BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Iskemia miokard adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen jantung. Besarnya kebutuhan
oksigen jantung ditentukan oleh frekuensi denyut jantung, tegangan dinding
ventrikel kiri, dan kontraktilitas miokard. Sedangkan besarnya suplai oksigen
ditentukan oleh frekuensi denyut jantung (lama diastol), kapasitas angkut oksigen
oleh eritrosit, dan kelainan pembuluh darah koroner1. Penyebab utama iskemia
miokardial adalah penyakit aterosklerosis dari arteri koroner epikardial yang
cukup tebal hingga dapat menurunkan aliran darah regional ke miokardium yang
disuplainya2.
Pasien dengan penyakit jantung iskemia akan bermanifestasi ke dalam dua
kelompok besar yaitu pasien dengan penyakit arteri koroner kronik (Coronary
Artery Disease / CAD) yang umumnya bermanifestasi sebagai angina stabil dan
pasien dengan sindrom koroner akut (Acute Coronary Syndrome / ACS).
Kelompok dengan ACS terbagi menjadi infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction / STEMI), angina tidak stabil
(Unstable Angina / UA) atau infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (Non
ST Elevation Myocardial Infarction / NSTEMI)3.Penyakit Jantung Koroner (PJK)
adalah penyakit yang terutama disebabkan oleh kelainan miokardium akibat
insufisiensi aliran darah koroner karena arterosklerosis yang merupakan proses
degeneratif. Seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia maka
kejadiannya akan makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting
dikarenakan sering menyebabkan kematian mendadak.1
Penyakit jantung iskemia merupakan penyakit kronik yang sering
dijumpai, serius, mengancam jiwa, menyebabkan banyak kematian dan angka
kesakitan. Penyakit jantung iskemia masih menjadi masalah utama di Eropa,
Amerika, dan mengalami peningkatan di wilayah Asia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2002 sekitar 12,6 persen
kematian di seluruh dunia diakibatkan oleh penyakit jantung iskemia. Penyakit
1
jantung iskemia ini menjadi penyebab utama kematian di Negara maju dan
penyebab ketiga kematian di Negara berkembang setelah AIDS dan infeksi
saluran pernapasan bawah4. Pada tahun 2004, National Center for Health
Statistics (NCHS) melaporkan sekitar 1.565.000 pasien dengan diagnosis ACS,
669,000 diantaranya adalah UA dan 896,000 lainnya merupakan infark miokard
akut. Sekitar 43% dari penderita ACS adalah wanita2 3.
Infark miokard disebabkan oleh trombus arteri koroner. Terjadinya
trombus disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan
trombus dan trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri
yang oklusi dan aliran darah kolateral. Oklusi arteri koronaria bisa juga tidak
sampai menimbulkan infark bila daerah yang diperdarahi arteri yang oklusi
tersebut mendapat pasok oleh kolateral pembuluh arteri lainnya.
Namun demikian penderita dengan IMA hendaknya segera mendapat
pertolongan oleh karena angka kematian sangat tinggi,terutama dalam jam-jam
pertama serangan. Adapun faktor-faktor yang mempermudah terjadinya IMA
antara lain:merokok,hipertensi,obesitas. Di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir
IMA lebih sering ditemukan, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostic dan unit-
unit perawatan penyakit jantung koroner yang semakin tersebar merata.Kemajuan
dalam pengobatan IMA di unit perawatan jantung koroner intensif berhasil
menurunkan angka kematian IMA.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS (Autoanamnesa pada tanggal 23 Juli 2010)
Identitas :
Nama : Tn. S
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Lambung Mangkurat gg. H. Usman, Samarinda
Pekerjaan : Pedagang bawang di pasar
Suku : Bugis
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SD
Status Kawin : Kawin
Masuk Rumah Sakit : 22 Juli 2010
Keluhan Utama
Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada dialami pasien sejak ± 1 jam sebelum MRS, nyeri dirasakan
pasien sekitar pukul 12.00 dinihari saat pasien sedang duduk-duduk bersama
keluarganya. Nyeri dirasakan setelah pasien terkejut ketika mendengar suara
ribut-ribut penangkapan polisi di sebelah rumahnya, saat itu pasien sangat takut
ditangkap polisi. Pasien mendeskripsikan nyeri yang luar biasa hingga ia terus
memegangi dadanya, dada terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, nyeri tembus hingga
ke punggung dan ke tangan kiri hingga leher kiri. Bersamaan dengan nyeri dada,
pasien juga merasakan nyeri ulu hati, sesak napas dan dada berdebar-debar. Pasien
merasakan sangat berat ketika menarik napas. Pasien juga berkeringat dingin
karena menahan sakitnya, tidak ada mual, tidak ada muntah dan badan terasa
lemas. Karena nyeri yang tak tertahankan akhirnya pasien pergi berobat ke IGD
RSUD AW. Sjahranie Samarinda.
3
Pasien mengatakan bahwa keluhan nyeri dada ini adalah yang pertama kali
dialaminya. Pasien juga tidak pernah mengalami sesak napas, dada berdebar-debar
dan keringat dingin sebelumnya. Sejak 1 tahun terakhir pasien sering merasakan
nyeri ulu hati yang pasien tafsirkan sebagai sakit maag.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi tidak diketahui
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Diabetes Melitus (?) pasien tidak memiliki keluhan mudah lapar,
sering merasa haus, sering buang air kecil dan penurunan berat badan
Riwayat stroke (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Diabetes Melitus (-)
Hipertensi (+) (ayah kandung)
Jantung (-), Stroke (-)
Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok sejak 20 tahun yang lalu ± 2 bungkus dalam 1 hari dan baru
berhenti sekitar 2 tahun belakangan. Pasien juga sering mengkonsumsi kopi.
Pasien juga tidak menjaga pola makannya karena pekerjaannya di pasar
sehingga sering makan di luar. Pasien sering mengkonsumsi makanan
bersantan dan jeroan.
Pasien sering bermain futsal 1-2x/minggu, namun sejak 2 bulan terakhir
pasien tidak pernah berolahraga lagi.
PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 23 Juli 2010)
1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Keadaan sakit : sakit sedang
Tanda Vital :
Frekuensi Nadi : 92x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
4
Tekanan darah : 116/73 mmHg (TD masuk = 240/140 mmHg)
Pernafasan : 20 x/menit,.
Suhu : 36,80C, aksiler
Status Gizi :
Berat Badan : 60 Kg
Tinggi Badan : 168 cm
BMI : 23,1 (normal)
2. Kepala dan Leher
a. Umum
Ekspresi : Tenang
b. Mata
Kelopak : edema (-)
Konjunktiva : anemis (-/-)
Sclera : ikterik (-/-)
Pupil : bulat, isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+) D = S
c. Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal
Processus Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
d. Hidung
Penyumbatan : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Daya penciuman : normal
Pernafasan cuping hidung: tidak ada
e. Mulut
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : berdarah (-)
Mukosa : pigmentasi (-), hiperemia (-), pucat (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-)
Faring : hiperemia (-)
5
f. Leher
Umum : simetris
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trachea : di tengah
Tiroid : membesar (-)
V. jugularis : JVP normal (5+0) dengan posisi berbaring 450
3. Thorax
Bentuk : simetris
Axilla : pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Sternum : nyeri tekan (-)
a. Paru
I Bentuk : simetris
Pergerakan : simetris, retraksi ICS (-/-)
Pa ICS melebar : (-/-)
Fremitus raba : Simetris (D=S)
Nyeri : (-/-)
Pe Suara ketok : sonor (+/+)
Nyeri ketok : (-/-)
A Suara nafas : vesikuler
Suara tambahan : ronki (-/-), wheezing (-/-)
b. Jantung
I Ictus cordis tidak tampak
Pa Ictus cordis teraba pada ICS V 1 jari lateral MCL Sinistra
Pe Batas kanan : parasternal line ICS III Dextra
Batas kiri : ICS V 2 jari lateral MCL Sinistra
A S1 S2 tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-).
4. Abdomen
I Bentuk : cembung
Kulit : normal
6
Hernia : umbilicus (-), inguinal (-)
Pa Turgor : normal
Tonus : normal
Nyeri tekan : tidak ada
Pembesaran : hepar (-), ginjal (-), spleen (-)
Pe Timpani, Shifting dullness (-)
A Peristaltik usus : BU (+) normal
5. Inguinal
Pembesaran kel. Limfe : (-/-)
6. Ekstremitas
Atas : Sendi bengkak (-/-)
Tremor (-/-)
Akral hangat, pucat (-), edema (-/-)
Refleks biceps normal, refleks triceps normal
Bawah : Sendi bengkak (-/-)
Tremor (-/-)
Akral hangat, pucat (-), edema (-/-)
Refleks patella normal
Refleks achilles normal
7. Tulang belakang : Normal
7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 22 Juli 2010 23 juli 2010
Darah lengkap
Hb 15,4
Hct 47,2
Leukosit 9.800
Trombosit 118.000
Kimia darah
GDS 108 113
SGOT 13
SGPT 23
Alkali phospatase 73
Gama GT 32
Bilirubin total 0,5
Bil direk 0,3
Bil indirek 0,6
Protein total 7,8
Albumin 3,7
Globulin 4,1
Kolesterol 200
TG 86
HDL 41
LDL 142
Asam urat 6,0
Ureum 23,8 25,6
Kreatinin 0,8 1,0
Elektrolit
Natrium 146
Kalium 4,1
Clorida 109
CKMB 19
8
2. EKG
9
DIAGNOSIS
STEMI (infark anteroseptal)
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Unstable Angina
PENATALAKSANAAN :
Penatalaksanaan
Bed rest dengan monitoring ketat di ICCU
IVFD RL 12 tpm
Oksigen 2 ltr/menit
Farmakologi
Nifedipine 10 mg (Sublingual)
ISDN 5 mg 3 x 1 tab
Lisinopril 10 mg 1 x 1 tab
Amlodipin 10 mg 1 x 1 tab
ASA(asetil salisylic acid) 80 mg 0-1-0
Plavix (clopidogrel bisulfate) 75 mg 1 x 4 hari pertama selanjutnya 1-0-0
Arixtra (Fondaparinux) 2,5 mg 1 x 1
10
PROGNOSIS
Dubia ad Bonam (Low Risk)
Penentuan prognosis dan stratifikasi resiko berdasarkan TIMI Risk Score:
1. Usia ≥ 65 tahun
2. ≥ 3 faktor resiko PJK
3. Ditemukannya PJK pada saat kateterisasi (stenosis >50%)
4. Perkembangan lanjut dari UA/NSTEMI walaupun dengan penggunaan
aspirin dalam 7 hari terakhir.
5. ≥ 2 episode angina dalam 24 jam
6. Deviasi ST ≥ 5 mm
7. Meningkatnya biomarker jantung.
11
FOLLOW UP
Pera
Watan
S O A P
Hari I
Tgl
22/8/10
Nyeri dada tembus
ke punggung dan
tengkuk, ke tangan
dan bahu kiri, sesak
napas (+),
berkeringat (-),
Nyeri ulu hati (+),
mual (-),
muntah(-)
CM, TD : 96/61
mmHg
N : 68x/menit
RR : 19x/menit
T : 36,40 C
S1S2 tunggal reg,
murmur (-), gallop
(-)
Oedem ext.sup et
inf (-/-)
CAD
Infark
antero
septal
O2 2 ltr/menit
IVFD RL 20 tetes per
menit
ISDN 5 mg 3 x 1 tab
Lisinopril 10 mg 1 x 1
tab
Amlodipin 10 mg 1 x 1
tab
ASA(asetil salisylic
acid) 80 mg 0-1-0
Plavix (clopidogrel
bisulfate) 75 mg 1 x 4 hari
pertama selanjutnya 1-0-0
Arixtra (Fondaparinux)
2,5 mg 1 x 1
Hari II
23/8/10
Nyeri dada
berkurang
Sesak napas (-)
Nyeri ulu hati (+)
CM, TD : 116/73
mmHg
N : 79x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,80 C
CAD
Infark
antero
septal
O2 2 ltr/menit
IVFD RL 20 tetes per
menit
ISDN 5 mg 3 x 1 tab
Lisinopril 10 mg 1 x 1
tab
Amlodipin 10 mg 1 x 1
tab
ASA(asetil salisylic
acid) 80 mg 0-1-0
Plavix (clopidogrel
bisulfate) 75 mg 1 x 4 hari
pertama selanjutnya 1-0-0
Arixtra (Fondaparinux)
12
2,5 mg 1 x 1
Ranitidin 3 x 1 (iv)
Hari III
Tgl.
24/8/10
Nyeri dada (-),
Sesak napas (-)
Nyeri ulu hati (+)
berkurang
CM, TD : 134/79
mmHg
N : 75x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,60 C
CAD
Infark
antero
septal
ACC pulang
Tx pulang:
ISDN tab 5 mg 3 x 1
ASA tab 100 mg 1 x 1
Plavix tab 75 mg 1 x 1
Lisinopril 10 mg 1 x 1
Amlodipin tab 5 mg 1 x
1
Kontrol poli
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit Jantung Koroner adalah kelainan miokardium akibat insufisiensi
aliran darah koroner oleh arteriosklerosis yang merupakan proses degeneratif
meskipun di pengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab penyakit jantung koroner
adalah terjadinya penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat
penebalan lapisan tunika intima dan rupturnya plak yang diikuti oleh
pembentukan trombus. Rupturnya plak dapat disebabkan faktor pencetus antara
lain aktifitas fisik, udara dingin, perubahan suhu yang mendadak,rasa cemas dan
emosional, merokok dan ketika makan.1,4
Angina (nyeri dada ) adalah gejala utama Penyakit jantung Koroner (PJK).
Angina biasanya dicetuskan oleh aktivitas dan dapat dikurangi dengan
beristirahat. Angina yang terjadi dengan cepat atau terjadi pada saat istirahat
disebut sebagai unstable angina. Penyakit Jantung Koroner juga dapat
mengakibatkan serangan jantung (infark miokard) dan kematian mendadak. Infark
miokard adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung.
Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya
pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan. Infark miokard ditandai dengan
nyeri dada berat yang bertahan setidaknya 20 menit, peningkatan pada kardiak
enzim serum, dan atau elektrokardiogram (EKG) yang abnormal.4,5
2.2 Etiologi & Faktor Resiko
Secara umum, etiologi dan faktor resiko untuk timbulnya aterosklerosis
merupakan faktor resiko terjadinya PJK. The American Heart Association telah
mengidentifikasi beberapa faktor risiko. Ada beberapa faktor risiko yang
mempercepat aterosklerosis yang dapat diubah atau dapat dikontrol dan ada yang
tidak.6
2.2.1. Faktor yang tidak dapat dirubah
a. Usia
Penuaan tampaknya sebagai satu dari dari beberapa faktor yang kompleks
disertai dengan perkembangan aterosklerosis, karena beberapa faktor resiko itu
14
sendiri berhubungan dengan penuaan, misalnya, tekanan darah yang meningkat,
hiperglikemia, dan hiperlipidemia. Dengan demikian, selain keterlibatan penuan
instrinsik aterogenesis (mungkin melalui pegaruh pada metabolisme dinding
arteri), berbagai faktor metabolik penyerta juga tergantung usia. 6
Plak fibrosa merupakan lesi aterosklerotik meninggi dan pertama muncul
selama adolesen, tetapi biasanya tidak meningkat bermakna dalam jumlah atau
ukuran sampai dasawarsa keempat saat prevalensi berkisar dari 36-80%, yang
tergantung atas populasi yang dipelajari. Konsep bahwa garis-garis lemak
berlanjut sesuai umur untuk membentuk plak fibrosa timbul dari penelitian
populasi dan analisis tidak langsung lainnya. Penelitian lebih belakangan ini
tentang mekanisme sel bagi penimbunan lemak menambah dukungan bermakna
pada konsep perkembangan garis-garis lemak ke plak fibrosa.6,7
b. Jenis Kelamin
Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki
daripada perempuan. Diantara dewasa kulit putih Amerika di bawah usia 45
tahun, pria sepuluh kali lipat lebih mungkin menderita infark myocardium (IM)
akut daripada wanita. Bahkan pada pria dewasa kulit putih lebih tua kira-kira dua
kali sebesar kemungkinan wanita menderita penyakit ini. Hal ini mungkin dapat
dijelaskan dari faktor kebiasaan pria, yang lebih banyak merokok daripada wanita,
ataupun perbedaan kadar kolesterol diantaranya.8
Perempuan agaknya relatif kebal pada penyakit ini sampai usia setelah
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pada laki-laki. Efek
perlindungan estrogen dianggap menjelaskan adanya imunitas wanita pada usia
sebelum menopause. Yang nampak logis hanya penurunan kadar estrogen
endogen. Pikiran ini didukung oleh penemuan kolesterol serum total dan
kolesterol LDL meningkat pada menopause dan kadar ini berkurang dengan terapi
estrogen eksogen. Tetapi pada kedua jenis kelamin dalam usia 60 hingga 70-an,
frekuensi MI menjadi setara. 8
c. Genetik (Riwayat Keluarga)
Hasil dari penelitian (Lew 1957; Sholtz dkk. 1975; Gillum dan
Paffenberger 1978) menggambarkan umumnya angka PJK cenderung tertinggi
pada subjek yang orangtuanya meninggal karena PJK yang relatif dini dan PJK
15
cenderung terjadi relatif dini pada orangtuanya telah menderita PJK dini. Bila
kedua orangtuanya menderita PJK pada usia muda, maka anaknya mempunyai
risisko lebih tinggi bagi berkembangnya PJK daripada bila hanya seorang atau
tidak ada menderita PJK.9
Faktor genetik berperan dalam memberikan pengaruh langsung pada
struktur dinding sel arteri dan metabolisme atau bertindak secara tidak langsung
seperti faktor hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan obesitas. Aterosklerosis
prematur seringkali tampak familial. Pada beberapa keadaan ini.dapat dianggap
karena faktor resiko yang diturunkan seperti hipertensi, diabetes melitus, dan
hiperlipidemia. Kadang-kadang, keluarga dengan penyakit vaskular prematur
berlebihan dapat ditemukan dengan tidak ada faktor risiko yang diketahui yang
tampaknya berperanan. Determinan genetik faktor protektif, seperti HDL, dan
faktor resiko non lipid, seperti apolipoprotein B dan lipoprotein (a), perlu
dimengerti; tanpa diragukan determinan penting lainnya tetap ditemukan. Namun,
riwayat keluarga adalah salah satu faktor yang lebih penting untuk
dipertimbangkan dalam penilaian risiko, oleh karena itu membantu dokter
meghindari lupa akan faktor risiko yang dapat diobati dan dalam pemberian
tindakan preventif yang tepat.7,9
Kebanyakan faktor resiko utama bagi PJK mempunyai komponen keluarga
yang besar. Bagi beberpa daripadanya (mis. Hiperlipidemia familial), terdapat
bukti kuat bahwa hubungan keluarga berasal dari genetika. Untuk lainnya (mis.
Merokok sigaret) hubungan keluarga disebutkan ”penurunan budaya”. Tetapi,
riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat,
seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.6
2.2.2. Faktor yang dapat dirubah
a. Hipertensi
Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko yang penting terjadinya
aterosklerosis, terutama PJK dan penyakit serebrovaskuler. Risiko meningkat
secara progresif dengan naiknya tekanan darah; pada penelitian Framingham,
melebihi 160/ 95 adalah lebih dari lima kali daripada laki-laki normotensif
16
(tekanan 140/90 atau kurang). Laki-laki dan perempuan hipertensi keduanya
terkena, dengan tekanan diastolik mungkin lebih penting.6
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90
mmHg. Istilah tradisional tentang hipertensi ”ringan” dan ”sedang” gagal menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tingi pada penyakit
kardiovaskular. Sehingga The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure membuat suatu
klasifikasi baru.10
Kategori Tekanan Sistole (mmHg) Tekanan Diastole
(mmHg)
Normal < 120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi, Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi, Stage 2 ≥ 160 ≥100
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC11
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk
hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti
tampaknya sangat kompleks dengan interkasi dari berbagai variable. Mungkin
pula ada predisposisi genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup
perubahan-perubahan berikut : (1) Ekresi natrium dan air oleh ginjal, (2)
Kepekaan baroreseptor (3) Respon vaskular, (4) Sekresi rennin. Lima persen
penyakit hipertensi terjadi sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit
parenkim ginjal atau aldosteron primer.10
Mekanisme bagaimana hipertensi menimbulkan kelumpuhan berkaitan
langsung dengan pengaruhnya pada jantung dan pembuluh darah. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompa darah dari
ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya, terjadi
hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan tetapi
kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi
kompensasi akhirnya terlampaui, dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung
semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila proses
aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen miokardium berkurang. Peningkatan
kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi ventrikel dan
17
peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan menyebabkan angina
atau infark miokard.6
b. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah faktor resiko utama aterosklerosis. Komponen
utama yang meningkatkan resiko ini adalah kolesterol LDL (Low Density
Lipoprotein) yang berperan sebagai pengangkut kolesterol ke jaringan perifer.
Sebaliknya, kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) memobilisasi kolesterol
dari ateroma dan mengangkutnya ke hepar untuk diekskresikan ke dalam empedu,
sehingga peningkatan kadar HDL dapat menurunkan resiko aterosklerosis.
Olahraga dan konsumsi sedang dari etanol dapat meningkatkan kadar HDL
sedangkan obesitas dan rokok dapat menurunkannya. Diet tinggi kolesterol dan
lemak jenuh meningkatkan kadar kolesterol plasma. Obat-obatan seperti statin
menurunkan kolesterol dengan menghambat HMG CoA reduktase, enzim kunci
pada biosintesis kolesterol di hepar.
c. Obesitas
Umumnya, morbiditas dan mortalitas akibat PJK lebih tinggi pada
hubungan langsung dengan derajat kelebihan berat badan sekitar lebih 30 persen.
Selanjutnya, dari data yang diperoleh pada penelitian Framingham, tampak bahwa
obesitas mempercepat aterosklerosis, karena efekanya lebih nyata sebelum usia 50
tahun. Namun, beberapa penelitian epidemiologik utama dari penyakit jantung
koroner tidak menunjukkan hubungan bebas antara kondisi ini dan segala sesuatu
dari obesitas yang sangat berat.8,10
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak
yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan
dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada
orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks
Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam metr kuadrat
(m2). Saat ini IMT merupakan indikator yang paling bermanfaat untuk
menentukan berat badan lebih atau obes. 12
18
Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada orang dewasa Berdasarkan IMT menurut WHO
d. Merokok
Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap perhari, dan
bukan pada lamanya merokok. Seseorang yang merokok lebih dari 1 pak perhari
menjadi dua kali lebih rentan terhadap penyakit aterosklerosis daripada mereka
yang tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin
terhadap pelepasan katekolamin oleh sisitem saraf otonom.9,10
Dua efek utama merokok telah dituduh sebagai faktor dalam
perkembangan PJK ; (1) efek nikotin, diperantarai lewat susunan saraf simpatis
dan (2) desaturasi hemoglobin oleh karbon monoksida (CO). Efek merokok
lainnya yang mencakup peningkatan perlekatan trombosit, bisa juga terlibat dalam
perkembangan PKV.9
Nikotin menyebabkan kenaikan tekanan arteri dan denyut jantung oleh
beberapa mekanisme (1) nikotin merangsang pelepasan epinefrin lokal dari
susunan adrenergik an meningkatkan sekresi katekolamin dari medula adrenalis
dan dari jaringan kromafin di jantung. (2) bekerja pada kemoreseptor di glomus
caroticus dan glomera aortica yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
tekanan arteri. (3) bekerja langsung pada myocardium untuk menginduksi efek
inotropik dan konotropik positif.9
Kadar karboksihemoglobin berhubungan sangat erat dengan
perkembangan infark miokardium, angina pektoris, dan klaudikasio intermitten.
Resiko berkembangnya PJK 21,2 lebih besar pada kadar orang dengan kadar
COHb 5 persen atau lebih daripada orang dengan kadar COHb kurang dari 3
19
perse. Karbon monoksida juga bergabung dengan mioglobin dan dapat
menggangu difusi O2 ke mitokondria otot jantung. 9
e. Diabetes Melitus
Diabetes memberikan dukungan aterogenesisi yang unik. Meskipun
abnormalitas genetik dasar pada setiap jenis diabetes melitus manusia tetap tidak
diketahui, diduga bahwa diabetes genetik pada manusia memberikan
abnormalitas intrinsik seluler primer pada semua sel, mengakibatkan penurunan
jangka waktu hidup setiap sel, yang selanjutnay mengakibatkan penurunan
pergantian sel dalam jaringan. Jika sel endotel dan otot polos arteri secara intrinsik
kurang baik pada diabetes, aterogenesis yang dipercepat dapat segera disimpulkan
berdasarkan salah satu teori patogenesis sekarang. Disfungsi trombosit pada
diabetes juga memegang peranan.6
Gambar 5. Peranan hiperglikemi dalam proses kerusakan pembuluh darah
Endotel yang utuh akan tahan terhadap penempelan trombosit padanya dan
akan menghindarkan timbulnya adhesi dan agregasi trombosit. Disfungsi endotel
adalah terganggunya keseimbangan antara vasodilator-vasokonstriktor, trombotik-
fibrinolitik mediator, dan retaining-stimulating substance. Meningkatnya tonus
vaskular bertanggung jawab terhadap meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah. Hilangnya fungsi antitrombotik dan fibrinolitik dari endotel dapat
menyebabkan thrombosis lokal. Terganggunya keseimbangan antara prostacyclin
(PGI2) dan tromboxan (TXA2) mempercepat agregasi dari trombosit 12,13
20
Adanya lesi endotel juga akan mempermudah timbulnya proses kebocoran.
Aktifasi jalur poliol pada endotel akan membentuk sorbitol dan fruktosa yang
bersifat menyerap air sehingga endotel akan membengkak dan akhirnya merusak
endotel melalui proses biokimiawi dengan akibat gangguan faal endotel, antara
lain kebocoran dan pula agregasi trombosit. 14
Selain itu, stres oksidatif akan menyebabkan pelepasan zat Nitric Oxide
(NO) oleh endotel terganggu, padahal fungsi NO ini sangat penting dalam
menjaga tonus vaskular dan integritas endotel melalui interaksi antara platelet dan
leukosit dengan dinding endotel.14
f. Aktivitas fisik
Penelitian mengenai hubungan prevalensi PJK terhadap aktivitas fisik
sehari-hari (pekerjaan) sulit dilakukan karena melibatkan beberapa variabel.
Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11% laki-laki
dan 4% perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolahraga. Olahraga
tertaur berkaitan dengan penurunan insidensi PJK sebesar 20-40%. Diantara
penelitian prospektif, data Framingham menunjukkan bahwa individu yang sedikit
bergerak atau sebagian waktunya hanya duduk saja adalah individu yang sedikit
rentan terhadap kematian tiba-tiba.6,8
g. Alkohol
Meskipun ada satu dasar teori mengenai efek protektif alkohol dosis
rendah hingga moderat, hal ini masih kontroversial. Alkohol dalam dosis rendah
meningkatkan trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet, dan
meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, namun tidak semua literatur
mendukung konsep ini. Peningkatan dosis alkohol dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas kardiovaskular karena aritmia, hipertensi sistemik, dan kardiomiopati
dilatasi. 8
2.3 Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami
kerusakan oleh adanya factor risiko seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule
21
seperti sitokin (interleukin-1 (IL-1); tumor necrosis factor alfa (TNF alfa),
kemokin (monocyte chemottractant factor 1 (MCP-1; IL-8) dan growth factor
(bfgf). Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel
dan migrasi dari endotelkium ke sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi
menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih
atherogenik disbanding LDL. Makrofag ini kemudian membentuk sel busa.4
LDL teroksidasi menyebabkan kmatian sel endotel dan menghasilkan
respon inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respon dari angiotensin II, yang
menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mencetuskan efek protrombik dengan
melibatkan platelet dan factor koagulasi.4
Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous, plak aterosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang
terjadi dapat menjadi plak tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture
sehingga terjadi sindrom koroner akut (SKA). Gejala klinis yang muncul
berkaitan dengan derajat stenosis aterosklerosis pada arteri dan durasi serta luas
oklusi trombus pada arteri. Jika oklusi tidak lengkap atau jika oklusi mengalami
lisis spontan, maka terjadi unstable angina. Jika oklusi lengkap dan terjadi > 30
menit, maka terjjadi infark. Mekanisme kronik stable angina adalah keterbatasan
aliran karena plak aterosklerotik yang mengakibatkan iskemia selama exercise
tanpa trombosis akut.4,5
22
2.4 Diagnosis
a. Manifestasi klinis
Kebanyakan pasien dengan infark miokard akut mencari pengobatan
karena rasa sakit didada. Namun demikian ,gambaran klinis bisa bervariasi dari
pasien yang datang untuk melakukan pemeriksaan rutin, sampai pada pasien yang
merasa nyeri di substernal yang hebat dan secara cepat berkembang menjadi syok
dan eadem pulmonal, dan ada pula pasien yang baru saja tampak sehat lalu tiba-
tiba meninggal.15
Serangan infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti
angina,tetapi tidak seperti angina yang biasa, maka disini terdapat rasa penekanan
yang luar biasa pada dada atau perasaan akan datangnya kematian. Bila pasien
sebelumnya pernah mendapat serangan angina ,maka ia tabu bahwa sesuatu yang
berbeda dari serangan angina sebelumnya sedang berlangsung. Juga, kebalikan
dengan angina yang biasa, infark miokard akut terjadi sewaktu pasien dalam
keadaan istirahat ,sering pada jam-jam awal dipagi hari. Nitrogliserin tidaklah
mengurangkan rasa sakitnya yang bisa kemudian menghilang berkurang dan bisa
23
pula bertahan berjam-jam malahan berhari-hari. Nausea dan vomitus merupakan
penyerta rasa sakit tsb dan bisa hebat, terlebih-lebih apabila diberikan martin
untuk rasa sakitnya.15
Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik,
mencengkeram atau membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia
menyebar kedua lengan, kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah atas
(sehingga ia mirip dengan kolik cholelithiasis, cholesistitis akut ulkus peptikum
akut atau pancreatitis akut).15
Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa rasa sakit. Namun hila
pasien-pasien ini ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan adanya
gangguan pencernaan atau rasa benjol didada yang samar-samar yang hanya
sedikit menimbulkan rasa tidak enak/senang. Sekali-sekali pasien akan mengalami
rasa napas yang pendek (seperti orang yang kelelahan) dan bukanya tekanan pada
substernal.Sekali-sekali bisa pula terjadi cekukan/singultus akibat irritasi
diapragma oleh infark dinding inferior. pasien biasanya tetap sadar ,tetapi bisa
gelisah, cemas atau bingung. Syncope adalah jarang, ketidak sadaran akibat
iskemi serebral, sebab cardiac output yang berkurang bisa sekali-sekali
terjadi.Bila pasien-pasien ditanyai secara cermat, mereka sering menyatakan
bahwa untuk masa yang bervariasi sebelum serangan dari hari 1 hingga 2
minggu ) ,rasa sakit anginanya menjadi lebih parah serta tidak bereaksi baik tidak
terhadap pemberian nitrogliserin atau mereka mulai merasa distres/rasa tidak enak
substernal yang tersamar atau gangguan pencernaan (gejala -gejala permulaan
/ancaman /pertanda). Bila serangan-serangan angina menghebat ini bisa
merupakan petunjuk bahwa ada angina yang tidak stabil (unstable angina) dan
bahwasanya dibutuhkan pengobatan yang lebih agresif.15
Untuk menentukan nyeri tipikal atau bukan maka baiknya anamnesis
dilengkapi dengan mencoba menemukannya faktor resiko baik pada pasien atau
keluarganya seperti kebiasaan makan atau kolesterol, diabetes melitus, hipertensi,
rokok, penyakit vaskular lain seperti stroke dan penyakit vaskular perifer,
obesitas, kurangmya latihan dan lain-lain.16
b. Pemeriksaan fisik
24
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada pasien dengan infark
myokard akut. Bila diperiksa, pasien sering memperlihatkan wajah pucat bagai
abu dengan berkeringat, kulit yang dingin, walaupun bila tanda-tanda klinis dari
syok tidak dijumpai. Nadi biasanya cepat, kecuali bila ada blok/hambatan AV
yang komplit atau inkomplit. Dalam beberapa jam, kondisi klinis pasien mulai
membaik, tetapi demam sering berkembang. Suhu meninggi untuk beberapa hari,
sampai 102 derajat Fahrenheid atau lebih tinggi, dan kemudian perlahan-lahan
turun ,kembali normal pada akhir dari minggu pertama. Auskultasi mungkin
menunjukkan gallop S4, menggambarkan myokard noncompliance karena
iskemia; gallop S3 menggambarkan disfungsi sistolik berat atau murmur sistolik
pada apex atau reurgitasi mitral akibat disfungsi muskulus papillari yang iiskemik. 5,15
c. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa protein (biomarker) akan dilepaskan ke darah dalam jumlah
yang besar dari jaringan otot jantung yang mengalami nekrosis. Pemeriksaan
laboratorium memiliki kepentingan diagnostik, tetapi keputusan reperfusi harus
segera dilakukan berdasarkan temuan klinis dan hasil EKG, tanpa menunggu hasil
tes laboratorium. Biomarker yang sering digunakan dalam praktek klinik yaitu
troponin dan CKMB. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai normal
menunjukkan nekrosis miokardium. Peningkatan biomarker ini membedakan
pasien UA dengan NSTEM.17
Creatine Phospokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam, mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK kurang spesifik untuk
IMA karena dapat meningkat juga pada trauma otot skeletal. Isoenzim MB dari
CK (CKMB) lebih bernilai diagnostik daripada total CK karena CKMB tidak
ditemukan dalam konsentrasi yang signifikan pada jaringan di luar jantung
sehingga lebih spesifik untuk penanda kerusakan jantung. Cardiac-spesific
troponin T (cTnT) dan Cardiac-spesific troponin I (cTnI) dapat meningkat 20 kali
lebih tinggi setelah IMA. Konsentrasi troponin ini meningkat setelah 2 jam IMA
dan mencapai puncak dalam 10-24 jam. cTnI tetap bertahan selama 7-10 hari
setelah IMA, dan cTnT selama 10-14 hari17
25
Myoglobin dilepaskan ke dalam darah hanya dalam beberapa jam setelah
onset IMA. Myoglobin dapat dideteksi 1 jam setelah IMA dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam. Myoglobin kurang spesifik untuk jantung, dan juga diekskresikan
dengan cepat melalui urine sehingga kadarnya kembali normal dalam 24 jam.
Lactic Dehydrogenase (LDH) meningkat setelah 24-48 jam setelah IMA,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. Reaksi non-
spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukositosis dapat mencapai 12.000 – 15.000/μl17
d. Pemeriksaan Penunjang
Pedoman yang disusun oleh american heart assosiation (AHA) telah cukup
lengkap untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang efektif dan
efesien pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagi dasar penyusunan pedoman-
pedoman yang diusulkan berikut ini.
Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium akibat PJK
sebagaipenyebab nyeri dadad maka diperlukan beberapa pemeriksaan :
Elektrokardiografi
Pada sebagian infark, EKG dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Karakteristik perubahan EKG mengikuti infark myokard, dan
perubahan yang paling awal terjadi bersamaan dengan onset infark myokard.
Pemeriksaan EKG harus dilakukan secepatnya pada siapapun yang dicurigai
mengalami infark. Akan tetapi, pemeriksaan awal EKG tidak selalu menjadi
diagnostik dan perubahan EKG bervariasi pada setiap orang, oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan serial EKG setelah pasien dirawat di Rumah sakit.25
Suatu infark ditandai oleh tiga zona, yaitu :
a. Zona nekrosis
b. Zona perlukaan
c. Zona iskemik26
Zona nekrosis
26
Zona nekrosis secara EKG ditandai oleh gelombang Q patologis pada elektroda
yang berhadapan dengan daerah nekrosis.26
Zona perlukaan
Zona perlukaan secara EKG ditandai oleh deviasi segmen ST yaitu :
Pada daerah infark ditemukan elevasi segmen ST yang cembung ke atas (convex
upward). Pada daerah yang berlawanan ditemukan depresi segmen ST.26
Zona iskemik
27
Zona iskemik secara EKG ditandai oleh T terbalik yang berbentuk “kepala anak
panah” pada elektroda yang menghadap daerah iskemik.26
Secara klinis infark myokard akut dibagi dalam tiga fase :
1. fase hiper akut
2. fase berkembang penuh
3. fase resolusi (old infarction)26
Fase hiper akut
Fae ini hanya terlihat beberapa jam permulaan dari suatu serangan infark,
sehingga sering lolos dari perhatian kita
Ciri-ciri EKG :
1. Elevasi yang curam dari segmen ST
2. Gelombang T yang tinggi dan lebar
3. V.A.T memanjang.26
Fase berkembang penuh
Fase ini terlihat 1-2 hari kemudian
Ciri-ciri EKG :
1. Gelombang Q patologis
2. elevasi segmen ST yang cembung ke atas
28
3. gelombang T yang terbalik (arrowhead).26
Fase resolusi
Ciri-ciri EKG :
1. Gelombang Q patologis tetap ada
2. segmen ST mungkin sudah kembali isoelektris
3. gelombang T mungkin sudah menjadi normal.26
Tabel 3.1 Tabel hubungan antara lokasi infark, gambaran sandapan EKG, dan
arteri yang mengalami oklusi
Lokasi Iskemia Sandapan
yang
menunjukkan
deviasi ST
Sandapan yang
menunjukkan
gambaran
resiprokal
Arteri yang
mengalami oklusi
(culprit)
Septal V1, V2 - Arteri desendens
anterior kiri
Anterior terbatas V3, V5 - Arteri desendens
anterior kiri
Anteroseptal V1 – V4 - Arteri desendens
anterior kiri
Anterolateral V4 – V6, I,
aVL
II, III, aVF Arteri desendens
anterior kiri, Arteri
sirkumfleksa, atau
marginal artery
Anterior ekstensif V1 - V6, I,
aVL
II, III, aVF Arteri koronaria
sinistra
Inferior II, III, aVF I, aVL Arteri koronaria
dekstra, atau arteri
sirkumfleksa
Lateral I, aVL, V5, II, III, aVF arteri sirkumfleksa,
29
V6 atau marginal artery
Posterior (biasanya
berhubungan
dengan infark
inferior atau
lateral)
V7 – V9 V1 – V4
(pencerminan
pada daerah
anteroseptal)
Arteri desendens
posterior (cabang
dari arteri koronaria
dekstra atau arteri
sirkumfleksa)
Ventrikel kanan
(biasanya
berhubungan
dengan infark
inferior)
V1R – V6R
(sandapan
kanan)
I, aVL Arteri koronaria
dekstra
Morfologi gelombang EKG pada infark myokard
Foto Thoraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi koroner ataupun
katup jantung. Meskipun pembuluh darah koroner yang mengalami kalsifikasi
biasanya menunjukkan aterosklerosis, obstruksi total lumen dapat terjadi tanpa
adanya kalsifikasi. Kadang, adanya aneurisma ventrikel kiri menyebabkan
pembengkakan khas atau kalsifikasi dalam bayangan jantung namun temua
radiografi kadang tidak dapat diandalkan4
Treadmill test
Tes ini yang paling umum digunakan untuk evaluasi pasien dengan suspek
angina. 45 Alat ini berupa ban berjalan serupa dengan alat olahraga umumnya,
namun dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya adalah
merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi perubahan gambaran
EKG saat aktifitas yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena
jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan tertentu dalam keadaan
istirahat gambaran EKG tampak normal.
Angiografi Koroner
30
Angiografi koroner saat ini merupakan satu-satunya metode yang
menggambarkan anatomi koroner secara kuat, merupakan “Golden Standard”
untuk PJK. Meskipun merupakan pemeriksaan penunjang ivvasif, merupakan
prosedur berisiko rendah dengan morbiditas sebesar 0,8& dan mortalitas 0,12%
pada pasien elektif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter
langsung ke arteri. Bisa melalui pangkal paha, lipatan lengan atau melalui
pembuluh darah di lengan bawah. Kateter didorong dengan tuntunan alat rontgen
langsung ke muara pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya, kemudian
cairan kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu
dapat dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan.
Penyempitan atau penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat pada
satu pembuluh koroner. Bisa saja sekaligus mengenai beberapa pembuluh
koroner.21
Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri
koroner merupakan tindakan yan paling sering digunakan untuk menentukan
lokasi, luas, dan keparahan sumbatan dalam arteri koroner. Indikas lain untuk
melakukan angiografi arteri koroner adalah untuk evaluasi angina tipik serta hasil
revaskularisasi arteri koroner. Prosedur kateterisas mengharuskan opasifikasi
kedua arteri koroner, didikuti dengan ventrikulogram kiri, atau penyuntikan bahan
kontras ke dalam ventrikel kiri untuk mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.6
2.4 Penatalaksanaan
Tindakan Umum
Pasien perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit yaitu di unit intensif
koroner (ICCU). Pasien perlu diistirahatkan (bed rest) dengan monitoring EKG
berkelanjutan untuk memantau deviasi segmen ST dan irama jantung, diberi
penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang
masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin6. Ambulasi
diizinkan jika pasien tidak menunjukkan rekurensi iskemia, (nyeri dada atau
perubahan EKG), dan tidak ada peningkatan biomarker jantung dalam 12-24 jam.
Terapi medikamentosa meliputi terapi anti iskemia dan anti trombotik yang
simultan22
31
Terapi medikamentosa
Farmakoterapi pada penyakit jantung iskemia didesain untuk menurunkan
frekuensi serangan angina dan mencegah peningkatan mendadak dari tekanan
darah dan denyut jantung pada saat latihan atau aktivitas, sehingga pasien dapat
melakukan aktivitasnya sehari-hari tanpa mendekati ambang batas tekanan darah
dan denyut jantung yang dapat mencetuskan iskemia.
1. Obat antiiskemia
a. Nitrat
Mekanisme kerja utama dari nitrat yaitu venodilatasi sistemik dengan
efek penurunan volume dan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri sehingga
menurunkan tekanan dinding miokardium dan kebutuhan oksigen miokardium.
Selain itu nitrat juga mengakibatkan dilatasi pembuluh darah koroner
epikardial, dan meningkatkan aliran darah dari pembuluh darah kolateral.
Nitrat organik ketika dimetabolisme akan melepasken nitric oxide (NO) yang
akan berikatan dengan guanilil siklase pada sel otot polos vaskular, kemudian
meningkatkan kadar GMP sehingga terjadi relaksasi otot polos vaskular. Nitrat
juga memiliki aktivitas antitrombotik dengan aktivasi NO-dependent dari
guanilil siklase platelet dan mengganggu aliran kalsium intraplatelet dan
aktivasi platelet.23
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika
pasien mengalami nyeri dada angina. Jika nyeri menetap setelah diberikan
nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian
nitrogliserin IV (mulai 5-10μg/menit atau untuk ISDN dengan dosis 1-4
mg/jam). Laju infus dapat ditingkatkan 10μg/menit tiap 3-5 menit sampai
keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setelah nyeri
dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral, atau jika pasien sudah bebas
nyeri 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan
sildenafil atau obat sekelasnya dalam 24 jam terakhir.22
b. Beta bloker
Beta bloker menurunkan kebutuhan oksigen miokardial dengan
mencegah peningkatan denyut jantung, tekanan arteri, dan kontraktilitas
32
miokardium yang diakibatkan oleh aktivasi adrenergik. Manfaat terapeutiknya
antara lain meredakan angina dan iskemia, menurunkan mortalitas dan reinfark
pada pasien yang telah mengalami infark miokard akut, dan efektif sebagai
agen antihipertensi. Kontraindikasi relatif antara lain asma bronkiale, penyakit
paru kronik, gangguan konduksi AV, bradikardi berat, fenomena Raynaud, dan
riwayat depresi mental. Efek sampingnya antara lain fatigue, menurunkan
toleransi latihan, mimpi buruk, impotensi, ekstremitas dingin, klaudikasio
intermiten, bradikardi, gangguan konduksi AV, kegagalan ventrikel kiri,
eksaserbasi dari asma bronkiale, hipoglikemia berat jika diberikan bersamaan
dengan agen hipoglikemia oral dan insulin. Penyekat beta IV diikuti dengan
pemberian oral hingga target denyut jantung 50-60 kali/menit.22,23
c. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu golongan
dihidropiridin (nifedipin, amlodipin, dll) dan non-dihidropiridin (diltiazem,
verapamil). Keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi koroner, menurunkan
kebutuhan oksigen miokard, kontraktilitas dan tekanan arteri sehingga
menurunkan tekanan darah. Golongan dihidropiridin mempunyai efek
vasodilatasi yang lebih kuat dan penghambatan nodus SA dan AV yang lebih
sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil. Agen ini diindikasikan bila
terdapat kontraindikasi pemberian beta bloker, atau toleransi yang buruk dan
inefektivitas dari beta bloker.22
Verapamil dan diltiazem dapat mengakibatkan gangguan konduksi
jantung dan bradiaritmia. Agen tersebut juga memiliki aksi inotropik negatif
dan memperburuk disfungsi ventrikel kiri. Verapamil tidak biasa
dikombinasikan dengan beta bloker karena sama-sama memiliki efek terhadap
denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Diltiazem dapat dikombinasikan
dengan beta bloker pada pasien yang memiliki fungsi ventrikel normal dan
tanpa gangguan konduksi. Amlodipin dan beta bloker memiliki komplementari
efek pada suplai darah koroner dan kebutuhan oksigen koroner. Pemberian
dihidropiridin kerja lambat harus dihindari karena resiko terjadinya infark,
terutama jika diberikan tanpa pemberian beta bloker.22,23
33
2. Obat Antitrombolitik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam
patogenesis UA/NSTEMI dan keduanya dimulai dari agregasi platelet dan
pembentukan thrombin-activated fibrin yang bertanggungjawab dalam
pembentukan bekuan darah (clot). Oleh sebab itu terapi antiplatelet dan
antikoagulan memegang peranan penting dalam penatalaksanaannya23.
Antiplatelet
a. Aspirin
Peran penting aspirin dalam mencegah agregasi platelet melalui
mekanisme kerjanya sebagai penghambat enzim siklooksigenase 1 (Cox-1).
Sehingga aspirin saat ini menjadi pilihan utama dalam penatalaksanaan
UA/NSTEMI. Sindrom resistensi aspirin muncul belakangan ini. Sindrom ini
dideskripsikan sebagai kegagalan relatif aspirin untuk menghambat agregasi
platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu perdarahan, atau
perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan
resistensi aspirin mempunyai resiko tinggi rekurensi, sehingga logis untuk
memberikan terapi klopidogrel walaupun aspirin sebaiknya juga tidak
dihentikan24
b. Klopidogrel (Plavix)
Thienopyridine memblokade reseptor adenosine diphospate P2Y12 pada
permukaan platelet dan dengan demikian mencegah aktivasi platelet. Efek
bermanfaat ditemukan untuk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa
deviasi segmen ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki skor
risiko TIMI rendah. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya,
klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama (first line) pada
UA/NSTEMI dan ditambahkan dengan aspirin, kecuali pada pasien yang
memiliki resiko tinggi perdarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera.
Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kriteria
sebagai berikut24
1. Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini.
34
2. Yang bukan merupakan kandidat operasi koroner segera berdasarkan
anatomi koroner atau pasien yang memiliki kontraindikasi operasi
koroner.
3. Pasien dengan penundaan kateterisasi hingga > 24-36 jam
Pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi diagnostik dalam
24-36 jam berikutnya, tidak diberikan klopidogrel sampai dengan hasil
angiografi menunjukkan tidak terdapatnya indikasi untuk dilakukan CABG
segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di laboratorium kateterisasi
sebelum PCI atau dimulai secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel adalah
inhibitor fungsi platelet yang irreversibel sehingga pemberiannya perlu
dihentikan selama 5-7 hari sebelum operasi elektif seperti CABG. Pemberian
kombinasi klopidogrel dan aspirin direkomendasikan untuk semua pasien
UA/NSTEMI yang tidak memiliki resiko besar mengalami perdarahan24
c. Antagonis Platelet GP IIb/IIIa
Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa antagonis GP
IIb/IIIa mengurangi insidens kematian atau infark miokard pada pasien
UA/NSTEMI yang menjalani PCI dan penggunaannya pada keadaan ini telah
diindikasikan secara jelas. Guideline dari ACC/AHA menetapkan pasien-
pasien resiko tinggi terutama pasien dengan troponin positif yang menjalani
angiografi, sebaiknya mendapatkan antagonis GP Iib/IIIa. Dua agen molekul
kecil eptifibatid dan tirofiban, dimulai upstream misalnya 1 atau 2 hari
sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani prosedur. Tak ada satupun
antagonis GP IIb/IIIa yang efektif atau diindikasikan secara rutin untuk
penatalaksanaan pasien resiko rendah, pasien-pasien dengan troponin negatif
yang tidak menjalani angiografi dini. Terapi platelet tripel (aspirin, klopidogrel,
dan antagonis GP IIb/IIIa) diindikasikan pada pasien resiko tinggi yang
direncanakan untuk menjalani PCI dan tidak mempunyai resiko perdarahan
berlebihan23,24
Terapi Antikoagulan
1. UFH (Unfractionated Heparin)
35
Heparin berkerja sebagai antikoagulan dengan mengaktifkan
antitrombin dan mempercepat rata-rata penghambatan antitrombin terhadap
enzim yang berperan dalam pembentukan bekuan darah (clotting enzym) yaitu
trombin dan faktor Xa. Antitrombin tersebut merupakan kofaktor plasma
obligat dari heparin dan merupakan anggota dari serin protease inhibitor
(serpin). Namun demikian terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di
dalamnya ikatan yang non-spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet,
endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein sirkulasi.
Produksi antibodi antiheparin berhubungan dengan heparin-induced
thrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak
menentu, memerlukan monitor yang lebih sering terhadap aPTT, pengaturan
dosis, dan membutuhkan infus intravena kontinu22
2. LMWH (Low Mollecular Weight Heparin) Enoxaparin
LMWH memiliki banyak kelebihan daripada UFH dan kerugian-
kerugian pada penggunaan UFH dapat diatasi. Pemantauan efek antikoagulan
tidak diperlukan pada pemberian LMWH, dan kejadian trombositopenia yang
diinduksi heparin berkurang. LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi
trombin dan juga pada faktor Xa sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya
kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIa) seperti juga UFH, tapi
juga mengurangi pembentukan trombin (efek anti faktor Xa). Keuntungan
praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat diprediksi setelah
pemberian subkutan. Dalam sejumlah penelitian, LMWH enoxaparin
menunjukkan efek yang superior dibandingkan dengan UFH dalam
menurunkan rekurensi cardiac event, khususnya pada pasien yang
mendapatkan terapi konservatif22
3. Inhibitor faktor Xa (Pentasakarida sintetik-Fondaparinux)
Sebagai analog sintetik dari pentasakarida terikat antitrombin yang
ditemukan pada heparin dan LMWH, fondaparinux hanya berikatan dengan
antitrombin dan terlalu pendek untuk mengikat trombin hingga antitrombin.
Akibatnya, fondaparinux mengkatalisasi inhibisi faktor Xa oleh antitrombin
36
dan tidak meningkatkan rata-rata inhibisi trombin. Fondaparinux memiliki
efikasi awal yang ekuivalen dengan enoxaparin tetapi memiliki resiko
perdarahan yang lebih rendah sehingga memiliki keuntungan yang paling baik
dalam rasio resiko23,24
4. Inhibitor trombin langsung (Bivalirudin)
Bivalirudin merupakan inhibitor trombin divalent. Bagian terminal N
dari bivalirudin berikatan dengan sisi aktif dari trombin sedangkan ujung dari
terminal C berikatan dengan exosite-1, daerah yang berikatan dengan substrat
pada trombin22.
Penatalaksanaan jangka panjang
Modifikasi faktor resiko merupakan kunci dari penatalaksanaan jangka
panjang. Dokter perlu menjelaskan kepada pasien pentingnya untuk berhenti
merokok, mencapai berat optimal, latihan harian yang diikuti dengan diet yang
tepat, kontrol tekanan darah berkala, kontrol ketat hiperglikemia (pada pasien
diabetes), dan pengaturan lipid, sebagaimana yang direkomendasikan kepada
pasien dengan angina pektoris stabil. Didapatkan bukti keuntungan dari terapi
jangka panjang dengan lima kelas obat-obatan, sebagai berikut22
1. Beta bloker sebagai terapi anti-iskemia dan membantu menurunkan
trigger dari infark miokard.
2. Statin (dalam dosis tinggi, misalnya atorvastatin 80 mg/hari).
3. ACE-inhibitor untuk stabilisasi plak jangka panjang
4. Dua kelas antiplatelet direkomendasikan untuk menggunakan
kombinasi aspirin dan klopidogrel selama paling sedikit 9-12 bulan,
dengan dilanjutkan aspirin sesudahnya, dapat mencegah atau menurunkan
tingkat keparahan yang terjadi jika plak mengalami ruptur.
H. Stratifikasi Resiko dan Prognosis
Pasien dengan UA/NSTEMI menunjukkan spectrum luas resiko kematian
awal (30 hari) dan infark baru atau berulang. Penilaian dari resiko global dapat
dilakukan dengan sistem skoring yang dikembangkan dari TIMI (Thrombolysis in
Myocardial Infarction) Trials, yang meliputi tujuh faktor resiko sebagai berikut22:
37
8. Usia ≥ 65 tahun
9. ≥ 3 faktor resiko PJK
10. Ditemukannya PJK pada saat kateterisasi (stenosis >50%)
11. Perkembangan lanjut dari UA/NSTEMI walaupun dengan penggunaan
aspirin dalam 7 hari terakhir.
12. ≥ 2 episode angina dalam 24 jam
13. Deviasi ST ≥ 5 mm
14. Meningkatnya biomarker jantung.
Faktor resiko lainnya yaitu diabetes mellitus, disfungsi ventrikel kiri, dan
peningkatan kadar kreatinin, Atrial Natriuretic Peptide/ANP (marker peningkatan
tekanan dinding miokardium), dan C-Reactive Protein/CRP (marker inflamasi
vaskuler). Penilaian resiko awal sangat berguna untuk memprediksi resiko cardiac
event yang berulang dan mengidentifikasi pasien yang akan mendapat keuntungan
besar dari terapi antitrombotik22.
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnose
pada pasien ini adalah CAD Infark anteroseptal.
4.1 Anamnesa
Fakta Teori
Nyeri dada dialami pasien sejak ± 1
jam sebelum MRS. Nyeri timbul saat
pasien istirahat. Pasien
mendeskripsikan nyeri yang luar biasa
hingga ia terus memegangi dadanya,
dada terasa sakit seperti ditusuk-tusuk,
nyeri tembus hingga ke punggung dan
ke tangan kiri hingga leher kiri.
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih
dari 30 menit di daerah
prekordial,retrosternal dan menjalar ke
lengan kiri,lengan kanan dan ke
belakang interskapuler. Rasa nyeri
seperti dicekam, diremas-remas,
tertindih benda padat, tertusuk pisau
atau seperti terbakar.
Pasien merasa badannya lemas Rasa lemas
Pasien merasa jantungnya berdebar-
debar
Palpitasi
Pasien merasa sesak napas dan
merasakan sangat berat ketika menarik
napas
Dispnea
Tidak ada pingsan Pasien biasanya tetap sadar, tetapi bias
gelisah, cemas dan bingung. Jarang
terjadi sincope
Riwayat penting yang berhubungan
dengan kemungkinan CAD:
Riwayat angina sebelumnya (-)
Riwayat CAD sebelumnya (-)
Usia 39 tahun
Laki-laki
Faktor resiko: Pasien memiliki
riwayat perokok berat dan pola
Riwayat penting yang berhubungan
dengan kemungkinan CAD:
Riwayat angina sebelumnya
Riwayat CAD sebelumnya
Faktor risiko CAD :
Usia
Jenis Kelamin
(Laki-laki > 55 tahun dan Wanita >
39
makan tidak sehat. 65 tahun)
Genetik (Riwayat Keluarga)
Hipertensi
Hiperlipidemia
Obesitas
Merokok
Diabetes Melitus
Aktivitas fisik yang kurang
Alkohol
Berdasarkan anamnesa pada pasien ini, harus dapat dipikirkan
kemungkinan terjadinya infark miokard pada pasien ini. Hal ini didasarkan pada
karakteristik nyeri dada yang dirasakan oleh pasien. Pasien dengan IMA akan
datang ke RS dengan keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di
daerah sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan
kanan dan pada lengan. Penderita melukiskan seperti tertekan,terhimpit, diremas-
remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat
ringan ,tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam.Jarang ada
hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian
nitrat. Pada sejumlah penderita dapat timbul berbagai penyulit:aritmia,renjatan
kardiogenik,gagal jantung. Rasa nyeri ini harus dibedakan dengan nyeri yang
disebabkan oleh bukan IMA.
Karakteristik Nyeri bukan karena IMA adalah :
Nyeri pleuritik nyeri tajam dan diperberat dengan bernapas, batuk,
pergerakan
Nyeri yang terasa di abdomen tengah atau bawah
Nyeri terlokalisir yang dapat ditunjukkan dgn 1 jari
Nyeri dgn pergerakan/palpasi pada dinding dada
Episode nyeri yang sangat singkat (bbrp detik)
Nyeri yang menjalar hingga ke ekstremitas bawah.
40
Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa rasa sakit. Namun hila
pasien-pasien ini ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan adanya
gangguan pencernaan atau rasa benjol didada yang samar-samar yang hanya
sedikit menimbulkan rasa tidak enak/senang. Sekali-sekali pasien akan mengalami
rasa napas yang pendek (seperti orang yang kelelahan) dan bukanya tekanan pada
substernal. Sekali-sekali bisa pula terjadi cekukan/singultus akibat iritasi
diapragma oleh infark dinding inferior. pasien biasanya tetap sadar ,tetapi bisa
gelisah, cemas atau bingung. Syncope adalah jarang, ketidak sadaran akibat
iskemi serebral, sebab cardiac output yang berkurang bisa sekali-sekali terjadi.
Bila pasien-pasien ditanyai secara cermat, mereka sering menyatakan bahwa
untuk masa yang bervariasi sebelum serangan dari hari 1 hingga 2 minggu), rasa
sakit anginanya menjadi lebih parah serta tidak bereaksi baik tidak terhadap
pemberian nitrogliserin atau mereka mulai merasa distres/rasa tidak enak
substernal yang tersamar atau gangguan pencernaan (gejala -gejala permulaan
/ancaman /pertanda). Bila serangan-serangan angina menghebat ini bisa
merupakan petunjuk bahwa ada angina yang tidak stabil (unstable angina) dan
bahwasanya dibutuhkan pengobatan yang lebih agresif.
Pasien ini berusia 39 tahun, menurut teori faktor risiko terjadinya ACS
pada laki-laki adalah > 55 tahun, sehingga kasus pasien tersebut dapat
digolongkan sebagai ACS pada usia muda. Dari anamnesa, pada pasien ini
didapatkan faktor risiko merokok dan pola makan yang tidak sehat.
4.2 Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Pasien tidak tampak pucat Pasien tampak pucat
Ekstrimitas hangat Ekstremitas dingin
Diaforesis (-) Diaforesis
Nadi = 92x/menit Takikardi
TD = 116/73 mmHg (TD masuk =
240/140 mmHg)
Hipertensi
41
c. Jantung
I Ictus cordis tidak tampak
Pa Ictus cordis teraba pada ICS V 1
jari lateral MCL Sinistra
Pe Batas kanan : parasternal line ICS
III Dextra
Batas kiri : ICS V 2 jari lateral
MCL Sinistra
A S1 S2 tunggal, reguler, gallop (-),
murmur (-).
Tanda fisik dari disfungsi ventrikel
yaitu bunyi jantung ketiga (S3) dan
keempat (S4)
Bising jantung sistolik apikal
sementara akibat disfungsi katup
mitral kemungkinan terjadi saat
midsistolik atau late sistolik.
a. Paru
I Bentuk : simetris
Pergerakan : simetris, retraksi
ICS (-/-)
Pa ICS melebar : (-/-)
Fremitus raba : Simetris (D=S)
Nyeri : (-/-)
Pe Suara ketok : sonor (+/+)
Nyeri ketok : (-/-)
A Suara nafas : vesikuler
Suara tambahan : ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Tanda oedem pulmonal seperti ronki
basal
Pada pemeriksaan fisik pasien ini, tidak sepenuhnya menunjukkan tanda
infark miokard. Hal ini karena pemeriksaan dilakukan setelah pasien memperoleh
pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan infark miokard akut, pasien sering
memperlihatkan wajah pucat bagai abu dengan berkeringat, kulit yang
dingin .walaupun bila tanda-tanda klinis dari syok tidak dijumpai. Nadi biasanya
cepat, kecuali bila ada blok/hambatan AV yang komplit atau inkomplit. Dalam
beberapa jam setelah terapi, kondisi klinis pasien mulai membaik, tetapi demam
sering berkembang. Suhu meninggi untuk beberapa hari, sampai 102 derajat
42
Fahrenheid atau lebih tinggi, dan kemudian perlahan-lahan turun ,kembali normal
pada akhir dari minggu pertama. Selain itu jug adapt ditemukan tanda fisik dari
disfungsi ventrikel yaitu bunyi jantung ketiga (S3) dan keempat (S4), edema paru,
serta bising jantung sistolik apikal sementara akibat disfungsi katup mitral.
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
EKG
Elevasi segmen ST pada V1-V4
Gelombang Q patologis
Gelombang T yang terbalik
Biomarker jantung
CKMB: 12
SGOT : 13
Troponin tidak diperiksa
EKG
Fase hiper akut
Elevasi segmen ST
Gelombang T yang tinggi dan
lebar
V.A.T memanjang
Fase berkembang penuh
Gelombang Q patologis
elevasi segmen ST yang
cembung ke atas
gelombang T yang terbalik
(arrowhead)
Fase resolusi
Gelombang Q patologis tetap
ada
segmen ST mungkin sudah
kembali isoelektris
gelombang T mungkin sudah
menjadi normal.
Biomarker Jantung
Peningkatan kadar enzim atau
isoenzim Creatinin fosfoskinase
(CPK/CK), SGOT, LDH, alfa
hidroksi butirat
dehidrogenase, dan isoenzim CK-
43
Darah Lengkap
leukosit: 9800/mm3
Kimia darah
GDS 113
Kolesterol 200
Trigliserida 86
HDL 41
LDL 142
Asam urat 6,0
Foto Thorax PA tidak dilakukan
Ekokardiografi tidak dilakukan
Angiografi koroner tidak dilakukan
MB
Darah Lengkap
Leukosit normal atau Leukositosis
Kimia Darah (identifikasi faktor
resiko)
DM
Dislipidemia
Hiperurisemia
Foto Thorax PA
Kardiomegali, oedem pulmonal
Ekokardiografi
Diskinesia, Akinesia, MR, TR
Angiografi koroner
Mengetahui secara pasti anatomi
koroner, prediksi luas iskemia,
prognosis dan stratifikasi resiko
Dari EKG pasien didapatkan gambaran khas infark myokard berupa
elevasi segmen ST yang cembung ke atas (Lead V1-V3), gelombang Q patologis
dan gelombang T. Gambaran EKG ini sesuai dengan gambaran infark myokard
pada fase berkembang penuh. Fase berkembang penuh terjadi 1-2 hari setelah
serangan infark. Hal ini tidak sesuai dengan anamnesa yang didapatkan dimana
serangan nyeri dirasakan 1 jam sebelum MRS. Hal ini terjadi karena informasi
yang didapatkan dari pasien tersebut kurang tepat. EKG yang abnormal pada
pasien ini ditemukan pada Lead V1-V3 yang sesuai untuk gambaran EKG pada
infark anteroseptal. Infark anteroseptal terjadi karena oklusi arteri desendens
anterior kiri.
44
Dari anamnesa pasien ini tidak diketahui adanya riwayat penyakit
hipertensi, namun pada saat MRS tekanan darah pasien adalah 200/114 mmHg
dan pada EKG didapatkan depresi ST dan inversi T pada lead V4 dan V5.
Gambaran EKG tersebut menunjukkan suatu hipertrofi ventrikel kiri yang dapat
diakibatkan oleh suatu hipertensi kronis.
Nilai CKMB masih dalam batas normal, tetapi nilai ini tidak sepenuhnya
membuktikan bahwa belum terjadi kerusakan atau nekrosis pada otot jantung
karena menurut ACC/AHA Guidelines sekitar 30% pasien yang didiagnosis UA
karena nilai CKMB yang rendah ternyata menunjukkan hasil troponin yang positif
yang menunjukkan bahwa telah terjadi nekrosis sel miokardium (telah terjadi
NSTEMI). Oleh sebab itu perlu digunakan biomarker jantung yang lebih sensitif
dan spesifik seperti cTnI atau cTnT (cardiac spesific Troponin I dan T) untuk
membedakan UA dan NSTEMI. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan
angiografi koroner untuk melihat anatomi koroner, menentukan stratifikasi resiko
dan prognosis pasien dan menentukan apakah perlu dilakukan terapi invasif
berupa PCI atau CABG. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan gold
standard yaitu angiografi koroner dan tidak juga dilakukan pemeriksaan yang
lebih spesifik dan sensitif yaitu pemeriksaan biomarker troponin untuk
membedakan UA dan NSTEMI
.
4.4 Penatalaksanaan
Fakta Teori
Bed rest dengan monitoring ketat di
ICCU
IVFD RL 12 tpm
Oksigen 2 ltr/menit
Tatalaksana Suportif:
Bed rest
Perawatan intensif di ICCU
Oksigen
Anti Iskemia
ISDN 5 mg 3 x 1 tab
Lisinopril 10 mg 1 x 1 tab
Amlodipin 10 mg 1 x 1 tab
Anti-iskemia:
1.Nitrat. Pertama kali diberikan SL atau
spray bukal. Jika nyeri menetap
setelah diberikan nitrat sublingual 3
kali, direkomendasikan pemberian
45
nitrogliserin IV (mulai 5-10μg/menit
atau untuk ISDN dengan dosis 1-4
mg/jam).
2.Beta Bloker
3.Kalsium Antagonis (terutama
golongan dihidropiridin)
Anti nyeri tambahan:
Pemberian morfin atau petidin perlu
pada pasien yang masih merasakan sakit
dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin dan terapi anti-iskemia
yang adekuat
Antiplatelet oral
ASA(asetil salisylic acid) 80 mg 0-1-0
Plavix (clopidogrel bisulfate) 75 mg 1
x 4 hari pertama selanjutnya 1-0-0
Antiplatelet oral
Aspirin Dosis awal 162-325 mg
formula non-enterik dilanjutkan 75-160
mg/hari formula enterik atau non-
enterik.
Klopidogrel Dosis loading 300 mg
dilanjutkan 75 mg/hari
Terapi Antiplatelet IV (Antagonis GP
IIb/IIIa
Abciximab (Reopro)
Eptifibatid (integrilin)
Tirofiban (Aggrastat)
Antikoagulan
Arixtra (Fondaparinux) 2,5 mg 1 x 1
Antikoagulan
Heparin
Enoxaparin
Fondaparinux (2,5 mg per hari)
Bivalirudin
Pada infark miokard pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin
memperbaiki kemballi aliran pembuluh koroner sehingga reperfusi dapat
46
mencegah kerusakan miokard lebih lanjut serta mencegah kematian mendadak
dengan memantau dan mengobati aritmia maligna. Sasaran pengobatan IMA
pertama adalah menghilangkan rasa sakit dan cemas. Kedua mencegah dan
mengobati sedini mungkin komplikasi (30-40%) yang serius seperti payah
jantung, aritmia, thrombo-embolisme, pericarditis, ruptur m. papillaris, aneurisma
ventrikel, infark ventrikel kanan, iskemia berulang dan kematian mendadak.
Berdasarkan pada pembahasan di atas penatalaksanaan pada pasien ini sudah
sesuai dengan teori yang seharusnya.
47
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pria berusia 39 tahun dengan keluhan nyeri
dada. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang (EKG)
dapat ditentukan diagnosis kerja adalah STEMI (Infark anteroseptal) dengan
diagnosis banding yaitu unstable angina.. Pasien dirawat sejak tanggal 22-24 Juli
2010. Penatalaksanaan pada pasien ini berupa terapi konservatif yaitu dengan
terapi anti-iskemia (ISDN, Bisoprolol, Amlodipin), terapi antiplatelet (aspirin dan
plavix) dan terapi antikoagulan (arixtra). Prognosa pada pasien ini adalah dubia ad
malam berdasarkan pada kriteria TIMI.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan standar berupa pemeriksaan
biomarker jantung spesifik (troponin) dan angiografi koroner.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Prabowo, Pramonohadi, Juwono SB. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press, 2003
2. Donals Lloyld, et al. Heart Disease and Stroke Statistics—2009 Update : Report From the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Circulation. 2009;119:e21-e181
3. Antman, E.M., Selwyn, A.P., Braunwald, E., Loscalzo, J. 2008. Ischemic Heart Disease. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw Hill Companies, Inc. USA. Hal. 1514-1527.
4. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. SMF Penyakit Dalam RSUD Koja Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005
5. case
6. Biermann EL. Aterosklerosis dan bentuk Arteriosklerosis lainnya. Dlm: Isselbacher, Braunwold, eds. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed. 13. Vol.3. Jakarta: EGC, 2000; 1244-1256.
7. Kaplan, Norman M Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. [penyunt.] Petrus Andrianto. [penerj.] Sukwan H.. Jakarta : 1991
8. Gray H, Dawkins K, Morgan John, Simpson I. Lecture Notes Kardiologi Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga, 2002.
9. Kaplan, Norman M Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. [penyunt.] Petrus Andrianto. [penerj.] Sukwan H.. Jakarta : 1991
10. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. [penyunt.] Huriawati Hartanto, Pita Wulansari dan Dewi Asih Mahanani. [penerj.] Brahm U. Pendit, et al. Jakarta : EGC, 2005. Vol. 6
11. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. [penyunt.] Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, dkk Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, Vol. Vol 3, 434, hal. 1919-1922.
12. Diabetes, Oxidative Stress and Physical Exercise. Atalay, Mustafa dan Laaksonen, David E. Kuopio : Department of Physiology, University of Kuopio, 4 March 2002, Journal of Sports Science & Medicine.
13. Oxidative Stress and Its Complications in Diabetes Mellitus. Goycheva, P., Gadjeva, V. dan Popov, B. Stara Zagora : Department of Internal Medicine, Department of Chemistry and Biochemistry - Medical Faculty, Thracian University, 2006, Trakia Journal of Sciences, Vol. 4, No.1, hal. 1-8. ISSN 1312-1723
14. PB PAPDI. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. [penyunt.] H.M. Sjaifoellah Noer, et al. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996. Vol. 1.
49
15. gizi-bahri
16. Jota, Santa. Diagnosis Penyakit Jantung. Jakarta : Penerbit Widya Medika, 2001
17. Antman, Elliott M & Braunwald, Eugene. 2001. Acute Myocardial Infarction, Harrison's Principles of Internal Medicine 15th Edition Vol. 1. Hal. 1386-1398 (E. Braunwald, A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L. Hauser, D. L. Longo, & J. L. Jameson, Editors.) USA: The McGraw Hill Companies Inc.
18. Goldberger, A.L. 2001. Electrocardiography, Harrison's principles of Internal Medicine 15th Edition Vol. 1. Hal. 1262-1270 (E. Braunwald, A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L. Hauser, D. L. Longo, & J. L. Jameson, Editors). USA: The McGraw Hill Companies Inc.
19. Zimetbaum, Peter J., & Josephson, Mark E. 2003. Use of the Electrocardiogram in Acute Myocardial Infarction. The New England Journal of Medicine, vol. 348, hal. 933-940.
20. Pratanu, S., Yamin, & M., Harun, S. 2006. Elektrokardiografi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Hal. 1465-1470. (Aru W. Sudoyo, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, M. Simadibrata, Siti setiati, Editor.) Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
21. Davies SW. Clinical presentation and diagnosis of coronary artery disease: stable angina. Department of Cardiology, Royal Brompton Hospital, London, UK . British Medical Bulletin (Oxford University Press) , 2001, Vol. 59:17-27
22. Cannon, C.P., Braunwald, E. 2008. Unstable Angina & Non-ST Elevation Myocardial Infarction. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw Hill Companies, Inc. USA. Hal. 1527-1531
23. Antman, E.M., Selwyn, A.P., Braunwald, E., Loscalzo, J. 2008. Ischemic Heart Disease. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw Hill Companies, Inc. USA. Hal. 1514-1527.
24. Harun, S & Alwi, I. 2006. Tatalaksana Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4 jilid II. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI. Jakarta. Hal. 1641-1647
50