LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA
PENGARUH KOMBINASI 2,4-D DAN BENZIL AMINO PURIN (BAP) TERHADAP PEMBENTUKAN KALUS PADA EKSPLAN DAUN KENCUR (
Kaemferia galangl L) SECARA IN VITRO
Oleh :
1. ANIS SHOFIYANI, SP.,MP. ( KETUA ) 2. AGUS MULYADI PURNAWANTO, SP., MP ( ANGGOTA)
Dibiayai oleh Kopertis Wilayah VI, Kementrian Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Dosen Muda Dan Studi Kajian Wanita Nomor :
019/006.2/PP/SP/2010, Tanggal 01 Maret 2010
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2010
ii
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
1.a.Judul Penelitian : Pengaruh Kombinasi 2,4-D dan Benzil Amino
Purin (BAP) Terhadap Pembentukan Kalus Pada Eksplan Daun Kencur ( Kaemferia galangal L) Secara In Vitro
b. Bidang Ilmu : Pertanian c. Kategori Penelitian : Pengembangan IPTEKS
2. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap dan Gelar : Anis Shofiyani, SP.,MP. b. Jenis Kelamin : Wanita c. Pangkat/Gol.dan NIK : Penata Tk.I/III C/2160174 d. Jabatan Fungsional : Lektor e. Jabatan Struktural : - f. Fak./P. Studi : Pertanian/Agroteknologi g. Keahlian : Kultur Jaringan
3. Alamat Ketua Peneliti : a. Alamat kantor/Telp/Fax/E-mail : Jl. Raya Dukuhwaluh PO.BOX. 202. Purwokerto 53182. Telp. (0281) 636752 ext. 128 b. Alamat rumah/telp/Fax/E-mail : Perum UMP, jl. Soka Indah no. 4, Karangsoka Banyumas. 53182. Telp/HP : 081391406392 E-mail : [email protected]. 4. Jumlah Anggota Peneliti : 1 orang
a. Nama Anggota Peneliti : 1. Agus Mulyadi P, SP., MP. 5. Lokasi Penelitian : Lab. Kultur Jaringan, UMP 6. Kerjasama dengan Institusi Lain : - 7. Waktu Penelitian : 8 (Delapan ) bulan 8. Biaya yang diperlukan : a. Dinas P&K prov. Jawa Tengah : Rp. 9.500.000,- b. Sumber lain : - Jumlah Rp. 9.500.000,-
(Sembilan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
Purwokerto, 18 September 2010 Mengetahui, Ketua Peneliti Dekan Fakultas Pertanian Ir. Bambang Nugroho, MP Anis Shofiyani, SP.,MP. NIK. 2160154 NIK. 2160174
Mengetahui,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Purwokerto
DR. Tumisem, SPd., MSi, NIK.2160281
iii
Pengaruh Kombinasi 2,4-D dan Benzil Amino Purin (BAP) Terhadap Pembentukan
Kalus Pada Eksplan Daun Kencur ( Kaemferia galangal L) Secara In Vitro
Oleh : Anis Shofiyani dan Agus Mulyadi Purnawanto
RINGKASAN
Penelitian dengan judul ” Pengaruh Kombinasi 2,4-D dan Benzil Amino Purin (BAP) Terhadap Pembentukan Kalus Pada Eksplan Daun Kencur ( Kaemferia galangal L) Secara In Vitro” bertujuan untuk mempelajari pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP terhadap induksi kalus pada eksplan daun kencur, mencari kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP berapa yang memberikan pengaruh terbaik terhadap proliferasi kalus pada eksplan daun kencur serta mengetahui pengaruh interaksi antara 2,4-D dan BAP terhadap peroleh kultur kalus kencur yang pertumbuhannya baik
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan September 2010, dilaksanakan di Laboratorium Kultr Jaringan, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Rancangan yang digunakan adalah Rancanmgan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Variabel pengamatan meliputi : waktu induksi kalus, persentase eksplan yang tumbuh, volume kalus yang tumbuh dari eksplan daun , penampilan kultur secara visual dan persentase kontaminasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D pada kisaran konsentrasi 0 – 2 mg/l medium dan BAP pada kisaran konsentrasi 0 – 0,3 mg/l medium masih belum mampu menginduksi terbentuknya kalus pada eksplan daun kencur selama penelitian. Ketidakmampuan eksplan membentuk kalus disebabkan oleh kadungan fenol yang cukup tinggi di dalam jaringan eksplan serta belum berimbangnya konsentrasi 2,4 D dan Benzil Aminopurin yang dapat menekan sintesis fenol di dalam jaringan penyebab poses pencoklatan dan kematian pada eksplan daun kencur.. Serta belum ditemukan pengaruh interaksi antara 2,4-D dan BAP terhadap peroleh kultur kalus kencur yang pertumbuhannya baik dikarenakan belum diperolehnya perimbangan konsentrasi 2,4 D dan BAP yang tepat untuk induksi kalus pada eksplan daun kencur
iv
Combination Influence 2,4-D and Benzil Amino Purin ( BAP) To Callus Induction At Explants of Koempheria galanga Leaf By In Vitro.
By : Anis Shofiyani and Agus Mulyadi Purnawanto
SUMMARY
Research with the title " Combination Influence 2,4-D and Benzil Amino Purin ( BAP) To Callus Induction At Eksplan of Koempheria galanga Leaf By In Vitro" aim to learn the influence of combination of concentration plant growth regulator 2,4-D and BAP to callus induction at eksplan of Koempheria galanga leaf, searching concentration combination 2,4-D and BAP oh how much giving best influence to proliferasi callus at eksplan of leaf Koempheria galanga and also know the interaction influence between 2,4-D and BAP to obtaining culture of callus Koempheria galanga which its growth good.
This research was conducted from April to September 2010, in Laboratory of Tissue Culture, FKIP, University of Muhammadiyah Purwokerto. The Trial was arranged in Complete Random Design (CRD). Perception variable cover the : time induce the callus, percentage explant growth, callus volume which grow from explants leaf , culture appearance visually and percentage contamination.
Result of research indicate that the Combination of concentration of Plant growth regulator 2,4-D at concentration 0 - 2 mg / l of medium and BAP at] concentration 0 - 0,3 mg / l medium still not yet able to induce formed is callus at eksplan of leaf Koempheria galanga during research. Disability Explants form the callus because of fenol high rate enough in tissue explant and also not yet proportional it concentration 2,4 D and Benzil Aminopurin which can depress the sintesis fenol in tissue of cause of poses of browning and death at explant of koempheria galanga leaf. And also not yet been found by a interaction influence of 2,4-D and BAP to obtaining culture of callus of Koempheria galanga which its growth is good because of not yet obtained of counter balance of concentration 2,4 D and BAP for the induction of callus at explants of Koempheria galanga leaf.
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………. RINGKASAN .................................................................................... SUMMARY ....................................................................................... DAFTAR ISI ………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR………………………………………………… DAFTAR TABEL …………………………………………………… BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………
A. Latar Belakang ......................................................................... B. Perumusan Masalah.................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................ BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN........................ A. Tujuan Penelitian....................................................................... B. Manfaat Penelitian.................................................................... BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN........................................... A. Tempat dan waktu........................................................................... B. Alat dan bahan................................................................................. C. Rancangan percobaan...................................................................... D. Tata Laksana penelitian................................................................... BAB V. Hasil dan Pembahasan............................................................ BAB VI. Kesimpulan dan Saran.......................................................... DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….. Lampiran-lampiran..............................................................................
ii iii iv v vi vii
1 3 4
14 14
15 15 15 16 18 33 34 36
vi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Kontaminasi eksternal dengan sumber kontaminan jamur
dan bakteri serta kontaminasi internal oleh bakteri........... Gambar 2. Proses pencoklatan pada eksplan daun kencur yang
ditanam dalam medium MS induksi kalus dengan modifikasi 2,4 D dan BAP selama penelitian…………
.
20
27
vii
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Konsentrasi 2,4-D dan BAP untuk induksi kalus Tabel 2. Konsentrasi 2,4-D dan BA untuk proliferasi kalus Tabel 3. Rerata waktu Pertama kontaminasi muncul (hari setelah inokulasi) Tabel 4. Persentase media terkontaminasi dari berbagai sumber kontaminasi (%) Tabel 5. Persentase eksplan yang terkontaminasi (%) Tabel 6. Persentase eksplan yang tidak terkontaminasi dan persentase
eksplan yang tumbuh Tabel 7. Persentase eksplan yang terkontaminasi (%) Tabel 8. Persentase media terkontaminasi dari berbagai sumber
kontaminasi (%) Tabel 9. Persentase eksplan yang tidak terkontaminasi dan persentase
eksplan yang tumbuh
15
15
18
20
21
23
24
25
26
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep hidup kembali ke alam (back to nature) saat ini semakin digalakkan
dengan tujuan menekan penggunaan bahan-bahan sintetis (mengingat efek
sampingnya), mengendalikan pola hidup yang konsumtif dan mengoptimalkan potensi
alam yang ada. Salah satu realisasinya adalah penggunaan obat tradisional yang
bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan hal itu dapat diperkirakan bahwa
permintaan obat tradisional baik dalam negeri maupun luar negeri akan meningkat.
Peningkatan tersebut akan dipacu oleh semakin tingginya harga obat sintetis dan
khususnya di Indonesia harganya naik sampai 400 % akibat krisis ekonomi (Ruspandy,
2000 cit Shofiyani, 2003).
Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai obat yaitu kencur (Kaemferia
galangal L) . Kencur banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional (jamu),
fitofarmaka, industri kosmetika,penyedap makanan dan minuman, rempah, serta bahan
campuran saus rokok pada industri rokok kretek. Secara empirik kencur digunakan
sebagai penambah nafsu makan, infeksi bakteri, obat batuk, disentri, tonikum,
ekspektoran, masuk angin, sakit perut karena rimpangnya mengandung antara lain
saponin, flavonoid, fenol serta minyak atsiri ( Syamsuhidayat dan Johnny, 1991).
Minyak atsiri didalam rimpang kencur mengandung etil sinnamat dan metil p-
metoksisinamat yang banyak digunakan didalam industri kosmetika dan dimanfaatkan
sebagai obat asma dan anti jamur. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan
pengembangan pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan
produk akhir yang diinginkan (Otih, et.al. 2005).
Senyawa saponin, flavonoid, fenol serta minyak atsiri yang terkandung di
dalam kencur merupakan hasil metabolit sekunder suatu tanaman (Indrayanto, 1987).
Tanaman obat dan aromatik dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder bernilai
ekonomi tinggi, seperti vinblastina/vinkristinapada tanaman tapak dara (Vinca
rosea),ajmalisina, digitalis (Dioscorea sp),kinina pada tanaman kina Cinchoasp.),
kodeina, yasmin pada tanaman melati (Jasminum sambac), piretrin pada tanaman
Piretrum (Pyrethrum pelargonium) dan spearmint pada tanaman mentha (Mentha sp.),
(Harris, 1989).
2
Dalam kenyataannya, produksi metabolit sekunder dari rimpang kencur untuk
kebutuhan pabrik-pabrik industry sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan
pertumbuhan tanaman di lapang yang ditentukan oleh berbagai factor lingkungan
seperti tanah, nutrisi, iklim serta hama dan penyakit. Salah satu upaya untuk
menghasilkan metabolit sekunder dengan jumlah yang banyak adalah dengan teknologi
kultur jaringan seperti kultur kalus. Kultur in vitro tidak hanya dapat digunakan untuk
konservasi dan perbanyakan tanaman, melainkan dapat juga diterapkan untuk produksi
metabolit sekunder. Melalui teknik ini, produksi metabolit sekunder tidak bergantung
kepada sumber tanaman di lapang.
Kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan kultur kalus. Ada tiga jenis zat pengatur tumbuh yang
dibutuhkan untuk menginduksi pembelahan sel yaitu kelompok auksin yang meliputi
IAA, IBA, NAA dan 2,4 D; kelompok sitokinin dan adenin, meliputi BA, BAP,
DMAA, Ad-SO4 dan kinetin serta kelompok giberelin, yaitu GA3 (George dan
Sherrington, 1984). Pembentukan kalus dapat diinduksi dengan cara mengatur
pemberian zat pengatur tumbuh dengan jenis dan konsentrasi yang tepat.
Senyawa 2,4-D merupakan auksin kuat yang sering digunakan secara tunggal
untuk menginduksi terbentuknya kalus dari berbagai jaringan tanaman (Bhojwani dan
Razdan, 1996). Zat pengatur tumbuh ini juga efektif untuk inisiasi kalus (Nagasawa
dan Finer 1988). Penggunaan kombinasi antara auksin (2,4-D) dengan sitokinin
(Benzyl Adenin ataupun kinetin) akan meningkatkan proses induksi kalus (Litz et al.,
1995). Hasil penelitian pada tanaman hias Alocasia micholitziana (Araceae)
menunjukkan bahwa induksi kalus dapat diperoleh pada kombinasi auksin (2,4- D)
dengan sitokinin (kinetin) dan kalus dapat beregenerasi secara normal pada media yang
diperkaya dengan Benzyl Amino Purin (Thao et al., 2003).
Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa penggunaan 2,4-D dan Benzil
Adenin berpengaruh baik terhadap keberhasilan induksi kalus terhadap berbagai
eksplan tanaman, namun demikian sejauh mana peran kedua zat pengatur tumbuh
tersebut terhadap keberhasilan induksi kalus eksplan daun kencur perlu dikaji lebih
jauh dalam penelitian ini.
3
B. Perumusan Masalah
Perolehan produk metabolit sekunder pada tanaman kencur dapat dilakukan
dengan cara menginduksi jaringan tanaman pada media yang mengandung zat pengatur
tumbuh untuk membentuk kalus. Keberhasilan kultur kalus pada tanaman kencur
sangat tergantung pada keseimbangan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan
sitokinin, antara lain keseimbangan antara 2,4-diklorophenoksiasetat dan N6-
Benzilaminopurin ( BAP). Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengkaji:
a. Bagaimana pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP
terhadap induksi kalus pada eksplan daun kencur?
b. Pada kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP berapa yang memberikan pengaruh
terbaik terhadap induksi kalus pada eksplan daun kencur?
c. Adakah interaksi antara 2,4-D dan BAP terhadap peroleh kultur kalus kencur
yang pertumbuhannya baik ?
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Kultur In-Vitro
Kultur in-vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti
protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam
kondisi aseptik, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi
menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1987). Teknik kultur in-vitro bertitik tolak dari
teori totipotensi. Menurut teori ini setiap sel yang diisolasi dari tanaman induknya
mampu berkembang menjadi individu baru bila ditumbuhkan dalam medium yang
sesuai.
Menurut Tisserat (1987) kultur in-vitro dapat dilaksanakan dengan beberapa
cara, antara lain: kultur embrio, embriogenesis somatik dan organogenesis. Kultur
embrio adalah kultur aseptik dari embrio zigotik (contohnya biji panili). Embriogenesis
somatik adalah produksi struktur seperti embrio dari sel-sel somatis, sedangkan
organogenesis adalah proses pembentukan organ yang berupa teruk, akar, daun atau
bunga.
Menurut George dan Sherrington (1984) pembentukan tunas dapat
dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung. Induksi secara langsung adalah
terbentuknya tunas adventif secara langsung dari potongan jaringan atau organ yang
ditanam. Induksi secara tidak langsung adalah terbentuknya tunas adventif melalui
kalus atau kultur sel.
Menurut Murashige (1974) langkah-langkah propagasi secara in-vitro
dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu : (a) tahap persiapan eksplan, (b) tahap
penggandaan tunas dan (c) tahap pendewasaan calon tanaman, yaitu dengan
merangsang pembentukan akar untuk pertumbuhan tanaman yang lebih cepat.
2.2. Kultur Kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan
yang membelah diri secara terus menerus. Penelitian pembentukan kalus pada jaringan
terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada
jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auxin dan sitokinin endogen (Dodds &
Roberts, 1983 cit Mulyaningsih & A. Nikmatullah 2008). Secara in vivo, kalus pada
umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme
5
seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus
juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984). Kalus yang
diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens disebut tumor.
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi
dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak
dirinya (massa selnya) secara terus menerus.
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang
renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari
potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan
kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular,
parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan
provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk
berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk
plantlet.
Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus
tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh
terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal
dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari
jenis sumber eksplan itu diambel, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau,
kuning kejingga-jingaan (karena adanya pigmen antosianin ini terdapat pada kalus
kortek umbi wortel).
Dalam kultur kalus, kalus homogen yang tersusun atas sel-sel parenkim jarang
dijumpai kecuali pada kultur sel Agave dan Rosa (Narayanaswany (1977 dalam Dodds
& Roberts, 1983). Untuk memperoleh kalus yang homogen maka harus menggunakan
eksplan jaringan yang mempunyai sel-sel yang seragam. Dalam pertumbuhan kalus,
citodiferensiasi terjadi untuk membentuk elemen trachea, buluh tapis, sel gabus, sel
sekresi dan trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari proses hitogenesis
dari kultur kallus. Tanaman kecil dari pembelahan sel-sel membentuk meristemoid
atau nodul vaskular yang nantinya menjadi pusat dari pembentukan tunas apikal,
primordial akar atau embrioid.
Pada umumnya untuk eksplan yang mempunyai kambium tidak perlu
penambahan ZPT untuk menginduksi terbentuknya kalus karena secara alamiah pada
6
jaringan berbambium yang mengalami luka akan tumbuh kalus untuk menutupi luka
yang terbuka. Namun pada jkasus lain, menurut Kordan (1959 dalam Dodds & Robert,
1983) keberadaan kambium di dalam eksplan tertentu dapat menghambat
pertumbuhan kalus bila tanpa penambahan zat pengatur tumbuh eksogen. Penambahan
ZPT tersebut dapat satu macam atau lebih tergantung dari jenis eksplan yang
digunakan. Pembelahan sel di dalam eksplan dapat terjadi tergantung dari ZPT yang
digunakan, seperti: 1) auxin; 2) sitokinin; 3) auxin dan sitokinin dan 4) ekstrak
senyawa organik komplek alamiah.
Berdasarkan kebutuhan akan zat pengatur tumbuh untuk membentuk kalus,
jaringan tanaman digolongkan dalam 4 kelompok:
a. Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin selain gula dan garam-
garam mineral untuk dapat membentuk kalus seperti: umbi artichoke.
b. Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin selain gula dan garam-garam
mineral seperti: empulur tembakau.
c. Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin, hanya gula dan garam-garam
mineral seperti: jaringan kambium.
d. Jaringan yang membentuk hanya sitokinin, gula dan garam-garam mineral
seperti parenkim dan xylem akar turnip.
Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung juga dari:
1. Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi.
2. Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi.
3. Bagian tanamn yang dipakai.
4. Jenis tanaman.
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang
berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis tanaman
yang menghasilkan kalus, meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, Gymnospermae,
pakis dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang
muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus.
Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa
pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di
lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah tetap
7
quiscent. Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas di
lapisan luar dari jaringan kalus, adalah:
a. Ketersesediaan oksigen yang lebih tinggi.
b. Keluarnya gas CO2.
c. Kesediaan hara yang lebih banyak.
d. Penghambat yang bersifat folatik lebih capat menguap.
e. Cahaya.
2.3. Prosedur Produksi Senyawa Metabolik Sekunder Melalui Kultur
Jaringan
Seperti teknik kultur jaringan lainnya, produksi senyawa metabolik sekunder
secara in-vitro juga dilakukan melalui serangkaian tahapan. Di depan telah dijelaskan
bahwa tujuan dari kultur ini adalah untuk mendapatkan kalus, sel atau embrio somatik
dalam tahapan pertumbuhan tertentu dimana pada saat tersebut diproduksi dan dapat
diekstraksi senyawa metabolik sekunder dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
Oleh karena itu, 2 prosedur dasar teknik ini diarahkan pada produksi kalus, sel atau
somatik embrio kemudian optimasi kondisi kultur kalus, sel atau somatik embrio untuk
produksi senyawa metabolik sekunder dalam kuantitas dan kualitas yang tinggi.
Tahapan in-vitro ini dibarengi dengan ekstraksi secara berkala terhadap senyawa
metabolik sekunder yang dihasilkan. Untuk dapat menghasilkan senyawa metabolik
sekunder, prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan eksplan dan sterilisasi
Pada umumnya semua jenis eksplan dapat digunakan untuk produksi senyawa
metabolik sekunder. Bohm (1980) menyatakan bahwa pada umumnya senyawa
metabolik sekunder yang diproduksi oleh organ tanaman yang berbeda umumnya
sama meskipun pada kondisi alamiah senyawa yang dihasilkan oleh masing-masing
organ tersebut berbeda. Meskipun demikian, produksi yang optimal sangat tergantung
pada jenis eksplan yang digunakan. Optimasi jenis dan kondisi eksplan merupakan
tahapan awal dalam produksi senyawa metabolik sekunder. Optimasi ini dibarengi
dengan optimasi teknik sterilisasi eksplan. Sterilisasi eksplan dari organ atau jaringan
tanaman yang diambil dari tanaman di lapangan dapat dilakukan secara kimia
misalnya dengan sodium hypochorite pada konsentrasi 1 – 2 % (v/v). Pada beberapa
8
jenis eksplan, sterilisasi dapat dilakukan dengan cara pembakaran (misalnya untuk
eksplan berupa endosperm atau embrio). Salah satu eksplan yang termasuk sulit
disterilisasi adalah eksplan dari akar atau bagian tanaman lain yang diambil dari
dalam tanah (misalnya tuber). Sterilisasi untuk eksplan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan Mercuri chloride, akan tetapi karena senyawa ini berbahaya bagi
manusia maka akar umumnya diisolasi dari akar steril yang ditumbuhkan secara in-
vitro dengan teknik kultur embrio atau kultur akar.
2. Inisiasi dan proliferasi kalus
Inisisasi kalus dilakukan pada berbagai jenis media. Kalus umumnya diinisiasi
pada media padat. Umumnya ke dalam media ditambahkan hormon tanaman (Plant
Hormon) yang sesuai untuk pertumbuhan dan proliferasi kalus. Hormon tersebut
umumnya adalah 2,4-D atau campuran auksin dan sitokinin dalam proporsi yang
seimbang. Untuk inisiasi dari daun mahkota dewa, misalnya digunakan 2,4-D pada
konsentrasi 5 mg/l sedangkan inisiasi kalus dari akar tapak dara dilakukan pada media
padat dengan penambahan 2 mg/l IAA dan 2 mg/l BAP. Proliferasi kalus dapat
dilakukan pada media dengan konsentrasi hormon yang sama. Proliferasi ini ditujukan
untuk memperoleh kalus dalam jumlah yang memadai.
3. Seleksi lini kalus yang berproduksi tinggi
Umumnya kalus dapat memproduksi senyawa metabolik sekunder setelah
beberapa lama dalam kultur. Meskipun demikian, produktivitas dari kalus tersebut
sangat tergantung pada tahapan pertumbuhannya. Saat produksi dan jumlah senyawa
metabolik sekunder yang dihasilkan oleh masing-masing kalus tersebut berbeda
tergantung dari tingkat pertumbuhan kalus dan kondisi kulturnya. Umumnya produksi
senyawa metabolik sekunder yang tinggi terjadi pada saat kalus sedang dalam
pertumbuhan maksimal yang diperoleh saat pertumbuhan linier. Oleh karena itu
dalam proses produksi senyawa metabolik sekunder dari kalus, sangat penting untuk
mengetahui tahapan peryumbuhan kalus ini. Hal ini dapat dilakukan dengan
pengamatan terhadap pertumbuhannya kemudian membuat grafik pertumbuhan kalus.
Lini kalus yang berproduksi tinggi tersebut kemudian diseleksi untuk kemudian
dikulturkan dalam bentuk kultur agregat sel, kultur sel atau diregenerasikan menjadi
embrio.
9
4. Inisiasi kultur sel, agregat sel atau embrio somatik dan produksi senyawa
metabolik sekunder.
Senyawa metabolik sekunder umumnya diekstraksi dari kultur agregat sel,
kultur sel dan sel suspensi atau kultur embrio somatik. Lini kalus yang terpilih
kemudian di-subkultur-kan ke media untuk produksi senyawa metabolik sekunder.
Pada media ini, konsentrasi hormon tanaman yang ditambahkan umumnya sama atau
lebih rendah dengan kondisi untuk proliferasi kalus.
Produksi senyawa metabolik sekunder dapat dilakukan pada media padat atau
media cair. Senyawa metabolik sekunder dapat diekstraksi langsung dari kalus atau
dari media. Hal ini menyebabkan produksinya pada media padat kurang optimal
karena pada media padat eksudat tersebut sering kali terkumpul pada media di sekitar
eksplan sehingga meracuni kalus. Untuk mengatasi hal ini dilakukan produksi pada
media cair. Lini kalus terpilih di subkulturkan ke media cair. Kumpulan kalus dalam
kultur cair ini disebut sebagai kultur agregat sel, selaian dalam bentuk kelompok,
kalus ini dapat digunakan untuk produksi kultur sel yang kemudian dicairkan
membentuk kultur sel suspensi. Kultur ini umumnya diletakkan di atas alat penggojok
(shaker) untuk menjamin suplai oksigen ke eksplan. Senyawa yang diproduksi oleh
kultur cair ini ada yang harus diekstrak dari sel dan sebagian disekresikan ke media.
Apabila hasil sekresi ini terakumulasi di dalam media, senyawa metabolik bisa
beracun bagi pertumbuhan sel selanjutnya dan dapat menyebabkan kultur mati atau
tumbuh suboptimal. Oleh karena perlu dilakukan subkultur atau ekstraksi senyawa
metabolik sekunder secara berkala.
Selain ekstrasksi dari kultur kalus, kultur sel dan suspensi, beberapa jenis
senyawa metabolik sekunder diproduksi secara optimum dari kalus atau sel yang telah
berdiferensiasi menjadi embryo, baik dalam kultur padat maupun cair (suspensi).
Contohnya adalah produksi flavour dari wortel dan minyak jojoba dari daun
mangkokan.
Pada produksi skala besar telah dikembangkan bioreaktor. Bioreaktor memiliki
volume besar, lebih dari 1 liter media dengan lebih dari 60.000 embryo/kelompok sel.
Bioreaktor yang ditempatkan secara pararel memungkinkan perkembangan sel
menjadi embrio dalam satu unit atau beberapa reaktor. Umumnya sel ditanam dlm
10
media cair dg pengadukan. Pengadukan bisa dilakukan secara mekanis (misalnya
dengan penggojokan, penggunaan alat pengaduk) atau dengan memasukkan udara
steril (gerakan udara) ke dalam bioreaktor.
5. Ekstraksi dan pemurnian senyawa metabolik sekunder
Ekstraksi dapat dilakukan dari kalus, sel atau embrio somatik serta
dari media. Ekstraksi dari media umumnya dilakukan secara berkala dengan interval
waktu 2 hari sekali. Media yang mengandung senyawa metabolik sekunder diambil
secara aseptis dari kultur bersamaan dengan penambahan media baru ke dalam kultur.
Pada saat produksi senyawa metabolik sekunder dari kalus, sel dan embrio somatik ini
mulai menurun, kalus, sel dan embrio somatik ini dikeluarkan dari kultur atau
bioreaktor dan diganti dengan kalus, sel dan embrio baru. Senyawa metabolik
sekunder dari kalus, sel dan embrio baru diekstraksi dengan menggunakan bahan
pengekstrak, seperti alkohol (misalnya methanol) atau DCM. Ekstraksi dari kalus
dilakukan setelah kalus dikeringkan.
E.3. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Kultur Jaringan
Zat Pengatur Tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi rendah
dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi, terutama proses pertumbuhan,
perkembangan dan diferensiasi (Davies, 1987)
Pertumbuhan kultur pada umumnya memerlukan zat pengatur tumbuh dalam
media. Tahap pertumbuhan dan tipe pertumbuhan menentukan jenis dan konsentrasi
zat pengatur tumbuh yang diperlukan. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur
tumbuh yang diberikan ke dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen
menentukan perkembangan suatu kultur. Zat pengatur tumbuh dalam tanaman bekerja
saling berinteraksi sehingga merupakan suatu sistem yang digunakan dalam
perkembangan tanaman, namun pengaruhnya tidak dapat digeneralisasikan. Zat
pengatur tumbuh yang umum digunakan untuk menumbuhkan organ-organ baru dalam
kultur in-vitro adalah golongan auksin dan sitokinin.
3.1.Peranan Auksin
Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempunyai sifat mampu mengatur
berbagai proses yang menyangkut pertumbuhan dan pemanjangan sel. Senyawa auksin
11
yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah senyawa alami IAA dan senyawa
sintetis seperti NAA, IBA dan 2,4-D.
Menurut Jacobsen (1983) auksin berperan dalam mengatur proses-proses di
dalam tanaman sebagai berikut: (a) dormansi apikal, (b) pemanjangan sel-sel pada akar
dan tunas (dengan konsentrasi di akar jauh lebih rendah daripada di tunas), (c)
Ekstrusi ion H+ dan perubahan permaebilitas plasma lema, (d) pembentukan etilen, (e)
induksi pembentukan akar-akar adventif, (f) meningkatkan laju respirasi, (g)
menginduksi pertumbuhan sel yang tidak teratur pada konsentrasi tinggi (efek
herbisidal), (h) penghambatan pembentukan embrio pada kultur suspensi, (i)
pembelahan mitosis yang tidak teratur dalam kultur jangka panjang.
Secara alami beberapa eksplan memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup,
tetapi kebanyakan memerlukan tambahan auksin dari luar, seperti auksin yang tidak
stabil, misalnya IAA dalam konsentrasi rendah. Penambahan auksin dalam konsentrasi
yang lebih tinggi atau penambahan auksin yang lebih stabil seperti NAA atau 2,4-D
cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat
regenerasi tanaman.
Menurut Gunawan (1988) pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan
tanaman diduga melalui dua cara, yaitu :
a. Menginduksi sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding
sel menyebabkan ion K+ diambil, pengambilan ini mengurangi potensial air
dalam sel, akibatnya air masuk ke dalam sel dan sel membesar.
b. Mempengaruhi metabolisme RNA, yang berarti mempengaruhi metabolisme
protein melalui yang translasi molekul RNA.
Salah satu jenis auksin yang dapat digunakan dalam kultur kalus 2,4-D. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa media dengan penambahan 2,4-D 0,5 ppm + pikloram
1,0 ppm) adalah media terbaik untuk induksi kalus pada kultur in vitro tanaman
purwoceng (Roostika, et.al. 2006), sedangkan pada eksplan korteks wortel yang
ditanam pada media dasar 'white', sukrosa dan 2.4-D membentuk massa kalus
(Jenimar, 2004). Media terbaik untuk induksi dan regenerasi kalus menjadi planlet
pada tanaman nilam adalah media MS dengan penambahan BA 0.1 mg 1 -1 dan 2,4-D
1.0 mg l -1 .
12
3.2.Peranan Sitokinin
Sitokinin merupakan senyawa yang memiliki sifat merangsang pembelahan sel-
sel atau sitokinesis dalam pertumbuhan. Menurut Jacobsen (1983) dalam kultur
jaringan sitokinin berperan sebagai : (a) perangsang pembelahan sel dan (b)
penginduksi pembentukan tunas. Sitokinin disentesis pada sel-sel yang masih aktif
membelah terutama pada ujung akar (Davies, 1987).
Terdapat tiga jenis sitokinin yang sering kali digunakan dalam kultur jaringan,
yaitu kinetin, BA dan 2.i P. Efektivitas masing-masing zat pengatur tumbuh terhadap
kultur meristem, kultur pucuk , kultur mata tunas dan kultur biji secara berturut-turut
yang tertinggi adalah BA, kinetin dan 2.i P. (Hu dan Wang, 1983). Efektivitas yang
tinggi dari BA dalam meningkatkan pembentukan tunas menurut Zaerr dan Mapes
(1985) diduga terletak pada kemampuannya pada jaringan untuk memetabolisir
hormon alami lebih cepat dibandingkan hormon sintetis lainya, juga diduga mampu
merangsang diproduksinya hormon alami seperti zeatin dalam jaringan dan akhirnya
bekerja melalui sistem hormon alami dalam menginduksi organogenesis.
Menurut Davied (1982) BAP sangat efektif dalam proses morfogenesis dan
merupakan faktor kritis dalam multiplikasi pembentukan tunas. Hal ini didasarkan
pada studinya dalam multiplikasi tunas Pines pinaster secara in-vitro. Chiek (1992)
menggunakan BAP pada konsentrasi 0,1-0,5 mg/l untuk merangsang pembentukan
tunas majemuk pada eksplan tunas nangka (Artocarpus heterophyllus).
Hasil penelitian Udarno dan Hadipoentyanti (2001) menunjukkan bahwa
penambahan zat pengatur tumbuh BA pada medium MS dapat merangsang proliferasi
eksplan panili hibrida untuk membentuk tunas majemuk (multiplikasi). Penambahan
BA 0,5 mg/l pada media MS memberikan hasil terbaik untuk jumlah tunas dan jumlah
daun masing-masing 20 tunas dan 14 daun. Sedangkan BA 2,0 mg/l memberikan
pengaruh terbaik dalam tinggi tunas sebesar 20 cm. Sedangkan hasil penelitian
Seswita, et al.,( 2001) penambahan BA 2,5 mg/l pada media MS memperlihatkan hasil
terbaik untuk multiplikasi tunas panili vania 1 dengan jumlah tunas yang terbentuk
sebanyak 9,6 dan tinggi tunas 1,35 cm.
13
E.4. Peranan NAA dan BAP dalam Morfogenesis
Morfogenesis adalah proses pembentukan organ-organ baru yang semula tidak
terdapat pada eksplan, maka morfogenesis disebut juga organogenesis. Morfogenesis
dapat berupa pembentukan tunas-tunas (kaulogenesis) atau pembentukan akar
(rhizogenesis).
Auksin dan sitokinin dapat menginduksi proses pembentukan kalus, tunas atau
akar dari eksplan. Hal ini tergantung pada jenis dan konsentrasi auksin dan sitokinin
yang digunakann dan respon dari jenis tanaman yang dikulturkan. Banyak hasil
penelitian tentang penggunaan auksin dan sitokinin yang dapat memacu proses
morfogenesis dalam usaha perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan. Hasil
penelitian Kadir (2007), menunjukkan bahwa media terbaik untuk induksi dan
regenerasi kalus menjadi planlet pada tanaman nilam adalah media MS dengan
penambahan BAP 0.1 mg 1 -1 dan 2,4-D 1.0 mg l -1 .
14
BAB. III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP
terhadap induksi kalus pada eksplan daun kencur.
2. Mencari kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP berapa yang memberikan pengaruh
terbaik terhadap proliferasi kalus pada eksplan daun kencur.
3. Mengetahui pengaruh interaksi antara 2,4-D dan BAP terhadap peroleh kultur
kalus kencur yang pertumbuhannya baik
B. MANFAAT PENELITIAN
Induksi kalus pada eksplan daun kencur dengan perlakuan kombinasi dan
konsentrasi 2,4-D dan BAP sangat diperlukan untuk mengasilkan kalus yang akan
digunakan dalam produksi metabolit sekunder.
Dengan berhasilnya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh metode yang
tepat untuk perbanyakan kalus dengan menggunakan eksplan daun kencur, dengan
demikian diperoleh metode yang lebih mudah dan cepat dalam menghasilkan produk
metabolit sekunder dalam jumlah banyak, dan dalam waktu singkat pada sekala
laboratorium..
15
BAB. IV
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto, waktu penelitian diperkirakan 8 (delapan)
bulan.
B. Alat dan Bahan
Laminair air flow cabinet (LAF); botol kultur; timbangan analitis; skalpel dan
blade; pinset; pH meter; lampu spirtus; gelas ukur; batang pengaduk; otoklaf; lemari
es; 2,4-D; BAP; alkohol; alumunium foil; HgCl2; aquades; asam sulfat; agar; sukrosa;
CaCl2.2H2O; CoCl2.6H2O; CuSO4.5H2O; FeSO4.7H2O; Glisin; H3BO3; KH2PO4; KI;
MgSO4.7H2O; MnSO4.4H2O; Myoinositol; Na2EDTA; NaMoO4.2H2O; NH4NO3;
Asam Nikotinat; Piridoksin-HCl; Thiamin-HCl; Sukrosa; ZnSO4.7H2O, Kaporit,
Kloroc.
C. Rancangan Percobaan
Perlakuan untuk induksi kalus dan proliferasi kalus terdiri atas dua faktor yaitu
konsentrasi 2,4-D dan BAP. Kombinasi perlakuan untuk induksi kalus dapat dilihat
pada tabel 1, sedangkan kombinasi perlakuan untuk proliferasi kalus dilihat pada table
2. Semuanya disusun acak dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga ulangan,
dan setiap unit perlakuan menggunakan 5 botol kultur.
Tabel 1. Konsentrasi 2,4-D dan BAP untuk induksi kalus BAP (mg/l)
2,4-D(mg/l) 0 0,1 0,2 0,3
0 D0B0 D0B1 D0B2 D0B3 0,5 D1B0 D1B1 D1B2 D1B3 1 D2B0 D2B1 D2B2 D2B3 1,5 D3B0 D3B1 D3B2 D3B3 2 D4B0 D4B1 D4B2 D4B3
16
Tabel 2. Konsentrasi 2,4-D dan BA untuk proliferasi kalus BAP (mg/l)
2,4-D(mg/l) 0 0,1 0,2 0,3
0 D0B0 D0B1 D0B2 D0B3 1 D1B0 D1B1 D1B2 D1B3 2 D2B0 D2B1 D2B2 D2B3 3 D3B0 D3B1 D3B2 D3B3 4 D4B0 D4B1 D4B2 D4B3
D. Tata Laksana Penelitian
D.1 Sumber dan Steriliasi Eksplan
Bahan yang akan digunakan sebagai eksplan adalah daun kencur. Penyediaan
eksplan dilakukan dengan cara mengambil potongan daun dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm
dari daun yang sudah terpilih dan disterilisasikan. Sterilisasi akan dilakukan dengan
cara merendam dalam 70% etanol selama 5, 10 dan 15 menit. Kemudian direndam
dalam 30%, 40% dan 50% bayclin selama 5 selanjutnya dibilas dengan akuades steril 3
kali. Hasil kultur dari variasi konsentrasi alcohol dan bayclin dan lama waktu
perendaman yang tidak menyebabkan kematian jaringan dan tidak menyebabkan
terjadinya kontaminasi akan digunakan untuk metode sterilisasi eksplan yang akan
digunakan untuk penelitian selanjutnya.
D.2 Induksi kalus dan Proliferasi Kalus
Untuk menginduksi pembentukan kalus dari eksplan yang ditanam dilakukan
pada medium dasar MS dengan penambahan 2,4-D 0 - 2 mg/l medium dan BAP 0 -
0,3 mg/l medium seperti tampak pada Tabel 1, dan medium proliferasi kalus
menggunakan medium dasar MS dengan penambahan 2,4-D 0 – 4 mg/l medium dan
BAP 0 – 0,3 mg/l medium.
Induksi kalus dilakukan dengan cara menanam eksplan dalam medium induksi
tunas. Selanjutnya ditentukan medium yang paling banyak menginduksi pembentukan
kalus setelah delapan minggu kultur. Proliferasi kalus dilakukan dalam medium
ploriferasi (tabel 2) dengan tujuan untuk memperbanyak kalus yang sudah didapatkan
dari medium induksi tunas.
D.3. Variabel yang diamati
17
Variabel yang diamati meliputi waktu induksi kalus, persentase eksplan yang
tumbuh, volume kalus yang tumbuh dari eksplan daun , penampilan kultur secara
visual dan persentase kontaminasi.
D.4. Analisis lanjutan
Pengaruh 2,4-D dan BAP terhadap induksi kalus di uji dengan analisis of
varian (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95%. Jika uji ANOVA menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan “Duncan’s New
Multiple Range Test (DNMRT)” pada tingkat kepercayaan 95 %. Uji statistik
dilakukan dengan menggunakan program “Statistica for Windows Release 5 Statsoft,
Inc. 1995”.
18
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. 1. Penanaman Eksplan Tahap Pertama
Penelitian yang dilaksanakan secara umum berjalan dengan baik, namun
demikian dalam penelitian ini dilakukan penyediaan bahan tanam dari rimpang kencur
yang berulang-ulang untuk mendapatkan eksplan yang sesuai dengan harapan.
Penyediaan bahan tanam berupa tunas kencur dengan daun yang sudah membuka dari
rimpang kencur memiliki kendala tertentu diantaranya kondisi/keadaan rimpang
kencur sebagai bahan baku serta kondisi lingkungan selama pengecambahan rimpang
untuk mendapatkan tunas kencur yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Beberapa kendala dihadapi dalam rangka penyediaan bahan tanam yang sesuai
untuk eksplan diantaranya proses penyediaan bahan tanam berupa daun kencur dari
rimpang kencur yang sudah terpilih. Proses perkecambahan pertama mengalami
kegagalan total, dimana tunas kencur tidak dapat tumbuh dari rimpang kencur yang
kami gunakan. Kegagalan perkecambahan rimpang kencur lebih disebabkan karena
kondisi lingkungan tempat perkecambahan rimpang dan kondisi rimpang yang kurang
baik. Kondisi iklim mikro tempat rimpang dikecambahkan dalam kondisi kelembaban
yang cukup tinggi, menyebabkan rimpang kencur banyak yang terserang jamur.
Sebagian besar rimpang ditumbuhi jamur dengan hifa yang berwarna putih.
Perkembangan jamur cukup tinggi, sehingga bahan tanam pada tahap ini tidak kami
gunakan untuk eksplan pada tahapan berikutnya. Kondisi bahan tanam yang tidak baik
dan terserang patogen dikhawatirkan akan menyebabkan kontaminasi yang cukup
tinggi pada kultur in vitro yang dilakukan.
Pembibitan kedua terhadap rimpang kencur dilakukan kembali pada bulan Mei
2009. Setiap 3 hari sekali kondisi rimpang diamati untuk mendeteksi pertumbuhan
jamur pada rimpang. Pertumbuhan tunas kencur terjadi sekitar umur 12 hari setelah
tanam. Sebagian rimpang terserang jamur dengan hifa yang berwarna putih, dan
sebagian lagi dapat tumbuh dengan baik. Rimpang yang terserang jamur diisolasi dan
dibuang agar tidak menulari rimpang yang lainnya. Pada penanaman tahap kedua ini
sebagian rimpang yang berkecambah dan menghasilkan daun yang sempurna
digunakan sebagai eksplan untuk penanaman selanjutnya dalam media MS.
19
Eksplan yang digunakan dari pembibitan eksplan kedua menunjukkan tingkat
kontaminasi yang masih cukup tinggi. Kontaminasi Eksternal maupun kontaminadi
internal masih terjadi dengan menggunakan eksplan pada penanaman rimpang kencur
tahap kedua ini. Kontaminasi eksternal pada eksplan didominasi oleh jamur, sedangkan
untuk kontaminasi internal cenderung disebabkan oleh bakteri internal.
.
a. Pembibitan ke-2 b. Pembibitan ke-3
Gambar 1. Pembibitan rimpang kencur
A.2. Hasil pengamatan penanaman tahap pertama
1. Waktu Pertama Kontaminasi Tumbuh
Hasil pengamatan waktu pertama kontaminasi muncul menunjukkan bahwa
rerata waktu pertama kontaminasi muncul menunjukkan variasi waktu yang beragam.
Dalam pengamatan ini asal kontaminasi berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan
sampai sumber kontaminasi muncul dalam media. Waktu yang dibutuhkan bervariasi
dengan waktu yang singkat ( kurang dari 7 hari) hingga membutuhkan waktu cukup
lama ( lebih dari 10 hari) hingga kontaminasi muncul.
Dari variasi waktu tersebut, dalam pengamaan waktu pertama kontaminasi
muncul dibagi menjadi 2 (dua) kelompok sumber kontaminasi yaitu kontaminasi
Eksternal (waktu pertama kontaminasi muncul kurang dari 10 hari) dan kontaminasi
internal ( waktu pertama kontaminasi muncul lebih dari 10 hari). Data hasil
pengamatan waktu pertama kontaminasi muncul dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.
20
Tabel 3. Rerata waktu Pertama kontaminasi muncul (hari setelah inokulasi) Perlakuan Sterilisasi Kontaminasi
Eksternal Kontaminasi Internal
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 5’ 6,6 18 Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’
7,5 16,5
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’ 4,5 14 Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’
7 16,75
Alkohol 70% selama 15’ 7 16,5 Bayclin 20% selama 15’ 7,5 16 Rerata 6,68 97,75
Dari data di atas terlihat bahwa waktu pertama kontaminasi muncul dari
masing-masing perlakuan sterilisasi menunjukkan perlakuan ( perendaman dalam
Bayclin 20% selama 10 menit dilanjutkan perendaman dalam alkohol 70% selama 10
menit) menunjukkan tidak terjadi kontaminasi eksternal. Perlakuan ( Bayclin 2 %
selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’) memberikan rerata waktu 4,5 hari, perlakuan (
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 5’) memberikan rerata waktu 6,6 hari,
perlakuan S4 ( Bayclin 20% selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’) dan (
perendaman dalam Alkohol 70% selama 15 menit) selama 7 hari, sedangkan perlakuan
( Bayclin 20% selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’) dan ( Bayclin 20% selama 15’)
memberikan rerata waktu 7,5 hari.
Sedangkan untuk kontaminasi internal rerata waktu pertama kontaminasi
muncul pada masing-masing perlakuan menunjukkan variasi waktu antara 14 hari – 18
hari setelah inokulasi/tanam. Perlakuan ( perendaman dalam bayclin 20% selama 5’ +
Alkohol 70% selama 5’) menunjukkan rerata waktu pertama kontaminasi muncul 18
hari; ( perendaman dalam bayclin 20% selama 10’ dilanjutkan dengan perendaman
dalam alkohol 70% selama 10’) selama 16,75 hari; ( Bayclin 20% selama 10’ +
Alkohol 70% selama 5’) dan ( perendaman dalam alkohol 70% selama 15’) selama
16,5 hari ; ( Bayclin 20% selama 15’) selama 16 hari dan ( Bayclin 2 % selama 5’ +
Alkohol 70% selama 10’) selama 14 hari.
Dari data tersebut terlihat bahwa perlakuan ( perendaman dalam bayclin 20%
selama 10’ dilanjutkan dengan perendaman dalam alkohol 70% selama 10’) dan (
perendaman dalam alkohol 70% selama 15’) memberikan pengaruh yang terbaik
terhadap proses sterilisasi pada eksplan dalam rangka menghilangkan mikroorganisme
21
penyebab kontaminasi eksternal baik yang disebabkan oleh jamur maupun bakteri.
Namun demikian perlakuan ini masih belum mampu menghilangkan kontaminasi yang
disebabkan oleh sumber kontaminan internal yang terbawa dari bahan tanam /eksplan
yang digunakan.
2. Sumber Kontaminasi
Pengamatan terhadap sumber kontaminasi pada penelitian ini menunjukkan
bahwa sumber kontaminan pada media disebabkan oleh jamur maupun bakteri.
Kontaminasi berasal dari kontaminan eksternal baik berupa jamur maupun bakteri,
ataupun kontaminan internal yang pada umumnya berasal dari baktreri yang tumbuh di
dalam jaringan tanaman. Sumber kontaminan yang menyerang dapat dilihat pada tabel
4 berikut ini.
Tabel 4. Persentase media terkontaminasi dari berbagai sumber
kontaminasi (%)
Perlakuan Sterilisasi Eksternal Internal Jamur Bakteri Jamur Bakteri
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 5’
50 10 0 10
Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’
30 20 0 20
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’
50 20 10 0
Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’
0 20 0 40
Alkohol 70% selama 15’ 10 0 0 40 Bayclin 20% selama 15’ 10 40 0 30 Rerata 25 18,33 1,6 23,33
Dari data diatas dapat terlihat bahwa perlakuan sterilisasi ( bayclin 20% selama
5’ + alkohol 70 % selama 5’) dan ( Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama
10’) menyebabkan kontaminasi eksternal dari sumber kontaminan jamur yaitu masing-
masing sebanyak 50%, perlakuan (Bayclin 20% selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’)
menyebabkan kontaminasi dari sumber kontaminan jamur sebanyak 30%, perlakuan (
Alkohol 70% selama 15 ’) dan ( Bayclin 20 % selama 15’) masing-masing
kontaminasi oleh jamur sebanyak 10%, sedangkan perlakuan ( Bayclin 20% selama
10’ + Alkohol 70% selama 10’) mampu menghambat pertumbuhan jamur.
22
a. Kontaminasi jamur b. Kontaminasi bakteri c. Kontaminasi Bakteri
Gambar 2. Kontaminasi eksternal dengan sumber kontaminan jamur dan bakteri (gambar a dan b) serta Kontaminasi internal oleh bakteri ( gambar c) Sumber kontaminansi yang disebabkan oleh bakteri terlihat pada perlakuan (
Bayclin 20% selama 15’) menunjukkan persentase terbanyak yaitu 40% kontaminasi
yang disebabkan oleh bakteri eksternal, perlakuan ( Bayclin 20% selama 10’ +
Alkohol 70% selama 5’); ( Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’) dan (
Bayclin 20% selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’) masing-masing sebanyak 20%
kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri, ( bayclin 20% selama 5’ + alkohol 70 %
selama 5’) sebanyak 10 %, sedangkan ( Alkohol 70% selama 15 ’) tidak menimbulkan
kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri eksternal.
Perkembangan kontaminan internal untuk masing-masing perlakuan
menunjukkan hanya perlakuan ); ( Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama
10’) yang masih dapat menimbulkan kontaminasi internal yang disebabkan oleh jamur,
sedangkan perlakuan lainnya ternyata masih menyebabkan timbulnya kontaminasi
internal yang disebabkan oleh bakteri, dengan hasil yaitu perlakuan (Bayclin 20%
selama 5’ + Alkohol 70% selama 5’)sebanyak 10%, (Bayclin 20 % selama 10’ +
Alkohol 70% selama 5’) sebanyak 20 %, ( Bayclin 20% selama 15’) sebanyak 30 %
,serta perlakuan sterilisasi ( Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’) dan
(Alkohol 70% selama 15’) masing-masing sebanyak 40% kotaminasi internal yang
disebabkan oleh bakteri.
3. Persentase Kontaminasi
Pengamatan terhadap persentase eksplan yang terkontaminasi dalam penelitian
ini menunjukkan bahwa secara umum persentase kontaminasi masih diatas 50%,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
23
Tabel 5. Persentase eksplan yang terkontaminasi (%)
Perlakuan Sterilisasi Persentase Kontaminasi
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 5’ 70 Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’ 70 Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’ 80 Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’ 60 Alkohol 70% selama 15’ 50 Bayclin 20% selama 15’ 80 Rerata Kontaminasi 68,33
Dari tabel 5 diatas terlihat bahwa perlakuan ( Alkohol 70% selama 15 ’)
menunjukkan persentase kontaminasi terrendah yaitu hanya 50%, perlakuan ( Bayclin
20% selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’) sebanyak 60%, perlakuan ( bayclin 20%
selama 5’ + alkohol 70 % selama 5’) dan ( Bayclin 20% selama 10’ + Alkohol 70%
selama 5’) sebanyak 70%, sedangkan perlakuan ( Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol
70% selama 10’) dan ( Bayclin 20% selama 15’) menunjukkan persentase kontaminasi
tertinggi yaitu sebanyak 80%.
4. Persentase Eksplan yang tumbuh
Pengamatan persentase eksplan yang tumbuh dapat dilihat pada tabel 6.dibawah
ini.
Tabel 6. Persentase eksplan yang tidak terkontaminasi dan persentase eksplan yang tumbuh
Perlakuan Sterilisasi Persentase eksplan tidak terkontaminasi (%)
Persentase eksplan tumbuh (%)
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 5’
30 0
Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’
30 0
Bayclin 20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’
20 0
Bayclin 20 % selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’
40 0
Alkohol 70% selama 15’ 50 0 Bayclin 20% selama 15’ 20 0 Rerata 31,66 0
24
Dalam tabel 6 diatas persentase eksplan yang tidak terkontaminasi pada
masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan ( Alkohol 70% selama 15 ’)
menunjukkan persentase eksplan tidak terkontaminasi tertinggi yaitu sebesar 50%;
perlakuan ( Bayclin 20% selama 10’ + Alkohol 70% selama 10’) sebanyak 40%,
perlakuan ( bayclin 20% selama 5’ + alkohol 70 % selama 5’) dan ( Bayclin 20%
selama 10’ + Alkohol 70% selama 5’) sebanyak 30%, sedangkan perlakuan ( Bayclin
20% selama 5’ + Alkohol 70% selama 10’) dan ( Bayclin 20% selama 15’)
menunjukkan persentase eksplan yang tidak terkontaminasi terrendah yaitu sebanyak
20%.
Sedangkan persentase eksplan yang tumbuh dari eksplan yang tidak
terkontaminasi menunjukkan tidak adanya eksplan yang mampu tumbuh pada media
yang digunakan dengan perlakuan sterilisasi tersebut.
Gambar 4. Eksplan yang tidak terkontaminasi umur 20 hst
Dari data yang disajikan diatas dengan perlakuan sterilisasi eksplan berupa
kombinasi sterilan etanol dan Bayclin dengan variasi lama perendaman yang berbeda
Masih menunjukkan tingginya kontaminasi pada eksplan yang ditumbuhkan dalam
medium MS. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan metode sterilisasi melalui
proses perendaman eksplan daun kencur dalam 70 % etanol selama 5, 10 dan 15 menit
yang dikombinasikan dengan perendaman dalam Bayclin dengan konsentrasi 30%,
40% dan 50% masih belum mampu secara efektif menghilangkan sumber kontaminan
berupa jamur maupun bakteri dari ekplan yang kita gunakan. Selain itu ternyata
eksplan yang diinokulasi ke dalam medium MS untuk induksi kalus tidak
menunjukkan pertumbuhan kalus sesuai dengan yang diharapkan. Dari kenyataan
tersebut pengujian dilakukan kembali dengan mengubah metode sterilisasi yang
digunakan, dengan tujuan untuk mengurangi kontaminasi dan merangsang
pertumbuhan eksplan untuk membentuk kalus dalam medium MS dengan modifikasi
25
penggunaan 2,4 D dan BAP yang bertujuan untuk menginduksi kalus dari eksplan daun
kencur yang digunakan..
B.1. Penanaman eksplan tahap ke dua
Penggunaan eksplan dari pembibitan rimpang kencur yang kedua masih
menunjukkan tingkat kontaminasi eksternal maupun internal yang cukup tinggi pada
penelitian ini. Untuk mengurangi tingkat kontaminasi yang kemungkinan akan terjadi
pada inokulasi eksplan selanjutnya maka dilakukan pengujian kembali dengan
menanam eksplan dari pembibitan ketiga.
Pada pembibitan ketiga ini, rimpang sebagai bahan tanam dipilih yang memiliki
kualitas yang baik. Rimpang benar-benar dipilih dengan kriteria ukuran maupun visual
yang cukup baik. Rimpang ditumbuhkan dalam media yang terlebih dahulu melalui
proses sterilisasi dengan pemanasan selama kurang lebih satu jam. Media tanam
berupa pakis steril yang telah diremukkan, dengan tujuan agar tunas dapat tumbuh
dengan baik. Selain itu untuk mengurangi resiko kontaminasi rimpang oleh jamur
selama perkecambahan.
Masih tingginya tingkat kontaminasi pada penanaman tahap pertama dengan
metode streilisasi menggunakan sterilan berupa etanol 70% dengan lama perendaman
pada kisaran 5, 10 dan 15 menit yang dikombinasikan dengan perendaman dalam
larutan Bayclin dengan konsentrasi 30%, 40% dan 50 % selama 5 menit menunjukkan
perlakuan sterilisasi yang digunakan masih belum efektif menghilangkan sumber
kontaminan berupa jamur dan bakteri.
Pengujian berupa penanaman tahap kedua dengan memodifikasi metode
sterilisasi dilakukan dalam upaya untuk menurunkan tingkat kontaminasi eksplan yang
disebabkan oleh jamur dan bakteri serta merangsang pertumbuhan eksplan sesuai
dengan perlakuan yang digunakan. Pada penanaman tahap kedua metode sterilisasi
yang digunakan adalah berupa perendaman eksplan dalam alkohol 70 % selama 5
menit dilanjutkan dengan perendaman eksplan dalam larutan kaporit dengan
konsentrasi 1 gram/100 ml air selama 5 menit.
Eksplan yang diperoleh dari pembibitan ke tiga ini menunjukkan hasil yang
sangat baik. Tingkat kontaminasi eksternal maupun internal mengalami penurunan
dibandingkan pada penggunaan eksplan dari pembibitan kedua. Kontaminasi eksternal
26
maupun internal yang disebabkan oleh jamur maupun bakteri sangat rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan yang intensif pada tahap awal penyediaan eksplan
memberikan tingkat kontaminasi yang rendah.
B.2. Hasil Pengamatan Penanaman Eksplan tahap kedua
1. Persentase Kontaminasi
Pengamatan terhadap persentase eksplan yang terkontaminasi dalam penelitian
ini menunjukkan bahwa secara umum rata-rata persentase kontaminasi pada masing-
masing perlakuan masih dibawah 30 %, seperti terlihat pada tabel 7 di bawah ini.
Dari tabel 7 diatas terlihat bahwa perlakuan sterilisasi menggunakan alkohol
70% selama 5 menit dilanjutkan Perendaman eksplan kedalam larutan kaporit dengan
konsentrasi 1 g/100 ml air menunjukkan rerata tingkat persentase kontaminasi sebesar
22,2 %. Hasil ini menunjukkan persentase kontaminasi yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan perlakuan sterilisasi sebelumnya yang rata-rata menunjukkan
persentase kontaminasi sebesar 68,33%.
Tabel 7. Persentase eksplan yang terkontaminasi (%)
Perlakuan Persentase Kontaminasi D0B0 22,2 D0B1 33,3 D0B2 11,1 D0B3 22,2 D1B0 11,1 D1B1 33,3 D1B2 11,1 D1B3 11,1 D2B0 22,2 D2B1 33,3 D2B2 11,1 D2B3 22,2 D3B0 22,2 D3B1 44,4 D3B2 33,3 D3B3 22,2 D4B0 33,3 D4B1 11,1 D4B2 11,1 D4B3 22,2 Reratal 22,2
27
2. Sumber Kontaminasi
Pengamatan terhadap sumber kontaminasi pada penanaman kedua
menunjukkan bahwa sumber kontaminan pada media disebabkan oleh jamur maupun
bakteri baik eksternal maupun internal. Kontaminasi lebih banyak disebabkan oleh
bakteri internal yang tumbuh di dalam jaringan tanaman. Sumber kontaminan yang
menyerang dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa perlakuan sterilisasi dengan menggunakan
alkohol 70% selama 5 menit dilanjutkan perendaman eksplan kedalam larutan kaporit
dengan konsentrasi 1 g/100 ml air menunjukkan sumber kontaminan yang
mendominasi kontaminasi pada penelitian ini adalah bakteri internal, kemudian jamur
eksternal yang berasal dari media tanam maupun dari eksplan itu sendiri. Munculnya
sumber kontaminan di dalam medium MS yang digunakan berkisar pada 12-20 hari
setelah eksplan diinokulasi/ditanam.
Tabel 8. Persentase media terkontaminasi dari berbagai sumber kontaminasi (%)
Perlakuan Eksternal Internal Jamur Bakteri Jamur Bakteri D0B0 11,1 11,1 D0B1 22,1 11,1 D0B2 11,1 D0B3 11,1 11,1 D1B0 11,1 D1B1 11,1 11,1 11,1 D1B2 11,1 D1B3 11,1 D2B0 11,1 11,1 D2B1 22,1 11,1 D2B2 11,1 D2B3 22,2 D3B0 22,2 D3B1 11,1 33,3 D3B2 22,2 11,1 D3B3 11,1 11,1 D4B0 11,1 22,2 D4B1 11,1 D4B2 11,1 D4B3 22,2 Rerata 9,44 1,11 11,1
Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode sterilisasi yang digunakan sudah
cukup efektif untuk mengurangi bahkan menghilangkan sumber kontaminan dari
28
eksplan khususnya untuk kontaminan berupa jamur dan bakteri eksternal. Tingginya
kontaminasi yang disebabkan oleh jamur ekternal bukan dari eksplan yang digunakan
namun lebih berasal dari spora jamur yang berasal dari lingkungan tempat inkubasi
eksplan yang mungkin kurang steril. Sedangkan tingginya kontaminasi oleh bakteri
internal disebabkan karena eksplan/bahan tanam berupa daun kencur sudah membawa
bakteri di dalam jaringan daun tersebut, dimana biasanya bateri yang berada dibagian
dalam jaringan tanaman sulit dikendalikan/dihilangkan dengan menggunakan metode
sterilisasi yang digunakan.
3. Persentase Eksplan yang tumbuh Pengamatan persentase eksplan yang tumbuh dapat dilihat pada tabel 9 dibawah
ini.
Tabel 9. Persentase eksplan yang tidak terkontaminasi dan persentase eksplan yang tumbuh
Perlakuan Persentase eksplan tidak terkontaminasi
Persentase eksplan tumbuh
D0B0 77,8 0 D0B1 66,7 0 D0B2 88,9 0 D0B3 77,8 0 D1B0 88,9 0 D1B1 66,7 0 D1B2 88,9 0 D1B3 88,9 0 D2B0 77,8 0 D2B1 66,7 0 D2B2 88,9 0 D2B3 77,8 0 D3B0 77,8 0 D3B1 55,6 0 D3B2 66,7 0 D3B3 77,8 0 D4B0 66,7 0 D4B1 88,9 0 D4B2 88,9 0 D4B3 77,8 0 Reratal 77,8 0
Dalam tabel 8 diatas persentase eksplan yang tidak terkontaminasi pada
masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan sterilisasi dengan
menggunakan alkohol 70% selama 5 menit dilanjutkan perendaman eksplan kedalam
larutan kaporit dengan konsentrasi 1 g/100 ml air menunjukkan tingkat eksplan yang
29
tidak terkontaminasi cukup tinggi yaitu sebesar 77,8 %, namun demikian belum ada
eksplan yang dapat tumbuh dan membentuk kallus pada masing-masing kombinasi
perlakuan 2,4 D dan BAP yang diberikan pada medium tanam sebagai perlakuan untuk
menginduksi kallus.
4. Waktu Induksi Kalus, Volume kalus yang Tumbuh dari Eksplan dan
Penampilan Kultur secara Visual Hasil pengamatan waktu induksi tunas (hst), volume kalus yang tumbuh dari
eksplan serta penampilan kultur secara visual tidak dapat disajikan dalam laporan ini.
Ketiga variabel pengamatan tersebut dapat diamati setelah eksplan yang ditanam dalam
medium induksi tunas menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang
diindikasikan berupa pembentukan kalus dari eksplan daun kencur. Namun demikian
hingga akhir pengamatan 8 minggu setelah tanam, eksplan belum menunjukkan tanda-
tanda membentuk kallus.
Pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada medium dasar MS dengan
penambahan 2,4-D 0 - 2 mg/l medium dan BAP 0 - 0,3 mg/l medium belum mampu
mengarah pada pembentukan kalus sesuai dengan yang diharapkan. Eksplan yang
ditanam dalam medium induksi tunas pada umur 2 minggu setelah tanam sebagian
besar masih menunjukkan kondisi eksplan yang cukup baik. Eksplan daun kencur yang
digunakan masih berwarna hijau dan penampilan eksplan masih segar . Namun
demikian pada minggu ke 3 pada tepi eksplan mulai terjadi pencoklatan (browning),
yang berjalan terus menerus hingga semua eksplan menunjukkan warna pucat (coklat
muda)
.
4a. Eksplan umur 14 HST 4b. Eksplan umur 20 hst
Gambar 4a dan 4b. Kondisi esplan dalam medium MS induksi kalus dengan modifikasi 2,4 D dan BAP umur 14 hst – 20 hst.
30
Gambar 5. Proses pencoklatan pada eksplan daun kencur yang ditanam dalam medium MS induksi kalus dengan modifikasi 2,4 D dan BAP selama penelitian.
Proses pencoklatan pada eksplan dalam penelitian ini diduga karena daun
kencur yang digunakan sebagai eksplan memiliki kandungan senyawa fenol yang
cukup tinggi. Seperti dikemukakan di atas bahwa di dalam tanaman kencur
mengandung senyawa saponin, flavonoid, fenol serta minyak atsiri sebagain hasil
metabolit sekunder . Hal ini sesuai dengan pendapat Suskendriyati, et.al (2004) yang
menyatakan bahwa akumulasi dan oksidasi senyawa fenol didalam suatu jaringan atau
sel merupakan salah satu penyebab terjadinya proses pencoklatan yang berakibat
kematian pada eksplan yang digunakan dalam kegiatan kultur in vitro.
Selain kondisi eksplan dimana diduga kandungan senyawa fenol yang cukup
tinggi didalam jaringan eksplan , konsentrasi zat pengatur tumbuh khususnya 2,4 D
dan Benzil Aminopurin (BAP) yang digunakan dalam penelitian ini memiliki peran
terhadap keberhasilan pembentukan kalus pada eksplan daun kencur. Keseimbangan
konsentrasi zat pengatur tumbuh jenis auksin dan sitokinin yang digunakan akan
mengantarkan sel pada pembentukan kalus.
Seperti yang diungkapkan oleh Widiastoety (1985) bahwa pembentukkan kalus
terjadi jika perbandingkan Auksin dan Sitokinin dalam keadaan yang seimbang.
Pendapat lain juga diungkapkan Santoso (2004), membuat kalus berarti menginduksi
dari bagian tanaman tertentu, yang dirangsang secara hormonal. Kesesuaian dan
ketepatan pemilihan jenis dan perimbangan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
digunakan akan mempengaruhi keberhasilan pembentukan kalus pada eksplan yang
digunakan. Ketidakmampuan eksplan membentuk kalus lebih disebabkan oleh karena
kurang tepatnya penggunakan zat pengatur tumbuh yang digunakan khususnya
perimbangan kosentrasi 2,4 D dan NAA yang digunakan.
Selain perimbangan zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk induksi tunas,
penggunakan sumber eksplan juga berpengaruh terhadap keberhasilan induksi tunas.
Dalam penelitian ini eksplan yang digunakan berupa daun kencur yang sudah
31
membuka sempurna (dewasa). Menurut Santoso (2004), penggunaan bagian tanaman
yang masih juvenil (muda/meristematik) akan lebih memudahkan induksi kalus
dibandingkan jaringan yang sudah mengalami pendewasaan seperti organ daun. Hal ini
berkaitan dengan kondisi totipotensi bahan tanam, dimana pada umumnya sifat
totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda dan
banyak dijumpai pada daerah-daerah meristematik tanaman seperti bagian tunas
aksilar.
Konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4 D pada kisaran 0-2 mg/l medium dan
Benzil Aminopurin (BAP) pada kisaran 0-0,3 mg/l medium, diduga masih sangat
rendah( kurang) untuk dapat merangsang sel eksplan daun kencur untuk membentuk
kalus.
Pendapat lain yang diungkapkan oleh George and Sherrington (1984) ; Zaid
(1995) ; dan Satria (1995) bahwa kombinasi konsentrasi auksin (2,4-D) dan Sitokinin
(BAP) yang tinggi dapat menunda sintesa senyawa polyfenol dan mengurangi
pencoklatan pada eksplan. Berdasrkan pernyataan diatas diduga konsentrasi auksin
jenis 2,4 D pada kisaran konsentrasi 0-2 mg/l medium yang dikombinasikan dengan
senyawa Sitokinin jenis Benzil Aminopurin (BAP) pada kisaran konsentrasi 0-0,3 mg/l
masih belum mampu mengurangi sintesa senyawa fenol dan menghilangkan pengaruh
fenol yang ada di dalam eksplan terhadap proses pencoklatan pada eksplan.
32
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di muka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D pada kisaran konsentrasi 0
– 2 mg/l medium dan BAP pada kisaran konsentrasi 0 – 0,3 mg/l medium
masih belum mampu menginduksi terbentuknya kalus pada eksplan daun
kencur selama penelitian.
2. Ketidakmampuan eksplan membentuk kalus disebabkan oleh kadungan fenol
yang cukup tinggi di dalam jaringan eksplan serta belum berimbangnya
konsentrasi 2,4 D dan Benzil Aminopurin yang dapat menekan sintesis fenol di
dalam jaringan penyebab poses pencoklatan dan kematian pada eksplan daun
kencur.
3. Belum ditemukan pengaruh interaksi antara 2,4-D dan BAP terhadap peroleh
kultur kalus kencur yang pertumbuhannya baik dikarenakan belum
diperolehnya perimbangan konsentrasi 2,4 D dan BAP yang tepat untuk induksi
kalus pada eksplan daun kencur
B. Saran
Bertitik tolak dari hasil penelitian ini perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang
penggunaan zat pengatur tumbuh 2,4 D dan Benzil Aminopurin (BAP) dengan variasi
kosentrasi yang lebih beragam untuk keberhasilan induksi kalus dengan eksplan daun
kencur. Selain itu perlu dilakukan kajian penanganan problem pencoklatan pada
eksplan khususnya pada eksplan daun kencur.
33
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. DAFTAR PUSTAKA
Bajaj, Y.P.S, 1983. Production of Normal Seeda from Plants Regenerated from the
Meristem of Arachis hypogaea and Cicer arientinum Cryopreserved for 20 Months. Euphica. 32 : 425-430
Chiek, L.Y., 1992. Perbanyakan Tanaman Nangka (Artocarpus heterophyllus Lank) Melalui Kultur Jaringan. Karya Ilmiah. Jurusan Budidaya Pertanian Fak. Pertanian IPB. Bogor.
Davied, A. 1982. In Vitro Propagation of Gymnospermae in Tissue Culture in Forestry Bonga J.M. dan Durzan, D.J.,(Ed) M Nijhoff & W. Junk Publ. The Hague, The Netherland.p : 73-108.
Davies, P.J., 1987. The Plant Hormone: Their Nature, occurrence and Fuction in Plant Hormones and Their Role in Plant Growth and Develompment. Davies, P.J. (Ed) M. Nijhoff Publ. Dordrecht, Boston, Lancaster. p : 1-11.
Ditejabun.2000. Statistik Perkebunan Indonesia 1998-2000. Panili. Jakarta.
George, E.F. dan Sherrington, P.D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exergetic Limited. England. p. 39-71; 331-382.
Gunawan, L.W., 1988. Teknik Kultur Jaringan . Lab. Kultur Jaringan Tanaman Depdikbud Dirjen Dikti, PAU Bioteknologi, IPB Bogor.
Hadipoenyanti,E. D. Seswita dan N. Ajijjah. 2001. Multiplikasi Tunas Panili Hasil Regenerasi Kalus Secara In Vitro. Dalam Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI. Yogyakarta. Hal. 283-286.
Suskendriyati, H. Solichatun dan Ahmad DW, 2004. Pertumbuhan dan produksi Saponin Kultur Kalus Talinum paniculatum dengan Variasi Pemberian Sumber Karbon. Bio Smart, vol. 6. no. 1. April 2004.
Kartha, K.K. 1981. Meristem Culture and Cryopreservation Method and Application in : Plant Tissue Culture Method and Application in Agriculture . T.A. Thorpe (ed). Academic Pess. Inc, San Diego, California. Pp :181-209.
Krikorian, A.D., K. Kelly dan D.L. Smith, 1987. Hormones in Tissue Culture and Micropropagation in Plant Hormones and Their Role in Plant Growth and Development. Davies, P.J. (Ed) M. Nijhoff Publ. Dordrecht, Boston, Lancaster. p : 593-613
Mulyaningsih T dan A. Nikmatullah, 2008. Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian UNRAM
Murashige, T. 1974. Plant Propagation through Tissue Culture. Annual Review. Plant Physiology 25 : 135-166.
Otih R, Rosita SMDM, M. Rahardjo dan Taryono,2005. Budidaya Tanaman Kencur, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Bogor
34
Priyono, 2000. Perbanyakan Abaca (Musa textilis Nee) Melalui Kultur Mata Tunas Secara In vitro. Pelita Perkebunan ( ) 129-133.
Purseglove,J.W., E.G. Brown, G.L. Green dan S.R.J. Robins. 1988. Species. Vol.2.John Wiley and Sons Inc. New York. 813p.
Rufledge, C.B dan G.C. Douglas, 1988. Tips and Micropropagation of 12 Commercial Clones of Polar In-vitro. Physiol. Plant 72 ; 367-373.
Santoso, U. 1995. Induksi Kalus Artemisia vulgaris L dari Sumber Eksplan yang Berbeda. Pusbitan UMM. Malang.
Santoso, U. Dan Fatimah N, 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Ed. 2. UMM Press. Malang
Satria, B. 1996. Perbanyakan manggis (Garcinia mangostana L.) dengan menggunakan eksplan hipokotil pada kombinasi dosis arang aktif dengan komposisi konsentrasi BAP dan NAA secara in-vitro. Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. 105 hal.
Seswita. D., Hadipoenyanti,E. dan N. Ajijjah. 2001. Multiplikasi Tunas Panili Hasil Regenerasi Kalus Secara In Vitro. Dalam Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI. Yogyakarta. Hal. 283-286.
Shofiyani, A. dan A. Suyadi, 2003. Pemberian Variasi NAA & BAP Terhadap Pertumbuhan Kencur Secara In Vitro, AGRITECH. Vol.V no.2 , DES 2003. 50 – 56 h.
Sisunandar dan Julia, D. 2000. Perbanyakan Pisang Abaka (Musa textilis Nee.) cv. Tangongon secara In vitro. Laporan Penelitian. FKIP Univ. Muhammadiyah Purwokerto.
Stapper,R.E. and C.W. Heuser. 1986. Rapid Multiplikation of Heuchera sengueina Engelm “Rosamundi” Propagation in vitro. Hort. Sci. 21(4):1043-1044.
Syamsuhidayat, SS dan Johny, R.H. 1991. Inventaris Tanaman Obat, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 616 p.
Tisserat, B. 1987. Embryogenesis, Organogenesis and Plant Regeneration in Plant Cell Culture a Practical Approuch. Dixon, R.A; I.R L(Ed.). Press Limited Oxford.
Tombe,M. dan D. Sitepu. 1987. Penyakit Panili di Indonesia. Edisi Khusus Littro. III92): 103-108.
Udarno. L., dan E. Hadipoenyanti. 2001. Perbanyakan Panili Hibrida Secara In Vitro. Dalam Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI. Yogyakarta. Hal. 283-286
Zearr, J.B dan M.O. Mapes, 1985. Action of Growth Regulator in Tissue in Tissue Culture in Forestry. Bonga J.M. dan Durzan, D.J. (Ed), M Nijhoff & W. Junk Publ. The Hague, The Netherland, p :231-251
Top Related