TUGAS MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
“Kerjasama Multilateral Indonesia dengan WTO (World Trade Organization) yang dikenal dengan Bali Package”
Makalah ini ditulis untuk memenuhi Tugas 1 Mata Kuliah Hukum Internasional
Disusun oleh:
Nur Fadila Khoirunisa’ – 135120407121017
I – D2
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2013/2014
LATAR BELAKANG
Perkembangan Hukum Inernasional terus meningkat seiring globalisasi yang ditandai
dengan munculnya subjek – subjek hukum baru serta interaksinya yang semakin intensif.
Hukum Internasional sendiri sangat erat kaitannya dengan Hubungan Internasional, di mana
negara – negara berdaulat saling berinteraksi demi mempermudah pencapaian
kepentingannya. Dalam perjalanannya sektor Ekonomi suatu negara menjadi tonggak utama
bagaimana sebuah negara mendapatkan perhatian Internasional. Teori Realis-Mekantilisme
berbicara bahwa Negara yang menyesuaikan pada tantangan globalisasi ekonomi akan tetap
menjadi pemain yang kuat. 1
Dewasa ini, Perjanjian Internasional menjadi salah satu akses sebuah negara
mengupayakan kepentingannya. Baik perjanjian bilateral, multilateral, atau suatu negara
dengan Organisasi Internasional. Mengingat begitu banyak negara di dunia penggunaan suatu
instrumen hukum yang bisa diterima dan diterapkan oleh seluruh negara berkepentingan
tersebut maka dibuatlah suatu Hukum Internasional yang dalam Perjanjian Multirateral
biasanya ada suatu Organisasi khusus yang dibuat oleh anggotanya dengan tujuan mengatur
jalannya suatu kerjasama antarbangsa dan turut menjaga perdamaian dunia. Oleh karena itu
terbentuklah beragam Organisasi Internasional di berbagai sektor kehidupan bernegara
dibawah naungan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Misalnya IMF (International
Monitary Fund) , UNICEF (The United Nation Childern’s Fund), WTO (World Trade
Organization).
Menjadi satu – satunya Organisasi Internasional yang mengatur perdagangan
Internasional, WTO berusaha menempatkan dirinya sebagai Organisasi Internasional yang
fleksibel yang tidak hanya melayani arus perdagangan negara – negara maju di Dunia. Sejak
2001 WTO mewadahi negosiasi sejumlah perjanjian baru 117 negara anggotanya yang
memiliki background negara berkembang dan atau negara di wilayah kepabeanan dalam
Doha Develpoment Agenda (DDA).
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) selaku badan tertinggi WTO yang diadakan dua
tahun sekali terkait dengan DDA memandatkan negara anggota untuk melakukan putaran
perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multirateral yang berdimensi
pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi negara berkembang
dan LDC (Least Developed Coutry) untuk dapat memanfaatkan perdagangan Internasional
sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan.Isu – isu utama yang dibahas mencakup isu
pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access),
pedagangan bidang jasa, dan rules.
Dalam perjalannannya DDA tidak berjalan mulus, perundingan perundingan yang
dijalankan belum mencapai titik temu yang disepakati oleh semua negara yang tergabung
dalam perjanjian multirateral tersebut. Pada bulan Desember 2011, telah diselenggarakan
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen
arahan politis (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran
Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan politis yang disepakati
bersama tersebut terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan sistem perdagangan
multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktivitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan
pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.2
Sebuah titik terang muncul pada KTM ke-9 di Bali pada tanggal 3 – 7 Desember 2013
di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah WTO berhasil merumuskan suatu Perjanjian
Fasilitas Perdagangan. Negara-negara anggota WTO telah menyepakati “Paket Bali (Bali
Package) sebagai outcome dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali mencakup isu;
Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan dan LDCs, serta Pertanian yang notabene merupakan
sebagian dari isu perundingan DDA. Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya
fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security. Yang diharapkan akan berimbas
pada keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan
subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di
forum Dispute Settlement Body WTO.
Dalam rangka mendorong perekonomian dan mengentaskan kemiskinan Indonesia
harus menyertakan kepetingan nasionalnya itu dalam Doha Development Agenda yang dirasa
sangat menguntungkan, dan membawa angin segar dalam kemajuan perekonomian Indonesia.
Disisi lain Indonesia juga turut terlibat aktif dalam isu-isu Internasional yang juga menjadi
kepentingan nasional. Indonesia jelas telah mengikatkan diri ke dalam suatu Perjanjian
Internasional Multilateral yang pastinya diharapkan dengan baik digunakan untuk pencapaian
kepentingan nasional Indonesia khususnya di bidang perdagangan yang akan berimbas pada
bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana analisa tentang daya ikat Hukum Internasional dalam perjanjian
multilateral Indonesia dengan WTO (World Trade Organization) ?
2. Bagaimana kaitan perjanjian multilateral Indonesia dengan WTO (World Trade
Organization) dalam teori penerapan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional ?
TUJUAN PENULISAN
1. Dapat menganalisa tentang daya ikat Hukum Internasional dengan contoh kasus
Perjanjian Multilateral Indonesia dengan WTO (World Trade Organization)
2. Dapat menjelaskan teori penerapan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional
mana yang digunakan dalam Perjanjian Multilateral Indonesia dengan WTO (World
Trade Organization)
1Robert Jackson & George Sorensen. 1999. Introduction to International Relation. Oxford university Press inc. New York. Hal 62http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id diakases pada 16 Maret 2014; 22.15
PEMBAHASAN
Setiap negara berhak menentukan apakah dirinya akan mengkatkan diri pada suatu
perjanjian Internasional karena dalam praktek Hubungan Internasional sebuah perjanjian
hanya diperuntukkan bagi mereka – mereka yang setuju. Dalam Asas Pacta sunt servanda
perjanjian mengikat pihak yang setuju dengan perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.3 Oleh karena itu faktor kepentingan negara menjadi sangat kental terasa
apabila kita berbicara tentang Perjanjian Internasional.
I. Analisa tentang daya ikat hukum internasional
Pada dasarnya Perjanjian Multilateral antara Indonesia dengan 116 negara lain yang
bergabung dalam WTO membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia dan meliputi
beberapa aspek antaralain perdagangan beserta fasilatas lalu lintas pedagangan yang lebih
mudah dan pengembangan sektor pertanian yang masih menjadi komditi ekspor utama negara
berkembang yang nantinya berujung pada Pembangunan negara.
Jelas bahwa Perjanjian Internasional yang dijalin Indonesia dengan mitra mitra
kerjanya dalam Doha Development Agenda telah mengikatkan diri secara kokoh dalam treaty
contract antar negara anggota yang terlibat dalam Paket Bali. Dari hasil analisis sedehanapun
terbaca bahwa Hukum Internasional yang tebentuk dari Perjanjian Internasional ini sangat
mengikat tentang kebutuhan materi, perdamaian, maupun kepastian hukum yang secara
teoritik berkiblat pada Mahzab Perancis.
3 baca di http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/10/penerapan-asas-pacta-sunt-servanda-dalam-kontrak-kerjasama-eksploitasi-dan-eksplorasi-migas-antara-pt-chevron-pacific-indonesia-dengan-bpmigas-skk-migas-ditinjau-dari-uu-no-22-tahun-2001-tentang-mi/ yang diakses pada 16 Maret 2014 ; 23.22
II. Kaitannya dengan teori penerapan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional
Dalam penerapannya terhadap Hukum Nasional khususnya di Indonesia ada 2 (dua)
teori dasar yang mendasari teori penerapan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional
yang menjadi penentu dalam proses Ratifikasi. Teori Dualisme yang memaparkan bahwa
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum
yang terpisah satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu memerlukan perlakuan khusus dalam
proses penerapannya dalam Hukum Nasional yang biasa disebut Transformasi Hukum. Hal
ini bertujuan untuk mengubah kaidah Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian
Internasional menjadi kaidah Hukum Nasional yang dapat diberlakukan di negara tersebut
dan masuk dalam tata urutan perundangan nasional.
Setelah berlakunya Undang – Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, ratifikasi dapat dilakukan melalui putusan Dewan Perwakilan
Rakyat atau melalui Keputusan Presiden. Dalam klasifikasi Perjanjian Internasional yang
harus melalui tahap ratifikasi oleh legislatif ada enam jenis perjanjian yang tertuang dalam
pasal 10 UU RI No. 24 Tahun 2000, antaralain;
1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
5. Pembentukan kaidah hukum baru
6. Pinjaman dan/ atau hibah luar negeri4
Berlandasakan Undang – Undang, Perjanjian Multilateral Indonesia dalam DDA
(Doha Development Agenda) memerlukan ratifikasi dari dewan di masing – masing negara.
Di Indonesia pengesahan dan ratifikasi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
melalui prosedur – prosedur yang tersurat dalam pasal pasal di dalamnya. Setelah itu barulah
Hukum tersebut dapat diterapkan di Indonesia.
Hal yang menjadi fokus selanjutnya adalah jenis Transformasi Hukum yang
digunakan untuk menimplementasikannya dalam instrumen Hukum Nasional. Dalam
Perjanjian Multilateral Indonesia dengan WTO, Trasnformasi Formal yang lebih berpotensi
digunakan Indonesia dalam proses ratifikasinya. Dalam Transformasi Formal, Hukum
Internasional yang dalam hal ini tertuang dalam Perjanjian Internasional secara langsung
dijadikan bagian dari Hukum Nasional tanpa legislasi nasional terlebih dahulu.
Menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan (ratifikasi) sebagai bagian dari
hukum nasional pada kasus Kerjasama Multiateral Indonesia dengan WTO ini diupayakan
agar tidak aada pembuatan Hukum Nasional baru yang bersumber pada Perjanjian
Internasional tersebut. Karena pada hakikatnya Indonesia belum menjelaskan teori mana
yang diterapkan di Indonesia dalam menyerap Hukum Intenasional kedalam Hukum
Nasionalnya.
4 http://www.pu.go.id/satminkal/itjen/lama/hukum/uu24-00.htm diakses pada tanggal 17 Maret; 00.22
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Setiap negara memiliki kepentingan nasional masing masing, karena adanya sebuah
Hubungan Internasional tidak bisa dipungkiri bahwa pencapaian kepentingan negara bisa
lebih mudah dipenuhi. Untuk menyelaraskan hukuman antarnegara tersebut maka di buatlah
suatu Instrumen Hukum yang dapat ditaati oleh seluruh masyarakat Internasional. Hukum
Internasional yang berlaku dapat bersumber pada Perjanjian Internasional.
Mengikatkan diri dalam suatu Perjanjian Internasional seperti yang dilakukan
Indonesia dengan WTO (World Trade Organization) dibidang perdagangan internasional
dengan terlibat dan bahkan menjadi tuan rumah Konnfrensi DDA (Doha Development
Agenda ) ke-9 yang diberi nama “Paket Bali” merupakan suatu hal yang lumrah bahkan
sangat dianjurkan apabila hal tersebut membawa hal positif dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara Indonesia.
Menurut hasil analisis penulis, penerapan Hukum Internasional dalam Hukum
Nasional dalam Perjanjian Multilateral ini melalui proses transformasi hukum formal dimana
kaidah hukum yang awalnya berdiri sendiri digeneralisasikan menjadi satu kesatuan dengan
Hukum Nasional dengan secara langsung menjadikan Perjanjian Internasional tersebut
kedalam Hukum Nasional setelah diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia yang tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2000.
Meskipun tidak maksimal pemahaman rakyat mengenai perjanjian tersebut karena tidak
adanya subtansi hukum yang menfsirkan terlebih dahulu hasil Perjanjian kedalam Bahasa
Indonesia. Tetapi Indonesia juga masih belum menentukan sikap secara jelas teori penerapan
mana yang digunakan di Indonesia, selama ini teori penerapan Hukum Internasional kedalam
Hukum Nasional yang dianut Indonesia seolah bersifat kondisional dan disesuaikan dengan
isi kerjasamanya.
II. SARAN
Secara umum klausul perjanjian WTO yang ada dalam paket Bali memiliki implikasi
sosial budaya yang cukup signifikan. Ketika berbicara kesepakatan dalam fasilitas
perdagangan, maka akan banyak aspek lain yang juga akan ikut berkembang. Dalam hal ini
Indonesia telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian Internasional yang dirasa sesuai
dengan kondisi bangsa dan sesuai dengan blue print kepentingan bangsa Indonesia sendiri.
Hal ini diharapkan tidak akan menjadi suatu sebab musabab konflik dalam sektor yang lain.
Maka dari itu, dalam proses penerapan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional
harus jelas agar tidak memberikan asumsi asumsi ambstrak masyarakat Indonesi.
Mengingat bermanfaatnya kerjasama Internasional dalam pengembangan Indonesia,
pemerintah diharapkan dapat mendekteksi gejala – gejala awal imbas dari Perjanjian
Multilateral Indonesia dengan negara – negara lainnya dalam DDA (Doha Development
Agenda) salah satu langkah awal adalah memberikan penjelasan secara luas terhadap
masyarakat Indonesia tentang Kerjasama Multilateral Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
REFRENSI BUKU
Kusumaatmadja, Mochtar.Pengantar Hukum Internasional.Bandung:PT. Alumni,2010.
Jakson, Robert & Sorensen, Georg.Introduction to Internasional Relations.Oxford University Press. Inc:New York. 1999.
Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia.Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
J.G.Strake, Introduction to International Law,1967
WEBSITE PENDUKUNG
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id diakases pada 16 Maret 2014; 22.15
baca di http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/10/penerapan-asas-pacta-sunt-servanda-dalam-kontrak-kerjasama-eksploitasi-dan-eksplorasi-migas-antara-pt-chevron-pacific-indonesia-dengan-bpmigas-skk-migas-ditinjau-dari-uu-no-22-tahun-2001-tentang-mi/ yang diakses pada 16 Maret 2014 ; 23.22
http://www.pu.go.id/satminkal/itjen/lama/hukum/uu24-00.htm diakses pada17 Maret; 00.22
http://www.voaindonesia.com/content/wto-capai-kesepakatan-perdagangan-global/
1805665.html di akses pada 17 Maret 2014 ; 00.30
http://www.kemendag.go.id/id/ktm_wto_ke-9_dan_paket_bali
Lampiran 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANGPERJANJIAN INTERNASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional;
b. bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan;
c. bahwa Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" yang selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi;
d. bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Huruf a, b, c dan d perlu dibentuk Undang-undang tentang Perjanjian Internasional;
Mengingat :
1. Pasal 5 Ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya (1999);
2. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMAANTARA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL.
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
b. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).
c. Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.
d. Surat Kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.
e. Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
f. Pernyataan (Declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna
memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional.
g. Organisasi Internasional adalah organisasi antarpemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.
h. Suksesi Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari satu negara kepada negara lain, sebagai akibat pergantian negara, untuk melanjutkan tanggung jawab pelaksanaan hubungan luar negeri dan pelaksanaan kewajiban sebagai pihak suatu perjanjian internasional, sesuai dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
i. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri.
Pasal 2
Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.
Pasal 3
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
a. penandatanganan;b. pengesahan;c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.
BAB IIPEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 4
(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Pasal 5
(1) Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk
membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri.
(2) Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.
(3) Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut :
a. latar belakang permasalahan;b. analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain
yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk
mencapai kesepakatan.
(4) Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.
Pasal 6
(1) Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
(2) Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Pasal 7
(1) Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa.
(2) Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 adalah :
a. Presiden, dan
b. Menteri.
(3) Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional, memerlukan Surat Kepercayaan.
(4) Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan dengan Surat Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut ketentuan dalam suatu perjanjian internasional atau pertemuan internasional.
(5) Penandatangan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa.
Pasal 8
(1) Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan/atau pernyataan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut.
(2) Pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut.
(3) Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional.
BAB IIIPENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 9
(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Pasal 10
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan :
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;e. pembentukan kaidah hukum baru;f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pasal 11
(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.
(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.
Pasal 12
(1) Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.
(2) Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.
(3) Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.
Pasal 13
Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 14
Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi internasional.
BAB IVPEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 15
(1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
(2) Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
Pasal 16
(1) Pemerintah Republik Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut.
(2) Perubahan perjanjian internasional mengikat para pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
(3) Perubahan atas suatu perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.
(4) Dalam hal perubahan perjanjian internasional yang hanya bersifat teknis-administratif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur sederhana.
BAB VPENYIMPANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 17
(1) Menteri bertanggung jawab menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.
(2) Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional disampaikan kepada lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen pemrakarsa.
(3) Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada sekretariat organisasi internasional yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia menjadi anggota.
(4) Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan piagam pengesahan perjanjian internasional kepada instansi-instansi terkait.
(5) Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara pihak.
BAB VIPENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 18
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;g. objek perjanjian hilang;h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Pasal 19
Perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya, berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut.
Pasal 20
Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
BAB VIIKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, pembuatan atau pengesahan perjanjian internasional yang masih dalam proses, diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VIIIKETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakartapada tanggal 23 Oktober 2000PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakartapada tanggal 23 Oktober 2000SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 185
Top Related