Download - Lp Dan Askep Fraktur

Transcript

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Fraktur adalah Terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang

umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat R., 1997).

Fraktur adalah Patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik

(Price and Wilson, 2006).

Fraktur adalah Terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan (Mansjoer,dkk,

2000).

B. Jenis-jenis Fraktur

1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa

komplikasi.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui

kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

b. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

1)Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).

2)Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi

tulang spongiosa di bawahnya.

3)Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang

terjadi pada tulang panjang.

3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.

a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan

akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu

tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.

c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan

trauma rotasi.

d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong

tulang ke arah permukaan lain.

e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada

insersinya pada tulang.

4. Berdasarkan jumlah garis patah.

a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling

berhubungan.

b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak

berhubungan.

c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang

yang sama.

5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak

bergeser dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut

lokasi fragmen, terbagi atas:

1)Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan

overlapping).

2)Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

6. Berdasarkan posisi frakur.

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :

a. 1/3 proksimal

b. 1/3 medial

c. 1/3 distal

7. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulangulang.

8. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan

lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan

pembengkakan.

d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman

sindroma kompartement.

C. Etiologi

Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Cedera traumatic

a. cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara

spontan

b. cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari benturan, misalnya

jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.

c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.

2. Fraktur patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, diman dengan trauma minor

dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada keadaan :

a. Tumor tulang (jinak atau ganas)

b. Infeksi seperti osteomielitis

c. Rakhitis, suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D yang

mempengaruhi semua jaringan skelet lain.

3. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada

penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

D. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk

menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang

lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang

mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall,

1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,

marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena

kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang

segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini

menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi

plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan

tulang (Black, J.M, et al, 1993).

Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir

mendadak bahkan kontraksi otot ekstrim, meskipun tulang patah jaringan di sekitarnya

juga akan terpengaruh, mengakibatkan adanya jaringan lunak, perdarahan otot dan sendi,

dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah (Brunner

and Suddarth,  2002).

Komplikasi awal setelah fraktur adalah syock, yang bisa berakibat fatal dalam

beberapa jam setelah cedera emboli lemak yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan

sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak

ditangani segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan  fraktur adalah

infeksi, trombo emboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa

minggu setelah cedera dan Koagulapati Introvaskuler Diseminata (KID).

Pada saat terjadinya fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam tubuh karena

tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang

dilepaskan oleh reaksi stres klien akan memobilisasi asam lemak akan bergabung dengan

trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyambut pembuluh darah kecil yang

memasok ke otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya yang sangat cepat, dapat

terjadi beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi

dalam 24 - 72 jam.

Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, piraksia, gangguan

serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi

ringan dan kebingungan, sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respons terhadap

hipoksia, akibat penyumbatan emboli dan mengakibatkan lemah di otak.

Dengan adanya emboli sistemik klien tampak pucat. Tampak ada petekie pada

membran pipi dan kantung konjungtiva, pada palatum turun, pada fundus okuli, di atas

dada dan lipatan ketiak depan.

Perubahan kepribadian tersembunyi gelisah, iritabilitas atau konfusi pada klien yang

mengalami fraktur merupakan petunjuk untuk dilakukan pemeriksaan gas darah.

Penyumbatan pembuluh darah kecil mengakibatkan tekanan paru meningkat,

kemungkinan mengakibatkan gagal jantung ventrikel kanan. Edema dan perdarahan pada

alveoli mengganggu transportasi O2 mengakibatkan hipoksia. Terjadinya peningkatan

kecepatan respirasi, nyeri pada prekordial, batuk, dispnea dan edema paru akut (Brunner

and Suddarth,  2002).

E. Tanda dan Gejala

1. Deformitas

2. Bengkak/edema

3. Echimosis (Memar)

4. Spasme otot

5. Nyeri

6. Kurang/hilang sensasi

7. Krepitasi

8. Pergerakan abnormal

9. Rontgen abnormal

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah:

1. X-ray : menentukan lokasi/luasnya fraktur.

2. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan

lunak.

3. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.

4. Hitung Darah Lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada

perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan.

5. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.

6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera

hati. (Nova, 2010).

G. Penatalaksanaan Medis

Tujuan pengobatan fraktur:

1. Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen-fragmen ke posisi anatomi.

2. Immobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen-fragmen

tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union.

3. Penyambungan fraktur (union).

4. Mengembalikan fungsi (rehabilitasi).

Prinsip dasar penanganan fraktur :

1. Revive, yaitu penilaian cepat untuk mencegah kematian, apabila pernafasan ada

hambatan dilakukan terapi ABC (Airway, Breathing, Circulation) agar pernapasan

lancar.

2. Review, berupa pemeriksaan fisik meliputi: Look,  feel, movemen dan pemeriksaan fisik

yang dilengkapi dengan foto ronsen untuk memastikan adanya fraktur.

3. Repair, yaitu tindakan pembedahan berupa tindakan operatif dan konservatif. Tindakan

operatif meliputi: ORIF, OREF, menjahit luka dan menjahit pembuluh darah yang

robek, sedangkan tindakan konservatif berupa pemasangan gips dan traksi.

4. Refer, yaitu berupa pemindahan klien ke tempat lain, yang dilakukan dengan hati-hati,

sehingga tidak memperparah luka yang diderita.

5. Rehabilitation, yaitu memperbaiki fungsi secara optimal untuk bisa produktif (Lewis et

al, 2000).

H. Komplikasi

1. Malunion, adalah suatu keadaan di mana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi

yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.

2. Delayed union, adalah proses penyembuhan yang berjalan terus menerus tetapi dengan

kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.

4. Compartment syndroma, adalah suatu keadaan peningkatan tekanan yang berlebihan di

dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat. Ditandai

dengan 5P (pain, pallor, parastesia, paralisis, pulselesness)

5. Shock, terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler

yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

6. Fat embolsim syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor

penyebab terjadinya emboli lemak meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 -

80 tahun.

7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang

immobil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidakmampuan lazimnya

komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila

terjadi pada bedah ortopedik.

8. Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma

orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya

terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam

pembedahan seperti pin dan plat.

9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau neckosisiskemia.

10. Refleks symphathethic dysthrophy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf

simpatik abnormal. Sindroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri,

perubahan tropik dan vasomotor instability (Apley, 1995).

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu

diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat

memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat

bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

1. Anamnesa

a. Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status

perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal

MRS, diagnosa medis.

b. Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut

bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh

pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

1)Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor

presipitasi nyeri.

2)Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.

Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

3)Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar

atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

4)Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa

berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit

mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5)Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada

malam hari atau siang hari.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang

nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa

kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan

yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui

mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi

petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu

seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang

sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki

sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes

menghambat proses penyembuhan tulang.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu

faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering

terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan

secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f. Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien

dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan

sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna

D, 1995).

g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1)Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya

dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan

tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti

penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,

pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah

klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

2)Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya

seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses

penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu

menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi

dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar

matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal

terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan

mobilitas klien.

3)Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu

perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi

alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,

bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.

4)Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat

mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian

dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan

kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).

5)Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien

menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal

lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.

Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur

dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

6)Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dandalam masyarakat. Karena klien

harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).

7)Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan

akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body

image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).

8)Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,

sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya

tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

9)Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual

karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang

dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah

anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).

10)Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan

timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang

ditempuh klien bisa tidak efektif.

11)Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik

terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan

keterbatasan gerak klien.

2. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan

gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat

melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya

memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a. Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

a)Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung

pada keadaan klien.

b)Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada

kasus fraktur biasanya akut.

c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun

bentuk.

2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

a) Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,

nyeri tekan.

b)Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,

tidak ada nyeri kepala.

c) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

d)Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun

bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

e)Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi

perdarahan)

f) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri

tekan.

g)Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

h)Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak

pucat.

i) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

j) Paru

(1) Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada

riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

(2) Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(3) Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

(4) Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan

lainnya seperti stridor dan ronchi.

k) Jantung

(1) Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.

(2) Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

(3) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

l) Abdomen

(1)Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

(2)Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

(3)Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

(4)Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

m) Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

b. Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai

status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler _ 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia,

Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

1)Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

a)Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas

operasi).

b)Cape au lait spot (birth mark).

c) Fistulae.

d)Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

e)Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa

(abnormal).

f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

g)Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

2)Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari

posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang

memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu

dicatat adalah:

a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary

refill time _ Normal 3 – 5 “

b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama

disekitar persendian.

c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,

atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang

terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa

status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu

dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau

permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

3)Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan

ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.

Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum

dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah

pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.

Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.

Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto,

1995)

B. Penyimpangan KDM

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patoligis

FRAKTUR

Cedera sel Luka terbuka Reaksi peradangan Perubahan status kesehatan

Degranulasi sel mast Terapi restrictif Port de’ entri Laserasi kulit Edema Kurang informasi

Pelepasan mediator kimia Penekanan pada

jaringan vaskuler

Neuroreseptor

Medula spinal Penurunan aliran darah

Korteks serebri

Hambatan mobilitas

fisik

Nyeri akut

Resiko infeksi Kerusakan intergritas

kulit

Defisiensi pengetahuan

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan

perifer

C. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (spasme otot, gerakan fragmen

tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi).

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan traksi

(pen, kawat, sekrup).

4. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer.

5. Resiko infeksi.

6. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan dan kurang

informasi.

D. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa KeperawatanRencana Tindakan

Tujuan Intervensi Rasional

1. Nyeri akut berhubungan

dengan agen cedera fisik

(spasme otot, gerakan

fragmen tulang, edema,

cedera jaringan lunak,

pemasangan traksi).

Nyeri berkurang setelah

dilakukaan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam

dengan kriteria hasil :

Klien mengatakan nyeri

berkurang atau hilang dengan

menunjukkan tindakan

santai, mampu berpartisipasi

dalam beraktivitas, tidur,

istirahat dengan tepat,

menunjukkan penggunaan

keterampilan relaksasi dan

aktivitas trapeutik sesuai

indikasi.

Skala nyeri berkurang (skala

3-5)

Klien tampak tenang, eksprei

wajah rileks.

1. Kaji riwayat nyeri, mis : lokasi nyeri,

frekuensi, durasi dan intensitas (kala 0-

10) dan tindakan pengurangan yang

dilakukan.

2. Pertahankan imobilasasi bagian yang

sakit dengan tirah baring, gips, bebat

dan atau traksi.

3. Tinggikan posisi ekstremitas yang

terkena.

4. Lakukan dan awasi latihan gerak

pasif/aktif.

5. Lakukan tindakan untuk meningkatkan

kenyamanan (masase, perubahan

posisi)

6. Ajarkan penggunaan teknik manajemen

nyeri (latihan napas dalam, imajinasi

visual, aktivitas dipersional).

7. Lakukan kompres dingin selama fase

1. Dapat mengetahui skala nyeri.

2. Mengurangi nyeri dan mencegah

malformasi.

3. Meningkatkan aliran balik vena,

mengurangi edema/nyeri.

4. Mempertahankan kekuatan otot dan

meningkatkan sirkulasi vaskuler.

5. Meningkatkan sirkulasi umum,

menurunakan area tekanan lokal dan

kelelahan otot.

6. Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,

meningkatkan kontrol terhadap nyeri

yang mungkin berlangsung lama.

7. Menurunkan edema dan mengurangi

Tanda vital dalam batas

normal : Suhu : 36-37 0C,

nadi : 80-100 x/m, respirasi :

16-24x/m, TD : 120/80

mmHg.

akut (24-48 jam pertama) sesuai

keperluan.

8. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai

indikasi.

rasa nyeri.

8. Menurunkan nyeri melalui mekanisme

penghambatan rangsang nyeri baik

secara sentral maupun perifer.

2. Hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan

gangguan

muskuloskeletal.

Klien dapat melakukan mobilitas

fisik dengan baiksetelah

melakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam,

dengan kriteria hasil :

Meningkatkan mobilitas pada

tingkat paling tinggi yang

mungkin.

Mempertahankan posisi

fungsional.

Meningkaatkan kekuatan

/fungsi yang sakit.

Menunjukkan tehnik mampu

melakukan aktivitas.

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas

rekreasi terapeutik (radio, koran,

kunjungan teman/keluarga) sesuai

keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif

pada ekstremitas yang sakit maupun

yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki,

gulungan trokanter/tangan sesuai

indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri

(kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan

klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai

1. Memfokuskan perhatian,

meningkatakan rasa kontrol diri/harga

diri, membantu menurunkan isolasi

sosial.

2. Meningkatkan sirkulasi darah

muskuloskeletal, mempertahankan

tonus otot, mempertahakan gerak

sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan

mencegah reabsorbsi kalsium karena

imobilisasi.

3. Mempertahankan posis fungsional

ekstremitas.

4. Meningkatkan kemandirian klien

dalam perawatan diri sesuai kondisi

keterbatasan klien.

5. Menurunkan insiden komplikasi kulit

keadaan klien.

6. Dorong/pertahankan asupan cairan

2000-3000 ml/hari.

7. Berikan diet TKTP.

8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi

sesuai indikasi.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien

dan program imobilisasi.

dan pernapasan (dekubitus,

atelektasis, penumonia)

6. Mempertahankan hidrasi adekuat,

mencegah komplikasi urinarius dan

konstipasi.

7. Kalori dan protein yang cukup

diperlukan untuk proses penyembuhan

dan mempertahankan fungsi fisiologis

tubuh.

8. Kerjasama dengan fisioterapis perlu

untuk menyusun program aktivitas

fisik secara individual.

9. Menilai perkembangan masalah klien.

3. Kerusakan integritas

kulit berhubungan

dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (pen,

kawat, sekrup).

Kerusakan integritas jaringan

dapat diatasi setelah tindakan

keperawatan selama 3x24 jam,

dengan kriteria hasil:

Penyembuhan luka sesuai

waktu.

Tidak ada laserasi, integritas

kulit baik

1. Kaji ulang integritas luka dan observasi

terhadap tanda infeksi atau drainase

2. Observasi keadaan kulit, penekanan

gips/bebat terhadap kulit, insersi

pen/traksi.

3. Pertahankan tempat tidur yang nyaman

dan aman (kering, bersih, alat tenun

1. Menilai perkembangan keadaan klien.

2. Menilai perkembangan masalah klien.

3. Menurunkan risiko kerusakan/abrasi

kulit yang lebih luas.

Klien menyatakan

ketidaknyamanan hilang.

Klien menunjukkan perilaku

tekhnik untuk mencegah

kerusakan kulit/memudahkan

penyembuhan sesuai

indikasi, mencapai

penyembuhan luka sesuai

waktu/penyembuhan lesi

terjadi.

kencang, bantalan bawah siku, tumit).

4. Masase kulit terutama daerah

penonjolan tulang dan area distal

bebat/gips.

5. Lindungi kulit dan gips pada daerah

perianal.

4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan

meningkatkan kelemasan kulit dan

otot terhadap tekanan yang relatif

konstan pada imobilisasi.

5. Mencegah gangguan integritas kulit

dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

4. Resiko ketidakefektifan

perfusi jaringan perifer.

Klien akan menunjukkan fungsi

perfusi jaringan perifer yang

baik setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam,

dengan

kriteria hasil :

Akral hangat, tidak pucat dan

syanosis, bisa bergerak

secara aktif.

1. Pantau kualitas nadi perifer, aliran

kapiler, warna kulit dan kehangatan

kulit distal cedera, bandingkan dengan

sisi yang normal.

2. Dorong klien untuk secara rutin

melakukan latihan menggerakkan

jari/sendi distal cedera.

3. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat

tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.

4. Pertahankan letak tinggi ekstremitas

yang cedera kecuali ada kontraindikasi

1. Mengevaluasi perkembangan masalah

klien dan perlunya intervensi sesuai

keadaan klien.

2. Meningkatkan sirkulasi darah dan

mencegah kekakuan sendi.

3. Mencegah stasis vena dan sebagai

petunjuk perlunya penyesuaian

keketatan bebat/spalk.

4. Meningkatkan drainase vena dan

menurunkan edema kecuali pada

adanya sindroma kompartemen.

5. Berikan obat antikoagulan bila

diperlukan.

adanya keadaan hambatan aliran arteri

yang menyebabkan penurunan perfusi.

5. Mungkin diberikan sebagai upaya

profilaktik untuk menurunkan

trombus vena.

5. Resiko infeksi. Klien mencapai penyembuhan

luka sesuai waktu, bebas

drainase purulen atau eritema

dan demam setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama

3x24 jam, dengan kriteria hasil :

Jumlah pemeriksaan HDL,

LED, Kultur dalam batas

normal.

Tidak ada tanda-tanda

infeksi.

1. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-

tanda peradangan lokal pada luka.

2. Lakukan perawatan pen steril dan

perawatan luka sesuai protokol

3. Ajarkan klien untuk mempertahankan

sterilitas insersi pen.

4. Kolaborasi pemberian antibiotika dan

toksoid tetanus sesuai indikasi.

5. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium

(Hitung darah lengkap, LED, Kultur

dan sensitivitas luka/serum/tulang)

1. Mengevaluasi perkembangan masalah

klien.

2. Mencegah infeksi sekunder dan

mempercepat penyembuhan luka.

3. Meminimalkan kontaminasi.

4. Antibiotika spektrum luas atau

spesifik dapat digunakan secara

profilaksis, mencegah atau mengatasi

infeksi. Toksoid tetanus untuk

mencegah infeksi tetanus.

5. Leukositosis biasanya terjadi pada

proses infeksi, anemia dan

peningkatan LED dapat terjadi pada

osteomielitis. Kultur untuk

mengidentifikasi organisme penyebab

infeksi.

6. Defisiensi pengetahuan

berhubungan dengan

kurang sumber

pengetahuan dan kurang

sumber informasi.

klien akan menunjukkan

peningkatan pengetahuan setelah

dilakukan tindakan keperawatan

selam 1x2 jam, dengan

kriteria hasil :

Klien mengerti dan

memahami tentang

penyakitnya.

Klien memberikan respon

yang baik terhadap

penjelasan yang diberikan

perawat.

1. Kaji kesiapan klien mengikuti program

pembelajaran.

2. Diskusikan metode mobilitas dan

ambulasi sesuai program terapi fisik.

3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang

memerluka evaluasi medik (nyeri berat,

demam, perubahan sensasi kulit distal

cedera)

4. Persiapkan klien untuk mengikuti terapi

pembedahan bila diperlukan.

1. Efektivitas proses pemeblajaran

dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan

mental klien untuk mengikuti program

pembelajaran.

2. Meningkatkan partisipasi dan

kemandirian klien dalam perencanaan

dan pelaksanaan program terapi fisik.

3. Meningkatkan kewaspadaan klien

untuk mengenali tanda/gejala dini

yang memerulukan intervensi lebih

lanjut.

4. Upaya pembedahan mungkin

diperlukan untuk mengatasi masalah

sesuai kondisi klien.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara, C. B. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume I. Jakarta: EGC.

Doenges, dkk, (2005). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Price & Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat R. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Smeltzer & Bare. (2003). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Volume 3. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Wilkinson. J & Ahern. N. (2014) Diagnosis Keperawatan, Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Editor : Widiarti. D. Alih Bahasa : Wahyuningsih. E. Jakarta : EGC.

NANDA International (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Editor : T Heather Herdman. Alih Bahasa : Sumarwati. M & Subekti. B. Jakarta : EGC.

NANDA International (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015 & 2017. Editor : T Heather Herdman dan Shigemi Kamitsuru. Alih bahasa: Budi Anna Keliat, dkk. Jakarta : EGC.

Apley, A. G. (1995). Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur  Sistem Apley. (Alih bahasa Edi, N). (Edisi 7). Jakarta: Widya Medika.