upaya sosial untuk melakukan perubahan
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja, bayangan tentang kebijakan dalam kajian
ini bukan hanya sebagai proses teknokratisme semata -untuk mencari solusi atas masalah- melainkan
juga melihatnya sebagai sesuatu yang multi dimensi yang melibatkan interaksi antar para pihak yang
memiliki tata nilai dan cara pandang yang beragam.
Dengan demikian, sebuah desain kebijakan pada dasarnya merupakan gambaran tentang
bagaimana subtansi kebijakan (isi kebijakan) yang dirumuskan berdasarkan nilai,pengetahuan dan
pemahaman pembuat kebijakan setelah melalui proses negosiasi para pihak- mampu
diejawantahkan dengan memobilisasi sumberdaya atau instrumen-instrumen kebijakan yang ada
dalam rangka menciptakan efek-efek perubahan yang diinginkan.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
13/94
9
Dari pengertian tersebut setidak ada tiga aspek penting dalam memahami kebijakan, yaitu:
Pertama, konteks kebijakan. Yang dimaksud dengan konteks dalam proses kebijakan adalah setting
lingkungan sosial, ekonomi dan politik dimana proses kebijakan tersebut berlangsung. Setting ini bisa
terkait dengan sistem perubahan sistem politik yang sedang berlangsung dalam proses kebijakan
tersebut. Pemahaman akan sistem politik yang sedang berlangsung menjadi sangat penting untuk
mengidentifikasi watak ideologis dan pola hubungan negara dan masyarakat yang sedang berjalan
dalam konteks politik tertentu.
Kedua, proses kebijakan. Yang dimaksud dengan proses kebijakan di sini adalah indentifikasi
aktor yang terlibat dalam proses kebijakan serta pola relasi antar aktor tersebut. Dalam memahami
proses kebijakan, kajian ini akan mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan
kebijakan berikut prefrensi, kepentingan atau basis ideologis yang menyertainya. Memahami
memahami dimensi konteks dan proses dalam kebijakan merupakan upaya untuk mendalami lebih
jauh aspek politis pada sebuah kebijakan.
Ketiga, isi kebijakan. Melihat isi atau subtansi proses kebijakan merupakan aktivitas penting
yang tidak bisa diabaikan. Urgensi mengkaji dimensi subtansi dalam proses kebijakan adalah untuk
menilai keterkaitannya dengan mencakup kaidah-kaidah moralitas publik, kepentingan publik, kaidah
ilmu pengetahuan (aspek teknokratis).
Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan pada dasarnya merupakan proses
kebijakan yang sangat hirau dengan beberapa dimensi penting berikut ini:
Subtansi Kebijakan: Dekomodifikasi-Stratifikasi dan Input-Ouput
Bila kita bersepakat dengan penjelasan sebelumnya tentang kemiskinan dan ketimpangan
sosial maka kebijakan penanggulangan kemiskinan atau ketimpangan sosial haruslah memastikan
dua hal: Pertama, penguatan kapabilitas individu atau komunitas agar mampu memfungsikan
komoditas atau pendapatan yang ada secara maksimal. Kedua, memastikan adanya kesetaraan
distribusi baik di level individu, rumah tangga dan kelompok sosial maupun diantara level
teritorial pemerintahan.
Gosta Esping-Andersen (2006: 35-79) menekankan bahwa rejim-rejim politik yang berhasil
menghadirkan skema kebijakan kesejahteraan selalu menggunakan dua strategi tersebut secara
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
14/94
10
simultan dengan beragam derajat. Hal tersebut terejawantahkan dalam berbagai kebijakan sosial
yang selalu mengekspresikan dua dimensi penting: Pertama, De-komodifikasi. De-komodifikasi
merupakan strategi menjadikan barang dan jasa -yang mampu meningkatkan kapabilitas untuk
mengfungsikan penghasilan menjadi lebih maksimal- bisa diakses tidak dengan melalui
mekanisme pasar atau sebagai komoditas. Dalam hal ini, layanan-layanan publik dasar, seperti
pendidikan, kesehatan, keamanan, air bersih dan sanitasi, bukan sebagai komoditas melainkan
barang publik ( public goods ) yang bisa diakses oleh seluruh komunitas atau warga, tanpa
pengecualian.
Kedua, Menata sistem stratifikasi. Kebijakan penanggulangan kemiskinan atau upaya
penciptaan kesejahteraan sosial haruslah memastikan adanya penataan ulang tatanan sosial (social
order) atau mendorong kebijakan-kebijakan yang bisa meminimalisasi ketimpangan sosial sehingga
mampu menciptakan sistem sosial yang lebih setara dan mendorong distribusi dan redistribusi
sumberdaya puboik secara merata dan setara. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang ada juga
berkepentingan untuk memastikan persebaran sumberdaya material secara merata baik antar
individu atau komunitas maupun antar teritorial pemerintahan. Proses ini biasanya didorong
melalui dua kebijakan utama, yaitu: (1) kebijakan pajak progresif, (2) redistribusi kekayaan publik
antar level pemerintahan baik secara vertikal maupun horizontal- yang bisa dilakukan dengan
upaya-upaya untuk mencegah adanya kesenjangan fiskal antar wilayah, seperti taxing power sharing
antara Pemerintah dan pemerimtah daerah, dsb.
KEMISKINAN &KETIMPANGANSOSIAL
DEKOMODIFIKASI
MENATASISTEMSTRATIFIKASI
KELAS
TERITORIAL
KESEJAHTERAANSOSIAL
INPUT OUTPUT
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
15/94
11
Hal terpenting lainnya adalah, dalam setiap sistem kebijakan, selalu ada dua aspek yang
tidak bisa dinafikan begitu saja, yaitu: aspek input dan aspek output (Bandingkan Edlund,
2007:49). Dimensi input yang dimaksud adalah kapasitas pembiayaan dalam berbagai kebijakan
sosial yang ada. Pembiayaan utama tentu saja berasal dari pajak. Dengan kata lain, selain sebagai
instrumen redistribusi, pajak juga menjadi sumber pembiayaan utama.
Dalam konteks inilah kebijakan untuk memastikan usia produktif yang ada bekerja dan
memberikan kontribusi terhadap pajak menjadi sangat relevan. Dengan kata lain, kapasitas input
ini berbasis pada kebijakan full employment, yang ditunjukkan dengan derajat tinggi kelompok
masyarakat yang terserap dalam pasar kerja. Negara dalam konteks ini memfasilitas warganya
untuk bisa terserap dalam lapangan kerja. Di negara-negara Eropa Utara (Skandinavia) dan Eropa
Barat misalnya, salah institusi pemerintah yang paling kuat adalah kantor pelayanan
ketenagakerjaan. Keberadaan kantor ini bukan hanya mengkompilasi berbagai kesempatan kerja
yang tersedia, namun juga terlibat dalam merancang skema lapangan pekerjaan dan
menghubungkan antara angkatan kerja dengan lapangan pekerjaan yang ada. Bahkan, kantor
ketenagakerjaan pada umumnya memiliki data base tentang keahlian para pencari kerja. Kebijakan
full employmentdengan demikian hanya mungkin jika ada kombinasi antara; kesempatan kerja
dengan kapasitas penduduk untuk mengasesnya, dan ditopang oleh kapasitas negara untuk
memfasilitasinya. Tidak terpenuhinya salah satu dari aspek-aspek di atas, akan membuat kebijakan
full employmentgagal diwujudkan (Masudi & Hanif, 2010).
Sedangkan aspek ouput yang dibayangkan adalah orientasi kebijakan dan sasaran kebijakan.
Orientasi kebijakan yang ada bukan hanya memastikan layanan publik bisa diakses oleh seluruh
warganegara melainkan juga berkepentingan untuk mendorong kesetaraan sosial di dalam
masyarakat. Sedangkan pada saat yang sama, berbagai program sosial yang ada harus dipastikan
ditujukan kepada seluruh warganegara bukan sekedar pada penynadang masalah sosial (PMS)
semata.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
16/94
12
INPUT(Pembiayaan) Full employment Perpajakan
OUTPUT(Orientasi & Sasaran ) De-komodifikasi &Penataan strata sosial Seluruh warganegara
PROSESKEBIJAKAN
Infrastruktur Kebijakan: Struktur Sosial yang Demokratis
Bila kita bersepakat dengan argumen Amartya Sen maka persoalan penanganan kemiskinan
kini erat kaitannya dengan persoalan relasi kekuasaan dalam memproduksi dan redistribusi
sumberdaya-sumberdaya material yang ada. Persoalan penanganan kemiskinan kini bukan lagi
semata sekedar persoalan kapasitas individual semata tapi juga melingkupi bagaimanamentransformasikan kapasitas sistemik (baca: kekuasaan) yang ada agar mampu mendorong
proses produksi dan redistribusi kesejahteraan. Tentu saja di dalamnya, mensyaratkan proses
penataan ulang hubungan negara-dan warga negara yang lebih setara. Singkat kata, dibutuhkan
adanya penataan ulang kekuasaan menjadi kekuasaan yang demokratis dimana terjadi proses
kontrol popular terhadap urusan-urusan dan sumberdaya publik yang ada berdasarkan basis
kesetaraan politik (bandingkan Beetham, 1999; Santoso, Hanif & Priyono, 2010).
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
17/94
13
KEMISKINAN
KEMISKINAN
STRUKTURAL
WARGA
NEGARA STRUKTURKEKUASAAN
POWER
RELATION/
HUBUNGANKEKUASAAN
DEMOKRATISASI
STRUKTUR
PELEM
BAGAAN
PROSEDUR
PENGURANGANKEMISKINANMENUJUNEGARAKESEJAHTERAAN
Dengan kata lain, dibutuhkan adanya ruang-ruang pemenuhan hak-hak sipil dan politik
sebagai sarana (means ) sekaligus tujuan (ends ) dalam memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial.
Berbagai persoalan kemiskinan muncul tidak lepas dari gagalnya menjadikan ide kebebasan
(freedom ) yang menjadi salah satu esensi penting dalam kehidupan politik yang demokratis-
sebagai bagian instristik dalam ide pembangunan. Lebih jauh kemiskinan muncul karena berbagai
kebijakan yang ada gagal menciptakan keamanan sosial (social security ) secara demokratis dan
keterbukaan. Ketika proses keamanan sosial yang demokratis gagal dikelola maka komunitas-
komunitas yang terkena dampak sosial dan budaya dari sebuh kebijakan tidak pernah diberi ruang
politik untuk bersuara. Sedangkan ketika keterbukaan tidak pernah ada maka proses kebijakan
akan menjadi sangat manipulatif dan elitis. Tidakadanya dua hal pokok tersebut dalam proseskebijakan muncul sebagai akibat dari hilangnya kebebasan -yang merupakan salah satu hak paling
asasi dalam diri manusia- sebagai sarana dalam dalam proses kebijakan yang ada.
Di sinilah adanya ruang yang demokratis dan kebebasan menjadi prasyarat penting. Ide
penanganan kemiskinan tidak akan berhasil tanpa adanya kebebasan setiap warganegara -baik
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
18/94
14
sebagai entitas individu atau menjadi bagian dari entitas kolektif- untuk terlibat dalam proses
negosiasi dan konsensus tersebut. Tentu saja kebebasan sendiri juga menjadi media yang sangat
dasariah (the principal means) untuk mencapai common interestyang ingin diraih.
Dalam proses pembangunan termasuk di dalamnya kebijakan penanganan kemiskinan,
amartya Sen (1999) menegaskan bahwa kebebasan memainkan dua peran sekaligus, yaitu: peran
peran konstitutif (constitutive role) dan peran instrumental (instrumental role ). Kebebasan di satu sisi
memainkan peran konstitutif (constitutive role ) yang berkaitan dengan pentingnya kebebasan
subtantif untuk memperkaya kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan kebebasan subtantif
adalah kapabilitas dasar untuk bisa menghindari bentuk-bentuk deprivasi sosial, seperti kelaparan,
penyakit endemik, kematian dini sekaligus kemampuan untuk membaca dan menghitung,
menikmati keterlibatan dalam partisipasi politik, kebebasan untuk berbicara, dsb. Dengan kata
lain, seluruh aktivitas-aktivitas untuk mencapai kesejahteraan sebagai common goodsharus dipahami
sebagai proses untuk memperluas kebebasan manusia sebagai hasil.
Di sisi lain, kebebasan memainkan peran-peran instrumentatif (instrumentative role ) yang
efektif untuk mendorong adanya progresivitas baik progresivitas ekonomi maupun sosial.
Setidaknya ada, menurut Amartya Sen (1999:10), ada lima bentuk kebebasan yang sifatnya
instrumentatif , yaitu: (1) kebebasan politik, (2) ketersediaan fasilitas ekonomi, (3) kesempatan-
kesempatan sosial, (4) jaminan transparansi dan (5) keamanan protektif atau jaring pengaman
sosial. Lebih jauh, bila kita mendiskusikan peran kebebasan secara instrumentatif, hal ini berartidiskusi ini akan berkaitan dengan sejumlah tipe hak (rights ), kesempatan (opportunities ), dan
pemenuhan (entitlement ) yang berbeda-beda yang digunakan untuk memperoleh kebebasan
subtantif dan kemajuan (Sen, 1999: 36-37).
Tentu saja, dalam hal ini kebebasan yan dimaksud bukanlah kebebasan untuk kebebasan itu
sendiri ( freedom qua freedom ) sebagaimana mimpi-mimpi kaum libertarian serta bukan pula
kebebasan yang didominasi oleh mereka yang bisa memperoleh manfaat yang lebih besar.
Kebebasan hanya akan bisa diterima sepanjang bisa menjadi kebebasan positif yang mampu
memfasilitasi terciptanya nalar publik dan disepakatinya common goods dan menjadi bagian dari
pembangunan itu sendiri. Kebebasan sejatinya pula harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan
sebagai fairness dimana komunitas-komunitas atau anggota masyarakat yang paling tidak
beruntung juga menjadi bagian dari proses kebebasan itu sendiri secara setara (bandingkan
Sen,2001:44; Rawls, 2004:15).
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
19/94
15
Proses Kebijakan: Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik dan Demokratis
Kebijakan penanggulangan kemiskinan pada dasarnya dikelola melalui interaksi sinergis
antar para pihak yang berkepentingan dengan proses kebijakan tersebut. Dengan kata lain, proseskebijakan penanggulangan kemiskinan seyogyanya tidak hanya melibatkan aktor formal pembuat
kebijakan semata melainkan juga melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan.
Pelibatan para pihak, terutama pihak-pihak yang akan terkena dampak kebijakan, secara
partisipatoris menjadi sangat penting karena, pada hakekatnya mereka lah yang berhak
merumuskan dan menentukan masalah mereka serta memastikan solusi yang spesifik melalui
mekanisme partisipasi yang ada. Meskipun boleh jadi pemahaman tentang sumber kemiskinan
maupun solusinya yang dirumuskan oleh masyarakat sangat berbeda dengan rumusan oleh
pembuatan kebijakan formal, namun bagaimana pun suara masyarakat adalah yang paling penting.
Sebab yang menjadi concernutama dalam proses kebijakan adalah masalah publik bukan masalah
elit. Oleh karena itu: if the problem is ours, the solution must be ours.
Interaksi para pihak yang sinergis sekaligus demokratis ini, dalam kenyataan, pada akhirnya
justru menguntungkan. Pola-pola partisipasi akan memunculkan sebuah masyarakat yang bisa
saling membangun empati dan saling menghargai pendapat yang lain dari dialog yang terbangun
terus-menerus serta pemerintahan dan kebijakan yang semakin terpercaya dan mendapat
legitimasi di mata publik. Meskipun perlu kehati-hatian akan kemungkinan masih terbuka peluang
akan adanya manipulasi dari elemen masyarakat yang yang lebih kompeten dan expert
dibandingkan elemen masyarakat lainnya, baik status, kekuasaan, maupun penguasaan
pengetahuan dan informasi.
Instrumen Kebijakan: Desain Kelembagaan dan Anggaran
Sebuah kebijakan penanggulangan kemiskinan tentu saja akan gagal di-deliverydengan baik
apabila tidak ada instrumen yang yang memadai. Ibarat berperang, sebuha pasukan bukan hanya
diharapkan paham taktik dan strategi namun juga memiliki bekal senjata yang memadai.
Instrumen menjadi alat penting untuk memastikan tujuan kebijakan tercapai.
Beragam tipologi telah dibuat untuk mengidentifikasi instrumen kebijakan yang strategis.
Namun dalam kajian ini, akan dilihat dua tipe penting kebijakan, yaitu (Bandingkan dengan Bruijn
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
20/94
16
& Hufen, 1998: 17-19): Pertama, Kelembagaan. Aspek kelembagaan dalam kajian ini tentu saja
tidak semata-mata hanya untuk menekankan pada desain organisasi. Lebih jauh kelembagaan yang
dimaksud dalam kajian ini adalah proses pelembagaan tata nilai, pengembangan rule of the game,
mekanisme insentif dan disinsentif, dsb yang dikembangkan agar tujuan dalam kebijakan tersebut
bisa dicapai. Di dalamnya juga mencakup sistem dan database informasi yang menjadi basis
penting bagi perumusan kebijakan.
Kedua, anggaran. Anggaran diyakini sebagai instrumen penting yang bersifat non-koersif dan
non-regulatif dalam proses kebijakan. Melalui proses alokasi dan distribusi anggaran, sebuah
kebijakan diharapkan akan mampu mencapai tujuan yang diinginkan.
MENARIK PELAJARAN DARI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Lalu bagaimana cara kita menarik pelajaran dari kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
sudah ada ? Ada beberapa cara untuk menarik pelajaran dari sebuah proses kebijakan dengan
menekankan fokus pembelajaran yang berbeda-beda (bandingkan Howlett & Ramesh, 1995: 176-
177), yaitu:
Instrumental learning. Pendekatan ini menekankan pentingnya kehandalan intervensikebijakan atau disain implementasi. Proses evaluasi kebijakan difokuskan pada instrumen
kebijakan dan desain implementasi sehingga nantinya mampu menemukan sumber-sumber
kegagalan kebijakan, atau perbaikan performance kebijakan dalam mencapai tujuan yg telah
ditetapkan.
Social learning. Pendekatan ini lebih hirau dengan konstruksi atau konteks sosial dari suatumasalah kebijakan. Oleh karena itu proses evaluasi dilakukan dengan fokus pada masalah
kebijakan,cakupan kebijakan, pemaknaan ulang tujuan-tujuan kebijakan sehingga diharapkan
akan ada perubahan harapan terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang telah dirumuskan, atau
perumusan ulang tujuan-tujuan kebijakan.
political learning. Pendekatan ini fokus pada proses politik atau kelayakan politik dalamproses kebijakan yang ada. Proses evaluasi ini sangat hirau dengan aspek-aspek politik yang
ada dalam sebuah proses kebijakan.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
21/94
17
METODE PENELITIAN
Kajian ini merupakan action researchyang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif-
analitis. Pilihan terhadap pendekatan kualitatif-analitis sebagai metode penelitian disebabkan oleh
tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan fenomena yang lebih mendalam yang lebih mendalam,
tafsir subyek (hermeneutik) terhadap sebuah peristiwa dan mendeskripsikan keterkaitan antar setiap
peristiwa yang kompleks pada sebuah fenomena daripada sekedar menemukan kausalitas atau
korelasi antar variabel. Tentu saja pilihan ini juga sejak awal mengasumsikan subyektifitas sebagai
sesuatu hal yang wajar mengingat, pendekatan kualitatif mengandaikan, tidak keterjarakan yang jelas
antara pengkaji dan obyek kajian.
Fokus kajian penelitian ini adalah berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di
Kabupaten Gunung Kidul dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Lebih khusus, penelitian ini
mengkaji berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dihasilkan pemerintah daerah
Kabupaten Gunung Kidul sekaligus melihat keterkaitannya dengan program-program
penanggulangan kemiskinan yang dirumuskan oleh Pemerintah dan pemerintah Propinsi DIY.
Proses penelusuran data dilakukan melalui triangulasi metode, yaitu: Pertama, desk studydengan
fokus pada studi pustaka terhadap berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran serta dokumen
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul.
Kedua, expert judgement surveydengan melakukan penilaian terhadap proses governance dalam
perencanaan dan penganggaran daerah.
Ketiga, field studydengan melakukan wawancara mendalam dengan berbagai pemangku
kepentingan (stakeholder ) yang berfungsi sebagai narasumber kunci (key informant ). Wawancara
tersebut memfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
a.Bagaimana proses kebijakan penanggulangan kemiskinan, terutama proses perencanaan danpenganggaran daerah, yang ada selama ini di Kabupaten Gunung Kidul (existing condition)?
Siapa yang menjadi pihak-pihak utama, baik aktor formal maupun informal, dalamkebijakan penanggulangan kemiskinan, terutama dalam proses perencanaan dan
penganggaran daerah?
Adakah persoalan-persoalan dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan, terutamadalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, dilihat dari aspek teknokratis,
politis, bottom-up & top-down, dan partisipatif ?
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
22/94
18
b. Adakah upaya untuk mendorong inovasi kebijakan, terutama dalam proses perencanaandan penganggaran daerah, dalam rangka mengarusutamakan penanggulangan kemiskinan
responsif gender?
Apa saja bentuk inovasi kebijakan yang telah dihasilkan, termasuk perencanaan danpenganggaran daerah, untuk mengoptimalkan strategi pengarusutamaan
penanggulangan kemiskinan responsif gender di kabupaten Gunung Kidul?
Siapa pihak-pihak yang terlibat dan berpengaruh untuk mendorong atau menghambatproses inovasi kebijakan yang ada?
Pada saat yang sama, tim peneliti juga melakukan observasi partisipatif atau non-partisipatif
terhadap praktik kebijakan penanggulangan kemiskinan, khususnya proses perencanaan dan
penganggaran daerah, di Kabupaten Gunung Kidul. Observasi partisipatif dan non partisipatif ini
bisa dilakukan dikarenakan anggota tim peneliti merupakan akademisi dan aktivis ORNOP yang
selama concerndalam berbagai advokasi kebijakan di Gunung Kidul.
Dengan demikian setidaknya ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini: (1) data
primer yang berasal dari hasil wawancara mendalam (depth interview) dengan narasumber kunci serta
hasil observasi partisipatif maupun non partisipatif, (2) data sekunder yang berasal dari berbagai
dokumen kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul serta
pemberitaan media, blog, dsb tentang kebijakan penanggulangan kemiskinan di Gunung Kidul, dan
(3) data tersier yang berasal dari berbagai literatur (buku, jurnal, dsb) yang membahas tentang
kemiskinan dan kebijakan kemiskinan. [ ]
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
23/94
19
ALUR ARGUMEN
BAB IPENGANTAR
BAB IIMASALAH KEBIJAKAN SOSIAL
BAB IVPROSES KEBIJAKAN SOSIAL
BAB VINSTRUMEN KEBIJAKAN SOSIAL (1) BAB VIINSTRUMEN KEBIJAKAN SOSIAL (2)
BAB VIITAWARAN ALTERNATIF KEBIJAKAN
BAB IIISUBTANSI KEBIJAKAN SOSIAL
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
24/94
20
BAB IIMASALAH KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNG KIDULHasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah
ab ini akan menjelaskan masalah kebijakan yang kemudian mendorong respon kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Oleh karena
itu uraian dalam bab ini akan dimulai dengan penjelasan tentang lanskap kemiskinan yang ada di
Gunung Kidul untuk menemukan gambaran konteks dimana kemiskinan tersebut tumbuh dan
berkembang. Selanjutnya akan dijelaskan pula persoalan ketimpangan sosial di kabupaten tersebut.
B
LANSKAP KEMISKINAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL
Gunungkidul, yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa, sampai sat ini masih merupakan salah
satu kabupaten yang dihadapkan dengan masalah kemiskinan yang yang relatif akut. Berdasarkan
Indonesian Human Development Index Report (IHDIR) 2004 dikeluarkan oleh UNDP Indonesia-
BAPPENAS dan BPS, HDI Gunungkidul pada tahun 2002, berada dalam urutan ke-140 (skor 67,1)
dari total kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Sementara posisi Kabupaten Gunung Kidul juga
berapa dalam posisi terbawah diantara kabupaten/kota lainnya yang ada di wilayah propinsi DIY
yaitu: kota Yogyakarta (ke-3 dengan skor 75,3), Kabupaten Sleman (ke-30 dengan skor 72,2),Kabupaten Kulonprogo (ke-76 dengan skro 69,4) dan Kabupaten Bantul (ke-94 dengan skor 68,4).
Pada rentang tahun 2006-2008, ada peningkatan skor HDI Gunungkidul menjadi 69,40 (2006),
69,48 (2007) dan 70 (2008). meskipun tidak signifikan merubah posisi Gunungkidul sebagai
kabupaten dengan level HDI menengah ke atas (kisaran 6679). Hal menarik untuk dicermati
adalah, dalam kurun waktu tersebut, terlihat adanya peningkatan sub-indikator Usia Harapan Hidup
dan konsumsi riil per kapita namun pada sat yang sama indikator pendidikan mengalami stagnasi.
Namun bila dilihat dari nilai reduction short fall-nya, yang tercatat 0,55 lebih kecil pada tahun 2006
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, pencapaian HDI di Gunungkidul terkesan lambat
(BAPPEDA-GK, 2010: 33) (lihat tabel 1).
Sebagian argumentasi bab ini, pada awalnya, ditulis oleh Wasingatu Zakiyah. Subtansi bab ini kemudian dikembangkan
dan diperkaya oleh Hasrul Hanif.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
25/94
21
Tabel.1. Perkembangan HDI Gunungkidul dari tahun 2006-2008
URAIAN 2006 2007 2008KOMPONEN HDI
1. Angka Harapan Hidup (Tahun) 70,60 70,75 70,792. Angka Melek Huruf (%) 84,50 84,50 84,503.
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 07,60 07,60 07,604. Konsumsi riil per Kapita (000 Rp) 615,67 617,7 621,67
INDEKS HDI1. Harapan Hidup 76,00 76,25 76,322. Pendidikan 73,22 73,22 73,223. Pendapatan 59,08 59,55 60,47SKOR HDI 69,40 69,48 70,00REDUCTION FALL 0,55 0,77 1,07
Sumber: BAPPEDA-GK, 2010:34
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi bila dikaitkan dengan isu kesetaraan gender,
terutama dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar perempuan. Data IHDR tahun 2004
menunjukkan Gender Development Index (GDI) Kabupaten Gunung Kidul berada dalam peringkat
ke-111 dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada atau jauh di bawah peringkat Kota Yogyakarta
(ke-8) Kabupaten Sleman (ke-16), Kabupaten Kulonprogo (ke-53) dan Kabupaten Bantul (ke-81).
Bila dilihat populasi penduduk miskin secara lebih detail, jumlah penduduk miskin di
Kabupaten Gunung Kidul tergolong besar. Dari total penduduk sebanyak 184.974 keluarga, yang
tergolong miskin sebanyak 95.722 KK atau 51,75% dengan rincian sebagai berikut: miskin sekali
16.980 KK atau 9,18% dari keseluruhan keluarga, miskin 32.442 KK atau 17,54% dan hampir miskin
46.300 KK atau 25,03%.2 (lihat tabel.2).
Tabel.2. Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten/kota di Prop.DIY
No Wilayah JumlahPenduduk
Jumlah PendudukMiskin
Tingkat Kemiskinan(%)
PROPINSI DIY 3.224.000 616.000 19,11. Kab. Gunungkidul 687.000 173.000 25,22. Kab. Kulon Progo 376.000 95.000 25,13. Kab. Bantul 819.000 152.000 18,5
2 Data ini bersumber dari Hasil verifikasi PKH (Program Keluarga Harapan) untuk penerima BLT 2008. Khusus
Keluarga kategoriMiskin Sekali danMiskin, (lihat pemkab Gunung Kidul, 2008: 62).
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
26/94
22
4. Kab. Sleman 945.000 147.000 15,55. Kota Yogyakarta 396.000 50.000 12,7
Bila di lihat dari aspek distribusi regional kemiskinan, sebaran keluarga miskin sekali juga relatif
merata di seluruh wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Jumlah Keluarga kategori miskin sekali
terbanyak diatas 1000 KK terdapat di 8 kecamatan (dari total 18 kecamatan yang ada di wilayah
Kabupaten Gunung Kidul) yaitu: Kecamatan Semin, Kecamatan Saptosari, Kecamatan
Karangmojo, Kecamatan Tepus, Kecamatan Playen, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Wonosari dan
Kecamatan Ngawen. Informasi dari BAPPEDA Gunungkidul menunjukkan sebanyak 73 desa
tertinggal atau 50,7 % dari 144 desa yang ada.
Maka tidak mengherankan bila masih banyak keluarga di Kabupaten Gunung Kidul yang
menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan. Data Tim Koordinasi PenanggulanganKemiskinan Daerah (TKPKD) Gunung Kidul menunjukkan bahwa pada tahun 2006 penerima atau
sasaran program pengentasan kemiskinan sebanyak 683.389 jiwa atau 170.847 KK;3 perempuan
347.713 jiwa atau 50,88% dan laki-laki 335.676 jiwa atau 49,12%. (lihat tabel 3).
Tabel 3. Jumlah KK dan Jiwa Sasaran Program Pengentasan Kemiskinan
PENERIMA MANFAAT PROGRAM4
KELUARGA JIWANo NAMA NAMAPROGRAM Jumlah % dr Total KK Jumlah % dr Total Jiwa1 JAMKESMAS 95.722 56,0 340.635 49,8
2 BLT 95.374 55,8 381.496# 55,8
3 RASKIN 81.232 47,5 324.928# 47,54 PKH 9.470 5,5 37.880# 5,5
5 KUBE5 800 0,5 3.200# 0,56 JAMKESOS 20,750# 12.1 83,000 12.1
7 PAKET P2KP 18,712 11.0 74,848# 11.0# Merupakan angka kalkulasi. Misalnya data yang tersedia penerima manfaat BLT hanyalah jumlah KKmaka untuk mengetahui jumlah jiwa: jumlah KK dikalikan 4. Sebaliknya data tersedia penerima manfaat
program JAMKESOS adalah jumlah jiwa maka untuk mengetahui jumlah KK : jumlah jiwa dibagi 4
3 Rata-rata anggota per rumah tangga di Gunungkidul sebanyak 4 orang.
4 Program yang lain adalah UPK PNPM-MP , dengan penerima manfaat 1.197 kelompok perempuan.
5 Pemberdayaan Fakir Miskin. Sebanyak 800 KK penerima manfaat terbagi ke dalam 100 kelompok dan berada di 4
kecamatan; Rongkop, Semin, Paliyan dan Saptosari.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
27/94
23
LANSKAP KETIMPANGAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL6
Sebelum kita melihat dimensi ketimpangan sosial di kabupaten Gunungkidul, ada baiknya kita
membahas indikator fundamental ekonomi sebuah daerah yaitu; pertumbuhan ekonomi danpendapatan per kapita daerah. Berdasarkan dokumen Evaluasi Rencana Jangka Menengah Daerah
Kabupaten Gunungkidul tahun 2005-2010 (BAPPEDA-GK, 2010:15-16), pertumbuhan ekonomi
Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan adanya peningkatan yaitu
4,43% (2005), 3,82% (2006), 3,91% (2007) dan 4,39% (2008). Sedangkan, pada tahun 2008, peranan
PDRB Kabupaten Gunungkidul terhadap propinsi DIY sebesar 14,78% dibandingkan dengan
daerah otonom lainnya di wilayah propinsi DIY, yaitu Kabupaten Sleman (30,78%), Kota
Yogyakarta (26,35%), Kabupaten Bantul (19,93%), Kabupaten Kulonprogo (8,16%).7
Sedangkan pendapatan per kapita atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan juga
menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2007, PDRB per kapita sebesar Rp. 7.110.408 (Harga
Berlaku) dan Rp. 4.292.535 (Harga Konstan). Adapun tahun 2008, PDRB per kapita sebesar Rp.
8.011.695 (Harga Berlaku) dan Rp. 4.470.621 (Harga Konstan).
Memang sebuah proses pembangunan daerah membutuhkan adanya laju pertumbuhan dan
pendapatan per kapita tinggi, namun demikian tentu saja persoalan yang paling penting justru
bukanlah pertumbuhan itu sendiri, melainkan juga siapakah yang terlibat dalam proses pertumbuhan
tersebut. Jika yang terlibat dalam aktivitas pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah segelintir orang
kaya, maka manfaat pertumbuhan tersebut hanya akan dinikmati oleh segelintir orang tersebut
sehingga kemiskinan dan ketimpangan sosial akan semakin parah (Todaro & Smith, 2008:231).
6Sumber data bagian ini sebagian besar bersumber pada dokumen Evaluasi Rencana Jangka Menengah DaerahKabupaten Gunungkidul, tahun 2005-2010 (BAPPEDA-GK, 2010).7 Hasil penelusuran data sekunder dan survei persepsi publik Jawa Pos Pro-Otonomi Institute (JPIP) terhadap 40
kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jateng dan DIY pada tahun 2006 (JPIP, 2006) menunjukkan bahwa: Dilihat dari
aspek pertumbuhan, kondisi exisitingdi Gunung Kidul (dilihat angka pertumbuhan ekonomi, rasio pekerja dan angkatan
kerja, nilai investasi dan rasio PAD dan APBD) menunjukkan kabupaten ini berada dalam posisi terendah kedua (skor
0,071) diantara 40 kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jateng dan DIY. Meskipun, menariknya, hasil survei publik
dalam aspek ini menunjukkan bahwa masyarakat menganggap kinerja pemerintah Gunung Kidul dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi sudah sangat baik.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
28/94
24
Lalu bagaimana lanskap pemerataan atau distribusi ekonomi, baik secara spasial maupun
personal, yang ada di Gunungkidul? Berdasarkan Indeks Wiliamson,8 bila dibandingkan dengan
kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY tahun 2003-2008, Kabupaten Gunungkidul berada pada
tingkat ketimpangan yang rendah dengan rerata 0,113 (lihat tabel 4).9
Tabel 4. Indeks Williamson Kabupaten/Kota di Propinsi DIY 2003-2008
TAHUNKABUPATEN/KOTA2003 2004 2005 2006 2007 2008
RERATA
Kulonprogo 0,097 0,094 0,090 0,086 0,083 0,081 O,089Bantul 0,152 0,155 0,158 0,164 0,165 0,167 0,160Gunungkidul 0,118 0,118 0,115 0,111 0,109 0,108 0,113Sleman 0,026 0,023 0,025 0,024 0,026 0,026 0,025Kota Yogyakarta 0,320 0,319 0,317 0,316 0,314 0,313 0,317
Sumber: BAPPEDA-GK, 2010:16
Lalu bagaimana gambaran disparitas atau distribusi regional antar kecamatan yang ada di
wilayah Kabupaten Gunungkidul? Dari data rerata yang ada terlihat bahwa kecamatan Wonosari dan
kecamatan Gendangsari memiliki indeks Williamnson yang lebih tinggi dibandingkan kecamatan
lainnya di Kabupaten Gunungkidul. Laju pertumbuhan ekonomi di Wonosari yang melebihi
kecamatan-kecamatan lainnya menunjukkan bahwa adanya urban biased dalam kebijakan
pembangunan ekonomi lokal dimana orientasi pembangunan ekonomi lokal masih mengandalkan
hadirnya sebuah pusat pertumbuhan ( growth pole ) di daerah perkotaan yang bisa menyerap seluruh
8 Indeks Williamson merupakan indeks yang dipakai untuk melihat disparitas regional dengan tingkat pembangunan
ekonomi. Disparitas regional ini bisa disebabkan oleh heterogenitas dan beragam karaktersitik sebuah wilayah bila dilihat
dari proses akumulasi dan mobilisasi sumberdaya seperti akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja serta kapasitas SDA
yang dimiliki oleh sebuah wilayah. Angka indeks Wiliamson yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan
ketimpangan yang semakin kecil, atau dengan kata lain merata, dan bila semakin jauh dari nol menunjukkan ketimpangan
yang semakin lebar (lihat Kuncoro, 2004:133-134).
9 Sebagai perbandingan, hasil riset JPIP (2006) menunjukkan, pada aspek pemerataan ekonomi, kondisi existingyang ada
di Gunung Kidul (dilihat dari rasio penduduk dengan penduduk miskin, rasio dana pengentasan kemiskinan dengan
APBD, rasio belanja aparatur dan belanja publik, IPM daya beli, rasio panjang jalan dengan penduduk dan PDRB per
kapita) menunjukkan posisi ke-18 (skor 0,046) diantara kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah dan DIY atau
berada di posisi ke-4 diantara kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY. Persepsi publik, dari hasil survei yang ada,
masih memberikan kesan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Gunung Kidul memiliki kinerja yang cukup baik dalam
pemerataan ekonomi dan menempatkannya dalam posisi ke-13 diantara kabupaten/kota yang ada di Jateng dan DIY.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
29/94
25
proses akumulasi dan ditribusi ekonomi daripada mendorong pembangunan ekonomi lokal berbasis
kluster yang lebih menekankan keunggulan komparatif masing-masing kluster wilayah sehingga tidak
ada perbedaan yang signifikan antara wilayah urban dan rural. Singkat kata, pembangunan di
Gunungkidul masih cenderung mengumpul di satu titik pertumbuhan ekonomi daripada mendorong
pembangunan yang menyebar di seluruh wilayah. Sedangkan Kecamatan Gendangsari berada dalam
disparitas wilayah yang tinggi dikarenakan rendahnya pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut
(Bandingkan dengan BAPPEDA-GK, 2010: 17) (lihat tabel 5).
Tabel 5. Indeks Williamson antar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul 2004-2008
TAHUNKECAMATAN2004 2005 2006 2007
RERATA PERTUMBUHAN
Wonosari 0,161 0,137 0,140 0,144 0,145 1,12Gendangsari 0,082 0,085 0,085 0,085 0,084 -1,40
Saptosari 0,047 0,060 0,061 0,062 0,058 -7,16Patuk 0,057 0,056 0,056 0,057 0,056 -0,65 Tepus 0,050 0,039 0,039 0,040 0,042 5,38 Tanjungsari 0,039 0,040 0,039 0,039 0,039 0,05Girisubo 0,029 0,029 0,032 0,034 0,031 -8,24Panggang 0,025 0,032 0,032 0,033 0,031 -8,24Semanu 0,018 0,026 0,027 0,029 0,025 -12,78Nglipar 0,008 0,029 0,029 0,030 0,024 -19,60Rongkop 0,015 0,015 0,043 0,017 0,023 34,97Playen 0,017 0,023 0,024 0,025 0,022 -12,18Ngawen 0,025 0,020 0,021 0,022 0,022 -0,42
Karangmojo 0,005 0,021 0,024 0,027 0,019 -28,71Purwosari 0,025 0,016 0,017 0,018 0,019 3,36Semin 0,025 0,016 0,015 0,016 0,018 13,14Paliyan 0,002 0,008 0,008 0,009 0,007 -24,44Ponjong 0,004 0,005 0,003 0,003 0,004 42,00
Sumber: BAPPEDA-GK, 2010:16.
Bila dilihat dari indeks atau rasio gini, pada tahun 2006, Kabupaten Gunungkidul memiliki
indeks gini dengan poin 0,2298 lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini bisa
menjadi indikasi positif yang menunjukkan adanya distribusi pendapatan yang semakin membaik dari
tahun 2005 ke tahun 2006 (lihat BAPPEDA-GK, 2010: 17) [ ]
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
30/94
26
BAB IIIORIENTASI SUBTANSI KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATENGUNUNGKIDULHasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah
ada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa Kabupaten Gunungkidul masih dihadapkan
dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dengan kata lain, kemiskinan dan
ketimpangan sosial kemudian menjadi isu strategis kebijakan yang penting untuk direspon dan
dicarikan titik penyelesaiannya.
P
Oleh karena itu, pada bab ini akan dijelaskan secara lebih detail bagaimana pemerintah daerah
Gunungkidul menyusun program dan aktivitas penanggulangan kemiskinan sebagai respon terhadap
masalah tersebut. Argumentasi dalam bab ini akan diawali dengan deskripsi berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang selama ini ada di Kabupaten Gunungkidul. Program
penanggulangan kemiskinan tersebut bersumber baik yang didesain oleh Pemerintah, Pemerintah
Propinsi maupun Pemerintah Daerah. Selanjutnya akan diuraikan penjelasan tentang watak program
penanggulangan kemiskinan di daerah tersebut.
ORIENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI GUNUNGKIDUL
Sebelum mengkaji kebijakan penanggulangan kemiskinan secara lebih mendetail di
Gunungkidul, kita seyogyanya memahami terlebih dahulu kebijakan atau strategi penanggulangan
kemiskinan di tingkat nasional. Hal ini penting dikedepankan mengingat penanggulangan kemiskinan
adalah salah satu prioritas nasional yang terumuskan dalam berbagai dookumen rencana strategis
Pemerintah. Secara nasional, fokus penanggulangan kemiskinan Pemerintah pada tiga hal utama,
yaitu:
Sebagian argumentasi bab ini, pada awalnya, ditulis oleh Wasingatu Zakiyah. Subtansi bab ini kemudian dikembangkandan diperkaya oleh Hasrul Hanif.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
31/94
27
Bantuan dan perlindungan sosial.Fokus ini lebih menekankan aspek perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar
warganegara terutama hak pendidikan, hak kesehatan, hak atas pangan, hak atas sanitasi dan
air bersih. Berbagai program telah ditelorkan oleh Pemerintah terkait hal tersebut antara
lain Beras untuk Orang Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), dan
Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Pemberdayaan Masyarakat.Fokus ini lebih menekankan pada upaya peningkatan kapasitas atau kapabilitas melalui
upaya perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan
berusaha, tanah, sumberdaya daya alam &Lingkungan Hidup, dan perumahan. Salah satu
program yang sangat kuat dalam fokus ini adalah Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil.Berupa perlindungan dan pemenuhan hak atas, kesempatan berusaha dan bekerja, dan
sumberdaya daya alam & lingkungan Hidup. Mis: UMK-KUR.
Sedangkan di tingkat daerah, berdasarkan dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan
kabupaten Gunungkidul (Pemkab,2007), pemerintah daerah memfokuskan programpenanggulangan kemiskinan pada:
Perluasan kesempatan.Fokus ini menekankan pada upaya untuk menciptakan kondisi lingkungan ekonomi, politik, dan
sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik laki - laki maupun perempuan dapat
memperoleh kesempatan yang seluas- luasnya dalam pemenuhan hak- hak dasar dan
peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.
Pemberdayaan Masyarakat.Pemerintah daerah berusaha mendorong pemberdayaan masyarakat melalui upaya-upaya
penguatan kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan perluasan
partisipasi masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak- hak dasar.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
32/94
28
Peningkatan Kapasitas.Upaya peningkatan kapasitas dilakukan melalui strategi yang dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin, baik laki-laki maupun
perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan, melalui upaya-upaya
pendidikan formal maupun non formal.
Perlindungan Sosial.Upaya perlindungan sosial diekspresikan dengan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi
kelompok rentan(perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar,
orang dengan kemampuan berbeda (difabel) dan masyarakat miskin baru laki-laki dan
perempuan yang disebabkan oleh bencana alam,dampak negatf dari krisis ekonomi.
PROBLEMA ORIENTASI SUBTANSI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
GUNUNGKIDUL
Pertanyaan yang menggelitik dan penting untuk dijawab adalah mengapa sedemikian banyak
program penanggulangan kemiskinan telah coba dikembangkan di Gunungkidul namun efek
sistemik yang mampu menanggulangi kemiskinan dengan baik tampaknya belum muncul di
kabupaten tersebut?
Dari berbagai program yang dihasilkan (lihat tabel 6), sebagian besar merupakan program-
program yang bersifat karitatif. Program-program penanggulangan kemiskinan yang ada di
Kabupaten Gunungkidul masih cenderung bersifat pemberian sejumlah dana kepada pihak yang
diverifikasi masuk dalam kategori miskin. Program ini bersifat bukan pemberian kail tapi berupa
pemberian ikan yang cenderung seperti program pemadam kebakaran tanpa masuk untuk
menyelesaikan akar masalah kemiskinan lebih mendalam. Misalnya, program Bantuan Tunai
Langsung (BLT) diakui atau tidak lebih merupakan buffer policyuntuk memoderasi potensi gejolak
sosial akibat menguatnya deprivasi sosial setelah harga Bahan Bakar Minyak dinaikkan. Dalam jangka
pendek, program-program program seperti ini tidak akan bisa membuat warga survive tetapi justru
menumbuhkan ketergantungan baru pada pemerintah.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
33/94
29
Tabel 6. Pelbagai program penanggulangan kemiskinan
PROGRAM DEPARTEMEN/SKPDBeasiswa dan bantuan biaya sekolah Dinas Pendidikan dan
DEPDIKNAS RIDukungan bantuan dan pemberdayaan sosial Dinas Sosial Propinsi DIY dan
DEPSOS RI
Program pelayanan &rehabilitasi sosial Dinas Sosial Propinsi DIY danDinas SOBERMAS
Pengembangan pertanian holtikultura Dinas pertanian TP dan Perikanan
Pengembangan koperasi Disperindagkop
Penguatan Modal usaha mikro Disperindagkop
Bantuan bibit kakao, HKm, Konservasi hutan Dinas Hutbun
Pengembangan peternakan Dinas Peternakan
Pembangunan infrastruktur pedesaan Dinas Pekerjaan Umum
Bantuan sarana dan prasarana pemukiman dinas SOBERMASIntervensi gizi dan ketahanan pangan Dinas Kesehatan dan Dinas
Pertanian
Peningkatan pendapatan petani kecil Dinas Pertanian
Pengembangan lembaga ekonomi pedesaan (LUEP) Dinas Pertanian
Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) Dinas Pertanian, Tanaman Pangandan Perikanan
Fokus penanggulangan kemiskinan, dalam kenyataannya, masih mengandaikan ketidaksediaan
modal sebagai faktor penyebab utama kemiskinan sehingga program penanggulangan kemiskinanlebih banyak dikaitkan dengan upaya pemberian modal. Pengalaman menunjukkan bahwa upaya
pemberian bantuan modal sudah dilakukan dengan berbagai skema kegiatan di Gunungkidul namun
dana yang turun banyak digunakan untuk konsumsi. Ironisnya, sederet permasalahan kemudian
muncul dalam pemberian dana kepada masyarakat berupa modal usaha, yaitu: (1) Bantuan modal
tidak efektif apabila diberikan ke kelompok, (2) Bantuan justru menyebabkan semangat
volutenrisme atau modal sosial masyarakat berupa kejujuran dan kegotong-royongan malah terkikis.
Meski banyak bantuan yang turun namun persepsi publik masih melihat pemerintah daerah
dianggap kurang responsif dalam merespon permasalahan warga yang mengalami kesulitan ekonomi.
Hal ini dikarenakan aspek-aspek penting lainnya yang menyebakan kemiskinan justru diabaikan.
Misalnya alat produksi petani berupa lahan masih sangat minim dimiliki oleh petani. Pada saat yang
sama, masyarakat memiliki persepsi yang sangat kuat bahwa belum ada upaya pemerintah daerah
untuk melindungi usaha produktif warga terhadap persaingan dari pengusaha bermodal besar.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
34/94
30
Dengan kata lain, persoalan struktural yang menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri nyaris tak
tersentuh. Upaya mendorong proses redistribusi pendapatan (baik secara personal maupun spasial)
yang menjadi poin penting dalam penanggulangan kemiskinan bisa dipastikan tidak pernah menjadi
agenda kebijakan. Pemerintah daerah memang tampaknya lebih nyaman menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang bersifat dekomodifikasi seperti pendidikan murah, kesehatan yang terjangkau atau
air bersih yang diberikan secara cuma-cuma kepada warga di beberapa kecamatan saat kekeringan
menjadi bagian dari upaya menjadikan sektor krusial yang ada di wilayah gunungkidul dapat diakses
lebih baik oleh warga. Alhasil, pelbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada cenderung
menekankan aspek kebudimanan (benevolence ) negara daripada dipahami sebagai upaya redistribusi
sumberdaya untuk meminimalisasi kesenjangan sosial.
Masih terkait dengan aspek redistribusi, berbagai desain penanggulangan kemiskinan di
Gunungkidul, dan di Indonesia secara umum, banyak masuk ke dimesi output dari kebijakan namun
sama sekali menafikan dimensi input, terutama aspek pembiayaan seperti persoalan taxing power
sharing antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka proses pembiayaan program.
Akibatnya beberapa program penanggulangan kemiskinan dibiayai dari dana hutang luar negeri yang
dalam jangka panjang akan punya efek yang negatif.
Tabel 7. Identifikasi Masalah dari Aspek Input dan Output
INPUT OUTPUT
Pembiayaan o Bertumpu pada pembiayaanyang berasal dari hutang luar
negeri
o Mengabaikan isu taxing powersharing karena belum melihat
pajak sumber pembiayaan
utama sekaligus sebagai
instrumen untuk menjalankan
fungsi redistribusi pemerintah
daerah
o Tidak mengoptimalkan sumber-
Orientasi
dan sasaran
o Lebih menekankan aspekkebudimanan negara
o Melihat kemiskinansebagai kegagalan
individu mengakses
pasar (bukan persoalan
struktural)
o Lebih bertujuan untukmenjaga stabilitas sosial
dibanding pada upaya
pemenuhan hak-hak
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
35/94
31
sumber pembiayaan alternatif
non hutang seperti hibah pihak
ketiga (dana CSR), dana
filantropi keagamaan
dasar warganegara
o Sasaran utama programadalah orang miskin yang
dianggap penyandang
masalah sosial (PMS)
bukan sebagai
warganegara yang
memiliki hak.
Orientasi o Mengabaikan aspek full-employment secara serius yang
memiliki kaitan erat dengan
potensi pajak (usia produktif
sebagai penopang utama)
Pola o Program-programkarikatif
o Lebih fokus padapemberian modal dan
penguatan kapasitas
individu
Hal menarik lainnya, meskipun semangat desentralisasi dan otonomi daerah sangat kuat dalam
tata kelola pemerintahan di Indonesia, namun kenyataan menunjukkan bahwa desain program-
program penanggulangan kemiskinan yang ada masih bersifat sangat sentralistik. Perhatikan saja,
hampir semua program penanggulangan kemiskinan berasal dari Pemerintah dibandingkan berasal
dari pemerintah daerah, seperti program nasional Jamkesmas, BLT, raskin, PKH, KUBE, Paket
P2KP. Demikian juga ada program penanggulangan kemiskinan juga yang berasal dari pemerintah
propinsi sebagai wakil Pemerintah di daerah- seperti JAMKESOS. Kondisi ini tentu saja
menyulitkan bagi pemerintah kabupaten untuk mengembangkan inovasi kebijakan dalam proses
penanggulangan kemiskinan secara lebih leluasa di Kabupaten Gunungkidul.
Di tengah hiruk-pikuk program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul,persoalan koordinasi dan integrasi program kemudian muncul ke permukaan. Persoalan ini memang
relatif klasik mengingat muncul sejak akhir tahun 1990-an (mis. program IDT JPS, dll) hingga
sekarang ada (mis. PNPM Mandiri, PPK, P2KP, P2DT, Raskin, BLT). Berbagai program ini belum
terintegrasi dengan baik dalam proses perencanaan dan implementasi program yang ada di daerah
Kabupaten Gunungkidul. Ada kesan yang sangat kuat bahwa proses perencanaan juga masih
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
36/94
32
terfragmentasi. Ada yang betul-betul direncanakan oleh Pemerintah tanpa melibatkan pemerintah
daerah, namun ada juga yang perencanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah. [ ]
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
37/94
33
BAB IVDINAMIKA GOVERNANCE DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DIGUNUNGKIDUL
Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A.
alam bab ini akan dijelaskan bagaimana dinamika local governancedalam kebijakan sosial
yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Untuk menemukan bagaimana pola interaksi
antar aktor dalam tata kelola pemerintahan di Kabupaten Gunungkidul, bab ini secara khusus akan
menguraikan dinamika governance dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah yang ada
sepanjang tahun 2008-2009 di Kabupaten Gunungkidul.
D
Hal yang penting untuk ditekankan sejak awal adalah kinerja kebijakan sosial dalam sebuah tata
kelola pemerintahan daerah yang baik dan demokratis tentu saja tidak hanya bisa diukur dari aspek
teknokratisme semata yang menakar kinerja berdasarkan pada kepatuhan atas pembakuan
administrasi serta kemampuan untuk merumuskan desain kebijakan secara visioner. Bagaimanapun,
proses kebijakan sosial juga seharusnya mencerminkan kuatnya kontrol rakyat terhadap urusan-
urusan publik termasuk anggaran- dimana semua pemangku kepentingan (stakeholders ) memiliki
peluang dan kesempatan yang setara secara politik dalam proses tersebut. Rakyat mestinya bukanlah
sekedar penonton yang hanya meramaikan forum-forum konsultasi publik tapi justru menjadi pihak
yang menentukan. Hal terpenting yang mesti dicatat adalah peningkatan kualitas keterlibatan rakyat
dalam proses perencanaan dan penganggaran akan berbanding lurus dengan penguatan komitmen
sosial dalam alokasi anggaran publik. Singkat kata, tata kelola kebijakan sosial seyogyanya
dikembangkan melalui proses sinergi antar pihak baik dari negara, masyarakat maupun pasar dalam
rangka memenuhi tujuan bersama. Tentu saja, selain sinergi, pola interaksi yang terbangun haruslah
demokratis: masing-masing pihak berada dalam posisi yang setara.
Tulisan ini merupakan laporan penelitian Local Budget Index (LBI) di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang
diselenggarakan atas kerjasama IDEA dan SEKNAS-FITRA. Penelitian tersebut merupakan expert judgement yang
menggunakan metode analisa isi dokumen dan wawancara- untuk menakar kinerja proses perencanaan dan penganggaran
daerah di Kabupaten Gunungkidul. Proses penelusuran data dilakukan oleh Tenti Kurniawati dan Hendra Try Ardianto
sedangkan analisa dinarasikan dan diperkaya oleh Hasrul Hanif.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
38/94
34
Oleh karena itu, bab ini akan menjelaskan sejauh mana prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan daerah yang baik dan demokratis (good & democratic local governance) terlembaga dengan
baik di Kabupaten Gunungkidul. Keseluruhan bab ini akan memberikan deskripsi yang detail
tentang bagaimana tingkat derajat partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan kesetaraan dalam proses
perencanaan dan penganggaran daerah. Derajat tersebut akan dilihat pada setiap fase mulai dari fase
perencanaan, pembahasan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban.
DERAJAT TRANSPARANSI
Transparansi pada dasarnya adalah indikasi adanya keterbukaan tata kelola pemerintahan yang
ada dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan perencanaan dan
penganggaran secara sistematis atau bersifat jelas dan cukup. Oleh karena itu, dalam bentuk yang
lebih konkrit, transparansi bisa dikur dari beberapa hal penting berikut ini: Pertama, ketersediaan.
Yang dimaksud dengan ketersediaan adalah adanya dokumen-dokumen dasar dalam perencanaan
dan penganggaran daerah sekaligus dokumen-dokumen tersebut mampu memberikan informasi
yang memadai. Kedua, aksesibilitas. Dokumen pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran
bukan hanya tersedia dan memadai informasinya tapi juga harus bisa diakses oleh publik karena
bagimanapun dokumen-dokumen tersebut merupakan dokumen publik. Setidaknya ada 4 klasifikasi
derajat aksesibilitas, yaitu: (1) tidak dibuat (2) tidak bisa diakses (3) diakses dengan permintaan (4)
disebarluaskan/dipublikasikan. Dimana poin (1) menunjukkan pada derajat aksesibilitas yang paling
rendah sedangkan poin (4) menunjuk pada derajat aksesibilitas paling tinggi.
Bila dilihat dari indikator aksesibilitas, dari hasil penelusuran terhadap dokumen perencanaan
dan penganggaran di kabupaten Gunungkidul selama kurun waktu 2008-2009, derajat transparansi
pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul bisa dipastikan berada dalam posisi diakses dengan
permintaan. Sebanyak 21 dari 22 dokumen yang ada bisa diakses dengan permintaan. Sisanya satu
dokumen, yaitu Informasi LPPD (khususnya tahun 2009), dipublikasikan secara luas melalui bentuk
hardcopy (koran) oleh pemerintah Kabupaten Gunungkidul. (lihat tabel 8). Dengan kata lain, pada
dasarnya masyarakat sebenarnya bisa mengakses mengajukan permintaan resmi terlebih dahulu
kepada aparat pemerintah daerah.
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
39/94
35
Tabel .8 Ketersediaan dan Aksesibilitas Dokumen
TidakDibuat
Tidak DapatDiakses
Diakses DenganPermintaan
Dipublikasikan/disebarluaskanNo Dokumen
(a) (b) (c) (d)
A. PERENCANAAN1. RPJMD 2. RKPD 3. Renja SKPD
Pendidikan
4. Renja SKPDKesehatan
5. Renja SKPDPertanian
6. Hasil MusrenbangKecamatan
B. PEMBAHASAN ANGGARAN7. KUA-PPAS 8. RKA-SKPD
pendidikan
9. RKA-SKPDkesehatan
10. RKA-SKPDPertanian
11. RAPBD C. PELAKSANAAN ANGGARAN
12. Perda tentang APBD 13. Perkada tentang
Penjabaran APBD
14. KUA-PPASPerubahan
15. Perda tentangPerubahan APBD
16. Perkada tentangPenjabaran PerubahanAPBD
17. DPA SKPDPendidikan
18. DPA SKPDKesehatan
19. DPA SKPDpertanian/ perikanan
D. PERTANGGUNJAWABAN ANGGARAN20. Laporan realisasi
semester pertamaAPBD
21. Perda tentangPertanggungjawabanPelaksanaan APBD
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
40/94
36
22. Informasi LPPD
Selanjutnya bila dilihat dari kejelasan dan kecukupan informasi yang diberikan, ada
kecenderungan yang variatif di setiap fase atau tahapan. Dari 18 dokumen yang ada, sebanyak 12
dokumen (atau 66%) terisi dengan lengkap sedangkan yang lain hanya berisi sebagian (34%) (lihat
tabel 9 di bawah ini).
Tabel 9. Derajat Kejelasan dan Kecukupan Informasi
DOKUMEN JENIS INFORMASI(SEMESTINYA)
DERAJAT
A.Fase PerencanaanRPJMD Permasalahan Daerah,
Indikasi rencana program yangdisertai kebutuhan pendanaan, danIndikator kinerja daerah
Lengkap
HASIL MUSRENBANGKECAMATAN
Kegiatan, Sasaran/ lokasi, Usulan anggaran
Lengkap
RKPD Evaluasi pelaksanaan RKPD tahunlalu;
Rencana Program dan KegiatanPrioritas daerah;
Pagu indikatif program kegiatan
Dalam RKPD 2009, evaluasipelaksanaan RKPD tidak ada
RENJA SKPD
KESEHATAN
Dalam Renja SKPD Kesehatan
2009, Evaluasi Pelaksanaan RenjaSKPD tahun lalu danPagu indikatif program dan kegiatantidak termuat
RENJA SKPDPENDIDIKAN
Dalam Renja 2009, EvaluasiPelaksanaan Renja SKPD tahun2009 dan Pagu indikatif program dankegiatan tidak termuat
RENJA SKPDPERTANIAN/PERIKANAN
Evaluasi pelaksanaan Renja SKPDtahun lalu;
Pagu indikatif program dan kegiatan; Indikator kinerja dan kelompok
sasaran
Dalam Renja 2009, EvaluasiPelaksanaan Renja SKPD tahun laludan Pagu indikatif program dankegiatan tidak termuat. Dokumen
hanya memuat Jumlah Anggaran(Rp).
B.PembahasanKUA-PPAS Rencana Pendapatan dan
Penerimaan Pembiayaan Daerah(target tahun anggaran berkenaan,dasar hukum);
Plafon anggaran sementara belanja
Lengkap
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
41/94
37
berdasarkan program kegiatan(sasaran, target, plafon);
Rencana pembiayaan daerahRKA SKPDKESEHATAN
Lengkap
RKA SKPDPENDIDIKAN
Lengkap
RKA SKPDPERTANIAN/PERIKANAN
Indicator dan target kinerja; Lokasi dan kelompok sasaran; Rencana anggaran 1(satu) tahun
kedepanLengkap
C.PelaksanaanPerda APBD Rincian APBD menurut urusan
pemerintah daerah dan organisasi; Program dan kegiatan; Belanja menurut kelompok dan
Jenis; Rincian obyek pendapatan dan
Rincian Pembiayaan
Lengkap
PerKaDa tentangPenjabaran APBD untukpendapatan
Target volume/pendapatan aslidaerah yang direncanakan
Tarif pengutan atau harga Tarif pungutan atau harga tidaktermuat
PerKaDa tentangPenjabaran APBD untukBelanja
Satuan volume atau tolak ukur; Harga satuan; Lokasi kegiatan; Sumber pendanaan kegiatan
Lengkap
KUA PPAS PerubahanAnggaran
Justifikasi atau alasan perubahan Informasi anggaran yang berubah Lengkap
Perda Tentang PerubahanAPBD
Rincian perubahan APBD menuruturusan pemerintahan daerah,
organisasi, pendapatan, belanja danpembiayaan;
Laporan Keuangan PemerintahDaerah yang telah ditetapkan Perda
Laporan Keuangan PemerintahDaerah yang telah ditetapkan dalam
Perda tidak termuat
D.PertanggujawabanLaporan realisasi semesterI APBD
Laporan realisasi anggaran selama 1semester
Progonosi untuk 6 bulan kedepanLengkap
Perda tentangPertanggungjawabanPelaksanaan APBD
Rincian laporan realisasi anggaranmenurut urusan pemerintahandaerah, organisasi, pendapatan,belanja dan pembiayaan;
Rekapitulasi realisasi anggaranbelanja daerah menurut urusan,organisasi, program dan kegiatan;dan
Catatan atas Laporan Keuangan
Lengkap
Informasi LPPD ringkasan LPPD Lengkap
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
42/94
38
Secara umum, meskipun berbagai dokumen yang ada tersebut bisa diakses namun masyarakat
juga tidak mudah begitu saja untuk mendapatkan dan menggandakan dokumen-dokumen publik
tersebut. Dari hasil FGD dengan para birokrat di Gunungkidul dan pengalaman tim peneliti sendiri
ketika mengakses dokumen tersebut, banyak dokumen yang tidak terdokumentasikan dengan baik.
Tidak ada sistem pengarsipan dan data baseyang baik serta media yang murah yang memungkinkan
berbagai data tersebut bisa diakses secepatnya dan semurah mungkin oleh masyarakat secara luas.10
DERAJAT PARTISIPASI
Partisipasi diartikan sebagai terbukanya ruang bagi keterlibatan warga dalam pengambilan
keputusan pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran daerah. Secara operasional, derajat
biasanya dilihat dari dua hal, yaitu: Pertama, tersedia wahana partisipasi. Kedua, derajat keterlibatan
masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan (derajat otoritas).
Ruang partisipasi dalam proses pembangunan lokal, telah dibuka oleh Pemerintah daerah Kab.
Gunung Kidul, sebagaimana terjadi di daerah-daerah otonom lainnya di Indonesia dalam satu
dasawarsa terakhir ini. Hal ini tidak terlepas adanya basis yuridis, yaitu UU No. 25 tahun 2004, yang
secara eksplisit memandatkan hal tersebut. Dengan demikian seyogyanya, mulai dari fase
perencanaan, pembahasan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, dapat dipastikan selalu ada ruang-
ruang yang memungkinkan mekanisme partisipasi berjalan (lihat tabel 10).
10 Kondisi yang terjadi di kabupaten Gunungkidul sebenarnya tidak berbeda jauh dengan 5 kabupaten/kota lainnya.Sebagian besar di 5 daerah otonom lainnya, yang menjadi wilayah kajian LBI menunjukkan bahwa rata-rata di daerah
tersebut berbagai dokumen bisa diakses dengan permintaan (61,4%). Daerah yang paling banyak mempublikasikan
dokumen adalah Kebumen (7 dokumen) sedangkan Kabupaten Bandung memiliki dokumen anggaran yang paling
banyak tidak bisa diakses (16 dokumen). Yang menarik, pola umum yang ditemui di 6 daerah yang ada, adalah
dokumen-dokumen yang terkait dengan pertanggungjawaban anggaran lebih tidak mudah diakses dibandingkan
dokumen perencanaan, pembahasan dan pelaksanaan anggaran. Sementara itu Laporan Realisasi Anggaran menjadi
dokumen yang paling sering memuat informasi yang belum memadai dan sebaliknya Perda APBD memberikan
informasi yang memadai (lihat Seknas FITRA, 2010).
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
43/94
39
Tabel 10. Ketersediaan Wahana dan Derajat Partisipasi
No Penyusunan Dokumen Status Otoritas
A. Perencanaan1 RPJMD Tersedia publik secara luas
2 RKPD Tersedia publik secara luas3 Renstra SKPD Pendidikan Tersedia publik secara luas4 Renstra SKPD Kesehatan Tersedia publik secara luas5 Renstra SKPD Pertanian/ Perikanan Tersedia publik secara luas
6 Renja SKPD Pendidikan Tersedia publik secara luas7 Renja SKPD Kesehatan Tersedia publik secara luas8 Renja SKPD Pertanian/ Perikanan Tersedia publik secara luas
B. Pembahasan9
KUA-PPAS
Tersedia o hanya melibatkanSKPD (pemda)
opublik secara luas(DPRD)
10Penyusunan dokumen RAPBD (Pemda)
Tersedia hanya melibatkanDPRD dan SKPD
11 Pembahasan RABD (DPRD) Tersedia publik secara luasC. Pelaksanaan
12 Keluhan pelayanan publik Tersedia LOD PropinsiD. Pertanggungjawaban
13
Ranperda PTJ APBD
Tersedia o hanya melibatkanDPRD dan SKPD(pemda)
o hanya melibatkanDPRD dan SKPD(DPRD)
14 tanggapan terhadap informasi LKPD Tidak tersedia
Dari aspek ketersediaan wahana partisipasi, tersedia wahana sebanyak 13 (93%) dari 14
aktivitas penyusunan dokumen dari semua fase/tahapan perencanaan dan penganggaran.Meskipun
sangat disayangkan karena masyarakat justru sama sekali tidak memiliki ruang untuk memberikan
tanggapan terhadap informasi Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) yang ada di
Kabupaten Gunungkidul.
Sementara itu, apabila dilihat dari aspek cakupan dan otoritas untuk mempengaruhi kebijakan,
fase perencanaan penganggaran merupakan fase yang paling terbuka terhadap kehadiran masyarakat
secara lebih luas. Tentu saja, pelibatan masyarakat secara luas ini bukan dalam bentuk referendum
atau proses deliberasi yang sangat terbuka melainkan mengundang para pihak yang dianggap sebagai
pemangku kepentingan (stakeholder) dalam sektor-sektor yang ada. Misalnya, penyusunan Renstra dan
8/3/2019 Menakar Keberpihakan Sosial
44/94
40
Renja SKPD pendidikan akan selalu mengundang PGRI atau Ornop yang fokus terhadap isu
pendidikan.
Pada fase pembahasan, pelaksanaan dan pertanggujawaban, ruang-ruang partisipasi tersebut
semakin tertutup. Berbagai proses yang ada dalam fase-fase ini otomatis hanya menjadi wilayah
otoritatif dari eksekutif dan legislatif dan rakyat bahkan sama sekali tidak memungkinkan tahu apa
yang terjadi. Bahkan dalam fase pertanggungjawaban tidak ada ruang sama sekali bagi masyarakat
akar rumput untuk memberikan tanggapan terhadap Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah
(LKPD). Meskipun ada celah kecil dimana masyarakat bisa mengadukan permasalahan terkait
dengan pelayanan publik melalui Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) Propinsi DIY meskipun
juga tidak ada jaminan bahwa rekomendasi LOD tersebut, apabila ada masalah, akan dijalankan oleh
pemerintah daerah.11
Dengan demikian, secara kritis, bisa disimpulkan bahwa partisipasi publik di Gunungkidul
masih dalam derajat informatif. Dalam tahap ini, pemerintah daerah sudah berupaya untuk
membuka peluang atau kesempatan politik untuk berpartisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat
namun belum memberikan jaminan bahwa artikulasi berbagai kepentingan dan suara yang bersal dari
masyarakat tersebut akan diakomodasi, termasuk jaminan regulasi. Misalnya, Pemda kab. Gunung
Kidul hingga tahun 2010 belum memiliki pagu indikatif di tingkat kecamatan. Selain itu Sampai hari
ini berbagai forum partisipasi tersebut berlandaskan Surat Edaran Bupati. Tentu saja SE tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingkan peraturan daerah.12
11Pola partisipasi yang ada di Gunungkidul ini juga terjadi di 5 daerah lainnya. Ketersediaan wahana partisipasi pada faseperencanaan cenderung baik tetapi semakin berkurang secara bertahap hingga fase pertanggungjawaban. Hampir semua
daerah juga belum memiliki pagu indikatif yang bisa menjamin usulan dari masyarakat. Sedangkan ketersediaan wahana
pengaduan bagi publik masih minim (Seknas-FITRA, 2010).12Setidaknya, ada 3 derajat partisipasi publik bila dilihat dari seberapa besar keleluasaan yang dibuka oleh pemerintah,yaitu (Hanif & Kurniawan, 2007):
Informatif. Sebuah pemerintahan daerah berada dalam derajat partisipasi yang sifa
Top Related