Download - maritim makalah

Transcript
Page 1: maritim makalah

  1  

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum .wr .wb

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatNyalah

makalah ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Makalah mengenai Hukum Pengangkutan (Maritim) : Penerapan Asas

Cabotage dalam Industri Migas ini disusun atas dasar untuk memenuhi nilai

tugas makalah yang diberikan oleh dosen mata kuliah Hukum Maritim.

Pembahasan mengenai penerapan asas cabotage dalam industri

pengangkutan dan migas sangatlah penting maka dari itu, penulis berharap

semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembacanya yang ingin

mengetahui mengenai penerapan asas cabotage dalam industri migas.

Semoga makalah ini dapat menambah informasi bagi para pembacanya.

Penulis juga memohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah

ini.

Wassalammu’alaikum .wr .wb

Jakarta, 28 Mei 2012

Penulis

Page 2: maritim makalah

  2  

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 1

Daftar Isi ............................................................................................................ 2

Bab I : Pendahuluan

1. Latar Belakang ....................................................................................... 3

2. Pokok Permasalahan ............................................................................. 4

Bab II : ISI

2.1 Hukum Pengangkutan di Indonesia

2.1.1 Pengaturan di Indonesia............................................................ 5

2.1.2 Tentang Pengangkutan dengan Kapal ...................................... 6

2.2 Asas Cabotage ...................................................................................... 8

2.3 BP Migas.............................................................................................. 12

2.4 Penerapan asas Cabotage bagi Industri Migas

2.4.1 Kasus Posisi ............................................................................ 16

2.4.2 Penerapan asas cabbotage terhadap kapal-kapal dalam

industri migas di Indonesia ........................................................................ 17

Bab III : Penutup.............................................................................................. 21

Daftar Pustaka................................................................................................. 23

 

Page 3: maritim makalah

  3  

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah suatu negara, dengan kekayaan alam yang

melimpah, seperti bahan-bahan tambang emas, nikel, perak, minyak dan gas,

juga di bagian perkebunan, seperti kopi, kelapa sawit dan karet. Sebuah

Negara yang terdiri dari pulau-pulau, yang dihubungkan dengan laut yang

begitu luas, maka dalam hal menyalurkan seluruh kekayaan alam tersebut,

diperlukan suatu sistem pengangkutan laut yang memadai.

Sekitar tahun 2009 lalu, dunia hukum mengenai pengangkutan laut

dihebohkan dengan masalah penerapan asas Cabbotage, dengan

dikeluarkannya Inpres No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri

Perkapalan. Asas cabbotage adalah bahwa, setiap kapal yang melintas

dikawasan Indonesia harus berbenderakan bendera Indonesia. Menurut PP

tersebut, bahwa dengan menerapkan asas cabbotage maka kapal yang ada

haruslah berbendera Indonesia dengan konsekuensi bahwa kepemilikan atas

saham kapal tersebut, sebanyak 51% dipegang oleh Indonesia, badan hukum

Indonesia atau warga negara Indonesia.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai peran BP Migas dalam

hukum pengankutan laut di bidang minyak dan gas bumi. BP Migas berperan

sebagai Badan Pelaksana bagian Hulu dalam Penambangan Minyak dan Gas

Bumi. BP Migas mengatur seluruh kegiatan yang berhubungan dengan

bagian hulu dalam pertambangan Minyak dan Gas Bumi baik di darat maupun

di laut.

Mengenai isu asas cabbotage, BP Migas juga mengalami masalah.

Masalah terdapat pada kapal-kapal yang digunakan untuk melakukan

kegiatan hulu pertambangan minyak. Pada kegiatan hulu tersebut,

sebenarnya sebanyak 90% kapal adalah berbendera Indonesia, jadi tidak

terdapat masalah. Masalah timbul pada kapal jenis jack up rig dan 3D seismic

vessel. Sebanyak 10% kapal adalah berbendera asing, termasuk jenis kapal

tersebut, sedangkan jika diganti dengan bendera Indonesia, banyak dari

pihak Indonesia, seperti badan hukum Indonesia atau warga negara

Indonesia, mereka tidak mau mengambil resiko menanamkan modal pada

jeniskapal tersebut, padahal jenis kapal itu adalah hal yang penting dalam

pertambangan. Dikarenakan para pengusaha Indonesia tidak ingin

mengambil resiko, kedua jenis kappa tersebut adalah digunakan hanya dalam

Page 4: maritim makalah

  4  

jangka waktu yang relatif pendek, sekitar 20 hari sampai dengan 3 bulan saja,

dan hanya pada lokasi tertentu saja. Kemudian, tidak banyak industri

galangan kapal di Indonesia yang mampu memproduksinya karena biaya

yang mahal.

Hal ini berakibat kepada berhentinya operasi drilling rig, maka produksi

minyak pun terhenti. Ini berdampak pada berkurangnya produksi minyak

mentah siap jual atau lifting pada tahun 2011. Pada APBN 2011, pemerintah

mengasumsikan lifting pada tahun 2011 akan ada di posisi 970.000 barrel per

hari. Namun, akibat akumulasi masalah, antara lain masalah drilling rig, maka

target lifting diperkirakan akan berkurang menjadi 940.000 barrel per hari.

Tetapi kemudian pemeriintah mengeluarkan PP No 22 tahun 2011

tentang Angkutan Perairan Laut yang memiliki ketentuan pengecualian asas

cabotage terhadap industri migas. Lalu mentri perhubungan memberikan

jangka waktu kepada industri migas untuk segera melengkapi kapalnya

dengan bendera Indonesia, sampai dengan tahun 2015, pada Peraturan

Menteri Perhubungan No 48 tahun 2011.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan hukum pengangkutan di Indonesia?

2. Bagaimakah pengaturan asas cabbotage di Indonesia?

3. Apa peran BP Migas dalam proses pertambangan Minyak dan Gas,

termasuk hal pengangkutan hasil tambang?

4. Apa keuntungan diterapkannya asas cabbotage bagi BP Migas, terkait

dengan masalah Rig kapal?

Page 5: maritim makalah

  5  

BAB II ISI

2.1 Hukum Pengangkutan di Indonesia 2.1.1 Pengaturannya di Indonesia. Pengangkut, berdasar pasal 466 KUHD, dalam arti menurut title adalah

orang yang baik karena penggunaan penyediaan kapal menurut waktu atau

penggunaan penyediaan kapal menurut perjalanan, maupun karena

perjanjian lainnya, mengikatkan diri untuk melaksanakan pengenkutan

barang-barang seluruhnya atau sebagian menyebrang laut.

Menurut The Hague Rules 1924, pengangkut adalah baik pemilik kapal

atau pihak pengguna penyediaan kapal, dalam hal kapal di carter,

berdasarkan perjanjian pengangkutan.

Sedangkan menurut The Hamburg Rules 1978, pengangkut dibedakan

menjadi carriers dan actual carriers. Carriers adalah setiap orang untuk siapa

atau untuk atas nama siapa perjanjian pengangkutan barang di laut diadakan

dengan pihak yang berkepentingan dengan barang muatan. Sedang, actual

carriers adalah mereka melaksanakan pengakutan barang atau

melaksanakan sebagian pengangkitan dan termasuk didalamnya orang lalin

terhadap siapa pelaksanaannya telah dipercayakan padanya.

Pengaturan mengenai hukum pengangkutan laut di Indonesia, dahulu

diatur dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Buku V mengenai

Pengangkutan, pada KUHD mengatur tidak hanya mengenai pengangkutan

barang tetapi juga pengengkutan orang. KUHD hanya mengetur mengenai

pengangkutan melalui laut saja.

1. Bagian III, title 5 buku I, pasal 91 – 98 mengenai tugas pengangkut

serta juragan kapal yang berlayar di sungai dan perairan pedalaman.

2. Bagian II title 5 buku I pasal 86 – 90 mengenai kedudukan para

ekspeditur sebagai pengusaha kapal.

Kemudian pengaturan mengenai pengangkutan kapal ini berubah

sejak diundangkannya, UU No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, yang

kemudian diganti dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Mengenai peraturan pelaksanannya, Indonesia memiliki diantaranya

PP No 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, serta Inpres No. 5 tahun 2005

tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.

Page 6: maritim makalah

  6  

2.1.2 Tentang Pengangkutan dengan Kapal Kapal digunakan untuk berbagai perjanjian, antara lain adlaah sewa-

menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lainn

Jasa-jasa angkutan laut biasanya mengenai barang-barang besar atau

bulk comoditi dan juga dapat menempuh jarak jauh, lebih jauh jarak yang

ditempuh relatif akan lebih murah freightnya, ruang angkutan laut

dibandingkan dengan angkutan darat memang lebih besar dan luas. Kapal

dapat menampung sampai ribuan ratus ton.

Menurut KUHD pasal 309, kapal adalah semua bahtera papun

namanya dan papun sifatnya, yang ditujukan untuk berlayar. Menurut

Memiore van Toelechting, bahwa kapal adalah benda-benda yang dapat

berlayar dan bergerak di air, meliputi juga kapal keruk dan rakit yang tidak

ditujukan untuk berlayar di laut.

Pasal 309 ayat (2) bahwa kapal juga meliputi segala alat

perlengkapan, yaitu segala benda yang bukan suatu bagian dari kapal itu

sendiri namun diperuntukan untuk selamanya dipakai tetap dnegan kapal itu

Kapal laut ialah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di lautan

atau sementara di pakai disungai-sungai untuk dipakai mengarungi lautan

atau sementara mengarungi sunga-sungai.

Kapal laut Indonesia adalah kapal laut yang dimiliki oleh seorang atau

lebih warga negara Indonesia atau dimiliki untuk 2/3 bagian oleh seorang atau

lebih negara Indonesia dan untuk 1/3 bagian oleh seorang atau lebih

penduduk Indonesia, dengan syarat pemegang buku dari kapal tersebut

harus seorang waraga negara Indonesia (Pasal 311 KUHD RI pasal 2 ayat

(1)).

Sedangkan menurut UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kapal

adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu yang digerakkan

dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda,

termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah

permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak

berpindah-pindah.

Berdasar pasal 8 UU No 17 Tahun 2008, bahwa pengangkutan dalam

negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut dengan menggunakan kapal

berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak berkewarganegaraan

Indonesia. Disebutkan pula bahwa, kapal asing dilarang mengangkut

penumpang dan/atau barang antarpulau atau pelabuhan di wilayah perairan

Indonesia.

Page 7: maritim makalah

  7  

Bagi kapal laut yang diakui secara sah, dulu, menuru KUHD adahal

harus dapat memiliki paling tidak 1 dari 4 surat kapal, yaitu :

1. Surat Laut yang diberikan oleh Menteri Perhubungan Laut untuk

sesutau waktu tertentu kepada kapal laut Indonesia yang besarnya

dibagi dalam (inhoud) 500meter kubik briuto atau lebih yang bukan

suatu kapal laut nelayan dan bukan suatu kapal pesiar.

2. Surat - pas – kapal, yang menurut UU dibagi menjadi dua, yaitu :

o Pas Tahunan yang diberikan setahun sekali kepada kapal laut

Indonesia yang besarnya dibagian dalam adalah 20 meter kubik

bruto atau lebih tetapi kurang dari 50 meter kubik bruto dan

bukan suatu kapal nelayan atau kapal pesiar.

o Pas kecil diberikan kepada kapal laut Indonesia yang besarnya

kurang dari 20 M kubik dan bukan suatu kapal nelayan atau

kapal pesiar

3. Surat laut sementara : Diberikan kepada kapal laut Indonesia yang

memenuhi persyaratan perundang-undangan (ayat 2, pasal 1, 2, 3

pasal 311 KUHD) yang dibeli dan dibikin diluar wilayah Negara

Republik Indonesia yang dipesan oleh melalui menteri perhubungan

laut selama dalam pelayarannya ke Wilayah Indonesia oleh konsulat

RI setempat dapat diberi surat ijin berlayar (surat laut sementara, yang

apabila sudah sampai di wilayah Indonesoa, harus secepatnya ditukar

dengan surat laut.

Mengenai Kebangsaan Kapal, pasal 311 dan 312 KUHD mengatur

mengenai kebangsaan kapal Indonesia, kebangsaan kapal dinyatakan oleh

pemberian surat laut dan pas kapal.

Berdasarkan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa Tata

Cara pendaftaran kapal adalah sebagai berikut :

1. Permohonan pendaftaran diajukan kepada Pegawai Balik Nama

(pejabat pendaftar kapal)dengan disertai dokumen :

o Surat Ukur yang diberikan menurut ketentuan hukum yang

berlaku.

o Akta penyerahan pembuatan kapal/surat pembelian kapal/surat

tanda bukti kepemilikan lainnya␣ o Pendaftaran kapal untuk penggunaan kapal sebagai kapal

laut/kapal penangkap ikan laut atau kapal sungai␣ 2. Jika pendaftaran sebagai kapal laut/kapal penangkap ikan laut, maka

perlu tambahan dokumen berupa:

Page 8: maritim makalah

  8  

o Keterangan dari pemohon bahwa kapal tersebut adalah kapal

Indonesia menurut ketentuan 311 KUH Dagang, yaitu kapal yang

dapat dibuktikan sebagai kapal Indonesia berdasarkan surat-surat

laut dan pas-pas kapal (baik pas tahunan maupun pas kecil).

o Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk penetapan kebangsaan

kapal.

3. Berdasarkan permohonan tersebut Syahbandar (pejabat pendaftar

kapal) akan membuat akta pendaftarannya dan kepada pemilik kapal

diberikan salinan pertama pendaftaran /grosse akta pendaftaran (de

grosse van de acte can teboekstelling), apabila pemeriksaan data surat

dan pihak membuktikan kebenaran kepemilikannya, dan telah

memenuhi semua persyaratan.

4. Pendaftaran dapat dilakukan ditempat yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan, namun setelah didaftarkan dan tercatat di suatu

tempat, maka pendaftaran tersebut tidak dapat dipindahkan ke tempat

lain.

5. Pendaftaran tersebut dapat dicoret apabila:

o Kapal karam atau dibajak oleh pihak tertentu

o Kapal dibongkar

o Kapal laut/ kapal penangkap ikan laut kehilangan sifat sebagai

kapal Indonesia

Pendaftaran ini menganut stelsel negatif jadi nama yang tercantum dalam

daftar belum tentu menunjukkan sebagai pemilik kapal yang bersangkutan.

Jadi pemilik yang sebenarnya sewaktu-waktu dapat mengajukan haknya

kepada yang berwenang.

2.2 Asas Cabbotage

Istilah cabotage berasalh dari abad ke 19 di Prancis, dari kata caboter

“sail along a coast”, kemungkinan dari Spanyol cabo “cape, headland”.

Cabotage dalam kamus Oxford adalah the right ti operate sea, air, or

other transport services within a particular territory. Restriction of the

operation of sea, air or other transport services within or into a particular

country to that country’s own transport services.

Cabotage berarti prinsip yang memberi hak untuk beroperasi secara

komersial di dalam suatu negara hanya kepada perusahaan angkutan dari

negara itu sendiri secara eksklusif. Asas cabotage adalah kegiatan angkutan

laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan laut nasional dengan

Page 9: maritim makalah

  9  

menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki awak kapal

berkewarganegaraan Indonesia.

Penjelasan Pasal 8 ayat 1 UU 17 Tahun 2008 Penggunaan kapal

berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan

dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan

negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan nusantara serta

memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi perusahaan

angkutan laut nasional. Pada 2009, pelayaran nasional telah memenuhi

kebutuhan armada untuk angkutan laut batu bara dalam negeri dan angkutan

migas dalam negeri.

Lahirnya Asas Cabotage menjadi harapan baru bagi industri angkutan

laut nasional. Usaha mereka terjaga dan kedaulatan negara terlindungi dari

gangguan pihak asing. Ironisnya, setelah lahir peraturan mengenai kewajiban

kapal angkutan laut di dalam negeri berbendera Indonesia, industri angkutan

laut nasional masih belum dapat bangkit. Sebagai negara kepulauan terbesar

di dunia, Indonesia masih di bawah bayang-bayang negara lain. Sebelum

adanya Asas Cabotage, sebagian besar angkutan laut domestik dilayani

kapal-kapal berbendera asing. Hal ini menjadikan kepentingan usaha

angkutan laut nasional terpuruk. Atas dasar itu pada 7 Mei 2011, lahir Asas

Cabotage.

Asas ini memberikan kekuatan bahwa penyelenggaraan pelayaran

dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai. Artinya, negara pantai berhak

melarang kapal-kapal asing berlayar dan berdagang di sepanjang perairan

negara tersebut. Penerapan Asas Cabotage didukung ketentuan Hukum Laut

Intenasional, berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai atas

wilayah lautnya. Karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki

wilayah perairan tanpa izin dan alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal

bantuan dan memiliki izin atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas

keamanan dan ketertiban negara.

Mengenai asas cabotage sebenarnya telah diatur dalam Instruksi

Presiden No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Laut,

diinstruksikan Presiden kepada 13 Menteri dan para

Gubernur/Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk menerapkan asas

cabotage dengan konsekuen, dengan merumuskan kebijakan serta

mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas dan jabatan masing-

masing.

Kemudian keluar Keputusan menteri Perhubungan No 71 tahun 2005

tentang pengangkutan muatan /barang antar pulau di dalam negeri,

Page 10: maritim makalah

  10  

menetapkan road map penerapan asas cabotage berdasarkan komoditi yang

akan optimal terlaksana selambat-lambatnya 1 januari 2011.

Keluarnya UU No 17 tahun 2008 tentang pelayaran, memberikan

keberpihakan kepada asas cabotage ini, tertuang dalam pasal 8 ayat 1,

bahwa Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan

angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera merah putih

dan pada ayat 2 diyatakan bahwa, Kapal asing dilarang mengangkut

penumpang dan atau barang antar pelabuhan di Indonesia.

Untuk menunjang penerapan asas cabotage, pemerintah kemudian

mengeluarkan PP No 20 tahun 2012, pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa,

Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan

laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta

diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. PP No 20 tahun

2010, kemudian diubah dengan PP No 22 tahun 2011.

Secara ekonomi, tujuan diberlakukannya Asas Cabotage adalah untuk

meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan

kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut

nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini dapat meningkatkan produksi kapal

dalam negeri, karena seluruh kapal yang berlayar di perairan tanah air harus

berbendera Indonesia. Selain itu, Asas Cabotage difungsikan untuk

melindungi kedaulatan negara, khususnya di bidang industri maritim.

Melihat potensi bisnis angkutan kapal di Indonesia, khususnya migas

yang mencapai 4-5 miliar dolar AS per tahun, menjadi peluang besar bagi

industri maritim nasional. Ironisnya, berdasarkan laporan INSA pada 2009,

selama ini angkutan oil dan gas di Indonesia dilayani 54 unit kapal yang

seluruhnya berbendera asing. Atas lahirnya Asas Cabotage diharapkan

industri galangan kapal dalam negeri yang selama ini mati suri kembali hidup.

Sementara itu, dari data Kementerian Perhubungan, hingga September 2010,

jumlah kapal berbendera Indonesia tercatat sebanyak 9.835 unit. Rata-rata

kapasitas angkutan kapal-kapal tersebut 13,03 juta Gross Ton (GT) atau

meningkat dari 6.041 unit dengan kapasitas angkut 5,67 juta GT pada Maret

2005. Yaitu, terdiri dari 8.205 unit kapal berkapasitas angkut 12,4 juta GT

milik Perusahaan Angkutan Laut Nasional Pemegang Surat Izin Usaha

Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) dan 1.630 unit sisanya berkapasitas

angkut 591.337 GT milik perusahaan angkutan laut pemegang Surat Izin

Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS).

Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Asas Cabotage adalah

perusahaan pelayaran nasional tidak sepenuhnya memiliki kapal. Mereka

Page 11: maritim makalah

  11  

hanya menggantungkan usahanya pada kegiatan keagenan kapal. Kualitas

dan perusahaan pelayaran membengkak tanpa kontrol. Sebagai contoh, pada

September 1993 terdapat 1045 perusahaan pelayaran dan 389 perusahaan

non pelayaran. Pertambahan jumlah perusahaan pelayaran yang demikian

cepat tidak seimbang dengan pertambahan jumlah tonase kapal-kapal niaga.

Sampai 2001, tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran.

Terungkap, kondisi ini terjadi karena beban biaya yang harus dipikul

perusahaan pelayaran nasional sangat besar. Beban pajak yang berlapis-

lapis dan tinggi menghambat pertubuhan usaha angkutan kapal dalam negeri.

Masalah ini tidak dialami perusahaan kapal asing di negaranya. Mereka justru

banyak diberikan kemudahan baik dari segi permodalan maupun regulasinya.

Walhasil, persaingan antara kapal Indonesia dengan kapal asing menjadi

tidak fair.

Pada 19 November 2010, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 73 Tahun 2010 tentang

Perubahan atas Permenhub No 22 Tahun 2010 yang mengatur pengangkutan barang antarpelabuhan dalam negeri. Dalam revisi ini, batas waktu penggunaan kapal asing untuk angkutan barang antarpelabuhan di

dalam negeri diperpanjang hingga 7 Mei 2011. Padahal, mestinya asas cabotage yang ditetapkan pada 2005 itu harus dipatuhi paling lambat Januari 2011.

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono beralasan hal itu dilakukan lantaran pemerintah menilai Indonesia belum memiliki perusahaan kapal penunjang kegiatan lepas pantai yang memadai.

Sebelumnya, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menyatakan khawatir akan potensi penurunan produksi minyak mentah 200 ribu barel per hari atau US$2,6 miliar akibat penerapan

asas cabotage. Sebagai responsnya, selain merevisi permenhub, pemerintah bahkan juga akan segera mengajukan revisi terhadap Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran kepada DPR.

Menurut Menteri Perhubungan Freddy Numberi, setidaknya ada lima pasal dalam UU Pelayaran yang akan diamendemen untuk menghindari mandeknya produksi minyak nasional. Dalam amendemen itu, kapal

pendukung kegiatan lepas pantai akan dikeluarkan dari klasifikasi penerapan asas cabotage. Setengah hati Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Indonesian National Shipowners Association (INSA) Paulis Djohan menilai

keputusan pemerintah itu tidak konsisten. Menurut Paulis, keputusan itu menunjukkan pemerintah tidak serius ingin menjaga kedaulatan ekonomi bangsa di laut dengan mengoptimalkan potensi kapal offshore berbendera

Page 12: maritim makalah

  12  

Merah Putih.

2.3 BP Migas Penguasaan pertambangan Minyak dan Gas bumi dikuasai oleh

negara. Tujuan penguasaan oleh negara adalah agar hasil dari kekayaan

alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik untuk sebesar-besarnya bagi

rakyat banyak. Pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pemegang kuasa

pertambangan, yang diberikan dari negara, untuk melakukan kegiatan

eksploitasi dan ekplorasi.

Eksplorasi adalah kegiatan dengan tujuan utnuk memperoleh informasi

mengenai kondisi geologi, menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan

minyak dan gas bumi serta menentukan tempat wilayah kerja. Sedangkan

ekploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan

gas bumi dan menentukan mengenai tempat wilayah kerja.

Berdasarkan pasal 5 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi, kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibagi menjadi dua macam, yaitu

hulu dan hilir.

Kegiatan Hulu adalah kegiatan yang berintikan atau bertumpu pada

kegiatan usaha, yaitu usaha eksplorasi dan usaha eksploitasi. Kegiatan

eksploitasi adalah bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari

wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas :

1. Pengeboran dan penyelesaian sumur;

2. Pembangunan sarana pengankutan;

3. Penyimpanan;

4. Pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di

lapangan;

5. Kegiatan lain yang mendukungnya.

Kegiatan usaha hulu dikendalikan melalui kontrak kerja sama (KKS),

kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya

dipergunakan utnuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan kegiatan usaha hilir, yang diatur dalam pasal 1 angka 10,

pasal 5, pasal 23 – 25 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

adalah kegiatan yang bertumpukan pada kegiatan usaha :

1. Pengolahan;

2. Pengangkutan;

3. Penyimpanan;

4. Niaga.

Page 13: maritim makalah

  13  

Agar peranan minyak dan gas bumi terlaksana dengan baik, dalam UU

No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka diatur mengenai

tugas dan wewenang kelembagaan dalam bidang Minyak dan Gas Bumi :

1. Pemerintah (Departemen ESDM, direktorat jendral minyak dan gas

bumi), melaksanakan tugas-tugas kebijakan, pengaturan, pembinaan

dan pengawasan dalam penyelenggaraan penguasaan minyak dan

gas bumi.

2. Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), melaksanakan

tugas pengendalian ketentuan dalam kontrak kerja sama pada

kegiatan usaha hulu migas.

3. Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), mengalokasikan

persediaan dan pendistribusian BBM serta menetapkan tariff

pengangkutan gas bumi melalui pipa.

Lembaga yang berwenang dalam melakukan pengendalian kegiatan

usaha hulu adalah badan pelaksana, sedangkan dalam usaha hilir adalah

badan pengatur. Mengenai badan pelaksana diatur dalam pasal 1 angka 23,

pasal 44 – 45 uu No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Kedudukan badan pelaksana merupakan badan hukum milik negara.

Fungsi dari badan pelaksana adalah melakukan pengawasan terhadap

kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas

bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang

maksimal bagi negara dan rakyat.

Pengaturan mengenai badan pelaksana adalah PP No 42 tahun 2002

tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP

Migas), yaitu pada pasal 11 mengenai tugas dari BP Migas :

1. Memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijaksanaannya

dalam hal penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja

sama;

2. Melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama;

3. Mengkaji dan menyempaikan rencana pengembangan lapangan yang

pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada

menteri untuk emndapatkan persetujuan;

4. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan;

5. MEmberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

6. Melaksanakan pengawasan dan melaporkan kepada menteri

mengenai pelaksanaan kontrak kerja sama;

7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang

dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada negara.

Page 14: maritim makalah

  14  

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP

Migas) dalam melakukan kegiata hulunya, tentunya membutuhkan sarana

pengangkutan yang memadai agar hasil dari pertambangan Minyak dan Gas

Bumi dapat memberikan manfaat dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi

rakyat banyak.

Industri hulu migas, setiap tahun mengoperasikan lebih dari 600 buah

kapal, 90% dari kapal-kapal tersebut adalah berbendera Indonesia, sisanya

adalah berbendera asing, sekitar 60 kapal. Dilihat dari jenis kapalnya yang

masih berbedera asing adalah, kapal jenis Jack Up Rig dan 3D Seismic

Vessel, yang keduanya adalah kapal besar penunjang kegiatan eksploitasi

minyak dan gas.

Kapal 3D Seismic Vessel adalah kapal survey untuk menunjang

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di laut.

Jack Up Rig adalah salah satu jenis Rig. Rig adalah serangkaian

peralatan khusus yang digunakan untuk membor sumur atau mengakses

sumur. Ciri utama rig adalah adanya menara yang terbuat dari baja yang

digunakan untuk menaik-turunkan pipa-pipa tubular sumur.

Rig pengeboran adalah suatu bangunan dengan peralatan untuk

melakukan pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah untuk memperoleh

air, minyak, atau gas bumi, atau deposit mineral bawah tanah. Rig

pengeboran bisa berada di atas tanah (on shore) atau di atas laut/lepas

pantai (off shore) tergantung kebutuhan pemakaianya. Walaupun rig lepas

pantai dapat melakukan pengeboran hingga ke dasar laut untuk mencari

mineral-mineral, teknologi dan keekonomian tambang bawah laut belum

dapat dilakukan secara komersial. Oleh karena itu, istilah "rig" mengacu pada

kumpulan peralatan yang digunakan untuk melakukan pengeboran pada

permukaan kerak Bumi untuk mengambil contoh minyak, air, atau mineral.

Rig pengeboran minyak dan gas bumi dapat digunakan tidak hanya

untuk mengidentifikasi sifat geologis dari reservoir tetapi juga untuk membuat

lubang yang memungkinkan pengambilan kandungan minyak atau gas bumi

dari reservoir tersebut.

Umumnya, rig dikategorikan menjadi dua macam menurut tempat

beroperasinya:

1. Rig darat (land-rig): beroperasi di darat.

2. Rig laut (offshore-rig): beroperasi di atas permukaan air (laut, sungai,

rawa-rawa, danau atau delta sungai).

Ada bermacam-macam offshore-rig yang digolongkan berdasarkan

kedalaman air:

Page 15: maritim makalah

  15  

1. Swamp barge: kedalaman air maksimal 7m saja. Sangat umum dipakai

di daerah rawa-rawa atau delta sungai.

2. Tender barge: mirip swamp barge tetapi di pakai di perairan yang lebih

dalam.

3. Jackup rig: platform yang dapat mengapung dan mempunyai tiga atau

empat “kaki” yang dapat dinaik-turunkan. Untuk dapat dioperasikan,

semua kakinya harus diturunkan sampai menginjak dasar laut. Terus

badan rig akan diangkat sampai di atas permukaan air sehingga

bentuknya menjadi semacam platform tetap. Untuk berpindah dari satu

tempat ke tempat lain, semua kakinya haruslah dinaikan terlebih

dahulu sehingga badan rig mengapung di atas permukaan air. Lalu rig

ini ditarik menggunakan beberapa kapal tarik ke lokasi yang dituju.

Kedalaman operasi rig jackup adalah dari 5m sampai 200m.

4. Drilling jacket: platform struktur baja, umumnya berukuran kecil dan

cocok dipakai di laut tenang dan dangkal. Sering dikombinasikan

dengan rig jackup atau tender barge.

5. Semi-submersible rig: sering hanya disebut “semis” merupakan rig

jenis mengapung. Rig ini “diikat” ke dasar laut menggunakan tali

mooring dan jangkar agar posisinya tetap di permukaan. Dengan

menggunakan thruster, yaitu semacam baling-baling di sekelilingnya,

rig semis mampu mengatur posisinya secara dinamis. Rig semis sering

digunakan jika lautnya terlalu dalam untuk rig jackup. Karena

karakternya yang sangat stabil, rig ini juga popular dipakai di daerah

laut berombak besar dan bercuaca buruk.

6. Drill ship: prinsipnya menaruh rig di atas sebuah kapal laut. Sangat

cocok dipakai di daerah laut dalam. Posisi kapal dikontrol oleh sistem

thrusterberpengendali komputer. Dapat bergerak sendiri dan daya

muatnya yang paling banyak membuatnya sering dipakai di daerah

terpencil atau jauh dari darat.

Dari fungsinya, rig dapat digolongkan menjadi dua macam:

1. Drilling rig: rig yang dipakai untuk membor sumur, baik sumur baru,

cabang sumur baru maupun memperdalam sumur lama.

2. Workover rig: fungsinya untuk melakukan sesuatu terhadap sumur

yang telah ada, misalnya untuk perawatan, perbaikan, penutupan, dsb.

Page 16: maritim makalah

  16  

2.4 Penerapan asas cabotage bagi Indutri Migas. 2.4.1 Kasus Posisi

Pada tahun 2005 lalu, presiden mengeluarkan sebuah Inpres yaitu,

Inpres No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional,

dalam Inpres tersebut ditekankan mengenai penerapan asas cabotage,

bahwa setiap kapal yang berlayar di wilayah perairan Indonesia, yang

digunakan untuk kegiatan pengangkutan adalah harus berbendera Indonesia.

Implikasi dari diterapkannya hal ini, tidak hanya persoalan mengenai

penggantian bendera tetapi juga menyangkut kepemilikan saham, bahwa

perusahaan kapal tersebut haru dimiliki sahamnya oleh orang Indonesia,

sebanyak 51% saham.

Industri hulu Migas, menyangkut BP Migas sebagai badan pelaksana

kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, melaksanakan tugas

pengendalian ketentuan dalam kontrak kerja sama pada kegiatan usaha hulu

migas, ikut merasakan penerapan asas cabotage ini.

Sebenarnya, BP Migas tidak begitu memikirkannya, karena sebanyak

90% dari kapal yang dipergunakan oleh BP Migas untuk kegiatan usaha hulu

adalah telah berbendera Indonesia, dan hanya sekitar 10% saja yang

berbendera asing.

Masalah timbul karena 10% dari kapal tersebut yang berbendera

asing, adalah termasuk jenis kapal Jack Up Rig dan 3D seismic vessel, kapal

besar yang sangat menunjang kegiatan hulu pertambangan minyak dan gas

bumi.

Jack Up Rig dan 3D Seismic Vessel masuk ke dalam katagori kapal

menurut UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, karena termasuk dalam

pengertian kapal pada pasal 1 angka 36, Kapal adalah kendaraan air dengan

bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga

mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang

berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat

apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Jack Up rig dan 3D Seismic Vessel adalah alat apung atau bangunan

terapung yang tidak berpindah-pindah, maka dari itu masuk dalam katagori

kapal menurut UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Masalah ini menjadi serius karena dengan berhentinya operasi drilling

rig, maka produksi minyak pun terhenti. Ini berdampak pada berkurangnya

produksi minyak mentah siap jual atau lifting pada tahun 2011. Pada APBN

2011, pemerintah mengasums ikan lifting pada tahun 2011 akan ada di posisi

Page 17: maritim makalah

  17  

970.000 barrel per hari. Namun, akibat akumulasi masalah, antara lain

masalah drilling rig, maka target lifting diperkirakan akan berkurang menjadi

940.000 barrel per hari.

Sebelumnya, untuk mencegah penghentian operasi pengeboran

minyak lepas pantai akibat masalah azas cabotage, pemerintah akan

membuat sebuah aturan yang berfungsi sebagai penjembatan antara undang-

undang pelayaran dengan kebutuhan pelaku usaha di bidang pengeboran

minyak. Aturan ini akan ditetapkan dalam sebuah peraturan pemerintah yang

memberikan pengecualian pada drilling rig atau fasilitas eksploitasi minyak

lepas pantai sebagai alat yang tidak terkena azas cabotage .

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)

mewujudkan semangat Nasionalisme melalui penandatanganan perjanjian

komitmen penggunaan armada kapal berbendera Indonesia untuk operasi

hulu minyak dan gas bumi dengan sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama

(KKS) yang beroperasi di Indonesia.

Kontraktor KKS yang menandatangani komitmen penggunaan kapal

Nasional untuk operasi hulu minyak dan gas bumi di Indonesia adalah

Santos, Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore, JOB Pertamina –

Petrochina East Java, Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java,

CNOOC SES Ltd, Star Energy, Sele Raya dan Kangean Energi Indonesia.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

(BPMIGAS) memperkirakan hingga tahun 2015, industri hulu minyak dan gas

bumi membutuhkan tambahan armada baru sebanyak 235 kapal berbendera

Indonesia dari berbagai jenis, kapasitas dan ukuran untuk memenuhi azas

cabotage yang tercantum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran dan Peraturan Menteri Perhubungan No 48 tahun 2011 yang

menetapkan batas waktu untuk pemenuhan kapal-kapal tersebut adalah

tahun 2015.

2.4.2 Penerapan asas cabbotage terhadap kapal-kapal dalam industri migas di Indonesia Cabotage berarti prinsip yang memberi hak untuk beroperasi secara

komersial di dalam suatu negara hanya kepada perusahaan angkutan dari

negara itu sendiri secara eksklusif. Asas cabotage adalah kegiatan angkutan

laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan laut nasional dengan

menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki awak kapal

berkewarganegaraan Indonesia.

Page 18: maritim makalah

  18  

Pasal 8 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, kemudian Inpres No

5 Tahun 2005, lalu PP No 22 Tahun 2011, telah memberikan kejelasan

bahwa asas cabotage harus diterapkan dalam sistem pengangkutan laut di

Indonesia.

Dikarenakan Jack Up Rig dan 3D Seismic Vessel adalah termasuk

dalam katagori kapal menurut UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, maka

kedua jenis kapal tersebut masuk ke dalam penerapan asas cabotage.

Bahwa mereka haruslah berbendera Indonesia dalam melaksanakan

kegiatannya di wilayah perairan Indonesia.

Masalah timbul dalam penerapan asas cabotage ini, karena kedua

jenis kapal tersebut tidak dimiliki oleh banyak perusahaan Indonesia, karena

jangka waktunya yang relatif sebentar, tidak ada pengusaha Indonesia yang

berminat untuk melakukan investasi dalam hal Jack Up Rig dan 3D Seismic

Vessel. Jack Up rig akan selesai digunakan ketika pengeboran selesai,

kemudian 3D seismic vessel hanya digunakan untuk survey pada lokasi

tertentu saja, selama 20 hari – 3bulan, jadi kontraknya tidak bisa dibuat

tahunan. Di Indonesia tidak terdapat galangan kapal yang mampu membuat

kapal jenis tersebut, akrena itu termasuk kapal mahal dan butuh biaya besar

untuk membuatnya.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, agar industri Migas masih

dapat tetap berjalan, maka pemerintah mengeluarkan PP No 22 Tahun 2011

tentang Perubahan terhadap PP No 20 tahun 2010 tentang Angkutan di

Perairan Laut. Dalam PP tersebut, ada pengecualian terhadap penerapan

asas cabotage.

Pengecualian tersebut adalah bahwa kapal asing dapat melakukan

kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengengkut penumpang dan/atau

barang dalam negeri di wilayah perairan di Indonesia sepanjang kapal

berbedera Indonesia belum tersedia atau cukup tersedia. Kapal asing

tersebut wajib memiliki izin dari mentri Perhubungan. Kegiatan lain tersebut

adalah meliputi kegiatan:

1. Survey Minyak dan Gas Bumi;

2. Pengeboran;

3. Kontruski lepas pantai;

4. Penunjang operas lepas pantai;

5. Pengerukan;

6. Salvage dan pekerjaan bawah air.

Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 206a PP No 22 tahun 2011.

Page 19: maritim makalah

  19  

Ketentuan tersebut dibuat dengan maksud untuk menjaga

kelangsungan industri Migas di Indonesia. Karena dengan pemberlakuan asa

cabotage produksi minyak pun terhenti. Berdampak pada berkurangnya

produksi minyak mentah siap jual atau lifting pada tahun 2011. Pada APBN

2011, pemerintah mengasumsikan lifting pada tahun 2011 akan ada di posisi

970.000 barrel per hari. Namun, akibat akumulasi masalah, antara lain

masalah drilling rig, maka target lifting diperkirakan akan berkurang menjadi

940.000 barrel per hari.

Untuk membantu agar perhatian industri galangan kapal nasional

terpusat pada peningkatan standar, BP MIGAS telah menetapkan ada tiga

prinsip dalam pengadaan kapal, yakni kualitas mutakhir, harga yang cukup

kompetitif, dan ketepatan waktu pengiriman. Syarat ini juga diberlakukan

pada barang-barang penunjang operasi lainnya yang dikerjakan di Indonesia.

Pengusaha dan galangan kapal harus dipaksa memenuhinya, jika pengguna

tidak memacu perkembangan industri dalam negeri, niscaya kemandirian

hanya angan-angan.

Jadi pada dasarnya penerapan asas cabotage ini adalah suatu pijakan

awal aga Indonesia menjadi negara yang lebih maju, agar Indonesia dapat

membuat sendiri kapal-kapal yang akan digunakan untuk melakukan

pengangkutan di Indonesia, termasuk kapal-kapal kelas berat sekelas jack up

Rig dan 3D seismic vessel.

Tetapi terdapat pro dan kontra terhadap ketentuan pasal 206a PP No

22 tahun 2011, karena pemerintah dianggap tidak konsekuen dengan apa

yang telah ditentukan di awal. Pemerintah tidak berusaha dengan sungguh-

sungguh dalam melakukan asas cabotage.

Dengan diberlakukannya PP tersebut, memang Industri migas di

Indonesia akan kembali bergerak, tetapi indsutri perkapalan dan

pengangkutan di Indonesia akan sulit berkembang, pengusaha galangan

kappa yang tadinya dituntut untuk membuat kapal-kapal kelas berat seperti

Rig dan 3D Seismic Vessel menjadi tidak bersemangat kembali karena

dikeluarkannya peraturan ini, mereka harus bersaing dengan para kapal asing

yang memproduksi kapal-kapal tersebut.

Walaupun begitu, Mentri perhubungan melalui Peraturan Menteri

Perhubungan No 48 tahun 2011 menetapkan jangka waktu agar industri

migas cepat melakukan pemenuhan atas kapal-kapalnya, sehingga harus

berbendera Indonesia, yaitu hingga tahun 2015. Padahal industri perkapalan dalam bidang Minyak dan Gas adalah

sangat besar dan dapat dibilang dapat menghasilkan untung yang tidak

Page 20: maritim makalah

  20  

sedikit, juga dapat memajukan teknologi perkapalan Indonesia, serta

memajukan sistem pengangkutan di Indonesia. Walaupun pada awalnya

dibutuhkan biaya yang tidak sedikit bahkan relatif besar untuk membuat

kapal-kapal tersebut, tetapi jika asas cabotage dapat benar-benar diterapkan

maka mau tidak mau para pengusaha galangan kapal akan membuatnya dan

mau tidak mau indutri migas akan menyewa atau membeli kapal-kapal kelas

berat tersebut untuk keperluan survey atau pengeboran atau hal-hal yang

berkaitan dengan kegiatan hulu dalam minyak dan gas bumi.

BP Migas berkeinginan untuk menjunjung tinggi nasionalisme dan

mendukung penerapan asas cabotage, sehingga Badan Pelaksana Kegiatan

Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) mewujudkan semangat

Nasionalisme melalui penandatanganan perjanjian komitmen penggunaan

armada kapal berbendera Indonesia untuk operasi hulu minyak dan gas bumi

dengan sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) yang beroperasi di

Indonesia. Kontraktor KKS yang menandatangani komitmen penggunaan

kapal Nasional untuk operasi hulu minyak dan gas bumi di Indonesia adalah

Santos, Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore, JOB Pertamina –

Petrochina East Java, Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java,

CNOOC SES Ltd, Star Energy, Sele Raya dan Kangean Energi Indonesia.

Page 21: maritim makalah

  21  

BAB III KESIMPULAN

1. Pengaturan mengenai Hukum Pengangkutan di Indonesia adalah : o Kitab undang-undang Hukum Perdata, buku III tentang perikatan

o Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Buku V tentang pengangkutan

o UU No 21 tahun 1992 yang kemudian diganti dengan UU No 17 tahun

2008 tentang Pelayaran

o PP No 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan

o PP No 20 Tahun 2010 yang diubah dengan PP No 22 tahun 2011

tentang Angkutan Perairan Laut

o Inpres No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran

Nasional

o Peraturan Menteri Perhubungan No 48 tahun 2011

2. Asas Cabotage dalam Hukum Pengangkutan di Indonesia.

o Asas Cabotage berarti prinsip yang memberi hak untuk beroperasi

secara komersial di dalam suatu negara hanya kepada perusahaan

angkutan dari negara itu sendiri secara eksklusif. Asas cabotage adalah

kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan

laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta

diawaki awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

o Pengaturan mengenai penerapan asas cabotage terdapat dalam UU No

17 tahun 2008 tentang Pelayaran, kemudian PP No 20 tahun 2010 yang

diubah dengan PP No 22 tahun 2011 tentang Angkitan perairan laut.

Serta Inpres No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Indsutri Pelayaran

Nasional.

3. Peran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi. o Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), melaksanakan

tugas pengendalian ketentuan dalam kontrak kerja sama pada kegiatan

usaha hulu migas. Kedudukan badan pelaksana merupakan badan

hukum milik negara. Fungsi dari badan pelaksana adalah melakukan

pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber

daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan

manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara dan rakyat.

o Pengaturan mengenai BP Migas terdapat dalam UU No 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi, serta PP No 42 tahun 2002 tentang

Page 22: maritim makalah

  22  

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP

Migas)

o Industri hulu migas, setiap tahun mengoperasikan lebih dari 600 buah

kapal, 90% dari kapal-kapal tersebut adalah berbendera Indonesia,

sisanya adalah berbendera asing, sekitar 60 kapal. Dilihat dari jenis

kapalnya yang masih berbedera asing adalah, kapal jenis Jack Up Rig

dan 3D Seismic Vessel, yang keduanya adalah kapal besar penunjang

kegiatan eksploitasi minyak dan gas.

4. Keuntungan penerapan asas cabotage dalam industri migas dan pengangkutan di Indonesia.

o Ketentuan mengenai pengecualian penerapan asas cabotage dalam

sistem pengankutan laut di Indonesia pada bidang industri Migas dibuat

dengan maksud untuk menjaga kelangsungan industri Migas di

Indonesia. Karena dengan pemberlakuan asa cabotage produksi minyak

pun terhenti. Berdampak pada berkurangnya produksi minyak mentah

siap jual atau lifting pada tahun 2011.

o Untuk membantu agar perhatian industri galangan kapal nasional

terpusat pada peningkatan standar, BP MIGAS telah menetapkan ada

tiga prinsip dalam pengadaan kapal, yakni kualitas mutakhir, harga yang

cukup kompetitif, dan ketepatan waktu pengiriman. Syarat ini juga

diberlakukan pada barang-barang penunjang operasi lainnya yang

dikerjakan di Indonesia.

o Pengusaha dan galangan kapal harus dipaksa memenuhinya, jika

pengguna tidak memacu perkembangan industri dalam negeri, niscaya

kemandirian hanya angan-angan.

o Jadi pada dasarnya penerapan asas cabotage ini adalah suatu pijakan

awal agar Indonesia menjadi negara yang lebih maju, agar Indonesia

dapat membuat sendiri kapal-kapal yang akan digunakan untuk

melakukan pengangkutan di Indonesia, termasuk kapal-kapal kelas

berat sekelas jack up Rig dan 3D seismic vessel.

o Pada dasarnya penerapan asas cabotage dalam indutri migas di

Indonesia tidak akan memberikan kerugian pada pemasukan negara

melalui migas, jika diterapkan dengan benar. Jutru akan lebih

menghemat pengeluaran karena memakai kapal buatan dalam negeri,

serta memberikan keuntungan juga bagi industri perkapalan dan

pengangkutan Indonesia.

Page 23: maritim makalah

  23  

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

The Hague Rules, 1924

The Hamburg Rules, 1978

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan

oleh Subekti. Jakarta: PT Pradnya Pramita, 2009

Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan UU Kepailitan (Wetboek van

Koophandel en Faillissements-verordening). Diterjemahkan oleh

Subekti. Jakarta: PT Pradnya Pramita, 2006.

Indonesia. Undang-undang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. TLN. No.

4849

Indonesia. Peraturan Pemerintah Perkapalan. PP No. 51 tahun 2002. TLN.

No. 4227

Indonesia. Peraturan Pemerintah Angkutan Peraturan Laut. PP No. 20 Tahun

2010. TLN. No. 5108

Indonesia. Peraturan Pemerintah mengubah PP No 20 tahun 2010 Angkutan

Perairan Laut. PP No. 22 Tahun 2011. TLN. No. 5268 Indonesia. Instruksi Presiden Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.

Inpres No. 5 tahun 2005.

Indonesia. Peraturan menteri Perhubungan Tata Cara Pemberian Izin

Penggunaan Kapal Asing untuk kegiatan Lain yang tida Termasuk

kegiatan mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan

Angkutan Laut dalam Negeri. Peraturan Menteri Perhubungan No 48

tahun 2011.

Indonesia. Undang-undang Minyak dan Gas Bumi. UU No 22 Tahun 2011.

TLN. No. 4152

Indonesia. Peraturan pemerintah BP Migas. PP No 42 Tahun 2002. TLN. No.

4216

Buku

Adji, Sution Usman, Djoko Prakoso, dan Hari Pramono. Hukum

Pengangkutan di Indonesia. Cet. 2. Jakarta: PT Rinka Cipta, 1991.

Motik, Chandra. Serba Serbi Konsultasi Hukum Maritim. Cet. 1. Jakarta:Ind-

Hill-Co, 2003.

Salim, H. Hukum Pertambangan di Indonesia. Cet. 5. Jakarta: PT

RajaFrafindo Persada, 2010.

Page 24: maritim makalah

  24  

Soedjono, Wiwoho. Seri Hukum Dagang : Hukum Pengangkutan Laut di

Indonesia dan perkembangannya. Cet. 1. Yogyakarta: Liberty, 1987.

Soempena, S. Buku Tentang Hukum Laut. Jakarta, 1997

Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2011

Tjakranegara, Soegijatna. Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang.

Cet. 1. Jakarta: PT Rinka Cipta, 1995.

Artikel Buletin. BP Migas. “Asas Cabotage, Musibah atau Anugerah?.” Buletin BP Migas.

(September 2009). Hlm. 2

BP Migas. “Mendorong Penerapan Asas Cabotage yang Komprehensif.”

Buletin BP Migas. (September 2009). Hlm. 3 – 5

BP Migas. “Dukung Asas Cabotage: BP Migas Haruskah KKKS Gunakan

Kapal Berbendera Indonesia?.” Buletin BP Migas. (September 2009).

Hlm. 6-7

BP Migas. “Wawancara dengan Budi Indianto, Deputi Pengendalian Operasi

BP Migas, Saya yakin Asas Cabotage Teralisasi.” Buletin BP Migas.

(September 2009). Hlm. 9 – 11.

Artikel Internet

Akbar, Raden Jihad. “Efisienkah Azas Cabotage Bagi Sektor Migas?.”

http://today.co.id/read/2011/02/26/13116/efisienkah_azas_cabotage_b

agi_sektor_migas. Diunduh pada 28 Mei 2012.

Basuki, Orin. “Drilling Rig Bisa Beroperasi Lagi”.

http://tekno.kompas.com/read/2011/04/12/11342885/.Drilling.Rig.Bisa.

Beroperasi.Lagi. Dinduh pada 28 Mei 2012.

Dabu. “PENGATURAN CABOTAGE : PP pengaturan cabotage terbit, kapal

asing dimungkinkan beroperasi di Indonesia”

http://nasional.kontan.co.id/news/pp-pengaturan-cabotage-terbit-kapal-

asing-dimungkinkan-beroperasi-di-indonesia-1. Diunduh pada 28 Mei

2012

Media Indonesia. “Inkonsistensi tunda Cabotage”.

http://www.migas.esdm.go.id/tracking/beritakemigasan/detil/253776/Ink

onsistensi-Tunda-Cabotage. Diunduh pada 28 mei 2012.

Page 25: maritim makalah

  25  

Migasnet08_fajar. “Rig dan Jenisnya”.

http://migasnet08fajarramadhan8071.blogspot.com/2010/01/pengertian

-rig-dan-jenisnya.html. Diunduh pada 28 Mei 2012.

Sikumbang, Idris Hadi. “Incafo Overview”. http://www.iluni.org/ikhtisar-incafo.

Diunduh pada 28 Mei 2012.

Redaksi. “ASAS CAbotage : Pelayaran Nasional Tersenyum.”

http://indomaritimeinstitute.org/?p=1525. Diunduh pada 28 Mei 2012.

Page 26: maritim makalah

  26  

HUKUM MARITIM

BP MIGAS DAN PERMASALAHANNYA

PENERAPAN ASAS CABOTAGE DALAM INDUSTRI MIGAS DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

KARTIKA MAHARDHIKA PUTRI

0906558243

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 29 MEI 2012