LEGALITAS PERKAWINAN JANDA
YANG BERCERAI DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi Kasus di Kecamatan Sawangan Kota Depok)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Rizal Fauzi NIM: 105043101309
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI
LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF (STUDI KASUS DI KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK) telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 07 Desember 2009. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 07 Desember 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (..........................) 1957031219851003
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (..........................) 196511191998031002
3. Pembimbing I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA (..........................) 150294051
4. Pembimbing II : Drs. H. Hamid Farihi, MA (..........................) 195811191986031001
5. Penguji I : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (..........................) 196511191998031002
6. Penguji II : Drs. Heldi, MPd (..........................) 196304141993031002 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Agama Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan kepada nabi
akhir zaman yaitu Nabi Muhammad saw. Ia melengkapi dan menyempurnakan
agama-agama samawi yang diturunkan sebelumnya yang bertujuan untuk menjadi
pedoman hidup umat manusia di dunia dan akhirat dalam mencapai tujuan
kebahagiaan yang hakiki lahir dan batin .
Sebagai suatu syariat yang lengkap dan sempurna maka tidak ada suatu aspek
apapun yang dibicarakan oleh Islam, karena Syariat Islam yang abadi mencangkup
semua segi kehidupan baik yang mengatur hubungan hamba dengan kholiknya dan
mengatur pula hubungan hamba dengan seksama.
Begitu pula Islam mengatur dalam masalah perkawinan yang bertujuan unutuk
membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta kasih dan ridho
Ilahi. Sesusai dengan firman Allah SWT. dalam surat ar-Rum (30):21, yang berbunyi:
ح�م�ة� و�ر� م�و�دة� �م� �ك �ن �ي ب و�ج�ع�ل� �ه�ا �ي �ل إ �وا �ن ك �س� �ت ل ا و�اج� �ز� أ �م� ك �ف�س� �ن أ م�ن� �م� �ك ل ل�ق� خ� �ن� أ �ه� �ات آي و�م�ن�ون� ر� �ف�ك �ت ي - �ق�و�م ل �ات- آلي ذ�ل�ك� ف�ي �ن (۲۱: ۳٠الروم/)إ
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya Allah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa cenderung, dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S.ar – Rum (30):21).
Ayat di atas mengandung tiga konsep yaitu konsep “sakinah”, di urai melalui
bahasa hati “saling mengerti dan pengertian” berimplikasi pada suasana keduanya
( suami istri ), selain konsep “sakinah” ayat itu juga memperkenalkan konsep
“mawaddah”, yaitu terlihatnya hasrat saling mencintai diantara keduanya yang
mengantarkan kepada sikap agresif satu sama lain, pada tahapan berikutnya
disempurnakan oleh konsep “rahmah” yang berarti saling menyayangi dan itu
merupakan anugrah agung dari zat maha agung (Allah) karena predikat ini kelak akan
langgeng.[1]
Tiga konsep di atas merupakan sebuah proses menuju terbangunya manjadi
rumah tanggga ideal dan tauladan panutan bagi yang lain, karena rumah tangga yang
dibina oleh pasangan suami isteri akan terwujud secara baik mana kala keduanya
saling bantu membantu serta seia sekata kegunung sama mendaki, ke bawah sama
menurun, terendam sama basah, terbakar sama hangus, dan terpenting saling
memahami satu dengan lainya. Sehingga di kala tua mendatang, kekal dan bahagia,
selama hayat di kandung badan.
Selain itu dalam undang-undang perkawainan No.1 Tahun 1947 bab I pasal (1)
menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”
Perkawinan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota
keluarganya.[2]
Tetapi tujuan yang mulai mendalam melestarikan dan menjaga ke seimbangan
hidup dalam rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk
dilaksanakan. Sebagaimana sebuah bahtera yang mengarungi lautan tidak selamanya
berlayar dengan tenang, terkadang tertimpa angin atau badai. Begitupun dengan
rumah tangga seseorang tidak selamanya mulus berada dalam kasih sayang (mawadah
wa rahmah) tapi di tengah jalan ada batu sandungan yang menggangu mahligai rumah
tangga.
Maka apa bila salah seorang dari pasangan suami isteri sudah meminta rasa
tidak suka pada salah seorang pasanganya janganlah terburu-buru untuk di ceraikan,
siapa tahu di balik rasa tidak suka ada sesuatu kebaikan yang tersembunyi.[3] Sesuai
dengan surat an-Nisa (4):19 yang berbuyi :
م�ا �ع�ض� �ب ب �وا �ذ�ه�ب �ت ل �وه�ن �ع�ض�ل ت و�ال ه�ا �ر� ك اء� Bس� الن �وا �ر�ث ت �ن� أ �م� �ك ل Dح�ل� ي ال �وا آم�ن ذ�ين� ال Dه�ا ي� أ �ا ي
ف�ع�س�ى �م�وه�ن �ر�ه�ت ك �ن� ف�إ وف� �م�ع�ر� �ال ب وه�ن ر� و�ع�اش� �ة- Bن �ي م�ب ة- �ف�اح�ش� ب �ين� �ت �أ ي �ن� أ �ال إ �م�وه�ن �ت �ي آتا �ير� �ث ك ا �ر� ي خ� ف�يه� ه� الل �ج�ع�ل� و�ي �ا �ئ ي ش� ه�وا �ر� �ك ت �ن� /أ )۱۹: ٤ألنساء(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengmbil kembali sebagian dan apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka malakukan pekerjaan keji yang nyata.” Dan bergaulah dengan mereka secara pahit kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah mejadikan padanya kebaikan yang baik”.(QS.an-Nisa (4):19)
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawianan berusaha
semaksimal mungkin adanya dapat dilakukan dan menekan angka perceraian kepada
titik yang paling rendah. Karena perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-
wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami isteri
saja, kepada anak-anak yang mestinya harus di asuh dan dipelihara dengan baik.[4]
Perceraian tidak lagi boleh dipatutkan sesuka hati kaum laki-laki di atas
penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan
disampaikan di muka sidang pengadilan. Itupun setelah pengadilan lebih dahulu
berusaha mendamaikan pasangan suami isteri tetapi tetap tidak berhasil.[5] Sesuai
dalam dalam konteks keindonesiaan khususnya dalam masalah perkawainan seperti
dinyatakan dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No.1 tahun 1945 bahwa :
“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Hal ini di pertegas lagi dalam pasal 115 kompilasi hukum Islam dan pasal 65
Undang-Undang No. 7 tahun 1985 yang menyatakan :
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah
pihak , “
Meskipun dalam ketentuan hukum Islam tepatnya dalam kitab-kitab fiqh
klasik talak bisa terjadi atau jatuh dimana dan kapan saja tereserah kepada suami
karena memang talak menjadi “hak paten” suami inipun dalam ayat al-Quran selalu
lelaki jadi pelaku hukum talak pun tentu pihak suami.[6] Sesuai dengan firman Allah
dalam surat al- Ahzab (33):49 yang berbunyi :
�م�وه�ن ق�ت ط�ل �م ث �ات� �م�ؤ�م�ن ال �م� ت �ح� �ك ن �ذ�ا إ �وا آم�ن ذ�ين� ال Dه�ا ي� أ �ا )49:33/االحزاب(…..ي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menikahi perempuan perempuan yang beriaman, kemudian kamu mentalak (menceraiakan) mereka ...”.(QS. al-Ahzab (33):49) Berdasarkan konsep di atas bahwa sahnya perkawinan yang sah menuntut
Undang-Uudang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menuntut peraturan perundang-undangan yang berlaku
nantinya, artinya bahwa jika seseorang melaksanakan perkawainan yang sah maka
apabila dia melakukan perceraian nanti harus dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang sah menurut undang-undang yang berlaku. Kemudian perceraian
tersebut telah dianggap sah sehingga dia dapat melakukan perkawinan kembali.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan apa yang telah terjadi di kota depok
tepatnya di desa Bojong sari. Di tempat tersebut penulis menemukan hal yang berbeda
dengan ketentuan yang seharusnya berlaku, dalam hal ini ditentukan sebuah kasus
bahwa seorang wanita pada awalnya telah melakukan perkawinan yang sah menurut
undang-undang yang berlaku dengan seorang laki-laki. Kemudian dalam perjalanan
membina rumah tangganya ternyata orang tua tiri dari si wanita tersebut tidak senang
dengan si laki-laki tersebut ditambah dengan keadaan si laki-laki yang tidak mapan
dari segi ekonomi, padahal di antara keduanya saling mencintai.
Oleh karena itu orang tua tiri tersebut meminta si laki-laki itu untuk
menceraikan anak perempuannya dan perceraian tersebut dilakukan tidak melalui
ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Sehingga kita dapat melihat dari kaca
mata undang-undang dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut tidak sah, akan tetapi
ironisnya seorang perempuan tersebut setelah melakukan perceraian itu dia
melakukan perkawinan kembali secara sah dengan laki-laki dan telah di karuniai
seorang anak.
Melihat kasus di atas dapat kita analisa bahwa perceraian yang dilakukan di
atas adalah merupakan perceraian yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Akan
tetapi perceraian tersebut dilakukan tidak sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku dan dianggap tidak sah. Dengan demikian perceraian yang tidak sah tersebut
akan berimplikasi terhadap perkawinan yang akan dilakukannya di kemuidan hari.
Maka jika kita kaitkan dengan konsep di atas dengan kasus yang terjadi di kota Depok
tepatnya di daerah Bojong sari tersebut, maka akan timbul pertanyaan di benak kita
tentang status perawinan wanita tersebut, apa lagi dia telah di karuniai seorang anak
dari hasil perkawinan yang ke dua.
Melihat realita yang terjadi di atas maka penulis menganggap hal tersebut
merupakan suatu masalah yang perlu dikaji dan mendapat solusi hukum tersebut baik
perspektif hukum Islam maupun hukum positif. Oleh karena itulah penulis
mengangkat masalah ini dengan judul “LEGALITAS PERKAWINAN JANDA
YANG BERCERAI DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi kasus di Kecamatan
Sawangan Kota Depok)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Pembahasan dalam skripsi ini akan berkisar terhadap fenomena status
perkawinan seorang janda yang sebelumnya bercerai di luar pengadilan. Untuk
memudahkan penulis dalam menyusun karya ilmiahya, penulis membatasi lokasi yang
akan dijadikan objek penelitianya hanya di kota Depok. Sesuai dengan pokok
permasalahanya tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahan perceraian dalam konsep hukum Islam dan hukum positif.
2. Bagaimana setatus perkawinan janda yang tidak memiliki akta cerai perspektif hukum
Islam dan Hukum positif.
3. Apa pentingnya akta cerai untuk melakukan perkawinan berikutnya.
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka ajuan di adakannya
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keabsahan perceraian dalam konsep hukum Islam dan
hukum positif
2. Untuk mengetahui status perkawinan seorang janda yang tidak memiliki akta
cerai dalam konsep hukum Islam dan hukum positif.
3. Untuk mengetahui seberapa pentingnya akta cerai dalam perkawinan
berikutnya.
D. Kajian Pustaka Terdahulu
Dalam kajian pustaka terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa
hasil penelitian yang ada hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang ada
hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang penulis lakukan dalam bentuk
skripsi maupun buku. Ada beberapa hasil penelitian yang penulis temukan yang
membahas tentang perceraian dan perkawinan :
1. Skripsi yang berjudul, “Keabsahan Suatu Perkawinan Menurut Pandangan Kantor
urusan Agama (Studi Kasus KUA Ciputat)”, yang ditulis oleh Yetty Elfa Riza pada
tahun 2005. Skripsi ini membahas tentang peran KUA dalam keabsahan suatu
perkawinan, pandangan KUA tentang keabsahan suatu perkawinan, perkawinan
berdasarkan ketentuan Undang-undang.
2. Skripsi yang berjudul, “Perceraian di Luar Prosedur Peradilan Agama di Kecamatan
Sodong Hilir, Tasikmalaya dan Akibat Hukumnya”, yang ditulis oleh Dede Rohyadi
pada tahun 2008. Skripsi ini membahas tentang hukum perceraian di luar pengadilan,
kendala suami istri di luar pengadilan agama, tanggapan hakim peradilan agama,
pencatat nikah dan ulama setempat.
3. Skripsi yang berjudul, “Akibat Perceraian di Luar Pengadilan (Studi Kasus Pada
Masyarakat Kecamatan Leuwiliang)” yang ditulis oleh Herna Ramdlaningsih pada
tahun 2005. Skripsi ini membahas tentang pemahaman dan pengetahuan masyarakat
tentang peraturan dan perundang-undangan mengenai perceraian, penyebab terjadinya
perceraian di luar pengadilan, dampak perceraian di luar pengadilan bagi istri dan
anak.
4. Buku yang berjudul, “Perceraian dibawah tangan; peminggiran hak-hak perempuan;
yang ditulis oleh Dra. Kustini, M.Si pada tahun 2008. buku ini membahas tentang
perempuan dalam keluarga buruh migran, perempuan dan perceraian, fenomena buruh
migran perempuan di desa Kadupura, pergeseran makna cerai di kalangan buruh
migran, dan pandangan masyarakat terhadap perceraian migran perempuan.
Dari apa yang penulis kaji, tidak ada yang membahas tentang keabsahan perkawinan
janda yang tidak memiliki akta cerai , terutama pada kasus yang terjadi didaerah
sawangan. Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas lebih memfokuskan terhadap
masalah status perkawinan janda yang tidak memiliki akta cerai serta kegunaan akta
cerai dalam perkawinan berikutnya.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil dari berbagai sunber, dengan
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Sumber Data
a. Metode Observasi yaitu melakukan penelitian berupa wawancara langsung secara
mendalam dengan pegawai KUA Bojong Gede tempat perkawinan pertama, Amil
yang menceraikan di luar pengadilan, pegawai KUA Bojong Sari tempat perkawinan
kedua, juga wawancara langsung dengan pihak terkait mengenai masalah yang di
angkat oleh penulis.
b. Metode kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku dan
teks-teks tulisan lain, membaca, dan menghayati serta menganalisa hal yang berkaitan
dengan masalah perkawinan berikutnya yang dilakukan tanpa akta cerai.
2. Teknik pengumpulan data
Seperti yang telah di sebutkan pada sumber data, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data melalui library research dan wawancara yang sudah di buat daftar
wawancaranya. Setelah melakukan wawancara penulis mengubah hasil wawancara
tersebut ke dalam bahasa tulisan yang kedua menggunakan teknik keputusan, dari
hasil tersebut kemudian di klafikasikan dan dianalisis .
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab yang membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika
Penulisan.
BAB II : Merupakan bab yang menerangkan tinjaun umum tentang perkawinan dalam hukum
Islam dan hukum positif yang dibatasi hanya dalam pengertian dan dasar hukum,
rukun dan syarat, tata cara, hal-hal yang membatalkan perkawinan.
BAB III : Bab ini menerangkan sekilas tentang perceraian dalam perspektif hukum Islam dan
hukum positif yang meliputi sub-sub judul pengertian dan dasar hukum, rukun dan
syarat, prosedur perceraian,.
BAB IV : Pada bab ini menerangkan tentang duduk perkara, alasan pelaksanaan perceraian dan
perkawinan, dan hasil analisis masalah.
BAB V : Merupakan bagian penutup bagi sistematika penulisan skripsi ini yang berisi sub-sub
judul yaitu kesimpulan, saran-saran, serta akan di lengkapi dengan daftar pustaka, dan
lampiran-lampiran yang dianggap penting.
[1] Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab) (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.91
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor : Kencana,2003), h. 22 [3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2006), h.16 [4] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), h.8 [5] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h.178 [6] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahad (Bogor: Kencana,2003), h.208
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. 1. Pengertian Perkawinan
Allah SWT menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan dilengkapi
nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan psikologis
yang berlangsung dari sejak zaman dahulu. Dalam rangka itu Allah SWT pun telah
menciptakan segala sesuatu yang ada ini saling berjodohan.
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua
makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Sesuai dengan perihal di atas, Allah SWT berfirman yang berbunyi :
/ يس ( �م�ون� �ع�ل ي ال و�م�ما ه�م� �ف�س� �ن أ و�م�ن� األر�ض� �ت� �ب �ن ت م�ما ه�ا �ل ك و�اج� األز� ل�ق� خ� ذ�ي ال �ح�ان� ب ۳س�:٦ ٣٦(
Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin (36): 36)
Perkawinan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah SWT sebagai jalan
bagi manusia untuk berkembang biak demi kelestarian hidupnya. Dengan
melaksanakan perkawinan yang sah baik menurut hukum agama dan hukum positif,
maka keturunannya akan mengenal orang tua dan nenek moyangnya, kehidupannya
adalam bermasyarakat pun akan tenang dan damai, sebab keturunannya jelas dan
tidak ada anggota masyarakat yang mencurigakan nasab keturunannya.
Dalam al-Qur'an dan Hadits, perkawinan disebut dengan an-nikah ( (الن�ك�اح�
dan az-ziwaj atau az-zawj atau az-zijah ( ة� – - ي ج�� الز� و�اج� ال�ز� و�اج� ز� Secara [ 1 ].(ال��
harfiah an-nikah berarti al-wathu �ال و�ط ء) ), ad-dhammu ( م� ,(الض� dan al-jam’u (
ع� م .(ال ج� al-wathu berasal dari kata wathu’a-yatha’u-wath’an ( - – و�ط أ ء� ي�ط� ء� �و�ط� )
artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menggali dan
bersetubuh atau bersenggama.[2]
Beranjak dari makna harfiah inilah para ulama fiqih mendefinisikan
perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Sebagaimana menurut pendapat
Wahbah al-Zuhaily Perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’
(persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wath’i dan berkumpul selama
wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau
sepersusuan.”[3]
Menurut Hanafiah, “Perkawinan adalah akad yang memberi faedah untuk
melakukan mut’ah secara sengaja”. Artinya, kehalalan seorang laki-laki untuk ber-
istimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
pernikahan tersebut secara syar’i.[4]
Menurut Hanabilah pernikahan adalah akad yang menggunakan lafazh inkah
yang bermakna tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.
[5]
Dengan redaksi yang berbeda, Imam Taqiyuddin di dalam Kifayat al-Akhyar
mendefinisikan nikah sebagai ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari
rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wath’ (bersetubuh).[6]
Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fiqih di atas, sebagaimana akan
dijelaskan lebih luas dan bernuansa biologis. Nikah dilihat hanya sebagai akad yang
menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin jelas karena
menurut al-Azhari makna asal ini kata nikah bagi orang Arab adalah al-wath’
(persetubuhan).[7]
Dalam redaksi lain Abu Yahya Zakariya al-Anshary di dalam Fath al-Wahhab
mendefinisikan pernikahan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan seksual dengan lafazh nikah atau dengan kata-
kata yang semakna dengannya.[8]
Dari uraian kitab-kitab fiqih di atas, tampaknya para ulama mendefinisikan
perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar karena
makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual. Di samping itu
harus diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin
hubungan adalah salah satunya dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik
disebabkan karena ingin mendapatkan keturunan atau pun karena memenuhi
kebutuhan seksualnya.
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal
1 ayat 2 Perkawinan didefinisikan sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:
Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa Negara Barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan
perkawinan tahlil.
Keempat, disebutkannya berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan
untuk memenuhi perintah agama.[9]
Di samping definisi dalam UU No. 1 Tahun 1974 di atas, kompilasi hukum
Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan
bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah: “Perkawinan yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.”
Digunakannya ungkapan: akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan
merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam
rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata
perjanjian yang bersifat keperdataan.
Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah
melakukan perbuatan ibadah.[10]
Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah,
ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut
qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti
suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan menghendaki
umatnya berbuat yang sama. Hal ini sesuai dalam suatu hadits yang berasal dari Anas
bin Malik yang berbunyi:
: أنس عن ثابت، عن سلمة، بن حماد حدثنا بهز، حدثنا العبدي، نافع بكربن أبو وحدثني: بعضهم فقال السر؟ في عمله عن وسلم عليه الله صلى النبي أصحاب من نفرا أن: : فقال عليه أثنى و الله فحمد فراش، على أنام ال بعضهم وقال النساء، أتزوج ال
ف�م�ن�" اء� Bس� الن وج� �ز� �ت و�أ �ف�ط�ر� و�أ ص�و�م�� و�أ �ام� �ن و�أ ص�لBى
� أ �ا �ن أ Bى �ك�ن ل كذاوكذا؟ قالوا أقوام مابال( مسلم ( رواه Bى� م�ن �س� �ي ف�ل �ى� ت ن س� ع�ن� غ�ب� ] 11 [ر�
Artinya: Dan diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar Ibn Nafi al-‘Abdi, diceritakan kepada kami oleh Bahz, diceritakan kepada kami oleh Ahmad Ibn Salamah, dari Tsabit, dari Anas: Bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi Saw bertany kepada istri–istr Nabi Saw tentang perbuatannya yang masih sirri (rahasia)? Sebagian dari mereka menjawab: Aku tidak mengawini wanita, sebagian lagi menjawab: Aku tidak memakan makanan daging, sedangkan yang sebagian lagi menjawab: Aku tidak tidur di atas kasur, maka kemudian Nabi Saw bertahmid kepada Allah dan memujanya lalu berkata: Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan seperti ini dan itu/ ?(Rasul berkata ) “Tetapi aku sendiri melakukan shalat dan tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan juga menikahi seorang perempuan, maka siapa pun orang yang tidak mengikuti sunah ku, ia bukan dari bagian dari umatku”.(HR. Muslim) 2. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda dari pada kebesaran
Allah SWT sesuai dalam surat ar-Rum (30): 21 yang berbunyi:
ح�م�ة� و�ر� م�و�دة� �م� �ك �ن �ي ب و�ج�ع�ل� �ه�ا �ي �ل إ �وا �ن ك �س� �ت ل ا و�اج� �ز� أ �م� ك �ف�س� �ن أ م�ن� �م� �ك ل ل�ق� خ� �ن� أ �ه� �ات آي و�م�ن�/ الروم ( ون� ر� �ف�ك �ت ي - �ق�و�م ل �ات- آلي ذ�ل�ك� ف�ي �ن ۳إ :٠ ٢١(
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum (30): 21)
Makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, dari sinilah
Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari
generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisa’(4):1
dan dalam surat an-Nahl (16):72 sebagai berikut:
�ه�م�ا م�ن �ث و�ب و�ج�ه�ا ز� �ه�ا م�ن ل�ق� و�خ� و�اح�د�ة- �ف�س- ن م�ن� �م� �ق�ك ل خ� ذ�ي ال �م� ك ب ر� ق�وا ات اس� الن Dه�ا ي� أ �ا ي
/ النساء ... ( اء� �س� و�ن ا �ير� �ث ك )١ :٤ر�ج�االArtinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.....” (QS. an-Nisa’ (4): 1)
/ ) ... النحل و�ح�ف�د�ة� �ين� �ن ب �م� و�اج�ك �ز� أ م�ن� �م� �ك ل و�ج�ع�ل� ا و�اج� �ز� أ �م� ك �ف�س� �ن أ م�ن� �م� �ك ل ج�ع�ل� ه� ۱و�الل٧٢ :٦(
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu ….” (QS. an-Nahl (16): 72)
Perkawinan adalah salah satu perbuatan yang diperintah oleh Allah SWT dan
juga termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad
saw. Sesuai dengan firman Allah SWT yang tecantum dalam surat an-Nur ayat 32 dan
surat ar-Ra’d ayat 38 yang berbunyi:
م�ن� ه� الل �ه�م� �غ�ن ي اء� ف�ق�ر� �وا �ون �ك ي �ن� إ �م� �ك �م�ائ و�إ �م� �اد�ك ع�ب م�ن� �ح�ين� و�الصال �م� �ك م�ن �ام�ى األي �ك�ح�وا �ن و�أ/ النور... ( �ه� )٣٢ :۲٤ف�ض�ل
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya….” (QS. an-Nur (24): 32)
/ الرعد ... ( ة� ي Bو�ذ�ر ا و�اج� �ز� أ �ه�م� ل �ا �ن ع�ل و�ج� �ل�ك� ق�ب م�ن� س�ال ر� �ا �ن ل س� ر�� أ �ق�د� )٣٨ :۱۳و�ل
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….” (QS. ar-Ra’d (13): 38)
Dalam Islam dianjurkan seorang berkeluarga karena dari segi batin orang
dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam sabda
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud:
عبد عن عمارة حدثنا قال عماش األ حدثنا أبي حدثنا غياث بن حفص بن عمر حدثنامع كنا الله عبد فقال الله عبد على األسود و علقمة مع دخلت قال يزيد بن الرحمان
عليه الله صلى الله رسول لنا فقال شيئا نجد ال شببا وسلم عليه الله صلى النبي�ح�ص�ن� " و�أ �ص�ر� �ب �ل ل Dغ�ض� أ ه� �ن ف�إ وج� �ز� �ت �ي ف�ل �اء�ة� �ب ال �م� �ك م�ن �ط�اع� ت �س� ا م�ن� �ب� با الش ر� م�ع�ش� �ا ي وسلم
( البخارى". ( رواه ج� �ف�ر� �ل ] 12 [لArtinya: Diceritakan kepada kami oleh Umar bin Hafis bin Giyas, diceritakan kepada kami
oleh Bapakku, Diceritakan kepada kami oleh ‘Amas ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh I’maroh dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata: Saya datang bersama al-Qomah dan Aswad kepada Abdullah ia berkata: Ketika kami bersama Nabi Saw bertemu beberapa pemuda yang tidak mempunyai sesuatu untuk menikah. Maka Rosulullah berkata kepada kami: “Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang buruk/liar) dan lebih menjaga kehormatan.”(HR. al-Bukhari)
Begitu pula perintah Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan
seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ibnu Hibban, yang
berbunyi:
خليفة، : بن خلف حدثنا قال سعيد، بن قتيبة حدثنا قال الثقفي، إسحاق بن محمد أخبرنا : . عليه الله صلى الله رسول كان قال ملك بن أنس عن ملك بن أنس أخي بن حفص عن
شديدا، نهيا التبتل عن وينهى بالباءة، يأمر " وسلم �نBى ف�إ �و�د�و�د� ال �و�د� �و�ل ال وج�و�ا �ز� ت ويقول( ) ." حبان ابن رواه �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �اء �ي �ب �ن �أل ا �م� �ك ب �ر{ �اث ] 13 [م�ك
Artinya: Dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Ishak as-Saqafi, ia berkata: Diceritakan kepada kamioleh Qutaibah bin Sa’id, ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Khalif bin Kholifah, Dari Hafis anak saudara ku yaitu Anas bin Malik. Dari Anas bin Malik ia berkata: Rosulullah Saw memerintahkan segera melakukan perrnikahan dan sangat melarang membujang (memperlambat pernikahan), dan beliau berkata: “Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum di hari kiamat.”(HR. Ibnu Hibban)
Ibnu Rusyd menjelaskan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-
Muqtashid tentang hukum melakukan perkawinan, yaitu:[14]
“Segolongan ulama jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya”.
Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan
perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lama, adakalanya
wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah.[15]
Berdasarkan nash-nash, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, Islam sangat
menganjurkan perkawinan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan
perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang
melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat
dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah.
1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat
yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan, sedang
menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itu pun wajib.
2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan, tetapi kalau tidak kain tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.
3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan
serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya,
maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Sesuai dengan
firman Allah yang dikutip dalam surat al-Baqarah ayat 195 melarang orang
melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan.
/ البقرة ... ( �ة� �ك ه�ل الت �ل�ى إ �م� �د�يك ي� �أ ب �ق�وا �ل ت )١٩ ۲:٥و�ال
Artinya: “… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan… (QS. al-Baqarah (2):195) 4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Bari orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga
cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan
dirinya terjerumus dalam perbuatan zina sekiranya tidak kawin. Dan orang tersebut
tidak mempnyai kerajinan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri
dengan baik.
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila
tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan
membina keluarga sejahtera.[16]
Selain itu, diungkapkan beberapa dasar hukum yang dituangkan melalui
Undang-undang Nomor 1 tahun 1994 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam Tahun 1991 sebagai berikut:
Tentang keabsahan perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 pada pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan: “Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dalam garis hukum kompilasi hukum Islam diungkapkan bahwa pencatatan
perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan
merupakan syarat administratif, sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan
perkawinan sebagai berikut:
Pasal 2 KHI
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau
mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah
Pasal 3 KHI
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Apabila undang-undang nomor 1 tahun 1974 menggunakan istilah yang bersifat
umum, maka kompilasi hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di
dalam al-Qur'an. Misalnya: mitsaqan galidzan, ibadah, sakinah, mawadah, dan
rahmah.
Pasal 4 KHI
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal
2 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
B. Rukun dan Syara-syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu
yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya
tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau
tidak lengkap.
Sedangkan dalam jumlah hukum perkawinan, para ulama berbeda pendapat:
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad
yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.[17]
Menurut Imam Malik bahwa rukun nikah itu ada lima macam yaitu:
1. Wali dari pihak perempuan
2. Mahar (maskawin)
3. Calon pengantin laki-laki
4. Calon pengantin perempuan
5. Sighot akad nikah
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu:
1. Calon pengantin laki-laki
2. Calon pengantin perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Sighot akad nikah[18]
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun perkawinan itu ada empat,
yaitu:
1. Sighat (Ijab dan qabul)
2. Calon pengantin perempuan
3. Calon pengantin laki-laki
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.[19]
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala
hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya, syarat-syarat sahnya perkawinan itua da dua:
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang
haram dinikahi, baik karena haram dinikah`i untuk sementara maupun untuk
selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.[20]
Dari rukun-rukun di atas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut secara
terperinci:
1. Syarat-syarat Kedua Mempelai
a. Syarat-syarat pengantin pria
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami
berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama Islam
2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
3) Orangnya diketahui dan tertentu
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
9) Tidak sedang mempunyai istri empat
b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan
1) Beragama Islam atau ahli kitab
2) Terang atau jelas bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi calon suami
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
2. Syarat-syarat Ijab Kabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan
kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
3. Syarat-syarat Wali
Dalam perkawinan wali itu adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya dan pihak perempan
yang dilakukan oleh walinya.
Seorang wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil
(tidak fasik). Akad nikah tidak sah apabila tanpa keberadaan seorang wali,
berdasarkan sabda Nabi saw dari Abu Burdah bin Abu Musa menurut riwayat Ibnu
Majah yang berbunyi:
. الهمداني، إسحاق أبو حدثنا عوانة، أبو حدثنا الشوارب أبي بن الملك عبد بن محمد حدثنا " : : �ال ا �اح� �ك ن � ال وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال موسى أبي عن بردة، أبي عن
( ماجة "( ابن رواه �و�ل�ي� ] 21 [بArtinya: Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Sawarib.
Diceritakan kepada kami oleh Abu Awanah. Diceritakan kepada kami oleh Abu Ishak al-Hamdani, dari Abu Burdah, Dari Abi Musa ia berkata: Rosulullah Saw berkata: “tidak boleh nikah tanpa wali”(HR. Ibn Majah)
4. Syarat-syarat Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah baru berhak menjadi wali bila memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Dua orang laki-laki
b. Muslim
c. Baligh
d. Berakal
e. Merdeka
f. Adil (tidak fasik)
g. Melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah[22]
Berbeda dengan perspektif fikih, UU No. 1/1974 tidak mengenal adanya rukun
perkawinan. Tampaknya undang-undang perkawinan (UUP) hanya memuat hal-hal
yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam bab II Pasal 6 ditemukan
syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mempu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.[23]
C. Tata Cara Perkawinan
Apabila seseorang akan melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan
menurut tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu
hanya di bawah tangan. Kenyataannya masih ada sebagian masyarakat yang
melaksanakan seperti ini.
Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutan-
urutannya sebagai berikut.[24]
1. Pemberitahuan
Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa seorang orang yang
akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada kantor
Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang
pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Sedangkan bagi orang non Islam,
pemberitahuannya dilakukan kepada kantor catatan sipil setempat.
Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan
paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun ada
pengecualiannya terhadap jangka waktu tersebut karena sesuatu alasan yang penting
diberikan oleh camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Mengenai siapakah yang dapat memberitahukan kepada Pegawai Pencatatan
Perkawinan itu dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua mempelai atau
wakilnya. Sesuai Pasal 4 PP ini pemberitahuan dapat secara lisan atau tulisan.
Kemudian isi pemberitahuan tersebut telah ditentukan secara limitatif oleh Pasal
5 yaitu bahwa pemberitahuan memuat tentang nama, umur, agama, kepercayaan,
pekerjaan, tempat kediaman, calon mempelai pernah kawin disebutkan juga nama istri
atau suami terdahulu.
2. Penelitian
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya
diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai Pasal 6
Ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 Pegawai Pencatat meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut Hukum
Munakahat atau pun menurut Perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu berdasarkan ayat (2)nya, pegawai pencatat perkawinan juga
diwajibkan melakukan penelitian terhadap:
1. Kutipan Akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai
2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang
tua calon mempelai.
3. Izin tertulis pengadilan, apabila selain seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
4. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian, bagi
perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.[25]
3. Pengumuman
Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada suatu
halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat perkawinan
menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan Pasal 8 PP No. 9 tahun 1975
pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan.
Adapun mengenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut
formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum
4. Pelaksanaan
Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak perkawinan itu
dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan.
Mengenai bagaimana cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) PP No. 9
tajhun 1975 ternyata membebaskan kembali Pasal 2 Ay at (1) Undang-Undang
Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan, supaya sah.
D. Hal-hal yang Membatalkan Pekawinan
Batalnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan dalam hal ini
berarti berakhirnya hubungan suami istri. Batalnya perkawinan itu ada dalam
beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk
batalnya perkawinan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan terjadinya batal
perkawinan yaitu:
1. Batalnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah satu
seorang suami istri. Dengan kematian berakhir pula dengan sendirinya hubungan
perkawinan.
2. Batalnya perkawinan karena kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan
kehendaknya itu dengan ucapan tertentu, bentuk ini disebut dengan sebab talaq.
3. Batalnya karena khulu yaitu batal atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu
yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak
untuk itu, kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan. Si istri dengan
cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk
memutus perkawinan.
4. Batalnya karena fasakh yaitu batalnya atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang menandakan tidak
dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.
5. Batalnya perkawinan karena zhihar yaitu karena seorang suami telah menyamakan
istrinya dengan ibunya dan seorang suami tersebut tidak boleh menggauli istrinya,
jika ia ingin meneruskan hubungan suami istrinya maka harus membayar kaffarah
terlebih dahulu.
6. Batalnya perkawinan karena ila’ yaitu seorang suami tidak boleh menggauli istrinya
karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa tertentu,
sebelum ia membayar kaffarah atas sumpahnya itu.
7. Batalnya perkawinan karena li’an yaitu eorang suami telah menyatakan sumpah atas
kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina dan ia tidak boleh menggauli
istrinya sampai proses li’an dan perceraian di muka hakim.[26]
Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan:
perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Sedang di dalam penjelasannya disebutkan pengertian
“dapat” dalam pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bila mana menurut
ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pengaturan pembatalan
perkawinan lebih lanjut dimuat dalam pasal 27 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3
Tahun 1985 yang menyatakan: Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian
ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-
undangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan
tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian suatu perkawinan bisa batal demi hukum dan bisa
dibatalkan oleh pengadilan.[27]
Perkawinan batal demi hukum:
1. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat
istrinya itu dalam iddah talak raj’i.
2. Seorang suami yang menikahi istrinya yang telah dili’annya.
3. Seorang suami yang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhinya dengan
tolak tiga kali, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria
lain yang kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah habi
masa iddahnya.
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
5. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
6. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
7. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan susuan
(sesusuan) yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau
paman susuan.
8. Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri, atau sebagai bibi,
atau kemenakan dari istri.
Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan apabila:
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemuidian diketahui masih menjadi istri
pria lain secara sah.
3. Perempuan yang dikawini masih dalam keadaan massa tunggu (iddah)
4. pekawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak
6. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan
7. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
8. Perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud di sini
seperti seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian
ternyat adiketahui sudah beristri sehingga terjadi poligami tanpa izin
pengadilan.
[1]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.43
[2]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,1997), h.1565
[3]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut, Dar al-Fikr) Juz VII, h.29 [4]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), h.39
[5]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al- fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, (Dar Ihya’: Turas al-Qarabi) Juz IV, h.3
[6]Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz II, h.36
[7]Ibid., h.36 [8]Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab (Singapura: Sulaiman Mar’iy), Juz II,
h.30 [9]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana,2007), h.40 [10]Ibid., h.41 [11] Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya
al-Kutub Arabi,1954), h.1020 [12] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya al-
Kutub Arabi), Juz III, h.238 [13] ‘Alauddin ‘Ali Ibn Balban al-Farisi, Sahih Ibn Hibban (Beirut: al-Resalah), h.338 [14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar al-Fikr) Juz II,
h. 2 [15]Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad), Jilid
IV, h. 4 [16]Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia), h.31-36 [17]Wahbah al-Juhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, h. 6521 [18]Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in (Surabaya: al-Hidayah), h.99 [19]Wahbah al-Zuhaily, h.6521 [20]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi) Juz II, h.56 [21] Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah
Dahlan), Juz I, h.605 [22] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h.76-78 [23]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), h.39
[24]Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Undang-undang No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara1996), h.170-186
[25]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), h.127
[26]Moh. Rifa’i, Fikih Islam Lengkap (Kuala Lumpur, Pustaka Jiwa,1996), h. 43 [27]Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama tentang
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh (Bandung: Mandar Maju,1997), h.26
BAB III
KONSEP DAN MEKANISME PERCERAIAN DALAM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. 1. Pengertian Perceraian
Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah,
rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masing-
masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di samping itu harus juga
diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan dan saling pengertian satu dengan
yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh
kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang merasakan
kebahagiaan yang dirasakan oleh orang tua mereka.
Karena itu “ikatan antara suami istri” adalah ikatan paling suci dan paling
kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat
kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menamakan
ikatan perjanjian antara suami istri dengan “mitsaqan-ghalizhan” (Perjanjian yang
kokoh) sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 21 yang berbunyi:
/ النساء... ( �يظ�ا غ�ل �اق�ا م�يث �م� �ك م�ن �خ�ذ�ن� ٤:و�أ ٢١(
Artinya: “ … Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (QS. an-Nisa’(4): 21)
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan
airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami istri) sudah tidak lagi
merasakan cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak saling mempedulikan satu
dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannya masing-
masing, sehingga yang tinggal hanyalah pertengkaran dan tipu daya, kemudian
keduanya berusaha memperbaiki namun tidak berhasil, begitu juga keluarganya telah
berusaha melakukan perbaikan, namun tidak kunjung berhasil pula. Maka pada saat
itu, tidak adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang di
dalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat paling akhir diminum.
Konsekuensinya ia dapat lepas, karena makna dasar dari thalak itu adalah melepaskan
ikatan atau melepaskan perjanjian.
Sedangkan thalak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan seperti halnya
seekor unta yang terlepas yaitu terlepas tanpa ikatan dan seperti halnya tahanan yang
bebas yaitu terlepas ikatannya, akan tetapi secara kebiasaan thalak itu melepaskan
ikatan. Secara terminologi adalah melepas tali pernikahan, atau melepas akad nikah
dengan lafadz thalak dan semisalnya.[1]
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnahnya menjelaskan bahwa
thalak diambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau
meninggalkan”. Menurut istilah syara’, thalak yaitu melepaskan ikatan perkawinan
atau mengakhiri hubungan suami istri.[2]
Dalam redaksi lain al-Jaziry mendefinisikan thalak yaitu menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-
kata tertentu.[3]
Menurut Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam Fikih Wanita
menjelaskan bahwa thalak secara bahasa, thalak berarti pemutusan ikatan. Sedangkan
menurut istilah, thalak berarti pemutusan tali perkawinan.[4]
Definisi thalak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayat al-Akhyar
yang menjelaskan thalak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan
thalak adalah lafazh jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafazh itu
sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang thalak itu berdasarkan al-
Kitab, al-Hadits, Ijma’ ahli agama dan ahli Sunnah.[5]
Dari definisi thalak di atas, jelaslah bahwa thalak merupakan sebuah institusi
yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian,
ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam
kitab fikih maupun dalam Undang-undang Perkawinan.
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan
bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam realitasnya seringkali
perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya
perkawinan, sesuai dengan Pasal 38 UUP menyatakan: perkawinan dapat putus
karena sebab kematian, perceraian, ataupun karena putusan pengadilan.
Dalam KHI pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan
aturan-aturan yang lebih rinci meskipun tampak mengikuti alur yang digunakan oleh
Undang-undang Perkawinan. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada XVI
dalam Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian,
dan atas putusan pengadilan.
Perceraian adalah merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim
atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.[6]
Berbeda dengan Undang-undang Perkawinan yang tidak mengenal istilah
thalak, KHI menjelaskan pada Bab XVI dalam Pasal 117 yang dimaksud dengan
thalak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
129, 130, dan 131”.
2. Dasar Hukum Perceraian
Di dalam al-Qur'an, secara tegas Allah SWT menyatakan tentang perceraian
sebagai berikut:
1. Surat at-Thalaq (65): 1
ال �م� ك ب ر� ه� الل ق�وا و�ات �ع�دة� ال �ح�ص�وا و�أ �ه�ن �ع�دت ل Bق�وه�ن ف�ط�ل اء� Bس� الن �م� ق�ت ط�ل �ذ�ا إ Dي� ب الن Dه�ا ي� أ �ا ي
�ع�د �ت ي و�م�ن� ه� الل ح�د�ود� �ل�ك� و�ت �ة- Bن �ي م�ب ة- �ف�اح�ش� ب �ين� �ت �أ ي �ن� أ �ال إ ج�ن� �خ�ر� ي و�ال �ه�ن �وت �ي ب م�ن� �خ�ر�ج�وه�ن تالطالق ( ا م�ر�
� أ �ك� ذ�ل �ع�د� ب �ح�د�ث� ي ه� الل �ع�ل ل �د�ر�ي ت ال ه� �ف�س� ن �م� ظ�ل ف�ق�د� ه� الل )۱: ٦۵/ح�د�ود�Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.( QS. at-Thalaq (65): 1)
2. Surat al-Baqarah (2): 229
م�ما �خ�ذ�وا �أ ت �ن� أ �م� �ك ل Dح�ل� ي و�ال ان- �ح�س� �إ ب ر�يح{ �س� ت و�� أ وف- �م�ع�ر� ب اك{ �م�س� ف�إ �ان� ت م�ر الطالق�
�اح� ن ج� ف�ال ه� الل ح�د�ود� �ق�يم�ا ي �ال أ �م� ف�ت خ� �ن� ف�إ ه� الل ح�د�ود� �ق�يم�ا ي �ال أ اف�ا �خ� ي �ن� أ �ال إ �ا �ئ ي ش� �م�وه�ن �ت �ي آته�م� �ك� �ئ �ول ف�أ ه� الل ح�د�ود� �ع�د �ت ي و�م�ن� �د�وه�ا �ع�ت ت ف�ال ه� الل ح�د�ود� �ل�ك� ت �ه� ب �د�ت� اف�ت ف�يم�ا �ه�م�ا �ي ع�ل
/ البقرة ( �م�ون� ) ۲۲۹: ۲الظالArtinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah (2): 229) 3. Surat al-Baqarah (2): 230
�ن� أ �ه�م�ا �ي ع�ل �اح� ن ج� ف�ال ق�ه�ا ط�ل �ن� ف�إ ه� �ر� غ�ي ا و�ج� ز� �ك�ح� �ن ت ى ح�ت �ع�د� ب م�ن� �ه� ل Dح�ل� ت ف�ال ق�ه�ا ط�ل �ن� ف�إ/ البقرة ( �م�ون� �ع�ل ي - �ق�و�م ل �ه�ا Bن �ي �ب ي ه� الل ح�د�ود� �ل�ك� و�ت ه� الل ح�د�ود� �ق�يم�ا ي �ن� أ ا ظ�ن �ن� إ ع�ا اج� �ر� �ت )۲٣: .۲ي
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. al-Baqarah (2): 230)
Sedangkan di dalam as-Sunnah Rasulullah saw bersabda pada hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar yaitu:
رضي عمر بن الله عبد عن نافع عن مالك حدثني قال الله عبد بن إسماعيل حدثناوسلم عليه الله صلى الله رسول عهد على حائض وهي امرأته طلق أنه عنهما الله
الله صلى الله رسول فقال ذالك عن وسلم عليه الله رسول جطاب بن عمر فسأل : اء� ش� �ن� إ �م ث �ط�هر� ت �م ث �ض� �ح�ي ت �م ث �ط�هر� ت ى ح�ت �ه�ا ك �م�س� �ي ل �م ث اج�ع�ه�ا �ر� �ي ف�ل مره� وسلم عليه
�ه�ا ل �ط�لق� ت �ن� أ الله� م�ر�� أ �ى� ت ال �ع�دة� ال �ل�ك� ف�ت �م�س ي �ن� أ �ل� ق�ب ط�لق� اء� ش� �ن� و�إ �ع�د� ب م�س�ك�
� أ( البخاري. ( رواه اء� Bس� ] 7 [الن
Artinya; Diceritakan kepada kami oleh Ismail Ibn Abdullah, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Malik dari Nafi’,dari Abdullah Ibn Umar. Bahwa sanya ia telah menthalak istrinya dalam keadaan haid pada masa Rasulallah Saw. Kemudian Umar Ibn Khatab bertanya kepada Rasulullah tentanghal itu.Maka Rasulullah Saw bersabda:”Perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada istrinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak, ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan jika menghendaki, ia boleh mencerikannya sebelum ia mencampurinya. Demikianlah iddah diperintahkah Allah Swt saat wanita itu dicerikan.” (HR. al-Bukhari).
Meskipun para ulama sepakat membolehkan thalak, jika keadaan hubungan
pernikahan suami istri dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta pertengkaran
yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya
jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan cara
thalak.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara
suami istri, maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan
disepelekan. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sebaiknya
bisa diselesaikan hingga tidak terjadi perceraian. Karena bagaimanapun, baik suami
maupun istri tidak menginginkan hal itu terjadi. Lebih-lebih sebuah hadits
menjelaskan bahwa meskipun thalak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu
dibenci oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
واصل، بن معرف عن خالد، بن محمد حدثنا عبيد، بن كثير دثار، حدثنا بن محارب عن : الله� �ل�ى ا �ل� �ح�ال ال �غ�ض� �ب أ ق�ال� م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�لى الله� و�ل� س� ر� عن ع�م�ر� �ن� إب ع�ن�
( داود ( أبو رواه �ق� ] 8 [.الطالArtinya: Diceritakan kepada kami oleh Katsir Ibn ‘Ubaid, diceritakan kepada kami oleh
Muhammad Ibn Kholid, dari Mu’arif Ibn wasil, dari Muharib Ibn Ditsar, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw bersabda: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Azza wajalla adalah thalak.” (HR. Abu Daud
Sedangkan tentang hukum cerai para ahli fiqih berbeda pendapat sehingga
dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum perceraian atau thalak
itu ada lima:
1. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat
ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara kedua.
Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka,
maka saat itulah thalak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak
mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan, pertengkaran dan bahkan
menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu thalak adalah wajib
baginya.
2. Makruh
Yaitu thalak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan, thalak
seperti itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya sebab yang membolehkan. Dan
karena thalak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan
kebaikan yang memang disunahkan. Sehingga thalak itu menjadi makruh hukumnya.
3. Mubah
Yaitu thalak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya
akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat
dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
4. Sunnah
Yaitu thalak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah SWT
yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya.
Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya, atau istrinya sudah
tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi,
karena seorang wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal agama. Dalam kondisi
seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa (4): 19 yang berbunyi:
م�ا �ع�ض� �ب ب �وا �ذ�ه�ب �ت ل �وه�ن �ع�ض�ل ت و�ال ه�ا �ر� ك اء� Bس� الن �وا �ر�ث ت �ن� أ �م� �ك ل Dح�ل� ي ال �وا آم�ن ذ�ين� ال Dه�ا ي� أ �ا ي
/ النساء ( �ة- Bن �ي م�ب ة- �ف�اح�ش� ب �ين� �ت �أ ي �ن� أ �ال إ �م�وه�ن �ت �ي ٤:آت ١٩(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”. (QS. an-Nisa’(4):19)
Imam Ahmad berkata: Tidak patut memegang istri seperti ini. Karena hal itu
dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari perbuatan
rusaknya, dan dapat melemparkan kepadanya anak yang bukan dari darah dagingnya
sendiri.
Ibnu Qudamah berkata: Thalak dalam salah satu dari dua keadaan di atas
(Yaitu tidak taat kepada Allah dan kurang rasa malunya) barang kali wajib. Dan
berkata pula: Thalak sunnah yaitu thalak karena perpecahan antara suami istri yang
sudah berat dan bila istri keluar rumah dengan minta khulu’ karena ingin terlepas dari
bahaya.[9]
5. Mahzhur (terlarang)
Yaitu thalak dilakukan ketika istei sedang haid, para ulama di Mesir telah
sepakat untuk mengharamkannya. Thalak ini disebut thalak bid’ah. Disebut bid’ah
karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.[10]
Jika diamati pada aturan-aturan fikih berkenaan dengan perceraian, terkesan
seolah-olah fikih memberi kemudahan atau kelonggaran untuk terjadinya suatu
perceraian, berbeda dengan UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit
terjadinya suatu perceraian.
Sebenarnya yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 dijelaskan bahwa
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI disebut dengan mistagan ghalizha
(ikatan yang kuat). Namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di
tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
perceraian ataupun karena putusan pengadilan.
Dalam Pasal 38 UUD dinyatakan: “Perkawinan dapat putus karena, a.
kematian, b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan.”
Selanjutnya pada Pasal 39 UUP dinyatakan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Untuk melakukan perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Dalam KHI pekawinan dapat putus disebabkan percereian dijelaskan pada
Pasal 113, dan 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang
disebabkan oleh gugatan perceraian.
Berbeda dengan UUD yang tidak mengenal istilah thalak KHI menjelaskan
pada Pasal 117 yang dimaksud dengan thalak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.”
B. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun thalak ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalak dan terwujudnya
thalak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun thalak tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Suami.
Suami adalah yang memiliki hak thalak dan yang berhak menjatuhkannya.
Selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Thalak bersifat menghilangkan ikatan
perkawinan. Oleh karena itu thalak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata
adanya akad perkawinan yang sah.
Sebagaimana sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
Jubair bahwa Rasulullah saw bersabda:
عن الضحاك، عن جوبير، معمر،عن أنبأنا الرزاق، عبد حدثنا يحيى، محمد حدثنا" � ال قال وسلم عليه الله صلى النبي عن طالب أبي بن علي عن سبرة، بن النزال
( ) " ماجة إبن رواه �اح- �ك ن �ل� قب �ق� ] 11 [ط�الArtinya:Diceritakan kepada kami oleh Muhammad Ibn Yahya, diceritakan kepada kami oleh Abdul Rozak, dikhabarkan kepada kami oleh Ma’mar, dari jubair, dari Dohak, dari an-nazal Ibn Sabroh, dari Ali Ibn Abi Tholib, Nabi saw bersabda: “tidak ada thalak kecuali setelah akad perkawinan”.(HR.Ibnu Majah)
Thalak akan sah apabila suami yang menjatuhkan thalak tersebut memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Berakal sehat, maka tidak sah thalaknya anak kecil atau orang gila
b. Baligh dan merdeka
c. Atas kemauan sendiri bukan dipaksa orang lain
d. Masih ada hak untuk menthalak
2. Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalak terhadap istri sendiri.
Tidak dipandang jatuh thalak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Thalak akan sah apabila istri yang dijatuhkan thalak memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin
masa iddah thalak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada
dalam perlindungan kekuasaan suami.
b. Kedudukan istri yang dithalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
c. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah atau ismah.
3. Sighat thalak
Sighat thalak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
yang menunjukkan thalak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik
berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan
orang lain.
Thalak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya
menunjukkan kemarahannya. Semisal suami memarahi istri, memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa
disertai pernyataan thalak, maka yang demikian itu bukan thalak. Demikian pula niat
thalak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan tidak diucapkan, tidak
dipandang sebagai thalak.[12]
C. Prosedur Perceraian
Perceraian dapat terjadi dengan segala cara yang menunjukkan berakhirnya
hubungan suami istri, baik dinyatakan dengan kata-kata, dengan surat kepada istrinya,
isyarat oleh orang yang bisu, maupun dengan mengirimkan seorang utusan.
a. Perceraian dengan kata-kata
Adakalanya kata-kata yang digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan
sindiran. Yang dengan kata terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami artinya
waktu diucapkan, seperti: “engkau terthalak”, atau dengan segala kata-kata yang
diambil dari kata dasar thalak. Sedangkan kata-kata sindiran yang bisa digunakan itu
berarti thalak dan lainnya, seperti: “engkau terpisah”, atau dengan kata “perkaramu
ada di tanganmu sendiri”.
b. Perceraian dengan surat
Perceraian dengan menggunakan surat dapat dijatuhkan sekalipun yang
menulisnya mampu berkata-kata. Karena suami boleh menolak istrinya dengan lafadz
(ucapan), iapun berhak untuk menolak melalui surat, dengan syarat suratnya itu jelas
dan terang. Misalnya: “Wahai Fulanah! Engkau tertolak”
c. Isyarat orang bisu
Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang
lain. Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang
diucapkan dalam menjatuhkan thalak apabila orang bisu memberikan isyarat yang
maksudnya mengakhiri hubungan suami istri.
d. Mengirimkan seorang utusan
Thalak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan
kepada istrinya yang berada di tempat lain bahwa ia telah ditolak. Dalam hal ini,
utusan tadi bertindak selaku orang yang menolak. Karena itu, tolaknya sah.[13]
Sedangkan kalau kita merujuk kepada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam itu secara umum dijelaskan bahwasannya perceraian hanya dapat dilakukan di
depan pengadilan, dalam hal ini sesuai dengan apa yang telah tercantum dalam UU 1
tahun 1974 Pasal 39 Ayat 3 dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 129-148.
[1]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, h. 6864 [2]Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT al-Maarif, 1980) Juz
VIII, h. 7 [3]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad) Juz
IV, h. 249 [4]Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, al-Jami’ fil Fiqhi an-Nisa Alih bahasa M. Abdul
Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 427 [5]Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Aakhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz
II, h. 84 [6]Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Inter Masa, 2003), h. 42 [7] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Bairut, Dar Ihya al-
Kutub Arabi) Juz III, h. 226 [8] Abi Daud Sulaiman Ibn Asa’s as-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-A’lam,2003),
h. 351 [9]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1980) Juz
VII, h. 12 [10]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2001), h. 208-210 [11]Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazidal-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah
Dahlan), Juz I, h.660
[12]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003), h. 2001-2004 [13]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz III, Alih bahasa Nor Hasanuddin, 2006, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara), h. 146-150
BAB IV
STATUS PERKAWINAN JANDA YANG TIDAK MEMILIKI AKTA CERAI
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Duduk Perkara
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini merupakan bunyi pasal 1 UU
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dari maksud kata “Ketuhanan Yang Maha
Esa” , hal ini memberikan isyarat bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan
berdasarkan landasan agama. Akan tetapi hal ini tidak cukup, karena dalam
praktiknya di Indonesia suatu pernikahan yang sah tidak hanya menggunakan
landasan hukum Islam saja tetapi juga harus juga berlandaskan kepada aturan
perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1
dan 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”. Sedangkan ayat 2 nya berbunyi : “tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[1]
Dari dua pasal diatas dapat kita simpulkan bahwa suatu pernikahan baru
dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian dapat kita pahami pula, ketika suatu
pernikahan harus dilakukan di depan peraturan perundang-perundangan maka
perceraian pun harus dilakukan di depan pengadilan. Hal ini sesuai dengan apa yang
tercantum dalam pasal 39 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
berbunyi : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak” .Akan tetapi, hal ini berbeda dengan apa yang terjadi dilapangan.
Sebagaimana kasus yang penulis temukan di Desa Rawa Panjang.
Didaerah tersebut terdapat kasus dimana sepasang suami istri yang awalnya
menikah secara sah sebagaimana aturan yang berlaku. Namun beberapa bulan
kemudian timbul keresahan dari pihak keluarga istri karena si suami belum kunjung
mempunyai pekerjaan. Kemudian, pihak keluarga dari wanita terus meminta si suami
untuk menceraikan si istri karena keluarga tersebut mengangap bahwa si suami
tersebut tidak layak untuk anak perempuannya.
Meskipun antara suami istri tersebut masih saling menyayangi, akan tetapi
karena kuatnya terus desakan dari pihak si istri dan pada saat itupun si suami belum
kunjung-kunjung mendapatkan pekerjaan. Akhirnya karena besarnya kasih sayang si
suami terhadap istrinya dan ia pun menyadari kekurangannya dalam hal ekonomi atau
memberi nafkah kepada istri, maka si suami pun menceraikan istrinya walaupun
dengan perasaan hati yang sangat berat dan terpukul. Akan tetapi, perceraian yang
dilakukan tersebut tidak dilakukan di depan sidang pengadilan melainkan hanya
dilakukan di hadapan amil dan pihak keluarga saja. Hal ini berimplikasi bahwa
perceraian yang dilakukan tersebut hanya sah di hadapan hukum Islam saja tetapi
tidak sah menurut hukum positif.
Kemudian sekitar Tiga bulan setelah perceraiannya keluarga si perempuan
tersebut pindah ke daerah Bojong Sari. Dan setelah beberapa bulan ia menetap di
daerah tersebut, si perempuan itu kembali dijodohkan dengan pria lain pilihan orang
tuanya. Dan si perempuan itu pun menurut kepada pilihan orang tuanya, sampai
kepada pernikahannya pun disiapkan oleh orang tuanya. Dan hal yang sangat
mengejutkan dalam kasus ini adalah ternyata pernikahan yang dilakukan kedua
tersebut adalah pernikahan yang sah berdasarkan hukum positif dan hukum Islam.
Padahal kalau kita kaji dari perceraian yang dilakukan sebelumnya maka
terlihat bahwa perceraian yang dilakukannya hanya sah berdasarkan hukum Islam
saja, akan tetapi secara legalitas hukum positif perceraian tersebut tidak diakui. Hal
ini yang kemudian menurut penulis menjadi suatu masalah yang sangat besar, karena
pernikahan kedua yang dilakukan oleh perempuan tersebut masih menduduki posisi
hukum yang masih di pertanyakan.
B. 1. Alasan Pelaksanaan Perceraian
Dalam wawancara penulis dengan seorang istri yang meminta terjadinya
perceraian tersebut, yang juga sekaligus sebagai pelaku perkawinan yang didahului
dengan perceraian di luar sidang pengadilan. Penulis mendapatkan keterangan dari
pelaku bahwa perceraian dengan suaminya adalah karena didasari oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.[2]
Faktor internal, pelaku menjelaskan bahwa rumah tangga dengan suaminya
bercerai karena minimnya pendapatan suami sehingga pelaku merasa kebutuhan
materinya tidak atau kurang dari kecukupan. Bahkan sampai suami tersebut
melanggar sighat taklik yang pernah diucapkan, salah satunya yaitu tidak memberi
nafkah kepada istrinya tiga bulan lamanya. Pelaku mengaku bahwa ketidakcukupan
ekonomi di antara keduanya menyebabkan orang tua pelaku tidak senang dengan
suaminya sehingga orang tua pelaku meminta suaminya untuk segera mengakhiri
mahligai rumah tangganya yang baru seumur jagung yakni kurang lebih dua tahun
lamanya. Sementara itu, pihak suami yang memang sejak dulu sudah merasa rendah
diri (minder) dengan lawannya karena tidak bisa mencukupi kebutuhan nafkah sang
istri serta tidak bisa berbuat banyak atas permintaan istri. Akibatnya kedua belah
pihak (istri dan suami) sepakat untuk mengakhiri hubungan pernikahannya dengan
jalan cerai.
Dan dari faktor eksternalnya, bahwa orang tua dari pihak istri, dengan
mengetahui ananknya tidak dinafkahi selama masa tiga bulan lamanya oleh suaminya
(menantu), maka atas alasan ini pulalah pihak orang tua si istri menghendaki agar
anaknya bisa berpisah atau bercerai dengan suaminya, demi mendapat kehidupan
yang lebih layak nantinya. Sehingga istri, dalam hal ini lebih yakin untuk
melaksanakan perceraiaan dengan suaminya, sebagaimana alasan-alasan yang
dimaksud di atas.
Selanjutnya, pelaku menyatakan cara perceraian yang terjadi di antara
keduanya tidaklah diproses dalam sidang di pengadilan agama tempat pelaku tinggal,
namun perceraian tersebut terjadi begitu saja di antara pelaku dengan hanya ucapan
“talak” dari suami kepada istri yang juga disaksikan oleh orang tua atau pihak
keluarga saja dan seorang amil setempat atau atau perceraian tersebut dapat dikatakan
“cerai di bawah tangan”(Red.istilah penulis untuk menyamakan nikah dibawah
tangan).
Perceraian tersebut ironis terjadi, karena pada awalnya pernikahan tersebut
terjadi dengan akad nikah yang sah dan tertulis secara di KUA sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah perceraian tersebut sah baik secara hukum Islam maupun hukum
positif. Selain itu permasalahan yang juga akan di bahas selanjutnya adalah bahwa
pelaku setelah mengadakan “perceraian di bawah tangan” tersebut, kemudian
melangsungkan nikah di daerah lain (Desa.Bojong sari, kec.Sawangan) dengan laki-
laki lain yang dilakukan secara resmi dan tertulis di Kantor Urusan Agama.
2. Dasar Pelaksanaan Perkawinan
Dalam hal ini yang menjadi landasan perkawinan kembali wanita tersebut
adalah bahwa dia telah melakukan perceraian yang sah secara Islam. Menurutnya
perceraian tersebut telah memenuhi syarat sesuai dengan hukum Islam. Di samping
itu ia pun telah melewati masa iddahnya selama 3 bulan 10 hari. Sehingga hal inilah
yang mendasarinya melakukan pernikahan kembali dengan laki-laki lain. Selain itu,
kondisinya pada saat itu pun dalam keadaan kosong artinya di sini bahwa ia dalam
kondisi tidak ada ikatan apapun dengan laki-laki lain sehingga tidak ada lagi hal yang
bisa menghalanginya melakukan pernikahan dengan pria manapun juga.
Sedangkan pernikahan keduanya yang dilakukannya di depan KUA adalah
murni semuanya diurus oleh pihak keluarganya dan wanita tersebut tidak tahu
menahu masalah hukum pernikahannya kembali, di samping ia pun tidak begitu
paham dengan masalah hukum jadi dia hanya mengikuti prosedur yang telah
disiapkan oleh keluarganya.
C. Analisa Masalah
Indonesia adalah Negara bangsa (nation state), bukan Negara agama (religion state).
Hukum yang berlaku adalah hukum konvensional (positif), bukan hukum agama. Ini
mirip dengan konsep sekuler yang memisahkan antara agama dengan Negara. Urusan
agama diserahkan kepada masing-masing individu, sebagai warga Negara yang baik
selain taat beragama kita juga dituntut untuk mentaati peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk dalam hal perkawinan yang notabene domain
agama. Apalagi Indonesia bukanlah Negara sekuler, tapi juga Negara agama lebih
mengakomodasi hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama, salah satunya dalam
perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Dalam perspektif hukum Islam tidak ada korelasi dan relevansi ada atau tidak akta
cerai untuk melaksanakan perkawinan berikutnya. Sedangkan menurut hukum positif
akta cerai merupakan bukti legalitas pengakuan oleh Negara terhadap putusnya
hubungan perkawinan antara suami dan istri. Tanpa akta cerai tersebut seseorang
tidak dapat melakukan pernikahan berikutnya karena dianggap masih terikat dengan
perkawinan sebelumnya. Dalam UUD No.1 tahun 1974 diterangkan bahwa prinsip
dasar perkawinan adalah monogami disinilah letak pentingnya keberadaan akta cerai
yaitu untuk sebagai syarat melancarkan pernikahan berikutnya.
Setelah memaparkan permasalahan di atas maka dapat dipahami bahwa :
pertama, melihat pada status perceraian yang dilakukan bukan di depan hakim, pada
satu sisi perceraian tersebut sah secara hukum Islam karena dalam literatur hukum
Islam tidak diharuskan perceraian dilakukan di depan pengadilan. Perceraian dapat
jatuh apabila seorang suami telah mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara
sungguh-sungguh atau diucapkannya secara tidak sungguh-sunguh sesuai dengan
hadis Rasulullah saw:
) : , التقريب فى ادرك بن الرحمن عبد عن اسماعيل بن تم حا حدثنا قال قتيبة حدثناالله : ) : صلى الله رسول قال ، هريرة ابي عن ماهك، ابن عن عطاء عن اردك والخالصةالترمذى : : ( ) رواه ج�ع�ة� و�الر �ق�، ،و�الطال �اح� Bك �لن ا ج�د� �ه�ن ل و�ه�ز� ج�د� ه�ن ج�د� �ث{ �ال ث وسلم ] 3 [عليه
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Qutaybah, ia berkata : Diceritakan kepada kami oleh Hatim Ibn Ismail dari Abdurrahman Ibn Adrak (didalam kitab at-Taqrib dan Khulasoh : Ardak) dari Atho: dari Ibn Mahak, dari Abi Hurairah, berkata Rasulullah saw : “tiga perkara kesungguhannya di pandang benar dan main-mainnya di pandang benar pula, yaitu: nikah, thalak, rujuk.(HR. at-Tirmidzi)
Dengan demikian perceraian tersebut sah secara syara’ akan tetapi jika
melihat dari kacamata hukum positif atau system perundang-undangan di Indonesia
yang mengacu kepada undang-undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
perceraian tersebut tidak sah secara hukum hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 39
ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbuyi : “ Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Maka secara Yuridis dapat dikatakan perceraian tersebut tidak sah dan harus
dibatalkan dan si istri secara hukum masih terikat dengan suami yang lama. Dengan
demikian menurut hemat penulis perceraian tersebut tidak sah karena sistem
perundang-undangan mensyaratkan dilangsungkannya talak cerai atau gugat cerai
harus dilaksanakan di depan hakim pengadilan. Selain itu, dari segi kemaslahatan
disyaratkannya perceraian di depan hakim, agar tidak terjadi perceraian secara
sembarangan dan exploitasi suami terhadap istri dengan kekuasaan yang otoritatif dari
suami untuk menceraikan si istri dengan tanpa alasan.
Sedangkan perkawinan ke dua yang telah dilakukan si istri dengan orang lain
walaupun tanpa pengetahuan istri hal tersebut tetap tidak dapat di benarkan karena
secara yuridis si istri masih terikat dalam perkawinan dengan suami nya yang lama
sebagai akibat perceraian yang tidak sah secara hukum positif. Sehingga perkawinan
dilakukan secara formal dan administrative di depan pegawai pencatat pernikahan
seharusnya di batalkan, Karena dalam pasal 22 UU No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. hal tersebut untuk
menjaga terjadinya tindak poliandri dari istri yang memang jelas-jelas di larang oleh
agama dan negara.
Sedangkan dalam penjelasan disebutkan pengertian “ dapat” dalam pasal ini
adalah bisa batal bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan
lain, dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan
oleh seseorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam
pelaksanaannya. Pada kasus diatas harus dibatalkan karena cacat hukum yaitu
diketahuinya perempuan yang dikawini masih bersetatus istri pria lain yang secara
hukum positif.[4] Akan tetapi kalau kita merujuk kepada hukum Islam maka
pernikahan tersebut dianggap sah, karena perceraiannya yang dilakukan sebelumnya
adalah sah secara hukum Islam dan dia pun telah memenuhi persyaratan secara
hukum Islam untuk melakukan suatu pernikahan. Sehingga pernikahan kedua yang
dilakukannya adalah sah secara hukum Islam.
Setelah pemaparan diatas yang menyatakan bahwa perkawinan kedua dari
wanita yang bercerai diluar sidang pengadilan harus dibatalkan secara hukum positif,
maka setatus perkawinan tersebut menjadi perkawinan sirri karena menurut hukum
Islam sah-sah saja sebab perceraiannya pun dianggap sah menurut hukum Islam.
Akan tetapi apabila pihak-pihak terkait ingin meneruskan perkawinan dan diakui oleh
hukum Islam dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Maka seorang tersebut
harus terlebih dahulu mengurus surat-surat bukti perceraian (Akta Cerai) dari
pengadilan dan setelah itu menetapkan perkawinannya di Pengadilan Agama atau
disebut Isbat Nikah.
Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi : “ Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan Isbat Nikahnya di Pengadilan Agama. Sebagai contoh kasus Ayu Azhari
yang mengajukan Isbat Nikah demi mendapatkan aspek legal perkawinannya serta
menyelamatkan masa depan anak dan keturunannya, sebab Isbat Nikah merupakan
saluran yang tepat agar para pihak terkait terhindar dari kesimpangsiuran hukum.[5]
Nikah dibawah tangan apabila tidak dilegalkan akan berimplikasi terhadap hukum
diantaranya hukum kewarisan, antara suami istri tidak bisa saling waris-mewarisi
demikian pun antara anak-anak yang dilairkan dari hasil perkawinan dengan orang
tuanya. Begitu juga dalam hukum perwalian dalam nikah, seorang bapak tidak berhak
menjadi wali nikah dari anak perempuannya.
[1] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 1, h. 48
[2] Responden. Wawancara pribadi, Depok, 2 November 2009 [3] Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Suroh, Sunan at-Tirmidzi (kairo: Darul Hadits,1999),Juz
III, h.319 [4] Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. 1,
h. 33 [5] http:// www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007030202140450, tgl akses 5
november 2009
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada hakekatnya perceraian yang diucapkan oleh seorang suami kepada
seorang istri dalam Hukum Islam dapat saja terjadi kapan dan dimana pun seorang
suami mengucapkan ikrar “thalak” maka saat itu pun terjadi perceraian dan sudah
dianggap sah. Akan tetapi hal tersebut menjadi suatu pengecualian dalam kondisi
sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengacu kepada
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karna dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia perceraian yang di anggap sah apabila dilakukan
dihadapan hakim atau sidang pengadilan sesuai dengan pasal 39 ayat 1 Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan demikian jika perceraian
dilakukan di luar sidang pengadilan maka akan berimplikasi tehadap perkawinan
selanjutnya yang akan dilakukan.
2. Perkawinan yang dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam
dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang
mengacu pada UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian
kita pahami ketika suatu perkawinan harus dilaksanakan sesuai peraturan perundang-
undangan maka perceraian pun harus dilakukan di depan sidang pengadilan dan
apabila suatu perkawinan kedua dilakukan tanpa adanya Akta Cerai dari pengadilan
maka menurut Hukum Islam sah-sah saja, akan tetapi menurut Hukum Positif tidak
sah bahkan harus dibatalkan.
3. Apabila perkawinan kedua dilakukan tanpa adanya Akta Cerai dari
pengadilan maka menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus
dibatalkan dan perkawinan tersebut menjadi pernikahan sirri , karena hanya sah
menurut Hukum Islam. Dan jika perkawinan tersebut ingin dilanjutkan dan sah
menurut hukum Islam dan diakui oleh Undang-Undang yang berlaku, maka pihak
terkait disarankan untuk melengkapi surat cerai dari pengadilan. Kemudian
menetapkan perkawinannya di Pengadilan Agama dengan melalui Isbat Nikah.
Perkawinan sirri (dibawah tangan) apabila tidak diresmikan atau dilegalkan maka
tidak sah menurut UU No.1 Tahun 1974 karena bertentangan dengan pasal 2 ayat 2
yang berbunyi: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Serta akan mempunyai implikasi terhadap kesimpangsiuran hukum di
antaranya dalam hukum kewarisan,hukum perwalian dalam pernikahan, karena
perkawinan di bawah tangan sukar untuk dibuktikan, kecuali semua para pihak yang
terlibat dalam perkawinan itu tetap hidup sepanjang zaman dan tidak akan mati.
B. Saran-Saran
1. Sebaiknya pihak Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama perlu meningkatkan
Sosialisasi hukum perkawinan kepada masyarakat dan ulama.
2. Agar tidak terjadi lagi pelanggaran pada Undang-Undang perkawinan sebaiknya
pencatatan nikah dijadikan rukun nikah dan perceraian di depan Pengadilan Agama
sebagai syarat sah cerai.
3. Pemerintah hendaknya memperlonggar peraturan-peraturan perkawinan dan perceraian
baik dari segi prosedur ataupun materi sehingga bagi pihak-pihak tertentu tidak lagi
mengambil jalan pintas dalam melakukan perkawinan dan perceraian.
4. Pelaksanaan Undang-Undang dalam hal ini Kantor Urusan Agama dan Pengadilan
Agama harus konsisten dalam menjalankan Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No: 1 Tahun 1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-3. Rifai, Moh. Fikih Islam Lengkap, Kuala Lumpur: Pustaka Jiwa, 1996.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinaan Islam: Suatu Analisis Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 dan KHI, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Intar Madzhab), Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006, Cet. Ke-1.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. Ke-2.
Tholib, Muhammad. 15 Penyebab perceraian dan Penanggulangannya, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997.
Ghazali, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat, Bogor : Kencana, 2003, Cet. Ke-1.
Nasution, Bahder Johan. Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqoh, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Abidin Slamet dan Aminudin. Fikih Munakahat I, Bandung: CV. Pustaka Setia,1999, Cet. Ke-1.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Inter Masa, 2003, Cet. Ke-31.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Karya Gemilang, 2007. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-1.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Islam, Jakarta : Sinar Grafik, 2006, Cet. Ke-4.
Ali, Zaenuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,2006, Cet. Ke-1. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II. Yahya, Abu Zakaria al-Anshary. Fath al-Wahhab, Singapura: Sulaiman Mar’iy.
Taqiyuddin, Imam. Kifayat al-Akhyar Fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, Surabaya: Darul Ihya, Juz II.
al-Zuhaily, Wahbah Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fiqr, 2004, Juz VII, Cet. Ke-4.
Ibn Abdul Aziz, Zainuddin, Fathul Mu’in, Surabaya: al-Hidayah.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Juz II.
Husain, Abi Muslim Ibn Hajaj al-Qusyairi an-Naysyaburi. Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Kutub Arabi, 1954.
Ali, Alaudin Ibn Balyan al-Farisi. Sahih Ibnu Hibban, Beirut: al-Resalah.
Isa, Abi Muhammad Ibn Isa Ibn Sawrah. Sunan Tirmidji, Beirut: Dar al-Marefah, 2002, Cet. Ke-I.
Daud, Abi Sulaiman Ibn As’as as-Sijistani. Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Alam, 2003, Cet. Ke-I.
Muhammad, Kamil Uwaidah. Al-Jami Fil Fiqh an-Nissa, Alih Bahasa M.Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, Cet. Ke-1.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Moh, Tholib, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1981, Juz VII, Cet. Ke-I.
Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Irsyad, Juz IV. Abdillah, Abi Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari. Sahih Bukhari, Beirut: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabi, Juz III. Warson, Ahmad Munawwir. Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997. Abdillah, Abi Muhammad Ibn Yazid al-Qozwini. Sunan Ibnu Majah, Indonesia: Maktabah
Dahlan, Juz I http:// www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007030202140450, tgl akses 5 november 2009
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam
Top Related