1
MATERI - I
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana ditegakkannya
hukum perdata materiil. Dalam hal ini hukum acara perdata mengatur bagaimana cara
berperkara dipengadilan, bagaimana cara mengajukan gugatan dan lain sebagainya di dalam
hukum perdata.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, Pengertian Hukum Acara Perdata adalah rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dihadapan pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan hukum perdata.1
Menurut MH. Tirraamidjaja, Pengertian Hukum Acara Perdataadalah suatu akibat
yang ditimbulkan dari hukum perdata materil.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan pengertian hukum acara perdata, Hukum
Acara Perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata
mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, cara memeriksa dan cara
memutusnya, serta bagaimana pelaksanaan daripada putusannya.
R. Subekti (Mantan Ketua Mahkamah Agung) berpendapat : Hukum acara itu
mengabdi kepada hukum materiil, setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya
selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya. Oleh karena itu Hukum Perdata diikuti
dengan penyesuaian hukum acara perdata dan Hukum Pidana diikuti dengan penyesuaian
hukum acara pidana.
Soepomo seorang ahli hukum adat mengatakan bahwa dalam peradilan tugas hakim
ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum
dalam suatu perkara.
Dari pengertian hukum acara perdata yang diungkapkan pakar di atas, dapat
disimpulkan bahwa Pengertian Hukum Acara Perdataadalah hukum yang mengatur
bagaimana ditegakkannya hukum perdata materiil, bagaimana orang berhadapan dimuka
pengadilan dan bagaimana pelaksanaan dari putusannya.
B. Asas Asas Hukum Acara Perdata
Asas asas hukum acara perdata ini dikaitkan dengan dasar serta asas-asas peradilan
serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan
peradilan tata usaha negara, dimana ketentuan ini diatur di dalam UU No. 14 Tahun 1970
1 Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm: 05.
2
mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Selain itu juga asas-asas hukum acara
perdata ini didasarkan pada HIR atau Rbg.2
1) Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judicieel menururt UU No. 14/1970 tidak
mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum
serta asas-asas yang jadi landasannya. Sehungga keputusannya mencerminkan
perasaan keadilan bangsa dan rakyat indonesia.
2) Asas Objektivitas
Asas asas hukum acara perdata salah satunya ialah asas objektivitas. Di dalam
memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, maka hakim harus bersifat objektif dan
tidak boleh memihak kepada pihak manapun dalam persidangan. Semua putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan atas putusan yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
3) Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan salah satu dari asas asas hukum
acara perdata. Yang dimaksud dengan sederhana adalah acara peradilan dilaksanakan
dengan jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Kata cepat menunjuk kepada
jalannya peradilan yang dilaksanakan. Terlalu banyak formalitas merupakan
hambatan bagi jalannya pengadilan, yang seharusnya pengadilan berjalan dengan
cepat tanpa adanya penundaan karena pihak-pihak yang tidak menghadiri persidangan
membuat persidangan menjadi lama. Biaya ringan yaitu terpikul oleh rakyat, jika
biaya berperkara sangat tinggi akan menyebabkan rakyat tidak mau untuk berperkara
di pengadilan.
4) Gugatan atau Permohonan Diajukan dengan Surat atau Lisan
Asas asas hukum acara perdata salah satunya adalah gugatan diajukan dengan surat
atau lisan. Dalam menyampaikan gugatan perdata harus diajukan ddengan surat yang
ditandatangani oleh penggungat atau oleh orang yang dikuasakan. Namun jika
penggugat tidak dapat menulis, maka diberikan keringanan untuk menyampaikan
gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri.
5) Inisiatif Berperkara diambil oleh Pihak Yang Berkepentingan
Asas asas hukum acara perdata salah satunya ialah inisiatif dari pihak yang
berkepentingan. Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu tidak adanya suatu
perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa
haknya atau hak mereka telah dilanggar. Jadi tanpa adanya inisiatif dari pihak yang
dirugikan untuk menggugat, maka pengadilan tidak akan berlangsung.
2Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm: 06-11.
3
6) Keaktifan Hakim dalam Pemeriksaan
Asas asas hukum acara perdata salah satunya yaitu keaktifan hakim dalam
pemeriksaan. Dalam Hukum Acara Perdata hakim harus aktif memimpin pemeriksaan
perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, hakim
juga harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya keadilan.
7) Beracara Dikenakan Biaya
Asas asas hukum acara perdata salah satunya adalah beracara dikenakan biaya. Pihak
penggugat membayar terlebih dahulu kepada panitera dengan sejumlah uang yang
besarnya ditentukan dengan pertimbangan keadaan perkara. Jika penggugat tidak
mampu membayar biaya berperkara, maka penggugat dapat mengajukan perkara
secara cuma-cuma (prodeo) untuk dibebaskan dari pembayaran biaya, dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu. Surat keterangan tersebut dapat dibuat
oleh camat yang membawahkan daerah tempat yang berkepentingan tinggal.
8) Para pihak dapat Meminta Bantuan atau Mewakilkan Seorang Kuasa
Asas asas hukum acara perdata salah satunya ialah para pihak dapat diwakilkan oleh
kuasanya. Orang yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus
berperkara, biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang kuasa sangat berguna.
9) Sifat Terbukanya Persidangan
Sifat terbukanya persidangan merupakan salah satu dari asas asas hukum acara
perdata. Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum,
terbuka untuk umum maksudnya bahwa setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan
menyaksikan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk
memberi perlindungan HAM dalam bidang peradilan.
10) Mendengar Kedua Belah Pihak
Asas asas hukum acara perdata salah satunya adalah mendengar kedua belah pihak.
Di dalam hukum, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama. Menurut hukum,
pengadilan mengadili dengan tidak membedakan orang, ini berarti bahwa pihak yang
berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak memperoleh perlakuan yang sama
dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya.
C. Struktur Kekuasaan Pengadilan di Indonesia
1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi yang memegang kekuasaan
kehakiman di dalam negara Republik Indonesia.Mahkamah Agung membawahi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
4
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang MA
adalah:Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang
Mahkamah Agung memiliki Fungsi sebagai berikut;
a. Fungsi Peradilan
1. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan
kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui
putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-
undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
2. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
b. Fungsi Pengawasan
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di
semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan
Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan
berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4
dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
2. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
- Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan,
teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan
(Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985)
c. Fungsi mengatur
1. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79
Undang-undang No.14 Tahun 1985).
2. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu
untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
d. Fungsi nasehat
5
1. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang
Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat
kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi
(Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
2. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk
kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung).
e. Fungsi Administratif
1. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-
undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai
saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut
Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
2. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan
organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
2. Peradilan Umum
a. Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi
selaku salah satu kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum mempunyai
tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilam Umum, dalam pasal 51 menyatakan :
1. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata di Tingkat Banding.
2. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di Tingkat Pertama
dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.
b. Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya.
3. Peradilan Agama
6
1. Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan
Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk
mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat
banding.
2. Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:perkawinan, warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah serta ekonomi syari'ah.
4. Peradilan Militer
1. Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Tinggi merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di
bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit
yang berpangkat Mayor ke atas. Selain itu, Pengadilan Militer Tinggi juga
memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus
oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer Tinggi juga dapat memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
2. Pengadilan Militer
Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah
Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit
yang berpangkat Kapten ke bawah.
5. Peradilan Tata Usaha Negara
1. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota Provinsi.
Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha
Negara di tingkat banding.
2. Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu
kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata
Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara
7
D. Kompetensi Peradilan Perdata
Pada dasarnya di setiap kabupaten/kota di bentuk pengadilan negeri. Pengadilan negeri
berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya atau (kompetensi
relatifnya) meliputi wilayah kabupaten/ kota.3Kompetensi terbagi menjadi 2 yakni :
a. Kompetensi Absolut
Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasar pada
kewenangan/beban tugas yang ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan
mengadili perkara yang di beban kan kepada pengadilan negeri meliputi perkara
perdata dan perkara pidana pada tingkat pertama.4 Yang artinya kekuasaan
pengadilan yang berhubungan dengan jenis pekara atau jenis pengadilan. Contohnya:
Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan perkara perdata umum, perkara pidana,
bukan perkara perdata islam. Dan PN berwenang menyelesaikan masalah perdata
non-muslim.
Kewenangan Peradilan Umum
Peradilan Umum atau lebih dikenal dengan Pengadilan Negeri memilii
kewanangan untuk mengadili perkara pidana dan perdata. Tetapi dalam hal perkara
permohonan pailit dan sengketa ketenagakerjaan menjadi wewenang peradilan khusus
yang berada di lingkungan peradilan umum yaitu Pengadilan Niaga dan Perngadilan
Hubungan Industrial.
Kewenangan Peradilan Agama
Kewenangan peradilan agama antara lain mengenai perkara: Perkawinan, yaitu
talak, cerai, pembatalan perkawinan beserta akibat hukumnya; Kewarisan meliputi
waris, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (berarti bahwa para
pihak tidak harus beragama Islam, tetapi didasarkan pada Hukum Islam); Wakaf dan
Shadaqah.
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan PTUN yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat, baik orang maupun badan
hukum, akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konkret,
Individual, dan Final.
Kewenangan Peradilan Militer
Peradilan Militer berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya adalah
anggota TNI, tanpa melihat apakah korban tersebut adalah sesama TNI ataupun warga
sipil.5
3Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum. 4Abdulkadir Muhammad.Hukum acara perdata Indonesia.citra Aditya bakti.Bandung.2005.hlm24. 5Kusna Goesniadhie, Tata Hukum Indonesia.2010 (Surabaya : Nasa Media), hlm 180.
8
Dan apabila apa yang telah ditetapkan menjadi kewenangan suatu badan perdilan
maka mutlak menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutuskan perkara
yang telah menjadi kekuasaanya. Kalau tidak termasuk kekuasaan absolutnya, setiap
pengadilan negeri, agama, tata usaha negara, maupun militer dilarang menerimanya.
Jika ada pengadilan ada yang menerima di luar kekuasaannya maka pihak tergugat
dapat mengajukan keberatan yang disebut dengan eksepsi absolute.
b. Kompetensi Relatif
Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pada
daerah hukum. Daerah hukum pengadilan negeri meliputi kabupaten/kota.6Artinya
setiap badan peradilan berwenang mengadili perkara yang menjadi kekuasaanya
berdasarkan wilayah hukum yang berlaku.
Pasal 118 ayat (2) HIR menyatakan bahwa "Jika yang digugat lebih dari
seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama,
maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang
tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur
utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2)
"Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan
itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau
salah Seorang debitur utama".
Pasal 118 ayat (3) HIR menyatakan bahwa "Jika tidak diketahui tempat diam
si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya,
maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal
penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap,
diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak
barang tersebut".
Pasal 118 ayat (4) HIR menyatakan bahwa "Jika ada suatu tempat tinggal yang
dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya
kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal
yang dipilih itu".
Tiap-tiap pengadilan Negeri mempunyai wilayah hukum tertentu atau
yurisdiksi relatif tertentu yaitu meliputi satu kota madya atau satu kabupaten. Dalam
artinya untuk mengetahui kemana orang akan mengajukan perkaranya dan hubungan
dengan hak eksepsi tergugat.
Contoh persoalan dalam adanya kekompetensian Relatif ialah bagaimana jika
seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang jelas dan resmi. Dalam hal
ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah satu PN tempat tinggal tergugat
tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan
6Abdulkadir Muhammad.Hukum acara perdata Indonesia.citra Aditya bakti.Bandung.2005.hlm23.
9
memiliki ruko di sana, sementara faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal
demikian, gugatan dapat diajukan baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun
Bandung. Dengan demikian, titik pangkal menentukan PN mana yang berwenang
mengadili perkara adalah tempat tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian
perkara (locus delicti) seperti dalam hukum acara pidana.7
E. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata
Adapun Sumber-sumber Hukum Acara Perdata di Indonesia yang berlaku sampai
saat ini adalah sebagai berikut.8
1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) Reglement tentang melakukan pekerjaan
kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa Bumiputera
dan bangsa timur di Tanah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari reglement
bumiputera/ Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor 44.
2. RBg. (Reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en
Madura) reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar jawa dan
Madura dengan Staatsblad 1927 nomor 227.
3. Rv (reglement op de rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan
staatblad 1847 No. 52 juncto 1849 No. 63.
4. RO (Reglement of de rechterlijke organisatie in het beleid der justitie in Indonesia,
reglement tentang oranisasi kehakiman dengan staatsblad 1847 N0. 23).
5. Ordonansi dengan staatblad 1867 No. 29 tanggal 14 maret 1867 tentang kekuatan
bukti, surat-surat di bawah tangan yang di perbuat oleh orang-orang bangsa bumi putera
atau oleh yang disamakan dengan dia.
6. BW (Burgerlijk Wetboek/ Kitab UU Hukum Perdata / Kitab UU hukum Sipil)
7. Kitab UU Hukum Dagang (wetboek van Koophandel Buku ke satu lembaran Negara
RI No. 276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 juli 1938 dan buku kedua lembaran
negara RI No. 49 tahun 1933.
8. UU No. 20 tahun 1947 tentang ketentuan banding (peradilan Ulangan).
9. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan lembaran negara RI No. 1 tahun 1974
tanggal 2 januari 1974.
10. UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggung atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah (UUHT).
11. UU NO. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
12. UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum.
13. UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
14. UU No. 37 Tahun 2004 tantang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang.
15. UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.
16. UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama.
17. UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.
18. UU No. 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi.
7Yan Apul. Kuliah Hukum Acara Perdata.1976 (Jakarta: Unika Atma Jaya) hlm 144. 8Sarwono, HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm: 10-13
10
19. UU No. 3 Tahun 2009 tentang perubahan adata UU No. 14 tahun 1985 tentang
mahkamah agung.
20. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan mahkamah agung.
21. Peraturan mahkamah agung No. 1 tahun 1982 tentang peraturan mahkamah agung
No. 1 tahun 1980 yang disempurnakan.
22. SEMA No. 6 tahun 1992 tentang penyelesaian perkara dipengadilan tinggi dan
pengadilan negeri, SEMA no. 3 tahun 2002, SEMA No. 4 tahun 2001 dan SEMA No. 10
tahun 2005.
23. Yurisprudensi dan sebagainya.
Dengan banyaknya Sumber Hukum Acara Perdata yang berserakan di beberapa
peraturan perundang-undangan sudah barang tentu akan memnyebabkan caolon-calon
yuris di Indonesia mengalami hambatan dan atau kesulitan dalam mempelajarinya, karena
untuk mempelajari hukum acara perdata harus mengeluarkan dana yang cukup banyak
untuk membeli beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum
acara perdata yang realitanya belum tentu dapat dipenuhi caoln-calon yuris yang
disebabkan oleh karena keterbatasan keuangan (finansial seseorang).
Kesimpulan
1. Pengertian hukum acara perdata
Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana ditegakkannya hukum
perdata materiil, bagaimana orang berhadapan dimuka pengadilan dan bagaimana
pelaksanaan dari putusannya.
2. Asas-asas hukum acara perdata
1. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman.
2. Asas Objektivitas
3. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
4. Gugatan atau Permohonan Diajukan dengan Surat atau Lisan
5. Inisiatif Berperkara diambil oleh Pihak Yang Berkepentingan
6. Beracara Dikenakan Biaya
7. Keaktifan Hakim dalam Pemeriksaan
8. Para pihak dapat Meminta Bantuan atau Mewakilkan Seorang Kuasa
9. Sifat Terbukanya Persidangan
10. Mendengar Kedua Belah Pihak
3. Struktur Kekuasaan Pengadilan di Indonesia
1. Mahkamah Agung
2. Peradilan Umum
3. Peradilan Agama
4. Peradilan Militer
5. Peradilan Tata Usaha Negara
Saran
11
Dari penjelasan di atas mengenai Pengertian Hukum acara perdata dan ruang lingkupnya,
kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, untuk
mengetahuai secara komfrehensif, maka sangat dibutuhkan beberapa rujukan-rujukan yang
yang dapat memberikan pengetahuan secara mendalam.
Daftar Pustaka
Apul, Yan. Kuliah Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Unika Atma Jaya), 1976.
Goesniadhie, Kusna.Tata Hukum Indonesia, (Surabaya : Nasa Media), 2010.
Muhammad, Abdulkadir.Hukum acara perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya bakti,
2005.
Sarwono, HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Taufik, Moh.Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
MATERI – II
A Pengertian Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud hukum acara pidana yaitu keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana.[1]
Berbicara mengenai pengertian dan maksud dari hukum acara pidana, banyak
para tokoh serta para pakar hukum yang mengartikannya, di antaranya seperti:
1. Menurut Van Bemellen
Hukum acara pidana yaitu kumpulan ketetapan hukum yang mengatur negara
terhadap adanya dugaan terjadinya pelanggaran pidana, dan untuk mencari kebenaran
melalui alat-alatnya dengan cara diperiksa di persidangan dan diputus oleh hakim
dengan menjalankan putusan tersebut.
2. Menurut Van Apeldoorn
Hukum acara pidana yaitu peraturan yang mengatur cara begaimana pemerintah
dapat menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.
3. Menurut Bambang Poernomo
Dalam arti sempit, hukum acara pidana yaitu kumpulan peraturan tentang proses
pelaksanaan hukum acara pidana, dan dalam arti luasnya yaitu kumpulan peraturan
pelaksanaan hukum acara pidana ditambah dengan peraturan lain yang berkaitan
dengan itu. Dalam arti sangat luas, ditambah lagi dengan peraturan tentang alternatif
jenis pidana.
4. Menurut Simon
12
Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat
perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana.[2]
5. Menurut Sudarto
Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang
harus dilakukan oleh pada penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat
didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.
6. Menurut Seminar Nasional Pertama Tahun 1963
Hukum acara pidana adalah norma hukum berwujud wewenang yang diberikan
kepada negara untuk bertindak adil, apabila ada prasangka bahwasanya hukum pidana
dilanggar.
B. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
1. Tujuan hukum acara pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materiil.
Kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk:
a. Mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum.
b. Meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwakan dapat
dipersalahkan.
2. Fungsi hukum acara pidana
Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana.
Hukum acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa
adanya permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh
UU.[3]
Adapun hukum acara pidana sebagai salah satu instrumen dalam sistem peradilan
pidana pada pokoknya memiliki fungsi utama, yaitu:
a. Mencari dan menemukan kebenaran
b. Pengambilan keputusan oleh hakim, dan
c. Pelaksanaan putusan yang telah diambil
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang terdapat pada hukum acara pidana yaitu:[4]
1. Asas persamaan di muka hukum ( Equality Before The Law)
Yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
membedakan perlakuan.
2. Asas perintah tertulis dari yang berwenang penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat berwenang
dan dengan cara yang diatur oleh undang-undang.
3. Asas praduga tak bersalah (presumtion of innocent)
13
Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan
dimukasidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah faham dan salah
tuntut.
Kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan UU dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan
wajib diberi ganti rugi(hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang
berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cam yang diatur dalam undang-undang ini). dan
rehabilitasi (hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini)
singkat dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan
hukuman administrasi.
5. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak.
Peradilan yang dilakukan harus cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas,
jujur dan tidak memihak. Harus ditrapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
peradilan.
6. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya
Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya.
7. Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan
selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum yang didakwakan kepadanya, juga
wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan
penasehat hukum.
8. Asas hadirnya terdakwa
Pengadilan memeriksa perkara pidana denagn hadimaya terdakwa.
9. Asas pemeriksaan di muka umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal
yang sudah diatur dalam undang-undang.
10. Asas pengawasan pelaksanaan putusan
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan
oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
D. Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana
Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak, di antara pihak-pihak
yang saling berhadapan itu terdapat hakim yang tidak memihak kedua pihak. Sistem
14
saling berhadapan ini disebut sistem pemeriksaan akusator (accusatoir). Dahulu,
dipakai sistem inkisitor (inquisitoir) yang mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan,
sedangkan hakim dan penuntut umum berada pada pihak yang sama.[5]
Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang
dibelakangnya terdapat penasihat hukumnya,sedangkan dipihak lain terdapat penuntut
umum yang atas nama negara menuntut pidana. Di belakang penuntut umum ini ada
polisi yang memberi data tentang hasil penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim).
Sanksi-sanksi yang diajukan biasanya terbagi tiga.yaitu yang memberatkan
terdakwa (a charge), biasanya di ajukan oleh penuntut umum; yang meringankan
terdakwa (a charge), biasanya diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya; dan ada
pula saksi yang tidak memberatkan dan tidak meringankan terdakwa, mestinya saksi
golongan ketiga ini ialah saksi ahli. yang terpenting diantara pihak ini tentulah
terdakwa, karena dia yang akan menjadi fokus pemeriksaan disidang pengadilan.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana yaitu:[6]
1. Tersangka
Yaitu orang yang diduga melakukan tapi sebelum masuk sidang pengadilan. Jika
sudah masuk pengadilan statusnya menjadi terdakwa, dan apabila sudah diputus maka
statusnya sebagai terpidana.
2. Terdakwa
3. Terpidana
4. Saksi
Yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentigan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang pidana yang is dengar, lihat atau
alami sendiri.
5. Saksi ahli
Yaitu seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan peradilan.
6. Penyidik
Yaitu pejabat polisi negara republik Indonesia yang diberi wewenang menurut
UU untuk melakukan penyidikan. Istilah penyidik terkadang digabungkan dengan kata-
kata lain seperti penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penyidik
khusus dan penyidik pembantu. Sehingga kedudukan dan kepangkatan penyidik perlu
diselaraskan dan diseimbangkan.
Istilah penyidik umum adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan syarat kepangkatan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, istilah
penyidik pegawai negeri sipil tertentu adalah pegawai negeri sipil sesuai dengan
persyaratan tertentu yang telah dididik dengan kualifikasi penyidik yang diberi
wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang tugas dan fungsinya yang
diberikan oleh undang-undang. Istilah penyidik pembantu adalah pejabat pejabat
kepolisian Negara Republik Indonesia berpangkat tertentu dibawah pangkat penyidik
umum dan pejahat pegawai negeri sipil di lingkungan polri karena keahlian di bidang
tertentu yang diangkat oleh Kapolri.[7]
15
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa
Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang.
7. Penyelidik
Yaitu pejabat polisi ncgara republik Indonesia yang diberi wewenang mcnurut
untuk melakukan penyelidikan.
8. Penyidik pembantu
Yaitu pejabat kepolisian negara RI yang karena diberi wewenang tertentu dapat
melakukan tugas penyidikan.
9. Jaksa
Pejabat yang dihcri wewenang olch undang-undang ini untuk bertindak sehagai
penuntut umum serta mclaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
10. Hakim
Yaitu pejabat pengadilan yang diberi wewenang oleh UU untuk mengadili.
11. Advokat kuasa hukum
Yaitu pihak atau orang yang akan memberikan bantuan hukum kepada pihak
yang terseret dalam suatu kasus. Serta membantu proses berjalannya acara sidang di
pengadilan.
12. Pejabat aparat eksekusi
Pihak ini bertugas melaksanakan UU pelaksanaan pidana. Misalnya pejabat Lapas
(lembaga pemasyarakatan).
E. Proses Pelaksanaan Acara Pidana
Proses pelaksanaa acara pidana adalah merupakan suatu proses dan tata cara
beracara atau mengajukan perkara pidana ke muka persidangan. Adapun tahap-
tahapannya adalah sebagai berikut:[8]
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Di dalam pemeriksaan pendahuluan, sebelum sampai pada pemeriksaan disidang
pengadilan, akan melalui beberapa proses sebagai berikut:
a. Proses Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut KUHP diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna
menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan (pasal 1 butir lima kuhap).
Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan
penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah
terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan
dasar permulaan penyidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana,
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
16
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2
KUHAP)
Oleh karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai
sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang
1) Tindak apa yang telah dilakukannya?
2) Kapan tindak pidana itu dilakuakan?
3) Dimana tindak pidana itu dilakukan?
4) Dengan apa tindak pidana itu dilakukan?
5) Bagaimana tindak pidana itu dilakukan?
6) Mengapa tindak pidana itu dilakukan?
7) Siapa pembuatnya?
b. Petugas-Petugas Penyelidik dan Penyidik
Menurut pasal 4 penyidik adalah setiap pejabat polisi Negara republik Indonesia.
Di dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang-wewenang seperti diatur
dalam pasal 5 KUHAP sebagai berikut:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan yang termasuk penyidik adalah:
1) Pejabat polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang.
Yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya pejabat
bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas
penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 KUHAP berwenang untuk:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka.
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
5) Melakukan pemeriksaan dan peryitaan surat.
6) Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan pemeriksaan.
9) Mengadakan penghentian penyidikan.
10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (pasal 7 KUHAP)
c. Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan
17
Penyelidikan atau penyidikan merupakan tidakan pertama-tama yang dapat dan
harus dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah
terjadi tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejhatan atau
pelanggaran maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan,
benarkah telah dilakukan tindak pidana dan jika is siapakah pembuatnya.
Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana ini dapat diperoleh dari
berbagai sumber yang dapt digolongkan sebagai berikut:
1) Kedapatan tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad)
Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
a). Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
b). Dengan segera sesudah beberap saat tindakan pidana itu dilakukan, atau
c). Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak rami sebagai orang yang melakukannya, atau
d). Apabila sesat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa is adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.(pasal 1
butir 19 kuhap)
2) Di luar tertangkap tangan
Sedangkan dalam hal tidak tertangkap , pengetehuan penyelidik atau penyidik
tentang telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
a). Laporan
b). Pengaduan
c). Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik
3) Penangkapan dan Penahanan
Yang dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.
Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu
oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim.[9]
Jadi, penangkapan dan penahanan adalah merupakan tindakan yang membatasi
dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk melakukan penahanan terdapat dalam pasal 20 dan 21 ayat 1 dan ayat
(4).
4) Penangguhan dan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugiakn
kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk
beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan
permohonan agar penahanannya ditangguhkan, berbeda dengan ketentuan yang diatur
dalam HIR yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang
menangguhakan penahanan ialah hakim, maka menurut KUHAP yang berhak
menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhakan atau tidak ialah penyidik
atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
5) Penggeledahan Badan dan Rumah
Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang.
Yang dimaksud dengan penggeledahn badan ialah tindakan penyidik untuk
18
mengadakan pemeriksaan badann atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang
diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
6) Penyitaan
Yang dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Di samping itu, menurut pasal 39 KUHAP
ditentukan bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a). Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
b). Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya
c). Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
d). Benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e). Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
7) Pemeriksaan ditempat kejadian
Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena delik yang
mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal
terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan
pemeriksaan ditempat kejadiaan diatur dalam pasal 7 KUHAP.
8) Pemeriksaan tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang dilakukan
suatu tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya
untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi
penasehat hukum (pasal 114 KUHAP)
9) Pemeriksaan saksi dan ahli
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradialan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.[10]
Mengenai hal ini, menurut pasal 224 KUHAP yang berbunyi:
"Barang siapa dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau
juru bahasa dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban menurut undang-undang,
yang ia sebagai demikian harus melakukan:
a. Dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 bulan.
b. Dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara selam-lamanya 6 bulan.”
10) Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan
Menurut Syarifudin Petranase penyidikan itu dianggap selesai ketika dinyatakan
bahwa:
a). Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu 7 hari,setelah penuntut umum
menerima hasil pendidikan dari penyidik, ada pemberitahuan dari penuntut umum
bahwa penyidikan diaanggap selesai. Pemberitahuan tersebut merupakan keharusan
atau kewajiban bagi penuntut umum seperti yang diatur dalam pasal 138 ayat 1
KUHAP.
19
b). Penyidikan diaanggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik sebagaimana yang diatur dalam
pasal 110 ayat 4 KUHAP.
d. Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah rumusan tindak pidana sebagai dasar dan batas
pemeriksaan dan penuntutan yang dikehendaki UU dalam sidang pengadilan.
1) Syarat-syarat dalam surat dakwaan[11]
a). syarat formil
Identitas lengkap terdakwa, seperti nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
b). syarat materiil
harus berisi uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tapi itu dilakukan.
2) Cara merumuskan surat dakwaan
Cara merumuskan surat dakwaan: harus mengandung lukisan dari apa yang
senyatanya terjadi dan mengandung unsur yuridis dari dari tindak pidana yang
dilakukan.
3) Pembatalan Surat Dakwaan
a) pembatalan formil: karena tidak memenuhi syarat mutlak yang ditentukan UU (batal
demi hukum).
b) pembatalan hakiki: berdasarkan keputusan penilaian hakim karena kurangnya syarat
yang dianggap esensil (tergantung maksud dan tujuan surat dakwaan). Salah satu cara
pembelaan adalah membuat alibi, yaitu menyatakan tidak ada di tempat pada waktu
kejadian yang disebutkan dalam surat dakwaan.
4) Macam-macam Surat Dakwaan
a. dakwaan tunggal: terdakawa hanya didakwa dengan satu dakwaan saja.
b. dakwaan alternatif: terdakwa didakwa dengan dakwaan. Biasanya karena keraguan
jaksa tentang jenis TP apa yang tepat untuk menjadi dasar dakwaan.
c. dakwaan subsidair: dakwaan dengan mengurutkan dari yang terberat.
d. dakwaan komulatif: dakwaan sekaligus dan masing-masing berdiri sendiri.
e. dakwaan campuran: campuran dari dakwaan alternatif, subsidair, dan komulatif.
5) Syarat penggabungan perkara:
a) beberapa tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang yang sama.
b) sating sangkut-paut antara satu tp dengan tp yang lain.
c) tidak sangkut paut namun masih saling berhubungan dan dianggap perlu dalam proses
pemeriksaan.
2. Pemeriksaan di muka sidang pengadilan
a. Penentuan Hari Sidang Dan Pemanggilan
Penentuan hari sidang di tentukan oleh hakim yang di tunjuk oleh ketua
pengadilan untuk menyidangkan perkara (Pasal 152 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini,
hakim tersebut memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa
dan sanksi untuk datang disidang pengadilan (Pasal 152 ayat (2) KUHAP).
b. Pemeriksaan Perkara Biasa
20
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadila. Pertama,
pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan singkat; ketiga, pemeriksaan cepat.
Pemeriksaan cepat dibagi lagi alas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara
pelanggaran lalu lintas jalan.
c. Pemeriksaan Singkat
Seperti telah disebut dimuka, ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku
juga bagi pemeriksaan singkat, kecuali ditentukan. Hal ini dapat dibaca dalam pasal
203 ayat (3) yang mengatakan bahwa dalam acara ini (acara pemeriksaan singkat)
berlaku ketentuan bagian kesatu, Bagian kedua, Bagian ketiga bab ini (XVI), sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuannya.
d. Pemeriksaan Cepat
Istilah yang dipakai HIR ialah perkara rol. Ketentuan tentang acara pemeriksaan
biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu.
3. Putusan hakim pidana
a. Acara pengambilan keputusan
Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia
mempersilahkan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu
giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaann)a yang dapat
dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat
hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182 ayat (1) KUHAP).
b. Isi keputusan hakim
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan, Bentuk-
bentuk putusan pengadilan dalam perkara pidana:
1) Putusan Bebas: jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
dipersidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan.
2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti , tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3) Putusan pemidanaan: Jika terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada
waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan
mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir (vonnis), tetapi merupakan suatu
ketetapan.
c. Formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim
Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu
putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi,
kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum.
d. Subtansi putusan hakim
Surat putusan pemidanaan memuat:[12]
21
1) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
TUHAN YANG MAHA ESA".
2) Nama lengkap, tempat lahir, umur, tanggal lahir, jenis kelamin
3) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
4) Pertmbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh di sidang pemeriksaan
5) Tuntutan pidana
6) Pasal aturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
7) Hari dan tanggal diadakannnya musyawarah majelis hakim
8) Pernyataan kesalahan terdakwa
9) Ketentuaan kepada siap biaya perkara dibebankan
10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya
kepalsuan itu, jika dianggap ada akta oetentik yang palsu
11) Perintah supaya terdakwa ditahanatau tetap dalam tahanan atu dibebaskan
12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut, nama hakim yang memutus dan nama
panitera.
4. Upaya hukum
Adapun upaya hukum dibagi menjadi dua, yaitu:[13]
a. Upaya hukum biasa
KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa
merupakan Bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII. Upaya hukum
biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan banding dan bagian
kedua tentang pemeriksaan kasasi.
1) Pemeriksaan tingkat banding Pemeriksaan tingkat Banding
a) Hakim terdiri dari hakim majelis ( sekurang -kurangnya 3 orang )
b) Dasar pemeriksaan adalah berkas perkara yang diterima dari PN (yang sudah dikirim
dalam waktu 14 Hari) berkas -berkas yang dikirim adalah:
i. Berita acara penyidikan
ii. Berita acara pemeriksaan sidang
iii. Alat-alat bukti yang ada serta surat -surat tertentu yang timbul dipengadilan
iv. Putusan pengadilan
c) Dalam pemeriksaan hakim banding adalah berkas -berkas perkara yang dikirim oleeh
PN tetapi jika perlu maka hakim PT dapat memanggil saksi-saksi, terdakwa atu
penuntut umum. Untuk melakukan konfirmasi. Hakim PT juga dapat memerintahkan
untuk melakukan pemeriksaan tambahan kepada PN atau melakukan sendiri.
2) Kasasi
Alasan-alasan dalam pengajuan kasasi:
a) Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
dalam memeriksa dan memutus sengketa yang bersangkutan.
b) Pengadilan telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Pengadilan lalai memenuhi syarat -syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
22
Sedangkan tata cara pengajuan Kasasi adalah sebagai berikut:
a) Diajukan dalam waktu empat belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada
terdakwa.
b) Permintaan tersebut ditulis oleh panitera dan ditandatangani oleh pemohon dan
panitera.
c) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohoan
kasasi dalam waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diterirna panitera. Apabila dalam
tenggangwaktu tersebut pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak
untuk mengajukan kasasi gugur.
d) Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung oleh Panitera selambat-lambatnya 14
hari setelah permohonan kasasi tersebut lengkap.
b. Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa tercantum didalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas
dua bagian, yaitu bagian kesatu pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum
dan bagian kedua peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
1) Kasasi demi kepentingan umum
a) Diajukan oleh Jaksa Agung untuk satu kali
b) putusan yang dapat dilakukan kasasi demi kepentingan hukum adalah semua
putusanpengadilan yang telah mempuyai kekuataan hukum Tetap
c) Tidak boleh merugikan kepentingan para pihak
d) Pengajuan melalui Hakim PN
2) Peninjauan Kembali
Alasan Peninjauan Kembali:
a) Ditemukan /terdapat alat bukti lain yang apabila alat bukti tersebut ada pada
saatpemeriksaan sidang berlangsung akan menyebabkan:[14]
i. Putusan bebas
ii. Putun Lepas dari segala tuntutan hukum
iii. Tuntutan tidak bisa diterima
iv. Memperoleh Pidana yang lebih ringan.
b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakn telah terbukti
itu, temyata bertentanan satu dengan yang lain.
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu ke khilafan atu suatu
kekeliruan yangnyata. Tata cara pengajuan peninjauan kembali:
d) Diajukan ke Mahkmah Agung melalui Panitera yan mengadili.
e) Permintaan peninjauan kembali tersebut oleh panitera ditulis dalam surat keterangan
yangditandatangani oleh panitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara.
5. Pelaksanaan putusan hakim pidana
Tata cara pelaksanaan putusan hakim pidana:
a. Pelaksanaan Putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP)
23
b. Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan didepan umum (Pasal 271 KUHAP)
c. Pidana dijalankan secara berturut-turut, jika terpidana dipidana penjara atau kurungan
dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum is menjalani pidana yang
dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana
yang dijatuhkan lebih dahulu (Pasal 272 KUHAP )
d. Jangka waktu pembayaran denda satu bulan dan dapat diperpanjang
e. Barang bukti yang dirampas oleh negara dilelang dan hasilnya dimasukkan ke kas
negara
f. Putusan ganti rugi dilaksanakan secara perdata
g. Biaya perkara dan ganti rugi ditanggung berimbang oleh para narapidana
h. Pidana bersyarat diawasi dan diamati sungguh-sungguh.
F. Alat-alat Bukti Perkara Pidana
Kata "bukti" berarti adalah suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup
untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut).[15] Secara terminologi
dalam hukum pidana bukti adalah hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan
oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan.[16]
Kata bukti sering digabungkan dengan istilah/kata lain seperti : alat bukti dan
barang bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan oleh terdakwa.[17]
Sedangkan barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. penyitaan, dan
atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud.
Sehingga keduanya dipergunakan pada waktu pembuktian di persidangan,
pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan
benar atau salahnya siterdakwa dalam sidang pengadilan.[18]
Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam
KHUAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalm HIR yang pada dasarnya sama
dengan ketentuan yang ada di Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di
negara-negara Eropa Kontinental.
Penyusunan alat-alat bukti negara-negara common law seperti Amerika Serikat
lain dari pada yang tercantum dalam KHUAP kita. Alat-alat bukti menurut Criminal
Procedure Law Amerika Serikat yang disebut Forms of evidence terdiri dari:
1. Real evidence (bukti sungguhan)
2. Documentary evidence (bukti dokumenter)
3. Testimonial evidence (bukti kesaksian)
4. Judicial evidence (pengamatan hakim)
Tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Kesaksian ahli
digabungkan dengan bukti kesaksian. Yang lain dari pada yang tercantum dalam
KHUAP kita, ialah real evidence yang berupa objek materiil (materil object) yang
24
meliputi tetapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata,
televisi, dan lain-lain. Benda-benda ini berwujud. Real evidence ini biasa disebut bukti
yang berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self). Bukti bentuk ini dipandang paling
bernilai dibanding bukti yang lain.
Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita
(Belanda), yang biasa disebut "barang bukti". Barang bukti yang berupa objek mareriil
ini tidak bernilai jika tidak di dentifikasi oleh saksi (dan terdakwa). Misalnya saksi
mengatakan, peluru ini saya rampas dari tangan terdakwa, barulah bernilai untuk
memperkuat keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti yang ada.
Menurut pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Adapun penjelasan dari alat bukti dalam perkara pidana yaitu:
1. Keterangan saksi; dalam praktek sering disebut dengan kesaksian. Kesaksian adalah
wujud kepastian yang diberikan kepada hakim di muka sidang tentang peristiwa yang
disengketakan dengan cara memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang
bukan salah satu pihak dalam sengketa, yang dipanggil secara patut oleh pengadilan.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Di dalam
penggolongannya keterangan saksi ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yatu
kelompok relatif dapat didengar kesaksiannya. yang secara absolut tidak boleh menjadi
saksi dan kelompok, yaitu:
a. Yang tidak dapat menjadi saksi secara absolut diantaranya anak yang belum berumur
15 tahun dan belum pernah kawin, orang yang sakit jiwa atau kurang ingatan meskipun
kadang-kadang ingatannya baik.
Yang tidak dapat menjadi saksi secara relatif diatur dalam pasal 168 KUHAP,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
1) keluarga sedarah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampi derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, ibu atau bapak dan
juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga.
3) suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercarai (pasal 169 KUHAP).
b. Di samping tidak cakap secara absolut maupun relatif juga terdapat pihak-pihak yang
karena jabatan, pekerjaan, harkat dapat meminta dibebaskan sebagai saksi terhadap hal-
hal yang dipercayakan kepada mereka dan hakim lah yang memutus soh atau tidaknya
alasan tersebut (pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP)[19]
Dalam memberikan kesaksian,pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak.
Dan bagaiman cara mengucapkan sumpah yang diucapkan dari seorang saksi dapat
25
dilihat dalam ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yakni "sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa is akan memberikan keterangan yang sebenarnya".[20]
3. Keterangan ahli: Pasal 186 KUHAP keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini (pasal 1 ke 28 KUHAP), tidak semua keterangan ahli dapat
dinilai sebagai alat bukti, melainkan yang dapat memenuhi syarat-syarat kesaksian
adalah yang diberikan dimuka persidangan (pasal 186 KUHAP).
4. Surat; merupakan segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan pikiran dan isi hati seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan atau
orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian. Pasal 187 KUHAP
menyebutkan surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas
sumpah jabatan atau dikutipkan dengan sumpah, adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat pembuktian yang
lain.
4. Petunjuk; Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik anttara yang satu dengan yang laiinya, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana atau siapa
pelakunya tersebut disebut dengan persangkaan undang-undang.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya,
baik anatara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana siapa pelakunya (pasal 188 ayat
(2) KUHAP) petunjuk sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh : a.
Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Penulisan atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksian berdasarkan had nurani (pasal 188 ayat (3) KUHAP).
5. Keterangan terdakwa: Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan
disidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui atau ia alami
sendiri.
Pasal 189 KUHAP menegaskan :
26
a. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b. keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
d. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan
alat bukti yang lain.[21]
Adapun barang bukti dapat juga diajukan kedalam persidangan namun hanya
berfungsi sebagai menguatkan keyakinan hakim terhadap benarnya telah terjadi suatu
tindak pidana dan dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Barang bukti
bisa berupa alat atau pun senjata yang dipergunakan pelaku kejahatan, jejak yang
ditinggalkan pelaku dan sebagainya.
G. Perbedaan antara Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acara Perdata
Hukum acara yang mengatur dan melaksanakan soal-soal peradilan disebut
hukum acara pengadilan, yang terdiri dari hukum acara perdata dan hukum acara
pidana.
Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan
bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara perkara keperdataan
dalam arti luas dan cara melaksanakan putusan-putusan (Vonnis) hakim juga diambil
berdasarkan peraturan-peraturan tersebut. Dapat juga disebut rangkaian peraturan-
peraturan hukum tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata
material.[22]
Adapun lapangan keperdataan itu memuat peraturan-peraturan tentang keadaan
hukum dan perhubungan hukum yang mengenai kepentingan-kepentingan perorangan,
misinya: soal perkawinan, jual bell, sewa menyewa, hak milik, hutang piutang, waris,
dan lain-lain. Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan
yaitu: pengadilan perdata, kantor catatan sipil, notaris, juru sita, juru lelang dan lain
sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara pidana yaitu rangkaian peraturan
hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan tentang
perkara-perkara kepidanaan dan dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh
hakim. Adapun lapangan hukum kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan,
penyeldikan, penahanan, pemasyarakatan dan lain-lainya.[23]
A. Simpulan
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud hukum acara pidana yaitu keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana.
27
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materiil.
Kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat. Sedangkan
Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum
acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya
permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang terdapat pada hukum acara pidana yaitu:
a. Asas persamaan di muka hukum ( Equality Before The Law)
b. Asas perintah tertulis dari yang berwenang penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat berwenang
dan dengan cara yang diatur oleh undang-undang.
c. Asas praduga tak bersalah (presumtion of innocent)
d. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah faham dan salah
tuntut.
e. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak.
f. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya
g. Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
h. Asas hadirnya terdakwa
i. Asas pemeriksaan di muka umum
j. Asas pengawasan pelaksanaan putusan
4. Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana yaitu: Tersangka,
Terdakwa, Terpidana, Saksi, Saksi ahli, Penyidik, Penyelidik, Penyidik pembantu,
Jaksa, Hakim, Advokat kuasa hukum dan Pejabat aparat eksekusi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, H. R. 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat. Jakarta: Restu Agung.
Hamzah, Andi. 1984. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Kansil, C.T.S. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2013. Hukum Acara Pidana. cet. Ke-1. Jakarta: Djambatan.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2014. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara Pidana. Indralaya:
Universitas Sriwijaya.
Salam, Faisal. 2012. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Mandar Maju.
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
28
Yudowidagdo, Hendraswanto. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
29
Top Related