Download - MELESTARIKAN TRADISI PANGLO CARA PEREMPUAN … · puan, ia juga menjadi rahmat ... yang digarap atau diolah berbeda-beda dan tergan- ... bas rumput dan kami menanam berbagai tanaman,”

Transcript

MELESTARIKAN TRADISI PANGLOCARA PEREMPUAN GAYO LUES HADAPI PERUBAHAN IKLIM

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN

Oleh: Rezki Mulyadi

Perubahan iklim telah secara nyata menunjukkan dampaknya kepada kehidupan manusia di belahan dunia terutama mereka masyarakat miskin di negara berkembang. Dampak perubahan iklim membuat mer-eka semakin rentan, terutama bagi petani perempuan. Meski begitu, kearifan-kearifan lokal secara tak terdu-ga hadir menjawab sebagian tantangan iklim. Di Gayo Lues, petani perempuan membuktikannya.

Kerentanan dalam menghadapi perubahan iklim ten- tu berbeda bagi petani perempuan dan laki-laki. De- ngan demikian, dampak pembagian sosial yang ditim-bulkan perubahan iklim pasti akan beragam secara gender. Lanskap pertanian Indonesia, akan berubah bukan hanya dari aspek kebijakan, teknologi dan ekonomi tapi juga dari sisi ketenagakerjaan. Secara umum, beberapa studi kasus menunjukkan bahwa perubahan iklim bertendensi pada feminisasi perta-nian (farmining feminization) sementara laki-laki dide-sak untuk melakukan migrasi.1

Di banyak daerah, makin mudah ditemui kelompok- kelompok tenaga kerja perempuan di sektor perta-

Budaya Panglo menunjukkan bahwa dibalik rentannya dampak perubahan iklim pada perem-puan, ia juga menjadi rahmat terselubung yang memungkinkan perempuan menjadi aktor dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

1 Muller, A., Jawtusch, H. & Gattinger, A. (FiBL 2011): Mitigating Green-house Gases in Agriculture. Diakonisches Werk der EKD e. V.: Stuttgart

nian sebagai buruh tani. Mereka biasanya menghim-pun diri dalam kelompok-kelompok informal yang bisa dibedakan dari domisili, pemilik, atau jenis lahan yang akan mereka garap. Perempuan-perempuan ini bekerja mulai dari membuka/membersihkan lahan, menanam benih hingga memanen. Memang belum ada penelitian yang dapat memberi bukti, namun beberapa kali observasi menunjukan bahwa laki- laki cenderung memilih sebagai penghubung hasil sawah/hutan/ladang, bekerja pada perusahaan-peru-sahaan pengelolaan hutan/lahan, atau bermigrasi dan memilih bekerja di sektor informal di daerah-daerah yang lebih urban, meninggalkan pekerjaannya sebagai petani.

Sektor pertanian memang sudah mulai ditinggalkan para pelakunya. Pendapatan keluarga petani sema-kin berkurang, sementara hasil pertanian tak men-janjikan stabilitas harga. Sektor pertanian mengalami feminisasi dimana perempuan lebih banyak turun ke sawah dan ladang memanfaatkan ladang. Bisa dipas-tikan, ketimpangan gender akan melebar karena be-ban ganda perempuan untuk urusan domestik dan publik makin berat.

Meski begitu, memanfaatkan berbagai nilai-nilai lokal, perempuan juga dapat mengorganisasi dirinya men-jadi kelompok yang pada satu sisi lebih kontributif pada produksi pertanian, di sisi lain lebih adaptif pada perubahan iklim.

Contoh-contoh itu dapat kita temukan di beberapa daerah di Aceh. Masyarakat di sana memiliki keari-fan-kearifan dalam tata kelola yang baik dalam meles- tarikan lingkungan yang berbasis pada kesamaan visi

dalam melihat lahan. Lahan, bukan saja dilihat sebagai alat produksi namun juga bagian dari sebuah keper-cayaan pada hal-hal adi-luhung.

Sebagai contoh, dalam bersawah (meupadé), ada se-jumlah ketentuan yang harus dipatuhi demi keber-langsungan kenyamanan dan keamanan bercocok tanam. Di Aceh ketika bercocok tanam terdapat is-tilah “Hanjeut Teumeubang Watèe padé mirah” yang berarti tidak boleh memotong kayu saat padi hen-dak dipanen. Kalau ini dilanggar, maka diyakini akan mendatangkan hama wereng (geusong). Karena itu untuk mencegah hama wereng meluas maka warga yang melanggar ketentuan ini diberikan denda oleh Keujruen Blang (Tokoh Masyarakat).

Masyarakat Aceh juga memiliki tradisi kerja sama ketika mengelola lahan pertanian atau perkebunan. Salah satunya yang ditunjukkan oleh kaum perem-puan di Desa Paya Kumer, Kecamatan Tripe Jaya, Kabupaten Gayo Lues yang telah lama menerapkan budaya Panglo dalam bekerja sama.

Panglo merupakan tradisi dalam bercocok tanam yang mengedepankan kerja sama antar kaum ibu. Biasanya kegiatan Panglo ini dimulai sejak pukul 8 pagi hingga pertengahan siang, secara bergiliran di-antara para kaum ibu yang bekerja secara berkelom-pok di ladang-ladang perkebunan. Setiap hari, kebun yang digarap atau diolah berbeda-beda dan tergan-tung jumlah warga yang tergabung dalam kelompok Panglo. Ketika warga bekerja, maka pemilik lahan bertanggung jawab menyediakan makanan. Tradisi ini didasari filosofi bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan harus saling tolong-menolong.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 2

Foto: Pembagian peran. Kaum perempuan bertugas untuk menjemur coklat untuk dipersiapkan dijual kepada pengumpul.

Siti Asiah, seorang ibu dari Kampong Paya Kumer, menjelaskan Panglo meringankan beban petani Gayo Lues terutama bagi keluarga yang tak memiliki biaya untuk mengelola lahan.

“Kita tidak perlu lagi menyewa pekerja untuk mera- wat kebun dan ladang kami. Bapak-bapaknya mene-bas rumput dan kami menanam berbagai tanaman,” katanya bersemangat menceritakan tentang Panglo.

Siti Aisah, adalah keluarga transmigran asal Wono-sobo, Jawa Tengah yang bertransmigrasi ke Aceh di awal tahun 90-an.

“Meski kami berasal dari luar Aceh tapi masyarakat setempat melibatkan kami dengan baik. Panglo adalah budaya yang baik bagi pemeliharaan lahan kita. Meski-pun lahan ini milik perorangan namun jika dikelola ber-sama pasti akan memberikan hasil yang lebih baik,” ujar Siti Aisah yang baru pulang dari ladang selepas melakukan Panglo.

Kabupaten Gayo memang dikenal sebagai wilayah yang masyarakatnya masih memegang teguh tradisi. Adat Gayo sudah lama mengenal kerja sama antar kelompok. Masyarakat Gayo hidup dalam komunitas kecil yang disebut kampong, dimana setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik atau keucik. Kumpulan beberapa kampong disebut kemukiman, yang dipim- pin oleh mukim.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok. Sedangkan kelompok kekerabatan terke-cil disebut sara ine (keluarga inti). Dalam kehidupan sehari-hari, selain bertani sumber penghidupan ma- syarakat Kabupaten Gayo Lues kebanyakan berke-bun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Ter-masuk juga mengembangkan kerajinan, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan

adalah berkebun, terutama tanaman kopi, sere wangi, padi, cabe, dan kakao.

Tradisi dan Perubahan Iklim

Memang warga masyarakat Kampong Paya Kumer di Gayo ini tidak mengerti ketika ditanya apa itu peruba-han iklim. Namun sebagian warga sudah merasakan faktanya. Misal dalam kualitas produksi tanaman.

Ibu Asiah menuturkan “Lima tahun lalu buah coklat masih cukup besar dan banyak untuk satu pohon, na-mun sekarang ini mulai menurun, karena memang iklim tidak menentu. Saat baru berbuah, tiba-tiba hujan“.

Perubahan-perubahan musim yang tak sepenuhnya dipahami petani ini tentu menurunkan produktivi-tas lahan pertaniannya. Perempuan lantas dituntut bekerja lebih keras mengelola kehidupan rumah tangga ketika pendapatan yang diperoleh menurun. Budaya Panglo menunjukkan bahwa dibalik rentan- nya dampak perubahan iklim pada perempuan, ia juga menjadi rahmat terselubung yang memung- kinkan perempuan menjadi aktor dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Tradisi Panglo menyelematkan lahan dan ladang mi-lik masyarakat agar tetap produktif dan terjaga ke-suburannya. Bahkan kawasan-kawasan yang dulunya terbengkalai kini berubah menjadi perkebunan yang makmur. Pertukaran pengetahuan antara masyarakat pendatang dan setempat membantu petani mene-mukan cara-cara yang lebih sesuai dengan iklim yang tengah berubah.

“Jika menyangkut tentang pengelolaan dan pemeli-haraan lahan, kita memiliki pandangan yang sama untuk melestarikannya. Caranya kita harus membaur

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3

Foto: Mempersiapkan daun untuk menganyam tikar untuk dijual sambil menjaga anak untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu disekitar rumah.

untuk kemajuan bersama,” kata Asiah yang sudah sa- ngat fasih berbahasa Gayo.

Perempuan Aktor dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Munculnya kaum perempuan menjadi aktor utama perubahan iklim yang dikemas dalam tradisi Panglo di Aceh, menunjukkan adanya konsensus perempuan untuk menjawab tantangan secara bersama-sama salah satunya melalui pemeliharaan tradisi setempat. Di Gayo Lues, perempuan membuktikan dirinya menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan baik. Mereka belajar dari ilmu dan nilai yang diturun- kan leluhurnya.

Ditengah makin kerasnya desakan pada para petani di seluruh dunia karena perubahan iklim, globalisasi, instabilitas harga dan lemahnya akses pasar, Panglo adalah jawaban budaya atas ketidakpastian ini dan perempuan ada di kursi kemudi.

Apa yang dilakukan perempuan di Kampong Paya Kumer, dalam membangkitkan kembali nilai-nilai ke-bersamaan dalam tradisi Panglo merupakan hal yang sangat positif dalam meningkatkan ketahanan (resi- lience) masyarakat dalam hal pangan, adaptasi lingku- ngan dan konflik sosial. Panglo juga memperkuat modal sosial terutama dalam membangun prinsip- prinsip kerja sama, solidaritas, kepercayaan, penghar-gaan dan keberlanjutan.

Sekalipun tidak dilembagakan secara formal oleh kepala desa atau pemerintah kabupaten, Panglo sebagai kegiatan gotong royong mengolah lahan/ladang telah berjalan secara lestari selama lebih dari 50 tahun. Konsep Panglo pada dasarnya merupa-kan sebuah pendekatan dalam pembangunan yang berpusat pada masyarakat yang bisa dikembangkan

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 4

Foto: Kaum ibu adalah mata ran-tai ekonomi utama di Aceh. Bercengkerama dan bekerja adalah cara mereka melewa-ti keseharian.

untuk program sosial yang lain, seperti pengelolaan kawasan hutan. Mengingat Panglo pada hakekatnya merupakan media komunikasi dan proses belajar an-tar warga.

“Kaum ibu disini sangat aktif bekerja. Jangan cari ibu-ibu disini kalau pagi hingga siang karena semua sedang berada di ladang. Di desa ini agak sulit mendapatkan ibu-ibu nganggur dan menggosipkan tetangga,” ujar Siti Asiah dengan bangga.

Tentu saja perempuan-perempuan di Gayo Lues ini tak dapat dibiarkan berjuang sendiri menghadapi pe-rubahan iklim, globalisasi, akses pasar yang lemah dan ketidakpastian-ketidakpastian lainnya. Meski secara statistik jumlah petani di Indonesia makin bertambah (berdasarkan data BPS sekitar 22 juta jiwa)2 namun akses perempuan pada informasi, teknologi dan ke-bijakan publik masih jauh dari harapan. Peran-peran pemerintah, organisasi non-pemerintah dan sektor swasta untuk memberdayakan perempuan menjadi sangat penting. Tentu saja dengan tetap memastikan terintegrasinya nilai-nilai budaya lokal dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Perempuan Kampong Paya Kumer menegaskan bu-daya yang lestari memungkinkan alam yang bestari.

2 http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel?tid=23&wid =0000000000