FILSAFAT ILMU(POSITIVISME)
MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Oleh:
ZULFAHMI KOTONIM : 80100212076
Dosen Pemandu :
Prof. Dr. Muh. Ramli, M.SiDr. Mustari, M.Pd.I
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR2013
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi
pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di
semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat
sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri,
karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan
menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi.
Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu.
Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno
adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal
terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam
semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut
kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada
zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat
untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam
pemikiran Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk
disesuaikan dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan
2
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.
Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia
sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut
antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda
dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas
kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas
kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman
Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun,
kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang
mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya
yang bersifat absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok
pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris.
Positivisme menegaskan bahwa hanya pengetahuan yang otentik adalah yang
didasarkan pada pengalaman rasa dan verifikasi positif. Sebagai suatu pendekatan
terhadap filsafat ilmu yang berasal dari pemikir Pencerahan seperti Henri de Saint-
Simon dan Pierre-Simon Laplace, Auguste Comte melihat metode ilmiah
3
sebagaimana menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran, mengamati
ketergantungan melingkar teori dan observasi dalam ilmu . Positivisme sosiologis
kemudian dirumuskan oleh Émile Durkheim sebagai dasar untuk penelitian sosial.
Pada pergantian abad ke-20 gelombang pertama sosiolog Jerman, termasuk Max
Weber dan Georg Simmel, menolak doktrin, sehingga pendiri tradisi antipositivist
dalam sosiologi. Kemudian antipositivists dan teoretisi positivisme kritis yang terkait
dengan "saintisme"; ilmu sebagai ideologi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Filsafat Positivisme?
2. Apa Tahapan-tahapan pada Positivisme?
3. Bagaimana Metode Positivisme?
4. Bagaimana Perkembangan Filsafat Positivisme?
4
BAB IIPEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT POSITIVISME
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols
mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas,
pasti, meyankinkan.1 Dalam filsafat, positivisme adalah aliran filsafat yang
berpangkal dari fakta positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.2 Positivisme berarti aliran filsafat yang
beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu
yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini
menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya
spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih
dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu
dibalik fakta-fakta.
Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad
modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara
keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya,
positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif,
1 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesi, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 4392 Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182
5
sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau
pengalaman yang subjektif.3
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang
dalam karya utama Auguste Comte adalah Cours de philosophic positive, yaitu
kursus tentang filsafat positif (1830-1842) yang dirbitkan dalam enam jilid. Selain itu
dia juga mempunyai sebuah karya yaitu Discour L’esprit Positive (1844) yang artinya
pembicaraan tentang jiwa positif.4
B. TAHAPAN TAHAPAN PADA POSITIVISME
Dalam Cours de Philosophy Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya
ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan
pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang
melalui tiga tahap yaitu Teologi, Metafisis dan Positif.5
Hukum tiga tahap ini merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan
evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai peradaban Prancis abad
kesembilan belas yang sangat maju. Mengenai hukum tiga tahap ini, comte
menjelaskannya sebagai berikut;
“Dari studi mengenai perkembangan intelegensi manusia, dan melalui segala
zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya:
bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita,
3 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta : Kanisius. 1980), h. 1104 Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009), h. 555 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama-2007), hlm. 206.
6
berturut-turut melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda; teologis atau fiktif,
metafisik atau abstrak dan ilmiah atau positif”
Dalam tahap teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak
seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih
tinggi dari pada makhluk insani biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada
masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki
hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum
menjadi subyek. Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir
manusia, dimana mereka menganggap bahwa benda-benda memiliki jiwa, lalu
beranjak kepada politeisme, yang menganggap adanya Dewa-dewa yang menguasai
suatu lapangan tertentu, dan kemudian Monoteisme yang menganggap hanya ada satu
Tuhan penguasa.
Selanjutnya tahap metafisik. Tahapan ini merupakan tahap transisi antara
tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-
hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap terakhir ialah tahap positif, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh
akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan
atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental. Akan
tetapi pengetahuan selalu bersifat sementara, dan tidak mutlak. Karenanya, semangat
7
positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas
dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali.
Sebagai contoh perbedaan dan peralihan dari tiap tahap tersebut, dapat dilihat
misalanya dari penjelasan tentang angin topan. Pada tahap teologis, hal ini akan
dijelaskan sebagai hasl tindakan lagsung dari seorang dewa angin, atau tuhan yang
agung. Dalam tahap metafisik, hal ini akan dijelaskan sebagai manifestasi dari hukum
alam yang tidak dapat diubah. Dan dalam tahap positif, angin topan akan dijelaskan
sebagai hasil dari kombinasi tertentu dan tekanan-tekanan udara, kecepatan angin,
kelembapan dan suhu.
C. METODE POSITIVISME
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang
positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai
fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif,
adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.6
Menurut Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat penting dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat
dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.
Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal panas diukur dengan
derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. berat dengan kiloan, dan
6 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), h. 154-155.
8
sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api itu panas, matahari
panas, kopi panas, ketika panasa, juga kita tidak cukup mengatakan panas sekali,
panas, tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran yang teliti (secara ilmiah). Dari
sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.7
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga
tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa
dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.8
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang
abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang
disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.9
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan
teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna
melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala
sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang
terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.10
Positivisme ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni pandangan yang
menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang
nyata/empiric”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial
7 Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 133-1348 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), h. 154-
155.9 Amsal Bakhtiar, Loc. cit.10 Amsal Bakhtiar, Loc. cit.
9
menurut positivism dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh
dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.11
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan
mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif, Jadi, nilai-nilai
tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu
masyarakat itu sendiri.12
Jadi, penganut faham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit
perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.13
D. FILSAFAT POSITIVISME DAN PERKEMBANGANNYA
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu
sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme
khususnya idealisme Jerman Klasik).
11 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. II, h. 122
12 Mohammad Adib, Loc. cit13 Mohammad Adib, Op.cit, h.122-123
10
Positivisme mengacu pada satu set perspektif epistemologis dan filsafat ilmu
yang berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pendekatan terbaik untuk
mengungkap proses yang baik peristiwa fisik dan manusia terjadi. Meskipun
pendekatan positivis telah 'tema berulang dalam sejarah pemikiran Barat dari Yunani
Kuno sampai sekarang konsep tersebut dikembangkan pada awal abad 19 oleh filsuf
dan pendiri sosiolog, Auguste Comte
Positivisme menegaskan bahwa hanya pengetahuan yang otentik adalah yang
didasarkan pada pengalaman rasa dan verifikasi positif. Sebagai suatu pendekatan
terhadap filsafat ilmu yang berasal dari pemikir Pencerahan seperti Henri de Saint-
Simon dan Pierre-Simon Laplace, Auguste Comte melihat metode ilmiah
sebagaimana menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran, mengamati
ketergantungan melingkar teori dan observasi dalam ilmu.14 Positivisme sosiologis
kemudian dirumuskan oleh Émile Durkheim sebagai dasar untuk penelitian sosial.
Pada pergantian abad ke-20 gelombang pertama sosiolog Jerman, termasuk Max
Weber dan Georg Simmel, menolak doktrin, sehingga pendiri tradisi antipositivist
dalam sosiologi. Kemudian antipositivists dan teoretisi positivisme kritis yang terkait
dengan "saintisme"; ilmu sebagai ideologi.
Pada awal abad 20, positivisme-logis keturunan tesis dasar Comte, tetapi
sebuah gerakan independen-bermunculan di Wina dan tumbuh menjadi salah satu
sekolah yang dominan dalam filsafat Anglo-Amerika dan tradisi analitik. positivis
14 Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. (Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 55
11
logis (atau 'neopositivists') menolak spekulasi metafisik dan upaya untuk mengurangi
pernyataan dan proposisi untuk logika murni. Kritik dari pendekatan oleh filsuf
seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn telah sangat berpengaruh, dan menyebabkan
perkembangan postpositivism. Dalam psikologi, gerakan positivis ini berpengaruh
pada pengembangan behavioralism dan operationalism. Dalam ekonomi, peneliti
berlatih cenderung meniru asumsi metodologi positivisme klasik, tetapi hanya dengan
cara-de facto: mayoritas ekonom tidak secara eksplisit menyibukkan diri dengan
masalah epistemologi. Dalam yurisprudensi, "positivisme hukum" pada dasarnya
mengacu pada penolakan terhadap hukum alam, sehingga makna umum dengan
filosofis positivisme agak dilemahkan dan dalam generasi terbaru umumnya
menekankan otoritas struktur politik manusia sebagai lawan dari pandangan "ilmiah"
hukum.
Dalam ilmu sosial kontemporer, rekening kuat positivisme telah lama sejak
jatuh dari nikmat. Praktisi positivisme hari ini mengakui dalam bias detail pengamat
jauh lebih besar dan keterbatasan struktural. positivis modern umumnya menghindari
masalah metafisik yang mendukung perdebatan metodologis tentang kejelasan,
diulangi, reliabilitas dan validitas. Positivisme ini umumnya disamakan dengan
"penelitian kuantitatif" dan dengan demikian tidak membawa komitmen teoretis atau
filosofis eksplisit. Institusionalisasi semacam ini sosiologi sering dikreditkan ke
Paulus Lazarsfeld, yang memelopori penelitian survei skala besar dan teknik statistik
yang dikembangkan untuk menganalisis mereka. Pendekatan ini cocok untuk teori
12
apa Robert K. Merton disebut-tengah kisaran: laporan abstrak yang generalisasi dari
hipotesis dipisahkan dan keteraturan empiris bukan dimulai dengan gagasan abstrak
dari suatu keseluruhan sosial baru gerakan lain, seperti realisme kritis,. telah muncul
untuk mendamaikan tujuan menyeluruh dengan berbagai ilmu sosial yang disebut
'postmodern' kritik
13
BAB IIIPENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu
semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang
maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu
seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi
2. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yaitu Teologi,
Metafisis dan Positif
3. Positivisme mengacu pada satu set perspektif epistemologis dan filsafat ilmu
yang berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pendekatan terbaik untuk
mengungkap proses yang baik peristiwa fisik dan manusia
B. SARAN
Dengan segala kerendahan hati penulis menyatakan bahwa dalam pemaparan
makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis
sendiri, olehnya itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari peserta seminar makalah khususnya Bapak dosen selaku pemandu dari seminar
ini.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Asmoro, Achmadi, Filsafat Umum, Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius. 1980
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama-2007
John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1982
Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Waris, Filsafat Umum, Ponorogo: Stain Po Press, 2009
Top Related