Download - MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

Transcript
Page 1: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Makalah disusun sebagai Tugas Presentasi Mata Kuliah

Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:

DR. Ending Bahruddin

Oleh :

Ahmad Syahirul Alim, Lc.

PROGRAM PASCA SARJANA

PENDIDIKKAN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN

1431 H/2010 M

Page 2: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

2

MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Ahmad Syahirul Alim, Lc

I. PENDAHULUAN

Pendidikan sejatinya merupakan proses yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Proses pendidikan juga telah dimulai semenjak lahirnya manusia ke muka bumi, oleh

karena itu banyak sekali konsep dan pandangan berbagai filsafat dan ideologi tentang

bagaimana pendidikan yang ideal itu seharusnya.

Keseluruhan konsep pendidikan yang diajukan baik oleh para filusuf ataupun pakar-

pakar pendidikan, pada dasarnya bergantung pada pandangan mereka terhadap manusia

itu sendiri.

Menurut Muhammad Quthb keunggulan pendidikan islam terdapat pada model manusia

yang ingin dicapainya. Menurutnya sistem pendidikan lainnya, hanya berusaha untuk

mencetak “seorang warga negara yang baik” dengan berbagai prespektif yang sangat

historikal regional, sehingga gambaran “warga negara yang baik” ini akan berbeda-

beda. Bagi sebuah negara ia bisa digambarkan sebagai seorang tentara yang gagah

berani, bagi lainnya mungkin ia seorang politikus yang kharismatik, atau ekonom yang

cerdas atau bahkan pekerja buruh murahan. Namun dalam islam, model manusia yang

diharapkan ialah manusia bertauhid yang menjadikan dunia sebagai negrinya, tempat ia

mengabdikan diri, tidak dibatasi oleh beban sejarah atau batasan regional, ia tidak

terikat oleh ras dan kelompok.1 Singkat kata ia adalah manusia global; atau dalam

istilah Al-Qur‟an; Rahmatan Lil‟alamin. Fungsi rahmat yang dibawanya berasal dari

dua tugas besar ia, sebagai Abdan Lillah (Hamba bagi Allah) dan sebagai Khalifatullah

(Khalifah Allah).

Islam juga memandang manusia secara utuh dari berbagai dimensi, baik akal, ruh dan

jasad. Oleh karena itu pendidikan dalam islam memberikan perhatian yang seimbang

terhadap ketiga faktor tersebut sehingga tumbuhlah manusia yang menjadi “khairu

ummah”.

1 Muhammad Quthb, Manhaj at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar Shorouk, cet-16, 2004. hlm. 13

Page 3: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

3

Makalah ini berusaha menggali lebih dalam mengenai kedudukan, serta tugas dan peran

manusia dalam pendidikan islam, agar umat islam lebih jauh mengenal dan memahami

keunggulan pendidikan islam atas sistem-sistem pendidikan lainnya.

II. MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Allah Swt telah menjadikan manusia dengan berbagai kesempurnaan dan kemampuan.

Dan kemampuan manusia untuk belajar, memahami dan mendapatkan pengetahuan

merupakan kemampuan luar biasa yang membuatnya lebih mulia dari makhluk-

makhluk lainnya. Bahkan diawal penciptaan manusia, Allah SWT menunjukkan

keunggulan ini dihadapan para malaikat dengan mengajarkan kepada Adam AS nama-

nama yang malaikat sendiri tidak mampu untuk melakukannya. Dalam Al-Qur‟an

disebutkan:

"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah

diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah

sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan

bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS.

Al-Baqarah : 33)

Pakar pendidikan islam Umar At-Thoumy As-Syibani menjelaskan tentang hal ini

dalam bukunya Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah mengatakan:

“Insan bisa mempelajari ilmu pengetahuan, kemahiran dan kecenderungan baru. Ia bisa

beriman dengan yang ghaib, membedakan antara baik dan buruk dan menahan nafsu

syahwatnya yang liar. Ia punya kudrat mencari cara untuk mencapai cita-cita ini. Ia

menembus realitas untuk membawanya mencapai cita-cita ideal ia mampu membina

hubungan sosial dengan orang lain … Ia berdaya untuk bekerja memproduksi, membina

peradaban dan menempa kemajuan. Ia bisa menyingkapkan rahasia fenomena alam dan

membentuk fenomena itu sesuai dengan idealismenya. Lebih jauh ia bisa menguasai

sumber kekuasaan alam.”2

2 Umar At-Thoumy As-Syibani , Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung ke Falsafah Pendidikan Islamm, Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1984. hlm. 115

Page 4: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

4

Padangan Islam terhadap manusia ini, berbeda dengan pandangan filsafat-filsafat

pendidikan lainnya. Manusia dalam pendidikan islam ditempatkan sebagai hamba dan

khalifah sekaligus. Dr. Abdurrahman Umaira menjelaskan:

“Manusia dalam pandangan islam, berbeda dengan aliran eksperimen yang

memasukannya dalam sebuah laboratorium, meletakkannya dalam wadah eksperimen,

diteliti bagian-bagiannya secara terpisah, kemudian keluar dengan hasil: bahwa manusia

itu hanya jasad, an sich.

Mungkin hal itu bisa kita maklumi, karena peralatan yang ada tak mampu untuk

menangkap berbagai sisi (dari manusia).

Manusia dalam pandangan islam, juga bukanlah hewan seperti dalam aliran

behaviorisme. Yang menafsirkan bahwa manusia hanyalah kumpulan dari kebiasaan-

kebiasaan, beserta aksi reaktif yang ditimbulkan dari umpan balik atau kondisi yang

tercipta secara terus menerus. Karena hal itu hanya berlaku bagi hewan namun tidak

untuk manusia.”3

Manusia dalam pendidikan islam ialah makhluk Allah Swt yang unik dan istimewa,

diciptakan dengan tujuan dan amanah yang jelas. Dengan kemampuannya, manusia

mempunyai kewajiban yang lebih dalam pendidikan islam. Manusia diperintahkan

untuk mempelajari dan mengajarkan kebenaran. Manusia juga dilarang untuk

melakukan pekerjaan tanpa berdasarkan ilmu. Oleh karenanya, manusia dalam islam

dituntut untuk selalu berada dalam proses pendidikan; menjadi subyek ataupun obyek

pendidikan itu sendiri.

A. Urgensi Ilmu Bagi Manusia

Imam Ar-Raghib dalam “Mufradat al-Qur‟an” nya mendefinisikan ilmu sebagai:

“Mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya.”4 Di dalam Al-Qur‟an kata-kata “‟ilm”

diulang sebanyak 70 kali, sedangkan fi‟il (kata kerja) yang terdiri dari huruf “ain-lam-

mim” terulang sebanyak 207 kali, dengan rincian kata “ta‟lamun” 56 kali,

“fasata‟lamun” 3 kali, “ta‟lamuu” 9 kali, “ya‟lamun” 85 kali, “ya‟lamuu” 7 kali, dan 47

kali berasal dari kata “allama”.5 Banyaknya pengulangan kata-kata ilmu ini tentunya

menunjukkan kedudukan yang penting dalam islam.

3 Abdurrahman Umairah, Manhaj Al-Qur’an fit-Tarbiyah, Kairo: Maktabat Ukadz, 1981. hlm. 17

4 Yusuf Al-Qardhawi, Al-‘Aqlu wal-Ilm fil-Qur’an al-Karim, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996. hlm. 71 5 Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 71

Page 5: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

5

Ilmu merupakan kunci kebahagiaan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Manusia yang tidak berilmu akan mendapatkan kerugian yang sangat besar. Diantara

keutamaan-keutamaan ilmu ialah:

1. Ilmu merupakan jalan menuju surga. Sebagaimana dijelaskan oleh

Rasulullah Saw dalam sebuah hadits:

ف ت طه يقب ي ش ط ك ه س ي ة انج ق ش ط يقب ي ش ط ث للا ك ه ب س ه ع ي ع ض ت ن ة ك ئ ل ـان إ ،

ى ه انع ت بن ط ضب ن ب س ت ح ج أ ض س ي ال ف ي ات ي انس ف ي ن ش ف غ ست ي ن ى ـ بنانع إ ،

يت انح بء ـان ف ي ج ف ب ش بئ ى س ه ع س ذ انج ة ه ي ن ش انق م ض ف ك ذ بث ى انع ه ع ى بن انع م ض ف إ ،

ت اك انك بء ي ج ال ة ث س بء ه انع إ ، ي ا د ث س ي ى ن بء ي ج ال إ ، س د ل بسا ا ث س ب،

ح ث ز خ أ ز خ أ ف ؛ ى ه انع ش اف ظ

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan

tunjukkan dengannya satu jalan diantara jalan-jalan surga, Dan

sesungguhnya para Malaikat merendahkan sayapnya kepada penuntut ilmu

karena ridha padanya. Dan sesungguhnya seorang alim itu dimohon

ampunkan untuknya oleh seluruh yang berada di langit dan bumi, sampai

ikan paus di lautan. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas

seorang abid seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang. Sesunggunya

para ulama itu pewaris para nabi, karena para nabi tidak mewariskan dinar

ataupun dirham, (melainkan) mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa

yang menginginkannya hendaklah mengambil sebanyak-banyaknya. (HR.

Abu Daud)

2. Allah SWT memberikan kedudukan yang tinggi terhadap orang-orang

yang berilmu. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-

lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi

kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka

berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

Page 6: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

6

dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah:

11)

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT meninggikan kedudukan

orang-orang yang berilmu beberapa derajat lebih tinggi daripada mereka yang

tidak memiliki ilmu.

3. Ilmu akan membuat manusia menjadi takut kepada Allah SWT, jika

tidak demikian maka ilmu tersebut tidak bermanfaat. Karena Allah SWT

berfirman:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,

hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

(QS. Fathiir: 28)

Maka setiap bertambah ilmu seseorang, maka akan bertambah pula

ketakwaannya kepada Allah SWT. Ia akan semakin jauh dari kemaksiatan

dan banyak melakukan ketaatan karena ilmu yang membawanya kepada

hakikat akan membuatnya semakin meyadari keagungan Allah SWT.

Dengan demikian pentingnya ilmu dalam Al-Qur‟an, maka islam memerintahkan

umatnya agar senantiasa mencari ilmu. Rasulullah SAW bersabda:

ى ه س ي م ي ك ه ع ة يض ش ف ى ه انع ت ه ط

Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. (HR. Bukhari Muslim)

Islam mendorong umatnya untuk selalu dalam proses pendidikan sehingga mereka

dihindarkan dari kebodohan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

ع ه ي , ة ع ه ب ي ي انذ ي , للا كش ر ل ب إ ي ب ف ي ب ه ع ت ي ب أ ه ع ي أ , ل ب

“Dunia itu terlaknat, dan terlaknat pula apa yang ada padanya kecuali dzikrullah, dan

apa-apa yang menggantikannya, atau orang yang mengajarkan ilmu atau orang yang

menuntut ilmu” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dar Abu Hurairah Ra)6

6 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, Jami’ bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Tahqiq: Abul-Asybal Az-Zuhairy, Kairo: Dar Ibnu Jauzy. Jilid. 1 hlm. 136

Page 7: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

7

B. Sasaran Pendidikan Islam

Manusia pada dasarnya terbagi kepada tiga dimensi; akal, ruh dan jasad. Jika falsafah-

falsafah pendidikan lainnya hanya membidik salah satu dari dimensi dari ketiga dimensi

tersebut dan mengutamakannya dari lainnya. Islam justru memandang manusia sebagai

satu kesatuan yang utuh, antara akal, jiwa dan jasad.

Falsafah pendidikan yang berkembang saat ini berusaha mengkotak-kotakkan antara

akal, jiwa dan jasad manusia, hingga mereka memberikan jam-jam tertentu untuk akal,

jam lainnya untuk jasad dan waktu lain untuk jiwa. Mereka tertipu dengan pembagian

teoritis tentang bagian-bagian dari kehidupan manusia yang sebenarnya satu kesatuan

ini. Muhammad Quthb berkata:

“Dan penelitian-penelitian teoritis ilmiah telah tertipu dengan tabiat ini. Maka membagi

manusia seperti tubuh tanpa akal, ruh tanpa tubuh, atau akal tanpa ruh… Mereka lalu

sibuk meneliti satu persatu secara tersendiri sedang mereka memperdaya diri mereka

bahwa itulah (hakikat) manusia.”7

Pembagian manusia kepada akal, jasad dan jiwa sebenarnya hanyalah pembagian

teoritis belaka, karena tidak mungkin kita membayangkan manusia berakal tanpa jasad

dan jiwa, atau manusia berupa jasad tanpa jiwa dan akal. Oleh karenanya pendidikan

yang diberikan pun harus selalu menyentuh ketiga aspek tersebut. Lihatlah bagaimana

Al-Qur‟an menggambarkan puncak aktivitas kejiwaan manusia, yaitu saat Rasulullah

Saw menerima wahyu dari Allah Swt:

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-

cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di

dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai

membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS. Al-Qiyaamah: 16-18)

Muhammad Quthb mengomentari ayat ini: “Bahkan pada masa “kemurnian ruh”, lidah

ikut bergerak, dan terdengarlah seruan dari dasar jiwa, karena keinginan yang kuat

untuk menghafal Al-Qur‟an sebelum ia beranjak pergi dari ingatan. Maka bergeraklah

tubuh dan bergeraklah akal pada saat-saat teragung dan terluhur bagi ruh yang paling

Agung (Muhammad SAW).”8

7 Muhammad Quthb, hlm. 21 8 Muhammad Quthb, hlm. 22

Page 8: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

8

Dalam contoh yang lebih nyata kita bisa melihat aktivitas shalat, dimana seorang hamba

melakukan aktivitas kejiwaan yang sangat mulia… menyembah Allah Swt. Dalam

shalat, tidak hanya jiwa yang dituntut untuk khusyu, namun akal ikut berpikir,

mengingat bacaan shalat dan mentadabburinya, jasad pun ikut bergerak ruku dan sujud

dan tak henti-hentinya lidah berdzikir. Cobalah perhatikan bagaimana Allah Swt

menggambarkan orang-orang yang berilmu:

Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi

Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al

Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil

bersujud. Dan mereka berkata: "Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan

Kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan

mereka bertambah khusyu'.(QS. Al-Israa: 107-109)

Memang terkadang manusia tertipu dengan penampakan lahiriyyah saat melihat akal,

jiwa dan jasad terpisahkan. Perasaan seperti ini sebenarnya hanya penampakkan

lahiriyyah saja, karena pada hakikatnya jiwa, akal dan jasad tak pernah bisa dipisahkan

walau terkadang ketika salah satunya muncul dengan kuat akan membuat sisi lainnya

tidak terlihat. Demikian adalah fitrah manusia yang harus diasah, dilatih dan

dikembangkan setiap sisinya dan islam memberikan perhatian kepada ketiganya secara

seimbang.

Maka dalam pendidikan islam, sejatinya tidak boleh ada dikotomi antara pendidikan

yang melibatkan akal, ruh, dan jasad, semua harus mendapatkan porsi yang seimbang

dan terkait satu sama lain dalam pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Dalam islam, ruang lingkup pendidikan meliputi seluruh aktifitas manusia dan tidak

terbatas dari satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Karena tidak ada satu aktifitas pun

yang dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan, dan jika terkait dengan ilmu pengetahuan

maka sudah tentu pendidikan menjadi keniscayaan. Maka Imam Al-Bukhari menuliskan

Page 9: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

9

sebuah Bab dalam Shahih-nya yang namakan: Bab al-„ilm qobla al-ikhlash wal-„amal

(Bab ilmu sebelum ikhlas dan amal).

Imam Ibnul Qoyyim bahkan menjelaskan dalam bukunya “Tuhfatul Wadud” bahwa

seorang anak semenjak dalam kandungan sudah dikenakan hukum-hukum syar‟i yang

dibebankan kepada orang tua anak tersebut untuk mendidik dan membesarkannya sesuai

apa yang diperintahkan Allah.9 Dengan demikian maka pendidikan dalam islam dimulai

semenjak bayi dalam kandungan sampai manusia kembali kepada Allah SWT.

Maka membatasi pendidikan dengan sebatas pendidikan formal saja adalah sebuah

kekeliruan dalam pendidikan islam. Inilah yang dikritik oleh DR. Said Ismail Ali

tentang beberapa kalangan yang menyempitkan arti pendidikan:

“Maka arti kata pendidik menurut mereka adalah kumpulan dari para “guru” yang

berdiri di depan kelas, berhadapan dengan para “murid” dan membelakangi papan tulis.

Yang tujuan mereka hanyalah untuk mentransfer “pengetahuan” yang mereka bawa, dan

biasanya hanya berupa pengetahuan sederhana yang kosong dari inovasi dan kreativitas.

Kemudian, seluruh usaha “pendidikan” mereka hanya terfokus kepada “bagaimanakah

cara mengajar?”.”10

Walaupun demikian, tidak berarti pendidikan islam mengecilkan peran dari pendidikan

formal. Hanya saja kesadaran untuk membentuk sebuah masyarakat yang mencintai dan

menghargai ilmu harus muncul dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga semua

orang merasa bertanggung jawab atas pendidikan diri, keluarga, masyarakat dan umat

manusia secara keseluruhan.

D. Peran Manusia dalam Pendidikan Islam

Karena memegang tanggung jawab yang besar terhadap pendidikan maka peran

manusia dalam pendidikan islam menjadi sentral. Seorang muslim dituntut untuk

mencari ilmu sekaligus juga untuk mengajarkannya. DR.Yusuf Al-Qardhawi

menjelaskan:

9 Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul Wadud biahkamil-Maulud, Bombay: Mathba’ah Al-Hindiyyah, 1961. hlm. 47 10 Said Ismail Ali, Falsafat at-Tarbiyah al-Mu’ashirah, Kuwait: Majlis Al-Wathani li Ats-Tsaqofah, 1978. hlm.15

Page 10: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

10

“Adalah sebuah kewajiban bagi manusia yang telah ia belajar untuk mengajarkannya

kepada orang lain, supaya mereka termasuk kelompok (manusia) robbani, sebagaimana

disebutkan oleh Allah SWT:

Akan tetapi : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu

mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran :79)

Dan telah banyak penjelasan dari banyak kalangan salaf yang menyebutkan: Bahwa arti

robbani ialah orang yang mengetahui, mengamalkan dan mengajarkannya.”11

Kewajiban untuk belajar dan mengajarkan ilmu ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat

yang mendorong umat islam untuk mencari ilmu sekaligus menyampaikannya. Bahkan

seorang yang memiliki ilmu diharamkan untuk menyimpannya sendiri dan tidak

menyampaikannya. Rasulullah SAW bersabda:

ان بس بو ي ب ث ه ج هج ة ي و انق يبي بء ي ج ت ف ك ه ب ع ه ئ م ع ي س

Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang ia ketahui kemudian menyembunyikannya,

maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan belenggu yang terbuat dari Api

Neraka. (HR. Abu Daud)

Maka dalam pendidikan islam, seseorang tidak mungkin bisa terlepas dari peran dia

sebagai seorang pelajar atau seorang pendidik atau bahkan keduanya sekaligus. Umar

bin Abdul Aziz berkata: “Apabila kau mampu jadilah seorang alim, apabila tidak maka

jadilah engkau penuntut ilmu, apabila tidak maka cintailah mereka, dan apabila kau tak

mampu maka janganlah kau membenci mereka.”12

III. MANUSIA SEBAGAI SUBYEK PENDIDIKAN

Manusia sebagai subyek pendidikan berarti ia menjalankan perannya sebagai seorang

pendidik atau guru. Seorang pendidik dalam islam bukanlah hanya sembarang orang,

namun harus mememenuhi syarat-syarat tertentu agar ia dapat menjalankan fungsinya

dengan baik. Oleh karenanya seorang pendidik dalam islam mempunyai kedudukan

yang tinggi.

11 Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 237 12 Abu Umar Yusuf Ibnu Abdil Barr, Jilid. 1, hlm.142

Page 11: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

11

A. Kedudukan dan Fungsi Pendidik dalam Pendidikan Islam

Seorang pendidik mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam, karena

pendidik merupakan perwakilan dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam mengajarkan

kepada manusia syariat dan nilai-nilai islam. DR Yusuf Al-Qardhawi berkata:

“Para ulama ialah pewaris nabi, mereka mewarisi ilmu nubuwwah sebagaimana juga

menggantikan peran mereka untuk mengajar manusia, membimbing orang-orang yang

tersesat, menjelaskan kebenaran kepada orang-orang yang tak mengetahuinya, serta

mengingatkan orang-orang yang lalai atas kebenaran tersebut. Mereka tidak boleh sama

sekali menyembunyikan sedikitpun dari keterangan dan petunjuk yang mereka

miliki.”13

Seorang pendidik ibarat seorang ayah yang mau mendengar keluhan dari peserta

didiknya dan mengarahkan mereka dengan penuh kasih sayang. Ia juga ibarat seorang

syaikh yang mampu menguasai berbagai persoalan agama sehingga menasehati

muridnya dengan bijak. Ia ibaratkan seorang guru yang mengajarkan berbagai hal

dengan baik dan juga seorang pemimpin yang mampu mengambil keputusan yang tepat

diwaktu yang tepat. Imam Al-Ghazali mewajibkan kepada setiap pendidik untuk

mengasihi anak didiknya seperti tergambar dalam sebuah hadits:

ن ذ ان ذ ن ث م ان ى ي ب أ ب ن ك إ

“Sesungguhnya (kedudukan) aku kepada kalian seperti seorang ayah kepada anaknya.”

(Al-Hadits)

Maka kedudukan seorang pendidik sangatlah mulia didalam islam. Bahkan didalam

riwayat seorang Atha bin Rabah menolak untuk mengajar anak khalifah jika mereka

tidak mau datang sendiri ke tempatnya. Thawus berkata: “Dan adalah termasuk sunnah,

penghormatan terhadap orang yang berilmu.”14

B. Karakteristik Pendidik

Seorang pendidik dalam islam memiliki tanggung jawab yang besar terhadap anak

didiknya. Ia harus mampu membina dan mendidik mereka menjadi seorang muslim

yang baik. Tanggung jawab ini tentunya tidak bisa dipikul oleh sembarang orang, maka

menurut Khalid bin Said bin Ahmad Al-Harbi seorang pendidik dituntut untuk memiliki

13 Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 241 14 Abdurrahman An-Nahlawy, Yusuf bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Damaskus: Dar el-Fikr, 1986. hlm. 95

Page 12: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

12

karakteristik yang istimewa baik yang berkenaan dari sisi keimanan, akhlak ataupun

pendidikan.

Diantara karakteristik yang berkaitan dengan keimanan ialah:

1. Seorang pendidik hendaknya memiliki akidah yang lurus dan mengakar di

jiwanya. Sehingga akidah tersebut terlihat dalam perilakunya dan caranya

mengajarkan berbagai bidang ilmu.

2. Memiliki sikap takwa dan hati yang bersih yang dengannya ia merasa selalu

diawasi oleh Allah SWT dalam segala perbuatannya.

3. Ikhlas dalam mengajar dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT dari apa

yang dikerjakannya. Bahkan Imam Al-Ghazali melarang seorang guru

mengharapkan imbalan duniawi, karena untuk meneladani Rasululullah Saw

yang tidak meminta imbalan duniawi,15

sebagaimana disebutkan dalam Al-

Qur‟an:

"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah)

bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan

mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan

bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang

tidak Mengetahui". (QS. Hud : 29)

4. Selalu berupaya untuk mengamalkan apa-apa yang diajarkan dan

diketahuinya. Karena perilaku seorang pendidik menjadi cerminan bagi

keberhasilan proses pendidikan peserta didiknya. Ketika Imam Syafi‟i

berkesempatan untuk menasehati guru dari putra-putra khalifah, ia berkata:

“Ketika engkau hendak mendidik anak-anak Amirul Mu‟minin, maka yang

paling pertama engkau perbaiki ialah dirimu sendiri. Karena mata mereka

15 Hasan Asy-Syarqowi, Nahwa Tarbiyah Islamiyyah, Alexanderia: Muasasah Syabab Al-Jami’ah, 1983. hlm. 138

Page 13: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

13

tertuju padamu. Yang baik bagi mereka ialah apa yang engkau anggap baik,

dan yang buruk ialah apa yang kau benci…”16

5. Seorang pendidik juga harus menyadari tanggung jawab yang besar yang ia

emban sebagai pendidik dan berusaha menunaikan kewajibannya sebaik

mungkin, serta tidak mengkambing hitamkan orang lain atau lingkungan atas

kegagalan dalam proses pendidikan.17

Selain karakteristik diatas, ada beberapa karakteristik yang berkaitan dengan akhlak

yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, diantaranya:

1. Bersikap tawadhu terhadap orang lain terlebih lagi dihadapan anak didiknya.

Ali Rasyid menyebutkan: “Dan Janganlah seorang guru merasa sombong

dihadapan murid-muridnya, baik dengan ilmu, harta, jabatan atau

keturunannya, dan hendaklah ia meniru Rasulullah Saw dalam hal ini juga

dalam sifat-sifat lainnya.”18

2. Hendaknya ia bersabar dalam berinteraksi dengan anak-anak didiknya dan

dalam memperbaiki dan membina mereka jika ia berhadapan dengan

kenakalan dan kebodohan mereka.

3. Bersikap adil dalam bergaul, tidak membeda-bedakan antara satu dengan

lainnya berdasarkan hawa nafsu. Ibnu Sahnun meriwayatkan sebuah hadits

dari Anas bin Malik: Bahwa Rasulullah Saw bersabda:

ج ث ة ص ن ى ث ل د ة ؤ ب ي ى ي غ , ى ي غ ع ي ى ش ي ق ف , ة ي بنس ث ى ه ع ي ى ه ف ة ي ال ز ي ة ي أ ي

ي بئ انخ ع ي ة بي ي انق و ي ش ش خ , ى يش ق ف ع ي

“Jika seorang guru (dipercaya untuk) mendidik tiga anak dari umat ini, dan

tidak mendidik mereka dengan adil, yang miskin bersama yang kaya, yang

kaya bersama yang miskin, maka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat

beserta para pengkhianat.”19

4. Menjaga kasih sayang dan lemah lembut terhadap anak didiknya, karena

hanya dengan rasa kasihlah manusia menjadi mudah untuk taat dan

16 Yusuf Abdul Mu’thi, Tarbiyatul Muslim fi ‘Alam Mu’ashir, Kuwait: Shunduq Waqafi Lits-Tsaqofah wal-Fikr, 1998. hlm. 71 17 Khalid Said bin Ahmad Al-Harby, Usus al-Jaudah at-Ta’limiyyah fii I’dad wa tadrib al-Mu’allim min mandzur al-Islamy, Tesis Magister pada Umm al-Qura University; tidak diterbitkan. hlm. 90-92 18

Ali Rasyid, Syakhsiyyah al-Mu’allim wa ada’uhu fii Dhaui Taujihat al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1419 H. hlm. 29 19 Ahmad Fuad Al-Ahwani, at-Tarbiyah fil-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif bimishr, 1968. hlm. 355

Page 14: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

14

mendengar.20

Maka Ibnu Sahnun melarang seorang pendidik untuk memukul

anak didiknya lebih dari tiga pukulan, ia berkata: “ Dan tidak boleh

mengajarkan adab (dengan) melebihi tiga pukulan, kecuali jika ayahnya

mengizinkan untuk itu disaat ia menyakiti orang lain. (Seorang pendidik

hendaknya) menghukum mereka atas senda gurau dan kemalasan dan tidak

boleh menghukumnya melebihi seupuluh pukulan, sedang atas membaca al-

Qur‟an tidak boleh melebihi tiga pukulan.”21

Seorang pendidik juga harus memperhatikan hal-hal berikut jika ia ingin berhasil untuk

mendidik murid-muridnya:

1. Hendaklah ia menjaga penampilannya agar terlihat baik dan rapi dihadapan

anak-anak didiknya, karena manusia umumnya menyukai hal-hal yang

indah dan membenci sebaliknya.

2. Mengajak anak didik untuk berfikir dan mengunakan akalnya dalam

berbagai kesempatan sehingga mereka terbiasa dengan cara berfikir yang

baik dalam kehidupannya. DR. Yusuf Al-A‟shar mengatakan: “Apabila

guru memberikan tanggung jawab kepada para murid akan apa yang akan

mereka pelajari, bagaimana mereka mempelajarinya dan bagaimana mereka

meraih kesuksesan padanya, sehingga akan lahir banyak kesempatan dalam

belajar. Maka para murid akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam

memecahkan masalah, kreatifitas dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan

kepercayaan diri. Mereka juga akan menghasilkan lebih baik daripada cara

belajar yang berdasarkan pada ujian-ujian yang sangat terbatas

kemampuannya sebagai alat evaluasi.”22

3. Ia juga dianjurkan untuk terus menambah ilmunya dan memperluas

wawasannya baik berkenaan dengan pendidikan atau lainnya. Bahkan ketika

Suyfan bin Uyainah ditanya: “Siapakah yang paling perlu untuk mencari

ilmu?”, ia menjawab: “Orang yang paling alim, karena kebodohan menjadi

aib baginya.”23

20 Khalid Said bin Ahmad Al-harby, hlm. 93-95 21

Ahmad Fuad Al-Ahwany, hlm. 356 22 Shafa Yusuf Al-A’sar, Ta’lim min Ajli Tafkir, Kairo: Dar al-Quba, 1998. hlm. 13 23 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 407

Page 15: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

15

4. Ia harus menguasai bidang yang ia ajarkan sebaik mungkin sehingga

menguasai seluk beluknya dan dapat mengajarkannya dengan cara yang

paling mudah untuk dipahami.

5. Memperhatikan dan mengetahui perbedaan karakter tiap peserta didiknya

dan mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap mereka.24

Imam Al-

Ghazali menjelaskan: “ Dan hendaknya seorang guru membatasi muridnya

sesuai pemahamannya, maka janganlah ia memberikan apa yang tidak

terjangkau oleh akalnya atau yang membuat bingung pikirannya.”25

Setiap pendidik hendaknya menjaga dan mengembangkan karakter-karakter yang

dibutuhkan olehnya agar proses pendidikan berjalan dengan baik. Demikian itu

merupakan nilai-nilai asasi dalam pendidikan islam.

IV. MANUSIA SEBAGAI OBYEK PENDIDIKAN

Pada dasarnya, islam tidak mengenal manusia sebagai obyek dalam pendidikan karena

pada hakikatnya manusia sebagai pendidik ataupun peserta didik dituntut untuk aktif

mencari ilmu dan kebenaran. Dalam artian bahwa kewajiban mencari ilmu dipikul oleh

seluruh manusia, dan bukan hanya kewajiban pendidik saja untuk menyampaikannya.

Imam Ibnu Abdil Barr menjelaskan hal ini:

“Para ulama bersepakat (ijma‟) bahwa diantara ilmu itu ada yang fardhu „ain atas setiap

orang secara individu. Yaitu apa-apa yang tidak boleh tidak diketahui oleh manusia dari

sejumlah kewajiban agama atas mereka, seperti bersyahadat dengan lisan dan meyakini

dengan hati bahwa Allah itu Esa tiada sekutu baginya, dan bersaksi akan kebenaran

bahwa Muhammad ialah hamba dan rasul-Nya juga penutup para nabi. Dan bahwa

kebangkitan setelah kematian untuk pembalasan amal, keabadian di akhirat bagi mereka

yang bahagia dengan keimanan dan ketaatan di surga, dan bagi mereka yang sengsara

dengan kekafiran dan keingkaran di neraka adalah benar adanya…”26

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akidah dan syariat yang berkaitan dengan manusia,

haruslah diketahui oleh manusia dengan ilmu yang benar. Jika tidak, maka setiap

individu menanggung akibatnya.

Namun yang dimaksudkan dengan obyek pendidikan disini ialah manusia yang ikut

menjadi peserta dalam proses pendidikan islam. Karena dalam mencari ilmu, seorang

24

Khalid Said bin Ahmad Al-Harby, hlm. 95-97 25 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar Asy-Sya’b. Jilid.1, hlm. 96 26 Abdurrahman an-Nahlawy, hlm. 29

Page 16: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

16

muslim tidak hanya diwajibkan untuk membaca melainkan untuk bertanya dan

menuntut ilmu dengan orang-orang yang lebih mengetahui. Dalam Al-Qur‟an

disebutkan:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)

Dr. Yusuf Al-Qardawi menjelaskan tentang kewajiban untuk menuntut ilmu dari orang-

orang yang berilmu, ia mengatakan:

“Dan setiap manusia mesti belajar dari siapapun yang memiliki ilmu yang bermanfaat

bagi agama dan dunianya, walaupun orang itu lebih muda darinya, atau lebih rendah

derajat (sosial) nya, atau lebih miskin dalam harta dan kehormatannya….

Dikisahkan bahwa beberapa ulama; pernah ditanya mengenai suatu masalah kemudian

berkata: “aku tidak tahu”, kemudian salah seorang muridnya berkata: aku tahu

mengenai persoalan itu. Maka sang guru pun marah dan tersinggung, tetapi murid

tersebut berkata: Engkau tidaklah lebih alim dari (Nabi) Sulaiman bin Daud walaupun

telah mencapai ketinggian ilmumu saat ini, dan aku tidak lebih bodoh dari (burung)

Hudhud. Dan sungguh Hudhud telah berkata pada Nabi Allah Sulaiman: “Aku telah

mengetahui apa tidak engkau ketahui,” namun Nabi Sulaiman tidak menghukumnya,

dan memanfaatkan ilmunya.” Mendengar itu, maka Sang Guru menjadi tenang dan

berbahagia mendengar perkataan muridnya.”27

A. Peserta Didik dalam Islam

Rasulullah Saw memerintahkan kepada umat islam terutama para pendidik untuk

memuliakan peserta didik, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Qurthubi dari

Yusuf bin Harun dan Syahr bin Khausab, mereka berkata: “Kami apabila mendatangi

Abu Said Al-Khudry maka ia akan berkata: “Selamat datang para pewasiat Rasulullah

SAW! (sungguh) Rasulullah SAW bersabda: “Akan dibukakan (dunia) kepada kalian

dan kalian akan didatangi kaum -dalam riwayat lain anak-anak muda- mereka masih

muda, (ingin) mencari ilmu dan memahami agama dan mereka menuntut ilmu dari

kalian. Maka apabila mereka mendatangi kalian, maka ajarilah mereka dan bersikap

27 Yusuf Al-Qordhawi, hlm. 225-226

Page 17: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

17

lembutlah pada mereka, luaskan-lah majlis bagi mereka dan pahamkanlah hadits (ajaran

islam).”28

Dalam pendidikan islam, terdapat sebutan-sebutan khusus bagi para peserta didik,

diantaranya:

1. Thalibul-„ilm -atau disingkat Thalib- yang berarti seseorang yang sedang

mencari ilmu. Dalam Al-Wasith disebutkan: “Ath-Thalib yaitu penuntut ilmu,

biasanya disebutkan kepada siswa tingkat menengah dan perguruan tinggi.”29

Penamaan ini diambil dari hadits-hadits Rasul Saw mengenai kewajiban dan

keutamaan penuntut ilmu.

2. Murid yang berarti seseorang yang ingin belajar dan siap menerima

pengajaran dari guru atau syaikhnya.

3. Tilmidz yang berarti seseorang yang mencari-cari ilmu pengetahuan dengan

bertanya pada orang yang lebih alim.

4. Muta‟allim yaitu orang yang diajarkan kepadanya ilmu pengetahuan.

5. Mutarobbi yaitu seseorang yang dikembangkan dan dididik dengan nilai-nilai

yang bermanfaat.

Nama-nama tersebut terkadang digunakan dalan beberapa kondisi yang berbeda

walaupun secara keseluruhan mempunyai makna yang sama yaitu peserta didik.

B. Syarat-syarat Peserta Didik

Meskipun menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh umat islam, tetapi tidak

berarti dalam prosesnya berjalan begitu saja. Seorang penuntut ilmu haruslah memenuhi

beberapa syarat-syarat agar proses pendidikan yang ia ikuti berhasil. Imam Syafii

mengungkapkan hal tersebut dalam syairnya:

ــي ج ب ث ه ــيص ف ت أ ك ــــــيج أ س ة ــت ـس ث ل ا ى ـه انع بل ـــــ ت ــــــي ن خ ا ب

ث هـــــجت ا ص ش ح بء ك ر ج ـــ بد ح ص ة ـــغ ب ي ل انض ط ت بر س ة أ

Wahai Saudaraku, engkau tak akan meraih ilmu kecuali dengan enam perkara

Aku akan jelaskan kepadamu rinciannya dengan gamblang

28 Abdurrahman An-Nahlawy, hlm. 94 29

Ibrahim Musthafa dkk, Mu’jam Al-Wasith, Kairo: Dar ad-Da’wah. Jilid. 2, hlm. 561 30 Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Diwan al-Imam Asy-Syafii, Beirut: Dar Al-Arqam bin Abil-Arqam. hlm. 113

Page 18: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

18

Kecerdasan, Kesungguhan, Kegigihan dan Kecukupan (harta)

Juga didikan seorang guru dan masa yang panjang

Keenam perkara yang telah disebutkan oleh Imam Syafi‟i ini merupakan syarat-syarat

yang harus dimiliki dan dijalani oleh seorang pencari ilmu atau peserta didik. Adapun

penjelasannya dalam pendidikan islam adalah sebagai berikut:

1. Kecerdasan. Yang dimaksudkan dengan kecerdasan dalam pendidikan islam

ialah kemampuan seseorang untuk memahami dan mempelajari berbagai

masalah. Dalam dunia pendidikan syarat ini sering disebut, kesiapan

intelektual.

2. Kesungguhan. Kesungguhan berasal dari motivasi yang kuat untuk

memperoleh pengetahuan. Kesungguhan juga sering dikaitkan dengan

dorongan luar yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu kegiatan

seperti untuk mencari kebahagiaan.

3. Kegigihan. Kegigihan atau ijtihad dalam mencari ilmu mutlak diperlukan.

Para ulama terdahulu mencontohkan kegigihan dengan melakukan perjalan

jauh demi mendapatkan satu atau dua hadits.

4. Kecukupan harta. Maksud dari kecukupan harti disini ialah kecukupan dalam

kehidupan yang digunakan untuk keseharian seperti kebutuhan pokok

sandang, papan dan pangan. Dengan demikian seorang penuntut ilmu tidak

mengemis kepada orang-orang yang akan merendahkan kedudukannya, maka

Abu Darda berkata: “Penghidupan yang layak merupakan kebaikan agama,

(sedang) kebaikan agama merupakan kebaikan akal.”31

Namun para ulama

mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan terhadap harta, Sofyan Ats-Tsaury

berkata: “Ilmu itu ibarat tabib umat ini dan harta ialah penyakitnya, dan

apabila seorang tabib memberikan penyakit pada dirinya, bagaimanakah ia

bisa mengobati lainnya??.32

5. Guru. Seorang penuntut ilmu dalam islam harus memiliki guru agar apa yang

ia pelajarinya tidak keliru. Dalam kitab Asy-Syakwa disebutkan:

“Barangsiapa yang tidak memiliki syaikh maka ia tidak memiliki agama, dan

barangsiapa yang tidak mempunyai guru maka syaithan akan menjadi imam

baginya.”33

31

Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid.1, hlm. 724 32 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid.1, hlm. 711 33 Said Isma’il Ali, Ittijahat al-Fikru at-Tarbawi al-Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1991. hlm. 53

Page 19: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

19

6. Waktu. Panjangnya waktu menunjukkan kegigihan dan keuletan seseorang

dalam mencari ilmu.

Keenam persyaratan ini merupakan hal-hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh

seorang pencari ilmu, walaupun pada hakikatnya seseorang dituntut untuk selalu belajar

dan tidak dibatasi oleh kecerdasan ataupun usia. Maka para ulama pun tidak membatasi

sampai kapan seseorang harus mencari ilmu, Abu Mudzir berkata: “Saya bertanya

kepada Abu Amru bin „Ala : “Sampai kapan seseorang sebaiknya mencari ilmu?”, ia

menjawab: selama hidupnya masih baik”.34

Dengan demikian maka keenam hal ini

harus terus dimiliki oleh seorang muslim apapun kedudukan dan berapapun usianya.

C. Adab-adab sebagai Peserta Didik

Berdasarkan penghargaan terhadap ilmu dan penghormatan terhadap kemuliaan

pendidik, maka peserta didik dalam islam harus memahami adab-adab dalam menuntut

ilmu. Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian yang asasi yang tidak bisa

dipisahkan dari pendidikan islam, Abdullah bin Mubarak berkata: “Tidaklah seseorang

menguasai satu cabang ilmu, selagi ia tidak mengiasi ilmunya dengan adab.”35

Diantara adab-adab tersebut ada yang berkaitan dengan dirinya, gurunya dan

pelajarannya. Adapun adab-adab yang berkaitan dengan diri, yaitu:

1. Menjadikan seluruh proses pendidikan sebagai sarana untuk beribadah

kepada Allah SWT.

2. Mengikhlaskan niat dalam mencari ilmu untuk berkhidmah kepada islam dan

bukan karena kepentingan duniawi. Dalam sebuah hadits disebutkan:

بء هى ا انع ه ع ت ت ل ه انع ا ث ف بء , ن ت ج ب انس ا ث بس ل ن ت بن س , انـ ج ا ث ل ن ت حت بص ,

ان ك ف ب بس ان بس م ر ف ع ف

“Janganlah kalian mencari ilmu supaya menyombongkan diri denganya

dihadapan para ulama, dan (jangan pula) supaya mendebat dengannya pada

masyarakat bodoh, dan (jangan pula) untuk mendapatkan tempat pada majlis-

34

Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 407 35 Abdul Hakim Al-Anis, Adab al-Muta’allim tijaha al-Mu’allim, Dubai: Da’irah Asy-Syu’un Al-Islamiyyah wa Al-Amal Al-Khairi, 2008. hlm. 14

Page 20: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

20

majilis. Maka barangsiapa yang melakukannya (baginya) neraka..neraka!!.”

(H.R Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)36

3. Menghiasi diri dengan sifat takwa.

4. Konsisten dalam menjaga kesungguhan dan kesabaran saat menghadapi

berbagai masalah dalam menuntut ilmu.

5. Membersihkan hati dari rasa dengki, iri dan akhlak yang buruk. Karena

akhlak yang buruk akan menghalagi ilmu yang hakiki. Imam Al-Ghazali

berkata: “Apabila engkau berkata: betapa banyak murid yang buruk

akhlaknya mendapatkan banyak ilmu?, Maka alangkah celakanya ia karena

telah dijauhkan dari ilmu hakiki yang bermanfaat, karena awal dari ilmu

tersebut ialah tampaknya maksiat sebagai racun yang berbahaya.”37

6. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan tidak menyia-nyiakannya.

7. Bersikap zuhud terhadap berbagai kehidupan duniawi.

8. Mengamalkan setiap ilmu yang sudah ia pelajari.

9. Mempelajari ilmu dari para ahli dibidangnya.

10. Mempersiapkan diri dengan peralatan untuk menyimak dan menulis.

Diantara adab-adab yang berkaitan dengan guru ialah:

1. Meminta bimbingan dari Allah SWT agar mendapatkan guru yang terbaik.

2. Patuh terhadap gurunya, seabagaimana orang sakit yang sedang ditangan

dokternya.

3. Menghormati guru dan tidak melupakan jasa-jasanya. Bahkan para ulama

lebih mengutamakan guru-guru mereka dibanding orang tua mereka sendiri.

Al-Asfahany meriwayatkan: Suatu kali, Iskandar ditanya: “Mengapa ia lebih

menghargai gurunya daripada kedua orang tuanya?”, ia menjawab: “Karena

ayahku adalah sebab kehidupanku di kehidupan yang fana (dunia) sedang

guruku sebab kehidupanku yang kekal (akhirat).”38

4. Bersabar atas sikap yang tidak berkenan dari guru.

5. Bersikap dengan sopan saat berada di majlisnya. Hamdan bin Al-Asfahany

mengisahkan: “Saya bersama Syarik bin Abdullah, lalu datangnya beberapa

putra (khalifah) al-Mahdi. Mereka duduk bersandar ke tembok lalu bertanya

tentang hadits, namun ia tidak menoleh kepada mereka. Mereka pun

36

Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 648 37 Abu Hamid Al-Ghazali, Jilid.1, hlm. 83 38 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 52

Page 21: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

21

mengulang pertanyaan, tapi ia tetap tidak menoleh. Maka aku bertanya:

“Engkau seperti meremehkan putra-putra khalifah?”, ia menjawab: “Bukan,

tetapi ilmu itu lebih indah ditangan orang yang berhak daripada (mereka)

yang menyia-nyiakannya.” Mereka pun duduk bersimpuh, kemudian

bertanya. Ia lalu berkata: : “Seperti inilah seharusnya menuntut ilmu itu.”39

6. Mengajukan pertanyaan dengan sopan dan mendahuluinya dengan doa,

seperti; Ghafarallahu laka.

7. Mengagungkan guru tanpa berlebih-lebihan. Diriwayatkan bahwa para ulama

selalu menghormati gurunya dengan sebaik-baik penghormatan, sampai-

sampai Imam Asy-Syafi‟i merobek kertas dengan sangat perlahan karena

merasa segan dengan kehadiran Imam Malik.40

8. Dilarang memotong pembicaraan guru ketika ia menjelaskan sesuatu. Begitu

juga jika gurunya melakukan kesalahan dalam menjelaskan pelajaran, tidak

boleh menegurnya didepan khalayak ramai. Syaikh Thasyakbury berkata:

“Dan janganlah ia (murid) menelisiki kesalahan dan kekeliruan gurunya, dan

menakwilkan kesalahan-kesalahan gurunya kepada kemungkinan yang

terbaik.”41

9. Apabila guru menjelaskan permasalahan yang sudah ia ketahui, hendaknya

mendengarkannya seakan-akan ia belum pernah mendengarkan hal itu

sebelumnya.

10. Tidak terburu-buru untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru

atau orang lain kepadanya.

Sedangkan adab-adab yang berkaitan dengan pelajaran, ialah:

1. Mempunyai obsesi yang tinggi terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya.

2. Bertahap dalam mempelajari sesuatu. Dan hendaknya dimulai dari

mempelajari Al-Qur‟an lalu hadits dan seterusnya.

3. Tidak memulai pelajaran dari perbedaan pendapat dikalangan ulama atau

manusia secara umum.

4. Menjaga sopan santun terhadap kawan sejawatnya.

5. Rajin mengulang-ulang pelajaran yang telah ia pelajari disetiap kesempatan.

39

Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 33 40 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 71 41 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 48

Page 22: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

22

6. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang yang belum

mengetahuinya.

Adab-adab ini, walaupun terlihat sangat sederhana tetapi merupakan kunci bagi seorang

penuntut ilmu untuk mendapatkan keberkahan dari ilmu yang ia pelajari. Jabir bin

Hayyan menegaskan akan pentingnya menjaga adab terhadap guru sekaligus terhadap

ilmu itu sendiri:

“Menurutnya seorang anak didik harus bersikap lemah lembut menerima perkataan

gurunya dari segara sisi. Janganlah ia menentangnya dalam suatu perkara. Alasannya

ialah karena pundi-pundi ilmu seorang guru tidak akan tampak bagi murid kecuali jika

ia merasa tenang bersamanya dan memujinya dengan pujian yang luhur. Itu karena

kedudukan seorang guru ialah kedudukan ilmu itu sendiri. Orang yang menyelisihi ilmu

akan menyelisihi kebenaran, sedang menyelisihi kebenaran akan jatuh pada kesalahan

dan kekeliruan, dan hal itu tidak diinginkan orang yang berakal. Dan jika seorang murid

belum mampu mampu mentaati gurunya sejauh itu, maka sang guru hanya akan

mengajarkan ilmu yang terbatas.”42

IV. PENUTUP

Manusia dalam pandangan islam, mempunyai keunggulan dan kelebihan daripada

makhluk Allah lainnya, oleh karena itu ia berperan sebagai hamba sekaligus khalifah

Allah di muka bumi. Untuk mengemban amanah itulah, pendidikan menjadi kunci bagi

kemuliaan manusia.

Pendidikan dalam islam bukan hanya sebatas proses transfer ilmu, melainkan sebuah

kerja besar dalam membentuk sebuah peradaban yang menerapkan nilai-nilai suci yang

luhur. Maka setiap manusia diwajibkan untuk terlibat dalam proses pendidikan, baik

sebagai subyek ataupun obyek. Dalam islam, seseorang yang diluar proses belajar

berada dalam bahaya karena ia bersama kebodohan.

Manusia sebagai subyek pendidikan adalah sebagai pendidik. Pada dasarnya, Allah

SWT memberikan tanggung jawab kepada setiap orang tua untuk memberikan

pendidikan yang terbaik untuk mengajarkan hukum-hukum Allah. Kemudian kewajiban

itu dibebankan kepada setiap orang berilmu untuk mengajarkan apa yang ia ketahui

42 Said Isma’il Ali, hlm. 332

Page 23: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

23

kepada orang lain. Di sisi lain, setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu kepada

mereka yang lebih mengetahui.

Islam telah menetapkan adab-adab kepada semua yang terlibat dalam dunia pendidikan,

baik pendidik ataupun peserta didik. Adab-adab ini menunjukkan bahwa islam

menghargai ilmu sebagai nilai-nilai yang sangat penting untuk dimiliki sekaligus

diamalkan agar bermanfaat di dunia dan akhirat. Adab-adab ini juga menunjukkan

keunggulan pendidikan islam yang lebih mengedepankan terbentuknya karakter

manusia bertakwa dengan ilmu pengetahuan daripada manusia yang pengetahuannya

tidak berdampak pada kepribadian dan perilakunya.

Keunggulan pendidikan islam juga terlihat jelas dalam peran manusia dalam pendidikan

-baik sebagi pendidik atau peserta didik- yang dinilai sebagai ibadah dan ditujukan

untuk meraih ridha Allah SWT semata. Begitupun dengan adab-adab yang dikaitkan

dalam proses pendidikan ialah agar dalam mencari ilmu manusia semakin dekat kepada

kebenaran, yaitu jalan Allah SWT. Wallahu „alam bishowab.

Page 24: MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)

24

V. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu‟thi, Yusuf, Tarbiyatul Muslim fi „Alam Mu‟ashir, Kuwait: Shunduq

Waqafi Lits-Tsaqofah wal-Fikr, 1998.

Al-A‟sar, Shafa Yusuf, Ta‟lim min Ajli Tafkir, Kairo: Dar al-Quba, 1998.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, at-Tarbiyah fil-Islam, Kairo: Dar al-Ma‟arif bimishr,

1968.

Al-Anis, Abdul Hakim, Adab al-Muta‟allim tijaha al-Mu‟allim, Dubai: Da‟irah

Asy-Syu‟un Al-Islamiyyah wa Al-Amal Al-Khairi, 2008.

Ali, Said Isma‟il, Ittijahat al-Fikru at-Tarbawi al-Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-

Arabi, 1991.

Ali, Said Ismail, Falsafat at-Tarbiyah al-Mu‟ashirah, Kuwait: Majlis Al-Wathani

li Ats-Tsaqofah, 1978.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar Asy-Sya‟b.

Al-Harby, Khalid Said bin Ahmad, Usus al-Jaudah at-Ta‟limiyyah fii I‟dad wa

tadrib al-Mu‟allim min mandzur al-Islamy, Tesis Magister pada Umm al-Qura

University; tidak diterbitkan.

Ibnu Abdil Barr, Abu Umar Yusuf, Jami‟ bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Tahqiq:

Abul-Asybal Az-Zuhairy, Kairo: Dar Ibnu Jauzy.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, Tuhfatul Wadud biahkamil-Maulud, Bombay:

Mathba‟ah Al-Hindiyyah, 1961.

Musthafa, Ibrahim, Mu‟jam Al-Wasith, Kairo: Dar ad-Da‟wah.

An-Nahlawy , Abdurrahman, Yusuf bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Damaskus:

Dar el-Fikr, 1986.

Quthb, Muhammad, Manhaj at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar Shorouk,

cet-16, 2004.

Al-Qardhawi ,Yusuf, Al-„Aqlu wal-Ilm fil-Qur‟an al-Karim, Kairo: Maktabah

Wahbah, 1996.

Rasyid, Ali, Syakhsiyyah al-Mu‟allim wa ada‟uhu fii Dhaui Taujihat al-

Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1419 H.

Asy-Syafi‟i, Abu Abdillah Muhammad bin Idris, Diwan al-Imam Asy-Syafii,

Beirut: Dar Al-Arqam bin Abil-Arqam.

Asy-Syarqowi, Hasan, Nahwa Tarbiyah Islamiyyah, Alexanderia: Muasasah

Syabab Al-Jami‟ah, 1983.

Umairah, Abdurrahman, Manhaj Al-Qur‟an fit-Tarbiyah, Kairo: Maktabat

Ukadz, 1981.

Umar At-Thoumy As-Syibani , Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah,

diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung menjadi; Falsafah Pendidikan Islam,

Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1984.