Download - Memberdayakan Orang Miskin Di Pedesaan

Transcript

1

MEMBERDAYAKAN ORANG MISKIN DI WILAYAH PEDESAANDiabstraksikan oleh Prof Dr Ir Soemarnom MS PM PSLP PPSUB Juli 2011

1. PENDAHULUAN Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di masa lampau, menyebabkan saat ini pemerintah menghadapi adanya situasi sulit yang menimpa masyarakat, khususnya pedesaan di Jawa. Hal ini telihat dari kenyataan banyaknya potensi sumberdaya alam menjadi semakin terbatas; berkurangnya pemilikan lahan pertanian; dan nilai tukar yang semakin buruk antara hasil pertanian dengan hasil industri. Akibat dari keadaan ini terjadi proses pemiskinan sumberdaya manusia, jumlah kelompok miskin menjadi semakin banyak dan bahkan cenderung terjadi pada sebagian besar masyarakat pedesaan. Proses semacam ini disebut oleh Geertz disebut "involusi pertanian", yang merupakan proses pembagian kemiskinan. Masyarakat yang terjangkit penyakit involusi inilah yang mewarisi potensi sumberdaya yang kapabilitasnya rendah. Pada umumnya dalam jangka panjang akan menyebabkan para warganya tidak memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke depan, tidak memiliki keberanian menanggung resiko, kurang memiliki inisiatif, kurang memiliki kemampuan melihat potensi/peluang yang ada, buta informasi dan akhirnya dapat menjurus menjadi fatalis. Proses pengentasan masyarakat dari fenomena involusi pertanian akan berhasil apabila terjadi pendinamisan masyarakat secara keseluruhan. Disamping itu pola adaptasi baru akan dapat dilalui masyarkat apabila tidak ada perintang yang dapat menghambat terjadinya perkembangan tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila ada intervensi pemerintah secara langsung dan cukup intense, yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dengan jalan pembangunan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam rangka program pengentasan kemiskinan telah dirancang berbagai program pembinaan sumberdaya manusia dan sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memeratakan akses seluruh masyarakat terhadap proses pembangunan dan hasil-hasilnya. Selain itu perlu adanya perhatian khusus terhadap kelompok masyarakat miskin yang relatif tertinggal dan belum beruntung dibandingkan dengan kelompok lainnya. Penanganan kemiskinan pada prinsipnya merupakan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya alam yang tidak menguntungkan dan rendahnya akses kelompok masyarakat miskin terhadap peluang- peluang yang tersedia. Oleh karena itu sasaran pengentasan yang perlu diutamakan adalah :

2

(a). Peningkatan kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia, melalui jalur pelayanan pendidikan (transfer IPTEK), pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi. (b). Mengembangkan tingkat partisipasi kelompok masyarakat miskin dengan jalan membuka peluang-peluang usaha produktif yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat miskin. Dengan mengacu kepada dua sasaran tersebut maka bantuan program pembangunan harus diberikan dalam bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan penghasilan, kemampuan berusaha, upaya meringankan beban hidup masyarakat, pemenuhan prasarana dasar sosial, pemberian modal kerja melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM) untuk dapat digulirkan lebih lanjut dan pembangunan /rehabilitasi sarana dan prasarana fisik yang menunjang kegiatan produktif, pemasaran hasil produksi pedesaan, dan perbaikan mutu lingkungan pemukiman hidup. Usaha lain yang sedang dirancang Pemerintah pada awal PJPT II, yakni melalui konsep Program bantuan khusus untuk wilayah dengan kelompok masyarakat miskin yang cukup besar. Usaha Pemerintah pada kenyataannya masih menghadapi permasalahan, yakni (a) Kurangnya data aktual untuk mengidentifikasi masalahmasalah yang dihadapi kelompok miskin ; (b) belum diketahuinya proyek- proyek yang dibutuhkan untuk kelompok masyarakat miskin; (c) belum diketahuinya katagori kelompok sasaran yang relevan dengan jenis proyek yang akan diintroduksikan. 2. BEBERAPA PERMASALAHAN "Kemiskinan dapat dirumuskan sebagai keadaan dari masyarakat yang hidup serba kekurangan, yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh mereka." Keadaan sosial ekonomi masyarakat miskin di wilayah pedesaan masih ditandai oleh pertambahan penduduk yang cukup pesat, dan sebagian terbesar masih tergantung pada sektor pertanian dan sektor-sektor tradisional. Dalam situasi seperti ini tekanan terhadap sumberdaya lahan semakin besar dan rata-rata penguasaan aset lahan setiap rumah tangga semakin minim, bahkan banyak rumahtangga yang tidak memiliki lahan garapan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak keterbatasan lahan pertanian tersebut, baik melalui program intensifikasi pertanian, transmigrasi, maupun pengembangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dalam sektor non-pertanian di pedesaan. Sementara itu sejumlah penduduk pedesaan mengambil jalan pintas untuk menolong dirinya sendiri melalui urbanisasi ke kota. Penduduk yang tetap tinggal di desa harus bersedia hidup dalam situasi subsistensi dan involutif.

3

2.1. Permasalahan kemiskinan (1). Seseorang termasuk miskin kalau tingkat pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang a.l. meliputi pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh terlalu besarnya jumlah anggota keluarga atau karena rendahnya produktivitas atau kombinasi keduanya. Rendahnya produktivitas tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti mengangggur atau setengah menganggur, rendahnya pendidikan dan terbatasnya ketrampilan, atau rendahnya tingkat kesehatan dan gizi. Hal yang memprihatinkan ialah bahwa kemiskinan tersebut dapat "menurun" kepada generasi berikutnya. (2). Upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin lebih lanjut akan semakin sulit karena penduduk miskin yang tersisa adalah yang peling rendah kemampuannya untuk dapat menolong diri, semakin terpusat di kantong- kantong kemiskinan dan semakin sulit jangkauannya. Kebijaksanaan yang berlaku umum kana semakin tidak efektif dan peran utamanya harus digantikan dengan kebijaksanaan khusus yang langsung ditujukan kepada dan untuk orang miskin. Harus dapat dikembangkan strategi yang diarahkan secara khusus kepada wilayah dan kelompok miskin. Untuk itu pertama-taha harus diketahui sumber penyebab kemiskinan, bersifat struktural atau kultural, atau karena kondisi lingkungan fisik. Langkah selanjutnya adalah merumuskan program khusus untuk mengatasi penyebab kemiskinan tersebut. (3). Pemantauan profil penduduk miskin telah mulai dilakukan, dan telah diperoleh gambaran mengenai persebaran penduduk miskin yang dapat digunakan untuk merumuskan kebijaksanaan pengentasan kemiskinan. Profil rumahtangga dan wilayah miskin yang ada pada kita mengindikasikan bahwa penanggulangan kemiskinan di pedesaan dan perkotaan, perlu dibedakan jenis programnya, kegiatan dan bentuk bantuan yang akan dilaksanakan. Hal ini menegaskan bahwa program penang gulangan kemiskinan perlu sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. (4). Keberhasilan dan efektivitas program penanggulangan kemiskinan dalam menjangkau orang miskin ditentukan oleh keterpaduan dalam peren canaan dan pelaksanaan berbagai program anti kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan harus berisi pedoman-pedoman umum peningkatan perhatian kepada masalah- masalah kemiskinan. Pedoman tersebut pada dasarnya berisi: (a). Peningkatan dan penyempurnaan program-program pembangunan pedesaan yang telah ada baik yang bersifat sektoral maupun regional termasuk program Inpres dan swadaya masyarakat,

4

(b). Peningkatan desentralisasi dan otonomi dalam pengambilan keputusan, (c). Peningkatan peran serta masyarakat secara aktif dengan pendampingan yang efektif. (5). Pada hakekatnya masalah kemiskinan tidak terlepas dari masalah yang lebih besar, yaitu masalah ketimpangan antar wilayah dan antar golongan penduduk. Masalah ketimpangan ini sangat rumit dan hanya dapat diatasi secara bertahap berkesinbambungan. Ketimpangan sosial, yang melibatkan berbagai lapisan masyarakayt merupakan masalah yang mendesak. Kesempatan yang terbuka oleh berbagai kegiatan pembangunan telah dapat dimanfaatkan secara lebih baik oleh sekelompok masyarakat dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Prakarsa perorangan seperti ini telah mengem bangkan kelas pengusaha nasional yang selama ini telah menyum bang kepada pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja khususnya di sektor industri. 2.2. Faktor Penyebab Kemiskinan Beberapa hal yang diperkirakan menjadi penyebab kemiskinan di pedesaan adalah: (1). Permasalahan rendahnya Kapabilitas dan Ketersediaan Sumber daya Alam bagi proses produksi primer. Rendahnya kqalitas sumberdaya lahan megakibatkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani produsen, akibat selanjutnya ialah proses produksi kurang efisien dan harga jual produk yang relatif tinggi dibandingkan dengna produk sejenis dari tempat lain. (2). Permasalahan tata nilai (etos). Kemiskinan yang telah berjalan dalam dimensi ruang dan waktu yang luas dan lama, dan telah mewarnai pengalaman kesejarahan berjuta penduduk, ternyata telah menyebabkan kemiskinan diterima sebagai bagian yang sah dari kehidupan dan mewarnai sistem nilai dan struktur sosial masyarakat. Kemiskinan diterima sebagai keniscayaan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Setiap usaha mengentas kemiskinan menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan bahkan dipandang aneh dan mungkin dianggap "asosial". Dalam situasi budaya seperti ini maka gejala kemiskin an tidak cukup kalau hanya dievaluasi sebagai fungsi dari keterbatasan pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan saja, tetapi juga harus diperhatikan adanya fakta bahwa mereka juga "miskin" terhadap makna kemiskinan itu sendiri. (3). Keterbatasan penguasaan faktor produksi pertanian, khususnya la han usaha. Sejumlah besar rumah tangga petani tidak memi-liki lahan garapan (sawah) atau hanya menguasai lahan sangat sempit (kurang dari 0,05ha). (4). Surplus tenagakerja pedesaan dengan ketrampilan teknis dan manajemen yang terbatas, karena keterbatasan berlatih (bukan keterbatasan pendidikan). Sebagian besar tenagakerja

5

(penduduk usia produktif) sedang menganggur dalam berbagai tingkat pengangguran. (5). Keterbatasan lapangan kerja dan lapangan usaha di sektor pertanian, baik akibat keterbatasan lahan pertanian maupun sebagai akibat "keterlemparan" akibat masuknya input pertanian modern. Sementara itu lapangan pekerjaan non pertanian belum cukup ditunjang oleh tradisi bisnis desa. Walaupun tenagakerja paling banyak di sektor pertanian (50- 60%), namun hampir separuh (40-45%) dari pekerja ini bekerja pada keluarga sendiri yang tidak dibayar. (6). Keterbatasan alternatif pilihan teknologi budidaya untuk komoditi pertanian yang ekonomis, teknologi pasca panen dan pengolahan hasil, serta teknologi non pertanian. Kelompok masyarakat miskin di desa tidak mempunyai akses yang memadai untuk menentukan alternatif usaha tanaman dan agro-teknologinya, sehingga produktivitas marginalnya sangat rendah. Perkembangan lapangan kerja non pertanian juga belum didukung oleh teknologi tepat guna yang memadai, atau masih bersifat kecilkecilan dan sederhana sekali. (7). Keterbatasan informasi, pembinaan, fasilitas permodalan, proteksi usaha dan kesempatan (opportunity), suatu lingkaran yang lazim dalam bisnis modern. Hampir dalam setiap kegiatannya mereka harus melakukan secara swakarsa dan bersedia untuk harus puas dengan apa yang menjadi miliknya saja, tanpa keinginan untuk lebih dari apa yang mungkin. Sementara itu faktor produksi unggulan tersebut dikuasai oleh sektor perkotaan industrial, terutama dalam wujud informasi, teknologi dan fasilitas perkreditan. (8). Nilai tukar perdagangan (term of trade) barang produk pedesaan lebih rendah terhadap barang produk perkotaan atau sektor modern. Hal ini mengakibatkan warga desa kurang memperoleh surplus yang berarti, hampir dalam semua lapangan pekerjaan yang dilakukan, sehingga tidak memungkinkan melakukan akumulasi kapital. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya nilai tukar petani. (9). Terbatasnya volume uang yang beredar di pedesaan, hal ini merupakan dampak dari produktivitas marjinal yang sangat rendah atau nol dan keterbatasan fasilitas kredit resmi yang masuk ke desa. Sebagian besar penduduk di pedesaan miskin jika memer lukan kredit untuk tambahan modal akan mencari pada saluran kredit atau lembaga keuangan non- formal. (10). Kebijakan pemerintah yang lebih menitik beratkan pada laju pertumbuhan ekonomi, ternyata berdampak negatif terhadap kelompok masyarakat miskin. Demikian juga kebijakan pertanian yang dititikberatkan kepada swasembada pangan nasional dan kurang mengacu kepada pemenuhan konsumsi pedesaan telah menyebabkan sektor pedesaan/pertanian hanya berfungsi sebagai penyangga stabilitas ekonomi nasional, dengan keterbatasan akses untuk menentukan pilihan ekonomis.

6

(11). Belum berfungsinya kelembagaan swadaya masyarakat di pede saan yang mampu menampung prakarsa, peran-serta dan swadaya masyarakat untuk mengentas diri sendiri. Kelembagaan yang ada masih kurang fungsional dan/atau tingkat swadaya rendah. (12). Rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin yang pada kenyataannya sangat berhubungan erat dengan (1). Masalah pendapatan yang diperoleh, (2). Masalah Gizi dan pangan, (3). Masalah kesehatan, (4). Masalah kematian, (5). Masalah lingkungan pemukiman, (6). Masalah Pendidikan, (7). Masalah penguasaan IPTEK/Ketrampilan, (8). Masalah pemilikan lahan, (9). Masalah Kesempatan kerja, dan (10). Masalah prasarana/sarana kebutuhan dasar. Pada kenyataannya masalah-masalah tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu (1) masalah-masalah sistem nilai (etos) dan kelembagaan infrastruktur, (2) masalahmasalah struktural, khususnya keterbatasan penguasaan sumberdaya dan faktor produksi pertanian, serta kelimpahan tenagakerja; dan (3) masalah-masalah kebijakan dan pendekatan model pembangunan. Fenomena kemiskinan buatan (atau pengaruh) lingkungan alam berpangkal dari sumberdaya alam yang gersang, misalnya tak mencukupi dalam mendukung hidup sejumlah penduduk yang bertambah dan hidup dari alam itu. Sedangkan fenomena kemiskinan buatan manusia (masyarakat sendiri), disebabkan oleh lingkungan sosial ekonomi dan budaya. Ada struktur kemiskinan yang menjadikan sebagian orang miskin (lapisan bawah) sedang sebagian lain (lapisan atas) serba cukup, bahkan kaya, serba kuasa, mampu mengembangkan kekayaan yang sebagian berasal dari upaya nafkah golongan miskin. Ada juga fihak yang mengalihkan perhatian pada "budaya miskin" (miskin karena malas atau berciri negatif lain: fatalistik, cepat menyerah kalah). Sebaliknya golongan kaya mempunyai motivasi kuat dan sifat-sifat terpuji (positif) lainnya dan mencapai kesejahteraan tinggi. Dua pencirian itu dikontraskan dan dipisahkan satu dari yang lain. Tergantung dari sisi mana pendekatan orang, upaya orang luar dalam membantu mengatasinya menunjukkan corak yang berbeda-beda. 3. PROFIL WILAYAH DAN MASYARAKAT MISKIN 3.1. Profil Wilayah Lima faktor yang dianggap berkaitan langsung dengan fenomena kemiskinan wilayah pedesaan, yaitu (a) kapabilitas sumberdaya lahan yang rendah, (b) lokasi yang terisolir dan/atau terbatasnya sarana dan prasarana fisik, (c) keterbatasan penguasaan modal dan teknologi, (d) lemahnya kemampuan kelembagaan (formal dan non-formal) penunjang pembangunan di tingkat pedesaan, dan (e) masih rendahnya akses sosial masyarakat terhadap peluang-

7

peluang "bisnis" yang ada. 3.1.1. Lokasi Lokasi desa miskin pada umumnya jauh dari pusat-pusat pelayanan "Kota Kecamatan". Keterbatasan sarana dan prasarana perhubungan, area yang luas, dan kondisi bentang lahan dengan topografi "berat" mengakibatkan transfer informasi, materi dan moneter antara desa dengan pusat pelayanan formal menjadi sangat terbatas. Pada umumnya transportasi antar desa dalam wilayah kecamatan masih sangat terbatas. 3.1.2. Keadaan Agroekologi Rataan curah hujan tahunan di wilayah kecamatan contoh berkisar antara 1000 - 2300 mm, dengan suhu rata-rata berkisar 22oC - 26oC. Gambaran umum neraca lengas lahan dan lamanya musim pertumbuhan selama setahun dicirikan oleh defisit lengas selama 3-5 bulan. Jenis tanah yang dominan adalah, mediteran , kambisol dan litosol dengan teskstur liat hingga lempung . Tingkat kesuburan tanahnya beragam dari rendah (litosol) hingga tinggi (Kambisol dan Mediteran). Kondisi bentang lahan di wilayah pedesaan miskin dicirikan oleh bentuk lahan bergelombang dan berbukit (rata-rata 6080% dari total luas wilayah) , dan sisanya merupakan lahan berombak hingga datar. Daerah datar hingga berombak dikelola penduduk sebagai lahan pertanian tanaman pangan (sawah tadah hujan dan tegalan), sedangkan kebun campuran umumnya berlokasi di daerah bergelombang hingga berbukit. 3.1.3. Penggunaan Lahan dan Sistem Produksi Pertanian Penggunaan lahan pertanian didominasi oleh lahan kering tadah hujan. Sistem pertanian lahan kering merupakan penggunaan terluas (60-80%) yang dikelolah oleh pen-duduk setempat, berupa tegalan dengan tanaman palawija dan kebun campuran dengan aneka tanaman tahunan. Ikhtisar umum tentang pola penggunaan lahan sekarang dicirikan oleh domonasi luas lahan kering, lahan ini dikelola sebagai tegalan, kebun campuran, pekarangan, dan hutan/agroforestry. Faktor pembatas yang dihadapi adalah defisit lengas selama 3-5 bulan selama musim kemarau, sehingga membatasi pilihan pola tanam. Sistem produksi tanaman pangan pada lahan kering (tegal) merupakan sistem tata guna lahan yang utama, namun produktivitasnya sangat rendah. Demikian juga lahan persawahan mempunyai produktifitas padi yang relatif rendah: 1,5 - < 5 ton/ha. Kendala yang diperkirakan ada adalah kualitas tanah, ketersediaan air, dan/atau pengelolaannya. Kalender penanaman ditandai oleh polatanam dengan tanaman jagung, ubikayu. Jarak tanaman yang terlalu lebar, varitas lokal dan adanya persaingan antara tanaman-tanaman ini (untuk memperoleh unsur hara dan air), dan gulma diduga menjadi sebab produktivitas pola tanam tersebut rendah. Ikhtisar tataguna lahan menunjukkan rendahnya produktivitas

8

lahan kering serta pekarangan dan kecilnya peran pohon buahbuahan dalam sistem usahatani. Tanaman pohgon buah-buahan tropis mempunyai peluang cukup baik untuk intensifikasi lahan pekarangan. Pemilihan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang sesuai secara agroekologi hendaknya berdasarkan pada kreteria : (i) potensi pasar, (ii) produktivitas dan umur ekonomis, (iii) potensi untuk teknologi pengolahan buah-buahan, (iv) hubungannya dengan komoditikomoditi lain, dan (v) pemillikan oleh petani. Sapi potong/kerja biasanya dipelihara untuk membantu menggarap lahan, dan/atau digemukkan untuk menghasilkan daging. Hijauan makanan ternak terdiri dari sisa-sisa panen , rumputrumputan dan daun-daunan setempat yang mutunya beragam . Akhirakhir ini ada beberapa petani yang mulai menanam rumput gajah. Pada musim kemarau para petani menjual sebagian kambing-kambing atau sapi-sapi mereka dan membeli bibit ternak pada awal musim hujan. Gambaran kalender kebutuhan akan hijauan makanan ternak musiman di lahan kering dicirikan oleh kurangnya pakan di musim kemarau selama 3-4 bulan. "Ayam kampung" merupakan jenis unggas tradisional yang memberikan sumbangan pendapatan rumahtangga secara kontinyu. Di beberapa lokasi pengelolaan ayam kampung dilakukan dengan sistem kandang bersama yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat. 3.1.4. Sumberdaya Hutan dan Air Sumberdaya hutan di sekitar kawasan pemukiman pedesaan memberikan sumbangan yang cukup "berarti" bagi masyarakat di sekitarnya. Hasil hutan yang lazim dimanfaatkan penduduk adalah kayu bakar, hijauan pakan, dedaunan, dan rotan. Di beberapa lokasi intervensi masyarakat terhadap kawasan hutan telah melampaui batas yang diperbolehkan, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mengarahkannya. Program penghijauan di banyak lokasi belum mampu menggalang partisipasi masyarakat secara epenuh, sehingga tingkat keberhasilannxa belum memuaskan . Air yang dapat dimanfaatkan adalah air hujan, air permukaan (mata air, sungai, danau), dan air bawah tanah (groundwater). Surplus air hujan yang terjadi selama 3-5 bulan pada musim penghujan belum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian. Surplus air hujan ini sebagian besar menjadi run- off karena kapasitas infiltrasi tanah umumnya agak rendah dan kemiringan lahan umumnya lebih dari 15%. Tindakan untuk menahan dan menampung surplus air hujan ini di tempat jatuhnya dipandang mempunyai peluang yang cukup baik untuk memperbaiki tata air. Pengelolaan sumberdaya hutan, tanah dan air untuk ekonomi masyarakat Warga Desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan dapat mengelola sumberdaya hutan untuk penghidupannya. Sebagai teladan adalah Pak Yasin, sebagai seorang petani yang tidak hanya rajin, tapi juga melindungi hutan tempat dia bercocok tanam. Dia,

9

pernah mendapatkan penghargaan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Awards sebagai Petani Pengelola Hutan Terbaik I di wilayahnya. Saya senang dipercaya memegang trofi ini, tapi saya merasa belum melakukan apa-apa, katanya merendah.

www.esp.or.id/2008/03/18/menang-...-hektar/ Pada saat masih belajar di Sekolah Rakyat, dia sudah membantu sang ayah mengelola lahan hutan yang dikontrak keluarganya dari negara. Selama 47 tahun, dia mengaku sudah berganti wilayah garapan beberapa kali, agar lokasi bekerjanya dekat dengan rumah. Saat ini, dia dapat mengelola lahan yang dikontraknya dari Perhutani di tiga petak, di sekitar rumahnya. Petak lahan ini dipel;iharanya dengan tekun untuk menghidupi keluarganya. Lahan miliknya hanya seperempat hektar, tetapi hampir 1.000 pohon tumbuh di sana. Lahan dengan kerapatan pohon seperti ini menjadi sebuah pemandangan yang langka. Beragam jenis pohon seperti nangka, kemiri, pinus, salam, kedawung, mahoni, alpukat, pisang, rambutan, anggrung, jambu. Saking rapatnya, jagung tak dapat tumbuh lagi di bawah tegakan pohon. Selama 17 tahun, hanya pohon buah-buahan saja yang berhasil dipanen, karena dia enggan menanam tanaman

10

semusim macam jagung atau ubikayu. Dia membayar kontrak lahan garapan sebesar Rp 35.000 per tahun, disetor langsung ke kas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setiap tahun. Perkembangan lahan usahanya tidak lepas dari pengamatan petugas penyuluih lapangan. Setiap berkunjung, petugas lapangan senantiasa berpesan bahwa saya kalau bisa mulai menanam tanaman pohon dan merawatnya dengan baik. Sebagai strategi untuk menghemat pengeluaran, dia juga memelihara tiga ekor sapi di bagian belakang pekarangannya. Kotoran sapi yang sudah dicampur tanah digunakan sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanamannya. 3.1.5. Demografi dan Kependudukan Sistem pendidikan masyarakat di wilayah pedesaan miskin secara fungsional dilayani oleh berbagai kelembagaan pendidikan formal dan nonformal. Peranan lembaga non-formal tampaknya cukup besar dan mempunyai peluang untuk dikembangkan lebih jauh untuk dapat lebih mendukung program-program pembangunan masyarakat desa. Sebagian besar masyarakat mempunyai mata pencaharian dalam sektor pertanian tanaman pangan (70-80%), sedangkan lainnya dalam sektor-sektor perkebunan, peternakan, industri/pengrajin, buruh-buruh, perdagangan dan jasa-jasa lainnya seperti jasa angkutan. Angkatan kerja (terutama angkatan muda) di sebagian besar wilayah pedesaan tidak semuanya tertampung dalam lapangan kerja di pedesaan, sebagian bekerja sebagai buruh bangunan atau bidang jasa lain di luar wilayah kecamatan. Persepsi, sikap, dan motivasi masyarakat pedesaan untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik pada umumnya sudah benar. Hal ini tercermin dalam etos kerja masyarakat pedesaan "yang tidak mengenal lelah" dalam mengelola sumberdaya alam yang dikuasai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 3.1.6. Penguasaan Modal dan Teknologi Umumnya penguasaan masyarakat pedesaan terhadap modal dan teknologi sangat terbatas. Mekanisme akumulasi modal hanya bertumpu kepada hasil produksi pertaniannya yang relatif rendah, akses terhadap fasilitas modal formal sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Teknologi yang dikuasai berasal dari "warisan orang tua", sedangkan kegiatan transfer teknologi melalui agensi-agensi formal masih sangat terbatas. Peranan kelembagaan non-formal dan tokoh panutan non-formal lebih berperanan dibandingkan dengan kelembagaan formal. Kurangnya kegiatan-kegiatan/fasilitas lapangan kerja di luar bidang pertanian primer tampaknya berkaitan erat dengan

11

keterbatasan penguasaan modal dan teknologi oleh penduduk dan kurangnya informasi pasar di luar daerah. Program-program pelatihan ketrampilan dan kredit formal selama ini masih belum mampu menjangkau kelo mpok masyarakat miskin di pedesaan . Program kredit formal yang ada selama ini kurang menarik di kalangan mereka, karena penyaluran kredit tersebut harus melibatkan prosedur yang dianggap cukup rumit. 3.1.7. Kelembagaan Penunjang Kelembagaan formal penunjang pembangunan yang ada di pede saan umumnya belum mampu berkiprah secara memadai, berbagai kendala dan keterbatasan senantiasa dihadapi oleh kelembagaan formal untuk dapat menggalang partisipasi masyarakat pedesaan. Pada umumnya lembaga non-formal, seperti kelompok arisan, kelompok pengajian dan pondok-pesantren (dengan Kyai panutannya) lebih mampu menggalang partisipasi dan keswadayaan masyarakat pedesaan. Sarana dan prasarana transportasi di wilayah pedesaan umumnya sangat terbatas, terutama untuk melayani hubungan antar desa, demikian juga hubungan dengan pusat kecamatan . Sedangkan hubungan antara pusat kecamatan dengan pusat kota kabupaten umumnya telah memadai. Kelembagaan sosial-ekonomi formal di pedesaan umumnya belum dapat menjangkau kepentingan kelompok masyarakat miskin, karena adanya berbagai persyaratan birokrasi dan agunan yang rumit. Hal ini mendorong berkembangnya berbagai bentuk kelembagaan non-formal di kalangan masyarakat dengan tokoh panutannya masing-masing. Lembaga keuangan pedesaan non-formal (pelepas uang, pedagang) umumnya lebih mampu menjangkau kelompok masyarakat miskin dengan berbagai kemudahan pelayanannya, meskipun sesungguhnya dibarengi dengan "tingkat bunga yang sangat tinggi". 3.2. Gambaran mengenai orang miskin di daerah-daerah (1). Rumahtangga miskin mempunyai keragaman kondisi individu dan lingkungannya yang sangat besar; baik ragam kondisi dan lokasi tempat tinggalnya, ragai pekerjaannya, ragam tingkat kemiskinan nya, faktor-faktor penyebab kemiskinannya, maupun ragam keinginan maupun upaya-upaya yang dilakukannya untuk mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk mengidentifikasi dan menemukenali orang miskin dan keluarganya di pedesaan. (2). Umur dan pendidikan kepala rumahtangga miskin (KRTM). Sebagian besar (94 persen) KRTM menammatkan sekolah dasar, hal ini berarti mereka bekerja adalah pekerja yang tidak mempunyai keakhlian (unskilled-labourers); dan yang tidak pernah sekolah adalah 36 persen dari seluruh KRTM. Sekitar 0.1 persen dari KRTM yang tammat Akademi/Universitas adalah termasuk kelompok miskin. Hampir 40 persen dari KRTM telah berumur lebih dari 50 tahun, dalam umur manula ini barangkali

12

sangat sedikit diharapkan tenagakerjanya untuk dapat bekerja dengan baik untuk meningkatkan pendapatannya. (3). Lapangan Usaha dan Status Pekerjaan KRTM: a. Sebagian besar (65 persen) dari status usaha dari KRTM adalah sektor non-formal. Di pedesaan sebagian besar bekerja di lapangan usaha sektor pertanian sedangkan di kota bekerja di sektor perdagangan. b. Sejumlah 2.5 persen tidak bekerja sama sekali, walaupun mereka tidak bekerja dan mereka ini tidak berusaha mencari kerja. Kemungkinan pendapatan yang mereka butuhkan berasal dari anggota keluarga yang bekerja. Dalam situasi demikian akan sulit bagi Pemerintah untuk membantu KRTM untuk menambah pendapatannya; atau sasarannya bukan KRTM tetapi anggota keluarganya. (4). Kondisi fisik Jawa Timur dapat dibagi 3 bagian, yaitu bagian selatan, tengah, dan utara. Bagian tengah terdiri dari pegunungan fulkanis yang subur, sedangkan bagian selatan terdiri dari pengunungan kapur dengan kapabilitas lahan yang rendah; dan bagian utara dari daerah Bojonegoro sampai ke pulau Madura yang terdiri dari pengunungan kapur. Jumlah KRTM miskin secara persentase yang terbesar berada di Jawa Timur selatan (36 persen), utara dan tengah hampir sama yaitu 23-24 persen. (5). Indikator yang cukup obyektif untuk dapat digunakan menemukan keluarga miskin secara visual adalah kondisi fisik rumah tempat tinggalnya. Empat parameter utama yang dapat digunakan secara hierarkhis adalah jenis lanpai dan luasnya, jenis lampu penerangan di dalam rumah, dan jenis dinding; sedangkan parameter penunjang yang dapat digunakan adalah luas pekarangan dan sumber air minum untuk memenuhi kebutuha keluarea sehari-hari. a. Rumah tangga miskin di pedesaan umuinya dicirikan oleh rumah tempat tinggal yang lantainya berupa tanah dipadatkan seluas 40-50 m2, lampu penerangan di dalam rumahnya adalah "sentir", dan dindijg rumahnya terbuat dari anyaman bambu (gedek). b. Indikator penunjangnya adalah sumber air minum dari mata air atau sungai, dan luas pekarangannya 500 - 1000 m2 di sekeliling rumah. Informasi mengenai parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dari catatan `i kantor desa, pamong desa (Kadus, ketua RW atau ketua RT), key informans karang taruna, atau dengan observasi langsung di lapangan. 4. PENDEKATAN PENGENTASAN KEMISKINAN 4.1. Kebijakan Pembangunan (1). Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi kesenjangan dan ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada peluang dan kegiatan ekonomi

13

sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi dan akses yang lebih baik. Keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pada dasarnya dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. (2). Upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin melalui program pembangunan yang telah dilaksanakan dalam bentuk program pembangunan sektoral, regional, dan khusus, baik secara langsung maupoun tidak lanbgsung dirancang untuk turut memecahkan tiga masalah utama pembangunan, yakni pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. (3). Program Sektoral umumnya berorientais pada peningkatan produksi dan produktivitas, dan pembangunan prasarana dan sarana fisik yang secara lasngsung menunjukkan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Program pembangunan regional diarahkan pada pengembangan potensi dan kemampuan sumberdaya manusia dan prasarana dasar yang ada di daerah, khususnya daerah pedesaan sehingga swadaya dan kreativitas masyarakat dapat ditingkatkan. (4). Program pembangunan yang dilaksanakan dalam PJP II diharapkan akan benar-benar dapat mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun disadari pula bahwa upaya ini tidak mudah karena penduduk miskin yang tersisa dewasa ini adalah yang terendah kemampuannya dan semakin terkonsentrasi di kantong- kantong kemiskinan, mereka terperangkap oleh keterisolasian dan keter belakangan, yang hanya dapat ditembus dengan upaya khusus diselenggarakan untuk mengatasinya. (5). Upaya tersebut tertuang dalam tiga arah kebijaksanaan: (a). Kebijaksanaan tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penang gulangan kemiskinan, (b). Kebijaksanaan yang langsung ditujukan kepada masyarakat miskin (c). Kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan penduduk miskin tersebut sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, dan sekaligus memacu dan memperluas upaya untuk menanggulangi kemiskinan. (6). Tekanan paling utama dari kebijaksanaan yang langsung ditujukan kepada masyarakat miskin harus diletakkan pada perbahkan pelakunya terutama menyangkut pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pengembangan kegiatan ekonominya. Dalam rangka itu pula, pelayanan bagi orang jompo, penderita

14

cacat, yatim piatu, dan kelompok masyarakat lain yang memerlukan merupakan bagian tak terpidsahkan dari upaya menanggulangi kemiskinan. Program ini harus dilaksanakan secara selektif dan terarah dengan memperhitungkan eketersediaan sumberdaya. Langkah yang diperlukan adalah meningkatkan efek tivitas, efisiensi dan jangkauan program tersebut. Searah dengan itu pengembangan sistem jaminan sosial secara bertahap perlu terus ditingkatkan. (7). Program-program pembangunan sektoral yang secara tajam diarahkan pada masyarakat miskin dapat dipandang sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, a.l. pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dapat merencanakan program pembangunan sektoral yang akurat diperlukan suatu metoda penentuan kelompok sasaran yang mapan. Sehubungan dengan itu pengembangan informasi dasar yang terkait dengan profil penduduk miskin dan wilayah miskin harus dapat digunakan sebagai dasar bagi penentuan kelompok sasaran secara tepat dan terarah. (8). Dengan berpedoman kepada kelompok sasaran yang jelas, perencanaan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan sektoral dapat dilaksanakan secara terpadu. Keterpaduan antara pelaksanaan, penanggulangan kemiskinan menyangkut keterpaduan program dan lokasi pembangunan. Disamping itu, program pengentasan kemiskinan yang menjangkau masyarakat akan lebih efektif jika direncanakan dan dilaksanakan dalam unit yang berkelompok (agregatif). Namun demikian tingkat agregasi tersebut harus sedekat mungkin dengan kelompok sasaran, artinya dengan kelompok rakyat miskin yang ingin dibantu itu. (9). Pihak yang mengetahui secara persis permasalahan dan lokasi kantong-kantong kemiskinan di daerah adalah aparat setempat. Semakin dekat pelaksanaan proyek dan kegiatan dengan kelompok sasaran diperkirakan akan semakin efektif. Oleh sebab itu pendelegasian wewenang atau desentralisasi dalam perencanaan,dan pelaksanaan harus menjadi tanggung jawab bersama dari segenap pelaku ekonomi dan masyarkat secara keseluruhannya. dalam rangka itulah upaya penanggulangan kemiskinan harus ditempatkan sebagai gerakan nasional yang meliputi semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi- organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. (10). Upaya untuk meningkatkan kemampuan berproduksi dan menciptakan nilai tambah harus diawali dengan hal-hal berikut ini: (a). Adanya akses terhadap sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang berupa ketrampilan, (b). Adanya akses terhadfap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien, (c). Adanya akses terhadap pasar, dimana produk yang dihasilkan harus dapat dijual untuk mendapatkan nilai

15

tambah. Dengan demikian penyediaan sarana produksi dan peningkatan ketrampilan harus diimbangi dengan tersedianya pasar hasil produksi secara teratur. Hal ini juga berarti pula adanya akses terhadap sumber pembiayaan. Oleh karena itu pengembangan sistem perkreditan harus diarahkan pada sistem yang mampu menjangkau masyarakat papan bawah. 4.2. Rasional Metoda Pengentasan Kemiskinan Pendapatan suatu rumahtangga di pedesaan dapat diperoleh dari tiga sumber yaitu berusaha, bekerja, dan perolehan dari pemilikan aset. Rumah tangga miskin biasanya tidak atau sangat sedikit memiliki aset yang dapat mendatangkan penghasilan. Sumber pendapatan yang pertama, yaitu berusaha dengan sekala snagat kecil-kecil dan/atau bekerja sebagai buruh, kedua hal inilah yang paling mungkin untuk ditingkatkan, terutama bagi mereka yang memang ingin bekerja dan berusaha. Beberapa arah dari bantuan kepada masyrakat miskin adalah sbb: (a). Pembangunan Fasilitas yang dapat Meningkatkan Kesejahteraan orang miskin secara langsung. Kesejahteraan penduduk sangat berkaitan dengan lingkungannya, oleh karena itu untuk desa yang paling miskin perlu segera dibangun fasilitas-fasilitas yang dapat meningkatkan kesejahteraan yang tidak melalui kenaikan pendapatan orang miskin, berupa prasarana sosial ekonomi, kesehatan, perumahan dan lingkungan. Disadari cara ini tidak ekslusif, keluarga yang tidak miskin juga memperoleh manfaat, dan biaya untuk keperluan ini tidak perlu diambil dari dana bantuan khsusu bagi orang miskin. (b). Dampak bantuan IDT tidak akan besar bagi pengentasan kemiskinan. Usaha-usaha lain yang dilaksanakan sekarang harus tetap dilaksanakan, khususnya pembangunan ekonomi yang memihak pada usaha kecil, dengan menggunakan mekanisme pasar yang disubsidi untuk mendorong usaha kecil. Harus diadakan perubahan cara pandang terhadap sektor informal, untuk diberi keleluasaan untuk mengembangkan diri dengan subsidi dan pemberian fasilitas khusus. (c). Pengentasan kemiskinan melalui mekanisme pasar kerja harus dapat diciptakan dengan mendorong industri yang dapat menyerap tenaga kerja berarti industri yang menggunakan teknologi "labour using". Peningkatan produk domestik bruto yang direncanakan 6 persen dalam Pelita VI, akan mengakibatkan permintaan terhadap tenaga kerja yang berbeda-beda tergantung dari sifat teknologi yang digunakan. Pengembangan ekonomi makro ini juga harus dijadikan strategi untuk menyerap tenaga kerja maupun pelaksanaan upah minimum yang mengarah pada kebutuhan fisik minimum yang dikehendaki.

16

(d). Peningkatan pendapatan masyarakat miskin akan sulit dipdroleh dari usaha peningkatan bahan pangan. Oleh karena itu program penanganan lahan kering harus diarahkan kepada komoditi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti tanaman hortikultura. Permasalahannya terletak pada sektor pemasaran yang sangat lemah, karena tidak adanya integrasi dalam sisi produksi dan pemasaran. Program untuk penyeragaman produksi misalnya dengan penyebarluasan bibit tanaman perlu dilakukan, dengan menggalakkan model kebun bibit yang dapat disebarkan kepada wilayah miskin. 5. MODEL-MODEL PEMBERDAYAAN ORANG MISKIN 5.1. Pemberian Bantuan Bagi Orang Miskin di Pedesaan 5.1.1. Model Program Padat Karya Agribisnis (PPKA) . Model bantuan ini lebih bersifat konsumtif bagi tenaga kerja buruh, namun sekaligus jua untuk mendorong munculnya wirausahawirausaha kecil di pedesaan. Model ini sifatnya kemitraan antara tenaga buruh di pedesaan dengan pedagang/pengusaha agribisnis kecil di pedesaan. Tenaga Buruh mendapat kesempatan untuk bekerja dengan upah harian yang memadai untuk menggarap lahanlahan tidur atau lahan-lahan yang tidak tergarap, sedangkan pedagang/pengusaha mendapat bahan dagangan dari hasil usaha tersebut. 5.1.2. Model Pembinaan Kelompok Produktif Nelayan Kecil Salah satu kendala serius dalam upaya mengentaskan nelayan miskin adalah karena tingginya perilaku konsumtif. Pengubahan perilaku ke arah lebih produktif memerlukan ketekunan dan upayaupaya yang kontinyu. 5.1.3. Model SPAKU-PONPES Model Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (tanaman) yang melibatkan Pondok Pesantren sebagai "Change agent". Para petani berkelompok membentuk KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agribisnis) sehingga usahatani uang dilakukannya mencapai sekala ekonomi. 5.1.4. (SPAKU Model Kelompok perguliran bantuan ternak

ternak) Beberapa macam model perguliran bantuan dan sistem bagi hasil ternak telah dikenal di wilayah pedesaan, terutama yang menyangkut ternak sapi potong atau sapi kereman. Penyimpangan biasanya terjadi karena lemahnya pengawasan dan pemantauan serta bimbingan kepada para pemelihara ternak. Pemberian bantuan bibit sapi potong diberikan kepada kelompok peternak yang dibentuk oleh para anggotanya sendiri dan dipimpin oleh seorang di antara mereka.

17

Perguliran bibit ternak dapat diatur di antara anggota kelompok atau antar kelompok. Bibit kambing atau domba dapat diberikan secara individu kepada rumah tangga paling miskin yang diperkirakan akan menghadapi resiko terlalu besar kalau diberi bantuan bibit sapi. 5.1.5. Model Koperasi Agroindustri (KOPAGI) Koperasi ini membina para nggotanya untuk membentuk kelompok usaha bersama agroindustri (terutama pengolahan hasilhasil pertanian) dengan memanfaatkan kredit murah bagi para anggota koperasi (KKPA). Dalam pembinaan manajemen dan inovasi teknologi, KOPAGI menjalin kerjasama dengan lembagalembaga/instansi terkait seperti BLKI, LITBANG, Perguruan Tinggi, Dinas/instansi teknis melaksanakan DIKLAT bagi anggota. Dalam hal pemasaran KPOAGI menjadi kerjasama dengan para pedagang, dan pusat-pusat pertokoan seperti WASERDA, SUPERMARKET, Kios-kios, dan lainnya. 5.1.6. Model Lembaga Keuangan bagi Orang Miskin (LKOM) Lembaga keuangan ini menyediakan kredit khusus untuk orang miskin yang telah memiliki usaha di sektor non-produksi pertanian, bertujuan mendorong usaha berdasarkan bidangnya tanpa banyak ikut mencampuri usaha yang dilakukan. Lembaga keuangan bertujuan memberikan pelayanan kredit yang mudah walaupun tidak TERLALU murah, dengan arah penggunaan yang dikehendaki oleh nasabah. Hipotesa MODEL ini adalah pada prinsipnya (a) orang miskin itu biasanya jujur, (b) dengan pelayanan yang mudah, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan nasabah - mereka akan bersedia mengembalikan kredit, (c) pelayanan kredit orang miskin membutuhkan biaya per unit yang cukup tinggi. 5.1.7. Model LAZIS (Lembaga Amal, Zakat, Infaq dan Sodaqoh) 5.1.8. Model Bantuan Hibah Bersaing. Model bantuan hibah ini lebih bersifat konsumtif atau untuk investasi sumberdaya manusia yang dampaknya berjangka panjang (pendidikan atau kesehatan). Pemberian bantuan hibah harus benarbenar bersaing, artinya harus sampai kepada kelompok orang paling miskin yang ada di desa dan benar-benar paling memerlukan. Pemilihan kelompok sasaran dilakukan dengan pendekatan partisipasi, melibatkan karang taruna atau kelompok dasa-wisma setempat. Salah satu teladan adalah program bantuan untuk mengatasi GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodine) dan Program Pemberdayaan Tokoh Masyarakat (PPTM).

18

6. PENUTUP Berbagai program dan proyek pembangunan telah dirancang dan dilaksanakan untuk mengentaskan kemiskinan dengan tingkat efektivitas yang sangat beragam. Salah satu faktor dominan yang pada kenyataannya sangat menentukan efektivitas program pengentasan kemiskinan ialah ketepatan kelompok sasaran. Siapa orang miskin itu sebenarnya?. Rumah tangga miskin di wilayah pedesaan mempunyai ragam kondisi yang cukup besar, baik ragam kondisi dan lokasi tempat tinggalnya, ragam pekerjaannya, ragam tingkat kemiskinannya, faktor-faktor penyebab kemiskinannya, serta keingainan dan upayaupaya yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinannya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk menemu-kenali orang miskin dan keluarganya di pedesaan. 1. Identifikasi Rumahtangga Miskin Indikator visual yang cukup obyektif untuk dapat digunakan menemukan rumah tangga miskin adalah kondisi fisik rumah tempat tinggalnya. Empat parameter utama yang dapat digunakan secara hierarkhis adalah jenis lantai dan luasnya, jenis lampu penerangan di dalam rumah, dan jenis dinding; sedangkan parameter penunjang yang dapat digunakan adalah luas pekarangan dan sumber air minum untuk memenuhi kebutuha keluarga sehari-hari. Rumah tangga miskin di pedesaan umumnya dicirikan oleh rumah tempat tinggal yang lantainya berupa tanah dipadatkan seluas 40-50 m2, lampu penerangan di dalam rumahnya adalah "sentir", dan dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu (gedek). Indikator penunjangnya adalah sumber air minum dari mata air atau sungai, dan luas pekarangannya 1000-1500 m2 di sekeliling rumah. Informasi mengenai parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dari catatan di kantor desa, pamong desa (Kadus, ketua RW atau ketua RT), key informans karang taruna, atau dengan observasi langsung di lapangan.

19

aristorahadi.wordpress.com/2008/...mat-bbm/ Kendaraan orang miskin tak butuh bensin. Memasakpun pakai kayu bakar. Mestinya kenaikan harga BBM tidak merepotkan orang-orang miskin di desa, tetapi mungkin tidak sesederhana itu kenyataannya? . 2. Deskripsi Rumahtangga Miskin Profil rumah tangga miskin paling tidak harus mampu mengungkapkan dua hal pokok, yaitu (1) kualitas umum, dan (2) aktivitas produktif yang dilakukan oleh kepala keluarga (kalau memungkinkan juga anggota keluarga lainnya). Aspek kualitas umum terdiri atas beberapa karakteristik yang dapat diukur secara kuantitatif atau kualitatif. Beberapa karakteristik penting adalah pengeluaran rumah tangga dan alokasi penggunaannya, pemilikan aset kekayaan dan faktor produksi lahan pertanian, jumlah anggota rumahtangga, serta beberapa parameter pokok kondisi fisik rumah tempat tinggal. Aspek aktivitas produktif, khusus ditujukan kepada kepala keluarga, terdiri atas penggunaan waktu untuk bekerja, jenis dan status pekerjaan utama, lapangan usaha, bantuan yang diinginkan sesuai dengan pekerjaan dan usaha yang ditekuni, serta waktu untuk mendapatkan informasi dari luar (media massa cetak dan elektronik).

desa-cisontrol.blogspot.com/2009...rol.html Dalam Program PPK IPM , sebagian kegiatannya dialokasikan untuk program bedah rumah warga miskin yang sangat membutuhkan bantuan. Bantuan ini dapat berupa fasilitas pengecatan dan pengapuran, lantai, saluran sanitasi udara, bahkan dibantu dengan swadaya masyarakat ada yang mendapat rehabilitasi rumah total. 3. Stratifikasi Rumahtangga Miskin

20

Keunikan dan keragaman masalah yang dihadapi oleh orang miskin menuntut adanya klasifikasi yang jelas dalam rangka untuk mengeefektifkan upaya-upaya pengentasannya. Stratifikasi rumah tangga miskin di pedesaan dapat dilakukan berdasarkan lapangan pekerjaan atau lapangan usaha yang ditekuni oleh kepala rumahtangganya, serta jenis dan status pekerjaan utamanya.

thewanderer79.wordpress.com/2007/10/ Keluarga miskin dicirikan oleh kondisi biofisik yang serba terbatas, berpendidikan rendah, tidak punya ketrampilan / keahlian khusus, tidak mempunyai cukup modal untuk berinvestasi. dan seterusnya.

21

DAFTAR REFERENSI Armanu, T. dkk. 1992. Kajian Strategi pengembangan masyarakat miskin di daerah kritis Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto , Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Bambang Budi S. 1997. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis dan Industri Komoditas Rumput Laut di Pedesaan Pantai Miskin, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Unibraw Vol 9 No 2 Agustus 1997. BPS. 1990. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-1990. Biro Pusat Statistik, Jakarta. BPS. 1987. Indikator Pemerataan Pendapatan: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1976-1984, BPS, Jakarta. BPS. 1990. Profil kependudukan Provinsi Jawa Timur, Biro Pusat Statistik Jakarta, Indonesia. Edi Susilo dkk. 1997. Model Kelembagaan Akomodatif sebagai upaya Mewujudkan Struktur Masyarakat Agribisnis di Wilayah Pedesaan Pantai Jawa Timur. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Unibraw Vol 9 No 2 Agustus 1997. Fauzi, A. Dh. dkk. 1996. Studi Rekayasa Manajemen Koperasi Agroindustri dalam Rangka Mengentas Kelompok Masyarakat Miskin di Pedesaan Pantai Jawa Timur. PHB III Lembaga Penelitian Unibraw. Hidayat, H. dkk. 1993. Studi analisis profil wilayah dan masyarakat miskin di daerah lahan kering Kecamatan Cerme dan Wringin, Kabupaten Bondowoso , Jawa Timur. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang-BAPPEDA Jawa Timur. Hidayat, H. dkk. 1992. Studi masyarakat miskin di daerah kritis Kecamatan Sape, Kabupaten Bima , Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Hidayat, H. dkk. 1997. Model Pondok Pesantren Produktif dalam Pembinaan Sumberdaya Manusia di Pedesaan Miskin Jawa Timur. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Unibraw Vol 9 No 2 Agustus 1997. Hidayat,H. 1995. Studi Pengembangan Model Pondok Pesantren Produktif sebagai Media Pembinaan Sumberdaya Manusia di Pedesaan Miskin Jawa Timur. PHB III Lembaga Penelitian Unibraw. Imam Syafii dkk. 1997. Studi Pembinaan KOPONTREN sebagai pengelola sistem Agribisnis Komoditas Pisang (Kebun Tiga Strata) di Jawa Timur. RUT VI. Lembaga Penelitian Unibraw. Jumilah Zain dkk 1995. Studi Rekayasa Model Lembaga Keuangan Pedesaan di Jawa Timur. Penelitian Hibah Bersaing III. Lembaga Penelitian Unibraw. Jumilah Zain, dkk. 1993. Kaji Tindak Sistem Lembaga Keuangan Pedesaan Grameen Bank di kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar Jawa Timur. Lembaga Penelitian Unibraw, Malang. Koid A. dkk. 1997. Studi Model Pembinaan Kelompok Nelayan Miskin

22

di Wilayah Pedesaan Pantai Jawa Timur. Penelitian Hibah Bersaing IV. Lembaga Penelitian Unibraw, Malang. Koid, A. dkk. 1993. Analisis Sosial Ekonomi Perkreditan dan Pembiayaan Pola Pengambek pada Usaha penangkapan Ikan Sekala Kecil di Wilayah pedesaan Pantai Miskin Jawa Timur. Fak. Perikanan Unibraw, Malang. Maryunani, 1991. Peluang berusaha golongan masyarakat lapisan bawah di Pedesaan Jawa Timur: Studi Kasus dua desa di Kabupaten Malang. Laporan Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Unibraw, Kontrak No. 356/P4M/DPPM/BDXXI/1990. Masyrofie. 1994. Agroindustri Emping Melinjo di Blitar, Jawa Timur: Tinjauan Aspek Ekonomi. Jurnal Unibraw Vol. 6 No. 1 April 1994. Masyrofie. dkk. 1992. Studi pengembangan masyarakat pedesaan miskin di daerah kritis Kecamatan Bangunrejo, Kabupaten Lampung Utara, Lampung. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Nuhfil H. dkk. 1993. Studi Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Sistem Sosial Ekonomi Pedesaan Pantai Miskin, Muncar Jawa Timur. Lembaga Penelitian Unibraw, Malang. Nuhfil, H. dkk. 1992. Studi evaluasi pengembangan masyarakat miskin di daerah kritis Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Nuhfil, H. dkk. 1996. Studi Agroindustri dan Agribisnis Komoditi Rambutan dan Mangga di Jawa Timur. Penelitian Hibah Bersaing (PHB) I. Lembaga Penelitian Unibraw. Prabowo, A.M. dkk. 1992. Kajian pengembangan masyarakat miskin di daerah kritis Kecamatan Kelara , Kabupaten Jene Ponto, Sulawesi Selatan . Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Riniwati, H. dkk. 1997. Evaluasi kredit Informal terhadap Usaha Penangkapan Ikan dan Rumah Tangga Nelayan dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perkreditan di Desa Pantai Miskin, Pasuruan, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Unibraw Vol. 9 No. 2 Agustus 1997. Sayogyo. 1993. Garis Kemiskinan (alat ukur) untuk Kebijaksanaan Apa? Harian Kompas 27 Mei 1993. Sayogyo. 1993. Siapa yang Disebut Penduduk Miskin? Harian Kompas 5 Mei 1993. Semaoen, I. 1990. Agroindustri dan Prospeknya dalam Kesempatan Kerja untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan. Seminar Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian SeJawa Timur di Malang. Semaoen, I. 1994. Kajian Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Distribusi Pendapatan di Pedesaan Pantai Miskin Jawa Timur. Lembaga Penelitian Unibraw Malang. Semaoen, I. dkk. 1993a. Studi Identifikasi Kelompok Sasaran dan Pola Pemberian Bantuan sesuai dengan Kategori Kemiskinannya. Kerjasama Lembaga Penelitian Unibraw dengan Badan

23

Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur, Surabaya. Semaoen, I. dkk. 1993b. Studi Analisis Profil Kesejahteraan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Jawa Timur. Kerjasama Lembaga Penelitian Unibraw dengan Bioro Pusat Statistik, Jakarta. Semaoen,I. dan S.M.Kiptiyah. 1997. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Desa Miskin Jawa Timur. Jurnal Penelitian IlmuIlmu Sosial, Universitas Brwijaya Vol. 9 No. 2 Agustus 1997. Simon, B.W. dkk. 1994. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis dan Agroindustri komoditi Pisang di Pedesaan Lahan kering Jawa Timur. PHB II Lembaga Penelitian Unibraw, Malang. Soemarno dkk. 1995. Studi Rekayasa dan Rancang Bangun Sistem Usahatani Konservasi di Lahan kering Desa-Desa Tertinggal Jawa Timur. Lembaga Penelitian Unibraw. Soemarno dkk. 1996. Studi Potensi dan Karakteristik Sumberdaya Lahan di wilayah miskin Jawa Timur bagian Selatan. Kerjasama LP Unibraw dengna BAPPEDA Tingkat I Jawa Timur. Soemarno dkk. 1997. Analisis Sistem Informasi Sosial Ekonomi di Wilayah Pedesaan Pantai Utara Jawa Timur. Kerjasama LP Unibraw dengan BAPPEDA Tk I Jawa Timur. Soemarno. 1992. Kajian Strategi pengembangan masyarakat miskin di daerah kritis Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Supartono, M. Setiawan, Maryunani, dan Multifiah. 1993. Identifikasi ciri sosial ekonomi dan peluang kerja masyarakat kumuh di perkotaan Jawa Timur (Studi Kasus di Kotamadya Mojokerto). Laporan Hasil Penelitian yang dibiayaan DP4M dengan SPPP No 510/P4M/DPPM/L-331/BBI/1992. Universitas Brawijaya. Surbakti, P. 1992. Mencari ciri-ciri kelompok rawan gizi di Indonesia. Biro Pusat Statistik, Makalah disampaikan pada Workshop Susenas, Jakarta 15-16 September 1992. Syamsulbahri, dkk. 1992. Studi pengembangan masyarakat miskin di Kecamatan Kutabaro, Kabupaten Aceh Besar, D.I.Aceh. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang Tim Peneliti. 1992. Studi Pembinaan dan Pengembangan Wilayah Pedesaan Pantai Miskin, di Jawa Timur. Kerjasama Pusat Penelitian dengan Kantor Sekretariat Menteri Negara kependudukan dan Lingkungan Hidup.