Download - Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Transcript
Page 1: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

FILSAFAT HERMENEUTIKA: STUDI TENTANG FILSAFAT

BAHASA DAN PARA TOKOHNYA

Makalah Pada Mata Kuliah:

FILSAFAT ILMU

Disusun Oleh:

N a m a : MOH. KHUAILIDN I M : 505930012

Dosen Pengampu:

PROF. DR. H. CECEP SUMARNA, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA

STAIN CIREBON

TAHUN 2009

[Type text]

1

Page 2: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

FILSAFAT HERMENEUTIKA : STUDI TENTANG FILSAFAT BAHASA

DAN PARA TOKOHNYA

A. PENDAHULUAN

Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa.

Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-

masalah yang menyangkut bahasa telihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak

permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum

pernah begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20.

Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat

dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan

tertentu, yaitu keduanya bersifat universal. Hanya saja being adalah universal dari sudut

objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being. Sedangkan bahasa

adalah universal dari sudut subjektif: bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan dan

diungkapkan.; makna atau arti hanya timbul dalam hubungan dengan bahasa.  Bahasa

adalah tema yang dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat Inggris dan

Amerika. Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di mana-mana refleksi

filosofis berbalik kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai

pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya hermeneutika,

strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.1

Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak

dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu

dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah

selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain.

Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa

juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula

sangat dekat kerjanya dengan Biblical Studies, dengan munculnya buku Truth and

Method (1960) oleh Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika mengembangkan mitra

kerjanya pada semua cabang ilmu. Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa

1 K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2005, Cet. Ke-1,, h. 167-168.

[Type text]

2[

1

Page 3: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

semua disiplin ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding

yang muncul antara hubungan subyek dan obyek.2

Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat,

bahkan sastra. Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi

Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-

isu teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter

hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus

bersifat) “hermeneutis”.3

Sesungguhnya istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam

filsafat maupun penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini

sering muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas

dalam “Hermeneutika Baru” teologis kontemporer.4

Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks.5 Meski terjadi

perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan

seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20)

tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama,

sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika.

Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan

semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan

pengetahuan agama.6

Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi

Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian

Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan

usaha berkelanjutan dalam menanganinya.2 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:

Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h, 28.3 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger,

and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. Ke-2, h. 3.

4 Richard E. Palmer, Ibid, h. 4.5 Konsep “teks” di sini tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi meliputi pula ujaran,

penampilan, karya seni, dan bahkan peristiwa. Di sini sebenarnya bisa pula dikatakan interpretasi “teks sosial”. Bahkan simbol-simbol pun, sebenarnya merupakan teks. Termasuk simbol-simbol dalam mimpi seseorang. Lihat Audifax, Hermeneutika dan Semiotika,, www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif.

6 Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.

[Type text]

3

Page 4: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi

petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat

segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu

membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua

macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan

epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika.

Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang

berdampingan.7

B. ASAL USUL DAN DEFINISI HERMENEUTIKA

Sebelum kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui

terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam

masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan

dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang

dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes

dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit.

Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.8 Kata hermeneutika

yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah

teks.

Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani,

Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan

menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang

dipahami manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap dan dikenal dengan Mercurius

dalam bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam bukunya Takwīn al-‘Aql al-‘Ârabi,

dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan

yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.9 Hermes yang

dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang Yahudi.10 Baik Idris

as, Hermes, Thoth, dan Enoch adalah merupakan orang yang sama.

7 Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com., Ibid.

8 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006), h. 1.

9 http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2008/09/kritik-proyek-kritik-nalar-arab-abed-al.html.10 http://khidr.org/gunawardhana.htm.

[Type text]

4

Page 5: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossein Nasr kerap diasosiasikan sebagai Nabi

Idris as. Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai

tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran

dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa

latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu

sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau Dewa Hermes, persoalan yang

pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa

langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini

barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni memintal atau merangkai

kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai)

oleh manusia.11

Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek)

secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman,

hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya

“menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau

tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan

kebingungan bagi pendengar atau pembaca.12

Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein

(menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).13 Al-Farabi mengartikannya

dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).14 Kata Yunani hermeios mengacu kepada

seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda

hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu

berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman

11 Lihat Komaruddin Hidayat, op. cit., h. 125-126.12 Keraguan ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling

berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Lihat Ibid., h. 126-127 Keraguan ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Lihat Ibid., h. 126-127

13 Richard E. Palmer, Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. Ke-2, Op.cit., h. 14.

14 http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika dan Bahayanya.

[Type text]

5

Page 6: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.15 Kurang

lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.

Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata

modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa

sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa

merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.16

Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan

dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan

hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja

dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2)

menjelaskan; (3) menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata

kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk

sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.17

Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang

mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan

budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam

situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian

pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks.18

Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya,

yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya

studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.”  Setidaknya ada tiga bidang yang

sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.19

Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah

makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada

ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-

masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori

hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.

15 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. Ke-2, Op.cit., h. 15.

16 Richard E. Palmer, Ibid.17 Richard E. Palmer, Ibid., h. 15-1618 http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika/Studi Hermeneutika dan Penerapannya.19 http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger.

[Type text]

6

Page 7: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini

menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami

dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini

adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem

utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif

sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan

memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk

mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang

berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.20

C. LATAR BELAKANG MUNCULNYA FILSAFAT HERMENEUTIKA

Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga kondisi penting yang berpengaruh

terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi: Pertama

kondisi masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua kondisi masyarakat

Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan

berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu. Ketiga kondisi

masyarakat Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan

otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.21

1. Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen

Konsep hermeneutika yang digunakan dari nama Hermes ini resminya

digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks

kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya

Homer.22

Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani,

namun istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM)

Politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas

menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada

pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya

bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika

20 http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, loc. cit.21 Dikutip oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam

Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 2.22 Hamid Fahmy Zarkasyi, Ibid.

[Type text]

7

Page 8: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

dengan pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh

“nabi”. Nabi disini maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia.23

Dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair

dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat

Yunani menyelesaikan dengan konsep rational logos.24

Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu

intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih

dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris

terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and

outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of

Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak

metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu intinya mengajarkan bahwa

pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks,

tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu di luar teks. Metode

hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen.

Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian

Lama dengan metode ini.25

Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh

kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch.

Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan

metode interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh

hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah bayang-bayang hermeneutika

Aristotle.

Dari pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini

seorang teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan

tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori

semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya

23 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, h. 3.24 Logos asal dari bahasa Yunani berarti “kata”. Para filosof Yunani memakai kata tersebut untuk

menunjukkan prinsip rasional yang mengatur dan mengembangkan alam semesta. Hamid Fahmy Zarkasyi, h. 2.

25 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, Ibid.

[Type text]

8

Page 9: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang

terlalu simplistik.

Perkembangan pemikiran hermeneutika dalam teologi Kristen terjadi pada abad

pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang

didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu pemikiran Islam

mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim

khususnya al-Farabi (870-950),  Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam

karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle

yang juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia

mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu

dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak

merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah

untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus

merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.26

Di awal abad pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi

Kristen tapi masih berada dibawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani.

Ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh

pandangan hidup ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai

muncul membawa hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.

2. Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme

Bagaimanapun resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang

dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus

yang menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat

pun bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks kuno

seperti Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang

dipahami oleh manusia modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah adanya gap

antara bahasa modern dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir

tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern.

Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan

masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas

26 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, Ibid

[Type text]

9

Page 10: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi

eksistensi manusia tanpa menghilangkan esensi pesannya.

Bel pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation

dapat ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive

Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method of

Explanation of Sacred Literature), terbit pada tahun 1654. Di situ hermeneutika sudah

mulai dibedakan dari exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya

tetap sama tapi obyeknya diperluas kepada non-Biblical literature.27

Benedictus de Spinoza (1632-1677)  dalam karyanya tahun 1670 berjudul

Tractatus theologico-politicus (Risalah tentang politik teologi) menyatakan bahwa

“standar eksegesis untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”.28

Perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai alat penafsiran

(exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin ilmu interpretasi.

Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis

kepada semangat rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi

Protestan pada abad ke-16. Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan

memeperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja

di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan mereka ingin

memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang

dalam berbagai hal dianggap bertentangan.29

Tanda ini bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad

berikutnya. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman

sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena

hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada

pertengahan abad ini di Eropa bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik,

hermeneutika sebagai metode penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena

27 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. Ke-2, h. 39.

28 Richard E. Palmer, h. 43.29 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:

Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h. 127.

[Type text]

10

Page 11: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

sebuah karya seni merupakan contoh perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik

antara sang pencipta, proses pensiptaan dan karya cipta.30

Perkembangan makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi

menuju kepada metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi

Friedriech Ast (1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik

und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman

terhadap teks menjadi 3 tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman

berdasarkan pada perbandingan teks dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-

bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks, dan 3) pemahaman

spiritual, yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan

pandangan hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis.31

Pada tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat

masih berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel

secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika

berkembang dalam milieu yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan

dengan pemikiran filsafat Barat.

3. Dari teologi Protestan kepada filsafat

Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu

pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi,

agama dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber

‘disenchantment’ terjadi di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan

agama yang dianggap penyebab kemunduran.

Pada abad ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang.

Studi kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai

cara untuk memahami isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal teks sebagai

dasar diskusi mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian mencari situasi

sosiologis dan historis sebagai konteks untuk memahami asal-mula dan penggunaan

materi. Studi kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan terhadap 30 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:

Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h. 12731 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan

Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 6.

[Type text]

11

Page 12: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

textus receptus edisi Erasmus. Studi tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of

God) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak identik, bagian-bagian dari Bibel bukanlah

inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif.32 Di dalam milieu pemikiran inilah

makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.

D. PERKEMBANGAN FILSAFAT HERMENEUTIKA DAN PARA TOKOHNYA

Terdapat sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan

filsafat hermeneutika, di antaranya adalah:

1. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).

Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas

Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.”

Gelar tersebut diberikan karena  pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru

dalam teori penafsiran.33 Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan

Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai

filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan

hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga

pendiri Protestan Liberal.34 Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan

lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya

bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.

Schleiermacher mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada

“pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab Protestantisme telah

mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja

sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk

kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya

di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa

lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam

itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?35

32 Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-Qurán, Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008, h. 72.

33 Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, hal. 1.

34 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup., h. 735 Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog

pada WordPress.com.

[Type text]

12

Page 13: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal

dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan

hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam

pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis36

dan hermeneutika teologis37 bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk

mengembangkan teori umum mengenai pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur

berpendapat hermeneutika lahir dengan usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan

filologis ke tingkat ilmiah, yang tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan

mensubordinasikan kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem

penafsiran yang umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan

hermeneutika universal (universal hermeneutics).38

Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman

yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke

zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman

kekinian sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah

kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman

teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa)

dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi).

Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya.39 Tugas kaedah hermeneutik

Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang

dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang

(merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan

“Hermeneutical Circle”.40

36 Hermeneutika yang berkutat dengan teks-teks dari Yunani-Romawi.37 Hermeneutika yang terfokus pada teks-teks kitab suci. 38 Adnin Armas, Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam

Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, hal. 139 Penafsiran tata-bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa yang

digunakan dalam teks, selain itu, makna dari setiap kata harus ditentukan dengan konteks keberadaan kata tersebut. Sedangkan penafsiran psikologis berfungsi untuk mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks, ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang.

40 Lingkar hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak, dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi “pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah. Lihat Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.

[Type text]

13

Page 14: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Jadi, bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks

keseluruhan ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental

pengarang (the part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh seorang

interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa memahami

teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami

pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.41

2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)

Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat

besar pada akhir abad  ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat

digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang

memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).42 Wilhelm Dilthey

adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.

Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah

“tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”.

Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan

ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut

intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan

dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.

Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke

dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan

disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan.43 Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa

setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran

pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh

eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba

mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu

pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi

metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap

41 Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-Qurán, Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008,, h. 74.

42 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. Ke-2, h. 45.

43 Ricard E. Palmer, h. 45-46.

[Type text]

14

Page 15: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi

yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.44

Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah

pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis

Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical

Reason.45

Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua

disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai

obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di

luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya

karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah

tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya

semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek.

Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan

ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan

penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan

menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu

sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk

menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara

pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu

dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya.

Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai

ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi

dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya

teks.46

Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu

humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan

44 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 8

45 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, h. 45.

46 http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika/Studi, loc. cit.

[Type text]

15

Page 16: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam

pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.47

3. Martin Heidegger (1889-1976)

Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika,

metafisika dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode

fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus

kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat

kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan

menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih

bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara

fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri.

Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih

fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl

cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger

tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas

sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak

mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu

agar ia menyingkapkan diri.48

Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi

ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah

metode. Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah

wujud terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan sesuatu.

Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah

berarti disana-wujud.49

Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam

pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode

pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang

menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di

mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. 47 Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, h. 4. 48 http://idhimakalah.wordpress.com, loc. cit.49 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger,

and Gadamer, h. 46.

[Type text]

16

Page 17: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung

kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat,

sebab Dasein adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein

karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja.

Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah

satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz)

guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.50

Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang

menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak

bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi

digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan

kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan

dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan

hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri. 

Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan

sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan,

mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan

mendengarkan Ada.51

Heidegger menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna

kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan

pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya

tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi

yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman,

dan interpretasi yang essensial dan terus menerus.52

Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia

menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan

ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah

eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam

50 http://idhimakalah.wordpress.com,51 http://idhimakalah.wordpress.com,, Ibid.52 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan

Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 8

[Type text]

17

Page 18: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya

atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait

dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi

wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami

suatu teks.53

Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya

berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan

artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara

keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahasa

adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh

karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa,

karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu

sendiri.54

Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang

hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak

berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua

dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.

4. Hans-Georg Gadamer (1900-1998)

Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak

menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar

adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya

kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih

banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.55 Gadamer

melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan

merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan.56

Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari

53 Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.

54 http://idhimakalah.wordpress.com,55 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan

Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 856 Richard E. Palmer, Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher,

Dilthey, Heidegger, and Gadamer, h. 231-232.

[Type text]

18

Page 19: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman

individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.57

Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas

hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak

segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan

logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami

secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita

atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita

lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga

melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami

karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan

yang menjadi sebab karya itu ada.58

Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses

memahami teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya

untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat

pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon

ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas

sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan

konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective historical

consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa.59

Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang

dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga

adalah tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar

dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks

kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi,

sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama,

sikap reduktif ketika dengan seenaknya  memasukkan konsep kita sendiri dengan

berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan

57 Adnin Armas, Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, hal. 1

58 Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.

59 Hamid Fahmy Zarkasyi, h. 8-9.

[Type text]

19

Page 20: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

maknanya; kedua, sikap self-effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri

dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak

menyelesaikan persoalan ilmu yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi

antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara

subjek dan objek.60

Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat

kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu

menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca

teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri

pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks.

Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus

selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu

pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks.

Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin

berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks

memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu

yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh

Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah

menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada

asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap

pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak

membaca sebuah teks.61

5. Jurgen Habermas (1929-  )

Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang

berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah

dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai

medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks

tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus

60 Dikutip oleh Adnin Armas dari Alan How, The Habermas-Gadamer, lihat Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, h.  5.

61 http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika.

[Type text]

20

Page 21: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.62 Menurut Habermas, teks bukanlah

media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai.

Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan

horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan

kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter.63

6. Paul Richour (1913-2005)

Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus

eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika.

Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak

ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam

pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari

simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik

yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik

yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai

signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam

diketahui di bawah kandungan yang nampak.64

Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna

obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi

yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan

hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup

pembacanya.65 Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.

7. Muhammed Arkoun

Setelah membahas pemikiran tokoh-tokoh di atas, ada baiknya untuk membahas

pemikiran Muhammed Arkoun yang telah mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika

menafsirkan Alquran.

Adalah Muhammed Arkoun, pemikir reformatif-dekonstruktif sekaligus

intelektual wilayah ‘tak terpikirkan’ (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir

62 http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, Ibid.63 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan

Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 964 Richard E. Palmer, Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher,

Dilthey, Heidegger, and Gadamer, h. 47-4865 Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan

Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 9

[Type text]

21

Page 22: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun

diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran

epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode

historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu

sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis.66

Kritik epistemik nalar Islam dan analisis dekonstruktif merupakan harga mati

bagi Akoun guna mencapai kebangkitan kembali peradaban Islam yang sampai kini

masih terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh

Arkoun dengan cara mengkritik secara dekonstruktif terhadap mekanisme-mekanisme

berpikir konvensional yang telah memproduk sistem-sistem teologis dan keyakinan-

keyakinan yang amat varian dan, sebagai langkah kedua, kemudian merekonstruksi

pondasi-pondasi epistemiknya.67

Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah

hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-

mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan

pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi.

Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran

dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-

masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah

kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus

terbuka.68

Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya

sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada

semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu

kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk

pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional.69 Arkoun dalam

66 http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html.67 http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html., Ibid.68 Adnin Armas, Adnin Armas, Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir

al-Qurán, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, h. 5-6.69 Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-Qurán,

Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008, h. 76.

[Type text]

22

Page 23: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori

Hermeneutika.

E. PENUTUP/KESIMPULAN

Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosikan dengan

Dewa Hermes terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan

hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja

dari hermēneuein, yaitu: to say, to explain, dan to translate atau to interpret.

Setidaknya ada enam definisi tentang hermeneuitika modern yang juga

menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri.

1. Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.

2. Hermeneutika sebagai metode filologis.

3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya

hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel,

melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua ragam

interpretasi teks (Hermeneutika Umum).

4. Hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey

menjadi figur utama pada perkembangan herneutika tahap ini. Ia melihat bahwa

hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften,

yakni semua pemahaman yang mefokuskan pada seni, aksi, dan tulisan manusia.

5. Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik

inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen

pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi, segala

Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya dilanjutkan oleh

Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik.

6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna versus ikonaklasme.

Titik balik kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika

dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distinktif dan

sentral dalam hermeneutika.

7. Muhammed Arkoun mengadopsi teori hermeneutika dalam tafsir Alquran, dengan

melakukan kritik secara dekonstruktif lalu melakukan rekonstruksi.

[Type text]

23

Page 24: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

DAFTAR PUSTAKA

Armas, Adnin.  Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-

Qurán. Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008.

----------, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam Kumpulan

Makalah Workshop Pemikiran, IKPM Cabang Kairo.

Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005.

E. Palmer, Richard. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,

Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri

[Type text]

24

Page 25: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Cet. II;

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I;

Jakarta: Paramadina, 1996.

Salahuddin, Henry. Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam

Blog pada WordPress.com.

Sumarna, Cecep, Revolusi Peradaban, Mencari Tuhan dalam Batang Tubuh Ilmu,

Bandung: Mulia Press, 2008, Cet. Ke-1

Zarkasyi, Hamid Fahmy. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup. Dalam

Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang

Kairo, 2006.

Dari Website Internet:

Audifax,HermeneutikadanSemiotika,www.groups.yahoo.com/group/

psikologi_transformatif. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009

http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika/Studi Hermeneutika dan Penerapannya.

http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-

heidegger. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009

http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html.

Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009

http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2008/09/kritik-proyek-kritik-nalar-arab-abed-

al.html. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009

http://khidr.org/gunawardhana.htm. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009

http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika dan

Bahayanya. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009

[Type text]

25

Page 26: Makalah Kajian Filsafat Hermeneutika

[Type text]

26