Download - Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

Transcript
Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti penyakit, demam,

rangsangan electroshock atau pengaruh bahan kimia. Sebagai seorang dokter

kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal untuk

menghentikan kejang yang terjadi. Obat-obat yang tersedia di puskesmas untuk

mengatasi kejang adalah Phenobarbital dan Diazepam.

Diazepam yang diberikan secara intravena atau rectal sangat efektif untuk

menghentikan aktivitas seizure yang terus-menerus, terutama status epileptikus

tonik-klonik umum. Obat ini kadang-kadang diberikan secara oral pada

penggunaan kronis, meskipun tidak sangat dipertibangkan pada penggunaan ini,

kemungkinan karena cepat terjadinya toleransi. (Katzung, 2002)

Sebagai model kejang pada praktikum ini digunakan strychnine dan

metrazol. Pada tikus strychnine menyebabkan kejang tonik dari badan dan semua

anggota gerak dan metrazol menyebabkan kejang petit mal.

1.2 Tujuan Praktikum

1.2.1 Umum

Mempelajari efek obat yang menimbulkan konvulsi dan efek antikonvulsi

1.2.2 Khusus

Mengamati efek konvulsi akibat stimuli pentylentetrazol

(metrazol) dan strychnine

Mengamati efek konvulsan diazepam

1

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1.1. Kejang

Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.

Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang

memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit,

maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah

yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di seluruh tubuh. Penderita

juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan kesadaran, kehilangan

pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung. (Medicastore, 2008)

Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi

dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai

manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai

etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang

disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan.

(Mardjono, 1988)

Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi.

Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi

epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik

ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi. (Mardjono,

1988)

Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan

letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus

dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan

neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic. Neuron

inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan, 2007)

Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)

a. Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)

b. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

2

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik,

bangkitan klonik, bangkitan infantile

2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)

a. Bangkitan parsial sederhana

b. Bangkitan parsial kompleks

c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum

3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II) (Utama dan Gan, 2007)

Korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi

penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan

retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu

terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua fase,

yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial

aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta

hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion

K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron

di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan

pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan

meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di

sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga

spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder. (Utama

dan Gan, 2007)

1.2. Striknin

Striknin sebenarnya tidak bermanfaat untuk terai, tetapi untuk menjelaskan

fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama di

antara obat yang bekerja secara sentral.

Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang

banyak tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja

(accidential poisoning) pada anak. Dalam nux vomica juga terdapat alkaloid

3

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

brusin yang mirip striknin baik kimia maupun farmakologinya. Brusin lebih

lemah dibandingkan striknin, sehingga efek ekstra nux vomica boleh dianggap

hanya disebabkan oleh striknin.

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap

transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps,

dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang

terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini

merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba

konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.

Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang

merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah

kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu

pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada

hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga

merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin

dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut

konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan

hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem

kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah

berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot

rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada hewan coba dan manusia tidak

terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg

nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan

Dewoto, 2007)

Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera

meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih

daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom sel

hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian

dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

4

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan

leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.

Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya

terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi

(opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur.

Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi

otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan

hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot

ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.

Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat

gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang

hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat;

yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab

diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi

post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat

penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia atau

pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat. (Louisa

dan Dewoto, 2007)

Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan

membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk

memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk

mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih

ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan

larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau larutan

asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

5

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

1.3. Pentilenterazole

Pentilenterazol atau Pentametiterazol(pentametilterazol= metrazol)

merangsang semua tingkat SSP. Sebagai analeptik ini tidak sekuat pikrotoksin,

menimbulkan kejang yang mirip dengan epilepsi Petit Mall pada manusia dan

dosis semakin tinggi dapat menimbulkan gejala klonik yang asinkron.

Cara kerjanya mungkin dengan menurunkan hambatan sistem GABA-

ergik dan efek langsung sehingga meningkatkan eksitabilitas Sistem saraf pusat.

Absorbsi berjalan dengan baik melalui oral dan parenteral. Distribusi

merata ke semua jaringan diinaktifkan di hati, eksresi sebagian besar (75%)

melalui urin dalam bentuk tidak aktif. Sediaan tersedia dalam bentuk tablet

100mg, ampul 3 ml, daan via larutan 10%.

Penggunaannya adalah sebagai analeptik dan aktivator EEG untuk

membantu diagnosis epilepsi

1.4. Fenobarbital

Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil-barbiturat) merupakan senyawa organik

pertama yang digunakan dalam pengobatan antikolvulsi. Kerjanya membatasi

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital

merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak.

Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah 2x120-250 mg sehari. Dosis anak ialah

30-100 mg sehari. Penghentian fenobarbital harus secara bertahap untuk

mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan kembali, atau malah

bangkitan status epileptikus. Penggunaan fenobarbital menyebabkan berbagai

efeksamping seperti sedasi, psikosis akut, dan agitasi. Interaksi fenobarbital

dengan obat lain umumnya terjadi karena fenobarbital menoingkatkan aktivitas

enzim mikrosom hati. Kombinasi dengan asam valproat akan menyebabkan kadar

fenobarbital meningkat 40%. (Utama dan Gan, 2007)

1. Absorbsi dan metabolisme

Fenobarbital diabsorbsi dengan baik per oral. Obat tersebut menembus otak

secara bebas. Sekitar 75% fenobarbital tidak diaktifkan oleh sistem

mikrosomal hati, selebihnya disekresikan oleh ginjal dalam keadaan tidak

6

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

diubah. Fenobarbital adalah suatu induser sistem P-450 yang poten dan bila

diberikan secara kronis, fenobarbital memperkuat metabolisme obat-obat

lainnya. (Mycek, 2001)

2. Distribusi

Transpor hipnotik sedatif di dalam darah adalah proses dinamik dimana

banyaknya molekul obat masuk dan meninggalkan jaring tergantung pada

aliran darah, tingginya konsentrasi dan permeabilitas. Kelarutan dalam dalam

lemak memegang peranan penting dalam menentukan berapa banyak hipnotik-

sedatif yang khusus masuk ke susunan saraf pusat. (Katzung, 1997)

3. Ekskresi

Fenobarbital diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah sampai

jumlah tertentu (20-30% pada manusia), dan kecepatan eliminasinya dapat

ditingkatkan secara bermakna dengan jalan alkalinisasi urin. Hal ini sebagian

disebabkan oleh peningkatan ionisasi pada pH basa, karena fenobarbital

adalah asam lemah dengan pKa 7,2. (Katzung, 1997)

4. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja fenobarbital yang pasti belum diketahui, tetapi memacu

proses peghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Data menunjukkan

bahwa fenobarbital dapat menekan saraf abnormal secara selektif,

menghambata penyebaran, dan menekan pelepasan dari fokus. Seperti

fenitoin, dalam dosis tinggi, fenobarbital dapat menekan melalui konduksi

Na+, lepasnya frekuensi tinggi renjatan saraf yang berulang dalam kultur.

Begitu pula pada konsentrasi tinggi, barbiturat menghambat arus Ca2+ (tipe L

dan M). Fenobarbital terikat pada sisi pengatur alosterik dari reseptor GABA

benzodiazepin, dan memacu arus yang dirangsang reseptor GABA dengan

cara perpanjangan pembukaan saluran Cl-,. Fenobarbital juga menghambat

respon eksitatif yang disebabkan glutamat, terutama yang diakibatkan oleh

aktivasi reseptor AMPA. Dengan kadar terapi yang relevan, fenobarbital

meningkatkan penghambatan melalui GABA dan reduksi eksitasi melalui

glutamat. (Katzung, 1997)

7

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

Fenobarbital memiliki aktivitas antiepilepsi, membatasi penyebaran lepasan

kejang di dalam otak dan meningkatkan ambang serangan epilepsi.

Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan potensiasi

efek inhibisi dari neuron-neuron yang diperantarai oleh GABA (asam gama

aminobutirat) dosis-dosis yang diperlukan untuk efek antiepilepsi lebih rendah

daripada dosis yang menyebabkan penekanan saraf pusat yang hebat. (Mycek,

2001)

5. Penggunaan klinik

Fenobarbital digunakan dalam pengobatan kejang parsial dan tonik-klinik

umum, meskipun obat ini dicoba untuk setiap jenis kejang, terutama jika

serangan sulit dikendalikan. Terdapat sedikit bukti untuk kemampuannya

dalam kejang umum seperti absence, serangan atonik, atau spasme infantil,

dapat juga lebih memperburuk keadaan pasien dengan jenis kejang tersebut.

(Katzung, 1997)

Fenobarbital memberikan 50% respon yang diinginkan untuk serangan-

serangan parsial sederhana tetapi kurang efektif untuk serangan parsial

kompleks. Obat tersebut telah dipandang sebagai pilihan utama dalam

mengobati serangan–

serangan epilepsi berulang pada anak-anak termasuk kejang demam. Namun,

fenobarbital dapat menekan kinerja kognitif pada anak-anak yang diobati

untuk kejang demam, dan obat tersebut harus digunakan secara hati-hati.

Fenobarbital juga digunakan untuk mengobati serangan tonik klonik

kambuhan, terutama pada penderita yang tidak memberikan respon pada

kombinasi diazepam dan fenitoin. Fenobarbital juga digunakan sebagai suatu

sedatif ringan untuk menghilangkan ansietas ketegangan mental dan insomnia,

walaupun bezodiazepin lebih baik. (Mycek, 2001)

6. Efek Samping

Sedasi, ataksia, nistagmus, vertigo dan reaksi psikotik akut bisa terjadi pada

pemakaian kronis. Mual dan muntah ditemukan seperti juga ruam

morbilifomis pada orang-orang yang peka. Agitasi dan kebingungan terjadi

8

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

pada dosis tinggi. Serangan-serangan rebound dapat terjadi pada penghentian

fenobarbital. (Mycek, 2001)

7. Interaksi Obat

Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena fenobarbital

meningkatkan aktivitas enzim mikrosomal hati. Kombinasi dengan asam

valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat 40%. (Utama dan

Gan, 2007)

1.5. Diazepam

Diazepam termasuk golongan obat benzidiazepin. Diazepam terutama

digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, miksalnya status epileptikus. Obat ini

juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan

klonik fokal dan hipsaritmia yang refrrakter terhadap terapi lazim. Diazepam

efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang

terjadi dalam satu detik. (Utama dan Gan, 2007)

Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa,

disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara

lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit

sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Sedangkan pada anak-anak

dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,15-0,30 mb/kgBB selama 2 menit

dan dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 80-90% pasien

bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/kgBB

diazepam untuk bayi dan anak di bawah 11 tahun dapat menghasilkan kadar 500

μg/mL dalam waktu 2-6 menit bagi anak yang lebih besar dan orang dewasa

pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi kejang akut, karena kadar

puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya rendah. Walaupun diazepam telah

sering digunakan untuk mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat dipastikan

kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain, seperti barbiturat atau anastesi

umum; untuk ini masih diperlukan suatu uji terkendali perbandingan efektivitas.

(Utama dan Gan, 2007)

9

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

1. Farmakokinetik

Benzodiazepin merupakan obat-obat basa lemah dan diabsorpsi sangat efektif

pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Kecepatan absorpsi

benzodiazepine yang diberikan tergantung pada beberapa factor termasuk sifat

kelarutannya dalam lemak. Absorpsi per oral diazepam sangat cepat sekali.

(Katzung, 1997)

Waktu paruh benzodiazepine penting secara klinis karena lama kerja dapat

menentukan penggunaan dalam terapi. Benzodiazepine dibagi atas kelompok

kerja jangka pendek, sedang, dan panjang. Diazepam termasuk dalam kelompok

kerja lama. Obat jangka panjang membentuk metabolit akitf dengan waktu paruh

panjang. Diazepam dimetabolisme oleh system metabolic mikrosomal hati

menjadi senyawa yang juga aktif. (Mycek, 2001) Desmetildiazepam yang

mempunyai waktu paruh 40-140 jam merupakan metabolit aktif diazepam yang

kemudian dibiotransformasikan menjadi senyawa aktif oksazepam. Selain

diazepam dimetabolisme terutama menjadi desmetildiazepam, juga dikonversi

menjadi tamazepam, yang sebagian dimetabolisme lebih lanjut menjadi

oksazepam. (Katzung, 1997)

2. Mekanisme Kerja

Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada membrane sel

akan membuka salutan klorida, meningkatkan efek konduksi korida. Aliran ion

klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi

postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja potensial.

Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel,

yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat

hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Peningkatan

benzodiazepine mamacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang

bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka.

Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron.

(Mycek, 2001)

10

Page 11: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

3. Efek Samping

Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan diazepam intravena

ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Di samping ini

dapat terjadi depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung dan

kantuk. (Utama dan Gan, 2007)

11

Page 12: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

BAB IIIMETODE PRAKTIKUM

3.1 Binatang percobaan

Binatang yang dipakai adalah mencit dewasa dengan BB±30 gr

Masing-masing kelompok mendapat 4 ekor mencit

3.2 Cara pemberian obat dan dosis

Obat disuntikkan secara i.p dengan memegang kuduk mencit dan waktu

menyuntik, kepala mencit diarahkan kebawah agar jarum suntik tidak mengenai

usus. Jumlah (cc) dan sebaiknya jangan melebihi 2 cc agar tidak ada pendorongan

diafragma. Waktu penyuntikan harus dicatat untuk melihat onset ot action dari

obat (timbul konvulsi).

Tandai mencit-mencit dengan spidol berwarna sesuai dengan jenis obat

yang disuntikkan untuk mencegah kekelirian.

Obat konvulsan strychnine, dosis 3 mg/kg BB i.p dan metrazol dosis 70

mg/kg BB ip

Obat antikonvulsan dilantin dosis 100 mg/kg BB i.p dan luminal dosis 50

mg/kg BB i.p

Antikonvulsan diberikan sebelum konvulsan dan ditunggu sampai obat

antikonvulsan mulai bekerja.

Mis : Phenobarbital tunggu 20 menit konvulsan

Dilantin tunggu 30 menit konvulsan

3.3 Rancangan percobaan

Tiap mencit hanya dipakai satu kali

Pembagian dan tugas kelompok sebagai berikut:

Kelompok I-V masing-masing kelompok mendapat 4 mencit

Mencit 1 strychnine

Mencit 2 metrazol

Mencit 3 dilantin + strychnine

12

Page 13: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

Mencit 4 dilantin + metrazol

3.4 Setelah mencit diberi konvulsan perhatikan

Saat timbulnya konvulsi (menit))

Gejala-gejala sebelum konvulsi (garuk-garuk)

Lama konvulsi (menit)

Tipe konvulsi :

- Tonik

- Klonik

- Simetris

- Asimetris

- Coordinate

- uncoordinate

adanya kejang ulang (frekwensi kejang ulang setelah kejang yang pertama)

kematian : apabila setelah kejang tikusnya mati dicatat beberapa menit

setelah pemberian obat

13

Page 14: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

PERHITUNGAN DOSIS

Tikus IBerat badan: 20,5 gr

Tikus II Berat badan: 41,5 gr

Tikus III Berat badan: 32,5 gr

Tikus IV Berat badan: 41 gr

DOSIS YANG DIBERIKANa. Tikus 1

Striknin i. p 0,1 ml/gBBBB x Dosis = 20,5 gr x 0,1 ml/grBB = 2,05 ml

b. Tikus 2 Metrazole i. p 0,1 ml/grBBBB x Dosis = 41,5 gr x 0,1 ml/grBB = 4,15 ml

c. Tikus 3 - Diazepam i.p 0,1 ml/grBB

BB x Dosis = 32,5 gr x 0,1 ml/grBB = 3,25 ml

- Striknin i. p 0,1 ml/gBBBB x Dosis = 32,5 gr x 0,1ml/grBB = 3,25 ml

d. Tikus 4 - Diazepam i.p 0,1 ml/grBB

BB x Dosis = 41 gr x 0,1 ml/grBB = 4,10 ml

- Metrazole i. p 0,1 ml/grBBBB x Dosis = 41 gr x 0,1 ml/grBB = 4,10 ml

14

Page 15: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

BAB IVANALISIS DAN SINTESIS

Tabel.1

OBAT

Gejala sebelum konvulsi(menggaruk- garuk)

Waktu timbul konvulsi(menit)

Tipe konvulsiWaktu kematian

(menit)

I II III IV V VI I II III IV V VI I II III IV V VI I II III IV V VI

Striknin 2,00

2,55

4,00

2,51

3,48

3,26

KS

UC

TS

UC

TS

UC

KSC

TKSC

TKSC

5,003,58

5,00

3,05

4,17

3,52

Metrazole 0,07

1,13

2,00

2,00

2,01

4,00

TKS

UC

TS

UC

TKS

UC

TKASUC

TS

UC

TKS

UC1,56

6,06

4,00

7,53

5,00

Phenobarbital + Striknin

5,00

3,01

5,00

KS

UC

TS

UC

TKS

UC

18,37

7,00

Phenobarbital + Metrazole

Diazepam + Striknin

4,31

4,00

KSC

KSC

52

Diazepam + Metrazole

Ket. K:Klonik T:Tonik S:SImetris AS:Asimetris C:Coordinated UC:Uncoordinated

15

Page 16: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

OBATWaktu timbul konvulsi

(menit) MeanI II III IV V VI

Striknin 2,00 2,55 4,00 2,51 3,48 3,26 3,37

Metrazole 0,07 1,13 2,00 2,00 2,01 4,00 2,27

Phenobarbital + Striknin 5,00 3,01 5,00 4,34

Phenobarbital + Metrazole

Diazepam + Striknin 4,31 4,00 4,16

Diazepam + Metrazole Tabel.2

Tabel.3

OBATWaktu kematian

(menit) MeanI II III IV V VI

Striknin 5,00 3,58 5,00 3,05 4,17 3,52 4,05

Metrazole 1,56 6,06 4,00 7,53 5,00 5,23Phenobarbital + Striknin 18,37 7,00 13,09Phenobarbital + Metrazole

Diazepam + Striknin

Diazepam + Metrazole

Tabel.4

ObatTipe Konvulsi

(%)T K TK

Striknin 33,33 33,33 33,33Metrazole 33,33 0 66,66Phenobarbital + Striknin 33,33 33,33 33,33Phenobarbital + Metrazole Diazepam + Striknin 0 100 0Diazepam + Metrazole

16

Page 17: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

Tabel.5

Tabel.6

17

ObatTipe Konvulsi

(%)Simetris Asimetris

Striknin 100 0Metrazole 83,33 16,67Phenobarbital + Striknin 100 0Phenobarbital + Metrazole Diazepam + Striknin 100 0Diazepam + Metrazole

ObatTipe Konvulsi(persentase)

Coordinated UncoordinatedStriknin 50 50Metrazole 0 100Phenobarbital + Striknin 0 100Phenobarbital + Metrazole Diazepam + Striknin 100 0Diazepam + Metrazole

Page 18: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

1. Striknin

Gejala sebelum konvulsi

Pada pemberian striknin terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada seluruh kelompok bahwa timbul gejala sebelum konvulsi (seperti menggaruk-garuk) yaitu 50% positif pada hewan coba, dan 50% negatif pada hewan coba kelompok lain. Dengan melihat hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian striknin terhadap hewan coba, dapat menimbulkan gejala sebelum konvulsi seperti menggaruk-garuk tubuhnya, tetapi dapat juga tidak. Hal tersebut dikarenakan persentase yang peroleh adalah seimbang antara gejala positif dan negatif.

Tipe konvulsi

Dari data yang didapat, diperoleh persentase hasil bahwa hewan coba yang mengalami kejang atau konvulsi tipe klonik simetris sebanyak 33,33%, tipe tonik simetris 33,33%, tipe tonik klonik simetris 33,33%. Sedangkan tipe konvulsi uncoordinated sebesar 50% dan konvulsi coordinated sebesar 50%. Dari kelompok kami sendiri, setelah pemberian striknin terhadap hewan coba, didapatkan tipe kejang tonik klonik simetris coordinated. Dari hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa tiap hewan coba memiliki persentase yang sama untuk mengalami masing-masing tipe kejang simetris dengan presentase seimbang antara konvulsi coordinated dan uncoordinated.

Waktu timbul konvulsi

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu timbulnya konvulsi setelah pemberian striknin pada hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 3 menit 37 detik. Sedangkan dari kelompok kami, diperoleh hasil bahwa timbulnya kejang terjadi setelah 3 menit 26 detik. Hal ini dapat diartikan bahwa waktu timbulnya kejang setelah pemberian striknin pada hewan coba kelompok kami tidak berbeda jauh dengan rata-rata seluruh kelompok.

Waktu kematian

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu terjadinya kematian setelah pemberian striknin pada hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 4 menit 05 detik. Sedangkan dari kelompok kami, diperoleh hasil bahwa timbulnya kejang terjadi setelah 3 menit 52 detik. Hal ini dapat diartikan bahwa waktu timbulnya kejang setelah pemberian striknin pada hewan coba kelompok kami tidak berbeda jauh dengan rata-rata seluruh kelompok.

18

Page 19: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

2. Metrazole

Gejala sebelum konvulsi

Pada pemberian metrazole terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada seluruh kelompok bahwa timbul gejala sebelum konvulsi (seperti menggaruk-garuk) yaitu 17% positif pada hewan coba, dan 83% negatif pada hewan coba kelompok lain. Dengan melihat hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian metrazole terhadap hewan coba, lebih dominan tidak menimbulkan gejala sebelum konvulsi seperti menggaruk-garuk, karena presentasi gejala negatifnya lebih besar dibandingkan dengan gejala positifnya yaitu sebesar 83%.

Tipe konvulsi

Dari data yang didapat, diperoleh persentase hasil bahwa hewan coba yang mengalami kejang atau konvulsi tipe klonik sebanyak 0%, tipe tonik uncoordinated 33,33%, tipe tonik klonik uncoordinated 66,67%. Sedangkan tipe konvulsi simetris sebesar 83,3% dan asimetris sebesar 16,67%. Dari kelompok kami sendiri, setelah pemberian striknin terhadap hewan coba, didapatkan tipe kejang tonik klonik simetris uncoordinated. Dari hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa tiap hewan coba memiliki persentase yang lebih dominan pada kejang tonik klonik simetris uncoordinated, dan sebagian kecil menyebabkan kejang tonik simetris uncoordinated, sedangkan kejang klonik tidak muncul sama sekali setelah pemberian metrazole.

Waktu timbul konvulsi

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu timbulnya konvulsi setelah pemberian metrazole pada hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 2 menit 37 detik. Sedangkan dari kelompok kami, diperoleh hasil bahwa timbulnya kejang terjadi setelah 4 menit 0 detik. Hal ini dapat diartikan bahwa waktu timbulnya kejang setelah pemberian striknin pada hewan coba kelompok kami terdapat perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata seluruh kelompok.

Waktu kematian

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu terjadinya kematian setelah pemberian metrazole pada hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 5 menit 20 detik. Sedangkan dari kelompok kami, diperoleh hasil bahwa timbulnya kejang terjadi setelah 5 menit 0 detik. Hal ini dapat diartikan bahwa waktu timbulnya kejang setelah pemberian metrazole pada hewan coba kelompok kami tidak berbeda jauh dengan rata-rata seluruh kelompok.

3. Phenobarbital + Striknin (hanya dilakukan oleh kelompok I, II, III)

Gejala sebelum konvulsi

Pada pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian striknin setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, timbul gejala sebelum konvulsi (seperti menggaruk-garuk) yaitu 66,67% positif pada hewan coba, dan 33,33% negatif pada hewan coba kelompok lain. Dengan melihat hasil

19

Page 20: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemerian striknin setelah 20 menit hewan coba, lebih dominan menimbulkan gejala sebelum konvulsi seperti menggaruk-garuk, karena presentasi gejala positif lebih besar dibandingkan dengan gejala positifnya yaitu sebesar 66,67%.

Tipe konvulsi

Dari data yang didapat, diperoleh persentase hasil bahwa hewan coba yang mengalami kejang atau konvulsi tipe klonik simetris uncoordinated sebanyak 33,33%, tipe tonik simetris uncoordinated 33,33%, tipe tonik klonik simetris uncoordinated 33,33%. Dari hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa tiap hewan coba memiliki persentase yang sama untuk mengalami masing-masing tipe kejang.

Waktu timbul konvulsi

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu timbulnya konvulsi setelah pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian striknin setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 4 menit 34 detik.

Waktu kematian

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu terjadinya kematian setelah pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian striknin setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 13 menit 09 detik.

4. Phenobarbital + Metrazole (hanya dilakukan oleh kelompok I, II, III)

Gejala sebelum konvulsi

Pada pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian metrazole setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, timbul gejala sebelum konvulsi (seperti menggaruk-garuk) yaitu 33,33% positif pada hewan coba, dan 66,67% negatif pada hewan coba kelompok lain. Dengan melihat hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemerian metrazole setelah 20 menit hewan coba, lebih dominan tidak menimbulkan gejala sebelum konvulsi seperti menggaruk-garuk, karena presentasi gejala negatifnya lebih besar dibandingkan dengan gejala positifnya yaitu sebesar 66,67%.

Tipe konvulsi

Dari data yang didapat, diperoleh hasil bahwa tidak terjadi konvulsi pada hewan coba disemua kelompok yang melakukan percobaan.

Waktu timbul konvulsi

Karena tidak terjadinya konvulsi, maka tidak dapat dinilai kapan waktu timbul konvulsinya.

Waktu kematian

Pada pemberian phenobarbital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian metrazole setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil

20

Page 21: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, bahwa tidak terjadi kematian pada semua hewan coba.

5. Diazepam + Striknin (hanya dilakukan oleh kelompok IV, V, VI)

Gejala sebelum konvulsi

Pada pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian striknin setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, timbul gejala sebelum konvulsi (seperti menggaruk-garuk) yaitu 33,33% positif pada hewan coba, dan 66,67% negatif pada hewan coba kelompok lain. Dengan melihat hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemerian striknin setelah 20 menit hewan coba, lebih dominan tidak menimbulkan gejala sebelum konvulsi seperti menggaruk-garuk, karena presentasi gejala negatif lebih besar dibandingkan dengan gejala positifnya yaitu sebesar 66,67%.

Tipe konvulsi

Dari data yang didapat, diperoleh persentase hasil bahwa hewan coba yang mengalami kejang atau konvulsi tipe klonik simetris coordinated sebanyak 100%, tipe tonik 0%, tipe tonik klonik 0%. Dan dari kelompok kami sendiri, setelah pemberian striknin terhadap hewan coba, didapatkan tipe kejang klonik. Dari hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa tiap hewan coba memiliki persentase yang sama untuk mengalami kejang tipe klonik simetris coordinated, tetapi tidak mengalami tipe kejang klonik dan tonik-klonik.

Waktu timbul konvulsi

Berdasarkan data yang diperoleh, waktu timbulnya konvulsi setelah pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian striknin setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, rata-rata timbul setelah 4 menit 16 detik. Sedangkan dari kelompok kami, diperoleh hasil bahwa timbulnya kejang terjadi setelah 4 menit 0 detik. Hal ini dapat diartikan bahwa waktu timbulnya kejang setelah pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian striknin setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit kelompok kami tidak berbeda jauh dengan rata-rata seluruh kelompok.

Waktu kematian

Pada pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian metrazole setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, bahwa tidak terjadi kematian pada semua hewan coba.

6. Diazepam + Metrazole

Gejala sebelum konvulsi

Pada pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian metrazole setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, timbul gejala sebelum

21

Page 22: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

konvulsi (seperti menggaruk-garuk) yaitu 33,33% positif pada hewan coba, dan 66,67% negatif pada hewan coba kelompok lain. Dengan melihat hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemerian metrazole setelah 20 menit hewan coba, lebih dominan tidak menimbulkan gejala sebelum konvulsi seperti menggaruk-garuk, karena presentasi gejala negatif lebih besar dibandingkan dengan gejala positifnya yaitu sebesar 66,67%.

Tipe konvulsi

Dari data yang didapat, diperoleh hasil bahwa tidak terjadi konvulsi pada hewan coba disemua kelompok yang melakukan percobaan.

Waktu timbul konvulsi

Karena tidak terjadinya konvulsi, maka tidak dapat dinilai kapan waktu timbul konvulsinya.

Waktu kematian

Pada pemberian diazepam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian metrazole setelah 20 menit terhadap hewan coba mencit, diperoleh hasil pada 3 kelompok yang melakukan percobaan, bahwa tidak terjadi kematian pada semua hewan coba.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

22

Page 23: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan pengamatan dan percobaan pada hewan coba dengan

menggunakan striknin dan metrazol yang keduanya merupakan konvulsan yang kuat

dapat disimpulkan bahwa striknin memiliki efek yang menimbulkan kejang atau

konvulsan lebih kuat dibandingkan dengan metrazol.

Sedangkan saat hewan coba diberikan obat konvulsan kuat yang berupa striknin dan

metrazol yang sebelumnya diberikan obat anti konvulsan kuat maka dapat

disimpulkan diazepam memiliki efek antikonvulsan yang lebih kuat daripada

fenobarbital.

Efek yang ditimbulkan oleh obat antikonvulsan dan konvulsan pada hewan coba

dalam praktikum ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa diantaranya adalah

dosis, ketepatan prosedur kerja dan karakteristik hewan. Oleh karena itu hasil

pengamatan efek pemberian konvulsan dan antikonvulsan pada praktikum ini tidak

akurat sepenuhnya.

5.2 Saran

Ketepatan pemberian dosis obat antikonvulsan dan konvulsan lebih

ditingkatkan agar hasilnya lebih akurat.

Ketepatan prosedural kerja oleh mahasiswa lebih ditingkatkan agar hasil

percobaan lebih akurat.

Diperlukan kesamaan karakteristik hewan coba agar hasil percobaan yang

lebih akurat

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.6

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 354-

356

Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam :

Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248

Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta, hal. 439-441; 444

Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.

(online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)

Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta, hal.

90; 149

Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi dan

Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 179-181; 186; 188

24