LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL
BLOK 15 KELAINAN NEUROMUSKULOSKELETAL
MODUL 2
Disusun oleh : Kelompok 6
Deseli Eka R. NIM. 1310015014
Rizqa Mahardhika NIM. 1310015055
Emirra Ramadhani NIM. 1310015080
Dayinta Laksmi NIM. 1310015051
Ratu Tria Nandya NIM. 1310015009
Siti Aminah NIM. 1310015047
Ermina Adriani NIM. 1310015025
Alif Bareizy
Aldila Rama K.A
Rio Mandala P.R
NIM. 1310015029
NIM. 1310015048
NIM 1210015004
Tutor : Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
1
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha baik, karena atas berkahNya kami selaku
kelompok 6 telah menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil pada Blok 15 Modul 2
mengenai Kejang
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes selaku tutor kelompok 6 yang telah membimbing kami
selama menjalani diskusi kelompok kecil (DKK) I dan II sehingga materi diskusi dapat
mencapai sasaran pembelajaran yang sesuai.
2. Rekan sekelompok yang telah mengkondusifkan suasana diskusi tutorial dan bekerja
sama dalam penyelesaian laporan ini.
3. Dosen-dosen yang telah memberikan materi pendukung pada pembahasan sehingga
semakin membantu pemahaman kami terhadap materi ini.
4. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini, baik sarana dan
prasarana kampus yang kami pergunakan.
Kami mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi
para pembaca di kemudian hari. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan laporan hasil
diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para
pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga laporan kami ini dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi tersebut.
Samarinda, 6 Desember 2015
Hormat Kami,
Kelompok 6
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................. 2
Daftar Isi .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2. Tujuan dan Manfaat................................................................................... 4
BAB II ISI
2.1. Skenario .................................................................................................... 5
2.2. Step 1 ........................................................................................................ 5
2.3. Step 2 ........................................................................................................ 5
2.4. Step 3 ........................................................................................................ 5
2.5. Step 4 ........................................................................................................ 9
2.6. Step 5 ........................................................................................................ 10
2.7. Step 6 ........................................................................................................ 11
2.8. Step 7 ........................................................................................................ 11
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 29
3.2. Saran ......................................................................................................... 29
Daftar Pustaka .................................................................................................. 30
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat. Epilepsi dikenal sebagai salah satu
penyakit tertua di dunia dan menempati ukuran kedua dari penyakit saraf setelah
gangguan peredaran darah otak. Dengan tatalaksana yang baik, sebagian besar penderita
dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun untuk ini ditemukan banyak kendala, di
Indonesia di antaranya kurangnya dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan dokter
umum dan paramedis dalam menanggulangi penyakit ini.
Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, tetapi pengertian akan
penyakit ini masih kurang bahakan salah sehingga penderita digolongkan dalam penyakit
gila, kutukan dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan disembunyikan.
Akibatnya banyak penderita epilepsy yang tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan
yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan
baik bagi penderita maupun keluarganya.
B. Tujuan Pembelajaran
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan membahas
scenario ini kami telah manentukan tujuan pembelajaran kami, yaitu mengetahui
mengenai:
1. Epilepsi (definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis
banding,dan tatalaksana)
2. Status Epileptikus
4
BAB II
ISI
Step 1
-
Step 2
1. Apa Definisi dan patofisiologi Kejang ?
2. Apa saja kemungkinan penyebab timbulnya Kejang ?
3. Apa saja klasifikasi dari kejang ?
4. Bagaimana Sign and Symptom ?
5. Cara melakukan Diagnosis ?
6. Penatalaksanaan awal ?
Step 3
1. Kejang adalah masalah neurologik yg relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1
dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. dua puncak
usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60
tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu
populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu
fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal dibawah
kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit.
Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi
kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang
5
membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus
obat, intoksikasi obat, atau enselofati obat, atau enselofati hipertensi.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemunginan besar
bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastic meningkat,
lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000/detik. Aliran
darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin
muncul di cairan serebrospinal (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate
mungkin mengalami depresi selama aktivitas kejang.
2. Penyebab kejang mencakup faktor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital,
faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan
metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif
susunan saraf.
3. Penyebab kejang berdasar ada tidaknya infeksi :
4. Efek fisiologik kejang
Awal (kurang dari 15 menit)
6
Meningkatnya kecepatan denyut jantung
Meningkatnya tekanan darah
Meningkatnya kadar glukosa
Meningkatnya suhu pusat tubuh
Meningkatnya sel darah putih
Lanjut (15-30 menit)
o Menurunnya tekanan darah
o Menurunnya gula darah
o Disritmia
o Edema paru non jantung
Berkepanjangan (lebih dari 1 jam)
o Hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi
hipotensi serebrum
o Gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum
tonik-klonik demam, paling sering terjadi pada anak-anak berusia < 5 tahun. Teori
menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara
cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya
berlangsung singkat dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa
kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin mengalami
kejang non demam pada kehidupan selanjutnya.
5. Diagnosis
Sebelum memberi OAE pada penderita maka diagnosis epilepsi harus ditegakkan
terlebih dahulu.serangan yang bersifat tunggal tidak dapat dipakai sebagai
alasan sebagai diagnosis epilepsi, karena banyak orang yang hanya memperoleh
serangan sekali saja dan untuk seterusnya tidak dapat serangan lagi.disamping itu
sehubungan dengan upaya menegakkan diagnosis epilepsi. Masih ada beberapa hal
yang perlu di perhatikan antara lain keterbatasan informasi baik penderita maupun
dari saksi mata, jenis epilepsi, epilepsi yang bersifat idiopatik atau simptomatik. Serta
penyakit lain yang menyerupai epilepsi misalnya narkolepsi, migren,
Sementara itu ada beberapa jenis serangan epilepsi yang sering kali tek dikenali
sebagai serangan epilepsi yang terkenal adlah epilepsi parsial dan refleks epilepsi.
7
Epilepsi parsial memiliki jenis serangan yang bervariasi . bisa bersifat tunggal
dan bisa bisa pula dalam bentuk kombinasi. Jenis seringan meliputi sensasi epigastrik,
halusinasi, gangguan memori dan keadaan seperti mimpi , otomatisme, hipergrafia
dan gangguan efektif.
Dengan demikian jelas bhwa untuk meneggakkan diagnosis epilepsi di perlukan
pertimbangan yang cukup luas karena terapi epilepsi bergantung pada diagnosis yang benar.
Diagnosis etiologik dan jenis serangan
Dalam rangka menelusuri diagnosis epilepsi maka dikenal dua hal pokok yang harus
selalu diperhatikan. Pertama diagnosis yang mendasar, yang biasa di sebut diagnosis
etiologik. Diagnosis ini mengandung kepastian penyebab timbulnya serangan epilepsi.
Kedua. Adalah diagnosa yang superfisial, cukup dengan memastikan jenis serangan
yang ada. Diagnosis ini sehubungan dengan farmakoterapi. Dua hal tersebut sangat
diperlukan untuk terapi rasional. Kegagalan mengenal jenis serangan berarti bahawa
penderita akan terus mengalami serangan karena obat yang diterima tidak cocok untuknya.
Kegagalan mengetahui faktor etiologi bahwa penderita dapat terus mengalami
serangan karena, misalnay tumor otak tidak terdiagnosis.
Apabila dalam pengambilan kesimpulan terdapat keragu-raguan apakah kasus yang
sedang di tangani merupakan kasus epilepsi, maka ada petunjuk sebagai berikut :
pemberian OAE ditunda atau sama sekali dihindarkan pada kasus- kasus, (b).
Serangan ulang yang berjarak beberapaa tahun, (c). Kejang demam sederhana.(d).
Epilepsi parsial benigna pada anank-anak,(e). Epilepsi dengan faktor presipitasi
yang spesifik, diketahui secara persis daan dapat di hindarkan, misalnya obat-obat
psikotropik dan kurang tidur.
6. Tx :
-Fenitoin
-Carbamazepin
-As.Valproat
-Fenobarbital
Yang first linenya diberikan Fenitoin dan Carbamazepin karena langsung bekerja
idalam kanal Natrium, mencegah agar tidak masuk kedalam Intrasel secara
berlebihan. Untuk Bumil lebih baik menggunakan fenobarbital meskipun tetap
8
memiliki efek teratogenik. Namun, penggunaannya jauh lebih baik daripada OAE
yang lain atau efek teratogenik lebih sedikit dalam dosis tertentu sesuai dengan
tingkat kehamilannya.
9
Step 4
10
Faktor Pencetus
Status Epilepticus
Berulang
ETIOLOGI
Primer,Sekunder
KEJANG
KLASIFIKASI
UMUM
Absence,Tonik-Klonik, Myoclonic
PARSIAL
Simple,kompleks,umum sekunder
Penegakkan Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang
Terapi
Non Medikamentosa, Medikamentosa,
pembedahan
Indikasi Rujuk
Spesialis/RS
Tidak terklasifikasi
Step 5
Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi, Epidemiologi, Etiologi, Patofisiologi, Gejala
Klinis, Diagnosis, Diagnosis banding, Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis, Pencegahan.
1. Epilepsi
2. Status Epilepticus
Step 6
Belajar mandiri untuk persiapan DKK 2
STEP 7
Definisi
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang dating
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-
sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi.
Epidemiologi
Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh :
a. Belum adanya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi
b. Epilepsy bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan
c. Pengambilan data dari kelompok tertentu (bukan populasi umum) misalnya dari statistic
militer dan murid sekolah, sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian-
penelitian yang sudah dilakukan.
Insidensi epilepsy di berbagai negara bervariasi antara 0,2 – 0,7 o, prevalensinya bervariasi
antara 4 – 7 o. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000 – 1,8 juta penderita.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di ddunia dengan insidensi dan prevalensi yang
hampir sama, walaupun beberapa peneiti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak pada wanita, dan lebih sering dijumpai pada
anak pertama.
Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok
pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9 % penderita mendapat sawan pertama pada usia
kurang dari 4 tahun, 50-51,5 % penderita terdapat pada kelompok usia kurang dari 10 tahun
11
dan mencapai 75-83,4 % pada usia kurang dari 20 tahun, 15 % penderita pada usia lebih dari
25 tahun dan dari 2 % pada usia lebih dari 50 tahun.
ETIOLOGI
a. Idiopatik
Tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit neurologis. Diperkirakan mempunyai
predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik
Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya masih belum diketahui. Seperti sindrom
West, sindrom Lenox-Gastaut, dan epilepsy mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus .
c. Simtomatis
Bangkitan epilepsy disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak, misalnya
cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
otak, toksil, metabolic, dan kelainan neurodegenerative.
PATOMEKANISME
Se-sel otak dikelilingi oleh membrane yang dalam keadaan normal membrane sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium dan sangat sulit untuk dilalui oleh ion Natrium
(Na) dan elektrolit kecuali klorida(Cl). Akibatnya konsentrasi ion Kalium(K) menjadi tinggi
didalam sel dan konsentrasi ion Natirum sedikit. Keadaan sebaliknya terjadi di luar neuron.
Karena ada perbedaan potensial inilah yang mengakibatkan terjadinya potensial membrane
sel neuron. Potensial membrane inilah yang menajadi jalan untuk terjadinya penghantaran
impuls dari presinaps ke post sinaps.
Saat seseorang mengalami serangan kejang , pola listrik saraf tiba-tiba menjadi tidak
normal dan tidak terkendali. Dasar terjadinya serangan epilepsy ialah gangguan fungsi
neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu
neurotransmitter eksitatorik seperti asetilcolin, glutamate, aspartat, norepineprin yang
memiliki peran sebagai pemudah depolarisasi atau lepas muatan listrik yang bisa
menimbulkan hipereksitasi. Dan ada juga neurotransmitter inhibit seperti gamma amino acid
(GABA) dan glisin.
12
Kejang diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara eksitator dan inhibitor pada otak,
ketidakseimbangan tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa hal antara lain:
Kurangnya jumlah inhibit akibat dari konsumsi antagonis GABA, atau selama
penghentian pemberian agonis GABA ( alcohol, benzodiazepine)
Meningkatnya neurotransmitter eksitatotik
Pada keadaan patologik dapat mengganggu fungsi membrane potensial neuron
sehingga neuron dapat dengan mudah dilalui ion Ca dan Na, hal ini bisa mengakibatkan
keadaan hipereksitasi yang berupa letupan listrik yang berlebihan di otak dan hal ini menjadi
dasar dari serangan epilepsy. Adapaun fase dimana penderita akan merasa serangan terhenti,
hal tersebut diduga terjadi akibat dari kompensasi sel neuron disekitarnya yang mampu
menginhibit sel neuron yang mengalaimi hipereksitasi. Manifestasi dari epilepsy tergantung
dari lokasi terjadinya letupan listrik bisa dibagian otak frontal, temporal, oksipital parietal,
parsial atau bahkan general. Jika kejang bersifat general, lepas muatan listrik yang berlebihan
akan menyebar ke bagian otak secara luas dan bila mencapai 2/3 bagian otak maka akan
menimbulkan pasien tidak sadarkan diri. Ada 2 hal yang bersifat epileptic yaitu asetilcolin
dan estrogen, dimana bila kedua hal tersebut tinggi dalam darah (estrogen) dan
otak( asetilcolin) maka, akan dapat dengan mudah mencetuskan serangan karena kedua hal
tersebut membuat membrane sel neuron menjadi lebih senstive dan cenderung mudah
mengalami hipereksitensi.
Pada tipe epilepsy absent, terdapat banyak hipotesis akan patomekanismenya.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada
sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat dari adanya mutasi gen penyusun protein ion canal calcium sehingga
terjadi aktivitas ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik tersebut
terjadi pada saat tidur non-REM 3.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Commision of Classification and Terminology of the international League
Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal dan dapat
berupa :
gejala motorik fokal yang menjalar atau tidak menjalar. Pada gejala mototrik
fokal yang tidak menjalar terjadi terbatas pada satu bagian tubuh saja, sedangkan
13
motorik fokal yang menjalar dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Gerakan versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
Gejala sensorik fokal menjalar atau sensorik khusus berupa halusinasi
sederhana, seperti :
o Visual : terlihat cahaya
o Auditoris : terdengar sesuatu
o Olfaktoris : terhidu sesuatu
o Gustatoris : terkecap sesuatu
b. Sawan Parsial Kompleks : gangguan kesadaran dan gejala psikis atau gangguan fungsi
luhur, seperti
Dejavu : kenal dengan peristiwa yang belum pernah dialami
Jamaisvu : tidak kenal dengan peristiwa yang pernah dialami
Disfasia
Ilusi
Halusisnasi sederahana, dan
Automatisme
Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya
gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata
sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
•Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
•Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
•Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak
dan dapat berlangsung puluhan kali dalam sehari. Serangan sawan ini juga disertai
14
dengan kehilangan tonus otot sehingga barang yang dibawanya dapat terjatuh. Setelah
terjadinya serangan pasien akan tersadar kembali.
b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
c. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
d. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga
terjadi pada anak.
e. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali
dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.
DIAGNOSIS
15
Untuk diagnosis sindrom epileptik, diperlukan data yang dapat diperoleh melalui
anamnesis. Data yang harus didapatkan berhubungan dengan data tipe kejang, dan data
penunjang lainnya. Namun, seringkali penderita datang tidak dalam kondisi kejang. Sehingga
penguatan anamnesis merupakan kunci untuk mendapatkan gambaran serangan. Seringkali
hal ini bergantung pada kemampuan penganamnesis dan saksi kejadian serangan. Biasanya,
yang paling tidak luput dari perhatian adalah serangan tipe tonik-klonik.
Yang perlu dievaluasi pada tahap pertama adalah menetapkan apakah penderita
menderita kejang atau tidak. Sering penderita datang dalam keadaan tidak sadar, sehingga
gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini sering bergantung pada
kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan dan kepandaian saksi mata dalam
melukiskan bangkitan. Untuk penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan
apakah ada anamnesa famili dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga
tengah atau sinus atau gejala dari keganasan.
Selanjutnya, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Hal ini dilakukan untuk melihat
adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, termasuk tanda-tanda
trauma kepala, infeksi dari telinga atau sinus ataupun keganasan.
Anamnesis : auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :
Sebelum bangkitan atau gejala prodromal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, prasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk,menjadi sensitive,dll.
Selama bangkitan atau iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
o Bagaimana pola bentuk bangkitan mulai dari deviasi mata, gerakan kepala,
gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau
kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkotinensia, lidah
tergigit,pucat,berkeringat,dll. (akan lebih baik bila keluarga dapat diminta
untuk menirukan gerakan bangkitanatau merekam video saat bangkitan.
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
16
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangitan sebelumnya?
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan misalnya saat tidur, saat
terjaga,bermain videogame,berkemih,dll.
Pasca bangkitan/post iktal:
o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.
b. factor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologi,alcohol.
c. usia awitan, durasi bangkitan, frekwensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan, kesadaran antar bangkitan.
d. terapi epilepsy sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya : a. jenis obat
OAE, b. dosis OAE, c.jadwal minum OAE, d.kepatuhan minum OAE, E.kadar
OAE dalam plasma, F.kombinasi terapi OAE
e. penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis,psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. riwayat epilepsy dan penyakit lain dalam keluarga
g. riwayat saat berada dalam kandungan,kelahiran, dan tumbuh kembang
h. riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam
i. riwayat trauma kepala, stroke,infeksisi SSP, dll.
Selain kedua basis pemeriksaan di atas, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut.
1. EEG (elektroensefalogram)
Salah satu pemeriksaan tambahan yang penting untuk diagnosa adalah
pemeriksaan ini. EEG merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di
dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki
risiko. Sebuah EEG digunakan untuk mengetes dan merekam aktivitas elektrik
dari otak manusia. Rekaman yang ideal adalah rekaman sewaktu fase iktal
(serangan), tapi seringkali dibuat di luar serangan.
Aktivitas yang abnormal dapat terdeteksi. Utamanya, kelainan EEG akan
berkorelasi dengan kejang atau serangan epileptic. Meskipun 30-40%dapat
terdeteksi normal pada awalnya, sehingga pemeriksaan ulang dan diperpanjang
dapat dilakukan.
17
Terdapat sensor khusus (elektroda) yang dipasang di kepala dan dikaitkan dengan
kabel ke sebuah komputer. Kemudian komputer akan merekam aktivitas elektrik
otak ke layar atau kertas dalam bentuk garis-garis bergelombang. Dalam kondisi
tertentu, seperti keterkejutan, dapat dilihat perubahan hasilnya dalam pola normal
aktivitas elektrik otak di layar.
Berikut fungsi EEG :
• EEG kurang berguna untuk menentukan apakah pasien mengalami serangan
kejang atau sakit epilepsi. Karena 3,5% anak sehat, ada kelainan
“epileptiform” pada EEG. EEG pada 10% anak sehat tidak normal dan pada
50% anak yang ternyata menderita epilepsi, tidak ada kelainan pada EEG rutin
yang pertama. Namun tipe kejang berhububungan dengan susunan tertentu
pada EEG. Maka EEG dapat menolong menentukan klasifikasi epilepsi yang
dialami pasien. EEG sleep-deprived lebih berhasil.
• Mengecek permasalahan pada orang yang mengalami kehilangan kesadaran
• Mencari tahu apakah seseorang dalam keadaan koma
• Mempelajari penyebab susah tidur
• Melihat aktivitas otak ketika seseorang menerima obat anestesi selama operasi
otak
• Membantu orang yang memiliki masalah psikis, seperti rasa gugup, dan
kesehatan mental
Gambar EEG normal
18
Gambar EEG Epilepsi Umum
2. Uji laboratorium
Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk :
• serum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali diperiksa pada saat
pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia kurang dari 3 bulan,
dengan penyebab elektrolit dan metabolik lebih lazim ditemui (uji glukosa
darah dapat bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan kejang yang
berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia). mengukur
kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
• menilai fungsi hati dan ginjal dan untuk menyingkirkan infeksi sebagai
penyebab; dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat
mengevaluasi hematokit dan jumlah trombosit.
• Skrining toksik dari serum dan urin digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keracunan.
3. CT scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke,
jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.
CT scan menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
19
MRI (Magnetic Resonance imaging) →menghasilkan bayangan dengan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah
otak (regio fossa posterior dan regio sella) yang tidak terlihat jelas apabila
menggunakan pemindaian CT.
4. Pungsi Lumbal
Kadang dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinal, terutama dipakai
untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Penatalaksanaan
Tata laksana farmakoterapeutik
Apabila diagnosis epilepsi telah diketahui kebenaaraannya, maka langkah berikutnya adalaah
membuat rancangan tata laksana farmakoterapeutik dengan segala macam konsekuensinya.
Pada prinsipnya, OAE harus segera diberikan dengan tetap memperhatikan apakah ada hal-
hal lain yang harus dilaksanakan secara bersama-sama misalnya opertasi tumor otak,
pemasangan ventriculoperitoneal shunt, dan sebagainya.
Tata laksana farmakoterupetik berjangka panjang. Di dasarkan atas pemberian OAE yang
sebenarnya memiliki potensi toksik. Dengan demikian dapat memutuskan memberikan OAE
kepada penderita epilepsi, hal-hal berikut ini harus selalu di perhatikan : (a). Risk beneffit
ratio, harus dievaluasi secara terus- menerus. (b). Penggunaan OAE harus sehemat mungkin
dan sedapat mungkin dalam jangka waktu yang lebih pendek, (c).dan pemilihan obat yang
paling spesifik untuk jenis serangan yang akan diobati.
Setelah OAE diberikan kepada penderita, maka kadar OAE dalam serum harus di pantau,
dengan alasan-alasan sebagai berikut: (a). Untuk mengevaluasi kepatuhan penderita minum
obat, (b). Menilai faktor farmakokinetika dan farmakodinamika, yang mungkin dapat
memberi sumbangan dalam hal terjadinya kegagalan terapi, (c).untuk mengidentfikasi kadar
obat yang efektif, dengan demikian dapat mengenali perubahan-perubahan dikemudian hari
yang mungkin berupa munculnya serangan ulang atau efek samping, dan (d). Untuk
menentukkan obat apa yang bertanggung jawab atau munculnya efek toksik apabila
dipergunakan obat lebih dari satu macam.
Namun demikian, dalam praktek upaya tersebut sulit dilaksnakan karena dua alasan utama :
(1). Fasilitas laboratprium belum lengkap, sehingga belum dapat memeriksa kadar seluruh
jenis OAE yang kini beredar di indonesia, dan (b). Biaya pemeriksaan laboratorium
20
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun bagaimana pun juga, anjuran untuk memantau
kadar OAE dalam serum tetap merupakan anjuran yang sangat berharga.
Pendekatan monoterapi
Dewasa ini strategi yag dipilih ialah monoterapi. Yang paling sesuai dengan jenis epilepsi
yang sedang dihadapi. Obat tadi harus diberikan dengan dosis yang cukup, serta bertahap dari
dosis yan g rendah, untuk dapat mengendalikan. Serangan epilepsi. Terapi dengan adanya
OAE campuran lebih dari satu jenis OAE biasanya kurang efektif karena interaksi OAE tadi
justru akan mengganggu efektivitas, dan efek sampingnya bdapat berakumulasi.
Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa dari bernagai jenis OAE yang ada maka
seluruhnya mempunyai efek samping dan tidak samping dan tidak satupun yang mempunyai
keunggulan yang jelas dalam hal pengendalian serangan epilepsi. Dengan demikian pilihlah
obat yang mempunyai efek samping atau toksik yang minimal dan kerjanya cukup efektif.
Dan justru disinilah letak ekstensi dari strategi monoterapi.
Sehubungan dengan strategi monoterapi maka diperlukan pendekatan agar strategi yang
diterapkan dapat efektifitas terkendali. Pendekatannya adalah sebagai berikut :
1. tujuan utama terapi farmakologik untuk epilesi adalah untuk mengendalikan serangan
epilepsi dengan satu jenis obat tertentusetelah serangan epilepsi terkendali dengan
dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali.
2. obat yang dipilih adalah obat yang terbaik dan paling sesuai untuk serangan tertentu
dan juga untuk penderita itu sendiri. Dosis dinaikkan secara bertahap sampai seranga
terkendali atau sampai efek samping yang benar-benar terganggu.apabila gejala-gejala
toksik yang berhubungan dengan dosis maka dosis diturunkan secara bertahap.
3. apabila obat pilihan pertama jelas-jelas tidak efektif, maka obat jenis kedua harus
diberikan. Pemberian kedua ini harus memenuhi ketentuan sebagaimana diberlakukan
terhadap pilihan pertama.. apabila terjadi efek toksik maka keadaan ini dapat
disebabkan oleh inhibisi enzim.
4. penghentian obat pertama tidak dianjurkan berhenti mendadak karena akan
menimbulkan serangan berulang. Penurunan dosis dianjurkan 20% dari dosis harian
total setiap 5 kali waktu-paruh. Serangan berulang-ulang sebagai akibat penghentian
obat secara mendadak.
21
Dalam praktek, pendekatan monoterapi tersebut mungkin sulit diterapkan secara konsisten
mengingat diperlukannya tenaga yang benar-benar profesional. Fasilitas laboratorium yang
mampu mendukungnya serta kerjasama yang sebaik-bauknya denagn penderita serta
keluarganya. Namun demikian, strategi monoterapi memang lebih rasional dan ekonomis
daripada politerapi.
Tujuan utama terapi farmakologi untuk epilepsi adalah mengendalikan serangan epilepsi
dengan satu jenis obat (monoterapi). Setelah serangan epilepsi benar-benar terkendali dengan
dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali. Terapi
epilepsi bersifat khas, berbeda dengan terapi terhadap gejala atau penyakit lainnya. Sifat khas
tadi diwarnai oleh program minum obat jangka waktu yang lama, bertahun-taun, bahkan
mungkin seumur hidup.
Pemilihan OAE untuk dewasa :
Nama obat Dosis
mg/kg
T1/2 Status
tetap
Kadar
terapeutik
Efek samping
fenobarbital 1,5-3 4 hari 10-15
hari
20-40
ug/ml
Mengantuk,hiperaktivitas,
bingung, perubahan
perasaan hati
fenitoin 4 22 jam 4-5
hari
10-20
ug/ml
Ataksia, ruam kulit,
perubahan kosmetika,
hiperplasi ginggiva,
osteomalasia
karbamazepin 1,5-8 7-18
jam
2-3
hari
4-12
ug/ml
Ataksia, gangguan GIT,
pandangan kabur,
gangguan fungsi hepar
Obat yang bermanfaat untuk tipe sawan dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
Tipe Obat yang efektif
22
1. Parsial
a. Parsial sederhana
b. Parsial kompleks
c. Umum sekunder
2. Umum
a. Lena
b. Mioklonik
c. Tonik-klonik
d. Atonik
FB, DFH, Kz
FB, DFH, Kz
FB, FH, Kz
ETS, AVP
ETS, AVP
AVP, FB, DFH, Kz
ETS, AVP
STATUS EPILEPTIKUS
Definisi Status epileptikus
Status Epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya
dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan
konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan
yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam
waktu 30 menit). Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-
konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).
Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau
bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.
Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk
perubahan perilaku atau “ awareness”. SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent
seizures), yaitu bangkitan tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.
Klasifikasi Status Epileptikus
Berdasarkan klinis:
23
- SE fokal
- SE general
Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)
- SE menetap/ Established(>30 menit)
- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal
dengan dosis adekuat )
Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:
- SE-NK Umum
- SE-NK fokal
EPIDEMIOLOGI
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-
kira 60.000 -160.000 kasus dari SE tonik-klonik umum yang terjadi di amerika serikat setiap
tahunnya. Pada sepertiga kasus, SE merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi,
biasanya karena ketidak teraturan dalam memakan obat anti konvulsan. Mortalitas yang
berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan
dengan penyakit yang menyebabkan SE kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan
menunjukan distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukan bahwa etiologi dari SE dapat dikategorikan pada proses
akut dan kronik. Pada usia tua SE kebanyakan sekunder karena adanya penyakit
24
serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin epilepsi merupakan
kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF
Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif
Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit
Pemberian benzodiazepine rectal/ midozolam buccal merupakan terapi yang utama
selama diperjalanan menuju rumah sakit. Segera panggil ambulan pada kondisi
berikut :
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan
konvulsivus
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital lain
Terapi OAE harus diberikan bersama-sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis/ apapun OAE yang
digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau
phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitpr kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien sudah
bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma adekuat,
maka obat anastesi dapat diturunkan perlahan.
Protokol penanganan status epilektikus konvulsif
Pemeriksaan Umum
Stadium 1 (0-10 menit)
SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infuse
Stadium 2 (0-30 menit)
Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik
Terapi antiepilepsi emergensi
25
Pemeriksaan emergensi (lihat dibawah)
Berikan glukosa (D50% 50ml) dan/atau thiamin 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3 (30-60 menit) SE Menetap
Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi an terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit)
pindah ke ICU
perawatan intensif dan monitor EEG
monitor yekanan intrakranial bila dibutuhkan
berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah
lengkap, faal hemostatis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi
bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan
otak dan pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan
kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama
ahli neurologi
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinan status
epilpsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adala supresi
aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah untuk munculnya pola burst
supression.
26
Pengelolaan Status Epileptikus Non Konvulsif
Dapat ditemukan 1/3 kasus SE
Dapat dibagi SE lena, SE parsial kompleks, SE nonkinvulsivus pada penyandang
dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar
Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsif bermacam-macam sesuai jenis
bengkitan
Tipe Terapi pilihan Terapi lain
SE Lena Benzodiazepin I>V/oral Valproat i.v
SE Parsial kompleks Clobazam oral Lorazepam/phenytoin/
phenobarbital i.v
SE Lena atipikal Valproat oral Benzodiazepine
27
Lamotrigine, topiramate,
methylphenidate, steroid oral
SE Tonik Lamotrigine oral
SE nonkonvulsif pada
penyandang koma
Phenytoin i.v atau
phenobarbital
Methylphenidate, steroid
Anestesia dengan
thiopentone, phenobarbital,
propofol atau midazolam
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan perbahan potensial membran di sel otak, yang mengakibatkan terjadinya
kekacauan kanal ion. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat
dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang.
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat 45
pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai
bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna
menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit).
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang
memberikan materi kuliah.
29
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, . 2009. Kapita Selekta Neurologi Edisi 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Kusumastuti, Kurnia. 2014. Pedoman Tata Laksana Epilepsi Edisi 5. Surabaya: Airlangga
University Press
Sylvia. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi6. Jakarta: EGC.
30
Top Related