Tugas kelompok
TEKA TEKI SILANG
BIOKIMIA
OLEH :
A.RESKIANTIWARDANI.S
60500110001
ABDUL RAHMAN ARIEF
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2011
A. Pengertian Shalat
Sebelum terlalu jauh membahas mengenai shalat, maka
kita akan membahas mengenai pengertian dari sholat itu sendiri.
Secara etimologi sholat berasal dari kata “ ash-sholaah “ yang
berarti doa, sedangkan menurut terminologi sholat adalah suatu
amal ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri
dengan salam dengan syarat- syarat dan rukun-rukun yang yang
telah di tentukan.
Karena itu sholat merupakan kewajiban yang pertama
harus dilakukan oleh seorang hamba, dan sekaligus merupakan
ibadah yang paling utama. Bahkan menurut Nabi Muhammad
saw. bahwa kelak di akhirat, amal seseorang yang akan dimintai
pertanggungjawaban untuk pertama kali adalah sholat. Sabda
Beliau yang sangat terkenal ialah:
العبد به يحاسب ما الصالة أول القيامة سائر يوم له صلح صلحت فإن
عمله سائر فسد فسدت وإن [13] عمله
Pertama kalinya hal yang akan diperhitungkan dari seorang
hamba di hari kiamat nanti ialah sholat. Kalau sholat seseorang
itu baik maka akan baik pula seluruh perbuatannya dan apabila
sholat seseorang tersebut jelek maka menjadi jeleklah seluhruh
amalnya
B. Hukum Sholat
Melaksanakan sholat adalah wajib 'aini bagi setiap orang
yang sudah mukallaf (terbebani kewajiban syari'ah), baligh (telah
dewasa/dengan ciri telah bermimpi), dan 'aqil (berakal).
Allah berfirman:
"Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka hanya
beribadah/menyembah kepada Allah sahaja, mengikhlaskan
keta'atan pada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan hanif
(lurus), agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
demikian itulah agama yang lurus". (Surat Al-Bayyinah:5).
C. Kedudukan Sholat
Sholat merupakan salah satu rukun Islam setelah
syahadatain. Dan amal yang paling utama setelah syahadatain.
Barangsiapa menolak kewajibannya karena bodoh maka dia
harus dipahamkan tentang wajibnya sholat tersebut,
barangsiapa tidak meyakini tentang wajibnya sholat
(menentang) maka dia telah kafir. Barangsiapa yang
meninggalkan sholat karena menggampang-gampangkan atau
malas, maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah.
Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Pemisah di antara kita dan mereka (orang kafir) adalah sholat.
Barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).
Sholat dalam Islam mempunyai kedudukan yang tidak
disamai oleh ibadah-ibadah lainnya. Ia merupakan tiangnya
agama ini. Yang tentunya tidaklah akan berdiri tegak kecuali
dengan adanya tiang tersebut.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan:
"Pondasi (segala) urusan adalah Islam, dan tiangnya (Islam)
adalah sholat, sedangkan yang meninggikan martabatnya adalah
jihad fi sabilillah."
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Sholat merupakan kewajiban mutlak yang tidak pernah berhenti
kewajiban melaksanakannya sekalipun dalam keadaan takut.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala menunjukkan:
"Peliharalah segala sholat(mu), dan (peliharalah) sholat wustha.
Jika kamu dalam keadaan takut (akan bahaya), maka sholatlah
sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu
telah aman, maka sebutlah Allah (sholatlah) sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui."
(QS. AL-baqarah : 238 - 239).
Sholat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan Allah
dan nantinya akan menjadi amalan pertama yang dihisab di
antara amalan-amalan manusia serta merupakan akhir wasiat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan
dalam sabdanya:
"Sholat, sholat dan budak-budak yang kamu miliki."
(HR. Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Sholat yang nantinya akan menjadi amalan terakhir yang
hilang dari agama ini. Jika sholat telah hilang, berarti hilanglah
agama secara keseluruhan. Untuk itu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam mengingatkan dengan sabdanya:
"Tali-tali (penguat) Islam sungguh akan musnah seikat demi
segera berpegang dengan ikatan berikutnya (yang lain). Ikatan
yang pertama kali binasa adalah hukum, dan yang terakhir
kalinya adalah sholat."
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani).
D.Perspektif Fiqh Mengenai Sholat
Beberapa waktu yang lalu dan bahkan sampai sekarang,
pelaksanaan sholat dengan menggunakan dua bahasa, yakni
bahasa arab dan bahasa Indonesia masih menyisakan persoalan
yang cukup memprihatinkan. Di satu sisi, Majlis ulama’ telah
memberikan vonis keharaman terhadap praktek sholat semacam
itu, baik MUI ditingkat kabupaten Malang, maupun sekarang
telah dikuatkan oleh MUI pusat. Beberapa tokoh muslim
terkemuka juga telah ikut memberikan vonis haram, seperti
yang dikemukakan oleh ketua PB Nahdlatul ulama’ Prof. Dr. H.
Said Agil Siradj, dan juga oleh ahli tafsir Prof. Dr. H. Quraisy
Syihab, M.A., yang menyatakan bahwa sholat dengan
menggunakan dua bahasa seperti yang dilakukan oleh Yusman
Roy menyalahi fiqh. LDII juga mengamini apa yang diputuskan
oleh MUI dan pendapat dari Quraisy Syihab. Bahkan MUI juga
menganggap bahwa sholat dengan dua bahasa tersebut
meresahakan dan memicu kontroversi. Akan tetapi di sisi lain
tokoh terkemuka di negeri ini malah berpendapat lain, seperti KH
Abd. Rahman Wahid, yang mengatakan bahwa sholat dengan
menggunakan dua bahasa secara fiqh merupakan masalah
khilafiyah; ada yang melarang dan ada yang memperbolehkan
atau dengan bahasa lain tidak menyalahi fiqh.
Sementara itu dengan alasan bahwa pelaksanaan sholat
dengaan menggunakan dua bahasa sebagaimana dilakukan oleh
Yusman Roy, pengasuh Pondok I`tikaf Jamaah ngaji Lelaku
Lawang Malang itu dapat meresahkan masyarakat, maka Polri
akhirnya menahan yang bersangkutan dan menjadikannya
sebagai tersangka.[4] Kenyataan ini sesungguhnya
mengundang pertanyaan yang cukup besar bagi kehidupan
keberagamaan di Indonesia tercinta ini. Sebab ditinjau dari
aspek-aspek apapun, asalkan dengan didasari oleh keikhlasan,
kiranya tidak akan ada yang diusik atau dengan bahasa lain
tidak akan menimbulkan keresahan. Bagaimana mungkin orang
melaksanakan ibadah, sebagai manifestasi ketaatannya kepada
sang Pencipta dan sebagai wahana untuk taqarrub kepada ilahi,
dianggap bersalah dan berakhir dengan penahanan. Sementara
kemaksiatan dengan berbagai variasinya setiap saat leluasa dan
berlalu lalang dapan mata, terlewatkan begitu saja dan tidak
mendapatkan perhatian yang seimbang.
Lepas dari persoalan riil yang telah terjadi di malang Jawa
Timur, namun persoalan sholat dengan menggunakan dua
bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa non Arab atau mungkin
malah dapat diperluas menjadi pelaksanaan sholat dengan
menggunakan bahasa `ajam atau bahasa selain selain Arab, ini
sangat urgen untuk dicari solusinya, dengan harapan agar pada
saat yang akan datang tidak lagi terjadi penghakiman terhadap
orang yang melaksanakan ibadah kepada Tuhannya.
Sesungguhnya persoalan ini merupakan persoalan fiqh,
dan masuk ke dalam bagian masalah yang diperselisihkan oleh
para ulama’ atau masalah khilafiyah, sebagaimana masalah
khilafiyah lainnya. Hal ini mengingat bahwa sholat itu sendiri
sesungguhnya merupakan doa dan permohonan kepada sang
Khaliq. Secara terminology fuqaha’, sholat diartikan sebagai
sejumlah af`al (perbuatan yang berupa gerakan-gerakan
tertentu, seperti ruku’, sujud, julus, berdiri, dan lainnya) dan
aqwal (bacaan-bacaan tertentu, seperti taujih, qiraat, takbir,
tasbih, tahmid, istighfar, tahiyyat/tasyahhud, dan lainnya) yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Masalah
seperti ini dalam perspektif fiqh merupakan masalah yang wajar
mengingat para mujtahid yang menggali hukum dan kemudian
menentukan hukum tersebut berbeda, baik berbeda tempat dan
kondisi sosio kulturalnya, maupun berbeda dalam menggunakan
metodologi penggaliannya. Masalah khilafiyah yang sampai
sekarang terus terpelihara antara lain tentang melaksanakan doa
qunut pada sholat subuh, jumlah rakaat pada saat sholat
tarawih, dan lannya.
Oleh karena itu sepatutnya masalah ini juga diberlakukan
sebagaimana masalah khilafiyah yang lainnya. Dan agar
persoalan ini menjadi jelas dan dapat dijadikan pegangan umat,
maka perlu dilakukan kajian yang mendalam dan akurat tentang
hukum melaksanakan sholat dengan dua bahasa, yakni bahasa
arab dan bahasa non Arab, dan bahkan hukum melaksanakan
sholat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
E. Bahasa Arab Bahasa Islam
Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Dalilnya: Pertama, Allah
SWT mengutus Nabi Muhammad saw. untuk seluruh manusia (QS
al-A’raf [7]: 158) dan al-Quran merupakan seruan bagi seluruh
manusia (QS al-Isra’ [17]: 89; ar-Rum [30]: 58).
Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan bahasa Arab dan
menjadikannya berbahasa Arab. Allah SWT berfirman:
lا nن qاهo إ sن ل qزs qن uا أ آن sرoا قx nي ب qرqع sمo lك qعqل oونq ل qعsقnل ت
Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran sebagai bacaan
dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya (QS Yusuf
[12]: 2).
Juga firman-Nya:
ان| qسnلn nي{ ب ب qرqين| عn مoب
…dengan bahasa Arab yang jelas (QS asy-Syu’ara [26]: 195).
Dengan demikian, bahasa Arab merupakan satu-satunya
bahasa Islam karena bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa al-
Quran. Karena itu, jika bukan bahasa Arab maka tidak disebut
dengan al-Quran (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 37).
Kedua, membaca ungkapan (bacaan) al-Quran merupakan
ibadah, bahkan shalat tidak sah tanpa membaca al-Qur’an. Allah
SWT berfirman:
ءoوا qرsاقqا فqم qر lسq qي آنn مnنq ت sرoقs ال
Karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari al-Quran itu
(QS al-Muzammil [73]: 20).
Nabi saw. juga bersabda:
q qةq ال nمqنs صqال qمs ل s ل أ qرsقq ةn ي qحn nفqات qابn ب nت sك ال
Tidak ada shalat bagi orang yang (di setiap rakaat) tidak
membaca surat al-Fatihah (HR al-Bukhari).
Perintah “membaca al-Quran” dalam kedua nas di atas,
artinya adalah membaca kalimat-kalimat dan hal ini tidak bisa
diartikan dengan membaca terjemahannya atau tafsirnya. Ini
merupakan dalil yang tegas tentang ketidakbolehan membaca
surat al-Fatihah di dalam shalat dengan selain bahasa Arab,
sekalipun ia belum bisa—mengucapkan dengan baik ungkapan—
bahasa Arab. Dengan demikian, bahasa Arab merupakan perkara
esensial dalam Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.
37-38). Bahkan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari Islam
(Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmiy, hlm. 95).
Oleh karena itu, sejak awal abad ke-7 Hijriah, ketika
kekuatan bahasa Arab dipisahkan dari kekuatan Islam, maka
Dunia Islam pun mengalami kemunduran. Sebab, Islam dan
bahasa Arab itu merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Pasalnya, ijtihad yang kedudukannya amat penting
bagi umat dalam menghantarkan pada sebuah kemajuan tidak
mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syarat
mendasarnya, yaitu bahasa Arab (An-Nabhani, Mafâhîm Hizb
atTahrîr, hlm. 3-4).
F. Hukum Sholat Dengan Dua Bahasa
Pandangan fiqh terhadap segala sesuatu sesungguhnya
dapat menghasilkan lima pandangan hukum sekaligus. Lima
pandangan hukum tersebut meliputi wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram. Dalam pandangan fiqah, illat atau alasan
dan pertimbangan hukum sangat menentukan status hukum.
Karena itu dalam pandangan fiqh, sesuatu hal dapat saja
mempunyai status hukum yang berbeda, manakala
pertimbangan dan alasan yang digunakan menetapkan dan
menentukan hukum tersebut berbeda. Dalam masalah ini,
sesuatu tersebut dapat dianggap sebagai hal yang harus dan
wajib, tetapi sekaligus dalam pandangan dan sisi yang lain dapat
dianggap hanya sebagai sunnah saja, bahkan pada sisi yang lain
pula dapat dianggap hanya sebagai hal yang mubah. Dan kalau
pada sisi pandangan yang ternyata ditemukan illat yang lain
pula, maka sesuatu itu dapat dikatakan sebagai hal yang
mahruh, dan bahkan dapat berstatus haram.
Itulah pandangan fiqh yang memang memungkinkan untuk
berbeda, asalkan dilandasi dengan argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu kalau ada klaim secara
umum bahwa sesuatu itu menyalahi fiqh tanpa melihat
pertimbangan dan alasan hukumnya, tentu tidak dapat
dibenarkan.
Secara umum fiqh memandang bahwa pelaksanaan shalat
merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki
maupun perempuan. Kewajiban tersebut tidak dapat diwakilkan
ataupun diganti dengan perbuatan lain. Setiap individu muslim
harus melaksanakannya sebanyak lima kali/waktu dalam setiap
harinya; baik ia dalam kondisi sehat maupun sakit, asalkan
pikirannya tetap sehat. Pelaksanaan shalat sebagaimana yang
dimaksud tersebut harus mengikuti kepada petunjuk Nabi,
sepanjang petunjuk tersebut ada dan diyakini kebenarannya.
Dalam salah sebuah hadis, Nabi Muhammad saw. pernah
mengatakan:
كما أصل رأيتمونى صلوا
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian semua melihat aku
melakukan shalat.”
Perintah mengikuti sebagaimana yang tertuang di dalam hadis
tersebut hanyalah berkisar sesuatu yang dapat dilihat, karena
kata Nabi sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat,
tidak mungkin diperuntukkan bagi sesuatu yang tidak dapat
dilihat. Jadi mengenai jumlah rakaat, waktu pelaksanaannya,
gerakan-gerakan dalam shalat, dan lain-lain hal yang dapat
disaksikan itulah yang memang harus dicontoh dari Nabi saw..
Sementara itu mengenai bacaan dalam shalat; apakah
membacara surat al-Ikhlas, al-Thin, al-Insyirah, al-`Alaq,
ataupun surat-surat lain, secara spesifik tidak diperintahkan oleh
Nabi, termasuk juga kiranya do’a-do’a yang dibaca di dalam
shalat. Demikian juga apakah bacaan-bacaan tersebut harus
dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa
`ajam (selain bahasa Arab) Nabi tidak menentukannya. Memang
pada saat itu tidak atau belum dibayangkan mengenai bahasa
selain bahasa Arab, karena itu Nabi Muhammad saw., para
sahabat, dan seluruh umat Islam melaksanakannya dengan
memakai bahasa Arab.
Namun setelah waktu berlalu bersamaan dengan
berkembangnya Islam ke wilayah-wilayah yang jauh dari Arab,
ada sebagian warga muslim yang kesulitan menggunakan
bahasa Arab untuk komunikasi, dan sekaligus memahami agama
Islam dengan menggunakan bahasa aslinya, yaikni Arab, tentu
hal ini harus disikapi secara arif, agar Islam dapat dipahami dan
dirasakan rahmatnya bagi seluruh umat manusia. Muncullah
kemudian persoalan mengenai berdo’a dengan menggunakan
bahasa selain bahasa Arab, dan bahkan melaksanakan shalat
dengan menggunakan bahasa lokal non Arab. Tentu
persoalannya bukan sekedar apakah Tuhan mendengar
permohonan yang dilakukan dengan bahasa selain bahasa Arab
saja, tetapi lebih dari itu ada persoalan lain yang dipandang
lebih krusial, yakni tentang posisi bahasa Arab yang digunakan
oleh Nabi Muhammad saw dan lebih-lebih sebagai bahasa Tuhan
(al-Qur’an).
Memang hampir seluruh ulama tidak ada yang
mengajarkan shalat dengan memakai bahasa selain bahasa
Arab, kecuali di kalangan madzhab Hanafi yang
memperbolehkan melaksanakan shalat dengan memakai
bahasa non Arab atau bahasa Turki. Sementara di kalangan
madzhab lainnya, terutama madzhab Syafi`i, pelaksanaan shalat
harus memakai bahasa Arab, baik ia paham terhadap bacaan
yang dibaca dalam shalat maupun tidak, karena hal itu dianggap
sebagai hal yang tauqifi datang dari Nabi saw. dan harus
dilakukan sebagaimana adanya.
Namun sesungguhnya apabila dikaji secara cermat,
sebenarnya shalat itu meskipun termasuk ibadah yang khusus,
akan tetapi hakekatnya adalah merupakan sarana komunikasi
antara hamba dengan al-Khaliq. Menurut bahasa, shalat itu
berarti doa atau permohonan, karena memang di dalam shalat
itu bacaan-bacaannya merupakan doa. Doa adalah permohonan
yang sampaikan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Jadi
shalat akan sangat berarti manakala sang hamba yang
memohon tersebut dapat memahami, meresapi, dan
menghayati apa yang dimohonkannya. Memang Nabi
Muhammad saw. tidak pernah mengajarkan shalat dengan
memakai bahasa non Arab, karena memang Nabi saw. berada di
Arab dan masyarakat dan umatnya pun (waktu itu) hanya terdiri
dari orang-orang Arab. Namun Nabi saw. juga tidak pernah
mengeluarkan larangan untuk melaksanakan shalat dengan
bahasa selain bahasa Arab. Nabi saw. hanya menyuruh
umatnya untuk melakukan shalat sebagaimana pelaksanaan
shalat yang dilakukan oleh Nabi saw. dan dapat dilihat oleh
umatnya.
Disamping itu memang terdapat hadis yang menyatakan:
الصالة هذه فيها إن يصلح هو ال إنما الناس كالم من شيء
القرآن وقراءة والتكبير التسبيح
Sesungguhnya shalat ini, di dalamnya tidak patut dimasuki
perkataan manusia, sebab yang patut di dalam shalat itu
hanyalah tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an.
Hadis ini menunjukkan bahwa perkataan-perkataan yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan shalat, seperti menjawab
pertanyaan orang yang tidak shalat, memberitahu orang lain
tentang hal-hal di luar shalat, dan lainnya tidak diperbolehkan,
dan kalau sampai dilakukan pada saat melaksanakan shalat,
maka hukumnya tidak sah alias shalatnya tidak sah atau batal.
Memang ada sementara orang yang beranggapan bahwa
hadis ini menjelaskan tidak bolehnya melaksanakan shalat
dengan menggunakan dua bahasa, apalagi hanya dengan satu
bahasa non Arab saja. Anggapan ini terlalu berlebihan dan tidak
tepat, karena kalau shalat itu dilaksanakan dengan
menggunakan dua bahasa, yaitu dengan bahasa Arab dan
bahasa local, maka bahasa yang non Arab digunakan hanyalah
merupakan terjemahan dan bukan perkataan lain yang tidak ada
hubungannya dengan shalat. Terjemahan tersebut masih terkait
dengan bacaan shalat dan itu tidak termasuk ke dalam maksud
hadis di atas. Kalaupun shalat itu dilaksanakan dengan hanya
menggunakan satu bahasa non Arab, itupun hanya terjemahan
juga yang nyatanya masih terkait dengan shalat dan bukan
merupakan perkataan yang tidak berhubungan dengan shalat
sebagaimana dimaksud hadis tersebut. Jadi menggunakan dasar
hadis tersebut untuk melarang melaksanakan shalat dengan
menggunakan dua bahasa dan atau dengan menggunakan
bahasa non Arab adalah tidak tepat.
Alasan yang sering mengemuka dalam rangka melarang
pelaksanaan shalat dengan dua bahasa ataupun dengan hanya
satu bahasa terjemahan saja ialah sabda Nabi Muhammad saw.
كما أصلى رأيتمونى صلوا
Salatlah kalian sebagaimana aku melaksanakannya
sebagimana tersebut di atas. Alasan inipun kurang tepat
dengan alasan bahwa yang diperintahkan oleh Nabi saw. adalah
mengikuti apa yang dilihat ketika Nabi saw. melaksanakan
shalat, dan bukan apa yang didengar, sebagimana telah
dijelaskan di atas.
Disamping itu sebagai perbandingan dapat dikemukakan
bahwa pada saat yang lalu pernah ada larangan khutbah jumat
dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan
bahasa terjemahannya, dengan alasan karena khutbah
merupakan rangkaian ibadah jumat yang pelaksanaannya juga
menggunakan bahasa Arab sejak zaman Nabi hingga para
sahabat dan seterusnya. Sang khatib pun juga diharuskan suci
dari hadas, suci pakaian, serta harus menutup auratnya. Namun
karena alasan untuk memahamkan pesan khutbah sang khatib
kepada mustamiin, maka kemudian dibolehkan melakukan
khutbah jumat dengan menggunakan dua bahasa atau bahkan
hanya dengan menggunakan bahasa selain Arab asalkan
bacaan al-Qur’annya dibacara dengan bahasa aslinya, yakni
bahasa Arab. Tentu perbandingan ini bukan dimaksudkan untuk
menyamakan antara shalat dengan khutbah jumat, akan tetapi
hanya sebagai gambaran bahwa meskipun ajaran Nabi saw.
mengenai khuthbah selalu menggunakan bahasa Arab, akan
tetapi dengan pertimbangan untuk memahamkan mustamiin,
akhirnya dibolehkan dilakukan dengan menggunakan dua
bahasa, yakni bahasa Arab dan non Arab.
Sama halnya dengan pelaksanaan shalat dengan
menggunakan dua bahasa, meskipun Nabi saw. dan para
sahabatnya selalu melaksanakannya dengan menggunakan
bahasa Arab, akan tetapi dengan tujuan agar bacaan shalat
tersebut dapat dipahami dan diresapi oleh yang melaksanakan
shalat, maka ketika melaksanakan shalat dengan menggunakan
dua bahasa dalam melaksanakan shalat juga tidak dilarang.
Tentu ini khususnya diperuntukkan bagi mereka yang tidak
dapat memahami bahasa Arab, sebagaimana mayoritas bangsa
Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa melaksanakan shalat yang
lima waktu itu disamping memang merupakan perintah dari
Allah swt. sesungguhnya juga merupakan sarana komunikasi
yang sangat efektif bagi seorang hamba kepada Tuhannya,
manakala ia dapat melaksanakannya dengan benar. Tujuannya
jelas untuk mendekat diri kepada al-Khaliq, berdzikir atau selalu
ingat kepada-Nya dan yang tidak kalah penting adalah agar
dapat menghindarkan diri dari perbuatan yang keji dan mungkar,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Karena itu bacaan-
bacaan shalat yang diajarkan oleh Nabi saw. terdiri atas
beberapa doa yang sangat bagus untuk memberihkan diri
seorang hamba dari berbagai hal negatif dan sekaligus
mendapatkan berbagai karunia dan ampunan dari Tuahnnya.
Namun sekali lagi bahwa tujuan yang sangat mulia tersebut tidak
akan bisa dicapai kalau apa yang dibaca dan diucapkan tersebut
tidak dipahami, dimengerti, dan dihayati. Tidak mungkin akan
ada atsar di dalam diri seorang hamba yang melaksanakan
shalat tetapi dirinya tidak mengetahui apa yang sesungguhnya
di dialogkan dengan dan dimohonkan kepada Tuhannya. Tidak
mungkin akan ada perubahan pada diri seorang hamba yang
melakukan shalat, tetapi ia sendiri tidak mengerti apa yang
diucapkannya. Tidak mungkin ada komitmen untuk menjadi
orang sebagaimana yang diucapkannya di dalam shalat, yang
antara lain menyatakan bahwa shalatnya, ibadahnya, matiu, dan
hidupnya hanya semata untuk Allah swt., kalau dia tidak
mengetahui yang diucapkannya. Juga tidak akan mungkin terjadi
perubahan kearah yang positif, kalau dalam pelaksanaan
shalatnya dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya telah
memohon kepada Tuhannya untuk menjadi seorang hamba
yang diampuni, dan dijauhkan dari perbuatan keji dan mungkar
serta perbuatan tidak terpuji lainnya. Justru yang terjadi adalah
sebaliknya. Artinya meskipun ia melaksanakan seribu kali shalat,
yang secara formal memang telah menggugurkan kewajibannya
sebagai seorang muslim, tetapi sama sekali tidak ada
perubahan yang mengarah kepada hal yang positif, bahkan
mungkin bisa jadi ia tetap melakukan perbuatan-perbuatan keji
dan mungkar setiap saatnya.
Persoalan memahami bacaan dalam shalat, meskipun
tidak ada kewajiban, namun dalam rangka untuk mewujudkan
tujuan shalat dan agar orang yang melaksanakan shalat
tersebut benar-benar dapat merasakan hubungan komunikasi
dengan Tuhannya maka sangatlah dianjurkan untuk mengetahui
bacaan yang diucapkan dalam shalat.
Walaupun tentang ayat:
ما تعلموا حتى سكارى وأنتم الصالة التقربوا منوا ا الذين أيها يا
43النساء : تقولون
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian medekati
shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hinmgga kalian
mengetahui apa yang kalian ucapkan.(Q.Surat al-Nisa’: 43)
tersebut tidak secara khusus membicaraakan masalah ini,
namun secara umum bahwa memahami bacaan yang diucapkan
di dalam shalat itu lebih utama dan lebih baik ketimbang tidak
memahaminya.
Ayat ini memang diturunkan dalam rangkaian
pengharaman khamr secara bertahap, dan kejadiannya pun
berkenaan dengan peristiwa ketika Abdur Rahman bin `Auf
mengundang makan kepada Ali dan kawan-kawannya yang di
dalam jamuan makan tersebut dihidangkan khamr sehingga
terganggulah pikiran mereka, dan ketika waktu shalat tiba
kemudian mereka meminta Ali untuk memimpin shalat bagi
mereka dan ketika melaksanakan shalat tersebut Ali membaca
surat al-Kafirun dan bacaannya terbalik-balik menjadi:
تعبدون ما أعبد ال فرون الكا أيها يا تعبدون قل ما نعبد ونحن
Katakanlah (wahai Muhammadsaw.) wahai orang-orang kafir
saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami
akan menyembah apa yang kalian sembah
Berdasarkan perintiwa inilah kemudian Allah swt. menurunkan
ayat 43 surat al-Nisa’ tersebut.
Namun secara umum sebagaimana disampaikan di atas
bahwa ayat ini juga menganjurkan agar orang yang
melaksanakan shalat itu untuk memahmi yang diucapkannya.
Karena itu secara umum pula dapat disimpulkan bahwa memahi
bacaan yang diucapkan di dalam shalat akan lebih baik dan akan
lebih membuat seseorang khusuk daripada sama sekali tidak
memahami bacaan yang diucapkannya. Bacaan yang diucapkan
dan tidak dipahami apa maksudnya tidak akan membuat
seseorang konsentrasi dan fokus terhadap apa yang sedang
dilakukannya. Sebaliknya ucapan yang dipahami dan bahkan
diresapi dan dihayati, akan membuat seseorang terfokus dan
konsentrasi terhadap apa yang sedang dilakukannya.
Seseorang yang melaksankaan shalat dengan tidak
memahami dan meresapi apa yang dibaca dan dipohonkan
kepada Tuhan, tentu tidak akan ada atsar yang membekas
dalam dirinya. Lebih jauh dari itu shalat yang dilaksanakannya
tidak akan memberikan dampak yang diharapkan, yakni dapat
mencegah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan
mungkar. Sedangkan shalat yang dilaksanakan dengan
memahami bacaan yang diucapkan dan meresapi serta penuh
konsentrasi dan harapan kepada Allah, tentu akan membantu
pencapaian tujuan yang diharapkan tersebut.
Bagi orang yang dapat menguasai bahasa Arab, tentu
tidak akan ada persoalan kalau harus melaksanakan shalat
dengan menggunakan bahasa Arab, tetapi bagi orang yang tidak
dapat menguasai bahasa Arab, sebagaimana kebanyakan
masyarakat muslim Indonesia, tentu ketika harus melaksanakan
shalat dengan bahasa Arab akan mendapatkan kesulitan
pemahaman dan peresapan serta konsentrasi yang
menyebabkan seseorang tersebut kesulitan atau terjauhkan dari
dampak positif yang diharapkan. Karena itu penerjemahan
bacaan dengan menggunakan bahasa lokal atau bahasa
Indonesia adalah merupakan salah satu jalan untuk memahami
dan meresapi apa yang diucapkan sehingga akan dapat
membantu konsentrasi di dalam munajatnya kepada Allah. Dan
dengan demikian akan lebih mendorong untuk terwujudnya
atsar atau dampak positif yang diharapkan.
Tentu saja dalam masalah ini juga harus diingat bahwa
dalam hal bacaan al-Qur’an, seluruh ulama sepakat untuk tetap
harus dibaca dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, karena
memang al-Qur’an itu merupakan kalam Allah swt. yang tidak
dapat dipahami oleh manusia secara menyeluruh dan pasti.
Boleh jadi suatu ayat dipahami oleh seseorang dengan
pengertian dan pemahaman tertentu, tetapi pada saat yang
sama akan dipahami orang lain dengan pengertian dan
pemahaman yang lain pula. Karena itu untuk menghindari hal-
hal yang justru akan merugikan perkembangan Islam secara
keseluruhan, maka untuk al-Qur’an itu harus dibaca dalam
bahasa aslinya.
Meskipun demikian bukan berarti tidak boleh
diterjemahkan ke dalam bahasa lokal atau bahasa Indonesia.
Penerjemahan terhadap al-Qur’an di sini dimaksudkan juga untuk
memahami dan meresapi bacaan al-Qur’an yang diucapkan. Dan
ini tidak menyalahi pendapat umum para ulama, yang
mengharuskan bacaan al-Qur’an dibaca dalam bahasa Arab.
Sebab pada kenyataannya al-Qur’an masih tetap dibaca dalam
bahasa Arab, tetapi kemudian ditambah dengan pemahamannya
dengan menggunakan bahasa lokal, yaitu bahasa Indonesia.
Jalan keluar dan kesimpulan sebagaimana disebutkan di
atas tersebut juga didasarkan kepada alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, antara lain teori ushul fiqh yang
menyatakan:
التيسير تجلب المشقة
Masyaqqat atau kesulitan itu menarik/mendatangkan
kemudahan.
Bahwa kesulitan itu harus dihilangkan dalam rangka
menjalankan perintah dan sekaligus mencapai tujuan yang
diinginkan. Ketika seseorang kesulitan memahami bahasa Arab,
yang setiap saat selalu diucapkannya dalam shalat, padahal
tujuan shalat salah satunya ialah dalam rangka menjauhan diri
dari perbuatan keji dan mungkar, maka sudah barang tentu
dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan tersebut,
seseorang harus mencari jalan agar ia paham dan meresapi apa
yang diucapkannya dalam shalat tersebut. Salah satu jalan yang
diupayakan tentu belajar memahmi bahasa Arab yang
diucapkannya, tetapi kalau ini juga menjadi sulit baginya, maka
jalan yang dilakukannya ialah dengan menerjemahkannya ke
dalam bahasa lokal.
Bahwa Islam itu merupakan agama yang hanif dan
cenderung kepada kemaslahatan keseluruhan umat manusia.
Karena itu perintah-perintah yang ada di dalamnya dimaksudkan
agar dapat dilaksanakan oleh umatnya dan bukan dalam
rangka menyengsarakan. Artinya tidak ada maksud sedikitpun
dari syari’at ini untuk mempersulit umatnya dalam rangka
menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan. Salah satu
bukti dalam masalah ini antara lain dalam menjalankan shalat
misalnya ada dispensasi yang diberikan kepada umat Islam
yang kesulitan berdiri untuk melaksanakannya dengan duduk.
Padahal berdiri merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan oleh
orang yang menjalankan shalat.
Perlu ditambahkan di sini bahwa pada dasarnya dalam
segala hal, Allah itu menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesulitan, sebagaimana yang terungkap dalam
ayat:
العسر بكم يريد وال اليسر بكم الله (185البقرة ) : يريد
Allah itu menghendaku kemudiahan dan tidak menghendaki
kesulitan (Q. Surat al-Baqarah: 185)
Karena itu secara umum pula bahwa dalam masalah ini
kalau seorang hamba dalam pengabdiannya melalui shalat yang
memang merupakan kewajibannya, dan dalam menjalankan
perintah tersebut menemui kesulitan dalam penggunaan bahasa,
maka kiranya Allah swt. juga tidak akan mempersulitnya untuk
tetap memaksakan bahasa yang tidak dapat dikuasainya
tersebut. Dalam masalah ini tentu seorang hamba tersebut
diijinkan untuk menggunakan bahasa yang dikuasainya untuk
berkomunikasi dan bermunajat kepada Tuannya melalui shalat
tersebut. Mengenai hal ini, yakni pada prinsipnya Allah swt.
menghendaki kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan
terhadap hambanya dalam semua hal, juga telah diungkapkan
oleh para ulama, karena memang telah ditunjuki oleh ayat
sebagaimana di sebutkan di atas.
Berdasarkan kenyataan ini sekali lagi bahwa teori tersebut
memberikan peluang bagi orang-orang yang mendapatkan
kesulitan dalam memahami bahasa Arab, dapat mengguankan
bahasa yang dikuasai untuk mendapatkan kemudahan dan
menghilangkan kesutitan tersebut. Karena semua itu dilakukan
dalam rangka mencapai tujuan, yakni ingat, dzikir, munajat, dan
komunikasi dengan Allah swt. dalam wujud pelaksanaan shalat.
Dan muara dari semua itu ialah terjauhkannya seseorang dari
perbuatan keji dan mungkar yang memang harus dijauhi.
Salah satu teori ushul fiqh yang juga dapat dijadikan
sanadaran dalam masalah ini ialah:
صدها- بمقا االمور
Segala sesuatu itu sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Semua urusan, termasuk di dalamnya masalah ibadah itu
harus diarahkan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Hal ini
sangat penting untuk diungkapkan, karena memang tujuan dari
pelaksanaan syari`at Islam itu tidak semata-mata pembebanan
kepada seorang hamba, tetapi lebih dari itu mempunyai tujuan
agar hamba yang melaksanakan perintah tersebut menjadi
orang-orang pilihan dan teladan. Keterpilihan dan keteladana
tersebut dapat diperoleh oleh mereka yang dalam
melaksanakan ibadah tidak semata-mata melaksanakan
kewajiban dan perintah agama, tetapi juga dapat
mengaplikasikan apa yang terkandung di dalam pelaksanaan
ibadah tersebut.
Dalam masalah shalat, keteladanan dan keterpilihan
tersebut bukan didasarkan kepada pelaksnaannya semata, tetapi
yang lebih penting adalah justru dapat mengimplementasikan
apa yang diucapkannya dalam shalat pada kehidupan di luar
shalat. Kalau di dalam shalat seseorang berjanji untuk
menyerahkan segala urusannya kepada Allah swt. semata,
misalnya, maka ketika telah selesai menjalankan shalat
seharusnya komitmen yang di ungkapkan dalam shalat tersebut
juga diwujudkan dalam kenyataan di luar shalat. Itu semua
dapat dilakukan manakala orang yang melaksanakan shalat
tersebut memahami dan mengerti apa yang diucapkan. Kalau
apa yang ucapkan dalam shalat tersebut tidak dimengerti, sudah
pasti tidak mungkin semua ini akan terwujud.
Berdasarkan kenyataan ini, tentu penerjemahan ucapan-
ucapan di dalam shalat ke dalam bahasa lokal yang dimengerti
oleh orang yang melaksanakannya, tentu menjadi penting, dan
karenanya tidak dilarang. Tujuan shalat sebagaimana
diungkapkan di atas akan dapat diwujudkan hanya dengan
pemahaman dan peresapan arti dan makna bacaan-bacaan
yang ada.
Disamping itu dapat ditambahkan bahwa muara
keseluruhan dari syari`at ialah dalam rangka kemaslahatan umat
secara menyeluruh. Hukum Islam, dalam hal ini fiqh yang dapat
memberikan status hukum yang lima sebagaimana disebutkan di
atas, juga didasarkan kepada pertimbangan maslahat ini. Tidak
ada satupun hukum fiqh yang ditetapkan dan diberlakukan bagi
segenap umat dengan tidak mempetimbangkan kemaslahatan
ini.
Karena itu dalam masalah bacaan shalat yang disamping
diucapkan dengan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, juga
diberikan terjemahannya dengan tujuan agar apa yang ucapkan
tersebut dapat dimengerti dan diresapi, sehingga akan terjadi
komunikasi yang hidup antara hamba yang sedang
melaksanakan shalat dengan Tuhannya, secara fiqh tidak
dilarang. Bahkan kalau dalam hal seorang hamba kesulitan
menggunakan bahasa Arab, maka diperbolehkan
mengucapkannya hanya dengan bahasa lokal dengan catatan
bacaan al-Qur’annya harus tetap dibaca dalam bahas aslinya.
Hal ini sebagaimana disebutkan di atas, dikarenakan al-Qur’an
itu merupakan kalam Allah swt. yang oleh para ulama
disepakati tidak boleh diganti dengan bahasa apapun. Namun
sebagaimana dijelaskan di atas pula bahwa kalau hanya sekedar
ucapan terjemahan al-Qur’an yang diungkapkan setelah bacaan
al-Qur’an dengan menggunakan bahasa aslinya, tidak dilarang.
Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa
melaksanakan shalat dengan menggunakan bahasa lokal, dalam
hal ini bahasa Indonesia secara fiqh tidak dilarang, asalkan
bacaan al-Qur’an, baik al-fatihah maupun surat atau ayat
lainnya tetap dibaca dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab.
Demikian pula pelasanaan shalat dengan menggunakan dua
bahasa sekaligus, yakni bahasa Arab dengan bahasa lokal, dalam
hal ini bahasa Indonesia sebagai terjemahannya, secara fiqh juga
tidak dilarang. Bahkan kalau tujuan penggunaan bahasa lokal
tersebut dengan tujuan untuk dapat memahami dan meresapi
apa yang diucapkan dalam shalat, agar dapat mencapai tujuan
menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar serta dapat
selalu dzikir dan ingat kepada Allah swt., maka sesungguhnya
hal itu justru dapat dianggap lebih baik. Tetapi kalaupun orang
yang melaksanakan shalat tidak memahami bacaan yang
diucapkannya, dan tetap melaksanakan shalat dengan hanya
bahasa Arab saja, juga tidak menyalahi fiqh, hanya ditinjau dari
maqasid al-syari`ah hal ini justru kurang tepat.
G. PendapaT Para Ulama
Pada kenyataannya, para ulama ternyata berbeda dalam
menilai dan menentukan hukum bagi shalat dengan memakai
dua bahasa dan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Di
kalangan ulama’ Syafi’iyyah secara umum memandang bahwa
penggunaan bahasa selain bahasa Arab tidak diperbolehkan.
Pandangan ini didasarkan kepada prinsip tauqifi, Artinya bahwa
shalat itu harus mengikuti petunjuk sebagaimana yang
diperintahkan oleh Syari` dan dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad saw.. Kalau pada saat itu Rasul mempraktekkan
shalat hanya dengan menggunakan bahasa Arab, maka sampai
hari kiamatpun harus tetap demikian. Sementara itu di kalangan
ulama’ Hanafiyah, secara umum membolehkan penggunaan
bahasa selain bahasa Arab. Persoalan yang diperselisihkan
diantara para muridnya ialah tentang bacaan al-Qur’an dalam
shalat. Artinya ketika seseorang mampu membacanya (dalam
bahasa Arab) dengan baik, maka tidak diperbolehkan
membacanya dengan bahasa lain. Tetapi kalau tidak bisa, maka
dibolehkan denngan bahasa lain. Sedangkan untuk bacaan
lainnya, seprti tasbih, takbir, doa dan lainnya disepakati boleh
tidak memakai bahasa Arab. Pandangan tersebut didasarkan
kepada kenyataan bahwa dengan perkembangan Islam yang
meluas kesegala penjuru, kemudian banyak umat Islam yang
kesulitan atau tidak bisa berbahasa Arab dan memahaminya.
Padahal sebagaimana diketahi bahwa shalat merupakan salah
satu komunikasi hamba dengan Tuhannya, serta merupakan doa
yang tujuannya agar Tuhan mengabulkan permohonan tersebut
dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.
Dalam khazanah fiqih klasik. Memang nyaris tidak ada
fuqaha yang memperbolehkan shalat selain dengan bahasa Arab,
terutama dalam membaca surat al-fatihah, kecuali Imam Abu
Hanifah (w. 150 H). Kalau toh ada sebagian kecil ulama yang
memperbolehkan mengganti bacaan shalat selain Bahasa Arab,
namun hal itu tidak berlaku untuk surat al-fatîhah. Surat al-
fatîhah adalah ‘harga mati’ yang tidak boleh diganti dengan
bahasa apapun.
Namun demikian, Imam Abu Hanifah memperbolehkan
membaca al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Parsi bagi yang
tidak mampu berbahasa Arab. Bahkan, dia berpendapat,
membaca al-fatihah dengan bahasa Parsi –atau bahasa-bahasa
lain tentunya- tidak menghalangi sahnya salat meskipun orang
tersebut mampu berbahasa Arab. Hal yang terakhir ini (bagi
orang yang mampu berbahasa Arab) memang hukumnya makruh
menurut Imam Abu Hanifah. (Abu Zahra, Abû Hanîfah: Hayâtuhu
wa ‘Ashruhu wa arâ`uhu wa Fiqhuhu, [Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1977],
hlm. 34-35).
Memang pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bagaikan
“suara lirih” di tengah kuatnya arus pendapat yang tidak
memperbolehkan shalat selain Bahasa Arab. Imam Syafi’i (w. 204
H) adalah tokoh yang paling keras menyuarakan hal ini. Bagi
Imam Syafi’i tidak ada pilihan kecuali harus menggunakan
Bahasa Arab dalam Shalat, baik orang yang tahu Bahasa Arab
maupun tidak. Imam Syafi’i memang dikenal sebagai seorang
tokoh yang mempunyai pembelaan gigih terhadap Bahasa Arab,
terutama Bahasa Arab versi suku Quraisy. Dia, misalnya,
menolak pendapat yang mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an
ada serapan dari Bahasa non-Arab. Pendapat Imam Syafi’i
tersebut bertumpu pada pemahaman mengenai esensi al-Qur’an.
Menurutnya, esensi al-Qur’an bukan semata-mata makna tapi
makna yang dibungkus dengan kata-kata. Dengan demikian,
Bahasa Arab (al-Qur’an) -dengan segenap ideologinya- adalah
bagian substansial dari struktur teks (al-talâzum bain al-lafdzi wa
al-ma’nâ)..
Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai penilaian yang menarik
mengenai hal ini. Menurutnya, sikap Imam Syafi’i yang begitu
keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang
seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-
annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-
Arab, Persia , sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr
Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa ta`tsîts al-Idiolojiyat al-
Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbûlî, 1996], cet. II, hlm. 66).
Jumhur ulama’ diantaranya adalah Imam Syafi’i, Malik,
Ahmad, Dawud, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani
dan lainnya mengatakan bahwa tidak sah sholat menggunakan
bahasa selain bahasa arab, bahkan tidak sah sholat meskipun
mengunakan bahasa arab tapi bukan Al Qur’an yang dibaca
melainkan tafsirnya. Misalkan kalau seseorang membaca :
بينهما وما األرض و السموات رب الرحمن على الثناء
“Segala puji bagi Alloh yang maha Rohman pencipta dan
pengatur langit dan bumi serta yang ada diantara keduanya.”
Meskipun lafadl ini bahasa arab dan semakna dengan firman
Alloh:
لمين العا رب لله الحمد
Segala puji bagi Alloh Robb sekalian alam.”
(Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158, Al Bayan Fi
madzhab Imam Syafi’i syarah Al Muhadzab oleh Imam Al Imroni
2/195, Al Majmu Syarah Muihadzab Imam Nawawi 3/341 )
Dalil mereka adalah :
Hadits Malik bin Huwairits
: قال الحويرث بن مالك عن الله رسول قال
: سلم و عليه الله صلى رأيتموني كما صلوا
أصلي
Dari Malik bin Huwairits berkata : Rosululloh bersabda :
“Sholatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan
solat.”
(HR. Bukhori : 631, Muslim : 674)
Dan Rosululloh tidak pernah sholat menggunakan bahasa
selain bahasa arab.
Firman Alloh Ta’ala :
“Maka bacalah yang mudah bagimu dari Al Qur’an.”
(QS. Al Muzzammil : 20)
Sabda Rosululloh, Dari Ubadah bin Shomit berkata :
Rosululloh bersabda : “Tidak sah sholat seseorang bagi
yang tidak membaca surat Al Fatihah.”
(HR. Bukhori 756, Muslim 394)
Sisi pengambilan dalil adalah bahwasannya Alloh
Ta’ala menyuruh dalam sholat untuk membaca Al Qur’an
dan Rosululloh menyuruh untuk membaca Al Fatihah. Maka
kalau membaca terjemahannya maka itu bukan membaca
Al Qur’an dan Al Fatihah tapi membaca terjemahannya.
Karena Al Qur’an itu lafadl dan maknanya merupakan
mu’jizat dari Alloh, maka apabila dirubah menjadi bentuk
lain atau bahasa lain niscaya akan hilanglah kemu’jizatnya
serta tidak dinamakan Al Qur’an lagi dengan kesepakatan
kaum muslimin (Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab 3/342)
Rosululloh melarang seseorang dalam sholat untuk
membaca selain bacaan sholat Dari Mu’awiyah bin Hakam
As Sulami berkata :
“Tatkala saya sholat bersama Rosululloh tiba-tiba ada
seseorang diantara jamaah sholat yang bersin.” Maka saya
berkata : “Semoga Aloh merohmatimu.” Namun para
jamaah lainnya memandang kepada saya dengan
pandangan sinis mengingkari. Lalu saya katakan pada
mereka : “Celakalah saya, kenapa kalian memandangku
begitu ?.” namun mereka malah memukulkan tangan
mereka kepada paha mereka agar saya diam, lalu saya
pun diam saat melihat mereka diam sehingga selesai
sholat. Berkata Mu’awiyah kepada Rosululloh : “Bapak dan
ibuku sebagai tebusannya. Saya tidak pernah mengetahui
seorang pendidik yang lebih bagus cara mendidiknya dari
pada beliau, tidak sebelum dan tidak sesudahnya, demi
Alloh dia tidak menghardik aku, tidak memukul dan tidak
mencelaku.”
Rosululloh bersabda :
“Sesungguhnya sholat ini tidak layak untuk ucapan
manusia, sholat ini hanya untuk bertasbih, takbir dan
membaca Al Qur’an.”
(HR. Muslim)
Adapun Imam Abu Hanifah berkata : “Boleh bagi seseorang
untuk sholat dengan selain bahasa arab secara mutlak.”
Namun sebagian ulama’ hanafiyah lainnya menyatakan
bahwa hal itu hanya diperbolehkan bagi yang tidak mampu
berbahasa arab.”
Mereka berdalil dengan firman Alloh Ta’ala :
“Dan telah diwahyukan Al Qur’an ini kepadaku supaya
dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada
orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.”
(QS. Al An’am : 19)
Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin bisa memperingatkan
seseorang kecuali dengan bahasanya sendiri. Dari sini, ada
sebuah isyarat bahwa terjemahan Al Qur’an itupun dinamakan
dengan Al Qur’an, dan kalau memang terjemahan Al Qur’an itu Al
Qur’an juga maka boleh membacanya dalam sholat. Mereka juga
berdalil dengan beberapa kias, namun sebuah kias yang sangat
lemah, oleh karena itu tidak perlu disebutkan disini.
Yang rajih dari kedua pendapat ini adalah madzhab jumhur
ulama’ yang tidak memperbolehkan sholat dengan selain bahasa
arab secara mutlak, berdasarkan dalil-dalil yang mereka
kemukakan.
Adapun dalil yang digunakan oleh madzhab Imam Abu
Hanifah dan sebagian orang yang mengikutinya, maka bukan pas
kalau dilarikan kedalam sholat menggunakan bahasa daerah
karena beberapa hal, yaitu:
Ayat tersebut hubungannya dengan pemberian peringatan,
dan kalau sebuah ayat ditafsirkan untuk memberi
peringatan maka sebenarnya yang dijadikan peringatan itu
adalah ayat tersebut dan bukan penafsirannya. (Lihat Al
Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158)
Atau kita katakan bahwa penafsiran itu hanyalah sebagai
pelengkap sebuah peringatan dengan cara menyampaikan
makna atau terjemahan ayat Al Qur’an. (Lihat Al Majmu’
3/342)
Dan anggaplah bahwa ayat ini bisa dibawa pada
pengertian bahwa yang dijadikan peringatan itu adalah
tafsirnya maka ayat tersebut berlaku umum sedangkat
sholat adalah sesuatu yang khusus, sedangkan Rosululloh
tidak pernah sholat menggunakan bahasa Indonesia atau
mengajarkanya kepada para sahabat, padahal beliau
bersabda : “Sholatlah sebagaimana kalian melihatku
mengerjakan sholat.”
Syaikh Muhammad Rosyid Ridlo menyebutkan bahwa para
ulama’ Hanafiyah telah menukil bahwa Imam Abu Hanifah
telah mencabut kembali pendapatnya yang membolehkan
sholat dengan selain bahasa arab.
Syaikh Muhammad Rosyid Ridlo juga berkata : “Dan telah
berlangsung kesepakatan ummat islam untuk membaca Al
Qur’an dengan bahasa arab baik didalam sholat maupun
diluar sholat, dan menganggap binasa orang-orang yang
menyerukan untuk menerjemahkan Al Qur’an dalam proses
dzikir dan ibadah, serta mensifati mereka sebagai orang-
orang yang murtad.” (Lihat catatan kaki Al Mughni, tahqiq
DR. Abdulloh bin Abdul Muhsin At Turki, cetakan Hajr
2/158)
Oleh karena itu Lajnah Daimah tatkala ditanya apakah
boleh sholat dengan menggunakan selain bahasa arab ? maka
mereka menjawab :
Tidak boleh sholat dengan selain bahasa arab kalau dia mampu
berbahasa arab, wajib bagi setiap muslim untuk belajar bahasa
arab untuk ibadah yang tidak mungkin menggunakan bahasa
lainnya, diantaranya surat Al Fatihah, Tasyahud, bacaan tasmi’,
tahmid dan tasbih dalam ruku dan sujud juga bacaan antara dua
sujud dan salam. Adapun bagi seseorang yang tidak mampu
berbahasa arab maka boleh baginya untuk membacanya dengan
bahasanya kecuali surat Al Fatihah, karena bacaan surat ini tidak
sah kecuali dengan bahasa arab demikian juga bacaan Al Qur’an
lainnya. Kalau tetap tidak mampu juga maka bisa dia ganti
dengan bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir.
Berdasarkan hadits Abdulloh bin Abi Aufa berkata :
“Ada seseorang yang datang kepada Rosululloh lalu berkata :
“Sesungguhnya saya belum mampu untuk menghafal satupun
ayat Al Qur’an, maka ajarkanlah kepadaku sesuatu yang bisa
membuat sholatku sah ?”
maka Rosululloh menjawab :
“Katakalah : “
ال و أكبر الله و الله إال إله ال و لله الحمد و الله سبحان
العظيم العلي بالله إال قوة ال و حول
“Maha suci Alloh dan Segala puji bagi Nya, Tidak ada Ilah yang
berhak disembah melainkan Dia, Alloh Maha Besar serta Tidak
ada daya dan upaya kecuali dengan Alloh yang Maha tinggi lagi
Maha Besar.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan dishohihkan oleh Ibnu
Hibban dan Daruquthni dan Hakim)
Juga berdasarkan firman Alloh :
“Bertaqwalah kepada Alloh semampu kalian.”
(QS. At Taghobun : 16)
serta sabda Rosululloh :
استطعتم ما منه فأتوا بأمر أمرتكم إذا
“Jika kalian saya perintahkan dengan sebuah perintah maka
kerjakanlah semampu kalian .”
(HR. Bukhori 7288, Muslim 1337)
Hal ini berlaku sampai dia belajar bahasa arab dan dia harus
segera melakukanya.” (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 6/401)
DAFTAR PUSTAKA
Andri. 2010. shalat yang Sah Secara Hukum Islam.
http://www.facebook.com. Di akses 29 maret 2011
Anonim.2009.Al-Qura’an. http://www.indonesiaindonesia.com. Di
akses 29 maret 2011
Assuyuti, Basori. 1998. Bimbingan Shalat Lengkap. Mitra Umat:
Jakarta
Asy Syidiqi, Hasbi. 1976. Pedoman Shalat. Bulan Bintang :
Bandung
Quthub, Muhammad. 1987. Koreksi atas Pemahaman Ibadah.
Pustaka Al Kautsar : Jakarta
Top Related