Download - MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

Transcript
Page 1: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

1    

MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

Amelia Martira, Wahyu Andrianto

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Penyelesaian sengketa medik melalui litigasi kerap kali tidak dapat memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa yakni dokter dan pasien. Persidangan yang lama, pembuktian yang rumit, dan berbiaya mahal membebankan pasien sebagai penggugat. Tidak hanya itu, penyelesaian sengketa medik tidak mampu memberikan dampak baik bagi mutu pelayanan kesehatan dan malah mendorong dilakukannya praktek kedokteran defensif. Mediasi yang dikenal dalam kehidupan masyarakat dapat menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang mengedepankan win-win solution. Walaupun begitu, mediasi belum menjadi pilihan dan para pihak lebih memilih menyelesaikan sengketa di pengadilan. Menggunakan studi literatur, peneliti bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai penyelesaian sengketa medik melalui perbandingan kondisi penyelesaian sengketa medik di Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat, peran mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik serta regulasi mengenai pilihan penyelesaian sengketa medik di Indonesia. Kesimpulan: Penyelesaian sengketa medik di Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat memiliki permasalahan yang sama dan juga menggunakan pilihan penyelesaian sengketa sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik. Mediasi lebih dipilih dibandingkan pilihan penyelesaian sengketa lainnya terutama karena mampu menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution. Agar mediasi di Indonesia dapat berkembang, diperlukan peraturan pelaksana dari undang-undang yang mengatur mengenai implementasi mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik.

Mediation as Alternatif Medical Dispute Resolution

Abstract

Resolving medical dispute between patient and doctor by trial often gives an unfair ending to the parties. The long trial, difficulties to provide evidences and heavy cost become the burden of patient. On the other hand, the result of medical dispute litigation does not give any improvement to the quality of health care and doctor will practice defensive medicine for the legal reason. Mediation, which is recognized as an alternative dispute resolution can be chosen which could obtain the win-win solution to the parties. However, it is still not favorable in Indonesia to resolve medical dispute. Using literature study, researcher has some goals which are to obtain the description of medical dispute by comparing the settlement of medical dispute in Indonesia, Japan, and United States of America, the role of mediation as alternative medical dispute and the regulation of alternative medical dispute resolution in Indonesia. Conclusion: Medical dispute resolution in Indonesia, Japan and United States of America are facing the same problems, and choose alternative medical dispute resolution to solve the issues. Mediation is often chosen. To make mediation become established as medical dispute resolution, Indonesia needs a regulation which regulate the implementation of mediation as alternative medical dispute resolution. Keyword: mediation, medical dispute, medical malpractice, alternative dispute resolution Pendahuluan

Permasalahan sengketa pada pemberian layanan kesehatan yang melibatkan pasien dan

tenaga medis semakin hari semakin meningkat. Peningkatan ini juga dipicu dengan maraknya

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 2: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

2    

pemberitaan melalui media massa. Kemudahan mengakses berbagai informasi mendorong

masyarakat untuk menjadi lebih kritis terhadap pemberitaan seputar pelayanan kesehatan.

Perhatian masyarakat terhadap sengketa layanan kesehatan ini juga dipicu oleh berkembangnya

pemikiran masyarakat yang menjadi lebih paham akan hak-haknya sebagai pasien. Oleh karena

itu, menjadi suatu keniscayaan bahwa hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien yang

berdasarkan suatu kepercayaan, rentan untuk terjadi sengketa saat pasien tidak sembuh atau tidak

puas atas layanan kesehatan yang ia terima.

Pada dasarnya hubungan dokter sebagai tenaga kesehatan dengan pasien merupakan

bentuk perjanjian atau kontrak terapeutik. Kontrak terapeutik dapat merupakan suatu perikatan

usaha (inspaningverbintenis) atau dapat berupa perikatan hasil (resultaatverbintenis).1 Umumnya

perikatan yang timbul dari hubungan dokter dan pasien adalah perikatan usaha, dimana dokter

sebagai pihak debitur yang menjanjikan usaha terbaiknya untuk mendapatkan tujuan yang

diinginkan pihak pasien (kreditur) berupa kesembuhan.2 .

Saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terdapat

berbagai bentuk penyelesaian dugaan kelalaian atau dugaan malpraktik yang berhubungan

dengan tindakan kedokteran. Baik melalui jalur gugatan melalui pengadilan perdata, tuntutan

melalui pengadilan pidana serta penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan maupun melalui

jalur pemeriksaan etika dan disiplin terhadap dokter yang diduga melakukan kelalaian atau

malpraktik medik. Pasien dan keluarganya dapat mengadukan adanya dugaan malpraktik sebagai

suatu tindak pidana, mengajukan gugatan ke pengadilan perdata, ataupun melaporkan adanya

dugaan pelanggaran etika dan disiplin atas dugaan kelalaian yang dilakukan oleh dokter.

Dari berbagai kasus dugaan malpraktik di Indonesia, tampak bahwa penyelesaian melalui

sistem peradilan perdata atas sengketa medik berupa dugaan kelalaian medik atau malpraktik

medik bukan merupakan suatu penyelesaian sengketa yang sederhana. Kesulitan timbul terutama

pada pihak pasien dimana tidak mudah untuk membuktikan dalilnya yang menyebutkan bahwa

dokter telah tidak melakukan usaha terbaiknya ataupun melakukan kelalaian dalam melakukan

pengobatan kepada pasien. Sulitnya melakukan pembuktian dalam sengketa medik turut andil

dalam mengurangi unsur kepercayaan pasien kepada dokter, padahal unsur kepercayaan ini yang

menjadi dasar perikatan antara dokter dan pasien.                                                                                                                          

1 S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi, (Jakarta: PT Telaga Ilmu, 2010), hlm.10. 2   Ibid.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 3: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

3    

Selain itu, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan perdata memakan waktu

yang lama dan biaya besar baik bagi pihak Penggugat maupun Tergugat. Hal ini dapat dilihat

dari sengketa antara ahli waris Sita Dewati Darmoko sebagai penggugat melawan dokter-dokter

Rumah Sakit Pondok Indah dan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan sebagai Tergugat.3

Proses persidangan tersebut berlangsung selama 6 tahun dari tahun 2006 hingga 2012, mulai dari

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung (Kasasi dan Peninjauan

Kembali). Adapun nilai kompensasi yang dikabulkan Majelis Hakim atas kerugian yang diderita

ahli waris tersebut tidak sesuai dengan gugatan yang diajukan pihak penggugat dan tidak

sebanding dengan proses peradilannya yang cukup lama untuk menghasilkan putusan yang

berkekuatan hukum tetap

Pada sisi yang lain, dokter yang merasa telah melakukan upaya terbaiknya, dimana hasil

akhir berupa kesembuhan bukanlah suatu hal yang pasti tercapai, dan dengan adanya tuntutan

dugaan malpraktik ini akan membuat dokter merasa dikriminalisasi. Selain itu, adanya tuntutan

disertai pemberitaan mengenai malpraktik medik membawa dokter menuju suatu pola

pengobatan yang bersifat defensive medicine.4 Pola pengobatan yang demikian malah akan

menimbulkan persoalan baru, yaitu: mahalnya biaya pelayanan kesehatan dan sulitnya akses

pasien berisiko tinggi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena dokter atau tenaga

kesehatan lainnya.

Masalah sengketa mengenai kelalaian medik ini juga dirasakan di negara-negara maju.

Istilah “Pandemik” digunakan untuk menggambarkan kondisi tuntutan malpraktik yang terjadi

pada era masyarakat post-modern di Amerika Serikat. Kondisi ini menimbulkan krisis

malpraktik yang tidak hanya merugikan pihak pemberi layanan kesehatan tapi juga menimbulkan

perilaku defensive medicine, serta masalah finansial akibat proses litigasi dan pembayaran ganti

rugi.5

                                                                                                                         3  Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 515/PK/PDT/2011, hlm. 2-3. 4The Congressional Office of Technology Assesment (OTA) pada tahun 1994 menyebutkan bahwa

Defensive Medicine timbul ketika seorang dokter melakukan pemeriksaan penunjang, berbagai prosedur, pemeriksaan pasien atau menghindari pasien yang berisiko tinggi untuk mengurangi kemungkinan untuk terkena tuntutan malpraktik. Jika dokter melakukan pemeriksaan tambahan untuk semata-mata bertujuan untuk mengurangi risiko tuntutan malpraktik maka dapat dikatakan dokter tersebut melakukan praktik defensive medicine, sedangkan jika ia menghindari pasien berisiko, maka dokter tersebut dikatakan melakukan praktik defensive medicine negatif.

5 David H. Sohn JD dan Sonny Bal MD, “Medical Malpractice Reform: The Role of Alternative Dispute Resolution”, Clinical Orthophedic Relat Res (2012), hlm. 1370–1378.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 4: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

4    

Peningkatan gugatan malpraktik juga dirasakan di Negara Jepang. Dikatakan terjadi

peningkatan dengan laju sekitar 7% hingga 8% per tahunnya.6 Peningkatan gugatan malpraktik

membawa akibat perubahan hubungan dokter dan pasien di Jepang dari hubungan yang

menjunjung tinggi nilai-nilai sosial menjadi hubungan yang lebih kaku dan bernuansa hukum.

Para dokter di Jepang mengambil sikap dengan mempelajari cara-cara untuk menghadapi

gugatan malpraktik medik dari pasien.7 Sikap tersebut kemudian membawa dampak perubahan

hubungan dokter dan pasien di Jepang yang kemudian mendorong adanya suatu penyelesaian

sengketa di luar pengadilan yang mampu mempertahankan hubungan dokter dan pasien.

Penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan tampaknya kemudian menjadi kebutuhan

bagi kedua belah pihak, agar dapat memberikan penyelesaian yang terbaik bagi kedua pihak serta

tidak merasa dirugikan dalam proses penyelesaian sengketa medik tersebut. Penyelesaian

sengketa di luar pengadilan yang lebih tertutup, cepat, sederhana dan berbiaya murah lebih

memberikan kenyamanan bagi kedua pihak dibandingkan penyelesaian melalui litigasi. Berbagai

bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa

medik, seperti: negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, arbitrase, pendapat ahli, mini trial, dan

sebagainya.

Mediasi sebagai salah satu bentuk pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan

berupaya memberikan penyelesaian yang bersifat win-win solution bagi para pihak. Dimana pada

dasarnya kesepakatan yang dihasilkan pada proses mediasi adalah lahir dari kehendak para pihak

untuk mendapatkan penyelesaian terbaik yang dapat memenuhi kepentingan para pihak.

Hadirnya pihak ketiga sebagai penengah bersifat netral, dimana Mediator tidak memutus namun

lebih bersifat memfasilitasi para pihak untuk memahami kepentingannya dan mendapatkan solusi

yang terbaik.

Berdasarkan permasalahan di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai

berikut: bagaimana bentuk penyelesaian sengketa medik di Indonesia, Jepang dan Amerika

Serikat, bentuk pilihan penyelesaian sengketa yang dapat menjadi penyelesaian sengketa medik

di luar pengadilan yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dan pengaturan lebih lanjut dari

Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan terkait penyelesaian sengketa

                                                                                                                         6  Toshimi Nakanishi, “New Communication Model in Medical Dispute Resolution in Japan”, Yamagata

Medical Journal (2013), hlm.1. 7  Ibid.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 5: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

5    

medik di luar pengadilan di Indonesia? Adapun tujuan penulis adalah untuk mengetahui

penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Dengan demikian akan juga diperoleh gambaran mengenai bentuk penyelesaian

sengketa di Indonesia dengan membandingkan sengketa medik di Jepang dan Amerika Serikat,

bentuk penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan yang paling sesuai diterapkan di

Indonesia dan memberikan saran mengenai pengaturan lebih lanjut Undang-Undang No. 36

tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan mengenai penyelesaian sengketa medik di luar

pengadilan. Tinjauan Teoritis

Hubungan dokter dan pasien dalam konteks pemberian layanan kesehatan tersebut

merupakan suatu perikatan yang dikenal sebagai kontrak terapeutik.8 Terdapat dua jenis

perjanjian atau kontrak terapeutik antara dokter dan pasien dalam rangka pemberian layanan

kesehatan, yaitu:

• Perjanjian Hasil (resultaatsverbintenis)

Pada perjanjian hasil, prestasi yang diberikan dokter berupa hasil terapi yang disepakati

oleh pasien.

• Perjanjian Upaya (inspanningsverbintenis

Pada perjanjian upaya, prestasi yang diberikan dokter berupa upaya maksimal untuk

menyembuhkan pasien.9 Umumnya bentuk perikatan antara dokter dan pasien merupakan

perjanjian upaya

Merujuk pada pasal 39 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran maka

kontrak terapeutik antara dokter dan pasien merupakan perjanjian upaya. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa perikatan yang terjadi antara dokter dan pasien dalam pemberian layanan

kesehatan tidak menjanjikan suatu hasil sebagai prestasi melainkan berbentuk upaya sesuai

dengan tujuan pemberian layanan kesehatan.

Kelalaian medik dapat didefinisikan sebagai kegagalan dalam menyelenggarakan standar

pelayanan yang berlaku yang merupakan tanggung jawab profesi dokter atau secara spesifik

dapat diuraikan sebagai berikut:

                                                                                                                         8 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (s.l: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 76. 9 Ibid.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 6: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

6    

a. Seorang dokter melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan, atau

b. Seorang dokter gagal memenuhi panduan yang ditetapkan sesuai standar pelayanan

dalam melakukan tindakan kedokteran.10

Terdapat empat elemen yang dikenal sebagai 4D untuk merumuskan apakah suatu tindakan

merupakan kelalaian medik, yaitu:

a. Duty atau Kewajiban

Kewajiban baru muncul apabila hubungan antara dokter dan pasien telah terbentuk.

Tanpa diawali adanya hubungan dokter dan pasien, maka tidak ada kewajiban dokter

terhadap pasien. Sebagai contoh adalah ketika seorang pasien membuat janji temu dengan

dokter, datang berobat dan membuat janji temu kembali untuk mendapatkan terapi

lanjutan. Pada kondisi ini, dikarenakan telah terbentuknya hubungan dokter dan pasien

dalam bentuk perikatan atau kontrak terapeutik maka telah muncul kewajiban dokter

terhadap pasien

b. Derelict atau penyimpangan dari kewajiban

Dalam hal ini pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan harus dapat membuktikan

bahwa dokter telah gagal memenuhi standar pelayanan yang dibutuhkan dan ditetapkan

oleh profesi kedokteran.

c. Direct cause atau sebab langsung

Unsur ini menunjukan bahwa adanya hubungan antara pelanggaran tanggung jawab

profesi yang dilakukan oleh dokter sebagai pemberi pelayanan medik dengan kerugian

atau cedera yang terjadi pada pasien. Selain itu, tidak terdapat kondisi atau tindakan

intervensi lain diantara tindakan medis yang diduga dengan cedera atau kerugian yang

muncul. Dalam menentukan penyebab langsung dari suatu kerugian terkadang

menemukan kesulitan oleh karena kompleksitasnya suatu kejadian yang menyebabkan

kerugian pada pasien.

d. Damages atau kerugian

Kerugian merujuk kepada kompensasi yang harus diberikan kepada pasien akibat cedera

yang ia derita akibat tindakan medik tersebut. Dalam hal ini, bentuk kerugian dapat

berupa kerugian aktual atau kerugian compensatory dan kerugian punitif. Yang

                                                                                                                         10  Mariciano A. Lewis, Carol D. Tamparo, dan Brenda M Tatro, Medical Law, hlm. 66.  

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 7: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

7    

dimaksud sebagai kerugian aktual adalah kerugian yang mengkompensasi cedera yang

ireversibel berupa biaya pengobatan yang sudah dikeluarkan dan biaya kesehatan yang

akan dikeluarkan. Selanjutnya yang dimaksud sebagai kerugian punitif adalah kerugian

yang bersifat menghukum pelaku dan memberikan korban pengganti rasa penderitaan,

sakit dan gangguan psikologis yang ia alami.11

Perselisihan dalam dunia kesehatan tidak hanya terjadi antara penerima pelayanan

kesehatan atau pasien dengan dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Sengketa dalam

dunia kesehatan dapat melibatkan tenaga kesehatan lainnya, fasilitas kesehatan (Klinik atau

Rumah Sakit) bahkan juga penjamin pembiayaan kesehatan. Selain itu, pihak yang bersengketa

tidak hanya pasien, namun juga sesama tenaga kesehatan, tenaga kesehatan dengan fasilitas

kesehatan sebagai pemberi kerja dan lain-lain. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2014

tentang Tenaga Kesehatan perselisihan antara tenaga kesehatan dan pasien didefinisikan sebagai

perselisihan yang timbul dari dugaan adanya Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan12

Di dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dokter

merupakan salah satu jenis tenaga kesehatan di Indonesia yang disebut sebagai tenaga medis.

Untuk itu perselisihan yang timbul dari dugaan adanya dokter yang melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada pasien sebagai penerima pelayanan

kesehatan disebut sebagai sengketa medik. Dalam hal dapat disimpulkan bahwa pengertian

sengketa medik menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2014 adalah perselisihan yang terjadi

pada hubungan dokter dan pasien yang menyangkut dugaan kelalaian medik.

Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS)

merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dipilih para pihak tanpa melibatkan

pengadilan. Walaupun pilihan penyelesaian sengketa ini tidak dapat menggantikan penyelesaian

secara formil di pengadilan, namun perkembangannya sangat pesat di dunia. Hal ini dikarenakan

banyak hal yang dapat ditawarkan oleh pilihan penyelesaian sengketa dengan memberikan

keuntungan lebih dibandingkan penyelesaian sengketa di pengadilan. Adapun keuntungan-

keuntungan dari pilihan penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:

a. Menghemat waktu dan biaya                                                                                                                          

11 Ibid., hlm. 67. 12  Indonesia, Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan., Ps. 78.  

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 8: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

8    

b. Bersifat informal dan lebih fleksibel

c. Kendali berada di tangan para pihak

d. Proses lebih cepat dibandingkan melalui pengadilan

e. Hubungan antar para pihak yang bersengketa dapat terjaga dengan baik. 13

Bentuk pilihan penyelesaian sengketa yang dikenal di dunia saat ini cukup banyak dan dapat

diklasifikasikan berdasarkan prosesnya yaitu: facilitated-based process,

recommendation/advisory-based process, dan adjudication-based process atau kombinasi

(hybrid).14 Masing-masing bentuk berdasarkan klasifikasi di atas dibagi sebagai berikut:

1. Facilitated-based

Pada facilitated-based process, pihak ketiga yang netral berperan dalam memfasilitasi

para pihak untuk membangun dialog. Pihak ketiga tidak memberikan rekomendasi

ataupun keputusan yang mengikat. Contoh: mediasi, minitrial.

2. Recommendation-based

Pada recommendation-based, pihak ketiga yang netral dapat memberikan rekomendasi

yang tidak mengikat. Hubungan antar para pihak tetap menjadi perhatian untuk dijaga

selama proses penyelesaian sengketa. Contoh: konsiliasi, early neutral evaluation.

3. Adjudication-based

Pada bentuk ini, penyelesaian sengketa berupa putusan yang bersifat final dan mengikat

para pihak. Pihak ketiga yang netral mengeluarkan keputusan setelah dilakukan proses

pemaparan dari para pihak. Dibutuhkan tata acara dalam proses penyelesaian sengketa

tersebut. Hubungan baik antar para pihak tidak terlalu menjadi suatu kebutuhan. Contoh:

arbitrase, adjudikasi, expert determination.

4. Hybrid processes

Pada bentuk hybrid ini merupakan kombinasi dari berbagai bentuk penyelesaian sengketa

di atas. Contoh: Proses ombudsman, mediasi-arbitrase/adjudikasi, dispute resolution

boards.15

Sebagai salah satu bentuk pilihan penyelesaian sengketa yang banyak dipraktikkan di

dunia, mediasi merupakan bentuk yang paling dikenal dalam menyelesaikan sengketa di luar                                                                                                                          

13   Carl Mackie, dkk, “Alternative Dispute Resolution Guidelines 2011” http://siteresources.worldbank.org/INTECA/Resources/15322_ADRG_Web.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober 2016  

14 Ibid. 15    Ibid.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 9: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

9    

pengadilan di Indonesia. Mediasi yang menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu

para pihak membuat kesepakatan atas perselisihan yang terjadi, sudah dikenal di dalam

pergaulan sehari-hari masyarakat Indonesia. Gary Goodpaster memberikan pengertian mengenai

mediasi adalah proses negosiasi untuk menyelesaikan sengketa yang dibantu oleh pihak luar

yang bersifat imparsial dan netral dengan memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk

mencapai suatu kesepakatan yang memuaskan para pihak.16 Sementara Christopher W Moore

memberikan pengertian mediasi sebagai proses penyelesaian konflik dengan intervensi pihak

ketiga yang diterima para pihak, yang mana pihak ketiga tersebut tidak memiliki kewenangan

untuk membuat putusan yang mengikat para pihak, namun membantu para pihak untuk

memperbaiki hubungan, meningkatkan komunikasi dan menggunakan negosiasi efektif yang

berdasar pada penyelesaian untuk menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh para

pihak.17

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan merupakan penelitian normatif dengan menggunakan metode

penelitian kepustakaan. Dan bersifat deskriptif yang hendak menggambarkan bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan di Indonesia, terutama mengenai mediasi

sebagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa tersebut. Selain itu juga memfokuskan pada

pengaturan mengenai pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam hubungannya

dengan pelaksanaan pasal 78 Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Penelitian ini juga bersifat preskriptif dengan memberikan masukan agar dibentuknya suatu

peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut mengenai pilihan penyelesaian

sengketa menurut pasal 78 Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan agar

dapat terciptanya suatu kepastian hukum mengenai bentuk pilihan penyelesaian sengketa medik

di Indonesia untuk selanjutnya dapat memberikan akses keadilan bagi para pihak yang

bersengketa.

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan ini merupakan data sekunder. Data

sekunder tersebut diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun bahan

                                                                                                                         16  Garry Goodpaster, A Guide to Negotiation and Mediation., hlm. 203. 17 Christopher W Moore, The Mediation Process, hlm. 20.    

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 10: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

10    

hukum primer, sekunder dan tersier tersebut adalah sebagai berikut: bahan hukum yang berasal

dari bahan hukum primer berasal dari peraturan perundang-undangan yaitu:

a. Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

b. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

d. Undang-Undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

e. Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

f. Undang- Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

g. Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

h. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

i. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

j. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

k. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien.

l. Peraturan Menteri Kesehatan No. 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.

m. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter

dan/atau Dokter Gigi.

n. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU/XII/2014.

o. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 328/PDT.G/2012/PN.JKT.TIM

p. Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 98/PDT.G/2008/PN.SMG.

q. Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 630/PDT.G/2015/PN.BKS.

Penelitian ini juga menggunakan peraturan-peraturan perundang-undangan pada masa

pemerintahan Hindia Belanda yang masih berlaku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata) dan Herziene Indonesische Reglement (HIR). Data dari bahan hukum

sekunder didapat dari laporan penelitian, artikel ilmiah dan buku-buku hukum, antara lain: buku

mengenai hukum kesehatan, malpraktik medik, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan

perbuatan melawan hukum serta Tort. Data yang didapat dari bahan hukum tersier yang bersifat

menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder didapat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Alat pengumpul data sekunder adalah studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum

primer, sekunder dan tersier dan melalui wawancara dengan narasumber untuk melengkapi

informasi yang diperlukan pada penelitian ini. Data sekunder yang didapat dari wawancara

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 11: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

11    

dengan narasumber sebagai berikut: Prof. DR. dr. Herkutanto, S.H, SpF(K), DFM, L.LM sebagai

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Sri Mamudji, S.H, M. Law Lib

adalah pengajar senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan menjabat sebagai Executive

Director pada Indonesian Institute for Conflict Transformation.

Metode pengolahan dan analisis pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Pada

penelitian ini setelah diuraikan mengenai pilihan penyelesaian sengketa yang dikenal di dunia

dan peraturan perundang-undangan Indonesia, dan sengketa medik serta penyelesaiannya maka

selanjutnya akan ditelaah hubungan unsur-unsur tersebut dari aspek peraturan perundang-

undangan dan kebutuhan masyarakat terhadap kepastian dan akses atas keadilan.

Hasil Penelitian Hasil dari penelitian dari penelitian kepustakaan ini digambarkan pada tabel berikut ini: Tabel 1. Perbandingan Penyelesaian Sengketa Medik di Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat. Perbandingan Indonesia Jepang Amerika Serikat

Sistem Hukum Civil Law Civil Law Common Law

Dasar Hukum Perbuatan Melawan Hukum

Negligence Negligence

Penyelesaian sengketa medik

Pengadilan Mediasi di luar pengadilan

Pengadilan, Wakai, Chotei dan mediasi di luar pengadilan

Pengadilan, Mediasi, Arbitrase, Pre-trial screening/expert determination, Summary Jury Trial

Isu pada penyelesaian melalui litigasi

Proses lama, berbiaya mahal, terdapat perbedaan pendapat Hakim mengenai kedudukan ahli dalam pembuktian.

Pembuktian sulit, lama, berbiaya mahal, hubungan dokter dan pasien terganggu, menimbulkan praktik kedokteran defensif.

Pembuktian sulit, berbiaya mahal, lama; menimbulkan praktik kedokteran defensif dan biaya premi asuransi pertanggungjawaban medik tinggi, tidak memberikan perbaikan mutu pelayanan kesehatan

Alternatif mengatasi isu penyelesaian melalui litigasi

Pilihan Penyelesaian sengketa: mediasi

Memperbaiki sistem pendapat ahli: komisioner, sistem teleconference, kamar khusus sengketa medik di pengadilan. Mediasi: wakai, chotei dan mediasi di luar pengadilan

Menetapkan caps terhadap kerugian immateriil, penyelesaian melalui pilihan penyelesaian sengketa.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 12: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

12    

Tabel 2. Perbandingan mediasi dengan pilihan penyelesaian sengketa lainnya yang dikenal di Indonesia.

Mediasi Konsiliasi Pendapat Ahli Arbitrase

Bentuk penyelesaian Kesepakatan Para Pihak

Rekomendasi Konsiliator

Putusan Putusan

Sifat hasil penyelesaian

Tidak Final, apabila belum dibuat akta perdamaian.

Tidak Final Final Final

Kekuatan eksekutorial

Dalam bentuk akta perdamaian memiliki kekuatan eksekutorial

Tidak memiliki kekuatan eksekutorial

Tidak memiliki kekuatan eksekutorial

Memiliki kekuatan eksekutorial jika didaftarkan ke pengadilan

Perjanjian penyelesaian sebelum sengketa

Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu Harus, jika tidak ada maka dibuat akta notaris.

Pembahasan

Peraturan perundang-undangan di Indonesia sejauh ini tidak ada yang mengatur secara

khusus mengenai bagaimana sengketa medik diselesaikan. Pasal 58 Undang-Undang No. 36

tahun 2009 tentang Kesehatan hanya mengatur sebagai berikut:

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.18

Selain ketentuan di atas, pasal 77 Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

mengatur sebagai berikut:

Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.19

                                                                                                                         18  Indonesia, Undang-Undang tentang Kesehatan, Ps. 58. 19  Indonesia, Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan, Ps. 77.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 13: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

13    

Berdasarkan dua ketentuan tersebut di atas bahwa seseorang dapat melakukan gugatan ganti rugi

apabila terjadi kerugian pada dirinya akibat kelalaian medik. Hingga saat ini ketentuan tata cara

penyelesaian sengketa mengenai kelalaian medik di pengadilan Indonesia dilakukan dengan

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dengan pembuktian unsur-unsur PMH

yang tidak berbeda dengan gugatan PMH lainnya, yaitu berdasarkan ketentuan pasal 1365-1367

KUHPerdata. Dimana proses pembuktian bukan merupakan hal yang mudah dilakukan oleh

pasien sebagai penggugat selain proses litigasi yang lama dan mahal.

Demikian juga pada negara Jepang, proses peradilan sengketa medik yang lama dan

mahal juga mendorong dilakukannya reformasi hukum atas penyelesaian sengketa medik pada

negara tersebut. Perubahan ini terutama karena maraknya pemberitaan media massa terkait

permasalahan malpraktik atau kelalaian medik. Pada negara Jepang, usaha reformasi atas hukum

mengenai kelalaian medik menyangkut dua hal yaitu: mengurangi waktu lamanya persidangan

dan meningkatkan akurasi putusan pengadilan berkaitan dengan pembuktian ilmiah kedokteran.20

Terhadap kedua isu tersebut, sistem hukum di Jepang memberlakukan analisis pembuktian

melalui pendapat tim ahli. Para pihak dapat membawa ahli masing-masing untuk memberikan

keterangan namun hakim dalam memutuskan perkara dibantu oleh tim ahli yang ditunjuk oleh

hakim tersebut

Metode lain yang dipilih dalam rangka reformasi hukum sengketa medik, Pengadilan

Jepan menggunakan pilihan penyelesaian sengketa. Pengadilan Jepang mengenal Wakai atau

settlement in court yang dapat ditemukan pada setiap tingkat pengadilan hingga Supreme Court.

Hakim yang menangani perkara apabila merasa perlu maka ia dapat menawarkan para pihak

untuk menyelesaikan perkara melalui negosiasi. Apabila para pihak setuju, maka Hakim

mengubah proses litigasi menjadi mediasi dimana ia menjadi mediator. Selain Wakai sebagai

lembaga mediasi di pengadilan, Jepang juga mengenal Chotei yaitu mediasi dilakukan oleh

komite yang terdiri dari satu orang hakim dan dua orang atau lebih komisioner yang ditunjuk

oleh pengadilan. Perbedaan dengan Wakai adalah bahwa Chotei telah menjadi pilihan para pihak

sejak awal perkara, sedangkan Wakai dimulai terlebih dahulu dengan proses litigasi. Selain itu,

hakim yang duduk sebagai salah satu komisioner Chotei bersifat pasif dimana keseluruhan

                                                                                                                         20  Eric A Feldman, “Law, Society and Medical Malpractice Litigation in Japan”, Washington University

Global Studies Law Review Vol.8, (2009), hlm. 257.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 14: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

14    

proses dilakukan oleh mediator non-hakim lainnya.21 Selain Wakai dan Chotei, pada beberapa

institusi rumah sakit mengenal in-house mediation. Melalui in-house mediation diharapkan

sengketa yang muncul akibat dugaan kelalaian medik dapat segera ditangani termasuk persoalan

emosi dan hubungan antara dokter dan pasien. In-house mediation ini diklaim telah memberikan

hasil yang baik dalam menyelesaikan sengketa medik dimana para pihak merasa puas dengan

kesepakatan yang ada.

Reformasi hukum penyelesaian sengketa medik juga merupakan isu di negara Amerika

Serikat. Salah satunya adalah pendapat dari Hillary Clinton dan Barrack Obama yang

menyebutkan bahwa hukum Tort seharusnya mampu memberikan solusi sebagai berikut:

menurunkan risiko kejadian yang tidak diharapkan yang dapat dicegah, mengembangkan

komunikasi terbuka antara dokter dan pasien, memastikan pasien memiliki akses untuk

mendapatkan kompensasi yang adil atas perbuatan lalai dokter yang telah terbukti dan

menurunkan nilai premi asuransi pertanggungjawaban medik yang ditanggung oleh pemberi

layanan kesehatan.22 Sistem penyelesaian sengketa medik di pengadilan di Amerika saat ini

memakan biaya yang tinggi. Dikatakan hanya sekitar 28-40 sen dari setiap satu dolar premi

asuransi yang dapat diterima pasien, selebihnya habis selama proses persidangan yaitu untuk

biaya perkara dan biaya pengacara. Untuk mengatasi isu tersebut Negara-negara bagian di

Amerika Serikat mengenal pilihan penyelesaian sengketa yang dilakukan sebelum sengketa

medik diselesaikan di pengadilan.

Negara bagian Alaska memiliki dua bentuk pilihan penyelesaian sengketa medik selain

melalui pengadilan, yaitu Expert Screening Panel dan Arbitrase di luar pengadilan.23

Penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan pada Negara bagian South Carolina

menggunakan berbagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa medik. Lembaga yang berperan

dalam penyelesaian sengketa medik adalah Private Adjudication Center, suatu lembaga non-

profit yang berafiliasi dengan Duke University School of Law. Lembaga ini menyelenggarakan

mediasi, court-ordered mediation, court-orderd arbitration dan binding summary jury trial. 24

Di antara berbagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa medik di Amerika Serikat,

terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa mediasi lebih memberikan kepuasan bagi                                                                                                                          

21  Ibid., hlm. 223-224. 22  Hillary Clinton dan Barack Obama, “Making Patient Safety”, hlm. 2205.  23  Thomas B Meitzloff, “Alternative Dispute Resolution Strategies in Medical Malpractice”, Alaska Law

Review Vol.92, (1992), hlm. 452-453.  24    Ibid., hlm. 448.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 15: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

15    

para pihak bagi penyelesaian sengketa medik. Tingkat kepuasan yang mencapi angka 90%

dengan keberhasilan menghindari proses litigasi mencapai keberhasilan berkisar 75-90%.25

Mediasi juga berhasil mengurangi biaya penyelesaian sengketa hingga 50.000 dollar per klaim,

sehingga disebut lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase. 26

Mengenai pilihan penyelesaian sengketa di Indonesa telah diakomodir oleh Undang-

Undang No. 36 tahun 2009 yang mengatur bentuk pilihan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan mengenai kelalaian medik, yaitu melalui pasal 29 Undang-Undang Kesehatan yang

mengatur sebagai berikut:

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.27

Ketentuan untuk menyelesaikan sengketa melalui pilihan penyelesaian sengketa juga diatur pada

pasal 78 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi sebagai

berikut:

Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.28 Meninjau dari kedua ketentuan di atas yang mengatur pilihan penyelesaian sengketa

medik maka kedua aturan tersebut mengharuskan agar sengketa diselesaikan terlebih dahulu

melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu melalui mediasi. Mediasi merupakan

suatu keharusan bagi setiap orang yang akan mengajukan gugatan kelalaian medik ke pengadilan

menurut ketentuan pada pasal 78 Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Tanpa melakukan proses mediasi di luar pengadilan maka berdasarkan ketentuan tersebut

seharusnya gugatan di pengadilan tidak dapat diterima.

Hanya saja oleh karena tidak ada pengaturan mengenai hubungan antara dilakukannya

mediasi di luar pengadilan dengan proses penyelesaian sengketa medik di pengadilan maka

proses mediasi ini kerap dilewatkan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1

tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi di luar pengadilan dalam perkara

                                                                                                                         25  David H Sohn dan Sonny Bal, “Medical Malpractice Reform”, hlm. 1377. 26 Ibid. 27    Indonesia, Undang-Undang tentang Kesehatan, Ps. 29. 28    Indonesia, Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan, Ps.78.  

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 16: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

16    

sengketa medik tidak menjadi pengecualian untuk tidak dilakukan mediasi di pengadilan. Namun

kemudian terdapat pembaharuan proses mediasi di pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah

Agung No. 1 tahun 2016 tentang Mediasi di Pengadilan yang berbeda dengan peraturan

terdahulunya yaitu: Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang Mediasi di

Pengadilan. Dengan adanya ketentuan yang mengecualikan proses mediasi bagi perkara yang

telah melalui upaya mediasi di luar pengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam PERMA No.

1 tahun 2016 diharapkan dapat meningkatkan antusiasme para pihak untuk memanfaatkan

mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik.

Salah satu keuntungan melakukan mediasi bagi penyelesaian sengketa medik adalah

kedua belah pihak masih tetap memiliki haknya untuk melakukan gugatan di pengadilan. Selain

itu kelebihan lain dari mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik adalah proses mediasi

dapat memberikan edukasi bagi para pihak termasuk kesepakatan untuk melakukan perbaikan

pada mutu pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan bahwa selama proses mediasi, para pihak

diharapkan membuka diri dan difasilitasi untuk selalu melakukan komunikasi terbuka. Seperti

yang dijelaskan sebelumnya bahwa isu utama terjadinya sengketa medik umumnya adalah

permasalahan komunikasi

Perselisihan mengenai dalil dari pasien bahwa telah terjadi kelalaian medik dengan dalil

dokter adalah bahwa dirinya tidak melakukan kelalaian menjadi tantangan bagi mediator untuk

memfasilitasi penyelesaian sengketa. Terutama dikarenakan mediator adalah pihak ketiga yang

umumnya tidak memahami ilmu kedokteran. Akan tetapi, kelemahan-kelemahan tersebut di atas

sebenarnya dapat diselesaikan dengan teknik mediasi yang baik. Sri Mamudji menjelaskan bahwa

dalam menentukan apakah terdapat kesalahan atau tidak dalam kejadian tidak diharapkan,

mediator dapat menerapkan metode PIOC yaitu dengan menggunakan kriteria-kritera seperti

menurut peraturan perundang-undangan, ilmu kedokteran dan sebagainya.29 Apabila sulit bagi

para pihak untuk menyepakati kriteria-kriteria tersebut, ahli dapat diminta masuk ke dalam proses

mediasi untuk membantu menentukan kriteria-kriteria agar para pihak memahami mengenai ada

atau tidaknya kesalahan dokter dalam sengketa tersebut. Selanjutnya mediator dengan dibantu

ahli dapat memfasilitasi para pihak untuk menentukan sendiri kriteria-kriteria mengenai isu

kesalahan sehingga para pihak dapat lebih mampu merumuskan kesepakatan yang adil bagi kedua

                                                                                                                         29 Sri Mamudji, wawancara, tanggal 8 September 2016.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 17: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

17    

pihak. Kehadiran ahli ini juga dapat membantu para pihak lebih memahami mengenai isu,

kepentingan dan posisi dalam sengketa tersebut.

Penggunaan kaukus atau pembicaraan terpisah dimana mediator atas kesepakatan para

pihak dapat mendengarkan atau menggali kepentingan masing-masing pihak tanpa dihadiri oleh

pihak yang lain. Permasalahan emosi yang tinggi dalam hubungan dokter dan pasien dapat

diredakan pada pertemuan terpisah sehingga mediator dapat membantu para pihak memahami

kepentingannya masing-masing. Menariknya lagi, ahli juga dapat diminta masuk di dalam kaukus

untuk memberikan informasi kepada para pihak secara terpisah agar masing-masing memiliki

gambaran mengenai kepentingan mereka dalam sengketa tersebut. Tentu saja proses kaukus

maupun masuknya ahli dalam kaukus haruslah disepakati para pihak dari awal diinisiasinya

mediasi tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Sri Mamuji mengenai masuknya ahli ke

dalam forum kaukus.30

Hingga saat ini mengenai bagaimana mediasi dilakukan dalam penyelesaian sengketa

medik di Indonesia saat ini tidak ada pengaturan khusus. Padahal pengaturan mengenai mediasi

pada sengketa medik menjadi penting oleh karena terdapat banyak hal yang harus diatur agar

kesepakatan perdamaian tersebut dapat diterima dan memuaskan para pihak.

Banyak hal yang seyogyanya diatur pada peraturan pelaksana perundang-undangan tersebut yang

diuraikan sebagai berikut:

a. Jenis mediasi yang dilakukan

Mediasi sendiri memiliki variasi baik dalam proses maupun peran mediator sebagai pihak

ketiga. Jenis-jenis mediasi yang dikenal adalah mediasi fasilitatif atau mediasi evaluative,

b. Ketentuan mengenai mediator

Mediator memiliki kewajiban menjaga kerahasiaan proses mediasi mengenai materi

selama mediasi dan mediator sendiri tidak dapat dijadikan bukti atau saksi dalam

persidangan. Dengan demikian perlu adanya pengaturan pedoman perilaku mediator

dalam penyelesaian sengketa medik mengingat ketentuan rahasia kedokteran.

c. Ketentuan mengenai kekuatan eksekutorial kesepakatan perdamaian

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan, perjanjian perdamaian yang dihasilkan di luar pengadilan dapat dikuatkan

                                                                                                                         30 Ibid.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 18: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

18    

menjadi akta perdamaian dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.31 Dengan

dikuatkan sebagai akta perdamaian menjadikan isi kesepakatan tersebut dapat dieksekusi

apabila salah satu pihak tidak beritikad baik untuk menjalankan hasil kesepakatan

tersebut.

d. Kehadiran ahli dalam mediasi

Kehadiran ahli juga dapat memberikan kedudukan yang setara bagi para pihak

saat melakukan negosiasi. Ahli juga dapat membantu mediator dan para pihak untuk

menentukan kriteria-kritera mengenai hal-hal yang disepakati. Dengan demikian

diharapkan keberhasilan mediasi untuk menyelesaikan sengketa cukup besar dan mampu

menghindarkan para pihak dari proses litigasi yang lama dan rumit. Untuk itu, ketentuan

mengenai ahli juga termasuk hal yang sebaiknya diatur di dalam peraturan perundang-

undangan mengenai mediasi penyelesaian sengketa medik.

Peraturan pelaksana pasal 78 Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

juncto pasal 29 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah

yang akan menjadi pedoman mediasi sebagai penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan.

Pedoman ini diharapkan akan memberikan semangat bagi para pihak yang bersengketa untuk

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Kesimpulan

1. Penyelesaian sengketa medik di pengadilan baik di Indonesia, Jepang maupun Amerika

Serikat memiliki permasalahan yang sama yaitu: proses pembuktian yang rumit dan lama,

berbiaya mahal dan tidak memberikan dampak positif bagi peningkatan mutu pelayanan

kesehatan. Salah satu cara yang dilakukan untuk memberikan hasil penyelesaian sengketa

dengan dampak yang lebih baik adalah dengan menyelesaikan sengketa medik melalui

pilihan penyelesaian sengketa. Mediasi menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang

paling sering digunakan.

2. Bentuk pilihan penyelesaian sengketa medik di Indonesia saat ini adalah mediasi, selain

oleh karena mediasi yang menjadi penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan

menurut undang-undang, juga karena bentuk tersebut dikenal baik oleh masyarakat

                                                                                                                         31   Indonesia,  Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,

Ps. 36.

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 19: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

19    

Indonesia dalam kehidupan sehari-hari serta terdapat dalam hukum acara perdata di

Indonesia mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi.

3. Mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik di Indonesia tidak memiliki

pengaturan lebih lanjut. Terdapat beberapa hal yang sepatutnya diatur agar dapat

dihasilkan kesepakatan yang memberikan akses keadilan bagi para pihak, seperti:

a. Jenis mediasi yang dilakukan apakah bersifat fasilitatif atau evaluatif.

b. Ketentuan tentang mediator baik mengenai kode perilaku, rahasia kedokteran

maupun kedudukan mediator serta proses mediasi yang tidak dapat dijadikan alat

bukti di pengadilan.

c. Kekuatan eksekutorial kesepakatan perdamaian

d. Kehadiran ahli dalam proses mediasi.

Untuk itu diperlukan suatu peraturan pelaksana yang menjadi pedoman prosedur mediasi

sebagai penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan yang dalam hal ini dapat melalui

pembentukan peraturan pemerintah.

Saran

Reformasi terhadap hukum sengketa medik di Indonesia sudah sepatutnya dilakukan. Mengingat

peliknya penyelesaian sengketa medik di pengadilan yang tidak mampu memberikan akses

keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Pilihan penyelesaian sengketa medik yang ditentukan

dalam undang-undang juga belum mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat akan

penyelesaian sengketa yang berkeadilan. Hal ini terutama dikarenakan tidak adanya peraturan

yang mengatur prosedur pilihan penyelesaian sengketa agar didapatkan penyelesaian sengeketa

yang memenuhi kepentingan para pihak yang bersengketa. Bercermin dari pengalaman dua

negara Jepang dan Amerika, maka terdapat kebutuhan masyarakat Indonesia akan pembentukan

undang-undang tentang penyelesaian sengketa di bidang kesehatan khususnya sengketa medik.

Undang-undang tersebut diharapkan tidak hanya menyelesaikan sengketa yang berkeadilan

namun juga mampu memperbaiki mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.

Daftar referensi

Ameln, Fred. (1991). Kapita Selekta Hukum Kedokteran. s.l: Grafikatama Jaya. Clinton, Hillary Rodham dan Barrack Obama. (2006). Making Patient Safety the Centerpiece of

Medical Liability Reform. The New England Journal of Medicine. 2205-2208

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017

Page 20: MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

20    

Feldman, Eric A. (2009). Law, Society and Medical Malpractice Litigation in Japan”. Washington University Global Studies Law Review, 8., 257-284.

. Goodpaster, Gary. (1997). A Guide to Negotiation and Mediation. New York: Transnational

Publisher, Inc.  Lewis, Maraciano A, Carol D. Tamparo dan Brenda M. Tatro. (2012). Medical Law, Ethics and

Bioethics for the Health Professional. Philadelphia: F.A Davis Company. Moore, Christopher W. (1996). The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving

Conflict (2nd ed). New York: Wiley Publisher. Nakanishi, Toshimi. (2013). New Communication Model in Medical Dispute Resolution in

Japan. Yamagata Medical Journal. 1-8 Soetrisno, S. (2010). Malpraktek Medik dan Mediasi, Jakarta: PT Telaga Ilmu. Sohn, David H dan Sonny Bal. (2012). Medical Malpractice Reform: The Role of Alternative

Dispute Resolution. Clinical Orthophedic Relat Res, 1370-1378. Indonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun

2009, TLN No.5063 Indonesia. Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan, UU No.36 Tahun 2014, LN No. 298

tahun 2014, TLN No. 5608. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 515/PK/PDT/2011. Meitzloff, Thomas B. (1992). Alternative Dispute Resolution Strategies in Medical

Malpractice”. Alaska Law Review, 92, 421-457.  

 

Mediasi sebagai ..., Amelia Martira, FH UI, 2017