KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada Penulis agar
dapat menyelesaikan penulisan Makalah ini yang berjudul “Peradilan Administari
Negara (PTUN) Dan Implementasi Dalam Penegakan Hukum”
Penulisan makalah ini diberikan sebagai tugas perkuliahan pada mata
Kuliah Hukum Tata Negara, dan semoga makalah ini dapat diterima sebagai nilai tugas.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimilik Penulis.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak
baik bantuan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Atas segala
bantuan yang telah diberikan, Penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih
yang sebenar-benarnya kepada para pihak yang telah banyak membantu dan
menolong Penulis selama pembuatan makalah ini.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Tembilahan, April 2012
Penulis
1
PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA DAN IMPLEMENTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM
1. Tujuan dan Fungsi Peradialn Administrasi Negara (PTUN)
Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait
dengan falsafah negara yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut
faham demokrasi liberal, maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh
dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat
yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda
dengan
Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan
porsi yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan
bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata
Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN
adalah:
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber
dari hak-hak individu;
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup
dalam masyarakat tersebut.
Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi
adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi
rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda,
SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara
2
represif.
Tujuan Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah
tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau
merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan
badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu
dan harus dijatuhi sanksi.
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana
untukmenyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN)
dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa
tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk
lebih mendalami urgensi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dilihat dari tujuan
dan fungsinya dapat dilihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan dari segi
filsafat,segi teori, segi historis dan segi sistem terhadap peradilan administrasi.
a. Pendekatan dari segi filsafat
Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik tolak dari kebutuhan
untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan
fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) seluas-
luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti
luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat
(kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat). Pengujian yang dilaksanakan oleh
peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha negara ditujukan agar terwujud
kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang terkandung dalam
peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara. Menurut Hans Kelsen, hukum
berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm).
3
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum
positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku.
Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan
secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-
undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan
Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha
Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji
materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang
sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang-
undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk
dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara
(Gundnorm).
b. Pendekatan dari segi teori
Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-
unsur Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie
desRecht (1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat
unsurpenting, yaitu :
a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-
undangan yang berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.
4
Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di
Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun
setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of
Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law
of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang
dinegara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-
jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum
harusmemiliki unsur-unsur :
a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions
Based on
Individual Right)
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum
tersebut mempunyaipersamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep
Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat
terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan
berdasarkan atas hukum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka
(Machtstaat).
Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hukum tersebut
adalah keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat
dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak
dapat menimbulkan kerugian bagi warganya. Negara-negara yang menganut
5
konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan
administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum
bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi
warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk juga memberikan
perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai
aturan hukum).
Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama
kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F Marbun, 8; 2003).
Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi
oleh suatu negara,jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi Rechtstaat.
Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of
Law, menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah
keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan
hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara
rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan.
Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan
badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili
sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of
Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan
administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata
tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang
mengklasifikasikan secara khusus administratif dispute sebagaimana
pengadministrasian berbagai jenis perkara lain.
Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah
6
konsepsi negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat
koreksi dari teori negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum
kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki
tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan
negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau
Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut,
maka pemerintah diberikanwewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan
masalahmasalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana
peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen
atau Discretionaire).
Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi
dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-
undangan dan lain sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen
memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundangundangan, antara
lain :
1) Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan
perundang-undanganyang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU,
2) Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu
kewenangan untuk membuat peraturan perundangundangan
dibawah UU, dan
3) Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai
ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.
Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang
bagi terjadinya deournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur
7
(perbuatan sewenangwenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun
(10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber
yang menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha Negara
dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).
c. Pendekatan dari segi sejarah
Pada masa Hindia Belanda belum ada peradilan yang secara
khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara. Namun begitu
setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan
sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut
adalah :
1. Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS
2. Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het
Beleid der Justitie in Indonesie),
3. Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan
Ordonansi Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan
dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa
atau Raad van Beroep voor Belastingzaken).
4. Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan
khusus bagi bendaharawan (Comptabelrechtspraak).
Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan
bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-
undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang
lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000).
Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts
8
persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan
penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan melalui Administratiefberoep
(penyelesaian sengketa internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana
dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi
lain diluar instansi yang memberikan keputusan).
Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia
telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas
perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang
tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi,
maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu
konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun
1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat
ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di
Indonesia.
Untuk merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965,
dibentuklah panitia kerja penyusun Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi
dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah
rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang tersebut tidak
diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.).
Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan Rancangan Undang-Undang Peradilan
Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan, namun
9
akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari Orde Lama
ke Orde Baru.
Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10
Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi
Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR
Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April
1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan
kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk
dilakukan pembahasan.
Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui
Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada tanggal 28 Desember 1986,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah
undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun
1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya
telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990
tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan
Ujung Pandang dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang
Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya,
Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya
10
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN).
Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
d. Pendekatan dari segi sistem
Sistem norma di Indonesia menganut asas hierarki peraturan
perundang- undangan, yaitu penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-
undangan dimana peraturan-perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lihat ketentuan normatifnya
dalam UU No.10 Tahun 2004). Menurut Hans Kelsen, norma merupakan kesatuan
dengan struktur piramida, dimulai dari yang tertinggi yaitu norma dasar (Grundnorm),
norma-norma umum (Generalnorm), dan diimplementasikan menjadi norma-
norma konkret (Concrete norm). Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus
menerus, mulai dari yang abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai
menjadi yang nyata/konkrit.
Guna menjaga guna menjaga konsistensi vertikal peraturan
perundang-undangan RI (termasuk Keputusan) diperlukan instrumen pengujian materiil
(judicial riview) terhadap perundang-undangan. Judicial riview (uji materiil) terhadap
produk hukum pemerintah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi
yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung
berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan
Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara
akibat adanya Sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara melakukan
11
pengujian materiil secara terbatas menyangkut konsistensi vertikal suatu KTUN
terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya. Dikatakan terbatas
karena kewenangan pengujian KTUN hanya terbatas pada segi hukumnya saja
(rechtmatige), sedangkan keputusan pemerintah yang merupakan diskresi nampaknya
tidak menjadi kewenangannya (lihat penjelasan Pasal 1 angka 1 UU PTUN).
EKSISTENSI PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN) DALAM
MEWUJUDKAN SUATU SISTEM PEMERINTAHAN YANG BAIK
(GOOD GOVERNANCE) DI INDONESIA
12
A. Konsep Dasar Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dalam Negara Hukum
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di
negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi
kehidupan masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan
perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah
ditentukan terlebih dahulu oleh hukum.
Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan
penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang
telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara.
Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan
hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.
Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum”, ternyata terdapat
perbedaan penggunaan istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat
(Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah “Rechtsstaat”,
sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah “Rule Of Law”. Kedua istilah tersebut secara
formil dapat mempunyai arti yang sama, yaitu negara hukum, akan tetapi secara materiil
mempunyai arti yang berbeda yang
disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “the rule of law” yaitu pertama,
supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di hadapan hukum (equality
before the law); ketiga, terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam Konstitusi. Adapun
untuk “rechtsstaat” menurut F.J. Stahl mempunyai unsur-unsur : pertama, pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; kedua; pemisahan dan pembagian
kekuasaan negara (trias politica); ketiga, pemerintah berdasarkan undang-undang
13
(wetmatig bestuur); keempat, adanya peradilan administrasi negara (PTUN) (lihat
Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 66 dan Philipus M. Hadjon, 1987 : 80).
Dalam rule of law menurut sistem Anglosaxon terdapat perbedaan dengan
rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rule of
law, tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan
umum. Lain halnya dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN)
yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum. Adapun persamaannya antara lain
keduanya (baik rechtsstaat maupun rule of
law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremsi hukum”,
tidak ada penyalah gunaan kekuasaan atau perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa
(absence of arbitrary power).
Melihat kedua sistem tersebut, sebagaimana diketahui secara umum negara
Indonesia identik dengan rechtsstaat. Untuk lebih detailnya perlu pula penulis telaah
pemikiran-pemikiran ahli hukum Indonesia yang terkenal, yaitu Oemar Seno Adji, Padmo
Wahyono, dan Philipus M. Hadjon.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki
ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber
hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila
(Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69). Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini
muncul karena digali oleh para proklamator negara dari adat-istiadat asli masyarakat di
Indonesia secara keseluruhan yang
heterogen dan majemuk berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika.
Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo
Wahyono menelaahnya dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum
14
dalam UUD 1945 (asas ini masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di amandemen,
vide Pasal 33). Menurut Padmo Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang
diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”
(Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69-70). Jadi menurut beliau, pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan maka harus memperhatikan aspek kepentingan umum
dan hak asasi manusia. Selanjutnya Philipus M. Hadjon (1987 : 84-85) mengemukakan
bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan
rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai berikut ; (1) baik konsep
rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau
perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia
sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang
segala bentuk kesewenangan atau absolutisme; (2) baik konsep rechtsstaat maupun rule
of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai
titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; (3)
untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip
wetmatigheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law,
sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan
antara pemerintah dan rakyat.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua
kelompok negara hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut
sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di
Indonesia banyak terpengaruh oleh sistem hukum kontinental (rechtsstaat).
15
Sebagaimana diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1995 : 238) :
“Hukum Kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang — mempertimbangkan
substansinya — secara formal masih berlaku, dan sebagian besar kaidah-kaidahnya
masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan.
Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kekuasaan kolonial sampai
pun ke masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak ke arah dan/ atau
menurut pola-pola hukum Eropa, dan dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur
perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional sebagaimana pernah
terkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda — yang sebenarnya juga ikut
meliput berbagai aspek yang sifatnya institusional, seperti misalnya peradilan dan
pendidikannya — akan berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya
dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah
tercapai….”.
Oleh karena hal tersebut diatas, Negara Indonesia pun dalam hal
mewujudkan suatu negara hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi
negara (PTUN) sebagaimana yang dianut negara eropa kontinental. Keberadaan
pengadilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-
negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak
yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan
hakhaknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara
karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi
negara (PTUN) diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari
keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan
16
kekuasaannya itu ternyata pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti
melanggar ketentuan hukum.
Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan pengadilan
tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah
dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009
(perubahan kedua). Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001 Jo pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu: Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga
ini mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga
peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan lainnya.
B. Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat
di Indonesia
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi negara
(PTUN) dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga
hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, menurut S.F Marbun (1997 : 27) secara
filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat,
sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
17
Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo (1977 : 69), tujuan dibentuknya
peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara
administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut
undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara
efisien. Sedangkan Sjachran Basah (1985 : 25) secara gamblang mengemukakan bahwa
tujuan pengadilan administrasi negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum
dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi
administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan
masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga
ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi
terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum
berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian, lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah
sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman,
merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam
rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan
hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas
perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi
negara yang melanggar hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN)
diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan
ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang
merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi
18
negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang
administrasi negara.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan
pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi
negara, akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi
negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Atas
dasar itulah, eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) merupakan sesuatu yang
wajib, dalam arti selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi
negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat
karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah.
Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum bagi masyarakat di
Indonesia, sesungguhnya beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau
gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon (1993 : 85-89) asas berdasarkan jiwa
kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut
melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan
negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional
antara kekuasaan-kekuasaan negara.
Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka
sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan
perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan
yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan
yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk
19
mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat
dicegah.
Sengketa yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 butir 10 UU No.51
Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa :
“Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat
administrasi negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan administrasi negara),
termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau
seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya
suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam
fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan
keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan
kerugian. Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan
materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi
terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil
(onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan
kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan
administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam
sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota benenya menjadi kiblat
penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meskipun demikian melihat perkembangan
20
ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi pemerintahan) menurut penulis
suatu hal yang harus dibentuk satu sistem peradilan administrasi negara terpadu, artinya
segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui pengadilan administrasi negara
(PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi pengadilan administrasi
negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan hukum administrasi negara
sebagaimana termaktub dalam Konstitusi juga membuat sederhana (simple)
penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan
untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi
negara.
Erat kaitannya dengan penegakan hukum administrasi negara, saat ini
pemerintah sedang membuat suatu rancangan undang-undang tentang administrasi
pemerintahan (RUUAP) yang telah memasuki tahap konsep (draft bulan Agustus 2008).
Bila kita amati undang-undang tersebut merupakan hukum materiil dari hukum
administrasi negara di Indonesia, didalamnya mengatur mengenai dasar hukum dan
pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan dalam menetapkan keputusan,
mencegah penyalahgunaan kewenangan dan menutup kesempatan untuk melakukan
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Yang terlebih penting undang-undang ini nantinya
selain sebagai dasar reformasi birokrasi juga menjadi landasan untuk perubahan mindset
dan cultural-set aparatur pemerintah, merubah mentalitas priyayi atau penguasa yang
minta dilayani, menjadi sosok aparatur pemerintah yang berperilaku sebagai abdi negara
dan abdi masyarakat, yang profesional,dan selalu memperhatikan kepentingan rakyat
selaku pemegang kedaulatan. Bahkan lebih menarik lagi setelah undang-undang sebagai
HAN materiil ini disahkan akan menuntut untuk merevitalisasi peranan pengadilan
administrasi negara (PTUN). Dengan kata lain undang-undang HAN formil yang ada saat
21
ini (UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan
pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua)) harus segera direvisi, karena
aturan dalam undang-undang administrasi pemerintahan memberi kewenangan
pengadilan administrasi negara (PTUN) menjadi lebih luas.
Kewenangan itu diantaranya berupa subjek penggugat selain orang per-
orangan bisa juga organisasi (melalui legal standing) dan badan atau pejabat
pemerintahan itu sendiri, lalu subjek tergugat adalah selain badan atau pejabat yang
menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk juga badan hukum lain (seperti : otorita,
lembaga pendidikan, notaris, dll) yang menerima pelimpahan wewenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk mengeluarkan keputusan pemerintahan tersebut.
Serta penyelesaian sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual pejabat
administrasi negara pun menjadi kompetensi absolut pengadilan administrasi negara
(PTUN). Hanya saja yang perlu dikritisi dari RUUAP ini adalah belum adanya subjek
penggugat yang terdiri dari masyarakat yang menggugat secara class action (padahal
dalam konsep sebelumnya sempat muncul) dan masih banyak lagi permasalahan-
permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan ganti rugi, eksekusi melalui
pengenaan uang paksa dan sanksi administrasi apabila norma hukum didalamnya tidak
mengatur secara tegas, serta peraturan pelaksananya pun terlalu lama dikeluarkan.
Dalam kaitan dengan pengadilan administrasi negara sebagai salah satu
badan peradilan yang menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan
pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan
bermanfaat sebagai:
Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;
1. Stabilisator hukum dalam pembangunan;
22
2. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;
3. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan
umum(Sjachran Basah, 1985 : 25).
Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa
di samping peradilan umum, peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana
perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan
mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan
pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di
Indonesia.
C. Penegakan Hukum Administrasi Negara sebagai Upaya membentuk Sistem
Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa (Good Governance)
Indonesia sebagai penganut paham negara hukum modern, dituntut
adanya peranan dan fungsi hukum yang secara stabil dan dinamis mampu mengatur
berbagai kepentingan tanpa meninggalkan ide dasarnya yaitu keadilan. Hukum yang
demikian juga mengandung tuntutan untuk ditegakkan atau dengan kata lain,
perlindungan hukum yang diberikan merupakan suatu keharusan dalam penegakan
hukum.
Maksud penegakan hukum tersebut diatas, penulis sependapat dengan apa
yang diutarakan Abdulkadir Muhammad (2001 : 115). Menurutnya, penegakan hukum
dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,
mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran
maka untuk memulihkannya kembali dengan penegakan hukum. Dengan demikian
23
penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum, yang menurut penulis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi.
Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda).
Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat
seperti : berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak
hormat).
Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik).
Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper
test).
Pengenaan sanksi badan (pidana penjara).
Meskipun penegakan hukum administrasi negara sebagaimana tersebut
diatas dalam prakteknya jarang dipatuhi, menurut hemat penulis permasalahan semua
ini bermuara pada moralitas dari pejabat yang bersangkutan dan peraturan perundang-
undangan yang tidak secara tegas mengatur pengenai pelaksanaan hukuman/ sanksi dari
lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN).
Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abstrak
sehingga sangat sulit dianalisa ketidak patuhan secara hukum pejabat tersebut karena
berkenaan dengan kejiwaan (humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang
bersangkutan. Meskipun demikian, perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka
penegakan hukum administrasi negara ini yaitu peraturan perundang-undangan.
Celakanya sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai,
yang menurut penulis permasalahan tersebut karena :
24
1. Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat
diselesaikan di PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No.
51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986 menyimpang dari
pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang secara teoritis
mencakup seluruh perbuatan hukum publik.
2. Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan
tetapi hukum administrasi negara materiil belum terbentuk.
3. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana
diatur dalam Pasal 116 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua dan UU No. 9
Tahun 2004 perubahan pertama atas UU No.5 Tahun 1986 belum ditindak
lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai
prosedur dan penerapan hukuman administrasi negaranya.
4. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi
wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi
sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara
(PTUN), seperti : penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan
keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa
pajak, dll.
Permasalahan-permasalahan ini muncul, menurut penulis disebabkan
karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang
ada. Seharusnya sebelum membuat undang-undang para pembentuk undang-undang
(DPR dan Pemerintah) membahas dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan
para praktisi hukum (hakim TUN dan advokat) maupun pakar hukum hukum administrasi
negara, apabila perlu disosialisasikan kepada publik (masyarkat/akademisi/LSM) sebelum
25
disahkan, untuk menghindari tumpang tindihnya materi muatan antara undang-undang
satu dengan lainnya.
Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi penegakkan hukum administrasi
negara, tidak perlu dibentuk peradilan-peradilan khusus karena disamping menghambur-
hamburkan anggaran negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangka
penegakkan hukum. Apabila alasan dibentuknya peradilan khusus hanya karena
kurangnya keahlian hakim dalam menyelesaikan perkara tertentu dan lambannya proses
berperkara di pengadilan sebetulnya bisa diatasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia
dimungkinkan keikut sertaan saksi ahli dan hakim ad-hoc karena dibutuhkan disaat
lembaga peradilan memerlukan keahliannya untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu
dan apabila perlu para hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) diberi kesempatan
studi lanjut untuk mendalami pendidikan khusus (spesialisasi) tentang bidang hukum
administrasi negara tertentu (misalnya : Pajak, HAKI, Ketenagakerjaan, dll) sehingga
alasan kurangnya keahlian hakim bisa diatasi, sedangkan alasan dibentuknya peradilan
khusus dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara pun kurang tepat karena dalam
praktek justru para pihak yang bersengketa biasanya terlalu lama/ bertele-tele dalam
bersidang bahkan ada beberapa pihak yang secara sengaja memperlambat jalannya
persidangan dengan maksud-maksud tertentu, seperti : ketika pemeriksaan persiapan
meskipun dalam undang-undang diatur maksimal perbaikan gugatan dalam tenggang
waktu 30 hari, akan tetapi pihak penggugat tidak bisa memperbaiki gugatannnya secepat
mungkin. Selain itu, sama halnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dimana
para pihak tidak bisa mempersiapkan Jawaban/ Replik/ Duplik/ Alat Buktinya secara
cepat dimana dalam prakteknya tiap-tiap acara mereka meminta pengunduran waktu
sidang satu minggu atau lebih, padahal seandainya para pihak siap segalanya bisa saja
26
dalam satu minggu dua atau tiga acara persidangan sekaligus. Bila para pihak yang
bersengketa ada itikad baik mematuhi asas cepat dan sederhana dalam persidangan,
tidak akan ada lagi alasan bersengketa melalui peradilan administrasi negara (PTUN)
terlalu lama, apalagi semenjak adanya pembatasan Kasasi terhadap sengketa
administrasi negara berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya
berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sesuai Pasal 45 A ayat (2) Huruf C UU No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA ini telah ada perubahan keduanya yaitu
UU No.3 Tahun 2009). Berdasarkan permasalahan tersebut menurut penulis, perlu dibuat
suatu klausul tertentu dalam suatu ketentuan hukum acara (dalam revisi UU PTUN
nantinya) yang memberi kewenangan hakim untuk melanjutkan jalannya persidangan
apabila menurutnya salah satu pihak/ para pihak dianggap memperlambat jalannya
proses persidangan, dengan demikian untuk kelancaran/ cepatnya penyelesaian perkara
hakim yang bersangkutan apabila mengambil sikap/ keputusan berdasarkan asas cepat
dan sederhana dalam persidangan tidak melanggar hukum acara yang ada.
Dengan adanya keterbatasan hukum formil peradilan administrasi negara
(PTUN), tidak berarti pula bahwa para penegak hukum harus mengabaikan atau
meremehkan kesadaran-hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang
mengira dapat hidup tanpa perasaan hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama
penegak hukum, tak mungkin akan mampu memberi tafsiran yang tepat tentang hukum,
dan apabila teori serupa itu diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan
menyebabkan diambilnya keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan
dengan tujuan hukum, sebab tujuan hukum adalah pada asasnya menegakkan KEADILAN.
Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan hukum administrasi
negara, yaitu apabila hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) tidak dapat
27
menemukan peraturan dalam undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan
berdasarkan hukum tidak tertulis yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas-asas ini menurut penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, UUD 1945,
dan kebiasaan dalam pemerintahan (konvensi). Adanya perlindungan hukum bagi
masyarakat terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi yang melanggar
hukum dikaitkan dengan keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai
lembaga penegak hukum dan keadilan, menurut hemat penulis keadaan seperti ini
sebagai wujud dari suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa. Penyelenggaraan
sistem pemerintahan yang baik dan berwibawa secara teoritis dikenal dengan apa yang
disebut good governance. Menurut Adnan Buyung Nasution (1998), konsep good
governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan
transparansi, kontrol, dan
accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good
governance ini hukum harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan
konsep tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam
menentukan suatu good governance. Hal inipun diakui oleh B. Arief Sidharta (1999),
bahwa good governance hanya mungkin terwujud dalam negara hukum yang di dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan negara berlaku supremasi hukum.
Sebagaimana sudah banyak diketahui, konsep good governance berakar
pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari
bermacam-macam sektor kelembagaan di semua level di dalam negara terutama
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berkenaan dengan kontrol yuridis oleh
lembaga yudikatif terhadap lembaga eksekutif pelaksanaan good governance diharapkan
28
dapat terealisasi dengan baik. Kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif dalam hal
pemerintah melaksanakan fungsi administrasi negaranya dilaksanakan oleh peradilan
administrasi negara (PTUN). Maksudnya adalah peradilan administrasi negara (PTUN)
menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem yang menentukan terwujudnya good
governance.
Penulis melihat adanya keterkaitan yang erat antara konsep good
governance dengan konsep keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN).
Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good
governance itu sendiri dan fungsi utama dari pengadilan administrasi negara (PTUN).
Meskipun unsur-unsur dari good governance banyak yang masih memberikan kriteria
masing-masing, tetapi pada intinya ada lima prinsip utama dalam good governance, yaitu
akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess),
penegakan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan
yang adil atau perlakuan kesetaraan). Prinsip terakhir ini sering disebut dengan
perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Apabila konsep good governance disambung-hubungkan dengan konsep
supremasi hukum dan konsep sistem pemerintahan yang baik dan bersih dalam hukum
administrasi negara secara normatif, maka akan ditemukan persamaannya dengan
konsep rechtmatigheid van bestuur yang dimaknakan sebagai “asas keabsahan dalam
pemerintahan” atau asas menurut hukum. Jika perbuatan hukum publik oleh pejabat
administrasi itu onrechtmatigheid, maka perbuatan pejabat administrasi tersebut telah
“melanggar hukum”.
Makna good dalam good governance disini menurut Sjahruddin Rasul (2000
: 121) mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi
29
keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat
dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun
beliau memaknai governance sebagai institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state
(negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society
(masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini dalam upaya mewujudkan good
governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta dapat menjalankan peran dan
fungsinya masing-masing dengan baik.
Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah
dalam arti luas merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan
masyarakat yang posisinya lebih lemah karena segala kebijakan ditentukan oleh sektor
negara tersebut. Oleh karena itu, sektor swasta dan masyarakat ini mendapat
perlindungan hukum dari pengadilan administrasi negara (PTUN) apabila ada perbuatan
hukum publik dari pejabat administrasi yang merugikan hak-haknya. Perlindungan
hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa :
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/ atau direhabilitasi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan hukum
dan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan
administrasi negara (PTUN) ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima
30
prinsip good governance, sedangkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan
juga merupakan unsur penting dalam hal penyelenggaraan sistem pemerintahan.
Menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 135-136), akuntabilitas merupakan suatu
perwuju dan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
pemerintahan, akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi
pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
misinya. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya pun dimintai pertanggungjawabannya ketika melakukan
perbuatan hukum publik, terlebih apabila perbuatannya itu melanggar hukum.
Pertanggungjawaban ini secara hukum dapat diajukan ke pengadilan administarasi
negara (PTUN) sebagai lembaga hukum yang melaksanakan fungsi judicial control.
Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good
governance merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan
perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena dalam hal pejabat
administrasi negara membuat suatu kebijakan atau keputusan administrasi negara maka
rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus
mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam perekrutan pegawai negerai
sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus dibuat dalam suatu
keputusan administrasi yang sifatnya transparan dan terbuka bagi publik untuk
mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu
pertanggung jawaban secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas
keputusan administrasi negara tentang hasil penerimaan tadi.
31
Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik
dan Berwibawa
LATAR BELAKANG
Fungsi hukum administrasi negara adalam menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda
32
pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan
berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan
yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung
tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin
kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang
terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya
manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
PEMBAHASAN
Fungsi Hukum Administrasi Negara yang melihat negara dalam keadaan
bergerak, pada hakikatnya bertujuan mengatur lembaga kekuasaan / pejabat atasan
maupun bawahan dalam melaksanakan peranannya berdasarkan Hukum Tata Negara,
yaitu :
a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan abstrak
yang berlaku umum.
b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk subyek
tertentu, di bidang :
1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau
kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan pemeliharaan
perlengkapan administrasi.
2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan.
3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan mediasi.
33
Kegiatan penciptaan ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum
tercermin dalam kegiatan Pembentukan Undang – Undang, Peraturan Pemerintah serta
Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri.
Kegiatan menciptakan ketentuan – ketentuan konkrit untuk subyek tertentu,
tercermin dalam kegiatan : pemberian ijin penyimpangan jam kerja, ijin pemutusan
hubungan kerja dan ijij mempekerjakan wanita pada malam hari. Demikian pula
penentuan status terlihat dalam kegiatan pemberhentian buruh oleh P4P. Kegiatan
pembuktian dapat dilihat dari pendaftaran serikat buruh pada Departemen Tenaga Kerja.
Kegiatan pengawasan dalam arti pencegahan, tercermin dalam ketentuan
keselamatan kerja, ketentuan upah minimum dan sebagainya. Sedangkan kegiatan
pengawasan dalam arti penindakan, tercermin dalam ketentuan yang mencantumkan
ancaman sanksi pidana / administratif. Kegiatan peradilan di sini, tercermin dalam
mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang dikenal arbitrase wajib
( pemerintah mempunyai peranan yang penting ).
PERMASALAHAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH YANG BAIK
Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal
tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi
perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang,
banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur
negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.
Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum sepenuhnya
teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti
demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada
tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi lima tahun ke depan.
34
Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga akan
kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang
aparatur negara.
Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa
dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait
dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan
publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik
antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan
pengambilan keputusan.
Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai
permasalahan masih banyak yang dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain adalah:
pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN;
rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem
kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum
memadai; rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum;
rendahnya kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
BAGIAN
Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-
Government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan
yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya
ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang
terjadi dengan cepat; makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat
35
menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat
(digital divide).
Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki
kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi,
menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Di samping itu,
aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa
dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan
terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam
menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah
reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia.
Sasaran Penyelenggaraan Kebijakan Negara
Secara umum sasaran penyelenggaraan negara adalah terciptanya tata
pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang
diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat
memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal
tersebut di atas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran
(jajaran) pejabat yang paling atas;
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang
bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel;
3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap
warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat;
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
36
5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak
bertentangan peraturan dan perundangan di atasnya.
Arah Kebijakan
Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara
dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, maka kebijakan
penyelengaraan negara diarahkan untuk:
1) Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk
praktik-praktik KKN dengan cara:
a. Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance)
pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan;
b. Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c. Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi
dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;
d. Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif
dan bertanggung jawab;
e. Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan
pemeriksaan;
f. Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha dan
masyarakat dalam pemberantasan KKN.
2) Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui:
a. Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat
berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih
proporsional, ramping, luwes dan responsif;
37
b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada
semua tingkat dan lini pemeritahan;
c. Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar
lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;
d. Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier
berdasarkan prestasi;
e. Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government, dan
dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi pemerintahan.
3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan dengan:
a. Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar,
pelayanan umum dan pelayanan unggulan;
b. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan
dirinya, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi
jalannya pemerintahan;
c. Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui
peningkatan akses dan sebaran informasi
Program-Program Pembangunan
Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik
Program ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,
profesional, responsif, dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
38
1. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan pelaksanaan
prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik;
2. Menerapkan nilai-nilai etika aparatur guna membangun budaya kerja yang
mendukung produktifitas kerja yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka pemberian pelayanan
umum kepada masyarakat.
Program Peningkatan Pengawasan Aparatur Negara
Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem
pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan
aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit
internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat;
2. Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan
prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan dan
terakunkan;
3. Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum;
4. Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif;
5. Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja;
6. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional;
7. Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan
implementasinya pada seluruh instansi;
8. Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi APFP dan perbaikan
kualitas informasi hasil pengawasan; dan
39
9. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.
Program Penataan Kelembagaan Dan Ketatalaksanaan
Program ini bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem organisasi
dan manajemen pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/ kota agar lebih proporsional, efisien dan efektif.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel
berdasarkan prinsip-prinsip good governance;
2. Menyempurnakan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI
dan mempercepat proses desentralisasi;
3. Menyempurnakan struktur jabatan negara dan jabatan negeri;
4. Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
5. Menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yang efektif dan
efisien; dan
6. Menyelamatkan dan melestarikan dokumen/arsip negara.
Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur
Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas
sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas
kepemerintahan dan pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
40
1. Menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan akan
jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS;
2. Menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia
aparatur terutama pada sistem karier dan remunerasi;
3. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan
tugas dan tanggungjawabnya;
4. Menyempurnakan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat PNS;
5. Menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan
manajemen kepegawaian; dan
6. Mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan
aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin.
Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Program ini bertujuan untuk mengembangkan manajemen pelayanan publik
yang bermutu, tranparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada
seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan dunia usaha, serta
mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha.
2. Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap proses
pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung penerimaan
keuangan negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan penanaman modal;
3. Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, dan
privatisasi;
41
4. Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan;
5. Memantapkan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan pengembangan
kualitas aparat pelayanan publik;
6. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan
publik;
7. Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat;
8. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam
perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog
dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing-masing
wilayah; dan
9. Mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja
penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada
publik.
Program Peningkatan Sarana Dan Prasarana Aparatur Negara
Program ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan administrasi
pemerintahan secara lebih efisien dan efektif serta terpadu.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; dan
2. Meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan,
perbaikan dan perawatan gedung dan peralatan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan keuangan negara.
Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan Dan Kepemerintahan
42
Program ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas
pimpinan dan fungsi manajemen dalam penyelenggaraan kenegaraan dan
kepemerintahan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan;
2. Mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan dan
kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan,
belanja modal, dan belanja lainnya;
3. Menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja
kementerian dan lembaga;
4. Mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung
pelayanan; dan
5. Meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif.
Kesimpulan
Dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, HAN sangat dibutuhkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi HAN dapat dijabarkan sebagai berikut:
43
a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan
abstrak yang berlaku umum.
b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk
subyek tertentu, di bidang :
1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau
kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan pemeliharaan
perlengkapan administrasi.
2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan.
3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan
mediasi.
Diharapkan dengan penegakan Hukum Administrasi Negara dengan baik maka,
upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan berwibawa akan dapat terlaksana
dengan baik pula.
Konsep Negara Hukum dan Relevansinya Dengan Pembentukan Peradilan
Administrasi. Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-unsur
Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht
(1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting,
yaitu:
a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.
44
Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat
(Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep
Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang
dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the
constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara-
negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan
Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki
unsur-unsur :
a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on
Individual Right)
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of
Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak
Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya
persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas
hukum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hokum tersebut adalah
keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan
pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian
bagi warganya. Negara-negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat,
menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya
guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan
45
pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi,
termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah
bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan
perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F
Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak
yang harus dipenuhi oleh suatu negara, jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam
konsepsi Rechtstaat.
Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law,
menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan.
Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih
ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan
pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan (S.F Marbun, 8;
2003). Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak
diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili
sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak
ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi
negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal
ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan
secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis
perkara lain (Riawan Tjandra, 3: 2005).
Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi
negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori
negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi
negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya
46
terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah
sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah
Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikan
wewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah-masalah penting
dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada
(kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire).
Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang,
misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain
sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi
dalam bidang peraturan perundang-undangan, antara lain :
1) Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan
perundang-undangan yang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU,
2) Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan
untuk membuat peraturan perundang-undangan dibawah UU, dan
3) Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai
ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.
Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang bagi
terjadinya de’tournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur
(perbuatan sewenang-wenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun
(10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang
menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan
warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).
Akibat diberikannya kekuasaan yang besar kepada negara untuk mengurus
negara dan mensejahterakan warga negaranya, warga negara membutuhkan adanya
47
jaminan perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar
tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan tersebut, dibutuhkan satu media atau
institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat, untuk
mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hokum moderen
dewasa ini , salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan.
Lembaga pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen, secara simbolik telah
menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata. Proses-proses
peradilan dari mulai masuknya suatu perkara, hingga pelaksanaan putusan , sering
dianggap sebagai indikator serta bukti berjalannya hukum di suatu negara. Salah satu
lembaga peradilan di Indonesia, adalah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). PTUN ini
mendapat tugas khusus, yakni sebagai salah satu badan peradilan, yang memberi akses
keadilan bagi pencari keadilan di bidang tata usaha negara. PTUN lahir berdasarkan UU
No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan baru efektif 5 (lima) tahun
kemudian atau tepatnya tahun 1991.
Jika melihat rentetan perjalanan konsep Negara hokum dalam dimensi
kesejarahan diatas, maka tepatlah apa yang dinyatakan oleh Sunaryati Hartono dalam
Martiman Projohamidjodjo (1993; 11-12), yaitu “urgensi suatu PERATUN tidak hanya
dimaksudkan sebagai pengawasan intern (penulis lebih sepakat ekstern) terhadap
pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi (dan
harus dipegang teguh oleh) Negara hokum. Akan tetapi, yang benar-benar berfuungsi
sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif diberi wewenang untuk menilai
dan mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara yang dilakukan oleh pejabat
eksekutif kita.
C. Peradilan Tata Usaha Negara :
48
Suatu Tinjauan Kesejarahan Pada masa Hindia Belanda belum terdapat
peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara.
Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat
dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan
tersebut adalah:
1. Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS,
2. Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in
Indonesie),
3. Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi
Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak
(mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor
Belastingzaken) dan
4. Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi
bendaharawan (Comptabelrechtspraak).
Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan
perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang, 2). Pemeriksaan serta
penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri
(S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000). Perselisihan perdata antara rakyat pencari
keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui
peradilan perdata, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan
melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa internal melalui administrasi
negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau
oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan).
49
Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah
dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah
Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang
acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/
MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep
rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964
dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa
Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk
merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun
Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966
dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut,
namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan
Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk
dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan
Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang-
Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas
50
dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat
Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang
Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Akhirnya pada tanggal
20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada
tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan
barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7
Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya
telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang
Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang
dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami
perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Pembentukan PERATUN sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan tekad
negara dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia
dari tindakan administrasi negara yang dirasa merugikan. Namun demikian, pelembagaan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara Pancasila memiliki kekhasan yang
menunjukkan ciri dari Sistem Hukum Pancasila.
51
d.Peradilan Tata Usaha Negara dan Negara Hukum Pancasila
Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan
diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki
ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi
disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis
dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum
menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep
eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-
Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir
Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Konsep negara hukum Pancasila dapat disandingkan dengan konsep negara-
negara hukum lain didunia. Konsep negara hukum Pancasila berakar dan dikembangkan
berdasarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Menurut Supomo, Negara
Hukum Pancasila menganut faham integralistik, sebuah faham yang sangat berbeda
dengan faham komunisme dan liberalisme-kapitalisme, Ciri-ciri khusus yang
membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya dapat
terlihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan;
2. Tidak mengenal sekulerisme mutlak;
3. Kebebasan beragama dalam arti positif, setiap orang diharuskan beragama;
4. HAM bukanlah titik sentral, tapi keserasian hubungan antara pemerintah &
rakyat lebih diutamakan.
5. Demokrasi disusun dalam bingkai permusyawaratan perwakilan.
Menurut Padmo Wahyono, unsur-unsur utama negara hukum pancasila adalah:
52
a. Hukum harus bersumber pada Pancasila, Pancasila adalah sumber segala
sumber hukum;
b. Negara berdasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka;
c. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional;
d. Equality before the law;
e. Kekuasaan kehakiman yang merdeka
Kalau ditelaah dari latar belakang sejarahnya, baik konsep rule of law maupun
konsep rechtstaat lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenang-
wenangan penguasa, sedangkan negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan
berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenang-wenangan atau absolutisme.
Baik konsep rule of law mapun rechtstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik central, sedangkan bagi negara Republik
Indonesia, yang menjadi titik central adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan
rakyat berdasarkan asas kerukunan. Dalam Negara Hukum Pancasila juga menunjukkan
adanya ciri hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,
disamping itu juga dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan
merupakan unsur terakhir (PM Hadjon, 1985;84).
Untuk mengetahui bagaimana Politik Hukum Nasional yang berlandaskan
Pancasila terhadap pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di
Indonesia, maka perlu untuk mengatahui bagaimana tujuan dan fungsi Peradilan TUN.
Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara
yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal,
maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu
dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada
53
kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila
(demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan
individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan
pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat
pembahasan RUU PTUN adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-
hak individu;
b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai
RUU PTUN tanggal 29 April 1986).
Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah
untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun
bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan
peadilan administrasi secara preventif dan secara represif. Tujun Peradilan Administrasi
negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha
negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif
ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan
hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi.
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan
rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha
negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Negara Hukum
54
Pancasila penyelesaian. Sarana penyelesaian konflik atau sengketa Tata Usaha Negara
dikonstruksikan melalui 2 jalur, yaitu jalur upaya administrative yang menekankan upaya
permusyawaratan dan perdamaian (di luar pengadilan) dan upaya peradilan yang
kedudukannya netral, impartial, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam
menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol
yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi
maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain
menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi
eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol
yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan
untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun
yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah
sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan,
keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan
rakyat.
Menurut Riawan Tjandra (2005; 2), Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik
tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap
sesuai dengan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune)
seluas-luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti
luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat
(kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat).
55
Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan
tata usaha negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum
abstrak yang terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara
(Riawan Tjandra, 2005; 2). Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum
berakar pada satu norma dasar (grundnorm). Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib
hukum (rechtsorde) yang berlaku.
Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara
bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang
terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan
dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji
Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun
suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori
hierarkhi peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum
yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma
dasar negara (Gundnorm).
Bertolak dari pemikiran demikian, maka sesungguhnya Negara Hukum
Pancasila hendak mewujudkan perlindungan hokum bagi individu-individu warga
negaranya, sekaligus melindungi kepentingan umum. Dibukanya kran kebebsan warga
negara sama sekali tidak menghilangkan dimensi kepentingan public yang diwakili oleh
nagara. Kepentingan warga negara sebagai individu adalah penting, namun kepentingan
public juga tidak kalah pentingnya, dan oleh karenanya juga harus dilindungi oleh hokum.
Dengan kata lain, dimensi perlindungan hokum terhadap rakyat sedapat mungkin
56
berjalan secara sinergis antara kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan
public.
Penutup
Dapatlah disimpulkan disini bahwa eksistensi pengadilan administrasi negara
(PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena
pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan
hukum publik pejabat administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good
governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta
membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka
menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum
dalam masyarkat.
Terdapat hubungan teoritik antara urgensi dan eksistensi Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia dengan dianutnya asas negara hokum dalam system hokum
Indonesia. Kebijakan formulasi atas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia
telah melalui lika-liku kesejarahan yang panjang, dimulai dari usaha Wiryono Projodikoro
yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal
tata usaha negara, juga dari amanat Ketetapan MPR, usaha-usaha yang dilakukan oleh
LPHN/BPHN dalam rangka penyusunan RUU PTUN, sampai pada amanat UU Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, hingga pada akhirnya pada taun 1986 diterbitkanlah UU No.5
Tahun 1986 tentang PTUN, yang mulai berlaku efektif tahun 1991. Dalam perspektif
Negara Hukum Pancasila (secara konseptual), keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara
57
Top Related