Download - MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Transcript
Page 1: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE: TUGAS KITA   BERSAMA

Posted on 6 Desember 2009 by Pakde sofa

MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE:TUGAS KITA BERSAMA

Prof. Dr. Sofian Effendi

1. Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.

2. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini — dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong — baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).

3. Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatiof dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.” Terjemahan dalam bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial.4. OECD pada 1992, telah menggunakan keruntuhan Soviet Uni, sebagai momentum

Page 2: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya adalah: (1) menjunjung tinggi nilai-nilai HAM khususnya hak dan kebebasan individu, (2) demokrasi, (3) penegakan Rule of Law, (4) pasar bebas dan (5) perhatian terhadap lingkungnan. Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.5. Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (the state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, 2ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.6. Konsep good governance yang dianjur-anjurkan oleh lembaga-lembaga donor internasional tersebut kemudian berubah akibat pengaruh Amerika Serikat yang menggunakan globalisasi untuk menebarkan sistem pasar bebas ke segala penjuru dunia. Sejak itu good governance diartikan sama dengan less government. Semua kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan masyarakat di negara dapat dipenuhi lebih baik bila campur tangan pemerintah tidak terlalu dominan. Berubahlah good governance menjadi best government adalah less government.7. Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yanbg diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance). Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance?8. Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita cita-citakan amat memerlukan Good Governance seperti yang dikonsepsualisasikan oleh IIAS. Pengembangan good governancetersebut harus menjadi tanggungjawab kita semua. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena itu pembangunan good governance dalam menuju Indonesia Masa Depan harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai warganegara dalam peneyelenggaraan pemerintahan.9. Kekuatan eksternal kedua yang dapat “memaksa” timbuilnya good governance adalah dunia usaha. Pola hubungan kolutif antara dunia usaha dengan pemerintah yang terlah bnerkembang selama lebih 3 dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan

Page 3: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

terbuka.10. Kunci untuk menciptakan good governance menurut pendapat saya adalah suatu kepemempinan nasional yang memiliki legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat. Karena itu mungkin Pemilu 2004 yang memilih Pimpinan Nasional secara langsung, adil dan jujur dapat menjadi salah satu jawaban bagi terbentuknya pemenyelenggaraan pemerintahan yang baik. Itu pun kalau Pemilu tersebut mampu memilih seorang yang kredibel, yang mendapat dukungan popular, dan yang visioner dan kapabel sebagai Presiden ke 6. Sayangnya harapan tersebut belum terealisasi, setahun setelah Presiden yang paling memiliki legitimasi terpilih.

http://massofa.wordpress.com/2009/12/06/membangun-good-governance-tugas-kita-bersama/

Page 4: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

BEBERAPA HAMBATAN PELAKSANAAN DEBIROKRATISASI DAN DEREGULASI UNTUK   PEMBANGUNAN

Posted on 6 Desember 2009 by Pakde sofa

BEBERAPA HAMBATAN PELAKSANAAN DEBIROKRATISASIDAN DEREGULASI UNTUK PEMBANGUNANProf. Dr. Sofian Effendi

Sekarang ini semakin disadari oleh para pengamat dan ilmuwan bahwa kekurang-berhasilan pembangunan di negara modern dapat disebabkan oleh dua faktor yakni keadaan pasar internasional mau pun nasional yang kurang menguntungkan, atau karena intervensi pemerintah yang terlalu besar melalui perangkat birokrasi yang kaku dan lamban. Pandangan seperti ini dianut oleh banyak pengamat, antara lain Myrdal (1971), Wittfogel (1957), Jackson dan Pye (1978), Abdullah (1985), Luke (1986) dan Robison (1987). Mereka berpendapat bahwa “kapitalisme birokratik” di negara-negara Asia Tenggara amat menghambat pembangunan ekonomi, penciptaan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Myrdal, misalnya, atas dasar pene-litian di beberapa negara di Asia Selatan selama lebih kurang satu dekade, menyimpulkan bahwa birokrasi pemerintah yang kurang independen, patrimonial, tidak efisien, tidak bersih serta yang memiliki konsentrasi kekuasaan yang besar adalah salah satu sebab utama kegagalan pembangunan di negara di kawasan ini.Bukti empiris mengenai dampak negatif regulasi yang berlebihan ini dilaporkan oleh Bank Dunia dalam suatu studi yang diadakan di 31 negara pada 1983.

Note: Yang termasuk dalam kelompok regulasi rendah adalah Malawi, Thailand, Kamerun, Korea, Malaysia, Filipina, Tunisia, Kenya, Yugoslavakia dan Kolumbia.Kelompok regulasi menengah adalah Etiopia, Indonesia, India,Sri Lanka, Brazil, Mexiko, Pantai Gading, Mesir dan Turki.Kelompok regulasi tinggi adalah Senegal, Pakistan, Jamaika, Uruguai, Bolivia, Peru, Argentina, Chili, Tanzania, Bangladesh, Nigeria dan Ghana.

Adanya hubungan negatif yang amat meyakinkan antara tingkat regulasi ekonomi, yang diukur dengan Indeks Distorsi Harga (IDH), dengan beberapa komponen pertumbuhan seperti tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun, tingkat pertumbuhan sektor industri, dan tingkat pertumbuhan volume ekspor sebagai indikator kinerja (performance) pembangunan ekonomi. Pada Tabel 1 kelihatan bahwa negara-negara yang memiliki sistem ekonomi dengan IDH yang tinggi, sebagai akibat perekonomian yang terlalu diatur, menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB, tingkat pertumbuhan sektor industri dan tingkat pertumbuhan volume ekspor yang terendah. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki IDH rendah, karena derajat regulasi yang rendah pula, menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bila diukur dari ketiga indikator tadi.

Page 5: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Masalah efek negatif intervensi pemerintah dalam pemba-ngunan menjadi isyu sentral di Indonesia setelah terjadi krisis pembiayaan pada PELITA IV (1984/85-1988/89). Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menimbulkan kelesuan ekonomi di negara-negara maju dan mengakibatkan turunnya permintaan akan minyak dan bahan industri lainnya serta memaksa mereka untuk melakukan berbagai tindakan proteksi. Pengaruh gejolak ekonomi dunia ini buat Indonesia adalah merosotnya devisa sebagai sumber biaya pembangunan karena harga minyak serta komoditi ekspor lainnya turun secara tajam.Keadaan ini tambah diperberat oleh penurunan nilai dolar. Untuk mempertahankan momentum pembangunan nasional, Pemerintah telah berusaha keras untuk mencari substitusi pembiayaan yang telah merosot secara drastis sejak tahun 1980. Untuk itu Pemerintah mengadakan reformasi perpajakan yang diatur melalui Undang Undang Nomor 7 tahun 1983 yang mengatur pajak penghasilan dan Undang Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai. Selain itu Pemerintah sangat mendorong penggalakan ekspor non-migas. Namun, upaya ini bukan tanpa masalah karena lemahnya daya-saing komoditi non-migas kita di pasar internasional yang antara lain disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi. Untuk itu Pemerintah mengadakan serangkaian kebijaksanaan untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional yang dikenal sebagai paket kebijaksananan tahun 1983 yang memberikan peluang lebih besar kepada swasta untuk memobilisasi dana pembangu-nan dari masyarakat, tahun 1984 pengadaan program mobilisasi dana pedesaan, tahun 1988 pengadaan lembaga pembiayaan non-bank dan pasar modal, dan tahun 1990 deregulasi tata niaga dan perizinan dalam sektor industri, pertanian, peternakan dan kesehatan.Sementara itu pembangunan nasional yang dilakukan oleh Pemerintah sejak awal Pemerintahan Orde Baru yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran politik masyarakat juga telah menimbulkan pelonjakan permintaan akan berbagai pelayanan dari birokrasi pemerintah. Sayangnya berbagai tin-dakan debirokratisi dan deregulasi tadi belum mampu menghasilkan pelayanan yang lancar dan murah oleh birokrasi peme-rintah. Misalnya, telefon, surat-surat izin, dan sertifikat yang amat diperlukan oleh masyarakat banyak hanya dapat di-peroleh melalui prosedur yang amat berliku-liku, memakan waktu yang lama serta biaya siluman yang amat tinggi.

Tulisan ini mencoba mencari jawaban atas tiga masalah yakni: (a) apakah betul birokratisasi dapat menghambat pem-bangunan, (b) apakah kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang telah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia mampu menghilangkan hambatan tersebut dan dapat meningkatkan proses pembangunan nasional, dan (c) apakah hambatan-hamba-tan pokok dalam pelaksanaan kebijaksanaan tersebut.

Birokratisasi Pembangunan Ekonomi: Perspektif TeoritisMax Weber, sosiolog Jerman yang merumuskan konsep biro-krasi untuk pertama kali, mempunyai pemikiran yang amat ber-beda dari para sarjana yang dibicarakan di atas tentang hu-bungan antara birokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurut Weber, birokratisasi adalah prasyarat bagi pembangunan eko-nomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan “take-off into selfsustained growth” (Giddens, 1985:195).

Page 6: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Teori birokratisasi Weber tadi menimbulkan satu perta-nyaan yang selalu mengusik di benak para sarjana adminis-trasi pembangunan: “Apakah birokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah sampai ke tingkat yang cukup tinggi sebagai prasarana pembangunan ekonomi?” Atau, sebaliknya, sudahkah birokratisasi yang terlalu berlebihan (overbureaucratization) justru telah menjadi beban yang menghambat kemajuan ekonomi negara ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibahas proses birokratisasi secara lebih mendalam agar kita dapat memban-dingkan tingkat birokratisasi di Indonesia dengan di bebera-pa negara di kawasan ini. Evers (1987) dalam analisisnya tentang birokratisasi Asia Tenggara membedakan tiga pola birokratisasi berikut:(a) Pola pertama adalah birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Proses ini menjadi fokus dan dibahas secara luas da-lam teori Weber dan oleh Evers dinamakan birokratisasi a la Weber atau Weberisasi atau (Bw).

(b) Pola kedua adalah proses birokratisasi dalam bentuk peningkatan jumlah pegawai negeri dan pembesaran organisasi pemerintah. Dalam literatur ilmu sosial sering disebut nama Parkinson, tokoh ilmu sosial dari Universitas Singapura men-jadi terkenal karena “Parkinson’s Law” yang telah dicipta-kannya. Hukum Parkinson ini menyatakan: (1) tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya, dan (2) tiap pegawai akan selalu menciptakan tu-gas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya. Karena itu laju birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan. Pola semacam ini disebut Evers birokratisasi Parkinson.

(c) Pola ketiga adalah birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol ke-giatan ekonomi, politik dan sosial masyarakat dengan pera-turan, regulasi, dan bila perlu pemaksaan. Proses ini di-sebut Evers birokratisasi Orwell atau Orwellisasi sesuai dengan gambaran masyarakat yang digambarkan oleh penulis George Orwell dalam novelnya yang berjudul “1984″.Dengan ketiga pola ini kita dapat mengukur tingkat bi-rokratisasi di Indonesia serta membandingkannya dengan ting-kat yang sama di beberapa negara Asia Tenggara. Evers, meng-gunakan pola Parkinson, mengukur tingkat birokratisasi ter-sebut dengan memakai rasio pegawai negeri dan penduduk seba-gai tolok ukur. Dia menyimpulkan bahwa proses birokratisasi relatif berjalan dengan cepat di negara Asia Tenggara. Ting-kat birokratisasi yang tertinggi adalah di Malaysia dengan 40 pegawai per 1000 pada tahun 1986 diikuti oleh Indonesia dengan 19 pegawai per 1000 penduduk dan Thailand dengan 10 pegawai per 1000 penduduk. Walau pun Indonesia mempunyai tingkat birokratisasi yang terendah tetapi pertumbuhannya adalah yang tercepat karena antara 1950 dan 1988 jumlah pe-gawai negeri telah meningkat sebanyak lebih dari sepuluh kali lipat, dari 303 ribu menjadi 3,4 juta. Evers menamakan pertumbuhan yang cepat ini “runaway bureaucratization”. Me-nurutnya, proses ini dapat dibandingkan dengan inflasi mata uang. Bila peredaran mata uang ditambah terus maka nilainya akan merosot. Bila jumlah pegawai negeri ditambah terus se-cara cepat tanpa mengingat keseimbangannya dengan beban tu-gas pemerintahan, maka “nilai” pegawai negeri akan semakin menurun dan terjadilah

Page 7: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

inefisiensi. Dengan kata lain, infla-si pegawai negeri tadi akan menghambat tercapainya birokra-tisasi seperti yang diinginkan oleh Weber.Seperti sudah disinggung di atas, tesis utama teori bi-rokratisasi Weber adalah sebagai berikut: birokrasi modern yang rasional diperlukan untuk ekonomi modern. Apa ciri-ciri birokrasi modern ini? Weber menggunakan konsep tipe ideal (idealtyp) untuk menjawab pertanyaan ini.Menurut pemikiran Weber suatu birokrasi modern mempunyai ciri-ciri berikut:(a) kegiatan birokrasi dilaksanakan secara teratur dengan batas-batas otoritas yang jelas,(b) ada hirarki kewenangan,(c) ada aturan yang jelas tentang perilaku, otoritas dan tanggung-jawab pegawai, dan(d) pegawai diterima atas dasar merit bukan ikatan kekrabatan.

Salah satu ciri yang penting dari birokrasi rasional a la Weber ini adalah suatu sistem penggajian bagi pegawai se-bagai alat untuk meningkatkan produktivitas birokrasi tadi. Dalam hal ini, birokrasi Indonesia mempunyai pola yang agak “unik” menurut pola pemikiran Weber dan lebih mendekati pola imbalan dalam suatu birokrasi patrimonial yang lebih menyan-darkan pada hubungan antar patron dan client atau yang seca-ra populaer dikenal sebagai “bapakisme”. Selama sistem peng-gajian dan honor seperti ini seimbang dengan beban tugas ma-ka dia dapat memacu produktivitas pegawai. Kalau tidak, sis-tem seperti diragukan kemampuannya untuk menghasilkan biro-krasi yang berdayaguna dan berhasilguna seperpti yang difi-kirkan oleh Weber.Cara lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah untuk me-ningkatkan prestasi pegawai adalah dengan menaikkan gaji me-reka. Anggaran pemerintah untuk gaji pegawai memang mening-kat sebesar 48 persen selama PELITA IV, tetapi pendapatan riil pegawai negeri sebenarnya menurun sebesar 24 persen (BIES, Survey of Recent Development, 23:2, 1987). Gaji pega-wai negeri golongan I misalnya hanya mencapai 30 persen dari Kebutuhan Fisik Minimal keluarga dengan 2 anak (Effendi, dkk, 1989). Tingkat gaji pegawai yang rendah ini akhirnya telah menciptakan birokrasi tidak produktif dan tingkat efisiensi yang rendah. Dengan kata lain, sistem remunerasi yang dipakai oleh Indonesia telah menyimpang dari prinsip yang difikirkan oleh Weber, dan karenanya sistem tersebut tidak akan mampu menumbuhkan birokrasi yang rasional dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas yang diper-lukan untuk menopang pembangunan yang sedang meningkat.Peranan birokrasi pemerintah dalam berbagai aspek ke-hidupan masyarakat di Indonesia, Thailand dan Singapura da-pat dikatakan cukup besar. Bahkan ada sebagian penulis yang menganggap bahwa peranan birokrasi dalam kehidupan ekonomi dan dunia usaha Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Sistem birokrasi Indonesia ini dinamakan masyarakat politik birokratik (bureaucratic polity) oleh Jackson (1978), atau kapitalisme birokratik (bureaucratic capitalism) oleh Robison (1986) untuk menggambarkan suatu sistem ekonomi dan politik dimana kegiatan ekonomi yang utama dimiliki oleh pemerintah dan sangat dikendalikan oleh peraturan-peratutan pemerintah. Sistem seperti ini menggambarkan pola birokrasi Orwell dan seperti yang kita lihat keadaan ini amat mengham-bat proses pembangunan, terutama buat jangka panjang.

Untuk sementara masyarakat birokratis seperti ini me-mang mampu menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Studi yang diadakan oleh Muhaimin (1986), misalnya,

Page 8: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

menyimpulkan bahwa dari berbagai tolok ukur nampak bahwa Pemerintah Orde Baru telah mampu mencapai hasil-hasil yang cukup besar dalam memperkuat kehidupan bernegara. Antara 1969/70 dan 1985/86 pengeluaran pembangunan pemerintah telah meningkat hampir 80 kali sebelum menurun mencapai titik terendah pada tahun 1988/89. Seiring dengan itu telah terjadi peningkatan pe-nerimaan dalam negeri sebesar hampir 90 kali termasuk pe-ningkatan penerimaan pajak sebesar 67 kali lipat pada kurun waktu yang sama. Dalam pada itu volume APBN yang merupakan salah satu tolok ukur kegiatan pembangunan pemerintah juga telah mengalami pertumbuhan yang amat pesat seiring dengan bertambahnya proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan. Pada PELITA I, besarnya dana yang disediakan melalui APBN adalah Rp. 3.283,23 milyar, pada PELITA II meningkat menjadi Rp. 18.019,4 milyar, pada PELITA III meningkat lagi menjadi Rp. 66.393,7 milyar dan pada PELITA IV telah meningkat lagi menjadi Rp. 91.063 milyar.Peningkatan APBN ini telah memperkuat daya beli dalam negeri sehingga ekonomi dapat tumbuh dengan pesat. Tetapi, seperti dugaan Weber, birokrasi patrimonial terbukti tidak mampu bertahan buat usaha pembangunan ekonomi jangka panjang. Kenyataan ini mulai nampak pada pertengahan PELITA IV. Gejolak-gejolak ekternal yang diakibatkan oleh resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menimbulkan penurunan permintaan terhadap minyak, bahan tambang serta komoditi pertanian yang menjadi andalan Indonesia dalam pencarian devisa. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh berbagai tinda-kan protektif yang diadakan oleh negara-negara maju untuk menghambat serangan ekspor dari negara berkembang.Keadaan ini membawa dampak langsung bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sampai dengan pertengahan PELITA IV laju pertumbuhan ekonomi hanya mencapai sekitar 4 persen bila diukur dari Produk Domestik Bruto. Dengan demikian tingkat pertumbuhan riil kurang dari 2 persen karena tingkat pertum- buhan penduduk adalah 2,1 persen. Keadaan ini sedikit mem-baik pada tahun-tahun berikutnya karena ekonomi dunia lebih sehat keadaannya.

Kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah selama ini memang nampaknya mampu memperbaiki kinerja ekonomi nasional. Selain dapat mengura-ngi kerentanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi internasional tindakan-tindakan tadi nampaknya telah dapat meningkatkan daya-saing berbagai produk buatan Indonesia di pasar internasional. Lebih penting lagi tindakan deregulasi yang telah dilaksanakan secara sistematis oleh Pemerintah nampaknya telah menyebabkan perubahan struktur yang cukup besar pada ekonomi Indonesia. Menurut perkiraan staf Bank Dunia tindakan-tindakan debirokratisasi dan deregulasi dalam bidang ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara drastis peranan BBM sebagai sumber pendapatan dari ekspor dari hampir 81 persen pada 1981/82 menjadi 66.6 persen pada 1985/86 dan turun lagi menjadi 35.8 pada 1988/89. Akibatnya, terjadi juga penurunan pada kontribusi penghasilan dari BBM terhadap penghasilan total dari hampir 71 persen pada 1981/82 menjadi 57.5 persen pada 1985/86 dan hanya 41.3 persen pada 1988/89. Perubahan struktur ekonomi ini nampak juga dari perbandingan antara hasil ekspor Non-BBM terhadap impor non-BBM yang telah meningkat dari hanya 28.8 persen pada 1981/82 menjadi 55.4 pada 1985/86 dan meningkat menjadi 90.3 persen pada 1988/89. Namun, belum semua bidang kegiatan rupanya tersentuh oleh berbagai tindakan debirokratisasi dan deregulasi tadi. Misalnya, arus barang antar daerah masih terhalang

Page 9: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

oleh berbagai peraturan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan merugikan masyrakat banyak.Sampai saat ini memang sebagian besar kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang ditempuh oleh Pemerin-tah masih dipusatkan pada upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tindakan deregulasi yang ditempuh adalah menyang-kut pemberian peluang yang lebih besar kepada swasta dalam memobilisasi dana masyarakat dan penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan memperlancar arus barang serta menyederhanakan sistem perizinan.Namun masih banyak aspek pengelolaan pembangunan yang belum disentuh dan karenanya memerlukan tindakan debirokra-tisasi dan deregulasi lebih lanjut. Misalnya, Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1994/95 – 2019/20) yang menekankan pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan juga memerlukan peninjauan yang kritis terhadap bentuk serta peranan birokrasi pemerin-tah.Agar dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia yang mencakup dimensi-dimensi kapasitas (capacity), pemera-taan (equity), pemberian kewenangan dan kekuasaan kepada ma- syarakat (empowerment), keberlanjutan (sustainability) dan kesadaran akan saling-ketergantungan (interdependency), di- perlukan pemberian kesempatan yang lebih besar kepada parti-sipasi masyarakat melalui LSM mau pun lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain diperlukan peninjauan kembali ten-tang peranan birokrasi dalam usaha pembangunan nasional.

Hambatan dalam pelaksanaan debirokratisasi dan deregulasiDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijaksa-naan debirokratisasi dan deregulasi yang ditempuh oleh Peme-rintah Indonesia mempunyai tujuan ganda. Yang pertama adalahmengurangi intervensi birokrasi dalam proses pembangunan ekonomi sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih wajar. Yang kedua, yang lebih merupakan tujuan jangka panjang, adalah menciptakan kapasitas adminis-trasi yang lebih mampu melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berdimensi peningkatan kualitas manusia dan kuali-tas masyarakat.

Selama ini kedua kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah barulah mencakup upaya untuk mencapai tujuan jangka pendek tadi. Tujuan debirokratisasi jangka panjang boleh dikatakan belum tersentuh sama sekali, padahal ini lah yang lebih penting buat Pembangunan Jangka Panjang Kedua.Hambatan pelaksanaan debirokratisasi dan deregulasi gu-na mencapai tujuan jangka pendek tadi sudah cukup banyak dibahas baik di media massa mau pun pada seminar. Karena itu saya tidak ingin menggunakan ruang yang amat terbatas ini untuk membicarakan secara panjang lebar tentang hal terse-but. Saya ingin, pada kesempatan ini membahas sedikit panjang mengenai hambatan-hambatan yang akan dihadapi dalam implementasi kedua kebijaksanaan ini untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu pengembangan kapasitas administrasi untuk dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat tadi.

Page 10: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Seperti sudah disinggung di atas, pembangunan kualitas manusia itu sebenarnya mencakup lima dimensi yakni kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada rakyat, kesadaran yang lebih tinggi ten-tang interdependensi antar manusia dan lingkungannya mau pun hubungan antar daerah dan antar bangsa, dan juga penekanan pada azas keberlanjutan (sustainability). Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem administrasi baru yang lebih cocok untuk pembangunan kualitas manusia, yakni sistem administra-si yang memiliki struktur yang lebih terbuka atau organis adaptif (Bennis, 1969, dan Saxena, 1985), prosedur yang le-bih sederhana dan cepat, petugas yang berorientasi fasilita-tor dan berbudaya pelayan publik serta lingkungan politik-birokratis yang mampu menciptakan “pengawasan” yang fungsional dan effektif terhadap birokrasi pemerintah.

Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan desentralisasi sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu secara lebih baik aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan digunakan. Karena itu hambatan paling besar dalam pelaksa-naan kebijaksanaan semacam itu adalah sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita.Hambatan yang kedua adalah karena kurang tumbuhnya bu-daya pelayan publik dalam birokrasi kita baik di pusat mau pun di daerah. Kelangkaan budaya pelayanan publik ini muncul sebagai akibat adanya dualisme birokrasi dalam sistem administrasi kita. Kalau sistem ekonomi kita mengenal adanya dualisme antara ekonomi tradisional-agraris dan ekonomi modern industrial, maka dalam sistem administrasi kita di-kenal adanya dualisme antara sistem administrasi tradisional yang menghasilkan ritualisme administratif yang tidak efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme administratif yang efisien (Riggs, 1957:59). Untuk merubah inkonsistensi tata nilai yang banyak di pengaruhi ritualisme adminstratif sangat diperlukan program pendidikan dan pelatihan yang dirancang secara tepat. Hambatan yang ketiga adalah karena kelemahan yang ter-kandung dalam sistem politik kita yang kurang mampu mengem-bangkan pengawasan oleh DPR dan DPRD. Salah satu sebab utamakekurang berhasilan pembangunan di negara sosialis dan Dunia Ketiga menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-opment Studies, Universitas Sussex adalah karena lemahnya sistem pengawasan demokratis di negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai cara, masih diperla-kukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu tidak ada kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan antara birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa, telah memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pe-ngawasan terhadap lembaga eksekutif.

Revitalisasi Birokrasi PembangunanDari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pembangunan nasional amat diperlukan suatu sistem adminis-trasi yang rasional dan efisien. Namun, intervensi birokrasi yang terlalu besar dalam kehidupan sosio-ekonomis dapat mem-bawa dampak yang justru akan counter productive. Karena itu diperlukan adanya upaya debirokratisasi yakni mengurangi ke-terlibatan birokrasi pemerintah dalam urusan-urusan sosio-ekonomi

Page 11: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

tadi. Deregulasi adalah salah satu bentuk kebijaksa-naan debirokratisasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengunrangi berbagai kendala regulatif yang biasanya ditempuh oleh birokrasi untuk menancapkan pengaruhnya.Kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang di-tempuh oleh Pemerintah Indonesia selama ini seharusnya di-arahkan pada pencapaian tujuan jangka pendek yaitu untuk me-macu pembangunan ekonomi dan tujuan jangka panjang yaitu menciptakan kapasitas adminstrasi yang lebih mampu melaksa-nakan pembangunan kualitas manusia. Namun, pada saat ini baru tujuan jangka pendek yang baru disentuh oleh kebijak-sanaan-kebijaksanaan tersebut.

Pelaksanaan kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi buat pencpaian tujuan jangka panjang tadi nampaknya menghadapi beberapa hambatan yang cukup berat antara lain kurangnya budaya pelayan publik, sentralisasi pemerintahan serta belum effektifnya sistem pengontrolan demokratis oleh lembaga legislatif. Untuk mengatasi hambatan yang pertama perlu ditimbulkan kesadaran dan kesepakatan yang kuat di kalangan para pemimpin nasional Indonesia tentang urgensi perubahan nilai pada birokrasi Indonesia. Disamping itu perlu diadakan perombakan yang agak mendasar pada kurikulum pendidikan dan pelatihan calon birokrat untuk menanamkan budaya pelayan publik tadi. Selain itu harus diciptakan sis-tem pemerintahan yang lebih seimbang antara lembaga legis-latif dan eksekutif sehingga dominasi kekuasaan birokrasi pemerintah jauh berkurang, dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah. Kalau semuanya itu dapat dilaksanakan secara sistematis dan konsisten baru lah dapat diciptakan suatu revitalisasi birokrasi yang amat diperlukan dalam proses pembangunan yang berdimensi kualitas manusia dan kualitas masyarakat.

http://massofa.wordpress.com/2009/12/06/hambatan-dalam-debirokratisasi-dan-deregulasi/

Page 12: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Hubungan Antara Sistem Informasi Dengan   Organisasi

Posted on 5 Maret 2009 by Pakde sofa

Hubungan Antara Sistem Informasi Dengan OrganisasiOleh Ratna Nurhayati

Kita dapat melihat secara lebih dekat hubungan antara sistem informasi dengan organisasi. Namun sebelumnya kita perlu mengetahui tentang bagaimana organisasi mempengaruhi teknologi dan sistem. Organisasi akan berpengaruh terhadap sistem informasi melalui keputusan-keputusan yang dibuat oleh manajer dan karyawan. Manajer membuat keputusan tentang desain sistem. Mereka juga menggunakan teknologi informasi. Manajer juga akan memutuskan siapa yang akan membuat dan mengoperasikan sistem, dan pada akhirnya memberikan pertimbangan rasional dalam pembuatan sistem. Pada bagian berikut ini akan dijelaskan :

1. Keputusan-Keputusan Tentang Peran Sistem Informasi

Organisasi mempunyai dampak langsung terhadap teknologi informasi melalui keputusannya tentang bagaimana teknologi akan digunakan dan peran apa yang akan dimainkan dalam organisasi. Dukungan terhadap perubahan peran telah merubah secara teknikal serta sistem konfigurasi organisasi yang secara nyata telah memberikan “computing power” dan data, sehingga menjadi lebih dekat dengan pemakai akhir.

Mesin hitung elektronik dengan fungsi-fungsi yang terbatas dalam tahun 1950-an telah memberikan cara baru. Mainframe yang tersentralisasi dapat melayani kantor pusat dengan kantor cabang di beberapa lokasi yang terpencil pada tahun 1960-an. Pada tahun 1970-an komputer mikro yang ditempatkan di sebuah departemen atau divisi dihubungkan dengan komputer pusat. Tahun 1980-an, komputer mikro desktop pertama kali digunakan secara independen, kemudian dihubungkan dengan minicomputer dan komputer yang berukuran besar.

Dalam tahun 1990-an, rancangan jaringan organisasi secara penuh dikembangkan. Dalam rancangan baru ini, central mainframe computer menyimpan dan mengkoordinasi informasi dan mengalirkannya ke desktop-desktop dan bahkan ke ratusan jaringan lokal yang lebih kecil. Sistem operasinya menyerupai sistem telepon. Sistem informasi telah menjadi bagian integral, on-line, dan interactive tools yang secara mendalam berfungsi dalam operasi dari menit ke menit serta pengambilan keputusan organisasi. Dengan demikian organisasi menjadi sangat tergantung pada sistem dan tidak akan mampu bertahan ketika sistem ini runtuh.

2. Keputusan Tentang Siapa Yang Menyediakan Pelayanan Teknologi lnformasi.

Page 13: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Cara kedua dimana organisasi mempengaruhi teknologi informasi adalah melalui keputusan tentang siapa yang akan mendesain, membangun, dan mengoperasikan teknologi di dalam organisasi. Teknologi komputer mirip dengan teknologi yang lain, termasuk didalamnya teknologi otomotif. Disamping mobil, masyarakat membutuhkan jalan bebas hambatan, bengkel, pompa bensin, insinyur mesin, polisi, dan produsen spare-part. Automobile adalah sebuah paket pelayanan, organisasi dan manusia/orang. Demikian pula sistem informasi mensyaratkan sub-unit organisasi khusus, spesialis informasi, serta kelompok pendukung yang lain. Manajer membuat keputusan penting tentang paket komputer: keputusan tentang apa yang dilakukan oleh teknologi informasi.

Paket-paket itu terdiri dari tiga entitas. Pertama, fungsi atau unit organisasi formal yang biasa disebut departemen sistem informasi. Kedua, ahli-ahli atau spesialis sistem informasi seperti programer, sistem analis, project leader, manajer sistem informasi. Demikian pula spesialis eksternal seperti supplier hardware dan manufaktur, perusahaan software, dan konsultan yang berpartisipasi pada operasi harian dan perencanaan sistem informasi jangka panjang. Ketiga, paket sistem informasi adalah teknologinya itu sendiri, baik software maupun hardware.

Saat ini kelompok sistem informasi menjadi agen perubah yang sangat kuat dalam organisasi, mendesak strategi baru dalam bisnis dan memaksa produk-produk dihasilkan dengan berbasis informasi serta memerlukan koordinasi antara pengembangan teknologi dan perencanaan perubahan organisasi. Ukuran dan departemen sistem informasi sangat bervariasi dan sangat tergantung pada peran dan sistem informasi dalam organisasi serta ukuran organisasi. Pada perusahaan dengan ukuran menengah sampai besar kelompok sistem informasi terdiri dan 100 sampai 400 orang. Ukuran kelompok sistem informasi dan total pengeluaran untuk komputer sistem informasi (khususnya organisasi yang menjual produk informasi) dapat menghabiskan sampai 40 persen dari gross revenues.

Pada tahun-tahun pertama penggunaan komputer, ketika peran sistem informasi dibatasi, kelompok sistem informasi umumnya terdiri dari programer dan ahli teknik. Saat ini kebanyakan kelompok sistem informasi dan analis sistem tumbuh atau bertambah secara proporsional. Sistem analis biasanya merupakan pihak yang menghubungkan antara kelompok sistem informasi dengan fihak lain dalam organisasi. Hal lain yang menjadi tugas analis adalah menterjemahkan masalah-masalah bisnis dan kebutuhannya ke dalam persyaratan sistem dan informasi.

Manajer sistem informasi adalah pimpinan tim programer dan analis, manajer proyek, manajer fasilitas fisik, manajer telekomunikasi, kepala kantor dan kelompok automation, dan manajer operasi komputer dan staf data entry. End user adalah representatif dan departemen diluar kelompok sistem informasi dimana aplikasi di kembangkan. Pemakai (users) ini mempunyai peran penting dalam desain dan pengembangan sistem informasi.

3. Keputusan Tentang Mengapa Membangun Sistem Informasi

Untuk membangun sistem informasi, manajer mempunyai beberapa alasan rasional baik menyangkut umum ataupun khusus. Alasan yang paling pokok bagi manajer untuk

Page 14: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

memilih menggunakan sistem adalah untuk mencapai alasan-alasan ekonomi, menyediakan pelayanan yang lebih baik, atau menyediakan tempat kerja yang lebih baik. Dampak komputer terhadap organisasi tergantung dari bagian dan bagaimana manajer membuat keputusan.

Sekilas, jawaban dari pertanyaan ‘Mengapa organisasi mengadopsi sistem informasi?” tampaknya sangat sederhana. Namun secara jelas organisasi mengadopsi sistem informasi adalah untuk menjadi lebih efisien, menghemat uang, dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Meskipun respon-respon yang demikian secara umum benar untuk masa-masa yang lalu, namun alasan-alasan itu bukanlah alasan-alasan pokok untuk mengadopsi sistem.

Sistem yang ada saat sekarang dibangun dengan tujuan efisiensi untuk hal- hal yang menyangkut pekerjaan pikiran. Namun alasan lain yang lebih mendasar dan mudah diterima, sistem informasi merupakan sesuatu yang sangat penting jika ingin tetap bertahan dalam bisnis. Sistem informasi merupakan sesuatu yang sangat vital sebagaimana peningkatan modal seperti bangunan-bangunan modern atau corporate headquarter. Peningkatan dalam pengambilan keputusan (kecepatan, akurasi, keterpaduan), pelayanan yang lebih baik kepada customer dan harapan klien, koordinasi kelompok-kelompok yang terpencar, serta menguji kekuatan kontrol terhadap personal maupun pengeluaran menjadi alasan penting untuk membangun sistem (Huff dan Munro, Husein, M.F. dan Wibowo, A. 2002).

Alasan terkini, organisasi mengadopsi sistem karena ingin mendapatkan competitive benefit (manfaat kompetitif). Dengan demikian, pertanyaan yang tampaknya jawabnya sangat mudah “Mengapa or,ganisasi mengadopsi sistem?” adalah sangat kompleks. Beberapa organisasi sekedar ingin menjadi lebih inovatif untuk mendapatkan benefit ekonomi secara langsung. Untuk beberapa kasus, sistem informasi dibangun karena ambisi dari beberapa kelompok dalam organisasi dan antisipasi dampak dan konflik yang tengah berlangsung dalam organisasi.

Gambar 1. menggambarkan model dan proses pengembangan sistem yang memasukan beberapa faktor lebih dari sekedar pertimbangan ekonomi. Model ini menjelaskan tentang mengapa organisasi mengadopsi sistem dalam dua kelompok faktor-faktor lingkungan eksternal dan faktor-faktor internal organisasi.

Faktor-faktor lingkungan eksternal adalah faktor eksternal organisasi yang mempengaruhi adopsi dan desain sistem, Beberapa faktor lingkungan eksternal adalah peningkatan biaya tenaga kerja atau sumber daya yang lain, persaingan dan perusahaan lain, dan perubahan regulasi pemerintah (Undang-undang). Secara umum faktor-faktor lingkungan eksternal ini dapat dianggap sebagai batasan-batasan lingkungan. Namun pada saat yang sama, lingkungan juga menyediakan beberapa kesempatan kepada organisasi, seperti teknologi baru, sumber modal baru, pengembangan proses produksi baru, memaksa kompetitor untuk keluar, program-program baru pemerintah yang dapat meningkatkan permintaan produk-produk tertentu.

http://massofa.wordpress.com/2009/03/05/hubungan-antara-sistem-informasi-dengan-organisasi/

Page 15: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE
Page 16: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Meningkatkan Efektivitas   Kepemimpinan

Posted on 5 Maret 2009 by Pakde sofa

Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan Oleh Fahrudin Ali Prabowo

Usaha mencari perpaduan terbaik untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses tidaklah mudah. Dan, usaha untuk bisa menemukan nilai, gaya dan aktivitas atau apa pun yang relevan untuk disebut sebagai pemimpin yang sukses merupakan proses yang panjang.

Ada pemimpin yang sukses karena mampu bertindak sebagai seorang pengarah tugas, pendorong yang kuat, dan berorientasi pada hasil sehingga mendapatkan nilai kepemimpinan yang tinggi. Ada pemimpin yang sukses karena mampu memberi wewenang kepada para pegawainya untuk membuat keputusan dan bebas memberikan saran, mampu menciptakan jenis budaya kerja yang mendorong serta menunjang pertumbuhan. Pendeknya, untuk menjadi pemimpin yang sukses haruslah memiliki dorongan yang kuat dan integritas yang tinggi.

Kepemimpinan adalah sebuah proses yang melibatkan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dengan memberi kekuatan motivasi, sehingga orang tersebut dengan penuh semangat berupaya menuju sasaran. Ahli manajemen, Peter F Drucker secara khas memandang kepemimpinan adalah kerja. Seorang pemimpin adalah mereka yang memimpin dengan mengerjakan pekerjaan mereka setiap hari. Pemimpin terlahir tidak hanya dalam hirarki managerial, tetapi juga dapat terlahir dalam kelompok kerja non formal.

Ada sejumlah pedoman dasar untuk menjadi pemimpin yang efektif. Pertama, keluwesan. Pemimpin yang luwes memiliki potensi menjadi efektif dalam sejumlah situasi. Kemampuan setiap pemimpin untuk mengubah gayanya pada situasi yang berbeda, akan berbeda-beda. Dengan kata lain, efektivitas pemimpin tergantung pada bagaimana gaya kepemimpinan mereka saling berkaitan dengan keadaan atau situasi. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan gaya mereka dengan kebutuhan situasi. Namun dalam situasi arus kerja yang rutin, terstruktur dan mantap, keluwesan kepemimpinan menjadi tidak begitu penting.

Kedua, berorientasi pada pencapaian. Pemimpin dituntut untuk mampu menetapkan sasaran menantang dan menunjukkan kepercayaan diri bahwa mereka dapat mempercayainya. Dalam hal ini pemimpin adalah seseorang yang menjadi kunci dalam menimbulkan motivasi, kepuasan dan kinerja bawahan yang lebih baik. Mampu mempengaruhi jalur antara perilaku bawahan dan sasaran. Pada batas tertentu, pemimpin adalah seorang pelatih yang merencanakan jalur realistik bagi tim. Bawahan yang mengerjakan tugas pekerjaan tak rutin dan bekerja untuk pemimpin yang

Page 17: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

berorientasi pada pencapaian merasa lebih yakin bahwa upaya mereka akan menyebabkan kinerja yang lebih baik.

Ketiga, partisipasi. Dalam hal ini pemimpin bertindak untuk meminta, menerima dan menggunakan saran bawahan untuk membuat keputusan. Partisipasi lebih menekankan pada upaya meningkatkan peluang bagi kepuasan pribadi bawahan. Membantu upaya bawahan untuk mencapai sasaran, menolong mengurangi rintangan yang mengecewakan dalam upaya mencapai sasaran dan memberi penghargaan atas pencapaian sasaran.

Keempat, transformasional. Dalam hal ini pemimpin dituntut untuk mampu mendorong semangat, menggunakan nilai-nilai, kepercayaan dan kebutuhan bawahan untuk menyelesaikan tugas. Dan mampu melakukan dalam situasional yang sangat cepat berubah atau situasi yang penuh krisis. Dengan kata lain mampu menampilkan atau menciptakan kepemimpinan yang kharismatik, penuh inspirasi, stimulasi intelektual dan perasaan bahwa setiap bawahan diperhitungkan.

Apa yang diharapkan seorang manajer dari bawahannya, dan caranya mempertahan kan mereka sebagian besar menentukan kinerja dan kemajuan karir mereka. Suatu karakteristik untuk manajer yang unggul adalah kemampuan mereka menciptakan harapan kinerja tinggi, yang dapat dipenuhi oleh bawahannya. Menjadi pemimpin yang efektif haruslah dapat menyesuaikan diri yaitu dapat mendelegasikan wewenang secara efektif karena mempertimbangkan kemampuan mereka, kemampuan bawahan dan tujuan yang harus diselesaikan.

Ada beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Pertama, persepsi yang tepat. Persepsi memainkan peran dalam mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Para manajer yang memiliki persepsi yang keliru terhadap pegawainya mungkin kehilangan peluang untuk mencapai hasil optimal. Oleh karenanya ketepatan persepsi manajerial sangat penting, dan hal itu begitu penting pada setiap model situasional.

Kedua, tingkat kematangan. Pemimpin dituntut untuk berkemampuan dan berkemauan mengambil tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri dengan memperhatikan tingkat kematangan dalam pengetahuan, keahlian dan pengalaman untuk melaksanakan pekerjaan tanpa pengawasan ketat dan juga kemauan untuk melaksanakan pekerjaan itu. Bagaimana pun, bawahan harus diberi perhatian serius ketika membuat pertimbangan tentang gaya kepemimpinan yang dapat mencapai hasil yang diinginkan.

Ketiga, penilaian yang tepat terhadap tugas. Para pemimpin harus mampu menilai dengan tepat tugas yang dilaksanakan oleh bawahan. Dalam situasi tugas yang tidak terstruktur, kepemimpinan otokratik mungkin sangat tidak sesuai. Para bawahan memerlukan garis petunjuk, bebas bertindak, dan sumber daya untuk menyelesaikan tugas itu. Pemimpin harus dapat dengan tepat menentukan kekurangan tugas bawahan sehingga pilihan gaya kepemimpinan yang layak harus dilakukan. Karena tuntutan ini, seorang pemimpin harus memiliki beberapa pengetahuan teknik tentang pekerjaan itu dan syarat-syaratnya.

Page 18: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Keempat, latar belakang dan pengalaman. Di sini ditegaskan bahwa latar belakang dan pengalaman pemimpin mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan. Seseorang yang telah memperoleh keberhasilan karena berorientasi kepada hubungan mungkin akan meneruskan penggunaan gaya ini. Demikian juga, seorang pemimpin yang tidak percaya kepada para bawahannya dan telah menyusun tugas bertahun-tahun akan menggunakan gaya otokratik.

Kelima, harapan dan gaya pemimpin. Pemimpin senang dengan dan lebih menyukai suatu gaya kepemimpinan tertentu. Seorang pemimpin yang memilih pendekatan yang berorientasi pada pekerjaan, otokratik, mendorong keberanian bawahan mengambil pendekatan yang sama. Peniruan model pemimpin merupakan kekuatan untuk membentuk gaya kepemimpinan. Karena pemimpin memiliki berbagai landasan kekuasaan, maka harapan mereka adalah penting.

Keenam, hubungan seprofesi. Pemimpin membentuk hubungan dengan pemimpin yang lain. Hubungan seprofesi ini digunakan untuk tukar menukar pandangan, gagasan, pengalaman, dan saran-saran. Teman seprofesi seorang pemimpin dapat memberikan dukungan dan dorongan semangat bagi berbagai perilaku kepemimpinan, sehingga mempengaruhi pemimpin itu pada waktu yang akan datang. Teman-teman seprofesi merupakan sumber penting tentang perbandingan dan informasi dalam membuat pilihan dan perubahan gaya kepemimpinan.

Para manajer saat ini menghadapi situasi yang sulit, di mana kecepatan laju globalisasi yang meningkat dengan cepat. Akibatnya kegiatan kepemimpinan menjadi begitu rumit dalam situasi bahwa armada kerja adalah majemuk, sehingga efektivitas kepemimpinan sangat diperlukan dalam menjawab tantangan ke depan. Persoalannya sekarang adalah mampukah para manajer meningkatkan efektivitas kepemimpinannya sehingga dapat menjadi lebih kompetitif.

http://massofa.wordpress.com/2009/03/05/meningkatkan-efektivitas-kepemimpinan/

Page 19: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Krisis dalam   Organisasi/perusahaan

Posted on 8 Februari 2009 by Pakde sofa

Krisis dalam Organisasi/perusahaan

Krisis, sebuah kata yang sangat ditakuti oleh setiap organisasi/ perusahaan, merupakan fenomena yang terjadi pada hampir setiap organisasi/perusahaan, besar maupun kecil, baik yang menerapkan manajemen modern ataupun sederhana.Pada dasarnya, ada dua macam kemungkinan krisis, yakni1.kemungkinan yang paling diperhitungkan2.kemungkinan yang paling tidak diperhitungkan.Kemungkinan krisis yang paling diperhitungkan biasanya berkaitan erat dengan karakteristik atau bidang kegiatan yang digeluti oleh suatu organisasi atau perusahaan. Sedangkan kemungkinan yang paling tidak diantisipasi adalah krisis-krisis eksternal yang kemungkinan terjadinya sangat kecil namun konsekuensinya tidak kalah berbahayanya. Sebagai contoh, kemungkinan krisis yang paling diperhitungkan oleh sebuah hotel adalah ancaman kebakaran gedung atau ancaman teracuninya makanan yang hendak disajikan kepada para tamu. Sedangkan kemungkinan yang paling tidak diperhitungkan adalah gempa bumi, pergolakan sosial, atau pertempuran bersenjata.Bentuk-bentuk kedua kemungkinan krisis tersebut boleh dikatakan tidak terbatas. Hal-hal yang paling kecil sekalipun bisa berkembang menjadi sumber ancaman yang mengerikan. Oleh karena itu, sekecil apa pun kemungkinan krisis itu, kita tidak boleh mengabaikannya.Suatu krisis yang tidak ditangani secara terbuka akan berakibat buruk pada perusahaan yang bersangkutan. Organisasi/perusahaan yang berusaha menutupi krisis yang melandanya, atau berupaya menanganinya secara tertutup, justru akan mengundang lebih banyak kecaman.Sebaliknya, apabila suatu organisasi/perusahaan mampu mengatasi krisis yang melanda dengan baik secara terbuka, mampu menerima kritikan yang dituju kepada organisasi/perusahaannya dengan lapang dada, kemudian berusaha mencari jalan keluar atas permasalahan yang terjadi, organisasi/perusahaan tersebut akan lebih mudah mendapatkan kembali kepercayaan publik.Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, krisis dapat terjadi karena faktor internal dan faktor eksternal perusahaan. Dari faktor internal perusahaan, sesungguhnya krisis memang selalu menyertai pertumbuhan perusahaan, yang berarti krisis timbul sebagai hal yang alami dan muncul pada setiap fase pertumbuhan suatu perusahaan. Seperti halnya manusia, perusahaan juga mengalami tahap-tahap pertumbuhan yang dimulai dari lahir, muda, dewasa, dan mati. Pada masa kanak-kanak, seperti halnya manusia, perusahaan akan banyak melakukan kesalahan. Pada usia lanjut, perusahaan juga menjadi kaku, loyo, dan tidak lagi sportif seperti ketika muda. Tahapan-tahapan yang dilalui perusahaan mulai dari lahir hingga masa perkembangannya disebut dengan daur hidup organisasi atau organization life cycle. Praktisi humas perlu memahami tahapan-tahapan inii untuk membedakannya dengan krisis lain yang timbul di luar garis normal, yang memerlukan penanganan khusus.

Page 20: MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Daur Hidup Organisasi dan Krisis yang Menyertainya

1.Pada tahap kewirausahaan krisis yang biasanya muncul adalah krisis cara memimpin. Pada tahap ini para pendiri perusahaan tengah berkonsentrasi pada kreativitas produk, teknik produksi, dan pemasaran, sedangkan jumlah karyawan terus bertambah. Jumlah karyawan yang terus membesar ini sudah mulai perlu dikelola secara profesional. Pada tahap pertumbuhan ini praktisi humas umumnya belum ada karena dianggap belum diperlukan dan fungsi humas masih dilakukan oleh pimpinan puncak. Krisis yang timbul adalah masalah manajemen internal.2.Pada tahap prapembentukan, krisis yang terjadi adalah masalah pendelegasian dan pengendalian. Pada tahap ini biasanya perusahaan sudah mulai melakukan klasifikasi departemen sesuai kebutuhan lengkap dengan deskripsi tugas, hierarki, wewenang, dan struktur gaji yang pasti. Namun, pemilik atau pendiri perusahaan enggan mendelegasikan kegiatannya kepada staf, padahal ada sebagian staf yang ikut dalam proses lahirnya perusahaan sudah merasa senior, memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya masing-masing, sudah merasa memiliki hak untuk diberi otonomi dan ikut andil dalam mengatur perusahaan. Organisasi pada tahap ini membutuhkan mekanisme untuk mengendalikan departemen tanpa supervisi langsung dari atas.3.Pada tahap pembentukan, krisis yang terjadi adalah terlalu banyaknya titik rawan (red tape)yang harus dibenahi dengan kaca mata yang jernih dan objektif. Pada tahap ini organisasi terlampau birokratis yang mengakibatkan perusahaan kehilangan kepercayaan dari stakeholdersnya karena terganggunya komitmen perusahaan keluar.4.Pada tahap perluasan krisis yang terjadi adalah kondisi perusahaan yang semakin menurun dan kurang berdaya menghadapi serangan dari luar. Maka yang diperlukan adalah revitalisasi di mana tugas praktisi humas adalah melobi semua pihak (stakeholders) agar tetap percaya pada perusahaan dan para eksekutifnya

http://massofa.wordpress.com/2009/02/08/krisis-dalam-organisasiperusahaan/