Download - Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

Transcript
Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam,

epilepsy, rangsangan electroshock atau pengaruh bahan kimia. Sebagai

seorang dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal

untuk menghentikan kejang yang terjadi. Pada umumnya obat-obat

penghambat Sistem Saraf Pusat (SSP) yang trgolong sedative hipnotik

mempunyai efek antikonvulsi. Obat-obat yang tersedia di puskesmas untuk

mengatasi kejang adalah Phenobarbital dan Diazepam.

Phenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi spesifik, yang

berarti efek antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek

hipnotiknya. Di Indonesia Phenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun

di luar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan. (Utama dan Gan, 2007)

Sebagai model kejang pada praktikum ini digunakan striknin dan

pentylentetrazol (metrazol). Pada tikus striknin menyebabkan kejang tonik

dari badan dan semua anggota gerak, sedangkan metrazol menyebabkan

kejang yang mirip dengan serangan klinis epilepsi petit mal, dan dengan dosis

yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Umum

Mempelajari efek obat yang menimbulkan konvulsi dan efek anti

konvulsi.

1.2.2 Khusus

Mengamati efek konvulsi akibat stimuli pentilentetrazol dan strychnine

dan mengamati efek konvulsan diazepam dan dilantin.

1

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEJANG

Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam

otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian

otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah

yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika

melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di

seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran,

kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan

menjadi linglung. (Medicastore, 2008)

Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi

dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau

berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak

dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu

serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal

secara berlebihan. (Mardjono, 1988)

Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi.

Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai

manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun

sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah

epilepsi. (Mardjono, 1988)

Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan

letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus

dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan

neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic.

Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan,

2007)

Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

2

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)

a. Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)

b. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan

tonik, bangkitan klonik, bangkitan infantile

2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)

a. Bangkitan parsial sederhana

b. bangkitan parsial kompleks

c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum

3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)

(Utama dan Gan, 2007)

Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena

adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan

melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui

hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut

menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus

subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi.

Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya

sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan

listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal

sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi

diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua

fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan

potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan

Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor

GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang

mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre

sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor

eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi

oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan

3

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy

umum/epilepsy sekunder. (Utama dan Gan, 2007).

2.2 STRIKTIN

Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan

fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama

diantara obat yang bekerja secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif

terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan

pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat

pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan

Dewoto, 2007)

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini

merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan

coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.

Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang

merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin

ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan

sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini

juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin

ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek

striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya

disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang

menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung

mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi

perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat

vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral

striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran

cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional

berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)

4

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera

meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih

daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim

mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu

10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot

muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan

motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih

terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada

dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit

saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi

penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut.

Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah

dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri

hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya

disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas.

Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat

menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang

terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV,

sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap

depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau

obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan

anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan

yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan

membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk

memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform

untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga

masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung

5

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air

(1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya

rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007)

2.3 PENTILENTERAZOL (METRAZOL)

Pentilentetrazol ( pentametilentetrazol), yang di Amerika serikat

dikenal dengan nama dagang metrazol dan di Eropa kardiazol merupakan

senyawa sintetik. Kejang oleh pentilentetrazol mirip hasil perangsangan listrik

pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali

dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia. Dengan dosis yang

lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron. (Louisa dan Dewoto,

2007)

Mekanisme kerja utama Pentilentetrazol ialah penghambatan system

GABA-ergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya

efek perangsangan secara langsung masih belum dapat disingkirkan. (Louisa

dan Dewoto, 2007)

Sebagai analeptic Pentilentetrazol yidak sekuat pikrotoksin. Dahulu

Pentilentetrazol digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis epilepsi

yaitu sebagai EEG activator. Dengan dosis subkonvusi yang disuntik IV

terjadi aktivasi focus epilepsi. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Pentilentetrazol segera diabsorbsi dari berbagai tempat pemberian.

Distribusi merata ke semua jaringan dan cepat diinaktivasi dalam hati.

Sebagain besar (75%) diurin dalam bentuk tidak aktif. (Louisa dan Dewoto,

2007)

Pentilentetrazol merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air,

diperdagangkan dalam bentuk tablet 100 mg, ampul 3 mL dan vial berisi

larutan 10%. (Louisa dan Dewoto, 2007)

2.4 DIAZEPAM

Diazepam termasuk golongan obat benzidiazepin. Diazepam terutama

digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, miksalnya status epileptikus. Obat

6

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya

bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrrakter terhadap terapi lazim.

Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan

ombak yang terjadi dalam satu detik. (Utama dan Gan, 2007)

Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa,

disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara

lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20

menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Sedangkan pada anak-

anak dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,15-0,30 mb/kgBB selama 2

menit dan dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 80-90%

pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1

mg/kgBB diazepam untuk bayi dan anak di bawah 11 tahun dapat

menghasilkan kadar 500 μg/mL dalam waktu 2-6 menit bagi anak yang lebih

besar dan orang dewasa pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi

kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya

rendah. Walaupun diazepam telah sering digunakan untuk mengatasi konvulsi

rekuren, belum dapat dipastikan kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain,

seperti barbiturat atau anastesi umum; untuk ini masih diperlukan suatu uji

terkendali perbandingan efektivitas. (Utama dan Gan, 2007)

2.4.1 Farmakokinetik

Benzodiazepin merupakan obat-obat basa lemah dan diabsorpsi

sangat efektif pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum.

Kecepatan absorpsi benzodiazepine yang diberikan tergantung pada

beberapa factor termasuk sifat kelarutannya dalam lemak. Absorpsi per

oral diazepam sangat cepat sekali. (Katzung, 1997)

Waktu paruh benzodiazepine penting secara klinis karena lama

kerja dapat menentukan penggunaan dalam terapi. Benzodiazepine dibagi

atas kelompok kerja jangka pendek, sedang, dan panjang. Diazepam

7

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

termasuk dalam kelompok kerja lama. Obat jangka panjang membentuk

metabolit akitf dengan waktu paruh panjang. Diazepam dimetabolisme

oleh system metabolic mikrosomal hati menjadi senyawa yang juga aktif.

(Mycek, 2001) Desmetildiazepam yang mempunyai waktu paruh 40-140

jam merupakan metabolit aktif diazepam yang kemudian

dibiotransformasikan menjadi senyawa aktif oksazepam. Selain diazepam

dimetabolisme terutama menjadi desmetildiazepam, juga dikonversi

menjadi tamazepam, yang sebagian dimetabolisme lebih lanjut menjadi

oksazepam. (Katzung, 1997)

2.4.2 Mekanisme Kerja

Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada

membrane sel akan membuka salutan klorida, meningkatkan efek

konduksi korida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan

hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup

dan meniadakan pembentukan kerja potensial. Benzodiazepin terikat pada

sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah tetapi

dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP

dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Peningkatan benzodiazepine

mamacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang

bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering

terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat

letupan neuron. (Mycek, 2001)

2.4.3 Efek Samping

Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan

diazepam intravena ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat

relaksasi otot. Di samping ini dapat terjadi depresi napas sampai henti

napas, hipotensi, henti jantung dan kantuk. (Utama dan Gan, 2007)

8

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

2.5 FENOBARBITAL

Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil-barbiturat) merupakan senyawa organik

pertama yang digunakan dalam pengobatan antikolvulsi. Kerjanya membatasi

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang.

Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang

demam pada anak. Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah 2x120-250 mg

sehari. Dosis anak ialah 30-100 mg sehari. Penghentian fenobarbital harus

secara bertahap untuk mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi

bangkitan kembali, atau malah bangkitan status epileptikus. Penggunaan

fenobarbital menyebabkan berbagai efeksamping seperti sedasi, psikosis akut,

dan agitasi. Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena

fenobarbital menoingkatkan aktivitas enzim mikrosom hati. Kombinasi

dengan asam valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat 40%.

(Utama dan Gan, 2007)

2.5.1 Absorbsi dan metabolisme

Fenobarbital diabsorbsi dengan baik per oral. Obat tersebut

menembus otak secara bebas. Sekitar 75% fenobarbital tidak diaktifkan

oleh sistem mikrosomal hati, selebihnya disekresikan oleh ginjal dalam

keadaan tidak diubah. Fenobarbital adalah suatu induser sistem P-450

yang poten dan bila diberikan secara kronis, fenobarbital memperkuat

metabolisme obat-obat lainnya. (Mycek, 2001)

2.5.2 Distribusi

Transpor hipnotik sedatif di dalam darah adalah proses dinamik

dimana banyaknya molekul obat masuk dan meninggalkan jaring

tergantung pada aliran darah, tingginya konsentrasi dan permeabilitas.

Kelarutan dalam dalam lemak memegang peranan penting dalam

menentukan berapa banyak hipnotik-sedatif yang khusus masuk ke

susunan saraf pusat. (Katzung, 1997)

9

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

2.5.3 Ekskresi

Fenobarbital diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak

berubah sampai jumlah tertentu (20-30% pada manusia), dan kecepatan

eliminasinya dapat ditingkatkan secara bermakna dengan jalan alkalinisasi

urin. Hal ini sebagian disebabkan oleh peningkatan ionisasi pada pH basa,

karena fenobarbital adalah asam lemah dengan pKa 7,2. (Katzung, 1997)

2.5.4 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja fenobarbital yang pasti belum diketahui, tetapi

memacu proses peghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Data

menunjukkan bahwa fenobarbital dapat menekan saraf abnormal secara

selektif, menghambata penyebaran, dan menekan pelepasan dari fokus.

Seperti fenitoin, dalam dosis tinggi, fenobarbital dapat menekan melalui

konduksi Na+, lepasnya frekuensi tinggi renjatan saraf yang berulang

dalam kultur. Begitu pula pada konsentrasi tinggi, barbiturat menghambat

arus Ca2+ (tipe L dan M). Fenobarbital terikat pada sisi pengatur alosterik

dari reseptor GABA benzodiazepin, dan memacu arus yang dirangsang

reseptor GABA dengan cara perpanjangan pembukaan saluran Cl-,.

Fenobarbital juga menghambat respon eksitatif yang disebabkan glutamat,

terutama yang diakibatkan oleh aktivasi reseptor AMPA. Dengan kadar

terapi yang relevan, fenobarbital meningkatkan penghambatan melalui

GABA dan reduksi eksitasi melalui glutamat. (Katzung, 1997)

Fenobarbital memiliki aktivitas antiepilepsi, membatasi

penyebaran lepasan kejang di dalam otak dan meningkatkan ambang

serangan epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin

melibatkan potensiasi efek inhibisi dari neuron-neuron yang diperantarai

oleh GABA (asam gama aminobutirat) dosis-dosis yang diperlukan untuk

efek antiepilepsi lebih rendah daripada dosis yang menyebabkan

penekanan saraf pusat yang hebat. (Mycek, 2001)

10

Page 11: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

2.5.5 Penggunaan klinik

Fenobarbital digunakan dalam pengobatan kejang parsial dan

tonik-klinik umum, meskipun obat ini dicoba untuk setiap jenis kejang,

terutama jika serangan sulit dikendalikan. Terdapat sedikit bukti untuk

kemampuannya dalam kejang umum seperti absence, serangan atonik, atau

spasme infantil, dapat juga lebih memperburuk keadaan pasien dengan

jenis kejang tersebut. (Katzung, 1997)

Fenobarbital memberikan 50% respon yang diinginkan untuk

serangan-serangan parsial sederhana tetapi kurang efektif untuk serangan

parsial kompleks. Obat tersebut telah dipandang sebagai pilihan utama

dalam mengobati serangan– serangan epilepsi berulang pada anak-anak

termasuk kejang demam. Namun, fenobarbital dapat menekan kinerja

kognitif pada anak-anak yang diobati untuk kejang demam, dan obat

tersebut harus digunakan secara hati-hati. Fenobarbital juga digunakan

untuk mengobati serangan tonik klonik kambuhan, terutama pada

penderita yang tidak memberikan respon pada kombinasi diazepam dan

fenitoin. Fenobarbital juga digunakan sebagai suatu sedatif ringan untuk

menghilangkan ansietas ketegangan mental dan insomnia, walaupun

bezodiazepin lebih baik. (Mycek, 2001)

2.5.6 Efek Samping

Sedasi, ataksia, nistagmus, vertigo dan reaksi psikotik akut bisa

terjadi pada pemakaian kronis. Mual dan muntah ditemukan seperti juga

ruam morbilifomis pada orang-orang yang peka. Agitasi dan kebingungan

terjadi pada dosis tinggi. Serangan-serangan rebound dapat terjadi pada

penghentian fenobarbital. (Mycek, 2001) \

2.5.7 Interaksi Obat

Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena

fenobarbital meningkatkan aktivitas enzim mikrosomal hati. Kombinasi

dengan asam valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat

40%. (Utama dan Gan, 2007)

11

Page 12: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan bahan

a. Spuit 1 cc

b. Timbangan digital

c. Stopwatch

d. Obat kovulsan strychnine, dosis 3 mg/kg BB i.p dan metrazol dosis 70

mg/kg BB i.p

e. Obat anti konvulsan dilantin dosis 100mg/kg BB i.p dan luminal dosis

50 mg/kg BB i.p

3.2 Binatang percobaan

Binatang yang dipakai adalah mencit dewasa dengan BB ± 30 gr, masing –

masing kelompok mendapat 4 ekor mencit.

3.3 Cara kerja

a. Masing-masing tikus ditimbang dengan menggunakan timbangan

digital

b. Tikus I diberikan striknin dosis 3 mg/kgBB secara i.p dengan

memegang kuduk mencit dan waktu menyuntik kepala mencit

diarahkan kebawah agar jarum suntik tidak mengenai usus, tepat pada

saat penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa

tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 15 menit,

stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus

tersebut mati.

c. Tikus II diberikan metrazol 70 mg/kg BB secara i.p dengan memegang

kuduk mencit dan waktu menyuntik kepala mencit diarahkan kebawah

12

Page 13: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

agar jarum suntik tidak mengenai usus, tepat pada saat penyuntikan

stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang

dan catat jumlah kejang dalam waktu 15 menit, stopwatch harus

dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati.

d. Tikus III diberikan dilantin dosis 100 mg/kg BB secara i.p dengan

memegang kuduk mencit dan waktu menyuntik kepala mencit

diarahkan kebawah agar jarum suntik tidak mengenai usus, tepat pada

saat penyuntikan stopwatch dinyalakan,kemudian tunggu 20 menit dan

kemudian berikan striknin dosis 3 mg/kgBB secara i.p catat pada menit

keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 30

menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus

tersebut mati.

e. Tikus III diberikan dilantin dosis 100 mg/kg BB secara i.p dengan

memegang kuduk mencit dan waktu menyuntik kepala mencit

diarahkan kebawah agar jarum suntik tidak mengenai usus, tepat pada

saat penyuntikan stopwatch dinyalakan,kemudian tunggu 20 menit dan

kemudian berikan striknin dosis 3 mg/kgBB secara i.p catat pada menit

keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 30

menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus

tersebut mati.

f. Tikus III diberikan luminal dosis 50 mg/kg BB secara i.p dengan

memegang kuduk mencit dan waktu menyuntik kepala mencit

diarahkan kebawah agar jarum suntik tidak mengenai usus, tepat pada

saat penyuntikan stopwatch dinyalakan,kemudian tunggu 20 menit dan

kemudian berikan metrazol dosis 70 mg/kg BB secara i.p catat pada

menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam

waktu 30 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit

keberapa tikus tersebut mati.

g. Tikus IV diberikan luminal dosis 50 mg/kg BB secara i.p dengan

memegang kuduk mencit dan waktu menyuntik kepala mencit

diarahkan kebawah agar jarum suntik tidak mengenai usus, tepat pada

13

Page 14: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

saat penyuntikan stopwatch dinyalakan,kemudian tunggu 20 menit dan

kemudian berikan metrazol dosis 70 mg/kg BB secara i.p catat pada

menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam

waktu 30 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit

keberapa tikus tersebut mati.

14

Page 15: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Hasil

OBAT

YANG

DIBERIKA

N

Gejala sebelum konvulsi(menggaruk- garuk)

I II III IV V VI

striknin metrazol Fenobarbital + striknin

Fenobarbital + metrazol

Diazepam + striknin

Diazepam + metrazol

OBAT

YANG

DIBERIKA

N

Waktu timbul konvulsi(menit)

I II III IV V VI

striknin 2,00 2,55 4,00 2,51 3,48 3,26

metrazol 0,07 1,13 2,00 2,00 2,01 4,00

Fenobarbital + striknin

5,00 3,01 5,00

Fenobarbital + metrazol

Diazepam + striknin

4,31 4,00

Diazepam + metrazol

OBAT Tipe konvulsi

15

Page 16: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

YANG

DIBERIKA

NI II III IV V VI

Striknin KS

UC

TS

UC

TS

UC

KSC

TKSC

TKSC

Metrazol TKS

UC

TS

UC

TKS

UC

TKASUC

TS

UC

TKS

UCFenobarbital + striknin

KS

UC

TS

UC

TKS

UCFenobarbital + metrazol

Diazepam + striknin

KSC

KSC

Diazepam + metrazol

Ket.

K : Klonik T : Tonik

S : Simetris AS : Asimetris

C : Coordinated UC : Uncoordinated

OBAT

YANG

DIBERIKA

N

Waktu kematian(menit)

I II III IV V VI

striknin 5,00 3,58 5,00 3,05 4,17 3,52metrazol 1,56 6,06 4,00 7,53 5,00Fenobarbital + striknin

18,37 7,00

Fenobarbital + metrazol

Diazepam + striknin

Diazepam +

16

Page 17: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

metrazol

4.2 Pembahasan

Pada perhitungan waktu mati tikus yang diberikan dengan striknin

saja mengalami kematian cepat karena tidak ada anticonvulsi yang

diberikan untuk melawan efek striknin, sedangkan pada tikus yang diberi

Phenobarbital dan diazepam waktu kematian lebih lama dan karena

terbatasnya waktu praktikum maka tikus II, III, dan IV yang belum mati

sampai menit ke40 diinjeksi striknin kembali.

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat

ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada

hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua

anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan

konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas

lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang

diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan

perabaan, efek selanjutnya adalah kematian pada tikus yang disebabkan

oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan pernapasan.

Striknin ternyata juga merangsang medulla spinalis secara langsung

sehingga konvulsinya disebut juga konvulsi spinal.

Pada tikus yang diberikan metrazol mula kejang cepat, Kejang oleh

metrazol mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas

sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik

epilepsy petit mal pada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya

akan terjadi klonik yang asiknron. Mekanisme kerja utama metrazol ialah

penghambatan system GABA-ergik, dengan demikian akan meningkatkan

17

Page 18: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara langsung masih belum

dapat disingkirkan.

Pada tikus yang diberikan Phenobarbital+striknin mula kejang

cukup lama, hal ini terjadi karena efek Phenobarbital yang membatasi

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang

sehingga striknin tidak memberikan pengaruh besar pada tikus. Kematian

pada tikus ini oleh karena pemberian striknin dengan kadar yang

berlebihan sehingga kerja striknin dapat melampaui kerja Phenobarbital

dan terjadi keracunan striknin.

Pemberian phenobarbital+metrazol pada tikus tidak memberikan

efek, hal ini disebakan oleh karena efek Phenobarbital yang membatasi

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang

sehingga metrazol tidak memberikan pengaruh pada tikus.

Pada tikus yang diberikan diazepam+striknin, Seperti halnya

Phenobarbital diazepam juga merupakan golongan antikonvulsan yang

menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke otak, hal ini juga

menyebabkan pemberian striknin tidak memberikan efek kejang yang

berarti. Pemberian striknin dengan dosis yang berlebihan menyebabkan

terjadinya keracunan striknin sehingga menyebabkan kematian pada tikus.

Pemberian diazepam+metrazol pada tikus tidak memberikan efek

apa-apa karena diazepam mampu menghambat penjalaran neurotransmitter

kejang ke otak, hal ini juga menyebabkan pemberian metrazol tidak

memberikan efek kejang.

18

Page 19: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, didapatkan

kesimpulan:

1. Pemberian striknin pada hewan coba memberikan gejala awal berupa

garuk-garuk pada sebagian besar hewan coba dan efek kejang tonik-klonik

yang simetris terkoordinasi dengan onset yang lebih lama dibandingkan

metrazol namun lebih cepat dibandingkan fenobarbital+striknin, dan

diazepam+metrazol, dan mati dengan waktu tercepat.

2. Pemberian metrazol pada sebagian besar hewan coba tidak memberikan

gejala garuk-garuk, tetapi memberikan efek kejang klonik yang simetris

tidak terkoordinasi pada hewan coba, dengan onset yang lebih cepat

dibandingkan striknin, fenobarbital+striknin, dan diazepam+metrazol, dan

waktu kematian lebih lama dari striknin.

3. Pemberian fenobarbital+striknin pada sebagian besar hewan coba

memberikan gejala garuk-garuk dan efek kejang tonik klonik simetris

tidak terkoordinasi dengan onset dan waktu kematian terlama.

4. Pemberian fenobarbital+metrazol tidak memberikan gejala awal dan efek

kejang.

5. Pemberian diazepam+striknin pada sebagian besar hewan coba tidak

memberikan gejala awal, tetapi memberikan efek kejang klonik simetris

19

Page 20: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

terkoordinasi terus menerus, dengan onset lebih cepat dari

fenobarbital+stiknin, tetapi lebih lambat dibandingkan yang lain.

6. Pemberian diazepam+metrazol pada sebagian besar tidak memberikan

gejala awal dan efek kejang.

5.2 Saran

Adapun saran yang ingin kami sampaikan demi perbaikan praktikum ini

selanjutnya:

1. Perlu diajarkan cara menyuntik/injeksi obat IP sebelumnya yang tepat ke

hewan coba agar hasil percobaan sesuai dengan teori yang ada.

2. Peserta praktikum perlu menjaga suasana ruangan praktikum dari

keributan agar tdak mempengaruhi hasil dari percobaan.

3. Materi praktikum sebaiknya dipersiapkan lebih awal agar mahasiswa

mempunyai waktu untuk mempelajarinya di rumah.

4. Obat dan alat suntik setiap obat sebaiknya disiapkan untuk masing-masing

kelompok agar tidak memperlambat kerja.

20

Page 21: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal.

354-356

Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam :

Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248

Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta, hal. 439-441;

444

Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.

(online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)

Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta,

hal. 90; 149

Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi

dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 179-181; 186; 188

21

Page 22: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

Lampiran

Jawaban pertanyaan-pertanyaan yang terkait praktikum farmakologi obat-

obatan konvulsi dan anti-konvulsi

1. Jelaskan mekanisme strychnine dan metrazol sebagai konvulsan

a. Strychnine

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme

kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah

penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai

transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng

lebih tinggi di SSP. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP.

Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang

khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan

dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda

dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat.

Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang

simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,

penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan

yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga

merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek

striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan

konvulsinya disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

b. Metrazol

22

Page 23: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

Mekanisme kerja utama Pentilentetrazol ialah penghambatan system

GABA-ergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP;

adanya efek perangsangan secara langsung masih belum dapat

disingkirkan. (Louisa dan Dewoto, 2007)

2. Jelaskan mekanisme dilantin dan luminal dalam hal menghambat kejang

akibat strychnine dan metrazol ?

Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan

menaikkan ambang rangsang sehingga striknin tidak memberikan pengaruh

besar pada tikus.

Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan

menaikkan ambang rangsang sehingga metrazol tidak memberikan pengaruh

pada tikus.

Seperti halnya Phenobarbital diazepam juga merupakan golongan

antikonvulsan yang menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke otak,

hal ini juga menyebabkan pemberian striknin tidak memberikan efek kejang

yang berarti.

Diazepam mampu menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke

otak, hal ini juga menyebabkan pemberian metrazol tidak memberikan efek

kejang.

3. Jelaskan mekanisme kerja toksin tetanus dalam menimbulkan kejang ?

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi

bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen

jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,

yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin yang sangat mudah

mudah diikat oleh saraf. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada

sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom.

Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat

ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke

kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.

23

Page 24: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap

susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap

inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi

yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme.

Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter

(trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang

makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai

timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan

mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem

saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan,

metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan

neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,

hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom,

yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala

timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik,

kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan

dikelola dengan teliti. (Ismoedijanto, 2006)

4. Sebutkan dan jelaskan mekanisme kerja antikonvulsan yang dapat

mengatasi kejang tetanus ?

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik

yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan

penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat

diatasi. Contohnya :

Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)

Mekanisme kerja : Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke

reseptornya pada membrane sel akan membuka salutan klorida,

meningkatkan efek konduksi korida. Aliran ion klorida yang masuk

menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik

dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja potensial.

Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari

24

Page 25: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

membrane sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor

benzodiazepine terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan

neuron GABA. Peningkatan benzodiazepine mamacu afinitas reseptor

GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran

klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan

memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron. (Mycek,

2001)

Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)

Mekanisme kerja : sifatnya seperti benzodiazepine, tetapi tidak

menimbulkan anestesi umum.

Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)

Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)

Mekanisme kerja : Mekanisme kerja fenobarbital yang pasti belum

diketahui, tetapi memacu proses peghambatan dan mengurangi

transmisi eksitasi. Data menunjukkan bahwa fenobarbital dapat

menekan saraf abnormal secara selektif, menghambata penyebaran,

dan menekan pelepasan dari fokus. Seperti fenitoin, dalam dosis tinggi,

fenobarbital dapat menekan melalui konduksi Na+, lepasnya frekuensi

tinggi renjatan saraf yang berulang dalam kultur. Begitu pula pada

konsentrasi tinggi, barbiturat menghambat arus Ca2+ (tipe L dan M).

Fenobarbital terikat pada sisi pengatur alosterik dari reseptor GABA

benzodiazepin, dan memacu arus yang dirangsang reseptor GABA

dengan cara perpanjangan pembukaan saluran Cl-,. Fenobarbital juga

menghambat respon eksitatif yang disebabkan glutamat, terutama yang

diakibatkan oleh aktivasi reseptor AMPA. Dengan kadar terapi yang

relevan, fenobarbital meningkatkan penghambatan melalui GABA dan

reduksi eksitasi melalui glutamat. (Katzung, 1997)

Fenobarbital memiliki aktivitas antiepilepsi, membatasi

penyebaran lepasan kejang di dalam otak dan meningkatkan ambang

serangan epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin

melibatkan potensiasi efek inhibisi dari neuron-neuron yang

25

Page 26: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.5

diperantarai oleh GABA (asam gama aminobutirat) dosis-dosis yang

diperlukan untuk efek antiepilepsi lebih rendah daripada dosis yang

menyebabkan penekanan saraf pusat yang hebat. (Mycek, 2001)

26