LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
STABILISASI HARGA DAGING SAPI
Oleh
Saptana Nyak Ilham
Bambang Winarso Valeriana Darwis
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
i
KATA PENGANTAR
Perkembangan data historis dan hasil proyeksi menunjukkan bahwa pasar
daging sapi dunia dan Indonesia terus meningkat. Semua faktor-faktor yang
mempengaruhi baik pada sisi penawaran maupun sisi permintaan terhadap daging
sapi cenederung terus meningkat. Permasalahan pokok yang dihadapi kedepan
adalah laju pertumbuhan konsumsi dan harga yang tumbuh lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan populasi sapi dan produksi daging sapi baik ditingkat
dunia maupun Indonesia.
Program PSDSK 2014 bertujuan untuk mencapai swasembada daging sapi
nasional melalui peningkatan populasi dan produksi berbasis sumberdaya lokal.
Dalam upaya mencapai sasaran program tersebut menghadapi berbagai kendala,
baik teknis, ekonomi maupun sosial kelembagaan. Kendala utama dari aspek
ekonomi adalah fluktuasi harga daging sapi yang cukup tinggi baik di pasar global
maupun pasar domestik. Upaya stabilisasi harga daging sapi diharapkan dapat
mendukung pencapaian swasembada daging sapi.
Kebijakan antisipatif dalam jangka menengah dan panjang tetap difokuskan
pada upaya meningkatkan produksi daging sapi domestik dan mempertahankan
populasi dengan tetap memberi kontribusi pada produk impor sebagai pelengkap.
Dalam menyusun berbagai kebijakan terkait tersebut, sebaiknya dilakukan secara
bersama dengan berbagai pihak terkait, diantaranya terkait kebijakan perdagangan
internasional dan perdagangan dalam negeri dari Kementerian Perdagangan,
peningkatan industri pengolahan daging dari Kementerian Perdagangan, kebijakan
peningkatan produksi dari Kementerian Pertanian, dan kebijakan-kebijakan daerah
yang mendukung produksi dan perdagangan. Dengan demikian terjadi sinergitas
dari dampak kebijakan untuk mempertahankan kemampuan produksi dalam negeri.
Oleh karena itu, diperlukan data dan informasi, bagaimana kebijakan
stabilisasi harga daging sapi dapat dilakukan dengan baik. Untuk itu diperlukan
penelitian analisis kebijakan dengan judul: “Stabilisasi Harga Daging Sapi”. Untuk
mendapat informasi secara komprehensif, selain melakukan studi pustaka, analisis
data sekunder, juga dilakukan di dua daerah sentra produksi sapi potong, yaitu di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kajian difokuskan pada analisis tentang
perkembangan produksi daging sapi, perkembangan harga daging sapi, proyeksi
harga daging sapi, dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi.
ii
Kami meyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan penelitian analaisis kebijakan ini, sejak
dari persiapan hingga terwujudnya laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat untuk
berbagai pihak untuk mendukung kemajuan industri sapi potong nasional dan
kesejahteraan peternak sapi potong rakyat.
Bogor, Desember 2014
Kepala Pusat,
Dr. Handewi Puwati Saliem
NIP. 19570604 198103 2 001
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2. Dasar Pertimbangan .................................................................. 3 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7
2.1. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi .......................................................... 7
2.2. Perkembangan Harga Daging Dunia dan Indonesia ..................... 9 2.3. Kebijakan Stabilisasi Harga ........................................................ 10
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 13
3.1. Kerangka Pemikiran ................................................................... 13
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................ 14 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden ................................................ 14
3.3.1. Dasar Pertimbangan ........................................................ 14 3.3.2. Lokasi dan Responden ..................................................... 15
3.4. Data dan Metode Analisis ........................................................... 15
3.4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................... 15 3.4.2. Metode Analisis ............................................................... 17
IV. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAGING DUNIA DAN INDONESIA ............ 18
4.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Dunia ................................ 18 4.2. Perkembangan Produksi daging Sapi Indonesia ........................... 22
V. PERKEMBANGAN KONSUMSI DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA.... 31
5.1. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Dunia ............................... 31 5.2. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Indonesia ......................... 35
VI. PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR STOCK DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA ............................................................................... 39
6.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi ............................................ 39
6.1.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Dunia ......................... 39 6.1.2. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Indonesia ................... 44
iv
6.2. Perkembangan Impor Daging Sapi ............................................. 48 6.2.1. Perkembangan Impor Daging Sapi Dunia .......................... 48
6.2.2. Perkembangan Impor Daging Sapi Indonesia .................... 55
VII. PERKEMBANGAN HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA ......... 58
7.1. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia .................................... 58 7.2. Perkembangan Harga Daging Sapi Indonesia .............................. 59
7.2.1. Harga Daging Sapi pada Daerah Konsumen dan Produsen . 60
7.2.2. Harga Daging Sapi Nasional ............................................. 63
VIII. HASIL ANALISIS PROYEKSI HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA ...................................................................................... 67
8.1. Hasil Proyeksi Harga Daging Sapi Dunia ...................................... 67 8.2. Hasil Proyeksi harga daging Sapi Indonesia................................. 69
IX. EVALUASI KEBIJAKAN TERKAIT KEBIJAKAN STABILISASI HARGA
MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI ........................................ 74
9.1. Kebijakan Menstabilkan Pasokan Domestik ................................. 74
9.2. Isu-Isu Kebijakan Aktual ............................................................ 91 9.2.1. Perubahan Regulasi Impor Sapi Potong dan Daging Sapi ... 91
9.2.2. Ketersediaan dan Permintaan (Supply and Demand) ......... 92 9.2.3. Penetapan Referensi Harga Daging Sapi ............................ 93
9.2.4. Tata Niaga dan Transportasi ............................................ 94 9.2.5. Analisa Perhitungan Pasokan dan Kebutuhan Sapi Potong dan Kerbau 2014 ............................................................. 94
9.3. Opsi Kebijakan Stabilisai Harga Daging Sapi ................................ 95
X. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .......................................... 104
10.1. Kesimpulan ............................................................................. 104 10.2. Implikasi Kebijakan ................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Rencana Jenis Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Tujuan Penelitian dan Sumber Data ........................................................... 16
2. Perkembangan produksi daging di Indonesia, tahun 2004-2012 ....... 23
3. Produksi Daging Sapi menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2009-2013 .................................................................................... 25
4. Perkembangan Konsumsi Produk Daging Perkapita Per Tahun, Tahun 2009-2012 .......................................................................... 38
5. Perkembangan Ekspor Produk Peternakan Menurut Kelompok
Produknya 2005-2012 ................................................................... 45
6. Nilai Ekspor Tenak Indonesia 2005-2012 ........................................ 46 7. Nilai dan Volume Ekspor Hasil Ternak Tahun 2012 .......................... 47
8. Neraca Daging Dunia menurut Jenis Daging, 2010-2012 .................. 52
9. Perkembangan Impor Produk Peternakan Menurut Kelompok
Produknya 2005-2012 ................................................................... 56 10. Nilai and Volume Impor Hasil Ternak Tahun 2012 ........................... 57
11. Capaian 14 Intervensi PSDSK Tahun 2013 ...................................... 88
vi
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Negara-negara Produsen Sapi di Dunia menurut Peringkat, 2014 ..... 19
2. Negara-negara Produsen Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia menurut Peringkat, 2014 ............................................................... 20
3. Perkembangan Produksi Sapi Potong pada Beberapa Negara Produsen Utama, 1999-2014 .......................................................... 21
4. Perkembangan Produksi Total Sapi Potong pada Negara Produsen Utama, 1999-2014 ........................................................................ 22
5. Sepuluh Negara Terbesar yang Mengkonsumsi Daging Sapi
(Beef dan Veal) di Dunia, 2014 ...................................................... 31
6. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Berkembang, 1975-2014 ............................................................... 32
7. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Maju, 1975-2014 .................................................................................... 33
8. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di 10 Negara Konsumen
Utama, 1975-2014 ........................................................................ 34 9. Negara Eksportir Utama Ternak Sapi Hidup di Dunia, 2014 .............. 42
10. Negara Eksportir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia,
2014 ............................................................................................ 43
11. Perkembangan Ekspor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014 .......................................................... 44
12. Negara Importir Utama Ternak Sapi di Dunia, 2014 ......................... 49
13. Negara Importir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014 ............................................................................................ 50
14. Perkembangan Impor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014 .......................................................... 51
15. Indikator Harga Daging di Pasar Dunia ........................................... 53
16. Keuntungan Produsen Daging di Bawah Tekanan Ketidak Stabilan Harga Output dan Tingginya biaya Pakan ....................................... 55
vii
17. Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional, 2004- 2013 ............................................................................................ 58
18. Perkembangan Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun Dasar
2005 di Pasar Internasional, 1980-2013 .......................................... 59
19. Perkembangan Harga Harian Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013 ........................................ 61
20. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013 ........................................ 62
21. Perkembangan Harga Daging Sapi di DKI Jakarta dan Sentra Produksi, Selama Jan-Agustus, 2013 .............................................. 63
22. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional dari 1983-April 2014 ..... 63
23. Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional 2004-2013
dan Proyeksi 2014-2019 ................................................................ 68 24. Perkembangan dan Proyeksi Indeks Harga Daging Sapi dengan
Tahun Dasar 2005 di Pasar Internasional, 1980-2019 ...................... 69
25. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional 1983-2014 dan Proyeksi 2015-2019 .................................................................................... 70
26. Perkembangan Harga Daging Sapi di Kota Jakarta 2009:1-2013:11 dan Proyeksi 2013:12-2015:11 ....................................................... 71
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri peternakan sapi potong merupakan basis ekonomi yang berpotensi
tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (growth with
equity) yang sejauh ini belum dikembangkan secara optimal. Sumber-sumber
pertumbuhan industri sapi potong bersumber dari sisi permintaan maupun
penawaran. Dari sisi permintaan, komoditas dan produk industri sapi potong
ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan, jumlah dan laju pertumbuhan penduduk,
semakin banyaknya jumlah penduduk kelas menengah atas, meningkatnya
urbanisasi dan jumlah penduduk yang tinggal di kota, serta fenomena segmentasi
pasar. Komoditas daging sapi merupakan salah satu bahan makanan asal ternak
yang kaya akan protein, zat besi, dan beberapa vitamin penting terutama vitamin B.
Komoditas dan produk berbasis sapi potong tergolong produk dengan nilai tinggi
(high value products), maka semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin tinggi
pula permintaan terhadap komoditas dan produk-produk berbasis sapi potong.
Dengan peningkatan pendapatan maka terjadi pula pergeseran pola pengeluaran
makanan melalui permintaan makanan “ready to cook” dan “ready to eat” yang
terbuat dari daging sapi (Daryanto, 2009).
Dari sisi penawaran, jumlah pasokan ditentukan oleh faktor-faktor populasi
ternak sapi potong, produktivitas dan daya saing produk berbasis sapi potong. Hal
ini sangat terkait erat dengan ketersediaan dan harga pakan, perubahan tekonologi
(Inseminasi Buatan, pakan dan trasportasi), harga energi dan lingkungan kebijakan
yang kondusif (antara lain kerangka insentif, regulasi pasar dan kredit, sanitary
standards, kebijakan ketenagakerjaaan dan lingkungan). Esensi perdagangan
komoditas adalah daya saing dan esensi dayasaing adalah produktivitas komoditas
atau produk berbasis sapi potong (Saptana dan Daryanto, 2013). Peningkatan
produktivitas yang tinggi sangat diperlukan melalui perubahan dan transfer teknologi
sehingga dapat memperpendek siklus produksi penggemukan sapi potong dan
mortalitas yang rendah, feed convertion ratio (FCR) yang makin rendah, dan sistem
produksi sapi potong yang makin terintegrasi.
2
Permasalahan utama pada komoditas daging sapi adalah masalah fluktuasi
harga yang tinggi. Oleh karena itu, upaya stabilisasi harga daging sapi menjadi
sangat penting untuk terus dilakukan. Stabilisasi harga dapat diartikan sebagai
kegiatan pengendalian fluktuasi harga agar setidaknya sesuai dengan besaran inflasi
nasional atau lebih kecil (Direktorat Bapostrat, 2013). Kebijakan untuk komoditi
daging sapi harus memperhatikan aspek kesinambungan sehingga kebijakan
pengendalian harga daging sapi benar-benar mampu menahan pergerakan harga
yang bergerak secara tidak terkendali.
Kasus melonjaknya harga daging sapi di beberapa daerah pusat konsumsi,
salah satu penyebab utamanya adalah karena kelangkaan daging sapi dari sentra
produksi ke sentra konsumen. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya keseimbangan
penawaran dan permintaan. Oleh karena itu untuk melakukan stabilisasi harga
daging sapi harus ada upaya-upaya percepatan peningkatan produksi sapi lokal.
Untuk mendukung program swasembada daging sapi 2005 dan dilanjutkan
tahun 2014, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan menetapkan
beberapa kebijakan strategis sebagai berikut: (1) pengembangan wilayah
berdasarkan komoditas ternak unggulan, (2) pengembangan kelembagaan peternak,
(3) peningkatan usaha dan industri peternakan, (4) optimalisasi pemanfatan,
pengamanan, dan perlindungan sumberdaya alam lokal, (5) pengembangan
kemitraaan usaha yang saling menguntungkan, dan (6) mengembangkan teknologi
tepat guna. Tiga sasaran utama program tersebut adalah peningkatan populasi,
penurunan impor sapi bakalan, dan peningkatan pemotongan sapi lokal.
Penetapan target swasembada pada tahun 2005 oleh Yusdja at al. (2004)
dianggap tidak realistik, namun ada juga yang beranggapan ide program tersebut
sangat brilian (Rahardjo, 2000). Hasil kajian Yusdja et al. (2004) tentang
pencanangan swasembada tahun 2005, dan Tim Peneliti Unibraw (2010) tentang
pencanangan swasembada daging sapi tahun 2010 dan 2014 tidak berhasil
disebabkan paling tidak terdapat lima penyebab utama, yaitu: (1) Kebijakan program
yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci; (2) Program-
program yang dibuat bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan
sasaran yang ingin dicapai; (3) Strategi implementasi program disamaratakan
dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi pada
3
komoditas unggulan; (4) Implementasi program-program tidak memungkinkan
untuk dilaksanakan evaluasi dampak program; (5) Program-program tidak secara
jelas memberikan dampak pada pertumbuhan populasi secara nasional.
Ketidak berhasilan pencapaian program swasembada daging sapi membawa
beberapa konsekuensi, yaitu: (1) Harga komoditas dan produk daging sapi sering
bergejolak pada tingkat harga tinggi; (2) Gejolak dan lonjakan harga daging sapi
yang semakin tidak terkendali meresahkan masyarakat industri berbasis daging sapi
dan merepotkan pemerintah; (3) Meningkatnya ketergantungan terhadap komoditas
sapi dan daging sapi impor; (4) Pemerintah dinilai gagal dalam menciptakan
stabilitas harga pangan, tercakup daging sapi. Tumbuh tekad politik untuk
mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan nasional, termasuk
pangan hewani (UU No 18/2012). Pemerintah memutuskan untuk menerapkan
kebijakan stabilisasi harga pangan strategis (beras, kedele, jagung, gula dan daging
sapi).
Beberapa pertanyaan perlu dijawab: (1) Apakah stabilitas harga daging sapi
diperlukan untuk mewujudkan tekad dan tujuan kemandirian dan ketahanan pangan
hewani nasional? ; (2) Kebijakan stabilitas harga daging sapi seperti apa yang harus
dilakukan?; dan (3) Kebijakan dan program pendukung apa saja yang harus
dilakukan untuk menstabilkan harga daging sapi?
1.2. Dasar Pertimbangan
Ketahanan pangan telah menjadi isu dunia selama dua dekade ini.
Pembangunan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan
merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam
RPJMN 2010-2014, pembangunan ketahanan pangan menjadi prioritas kelima untuk
menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi bangsa dan negara masa kini dan
mendatang (DKP, 2012). KTT pangan 2009 menyepakati untuk menjamin
pelaksanaan langkah-langkah yang mendesak pada tingkat nasional, regional, dan
dunia untuk merealisasikan secara penuh target Millenium Development Goal (MDG)
kesatu dan World Food Security (WFS) 1996, yaitu mengurangi penduduk dunia
yang menderita karena lapar dan malnutrisi hingga setengahnya pada tahun 2015.
Kebijakan pembangunan ketahanan pangan nasional telah dituangkan dalam
4
Rencana Strategis Kementan (2010-2014) yang diarahkan untuk mencapai empat
target Kementan, yaitu: peningkatan swasembada dan swasembada berkelanjutan;
peningkatan diversifikasi pangan; peningkatan nilai tambah, dayasaing, dan ekspor;
serta peningkatan kesejahteraan petani (Kementan, 2012). Pencapaian empat target
Kementan sangat terkait dengan stabilitas harga pangan strategis (beras, jagung,
kedelai, gula, daging sapi).
Asian Development Bank (ADB, 2011) dalam laporannya yang berjudul “Dunia
Food Price Inflation and Developing Asia”, menyebutkan bahwa harga pangan dunia
telah mengalami lonjakan 30 persen dan inflasi pangan domestik rata-rata
mengalami peningkatan sebesar 10 persen pada dua bulan pertama tahun 2011
yang akan menyebabkan 64,4 juta orang di Asia jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Kenaikan harga pangan dunia berdampak terhadap peningkatan kemiskinan untuk
25 Negara Asia berkembang termasuk Indonesia, dengan pemenuhan kebutuhan $
1,25 per kapita/hari.
Kekhawatiran terhadap kekurangan pangan telah menjadi perhatian para
cendekiawan sejak dua abad yang lalu. Kekhawatiran akan ketidakmampuan
penyediaan pangan yang memadai bagi semua penduduk berpijak pada kenyataan
adanya kecepatan pertumbuhan yang berbeda antara jumlah penduduk dengan
ketersediaan pangan, sebagaimana diungkapkan dalam teori Malthus yang secara
ringkas menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan
pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan
akan mengalami ancaman kekurangan pangan. Meskipun berbagai inovasi telah
diciptakan, kemampuan untuk secara terus menerus menyediakan pangan yang
melampaui pertumbuhan penduduk akan terus diuji sepanjang sejarah kehidupan
manusia.
Ketahanan pangan nasional harus dimulai dari ketahanan pangan rumah
tangga. Ketahanan pangan rumah tangga menurut UU No. 7 Tahun 1996 adalah
Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan, yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Definisi ketahanan pangan menurut FAO (2001) adalah when all people,
at all times, have phisical and economic acces to sufficient, safe and nutricious food
to meet their dietery need and food preferences for an active and healthy life.
5
Menurut UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,
dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara
berkelanjutan.
Gejolak kenaikan harga komoditas pertanian yang tidak menentu, dapat saja
memiliki dampak pengganda (multiplier effects) yang sangat tinggi, maka
dikhawatirkan dalam waktu dekat akan menimbulkan gejolak sosial dan politik yang
signifikan. Pemerintah dinilai gagal melakukan langkah antisipatif dalam stabilisasi
harga pangan strategis, tercakup daging sapi. Walaupun Indonesia memiliki potensi
sumberdaya pertanian, tetapi hingga saat ini kita masih mengimpor kedelai sebesar
70 persen, daging sapi 25 persen, jagung 10 persen, kacang tanah 15 persen, susu
90 persen dan gula 30 persen dari kebutuhan nasional (Daryanto, 2009).
Secara spesifik justifikasi dari penelitian ini adalah: (1) Fenomena gejolak
komoditas daging sapi diperkirakan akan terus terjadi, karena meningkatnya
pertumbuhan permintaan yang melampaui kemampuan pasokannya; (2)
Ketergantungan daging sapi impor yang masih tetap tinggi dan diperkirakan
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu; (3) Belum berhasilnya program
swasembada daging sapi; (4) Pentingnya kebijakan stabilisasi harga daging sapi
untuk mendukung swasembada daging sapi. Berdasar latar belakang tersebut, maka
penelitian analisis kebijakan dengan judul “Stabilisasi Harga Daging Sapi” layak
untuk dilakukan.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Melakukan analisis tentang perkembangan produksi daging sapi di tingkat dunia
dan Indonesia
2. Melakukan analisis tentang perkembangan harga daging sapi di pasar dunia dan
di pasar domestik.
3. Melakukan analisis proyeksi harga daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga
daging sapi.
6
4. Melakukan evaluasi kebijakan terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging
sapi.
5. Memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi harga daging sapi mendukung
program swasembada daging sapi.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Program Pencapaian
Swasembada Daging Sapi
Hampir semua negara memiliki Departemen Pertanian atau Kementerian
Pertanian yang berarti memiliki kebijakan pertanian. Seorang ekonom pertanian
terkemuka mengatakan “agricultural policy is ubiquitous and contentious” (Gardner,
1987). Pendapat tersebut mengungkapkan sifat umum dari kebijakan pertanian yang
agak paradoksal. Pada satu sisi, kebijakan pertanian tercakup peternakan sangat
dibutuhkan untul mendukung pembangunan pertanian dan peternakan, namun di
sisi lain setiap kebijakan selalu dapat dijustifikasi dengan argumen yang saling
bertentangan dan dampaknya bersifat dilematis (Timmer dan Pearson, 1983).
Kebijakan pertanian umumnya tergolong kebijakan redistributif atau Political
Economic Seeking Transfers (PEST) sehingga merupakan isu ekonomi-politik
kontraversial (Rausser, 1992). Sifat yang paradoksal itulah yang menjadi alasan
pokok kenapa kebijakan pertanian harus dirancang dengan seksama melalui suatu
analisis yang komprehensif (Simatupang, 2003).
Kebijakan pembangunan pertanian ialah keputusan dan tindakan pemerintah
untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan
pertanian guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang, 2003).
Dengan demikian kebijakan stabilisasi harga pangan tercakup daging sapi adalah
kebijakan pertanian. Kebijakan pembangunan pertanian haruslah dipandang dalam
konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani atau peternak saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia. Ini berarti, kebijakan pembangunan pertanian termasuk dalam kategori
kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan
orang banyak, baik produsen maupun konsumen.
Dalam perekonomian modern, seperti perekonomian Indonesia saat ini,
keragaan sektor-sektor ekonomi saling mempengaruhi dan keragaan perekonomian
dalam negeri sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian inter-nasional. Oleh
karena itu, berbagai kebijakan yang dibuat pada sektor non-pertanian berpengaruh
nyata terhadap keragaan pembangunan pertanian, dan demikian pula sebaliknya.
8
Dengan demikian, cakupan kebijakan pembangunan pertanian tidak dapat dibatasi
berdasarkan delineasi sektoral maupun secara jenjang organisasi pemerintahan.
Adanya kekurangan pasokan sapi lokal dan kecenderungan peningkatan
harga dari tahun ke tahun mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya
pemenuhan kebutuhan daging sapi masyarakat dan menjadikan sebagai salah satu
agenda nasional. Pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging
sapi dengan sasaran untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik secara
mandiri dengan Program P2DSK 2014 (Ditjen Peternakan, 2011) yang dalam hal ini
akan bersinggungan dengan dua kebijakan penting, yaitu kebijakan impor dan
revitalisasi pengembangan ternak sapi dalam negeri. Terdapat lima kegiatan pokok,
yaitu: (1) penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) peningkatan produktivitas dan
reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif,
(4) penyediaan bibit sapi lokal, dan (5) pengaturan stok daging sapi dalam negeri,
yang mencakup stok sapi bakalan, distribusi, serta pemasaran sapi dan daging sapi.
Program PSDS 2014 secara operasional dijabarkan dalam 13 kegiatan
program, yaitu(Ashari et al., 2012): (1) Pengembangan usaha pembiakan dan
penggemukan sapi lokal; (2) Pengembangan pupuk organik dan biogas; (3)
Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman; (4) Pemberdayaan dan
peningkatan kualitas RPH; (5) Optimalisasi IB dan INKA; (6) Penyediaan dan
pengembangan pakan dan air; (7) Penanggulangan gangguan dan peningkatan
pelayanan kesehatan hewan; (8) Penyelamatan sapi betina produktif; (9) Penguatan
wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan; (10) Pengembangan
usaha pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre (VBC); (11)
Penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga (KUPS); (12) Pengaturan stock sapi
bakalan dan daging; dan (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging.
Kementan (2013) mengungkapkan perkembangan swasembada daging
menunjukkan produksi daging tahun 2012 terealisasi sebesar 2.690,9 ribu ton, jika
dibandingkan tahun 2004 sebesar 2.020,4 ribu ton, maka produksi daging
mengalami peningkatan sebesar 24,9% (3,3%/tahun). Meskipun mengalami
peningkatan yang cukup significan, namun hingga kini belum mampu mencukupi
kebutuhan konsumsi domestik. Kondisi belum seimbangnya antara pasokan dan
9
permintaan daging sapi di pasar domestik diperkirakan ketidak stabilan harga akan
tetap terjadi di masa-masa mendatang.
2.2. Perkembangan Harga Daging Dunia dan Indonesia
Pasar daging dunia menghadapi tantangan yang berat yaitu harga pakan
ternak yang tinggi, tingkat konsumsi yang mengalami pelandaian atau stagnasi, dan
keuntungan yang mengalami penurunan secara tajam (FAO, 2012). Dengan
pertumbuhan total output melambat menjadi hanya 2 %/tahun, dengan harga dunia
mendekati rekor tertinggi, menyebabkan pertumbuhan perdagangan daging dunia
mengalami pelambatan.
Menghadapi harga pakan ternak yang tinggi dan konsumsi daging yang
melambat, produksi daging dunia pada tahun 2012 diperkirakan akan tumbuh
kurang dari 2%/tahun menjadi hanya sebesar 302 juta ton. Akibatnya margin
keuntungan industri peternakan mengalami penurunan tajam, hal ini banyak
diterjemahkan bahwa keuntungan dalam bisnis peternakan lebih banyak dinikmati
oleh negara maju, diperkirakan bahwa pertumbuhan daging dunia kemungkinan
akan terjadi pergeseran dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang,
yang kini mencapai 60 persen dari total output dunia (Gordon Butland, 2012).
Kondisi yang cukup mengkawatirkan tentang profitabilitas komoditas daging
telah diperparah oleh melemahnya pertumbuhan pasar ekspor, dengan ekspansi
perdagangan yang diperkirakan melambat dari 8% (2011) menjadi hanya 2%
(2012). Ekspor daging dunia diperkirakan akan naik tipis hanya sekitar 600 ribu ton
menjadi 29,4 juta ton pada tahun 2012 (Gorgon Butland, 2012). Peningkatan
tersebut terutama ditopang oleh peningkatan daging unggas dan daging babi,
sedangkan daging sapi mengalami stagnasi. Kelangkaan daging sapi di pasar dunia
diperkirakan akan mendorong ketidakstabilan harga daging sapi di pasar domestik.
Hasil kajian outlook komoditas pertanian sub sektor peternakan berkaitan
dengan perkembangan harga daging sapi di Indonesia diperoleh informasi bahwa
perkembangan harga daging sapi di tingkat konsumen sejak tahun 1983 hingga
tahun 2007 sedikit berfluktuasi dan cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan
sebesar 14,34%/tahun (Pusdatin, 2009). Proyeksi penawaran daging sapi untuk
tahun 2009-2011 menunjukkan bahwa model produksi penawaran daging sapi
10
hanya dipengaruhi tahun sebelumnya dengan nilai koefisien 0,0274, sedangkan
koefisien produksi sebelumnya dan harga daging sapi tidak berpengaruh secara
nyata pada α=5%. Koefisien determinasi dari model penawaran daging sapi sebesar
74,4%, yang berarti bahwa ketiga variabel penawaran daging sapi, yaitu populasi,
produksi, dan harga secara bersama-sama berpengaruh 74,4% terhadap penawaran
daging sapi. Proyeksi permintaan daging sapi dengan menggunakan data Neraca
Bahan Makanan (NBM) dengan menggunakan model time series dihasilkan proyeksi
permintaan daging sapi pada tahun 2009 hingga 2011 sebesar 1,09%/kapita dan
pada periode 2008-2001 mengalami peningkatan sebesar 2,29%/tahun (Pusdatin,
2009).
Menurut catatan Kementerian Perdagangan, rata-rata kenaikan harga daging
sapimencapai 10% per tahun selama periode 2000-2010 (Direktorat Bapostrat,
2013). Bahkan memasuki kuartal pertama tahun 2013, terjadi kenaikan harga
daging sapi diluar kewajaran, hingga mencapai Rp 100.000,00,-/kg.
2.3. Kebijakan Stabilisasi Harga
Tingginya harga beberapa komoditas pangan, sementara pendapatan
masyarakat relatif tetap, membatasi akses masyarakat terhadap pangan (Siregar
dan Masyitho, 2009). Hal ini mengakibatkan dayabeli masyarakat berkurang,
sehingga dapat mengancam ketahanan pangan. Tingginya harga pangan juga
mengakibatkan tingginya tingkat inflasi dan berakibat pada sulitnya masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
jumlah penduduk miskin. Selanjutnya diperoleh kesimpulan bahwa variasi harga
pangan lebih dipengaruhi oleh guncangan terhadap harga pangan itu sendiri, yang
dapat bersumber teknologi produksi dan kebijakan pemerintah terkait. Sementara
itu, variasi inflasi secara dominan dipengaruhi oleh harga pangan. Oleh karena itu,
kebijakan stabilisasi harga pangan tercakup daging sapi merupakan salah satu
kebijakan penting dalam pembangunan pertanian.
Erwidodo (2013) mengemukakan bahwa aturan WTO tidak melarang negara
anggota melakukan stabilisasi harga pangan di pasar domestik. Namun, mengingat
stabilisasi harga mencakup intervensi pasar (penentuan HPP & HJP), mengatur
impor dan ekspor, dan mengelola stock penyangga, maka pilihan instrumen
11
kebijakan harus konsisten dengan aturan WTO. Secara empiris hampir semua
Negara “net-food importing” melaksanakan program stabilisasi harga pangan.
Negara-negara anggota WTO yang menerapkan program stabilisasi harga
pangan antara lain adalah: India, China, Pakistan, Singapura, Malaysia, Philipina,
Korea Selatan, Thailand, Turki, Swiss, Finlandia dan Estonia. Kelompok G33
mengusulkan agar subsidi untuk „public-stockholding‟ dalam rangka ketahanan
pangan di negara berkembang/LDCs tidak menjadi bagian Aggregate Measurement
of Support (AMS) tetapi menjadi „deliverable‟ di KTM Bali, 3-6 Des 2013.
Hasil kajian Erwidodo (2013) terkait dengan kebijakan stabilisasi harga dan
ketahanan pangan menyimpulkan beberapa temuan penting, di antaranya adalah:
(1) Gejolak dan lonjakan harga eceran beberapa produk pangan akhir-akhir ini
merupakan indikator kelangkaan pasokan, artinya peningkatan laju produksi
domestik tidak dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi, kondisi ini dapat
memicu ketidakstabilan harga pangan; (2) Terus berkurangnya lahan pertanian
pangan tercakup padang penggembalaan akibat konversi lahan dipastikan akan
semakin meningkatkan defisit pangan tercakup daging sapi dan ketergantungan
terhadap pangan impor makin tinggi; (3) Perluasan lahan pertanian pangan dan
pencetakan sawah (beririgasi) di luar Jawa harus menjadi program nasional prioritas
untuk mewujudkan ketahanan sekaligus kemandirian pangan, pengembangan food
estate atau rice estate di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat yang melibatkan
beberapa stakeholder (Perum Syang Hyang Seri, BPN, Dinas Pertanian, Masyarakat
Petani) perlu didukung semua pihak tert; (4) Pengembangan sistem integrasi
tanaman-ternak sapi dengan memanfaatkan sumberdaya lahan perkebunan
merupakan langkah strategis dan bersifat simbiose mutualistme; (5) Tujuan untuk
mencapai „ketahanan‟ dan „kemandirian‟ pangan merupakan „legitimate objective‟
yang perlu didukung semua pihak, namun untuk mencapainya perlu strategi,
kebijakan, program dan instrumen kebijakan yang tepat, tidak hanya terbatas
kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor; (5) Pembatasan impor
komoditas pangan dengan kuota harus dihindari karena hanya menguntungkan „rent
seeker‟ dan tidak koonsisten dengan aturan WTO; (6) Kebijakan stabilisasi harga
pangan merupakan salah satu kebijakan penting dalam menjamin harga layak dan
kelangsungan usaha petani dan tetap terjangkau oleh konsumen; dan (7) Kebijakan
12
stabilisasi harga pangan yang dikombinasikan dengan kebijakan impor secara
transparan dan terbuka dapat berjalan efektif tanpa perlu anggaran (stok
penyangga) yang besar.
Beberapa model kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah untuk
melindungi petani atau peternak dapat dilakukan melalui (Ditjen P2HP, 2014): (1)
Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan
atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada komoditas
jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan pada komoditas
kedelai; dan (4) Harga referensi.
13
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Permintaan terhadap daging sapi di pasar domestik terus meningkat,
sedangkan pasokannya hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan, sehingga
kekurangannya masih harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, pemenuhan
permintaan daging sapi dengan hanya menghandalkan dari pemotongan sapi potong
lokal akan meningkatkan harga dan ketidak stabilan harga daging sapi.
Meningkatnya harga daging sapi selanjutnya akan memicu pemotongan sapi potong
termasuk pemotongan sapi betina produktif yang berdampak terhadap pengurasan
populasi sapi potong. Hasil kajian Yusdja dan Pasandaran (2005) mengungkapkan
bahwa penyebab terjadinya pengurasan populasi sapi potong lokal adalah
ketidakmampuan meningkatkan produksi daging sapi dengan mengembangkan
teknologi maju dan manajemen pemeliharaan ternak sapi.
Kenaikan harga pakan dan melambatnya pertumbuhan produksi daging telah
mendorong kenaikan harga daging di pasar dunia pada akhir 2012, ke tingkat
mendekati harga tertinggi sejak tahun 2011. Dengan demikian, indeks harga daging
telah melonjak 5% sejak Juli 2012, rata-rata 174 poin antara Januari dan Oktober
2012, yang membandingkan dengan 176 poin untuk periode yang sama pada tahun
2011. Sebagian besar dari kenaikan indeks harga daging baru-baru ini
mencerminkan kenaikan harga untuk daging berkisar antara 9% hingga 12%, sejak
Juli 2011. Kencenderungan meningkatnya harga daging sapi di pasar dunia tersebut
dapat memicu peningkatan harga dagang sapi domestik dan memicu ketidak
stabilan harga daging di pasar domestik.
Kebijakan stabilisasi harga pangan tercakup pangan hewani merupakan salah
satu kebijakan penting dalam menjamin harga layak dan kelangsungan usaha
petani/peternak serta terjangkau konsumen secara luas (Erwidodo, 2013).
Beberapa model kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah untuk
melindungi petani atau peternak dapat dilakukan melalui: (1) Harga Pembelian
Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan atau beras; (2)
Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada komoditas jagung; (3)
14
Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan pada komoditas kedelai; dan
(4) Harga referensi.
Untuk dapat mengambil kebijakan yang tepat terkait dengan stabilisasi harga
daging sapi, diperlukan informasi yang cepat dan akurat terkait dengan kebutuhan,
produksi, ekspor-impor dan perkembangan harga baik di pasar domestik maupun
pasar internasional. Data dan informasi tersebut diharapkan dapat memberikan
informasi tentang berbagai hal terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging
sapi, sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat terkait dengan
pemenuhan dan distribusi daging sapi, baik bersumber dari produksi dalam negeri
maupun impor.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Penelitian ini secara umum akan membahas aspek kebijakan kebijakan
stabilisasi harga daging sapi mendukung swasembada daging sapi. Secara terperinci
ruang lingkup kegiatan penelitian mencakup, melakukan analisis tentang
perkembangan produksi daging sapi dunia dan domestik, perkembangan harga
daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik, melakukan analisis proyeksi harga
daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi, evaluasi kebijakan terkait
stabilisasi harga daging sapi, dan memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi
harga daging sapi mendukung program swasembada daging sapi.
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden
3.3.1. Dasar Pertimbangan
Pada dasarnya kajian ini merupakan kajian dalam perspetif makro atau
nasional, sehingga kajian dilapang hanya merupakan elaborasi dan klarifikasi dari
hasil kajian berdasarkan data-data sekunder, terutama data produksi dan data harga
dunia dan domestik. Lokasi kajian akan dilakukan di daerah sentra produksi dan
daerah dekat dengan pusat pasar utama sapi potong Jakarta. Diharapkan pada
lokasi penelitian dapat diproleh data dan informasi yang dapat mendukung kebijakan
stabilisasi harga daging sapi potong.
15
3.3.2. Lokasi dan Responden
Berdasarkan kriteria diatas maka lokasi penelitian akan dilakukan secara
nasonal berdasarkan data sekunder dan studi literatur dan kajian empiris di lapang.
Kajian empiris akan dilakukan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jakarta
untuk elaborasi dan klarifikasi hasil kajian data sekunder dan studi literatur. Provinsi
Jawa Barat dan Jawa Tengah dikenal sebagai daerah sentra produksi sapi potong
dan sekaligus berdekatan dengan pusat pasar daging sapi Jakarta. Provinsi DKI
Jakarta merupakan pusat pasar daging sapi potong dan sekaligus lokasi dimana
kantor-kantor pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan pengembangan
peternakan sapi potong dan Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau (P2DSK), seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil (P2HP). Sumber data dan informasi yang akan diwawancarai terdiri
dari : instansi terkait (Direktorat Jenderal Peternakan, Ditjen P2HP, Dinas
Peternakan, dan Badan Pusat Statistik), Kelompok Peternak, dan pelaku usaha
terkait dengan usahaternak sapi potong.
3.4. Data dan Metode Analisis
3.4.1. Jenis dan Sumber Data
Untuk mendukung kelengkapan informasi dalam penelitian, maka ada
beberapa data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder. Data
sekunder dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari instansi terkait. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara kepada responden kelompok peternak dan pelaku
usaha peternakan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang lebih
merupakan panduan wawancara dan penggalian data kualitatif terkait kebijakan
stabilisasi harga daging sapi potong. Informasi kebutuhan data selengkapnya
ditampilkan dalam Tabel 1.
16
Tabel 1. Rencana Jenis Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Tujuan Penelitian dan Sumber Data
No Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data
1 Melakukan analisis perkembangan produksi daging sapi di tingkat
dunia dan di Indonesia
1. Data produksi daging sapi dunia, 5-10 tahun terakhir
2. Data produksi daging menurut jenis
daging di Indonesia, data 5-10 tahun terakhir
3. Data konsumsi daging menurut
jenis daging sapi di Indoensia, data 5-10 tahun terakhir
1. Data sekunder 2. Data sekunder
3. Data sekunder
2 Melakukan analisis tentang perkembangan
harga daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik.
1. Data perkembangan harga daging menurut jenis hewan di pasar
dunia, 5-10 tahun terakhir 2. Data perkembangan harga daging
sapi menurut negara produsen
utama di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir
3. Data perkembangan harga daging
menurut jenis hewan di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir
4. Data perkembangan harga daging
sapi menurut provinsi utama/kota besar di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir
1. Data sekunder
2. Data sekunder
3. Data seunder
4. Data sekunder
3 Melakukan analisis
proyeksi harga daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging
sapi.
1. Data perkembangan harga daging
menurut jenis hewan di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir
2. Data perkembangan harga daging
sapi menurut negara produsen utama di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir
3. Data perkembangan harga daging menurut jenis hewan di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir
4. Data perkembangan harga daging sapi menurut provinsi utama/kota besar di pasar domestik, 5-10 tahun
terakhir
1. Data sekunder diolah
2. Data sekunder diolah
3. Data sekunder diolah
4. Data sekunder diolah
4 Melakukan evaluasi kebijakan terkait dengan kebijakan stabilisasi harga
daging sapi.
1. Data dan informasi terkait dengan kebijakan pembangunan peternakan, khususnya sapi potong
2. Data dan informasi terkait dengan Program P2DSK
3. Data dan informasi terkait
kebijakan stabilisasi harga daging sapi
4. Studi literatur terkait kebijakan
stabilisasi harga daging sapi
5 Memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi harga daging sapi mendukung
program swasembada daging sapi.
1. Hasil analisis data 2. Sintesis kebijakan berdasarkan hasil
analisis data
3. Rumusan opsi kebijakan
Informasi sekunder dan primer, serta informasi kualitatif dari lapang
17
3.4.2. Metode Analisis
Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu: “Melakukan analisis perkembangan
produksi daging sapi di tingkat dunia dan di Indonesia”. Berdasarkan data dan
informasi tersebut dan mengacu pada hasil penelitian sebelumnya maka dapat
diidentifikasi perkembangan pasokan daging sapi ditingkat dunia dan Indonesia.
Informasi ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan dan stabilitas harga
daging sapi di pasar domestik. Analisis data dan informasi dilakukan dengan analisis
rata-rata (mean), pertumbuhan (growth), coevisien variasi (coefficient variation)
dengan teknik tabulasi.
Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu: “Melakukan analisis tentang
perkembangan harga daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik”, diperlukan
informasi berupa harga daging menurut jenis daging, baik data pada level dunia
maupun di pasar domestik. Berdasarkan data dan informasi yang tersedia dapat
ketahui perkembangan harga daging sapi baik di pasar dunia maupun pasar
domestik. Analisis data dilakukan dengan analisis mean (rata-rata), pertumbuhan
(%/tahun), dan analisis coevisien variasi harga dengan teknik tabulasi.
Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu: “Melakukan analisis proyeksi harga
daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi”, diperlukan analisis proyeksi
harga. Analisis proyeksi harga dilakukan pada harga daging sapi dunia maupun
harga daging sapi domestik. Analisis proyeksi dilakukan dengan menggunakan
komputer program evious.
Untuk menjawab tujuan keempat, yaitu: “Melakukan evaluasi kebijakan
terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi”, diperlukan analisis evaluasi
kebijakan terkait dengan stabilisasi harga daging sapi. Analisis akan difokuskan pada
kebijakan menstabilkan pasokan daging sapi domestik, kebijakan impor sapi bakalan
dan daging sapi, dan kebijakan pengembangan sistem distribusi rantai dingin.
Untuk menjawab tujuan kelima: “Memberikan rekomendasi kebijakan
stabilisasi harga daging sapi mendukung program swasembada daging sapi”
diperlukan informasi yang didasarkan hasil analisis dari tujuan pertama, kedua dan
ketiga. Informasi yang diperoleh disintesakan dengan pendekatan deskriptif kualitatif
dan deskriptif kuantitatif. Dengan mengetahui kondisi eksisting, kendala-kendala
pokok diharapkan akan dapat direkomendasikan perbaikan dan penyempurnaan
stabilisasi harga daging sapi mendukung program pencapaian swasembada daging
sapi.
18
IV. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAGING DUNIA DAN INDONESIA
4.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Dunia
Produk peternakan menyumbang 17% konsumsi kilokalori global dan 33%
konsumsi protein global (FAOSTAT 2008; Daryanto, 2010). Secara global produksi
daging dunia masih didominasi jenis daging babi (pig), unggas (poultry), sapi
(beeff), dan daging domba (ovine). Namun dilihat dari produksi yang
diperdagangkan di pasar global memberikan gambaran yang berbeda, dimana
secara berturut-turut adalah daging unggas, daging sapi, babi, dan daging domba.
Hal ini sangat terkait dengan perbedaan pola konsumsi antar negara, dimana
penduduk muslim dunia tidak mengkonsumsi daging babi.
Terdapat 19 negara produsen ternak sapi utama di dunia, diantaranya adalah
Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, beberapa negara produsen juga merupakan
negara konsumen (Gambar 3). Penduduk pada ketiga negara itu sebagian besar
berpendapatan tinggi dan jumlahnya besar, sehingga sebagian besar produksi
ternak sapi dikonsumsi untuk kebutuhan domestik dan bahkan beberapa negara
masih mengimpor dari luar negeri. Sebaliknya, negara Australia dan Selandia baru,
walaupun produksi ternak sapinya tidak sebesar dengan Amerika Serikat, China dan
Uni Eropa, karena jumlah penduduknya relatif kecil maka selain untuk kebutuhan
memenuhi kebutuhan domestik juga melakukan ekspor baik dalam bentuk ternak
hidup dan daging sapi beku. Peringkat produksi sapi dan daging sapi antara 1- 7
terdiri dari negara-negara yang sama, namun dengan posisi urutan yang berbeda.
Informasi secara komparatif dapat dibandingkan antara Gambar 1 dan Gambar 2.
19
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 1. Negara-negara Produsen Sapi di Dunia menurut Peringkat, 2014
Sebagai contoh, India merupakan produsen sapi utama, namun hanya
menduduki peringkat kelima dalam memproduksi daging sapi. Secara sosial-budaya
masyarakat India sangat dekat dengan ternak sapi dan penduduk India lebih
memanfaatkan susu sapi dibandingkan daging sapi. India juga terkenal
keberhasilannya dalam melakukan revolusi putih, karena tingginya konsumsi susu
penduduk India. Oleh karena itu dengan jumlah penduduk yang besar dan konsumsi
susu yang tinggi menyebabkan populasi ternak sapi juga besar. Tingginya satus
ternak sapi pada masyarakat India meningkatkan peluang bahwa ternak dipelihara
dengan sungguh-sungguh sehingga kemampuan produksinya juga baik.
Dari sisi produksi daging sapi, umumnya masyarakat India tidak
mengkonsumsi daging sapi sehingga sapinya tidak banyak dipotong menjadi bentuk
produksi berupa daging sapi, tetapi lebih memanfaatkan tenaga kerja dan hasil
susunya. Selain itu, ukuran sapi yang ada di India termasuk Bos Indicus yang
ditujukan untuk tenaga kerja dan produksi susu dengan ukuran tubuh lebih kecil
dibandingan sapi Bos Taurus yang ada di Amerika Serikat, Eropa, serta Brazil dan
Argentina. Kondisi ini menyebabkan produksi daging per ekor sapi di India jauh lebih
kecil dibandingkan dengan di Amerika Serikat, Eropa, serta Brazil dan Argentina.
No Negara 1 India 65.500 2 Brazil 51.300 3 China 42.350 4 Amerika Serikat 33.300 5 EU-27 29.900 6 Argentina 14.300 7 Australia 8.750 8 Rusia 6.820 9 Meksiko 6.675 10 Kolumbia 5.000 11 Selandia Baru 4.985 12 Kanada 4.435. 13 Uruguay 3.000 14 Ukraina 2.590 15 Mesir 1.700 16 Belarus 1.350 17 Jepang 1.240 18 Venezuela 950 19 Korea Selatan 830
Produksi (000 ekor)
20
Kemampuan produksi ternak sapi dan daging sapi di Negara-negara produsen
utama sangat menentukan jumlah, stabilitas dan kontinyuitas pasokan ternak dan
daging sapi yang tersedia di pasar dunia. Kelangkaan pasokan dapat menyebabkan
kenaikan harga daging sapi melonjak tinggi, demikian pula sebaliknya jika terjadi
kelebihan pasokan terjagi fenomena penurunan harga. Faktor-faktor yang
menentukan jumlah pasokan adalah ketersediaan bibit/bakalan unggul (genetic
base) yang terkonsentrasi, ketersediaan hijauan pakan/padang penggembalaan,
ketersediaan pakan ternak jadi, serta ada tidaknya gangguan penyakit menular yang
mematikan dan penyakit gangguan reproduksi yang menurunkan pertambahan
populasi sapi.
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 2. Negara-negara Produsen Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia menurut Peringkat, 2014
No Negara
1 Amerika Serikat 11.018
2 Brazil 9.900
3 Uni Eropa 7.760
4 China 5.750
5 India 3.950
6 Argentina 2.840
7 Australia 2.265
8 Meksiko 1.795
9 Pakistan 1.600
10 Rusia 1.380
11 Kanada 1.020
12 Kolumbia 885
13 Afrika Selatan 825
14 Selandia baru 640
15 Uruguay 590
16 Paraguay 540
17 Jepang 495
18 Uzbekistan 475
19 Ukraina 440
Produksi (1000 MT CWE)
21
Untuk dapat memprediksi kemampuan produksi daging sapi yang didekati
dengan produksi sapi potong, berikut diuraikan perkembangan produksi sapi di
negara-negara produsen utama. Dari sisi pertumbuhan produksi terdapat tiga
kelompok Negara: (1) negara dengan pertumbuhan produksi menurun yaitu Amerika
Serikat dan Uni Eropa, (2) negara dengan pertumbuhan produksi stabil yaitu
Australia dan Selandia Baru, dan (3) negara dengan pertumbuhan menaik yaitu
India, Brazil dan China (Gambar 3).
Gambar 3. Perkembangan Produksi Sapi Potong pada Beberapa Negara Produsen Utama, 1999-2014
Secara total produksi sapi potong pada ketujuh negara tersebut masih
menunjukkan pertumbuhan yang positip, meskipun mengalami pelambatan pada
periode 2010-2014 (Gambar 4). Hal ini mengandung makna bahwa pasokan daging
sapi di pasar dunia selama lima tahun kedepan diduga masih mencukupi dan tetap
tumbuh positip, namun karena pertumbuhan yang melambat maka ketersediaan
daging sapi di pasar dunia makin terbatas. Hal inilah yang menjadi salah satu
argumen beberapa negara besar dengan penduduk besar seperti Indonesia untuk
mampu berswasembada daging sapi.
22
Gambar 4. Perkembangan Produksi Total Sapi Potong pada Negara Produsen Utama, 1999-2014
4.2. Perkembangan Produksi daging Sapi Indonesia
Total produksi daging pada tahun 2004 sebesar 2.020,4 ribu ton, kemudian
meningkat menjadi 2.169,7 ribu ton pada tahun 2008, dan pada tahun 2012
mencapai 2.691 ribu ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 3.85%/tahun pada
periode tersebut. Indonesia mempunyai 10 jenis komoditas yang memberikan
banyak peran dalam menyumbangkan produksi daging, yakni sapi, kerbau, kuda,
kambing, domba, babi, ayam petelur, broiler, ayam buras dan itik. Informasi secara
terperinci tentang perkembangan produksi daging di Indonesia pada periode 2004-
2012 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 memperlihatkan produksi daging menurut jenis ternak. Tahun 2004,
dari total produksi daging Indonesia sumbangan dari ayam ras pedaging (41,88 %),
sumbangan ternak sapi potong (22,15 %), ayam buras (14,67%), babi (9,64%),
serta kambing (3,27%) dan domba (2,83%). Pada tahun 2008, keenam komoditas
utama penghasil daging tetap merupakan penyumbang besar tetapi mengalami
pergeseran, yakni broiler (45,75%), sapi potong (16,24%), ayam buras (14,17%),
dan babi (10,86%), serta kambing (2,87%) dan domba (3,20%). Selanjutnya pada
tahun 2012, broiler (53.10%), sapi potong (18.79%), ayam buras (10,90 %), dan
babi (8.72%), serta kambing (2,55%) dan domba (1.73%).
23
Tabel 2. Perkembangan produksi daging di Indonesia, tahun 2004-2012 (000 ton)
No. Jenis Tahun
Rerata
Trend
(%/th) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Daging 2020.4 1817.0 2062.9 2069.5 2136.6 2204.9 2366.2 2554.2 2690.9 2213.6 3.85
1 Sapi potong
447.6 358.7 395.8 339.5 392.5 409.3 436.5 485.3 505.5 419.0 2.27
2 Kerbau 40.2 38.1 43.9 41.8 39.0 34.6 35.9 35.3 35.3 38.2 -1.33
3 Kambing 57.1 50.6 65.0 63.6 66.0 73.8 68.8 66.3 68.6 64.4 2.95
4 Domba 66.1 47.3 75.2 56.9 47.0 54.3 44.9 46.8 46.5 53.9 -1.17
5 Babi 194.7 173.7 196.0 225.9 209.8 200.1 212.0 224.8 234.7 208.0 2.74
6 Kuda 1.6 1.6 2.3 2.0 1.8 1.8 2.0 2.2 2.2 1.9 5.23
7 Ayam
Buras
296.4 301.4 341.3 294.9 273.5 247.7 267.6 264.8 274.2
284.6 -0.60
8 Ayam Ras Petelur
48.4 45.2 57.6 58.2 57.3 55.1 57.7 62.1 63.7
56.1 3.92
9 Ayam Ras
Pedaging
846.1 779.1 861.3 942.8 1018.7 1101.8 1214.3 1337.9 1428.8
1059.0 6.94
10 Itik 22.2 21.4 24.5 44.1 31.0 25.8 26.0 28.2 30.8 28.2 7.86
11 Kelinci - - - - - 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 -
12 Burung puyuh
- - - - - 0.2 - 0.1 0.2
0.2 -
13 Merpati - - - - - 0.3 0.4 0.1 0.3 0.3 -
Keterangan : *) Angka sementara Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2012
Dari ke 10 komoditas tersebut selama periode 2004-2012, terdapat delapan
komoditas yang memberikan peningkatan kontribusi yakni sapi potong, kambing,
babi, kuda, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik dan kelinci. Sementara itu
terdapat tiga komoditas yang mengalami penurunan kontribusi, yaitu kerbau,
domba, dan ayam buras. Penerapan manajemen usahaternak, teknologi bibit,
penggunaan pakan jadi telah mengangkat usahaternak komersial, seperti ayam ras
petelur, ayam ras pedaging dan sapi potong. Produksi total daging mengalami
pertumbuhan 3.85%, namun jika dicermati memperlihatkan adanya ketimpangan
dalam pertumbuhan dan bersifat fluktuatif terutama untuk jenis ternak tradisional.
Dampak penerapan teknologi dan manajemen usahaternak yang rendah telah
menyebabkan tingkat pengurasan yang relatif tinggi pada komoditas ternak
tradisional, seperti jenis kerbau, domba dan ayam buras. Berdasarkan penelitian
Badan Litbang Pertanian (2005) telah terjadi pengurasan untuk ternak sapi, kerbau,
kambing-domba, dan ayam buras. Namun dengan program percepatan swasembada
daging sapi dan dilanjutan percepatan daging sapi dan kerbau telah meningkatkan
pertumbuhan populasi sapi potong. Dikhawatirkan beberapa komoditas sampai pada
titik ambang keseimbangan, dimana angka kelahiran tidak mungkin lagi menjamin
24
konsumsi, maka dalam situasi semacam ini, akan mendorong kepunahan produksi
jenis produk ternak tradisional.
Pertumbuhan produksi daging sapi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan
populasinya. Hal ini disebabkan adanya perdagangan sapi hidup antar wilayah, yaitu
dari daerah sentra produksi ke pusat konsumsi. Jumlah total daging sapi pada tahun
2009 mencapai 409.310 ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga
mencapai 545.620 ton pada tahun 2013, atau mengalami perkembangan sebesar
7.48% pertahun. Pertumbuhan tersebut tergolong tinggi dan jauh lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan populasinya, yang menunjukkan makin dikuasainya
teknologi budidaya dan manajemen usahaternak sapi potong oleh peternak dan
perusahaan peternakan (feed lotter).
Dari total produksi daging sapi yang mencapai 545.620 ton pada tahun 2013,
terutama disumbang oleh 10 provinsi daerah sentra produksi utama, yaitu Provinsi
Jawa timur sebesar 118.363 ton (21.69%), Jawa Barat menyumbang sebesar
81.254 ton (14.89%), Jawa tengah sebesar 62.720 ton (11.50%), Sumatera Utara
sebesar 32.171 ton (590%), Banten 31.914 ton (5.85%), Sumatera Barat 23.543 ton
(4.32%), NTT sebesar 13.595 ton (2.49%), Kalbar sebesar 13.375 ton (2,45%),
Sulsel sebesar 12.979 ton (2.38%), dan DKI Jakarta sebesar 12.847 ton (2.36%)
(Ditjennak dan Keswan, 2013). Informasi secara terperinci dapat disimak pada
Tabel 3 berikut.
Dari 10 provinsi daerah sentra produksi secara keseluruhan mengalami
pertumbuhan produksi daging sapi positip, secara berturut-turut Provinsi Jawa timur
tumbuh sebesar 2,42%/tahun, Jawa Barat tumbuh sebesar 3,71%/tahun, Jawa
tengah tumbuh sebesar 6,93 %/tahun, Sumatera Utara tumbuh sebesar 25,27%/
tahun, Banten tumbuh sebesar 15,95%/tahun, Sumatera Barat tumbuh sebesar
6,60%/tahun, NTT sebesar 29,66%/tahun, Kalbar tumbuh sebesar 25,27%, Sulsel
tumbuh sebesar 4,78%/tahun, dan DKI Jakarta sebesar 24,35%/tahun.
25
Tabel 3. Produksi Daging Sapi menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2009-2013 (ton)
No Provinsi Tahun
Rerata Trend (%/th) 2009 2010 2011 2012 2013*)
1 Aceh 7614 7914 8303 6569 7478 6097 0.45
2 Sumut 13261 14256 18299 24537 32171 18372 25.27
3 Sumbar 18322 20442 20287 22638 23543 17170 6.60
4 Riau 7294 10950 12658 11317 11473 8238 14.13
5 Jambi 3868 6349 6515 6507 8034 5257 22.53
6 Sumsel 12482 12703 13601 14649 16114 11483 6.64
7 Bengkulu 2411 2691 3276 3761 4183 2694 14.84
8 Lampung 10694 9527 10064 9833 9226 7735 -3.44
9 Babel 2004 3024 3932 2917 3209 2289 16.28
10 Kepri 579 450 532 585 592 443 1.78
11 DKI Jakarta 5657 6058 9413 12206 12847 7482 24.35
12 Jabar 70662 76066 78476 74312 81254 61847 3.71
13 Jateng 48340 51001 60322 60893 62720 44956 6.93
14 DIY 5384 5690 7657 8896 10408 6378 18.36
15 Jatim 107768 109016 112447 110762 118363 90702 2.42
16 Banten 18728 20326 25806 36121 31914 20576 15.95
17 Bali 6283 6238 8081 8759 8832 6037 9.51
18 NTB 6567 9287 10958 11228 11565 7797 16.22
19 NTT 6486 4507 8668 13595 13595 7637 29.66
20 Kalbar 6567 7074 10437 7263 13375 8078 27.25
21 Kalteng 2564 5224 3116 4154 4322 3286 25.19
22 Kalsel 5946 7058 8459 9610 9678 6472 13.22
23 Kaltim 6729 7530 8240 8069 8473 6241 6.07
24 Sulut 4571 4386 4446 4501 4568 3619 0.01
25 Sulteng 3359 3672 3058 4250 5126 3457 13.05
26 Sulsel 11323 9056 11026 12725 12979 9267 4.78
27 Sultra 3737 3902 2709 3328 3428 2899 -0.08
28 Gorontalo 3063 3926 3985 4347 4419 3165 10.10
29 Sulbar 1361 1795 3917 3053 3202 1912 33.23
30 Maluku 1338 1420 1320 1496 1699 1231 6.50
31 Malut 223 243 274 578 562 318 32.48
32 Papua Barat 1696 1899 2316 2533 3153 1980 16.94
33 Papua 2427 2770 2737 2903 3116 2286 6.59
Indonesia 409310 436452 485333 508906 545620 387400 7.48
Pertumbuhan produksi daging sapi selama lima tahun terakhir (2009-2013)
tergolong tinggi (7.48%/tahun). Peningkatan produksi daging sapi di Indonesia
disebabkan oleh: (1) Adanya pertumbuhan populasi sapi potong yang cukup tinggi;
(2) Adanya peningkatan produktivitas usahaternak sapi potong. Namun jika
26
dicermati, ternyata pertumbuhan produksi lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
populasi, yang merefleksikan beberapa hal pokok : (a) teknologi budidaya ternak
sapi potong makin dikuasai dengan baik oleh peternak dan perusahaan peternakan
(feed lotter); (b) sistem pengusahaan yang sudah mengarah dari secara tradisional
ke semi intensif dan mulai berorientasi pasar (komersial), sehingga menyebabkan
efisiensi produksi makin meningkat, yang direfleksikan makin membaiknya Feed
Convertion Ratio (FCR) dan makin rendahnya tingkat mortalitas; dan (c) skala
pengusahaan yang terbagi, dimana usahaternak sapi potong rakyat antara 2-10 ekor
dan perusahaan peternakan antara 25-2000 ekor dan makin mendekati skala usaha
optimal.
Secara umum Jawa Tengah merupakan daerah sentra produksi sapi potong,
sedangkan Jawa Barat masih merupakan daerah pusat konsumen daging sapi.
Jumlah populasi di Jawa Barat sebanyak 382.949 ekor (2013) merupakan jumlah
populasi ternak sapi yang masih jauh dari kebutuhan konsumsi masyarakat Jawa
Barat. Menurut informasi bahwa pemotongan ternak sapi dari sebagian jumlah
populasi tersebut hanya mampu menyediakan daging ternak sapi potong sebesar
30% dari kebutuhan. Sementara kekurangannya sebesar 70% masih harus
didatangkan dari provinsi-provinsi yang merupakan sentra produksi, seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah, Bali, NTT dan NTB.
Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis merupakan daerah sentra produksi daging
sapi di Jawa Barat. Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis merupakan daerah surplus
produksi daging sapi. Hal ini disamping ditunjang oleh jumlah populasi yang cukup
besar, juga di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis terdapat lokasi feedlotter “PT.
Nandini Perkasa” yang juga melakukan penggemukan dan pemotongan ternak sapi
BX asal impor. Hasil pemotongan dari feedlotter tersebut tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi daging setempat, akan tetapi juga dikirim ke luar
daerah sekitar terutama daerah-daerah Jawa Barat bagian Timur, khususnya
Tasikmalaya dan Ciamis, yang dalam hal pemenuhan kebutuhan konsumsi
dagingnya masih kurang.
PT. “Nandini Perkasa” merupakan salah satu pengusaha feedlotter di Jawa
Barat yang dalam tahun 2014 ini telah menandatangani MOU dengan pemerintah
daerah Kabupaten Ciamis untuk memanfaatkan RPH yang ada yang nantinya akan
27
digunakan untuk operasional pemotongan sapi milik perusahaan tersebut.
Sementara untuk pemotongan ternak sapi lokal dilakukan di daerah Lakbok.
Besarnya omset pemotongan sapi oleh PT “Nandini Perkasa” tersebut, disamping
nantinya daging hasil pemotongan sapi diperuntukan untuk memenuhi konsumsi
daging di wilayah Jawa Barat, terutama Jawa Barat bagian Timur, juga khususnya
untuk memenuhi kebutuhan daging di wilayah Kabupaten Ciamis.
Dalam upaya meningkatkan jumlah populasi maupun dalam rangka
memenuhi kebutuhan daging di Jawa Barat, maka pemerintah setempat mengambil
kebijakan disamping harus mendatangkan sapi bibit baik bibit jantan maupun betina
dari luar daerah. Setidaknya selama tahun 2013 pemasukan sapi bibit di wilayah
Provinsi Jawa Barat tidak kurang dari 23.538 ekor bibit sapi jantan dan 16.828 ekor
bibit sapi betina. Sementara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging ternak
sapi, maka pada tahun 2013 telah masuk sapi bakalan ke wilayah Jawa Barat
sebanyak 66.915 ekor. Sapi bakalan tersebut dimaksudkan untuk digemukkan lebih
jauh. Sedangkan jumlah sapi siap potong yang masuk ke wilayah ini pada tahun
yang sama sekitar 181.091 ekor yang merupakan sapi siap potong untuk memenuhi
kebutuhan daging di wilayah ini. Dilihat dari besarnya produksi daging ternak sapi
potong yang ada diwilayah Provinsi Jawa Barat, data tahun 2013 menunjukkan
bahwa jumlah produksi daging secara keseluruhan sekitar 709,70 ribu ton, dimana
produk daging sapi pada tahun tersebut sebanyak 71,88 ribu ton (85,23%)
merupakan hasil pemotongan ternak sapi lokal sementara sisanya (14,77%)
merupakan daging impor.
Sapi merupakan hewan yang hasilnya digunakan secara luas antara lain untuk
konsumsi rumah tangga, industri pengolahan, serta konsumen institusi (Hotel,
Restaurant, dan Catering/HORECA). Hasil utama dari usahaternak sapi potong
adalah daging sapi, serta hasil tambahan berupa kulit dan kotorannya. Selain itu,
sapi juga menghasilkan berbagai produk turunannya.
Seekor ternak sapi dianggap baik apabila dapat menghasilkan karkas sebesar
59% dari bobot tubuh sapi tersebut. Untuk jenis Sapi Eropa (Hereford, Shortom,
dan Angus) berkisar antara 51,4% hingga 60,3%, Sapi Brahman berkisar antara
52% hingga 55,8%. Sementara itu untuk sapi lokal Indonesia, Sapi PO sebesar
45%, Sapi Madura 47%, dan Sapi Bali 56%.
28
Untuk memudahkan dalam distribusi dan pemasaran karkas sapi dipotong
menjadi empat bagian, karkas sapi dibelah menjadi dua bagian dan masing-masing
belahan karkas dipotong lagi menjadi bagian perempat depan (fore quarter) dan
bagian perempat belakang (hind quarter). Untuk kepentingan pemasaran
selanjutnya, karkas sapi dipotong lagi menjadi recahan karkas utama (primal cut),
juga lazim disebut wholesale cuts, dan recahan karkas kecil (sub primal) juga lazim
disebut retail cuts.
Daging dari karkas sapi mempunyai beberapa golongan kualitas/kelas sesuai
dengan lokasinya pada rangka tubuh, sebagai berikut (Direktorat Bapostrat, 2013):
(1) Kualitas I: daging di daerah paha (round) dengan proporsi kurang lebih 20%; (2)
Kualitas II: daging di daerah pinggang (loin) dengan proporsi kurang lebih 17%; (3)
Kualitas III: daging di daerah punggung dan tulang rusuk (rib) dengan proporsi
kurang lebih 9%; (4) Kualitas IV: daging di daerah bahu (chuck) dengan proporsi
kurang lebih 26%; (5) Kualitas V: daging di daerah dada (brisk) dengan proporsi
kurang lebih 5%; (6) Kualitas VI: daging di daerah perut (frank) dengan proporsi
kurang lebih 4%; (7) Kualitas VII: daging di daerah rusuk bagian bawah hingga
sampai perut bagian bawah (plate and suet) dengan proporsi kurang lebih 11%; dan
(8) Kualitas VIII: daging di bagian kaki depan (fore shank) dengan proporsi kurang
lebih 2,1%.
Sementara itu, daging sapi juga digolongkan ke dalam empat bagian besar
menurut kualitasnya, yaitu (Direktorat Bapostrat, 2013): (1) Daging potongan primer
(primer cut), potongan daging yang memiliki keempukan, juiciness, dan merupakan
kualitas daging sapi terbaik; (2) Daging potongan sekunder (secondary cut),
potongan daging di luar potongan primer yang memiliki keempukan, juiciness, dan
kualitas di bawah kualitas prime cut; (3) Daging variasi (variety/fancy meat): Bagian
daging selain daging prime cut, secondary cut, dan daging industri; dan (4) Daging
industri (manufacturing meat): bagian daging selain prime cut, secondary cut, dan
daging variasi, yang terdiri atas prosot depan (fore quarter), prosot belakang (hind
quarter), tetelan (trimming) 65-95 CL, daging giling (disnewed minced meat), dan
daging kotak (diced meat) untuk keperluan industri.
Dalam pengembangan usahaternak sapi potong dalam rangka meningkatkan
produksi daging sapi, peternak menghadapi beberapa kendala baik teknis, ekonomi,
29
maupun sosial kelembagaan. Beberapa kendala teknis adalah: (1) Kurangnya
ketersediaan semen beku yang memenuhi aspek jumlah, jenis, dan kualitas; (2)
Belum semua kelompok peternak dan peternak melakukan IB dengan baik; (c)
Terbatasnya tenaga inseminator dan penyuluh peternakan; (d) Belum
berkembangnya pusat perbibitan sapi potong di daerah-daerah pengembangan baru
yang mampu menghasilkan bibit unggul; (e) Makin terbatasnya hijauan pakan
ternak dan padang penggembalaan; (f) Belum berkembangnya pakan ternak
berbasis bahan pakan lokal, terutama limbah pertanian dan industri; dan (g) Belum
berlakunya sistem penjualan ternak sapi dengan sistem timbang, namun pedagang
lebih memilih melalui taksiran.
Kemampuan managerial dalam usahaternak sangat tergantung dari kondisi
masing-masing kelompok peternak dan individu peternak. Kelompok peternak di
daerah sentra produksi di Pati dan Boyolali, Jawa Tengah dan di Tasikmalaya dan
Ciamis, Jawa Barat umumnya memiliki keterampilan teknis usahaternak sapi potong
yang baik, namun kapabilitas manajerialnya rata-rata masih rendah. Salah satu
Gapoktan yang telah memenuhi persyaratan managerial adalah ASPIN (Asosiasi Sapi
Potong Nogosari) yang anggotanya berjumlah 36 kelompok. ASPIN merupakan
gabungan kelompok peternak yang terdiri dari beberapa kelompok yang tersebar di
Kabupaten Boyolali, Klaten dan Sragen. Dari skala penguasaan ternak masing-
masing anggota secara rata-rata telah memiliki 8 ekor ternak sapi potong. Dengan
kinerja demikian maka Gapoktan ASPIN dapat dipercaya oleh bank dan
mendapatkan kucuran dana KKPE.
Beberapa kendala ekonomi adalah : (1) Lemahnya permodalan kelompok
peternak dan peternak rakyat; (2) Masih banyak peternak yang belum dapat akses
kredit program (KKP-E, KUR, dan KUPS) karena tidak adanya agunan; (3) Pihak
perbankan memandang usaha peternakan yang dilakukan oleh para peternak masih
dipandang tidak memiliki kelayakan dari sisi bisnis (bankable) dan memiliki resiko
tinggi; (3) Tingginya harga bakalan sapi di daerah-daerah sentra produksi; (4)
Tingginya harga pakan ternak pabrikan; (5) Kalah bersaing dengan harga daging
sapi impor terutama dalam hal harga.
Beberapa kendala sosial-kelembagaan dalam pengembangan usahaternak
sapi potong adalah: (1) Lemahnya konsolidasi kelembagaan kelompok peternak sapi
30
potong, baik dari aspek keanggotaan, manajemen dan permodalan; (2) Lemahnya
permodalan kelompok peternak dan anggotanya; (3) Tidak adanya alat sebagai
kohesi sosial dalam kelembagaan kelompok peternak; (4) Lemahnya koordinasi
secara internal antar bagian dalam kelompok peternak; dan (5) Lemahnya
koordinasi secara eksternal, terutama dengan Dinas Peternakan dan Lembaga
Perbankan.
Syarat-syarat keberhasilan dalam mengembangan usahaternak sapi potong
dalam rangka meningkatkan produksi dagaing sapi domestik adalah: (1)
Ketersediaan semen beku yang memenuhi aspek jumlah, jenis dan kualitas; (2)
Jumlah dan kualitas SDM tenaga IB dan penyuluh peternakan; (3) ketersediaan
hijauan pakan yang memenuhi dari aspek jumlah, kualitas dan kontinyuitas
pasokannya; (4) Perlu pembuatan pakan ternak berbasis limbah pertanian dan
limbah industri dengan fermentor yang memenuhi standar nutrisi; (5) Perlu banyak
pilot project perbibitan dan penggemukan sapi potong dengan pendekatan action
research secara terpadu langsung dilapangan; (6) Penguatan kelembagaan peternak
baik dalam aspek keanggotaan, manajemen dan permodalannya; (7) Terus
melanjutkan kebijakan insentif kepada peternak, seperti insentif larangan
pemotongan betina produktif, sapi bunting, dan pengembangan pusat-pusat
perbibitan diperdesaan; (8) Mendorong kemitraan usaha agribisnis sapi potong
antara Perusahaan Peternakan dengan Kelompok Peternak yang melibatkan lembaga
perbankan, Lembaga Penelitian/Perguruan Tinggi yang bersifat saling
membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan; (9) Adanya keterpaduan
program antar Dinas Teknis terkait (Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas
Pertanian) dalam mendukung swasembada daging sapi; dan (10) Dukungan alokasi
pendanaan dalam pengembangan usahaternak sapi potong secara terpadu yang
bersumber dari APBN dan APBD.
31
V. PERKEMBANGAN KONSUMSI DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA
5.1. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Dunia
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan (Daryanto, 2009): (1) jumlah
penduduk dan pertumbuhannya, (2) tingkat urbanisasi, (3) revolusi peternakan, (4)
tingkat pendapatan dan pertumbuhannya, (5) fenomena segmentasi pasar yang
menuntut kualitas produk yang makin tinggi, (6) Relative cost price advantage, dan
(7) Supermarket revolution.
Daging sapi merupakan jenis barang normal, konsumsi daging sapi dunia
akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di
dunia. Gambar 5 menunjukkan 10 negara terbesar konsumen daging sapi di dunia.
Dari 10 negara tersebut empat negara konsumen utama adalah Amerika Serikat,
Brazil, Uni Uropa, China, Argentina, Rusia, India, Meksiko, Pakistan, dan Jepang. Jika
dipilah berdasarkan tingkat kemajuan negara, 10 negara terbesar dalam konsumsi
daging sapi tersebut sebagian merupakan negara maju dan sebagian negara sedang
berkembang. Beberapa negara maju terdiri atas Amerika Serikat, Uni Eropa, dan
Jepang, beberapa negara-negara yang berada pada transisi dari negara berkembang
ke arah negara maju seperti Brazil, Argentina, Rusia, dan India, dan negara
berkembang, yaitu Meksiko dan Pakistan .
No NegaraKonsumsi Total (100 mT CWE)
1 Amerika Serikat 11 014
2 Brazil 8 000
3 EU-27 7 840
4 China 6 198
5 Argentina 2 620
6 Rusia 2 392
7 India 2 200
8 Meksiko 1 810
9 Pakistan 1 552
10 Jepang 1 278 Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 5. Sepuluh Negara Terbesar yang Mengkonsumsi Daging Sapi (Beef dan
Veal) di Dunia, 2014
32
Trend konsumsi daging sapi secara global mengalami pertumbuhan dari
waktu ke waktu. Konsumsi terbesar secara berturut-turut adalah Amerika Serikat,
Brazil, Uni Eropa, China, Argentina, Rusia, India, Meksiko, Pakistan, dan Jepang.
(FAO, 2008). Produk peternakan menyumbang 17% konsumsi kilokalori global dan
33% konsumsi protein global (FAOSTAT, 2008). Peternakan menyediakan pangan
paling tidak untuk 830 juta masyarakat yang rentan terhadap ketahanan pangan.
Terdapat perbedaan konsumsi kilokalori yang signifikan antara negara-negara maju
dan negara-negara berkembang, tetapi laju pertumbuhan konsumsi tertinggi terjadi
di negara-negara berkembang.
Gambar 6 menunjukkan perkembangan konsumsi daging sapi selama 39
tahun baik negara maju maupun di negara sedang berkembang. Dari 10 negara
konsumen daging sapi utama, terdiri atas empat negara maju dan enam negara
yang merupakan kelompok negara sedang berkembang. Secara umum pada
kelompok negara sedang berkembang konsumsi daging cenderung meningkat.
Peningkatan konsumsi yang tinggi dan stabil terjadi negara Brazil dan China. Adanya
peningkatan status sebagai menjadi negara industri baru (new industries contries)
yang antara lain dicirikan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi mendorong
terjadinya peningkatan konumsi daging sapi di Negara-negara berkembang.
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 6. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Berkembang, 1975-2014
33
Fenomena di negara maju seperti di Jepang dan Amerika Serikat, konsumsi
daging sapi juga masih tetap meningkat, namun mengalami pelambatan. Bahkan di
Rusia dan Uni Eropa terjadi penurunan konsumsi daging sapi (Gambar 7). Dengan
demikian, secara keseluruhan dari 10 negara konsumen daging sapi utama di dunia,
menunjukkan adanya kecenderungan konsumsi daging sapi yang terus meningkat
(Gambar 8).
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 7. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Maju, 1975-
2014
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kedepan kecenderungan permintaan
daging sapi akan terus meningkat, terutama disebabkan peningkatan konsumsi
negara-negara berkembang. Dengan keterbatasan sumberdaya lahan alam terutama
ketersediaan padang penggembalaan sapi akan terus menurun dan makin tingginya
harga bahan baku pakan ternak menyebabkan melambatnya laju pasokan daging
sapi. Sementara itu pada sisi permintaan melambatnya pertumbuhan pendapatan di
negara-negara maju dan negara-negara tertinggal menyebabkan menurunnya
dayabeli masyarakat menyebabkan melambatnya laju permintaannya. Kondisi
terjadinya melambatnya pasokan ditengah meningkatnya harga-harga bahan pakan
dan melambatnya permintaan akibat melambatnya dayabeli penduduk ditengah
meningkatnya harga daging sapi berimplikasi melambatnya jumlah volume daging
sapi yang di perdagangkan di pasar dunia.
34
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di 10 Negara Konsumen Utama,
1975-2014
Untuk kawasan Asia dan Asia Tenggara, China merupakan negara dengan
jumlah penduduk terbesar dengan volume ekonomi yang sangat besar, dan dengan
pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, maka diperkirakan konsumsi daging
sapi negara China akan terus meningkat. Saat ini konsumsi daging sapi negara
China menduduki urutan keempat di dunia (Gambar 5). Kekurangan pasokan untuk
memenuhi konsumsi negara ini dipenuhi dari impor. Hal yang sama juga terjadi di
Negara-negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Peningkatan impor daging sapi China, selain dapat menjadi tantangan, juga
dapat sebagai peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi daging sapi
dalam negeri untuk memenuhi konsumsi domestik dan jika memungkinkan sebagai
pemasok ke negara China. Sebaliknya jika produksi domestik tidak mampu
meningkat, persaingan dengan China sebagai negara importir diduga akan memicu
meningkatnya harga daging di kawasan Asia dan Asia Tenggara.
Hasil kajian Octaviani (2010) dampak FTA ASEAN-China terhadap ekonomi
makro dan ekonomi sektoral Indonesia dengan memfokuskan kajian pada produk
peternakan memberi beberapa hasil yang menarik. Beberapa komoditas dan produk
peternakan yang mengalami peningkatan ekspor adalah animal product nec
meningkat 3,769 persen, wool dan ulat sutera (silk worm cocoons) meningkat 3,206
35
persen, dan produk daging sapi, domba dan kambing meningkat hanya sebesar
0,221 persen, serta produk susu (dairy product) meningkat sebesar 0,749 persen.
Sementara itu, beberapa komoditas dan produk peternakan yang mengalami
penurunan ekspor adalah ternak sapi, domba dan kambing, serta kuda menurun
sebesar -1,515 persen, bahan baku susu (raw milk) menurun sebesar -3,738 persen,
serta daging product nec menurun sebesar -6,997 persen. Komoditas dan produk
peternakan yang mengalami kenaikan ekspor adalah komoditas dan produk
peternakan yang memiliki dayasaing, sedangkan komoditas dan produk peternakan
yang mengalami penurunan adalah komoditas atau produk yang tidak atau kurang
memiliki dayasaing.
Beberepa komoditas dan produk peternakan yang mengalami peningkatan
impor adalah : Lembu (cattle), domba (sheep), kambing (goats), dan kuda (horse)
meningkat sebesar 0,896 persen; animal product nec meningkat sebesar 1,742
persen, bahan baku susu (raw milk) meningkat sebesar 0,081 persen; wool dan ulat
sutera (silk worm cocons) meningkat 0,849 persen, dan produk daging sapi,domba
dan kambing meningkat hanya sebesar 2,286 persen, meat product nec meningkat
sebesar 2,286 persen, serta produk susu (dairy product) meningkat sebesar 5,486
persen. Seluruh komoditas dan produk peternakan mengalami kenaikan impor, hal
tersebut menunjukan adanya peningkatan permintaan domestik yang tidak
seluruhnya dapat dipenuhi dari produksi domestik. Artinya komoditas dan produk
peternakan memiliki potensi pasar yang sangat besar di dalam negeri dan oleh
karenanya layak mendapatkan prioritas pengembangan, jika tidak maka akan
mendorong masuknya komoditas dan produk peternakan dari Cina.
5.2. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Indonesia
Secara teoritis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan atau konsumsi
produk daging sapi adalah: (1) jumlah penduduk dan pertumbuhannya, (2) tingkat
pendapatan dan pertumbuhannya, (3) preferensi atau selera konsumen, (4) tingkat
urbanisasi penduduk, (5) fenomena segmentasi pasar, dan (6) berkembangnya
pasar modern (super market/hyper market) disamping pasar tradisional.
36
Beberapa gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi (1997-1998), krisis
finansial global, dan krisis pangan memberikan dampak terhadap perdagangan
global dan penurunan trend konsumsi daging, terutama jenis daging sapi yang
harganya tergolong mahal. Pada tahun 1998 saat konsumsi daging sapi mengalami
penurunan, pada tahun 1999 merupakan saat konsumsi daging sapi mencapai titik
terendah sebagai dampak krisis, namun kemudian konsumsi daging sapi dipasar
domestik meningkat kembali pada tahun 2000-2005.
Pada periode setelah krisis laju pertumbuhan konsumsi daging termasuk
daging sapi meningkat kembali, bahkan tingkat konsumsi daging sapi melampaui
kondisi sebelum krisis ekonomi. Secara umum pemulihan produksi dan konsumsi
produk daging sapi akibat krisis ekonomi cukup cepat, meskipun tidak secepat
produk daging broiler. Dukungan industri daging sapi tidak sebaik dukungan industri
perunggasan nasional. Industri perunggasan sangat yang responsif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi, sedangkan industri sapi tidak seresponsif
industri perunggasan. Dampak negatif krisis ekonomi dan krisis finansial dunia
terhadap sektor industri peternakan sapi potong terutama disebabkan karena
sebagian bahan baku pakan adalah impor. Secara umum dampak krisis finansial
dunia terhadap konsumsi produk daging sapi relatif kecil, karena kondisi makro
ekonomi yang cukup stabil dan pelaku usaha industri peternakan lebih siap
menghadapi, serta cukup besarnya volume permintaan pasar domestik.
Jika dirinci menurut jenis daging, penduduk Indonesia lebih banyak
mengkonsumsi daging broiler dan sapi potong. Kebutuhan konsumsi daging sapi
sekitar 65% dipenuhi dari produk impor dan 25% di antaranya berasal dari impor
sapi bakalan (Badan Litbang Pertanian, 2005). Dalam kondisi nilai tukar rupiah yang
stabil, kecenderungan impor daging sapi semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan impor tersebut dapat disebabkan oleh permintaan daging berkualitas
(prime cut) yang meningkat terutama untuk Hotel, Restaurant dan Catering
(HORECA).
Berdasarkan hasil proyeksi yang dilakukan Bappenas (2006) diperkirakan
bahwa selama 2005-2010 Indonesia mengalami surplus produksi daging unggas,
daging non unggas dan daging non sapi dan telur, sedangkan untuk daging sapi
masih mengalami defisit. Untuk kasus daging sapi, prediksi tersebut sesuai dengan
37
kenyataan, dimana Indonesia pada tahun 2012 masih mengalami defisit produk
daging sapi, sedangkan produk daging broiler dan telur dapat dikatakan
swasembada. Hasil kajian Bappenas (2006) menunjukkan bahwa tantangan utama
yang dihadapi adalah masalah pencapaian swasembada daging sapi, baik masalah
yang bersifat teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, maupun masalah kebijakan
pemerintah.
Perkembangan konsumsi daging sapi pada periode (2005-2012) memberikan
beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) Rata-rata konsumsi dalam bentuk
daging sapi segar sebesar 4,72 Kg/kapita/tahun; (2) Rata-rata konsumsi daging sapi
olahan/diawetkan sebesar 0,262 Kg/kapita/tahun; (3) Rata-rata lainnya (hati, jeroan
lainnya, tetelan dan tulang) sebesar 0,313 Kg/kapita/tahun; dan (4) Daging dari
makanan jadi untuk soto/gule/sop sebesar 5,49 Kg/kapita/tahun, sate/tongseng
sebesar 3,481 Kg/kapita/tahun, ayam dan daging goreng sebesar 4,64 Kg/
kapita/tahun.
Pertumbuhan konsumsi daging sapi pada periode (2005-2012) memberikan
beberapa informasi pokok sebagai berikut: (1) Pertumbuhan konsumsi dalam bentuk
daging sapi segar sebesar 4,01%/tahun; (2) Pertumbuhan konsumsi daging sapi
olahan/diawetkan sebesar 287,94%/tahun; (3) Pertumbuhan daging sapi lainnya
(hati, jeroan lainnya, tetelan dan tulang) sebesar 17,72%/tahun; dan (4)
Pertumbuhan konsumsi daging dari makanan jadi untuk soto/gule/sop sebesar
2,89%/tahun, sate/tongseng sebesar – 2,66%/tahun, dan ayam dan daging goreng
sebesar 6,16%/tahun (Tabel 4).
Berdasarkan rata-rata tingkat konsumsi dan pertumbuhan konsumsi daging
sapi menunjukkan bahwa permintaan daging sapi domestik memiliki kecenderungan
yang terus meningkat. Secara relatif peningkatan pertumbuhan konsumsi daging
sapi domestik lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan di level global. Hal ini
membawa konsekuensi pentingnya percepatan peningkatan produksi daging sapi
domestik. Oleh karena itu, program percepatan swasembada daging sapi dan kerbau
perlu mendapatkan dukungan semua pihak, baik pemerintah, akademisi/peneliti,
maupun masyarakat peternakan. Pemerintah harus memberikan alokasi anggaran
yang besar sesuai dengan target yang mau dicapai.
38
Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Produk Daging Perkapita Per Tahun, Tahun 2009-2012
No. Komoditi Tahun
Rerata Trend
(%/th) 2009 2010 2001 2012
A. Daging Segar 4,224 4,849 5,110 4,693 4,719 4.01
1. Sapi 0,313 0,365 0,417 0,365 0,365 6.13
2. Kerbau 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0.00
3. Kambing 0,000 0,000 0,052 0,000 0,013 -50.00
4. Babi 0,209 0,209 0,261 0,209 0,222 1.65
5. Ayam Ras 3,076 3,546 3,650 3,494 3,441 4.65
6. Ayam kampung 0,521 0,626 0,626 0,521 0,574 1.13
7. Unggas lainnya 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052 0.00
8. Daging lainnya 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052 0.00
B. Daging Diawetkan 0,063 0,063 0,120 1,048 0,262 287.94
1. Dendeng 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0.00
2. Abon 0,010 0,010 0.016 0,005 0,010 -2.92
3. Daging kaleng 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0.00
4. Daging diawetkan lainnya 0,052 0,052 0,104 1,043 0,260 334.29
C. Lainnya 0,261 0,261 0,313 0,417 0,313 17.72
1. Hati 0,052 0,052 0,104 0,156 0,091 50.00
2. Jeroan selain hati 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052 0.00
3. Daging tetelan 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052 0.00
4. Tulang 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052 0.00
5. Lainnya 0,052 0,052 0,052 0,104 0,065 33.33
D. Daging dari makanan jadi
1. Soto/gule/sop 5,266 5,423 5,527 5,736 5,488 2.89
2. Sate/tongseng 3,441 3,650 3,702 3,129 3,481 -2.66
3. Ayam/daging (goreng, dll) 4,171 4,589 5,162 4,954 4,640 6.16
Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2013
Kenaikan permintaan yang diikuti oleh kenaikan harga yang cukup tinggi
menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Data BPS 2011 menunjukkan bahwa
pasokan daging sapi seharusnya cukup jika merujuk pada data jumlah sapi siap
potong yang lebih besar dari jumlah permintaan daging sapi nasional (BPS, 2011).
Pada kenyataannya, ketersediaan sapi potong lokal tidak dapat mencukupi
kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Hal tersebut yang mendorong peluang
pedagang untuk menaikkan harga daging sapi lokal. Berdasarkan data BPS, jumlah
pasokan dalam negeri pada tahun 2012 sebesar 414.870 ton atau setara 530.000
ekor sapi. Sementara itu, impor sapi pada tahun 2013 meningkat hingga mencapai
862.000 ekor (Direktorat Bapostrat, 2013).
39
VI. PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR STOCK DAGING SAPI DUNIA
DAN INDONESIA
6.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi
6.1.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Dunia
Pemerintah dalam perekonomian modern mempunyai tiga fungsi sentral,
yaitu : (1) meningkatkan efisiensi; (2) menciptakan pemerataan dan keadilan; serta
(3) memacu pertumbuhan ekonomi secara makro dan memelihara stabilitasnya
(Samuelson dan Nordhous, 1993). Isu paling relevan dalam hubungan antarnegara
di era liberalisasi perdagangan ini adalah bagaimana menata kembali sistem
produksi dan perdagangan sehingga dapat memperkokoh fundamental ekonomi.
Kebijakan dibidang produksi tercakup daging sapi seharusnya dikembalikan pada
komoditas-komoditas pertanian yang memiliki keunggulan komparatif tinggi.
Kebijakan di bidang perdagangan diarahkan untuk memacu komoditas ekspor
dan promosi ekspor untuk mampu memasuki pasar internasional serta menahan
arus komoditas dengan mengembangkan komoditas substitusi impor melalui
kebijakan tarif dan insentif lainnya sejauh masih dalam koridor WTO. Pengenaan
tarif di Indonesia sebagai negara importir neto (net importer) untuk kasus daging
sapi akan memberikan manfaat bagi para petani produsen, karena tarif merupakan
pajak pada barang-barang sejenis yang diproduksi di luar negeri (Lindert dan
Kindleberger, 1993). Sejauh ini penerapan tarif pada komoditas daging sapi dan
bakalan masing-masing hanya sebesar 5% dan 3,5% masih jauh di bawah bound
tarifnya masing-masing sebesar 50% dan 40% (Erwidodo, 2013).
Kebijakan terbaru pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan
Ekspor Hewan dan Produk Hewan dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 57/M-DAG/PER/9/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Hewan dan Produk Hewan. Pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 : (1) Pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa dalam hal
harga daging sapi jenis potongan sekunder (secundary cut) di pasaran di bawah
harga referensi maka importasi Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum
40
pada Lampiran I Peraturan Menteri ini ditunda importasinya sampai harga kembali
mencapai harga referensi; (2) Pasal 14 ayat 2, harga referensi harga daging sapi
jenis potongan sekunder (secundary cut) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebesar Rp 76.000,00 (tujuh puluh enam ribu rupiah); (3) Pada pasal 14 ayat 3,
penetapan harga referensi daging sapi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga Daging Sapi yang dibentuk oleh
Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur instansi terkait; dan (4) Pada pasar
14 ayat 4, berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Tim
Pemantau Harga Daging Sapi mengusulkan harga referensi kepada Menteri untuk
ditetapkan kembali menjadi harga referensi baru.
Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 1013/M-
DAG/KEP/9/2013 tentang Tim Pemantau Harga Daging Sapi. Dalam konsiseran
menimbang dikemukakan : (a) bahwa dalam rangka menjamin terciptanya stabilisasi
harga daging sapi jenis potongan sekunder (secondary cut) di pasaran dan untuk
melaksanakan Pasal 14 ayam (3) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan,
perlu mebentuk Tim pemamtau harga daging sapi; (b) bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan
Menteri tentang Tim Pemantau Harga Daging Sapi.
Tim Pemantau Harga Daging Sapi terdiri dari: (1) Tim Pengarah yang teriri
dari ketua dan anggota, ketua bertugas memberikan arahan terkait pelaksanaan
Pemantauan Harga Daging Sapi dan anggota bertuga memberikan masukan
kebijakan terkait pelaksanaan Pemantauan Harga Daging Sapi; (2) Tim teknis yang
terdiri dari ketua dan anggota. Ketua bertugas: (a) mengkoordinasikan pelaksanaan
kegiatan pembahasan: (i) pemantauan harga daging sapi; dan (ii) perumusan harga
referensi; (b) mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pemantauan/evaluasi harga
daging sapi; (c) mengkoordinasikan penyusunan laporan hasil pemantauan dan
evaluasi; (d) mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyusunan rekomendasi;
dan (e) menyampaiakan hasil rekomendasi kepada Menteri Perdagangan (Direktorat
bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013).
Ketua Tim Pengarah adalah Wakil Menteri Perdagangan dan anggota terdiri
dari: (1) Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Sumberdaya Hayati, Kementerian
41
Koordinator Bidang Perekonomian; (2) Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri,
Kementerian Perdagangan; (3) Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian, Kementerian Pertanian; (4) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian; (5) Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan, kementerian Pertanian; (6) Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian; (7) Kepala Badan Ketahanan Pangan, kementerian
Pertanian; dan (8) Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Badan Pusat statuistik.
Sementara itu, anggota Tim Teknis bertugas: (a) melakukan pengumpulan
data dan informasi terkait stabilisasi harga daging sapi; (b) melakukan penghitungan
harga refernsi daging sapi untuk 3 bulan ke depan/selanjutnya; (c) melakukan
perumusan harga referensi daging sapi berdasarkan harga pantauan harian; (d)
mengusulkan harga referensi daging sapi kepada Tim Pengarah; (e)
merekomendasikan usulan harga referensi daging sapi kepada Tim Teknis; dan (f)
melakukan evaluasi sewaktu-waktu terhadap harga referensi daging sapi yang
ditetapkan.
Ketua Tim Teknis adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dan
anggota terdiri dari: (1) Asisten Deputi Kelautan, Perikanan dan Peternakan,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; (2) Direktur Impor, Kementerian
Perdagangan; (3) Direktur Bahan Pokok dan Barang Strategis, Kementerian
Perdagangan; (4) Direktur Pemasaran Domestik, Kementerian Pertanian; (5)
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian; (6) Direktur
Budidaya Ternak, Kementerian Pertanian; (7) Direktur Statistik Harga, Badan Pusat
Statistik; (8) Direktur Statistik Distribusi, Badan Pusat Statistik; (9) Kepala Pusat
Kebijakan Perdagangan dalam negeri; (10) Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan
Luar Negeri, Kementerian Perdagangan; (11) Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan
Pangan, Badan Ketahanan Pangan; (12) Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian, Kementerian Pertanian; dan (13) Peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Ekspor komoditas atau produk daging sapi dapat berupa ternak hidup/bakalan
dan daging beku. Suatu negara eksportir dapat melakukan ekspor dalam kedua
bentuk produk tersebut berdasarkan permintaan negara importer. Hambatan
perdagangan dapat diterapkan pemerintah yang dapat disebabkan adanya penyakit
42
tertentu, jarak antar negara eksportir dan importir, perhitungan, serta kebijakan
ekonomi dan perdagangan suatu negara. Kebijakan perdagangan yang pernah
diterapkan di Indonesia adalah kebijakan kuota, tarif, dan harga refernsi.
Untuk perdagangan antar negara yang jaraknya relatif dekat, seperti antara
Indonesia dengan Australia, konsumen di Indonesia memiliki preferensi yang lebih
menyukai daging segar, Australia bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan
kebijakan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah usaha peternakan
sapi di Indonesia, maka Indonesia lebih banyak mengimpor ternak sapi hidup dari
Australia terutama dalam bentuk bakalan. Hal yang sebaliknya, perdagangan antara
Indonesia dengan India dan Brazil, dimana jarak antar negara jauh, dimana
merupakan negara eksportir ternak dan daging sapi, namun karena kedua negara
tersebut endemik penyakit PMK, maka sebagian besar dalam bentuk daging beku
dan sebagian lainnya mengekspor dalam ternak hidup. Mahalnya biaya kegiatan di
rumah potong hewan (RPH) dan tuntutan konsumen untuk memperoleh daging
segar, seringkali menyebabkan suatu negara lebih suka mengekspor dalam bentuk
ternak hidup daripada dalam bentuk daging sapi beku.
Gambar 9 dan 10 menunjukkan terdapat 10 negara eksportir terbesar di
dunia dalam melakukan kegiatan ekspor ternak sapi hidup dan daging sapi beku.
Eksportir kedua produk tersebut didominasi dari Amerika Selatan, Amerika Utara,
dan Australia. Hingga kini Australia mampu mempertahankan sebagai negara yang
bebas dari berbagai penyakit ternak sapi terutama PMK, sehingga negara tersebut
mengekspor dalam baik dalam bentuk ternak hidup maupun daging beku.
No Negara
1 Meksiko 1 050
2 Kanada 915
3 Australia 620
4 Brazil 550
5 EU-27 500
6 Colombia 325
7 Amerika Serikat 180
8 Uruguay 90
9 Selandia Baru 42
10 China 23
Ekspor (1000 Head)
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 9. Negara Eksportir Utama Ternak Sapi Hidup di Dunia, 2014
43
Berbeda dengan India dan Brazil lebih dominan mengekspor dalam bentuk
daging beku dibandingkan dalam bentuk ternak hidup. Hal itu disebabkan karena
kedua negara tersebut secara countrybase masih endemik penyakit PMK. Akibatnya
banyak negara importir tidak mau mengimpor dalam bentuk ternak hidup, karena
resiko tinggi terinfeksinya industri sapi domestiknya. Untuk kasus Indonesia, hingga
kini belum pernah melakukan impor dari India dan Brazil, baik dalam bentuk daging
beku maupun dalam bentuk ternak hidup, walaupun harganya relatif murah. Oleh
karena itu, Indonesia harus mencari sumber-sumber daging sapi selain Australia,
namun negara-negara alternatif tersebut harus bebas PMK, seperti Selandia Baru
dan beberapa negara Atlantik lainnya.
No Negara
1 Brazil 1 940
2 India 1 750
3 Australia 1 545
4 Amerika Serikat 1 043
5 Selandia Baru 536
6 Uruguay 415
7 Paraguay 325
8 Canada 325
9 EU-27 270
10 Meksiko 220
Ekspor (1000 MT
CWE)
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 10. Negara Eksportir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014
Data secara agregat menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan
meningkatnya ekspor ternak sapi dan daging sapi pada 10 negara ekportir terbesar
tersebut. Ekspor dalam bentuk daging sapi meningkat lebih cepat dibandingkan
dalam bentuk ternak sapi. Hal ini disebabkan makin berkembangnya pola
perdagangan daging sapi antar negara melalui sistem rantai dingin (cold chain),
sehingga memungkinkan distribusi dan perdagangan daging sapi secara lebih luas.
Namun jika dicermati perdagangan antar kedua jenis produk tersebut, menunjukkan
44
nilai covarian volume ekspor daging sapi lebih besar yaitu 0,473 dibandingkan nilai
covarian ekspor ternak sapi yaitu 0,398. Hal ini menunjukkan bahwa volume ekspor
daging sapi lebih fluktuatif dibandingkan ekspor ternak sapi (Gambar 11).
Penyebabnya adalah sebagian besar negara importir menginginkan impor dalam
bentuk ternak hidup yang ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah produk
melalui pengembangan usahaternak, kegiatan pemotongan hewan, dan industri
pengolahan berbasis sapi. Dapat disimpulkan bahwa bahwa potensi ekspor, baik
ternak sapi hidup maupun daging sapi memiliki prospek pasar di pasar global yang
cukup baik terutama dalam waktu lima tahun ke depan.
y = 130.5xR² = 0.680
Cov = 0.398
y = 205.2xR² = 0.870
Cov = 0.473
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
19
75
19
76
19
77
19
78
19
79
19
80
19
81
19
82
19
83
19
84
19
85
19
86
19
87
19
88
19
89
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
Ternak sapi Daging Sapi
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 11. Perkembangan Ekspor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014
6.1.2. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Indonesia
Perkembangan ekspor produk peternakan selama kurun waktu 2005 sampai
2012 dikemukakan dalam Tabel 5. Apabila data ekspor diperinci lebih lanjut
berdasarkan kelompok produk peternakan maka terlihat bahwa ekspor produk
peternakan didominasi oleh hasil ternak dan produk hewani non pangan. Apabila
didasarkan atas perkembangan data ekspor pada setiap kelompok produk ternak
45
saja, maka Indonesia boleh dikatakan tidak memiliki daya saing dalam industri
peternakan. Dengan demikian dalam perspektif perdagangan global Indonesia
hanyalah menjadi pangsa ekspor Negara lain yang industri peternakannya telah
berkembang pesat, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Brazil dan
Argentina, serta beberapa negara di Asia, seperti Thailand dan Malaysia.
Tabel 5. Perkembangan Ekspor Produk Peternakan Menurut Kelompok Produknya 2005-2012 (000US$)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1. Ternak
26,239
15,760
36,204
43,577
40,434
50,554
61,819
62,345
2. Hasil Ternak NA NA NA NA NA
585,118
1,161,288
174,251
3. Produk Hewani Non Pangan
99,125
136,423
60,713
359,324
125,779
129,496
143,709
122,935
4. Obat Hewan
128,817
56,480
202,653
719,815
506,422
5,347
22,447
22,337
5. Lain-Lain NA NA NA NA NA
181,147
209,809
174,658
Total Ekspor
354,645
288,785
377,672
1,155,151
772,318
951,662
1,599,071
556,527
Sumber: Ditjennak dan Keswan (2013)
Apabila dimamati lebih lanjut terhadap produk peternakan, nampak bahwa
produk peternakan yang mempunyai kemampuan untuk ekspor hanya ditemukan
pada beberapa perusahaan yang mampu melakukan ekspor dan bersaing dipasar
global. Beberapa perusahaan ini merupakan perusahaan yang mampu melihat
peluang pasar di pasar global dan mampu bersaing dengan perusahaan lain dari
negara-negara eksportir. Kelihatannya ada apa yang dinamakan “Niche Market” ata
yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Ceruk Pasar” yang di mana Indonesia
mempunyai keunggulan komparatif sehingga bisa bersaing di pasar global. Dari
pengamatan di lapangan juga terlihat bahwa untuk kelompok ternak, ada
perusahaan peternakan babi di Pulau Bulan dan Sumatera Utara yang telah mempu
mengekspor babi hidup terutama babi muda ke pasar Singapura dalam waktu lebih
dari 15 tahun. Untuk kelompok produk hewan non pangan, terlihat ada perusahaan
tepung tulang yang mampu mengekspor ke negara lain terutama untuk tujuan pasar
Jepang dalam beberapa dekade terakhir ini. Sementara itu, untuk kelompok obat
hewan, perusahaan vaksin ternak Indonesia telah mampu mengekspor produknya ke
beberapa negara didunia (Tangenjaya, 2014).
46
Apabila dayasaing didasarkan atas kemampuan ekspor produk peternakan
maka akan terlihat bahwa pada tahun 2012 dari kelompok ternak, ternak babi, sapi
dan kambing/domba memberikan surplus perdagangan masing-masing sebesar US$
62 juta, sapi sebesar US$ 0,27 juta dan US$ 0,08 juta (Tabel 6). Untuk ekspor jenis
sapi, diduga bahwa daging sapi yang dihasilkan oleh jenis sapi lokal terutama jenis
sapi bali memiliki segmen pasar tersendiri, terutama di Singapura dan Malaysia
karena memiliki kadar lemak yang sangat rendah. Ekspor ternak jauh lebih kecil
dibandingkan impor ternak dan mengalami neraca perdagangan mengalami defisit
sebesar US$ 310 juta. Impor ternak didominasi oleh ternak ruminansia besar
terutama sapi hidup baik untuk dipotong atau digunakan untuk bibit/bakalan,
sedangkan impor ternak kambing sebesar US$ 0,2 juta dan unggas hanya US$ 0,02
juta. Jumlah impor unggas mungkin mengalami kekeliruan data melihat kenyataan
impor bibit ayam GPS broiler yang mencapai 543 ribu ekor pada tahun 2012 (ASOHI,
2013) padahal harga bibit broiler GPS bisa mencapai US$ 30 per ekor sehingga nilai
impor unggas dari bibit ayam saja dapat mencapai lebih dari US$ 15 juta dolar.
Tabel 6. Nilai Ekspor Tenak Indonesia 2005-2012 (US$)
Ternak 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Babi 25898,7 14312,8 34238,82 42048,96 39666,65 50341569 61392146 62124790
Kambing/
Domba 340,1 1442 1788,13 1330,18 663,89 155856 132465 646
Sapi 0,5 4,8 176,77 197,56 103,6 0 1007 2733
Total 26239,3 15759,6 36203,72 43576,7 40434,14 50497425 61525618 62128169
Sumber: Ditjennak dan Keswan (2013)
Hasil ternak di Indonesia umumnya dibagi ke dalam 3 produk utama yaitu
daging, susu dan telur. Tabel 7 menunjukkan Nilai dan Volume ekspor hasil ternak pada
tahun 2012. Terlepas dari besaran volume dan nilai ekspor, Indonesia sesungguhnya
mampu mengekspor berbagai produk daging, susu, telur, dan berbagai produk
peternakan lainnya. Untuk produk daging volume dan nilai ekspor yang tergolong
tinggi adalah daging babi dan daging sapi. Kemudian untuk produk susu volume dan
nilai ekspor yang tergolong tinggi adalah susu dan kepala susu serta mentega.
Selanjutnya untuk produk-produk lainnya volume dan nilai ekspor tergolong besar
adalah lemak, makanan olahan, dan madu. Namun kalau didasarkan atas data
volume dan nilai ekspor yang relatif kecil, maka Indonesia tidak memiliki daya saing
47
untuk memasarkan hasil ternak, karena kebutuhan dalam negeri yang sangat besar
dan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Tabel 7. Nilai dan Volume Ekspor Hasil Ternak Tahun 2012
Ekspor
Volume (Kg) Nilai (US$)
1 Daging 78443 1127275
a Sapi 1857 11866
b Babi 21125 11703
c Kambing/domba 281 458
d Kuda 0 0
e Unggas 900 2433
f Jeroan sapi 30 44
g Jeroan Non sapi 0 0
h Daging lainnya 760237 1078874
2 Susu 52173929 92766308
a Susu dan kepala susu 38413250 72035528
b Yogurt 713561 689825
c Mentega 12298051 17278800
d Keju 749067 2762155
3 Telur 5597 10315
4 Madu 765413 3316086
5 Lemak 74035363 72028157
6 Makanan-olahan 7029917 5003171
Total hasil ternak 134794649 174251312 Sumber: Ditjennak dan Keswan (2013)
Sejalan dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan
sebagaimana disepakati dalam WTO, di masa mendatang hanya komoditi atau
produk yang memiliki dayasaing yang akan memenangkan persaingan dipasar,
baik pasar domestik maupun pasar global. Kini dan kedepan persaingan tidak
hanya terjadi antar komoditas atau produk, tetapi akan lebih intens terjadi
persaingan antar rantai pasok. Upaya peningkatan dayasaing harus lebih
bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi pada seluruh rantai
pasok produk peternakan, dalam hal ini produk daging sapi. Dalam konteks inilah
peran pemerintah menjadi sangat krusial, sebagai fasilitator, regulator, dan
bahkan dinamisator, melalui berbagai kebijakan yang secara langsung maupun
tidak langsung mendukung upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, seperti
kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan dan pendampingan,
48
peningkatan akses peternak terhadap sumber kredit, peningkatan akses peternak
terhadap pasar input dan output, serta perbaikan infrastruktur dan sarana
informasi pasar. Dalam perspektif jangka panjang upaya-upaya demikian lebih
memberikan penlindungan (proteksi) bagi masyarakat dan mendorong promosi
ekspor dalam perdagangan global.
6.2. Perkembangan Impor Daging Sapi
6.2.1. Perkembangan Impor Daging Sapi Dunia
Dengan meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization (WTO)
(persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) maka Indonesia telah
secara formal menjadi anggota WTO. Ratifikasi ini diumumkan pada Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3564. Undang Nomor 7 tahun 1994 terdiri dari 2 (dua)
pasal, yaitu: (a) Pasal 1: Mengesahkan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); dan (b)
Pasal 2: Undang-undang ini mulai berlaku pada saat berlakunya secara efektif
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dengan meratifikasi melalui Undang Nomor 7 tahun 1994 Indonesia dengan
sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan
tersebut. Untuk itu Indonesia harus menyesuaikan peraturan perundang-
undangannya, khususnya dalam kaitannya dengan bidang-bidang yang terkait
perdagangan yang diatur dalam WTO. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
Indonesia telah meliberalisasi sisitem perdagangannya dengan menghapuskan
hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional, baik hambatan yang sifatnya
distorsi pasar maupun distorsi akibat kebijakan pemerintah. Kebijakan-kebijakan
pemerintah boleh dilakukan sejauh dalam koridor WTO.
Sebagai anggota WTO Indonesia terikat pada Perjanjian Pertanian
(Agreement on Agricultural, AoA), di samping perjanjian SPS (Agreement on
49
Sanitary and Phytosanitary). Secara garis besar, ada tiga bidang yang diatur oleh
AOA, yaitu: (1) Market Acces (akses pasar): mewajibkan negara-negara menurunkan
tarif dasar impor pertanian, (2) Domestic Support (dukungan domestik): mewajibkan
dibatasinya subsidi dan proteksi pemerintah terhadap sektor pertanian dalam negeri,
dan (3) Export Subsidy (subsidi ekspor): mewajibakan dibatasi atau bahkan
dihapuskannya subsidi ekspor produk pertanian. Dengan liberalisasi perdagangan
dan globalisasi ekonomi, diperkirakan Indonesia akan menghadapi serbuan impor
produk-produk peternakan dari luar negeri.
Informasi tentang negara utama pengimpor ternak sapi dan daging sapi dapat
disimak pada Gambar 12 dan 13. Jika dibandingkan Gambar 9 dan 10 merefleksikan
beberapa hal pokok sebagai berikut: (1) sebagian besar negara eksportir juga
merupakan negara importer, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, China dan
Meksiko, dua peran ganda tersebut disebabkan oleh tingginya konsumsi untuk
memenuhi pasar domestik; (2) Selain itu dapat juga disebabkan adanya segmen
pasar tertentu yang harus melakukan impor atau ekspor untuk kualitas tertentu;
serta (3) Ada kebijakan perdagangan yang diterapkan antar negara, baik yang
ditujukan untuk subtitusi impor maupun promosi ekspor, kebijakan tersebut berupa
proteksi, promosi, serta kerjasama perdagangan dan kebijakangan karantina.
No Negara
1 Amerika Serikat 1 950
2 Venezuela 625
3 China 125
4 Rusia 110
5 Mesir 105
6 Kanada 50
7 Meksiko 20
8 Jepang 15
9 Ukraina 3
10 Belarus 1
Impor (1000 ekor)
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 12. Negara Importir Utama Ternak Sapi di Dunia, 2014
Negara-negara yang berstatus eksportir murni adalah Australia, Brazil, India,
Selandia Baru, Kolumbia, Uruguay, dan Paraguay. Kesemua negara ini merupakan
negara produsen utama dan tingkat konsumsinya tidak terlalu tinggi, kecuali Brazil.
50
Kalau kita cermati negara-negara tersebut memiliki basis sumberdaya alam yang
besar dan pemerintahnya memberikan perhatian yang tinggi pada pengembangan
industri peternakannya.
No Negara
1 Amerika Serikat 1 028
2 Rusia 1 020
3 Jepang 781
4 Hong Kong 550
5 China 475
6 Korsel 398
7 EU-27 350
8 Kanada 315
9 Meksiko 235
10 Mesir 230
Impor (1000 MT
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 13. Negara Importir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014
Sejalan dengan kecenderungan ekspor, kecenderungan impor ternak dan
daging sapi terus meningkat. Impor daging sapi lebih besar dari impor ternak sapi.
Perbedaannya impor ternak sapi lebih fluktuatif dibandingkan dengan impor daging
sapi dengan nilai coefisoien variasi 0,485 lebih besar dari nilai koefisien variasi impor
daging sapi dengan nilai 0,449 (Gambar 14). Lebih tingginya impor daging sapi
dalam perdagangan global disebabkan makin berkembangnya sistem distribusi atau
logistik dengan rantai dingin (cold chain) pada produk daging sapi. Selain itu, pola
distribusi dan pemasaran dalam bentuk daging sapi beku melalui sistem rantai dingin
dirasakan lebih aman dan dapat mengurangi tertularnya berbagai penyakit menular
yang bersifat lintas negara. Sementara itu, bagi negara-negara yang lebih memilih
melakukan impor dalam bentuk sapi hidup terutama dalam bentuk bakalan lebih
ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah produk di dalam negeri.
51
y = 152.8xR² = 0.804
Cov = 0.449
y = 106.1xR² = -0.24
Cov = 0.485
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
19
75
19
76
19
77
19
78
19
79
19
80
19
81
19
82
19
83
19
84
19
85
19
86
19
87
19
88
19
89
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
Daging Ternak
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 14. Perkembangan Impor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir
Utama, 1975-2014
Pasar daging dunia menghadapi tantangan yang berat, dimana industri ternak
sapi dihadapkan pada harga pakan ternak dan bahan baku ternak yang tinggi,
sedangkan tingkat konsumsi daging sapi mengalami pelandaian atau stagnan, dan
tingkat keuntungan yang turun tajam (FAO, 2012). Dengan pertumbuhan total
output melambat yang hanya tumbuh sekitar 2%, dengan harga internasional
mendekati rekor tertinggi, pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan juga
mengalami pelambatan.
Menghadapi harga pakan ternak yang tinggi dan konsumsi daging ayam yang
melambat, produksi daging dunia pada tahun 2012 diperkirakan akan tumbuh
kurang dari 2% menjadi hanya sebesar 302 juta ton. Akibat margin keuntungan
industri peternakan termasuk sapi potong juga mengalami penurunan tajam.
Kondisi ini banyak diterjemahkan ke dalam pertumbuhan dan keuntungan yang
sebelumnya dinikmati oleh negara maju, sebagian besar pertumbuhan dan
keuntungan dunia kemungkinan akan bergeser ke negara-negara berkembang, yang
kini mencapai 60 persen dari total output dunia. Hampir sebagian besar
pertumbuhan industri peternakan pada 2012 secara berturut-turun berasal dari
52
daging unggas, daging babi, daging sapi, dan daging domba. Secara terperinci
neraca daging dunia dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Kondisi yang cukup mengkawatirkan tentang profitabilitas sektor peternakan
telah diperparah oleh melemahnya pertumbuhan pasar ekspor, dengan ekspansi
perdagangan diperkirakan melambat dari 8% (2011) menjadi hanya 2% (2012).
Ekspor daging dunia diperkirakan akan naik tipis hanya sekitar 600 ribu ton menjadi
29,4 juta ton pada tahun 2012, terutama ditopang oleh peningkatan daging unggas
dan daging babi, sedangkan peran daging sapi mulai berkurang. Pertumbuhan pasar
Tabel 8. Neraca Daging Dunia menurut Jenis Daging, 2010-2012
53
pasar daging, baik broiler, babi maupun sapi kemungkinan terbesar akan ditangkap
oleh negara-negara berkembang, khususnya Brazil, Argentina, India, dan Thailand.
Kenaikan harga pakan dan melambatnya pertumbuhan produksi daging telah
mendorong kenaikan harga daging internasional pada akhir 2012, ke tingkat
mendekati tertinggi dicapai pada tahun 2011. Dengan demikian, indeks harga daging
ayam telah melonjak 5% sejak Juli 2012, rata-rata 174 poin antara Januari dan
Oktober 2012, yang membandingkan dengan 176 poin untuk periode yang sama
pada tahun 2011. Sebagian besar dari kenaikan indeks harga daging baru-baru ini
mencerminkan kenaikan harga untuk daging unggas dan daging babi, yang masing-
masing meningkat sebesar 9% dan 12%, sejak Juli 2011. Informasi tentang
pergerakan harga daging menurut jenis daging di pasar dunia dapat disimak pasa
Gambar 15 berikut.
FAO International Meat Price Indices
(2002-2004 = 100)
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Pertumbuhan produksi peternakan komersial melemah dalam menghadapi
harga pakan ternak yang tinggi dan mengakibatkan beberapa pelaku usaha industri
peternakan mengalami penurunan dalam hal keuntungan. Harga pakan ternak yang
Gambar 15. Indikator Harga Daging di Pasar Dunia
54
tinggi dan pertumbuhan konsumsi yang stagnan menyebabkan penurunan
pertumbuhan produksi daging dunia dari 3,4% (2011) menjadi 2,0% (2012). Hal ini
mencerminkan hilangnya momentum pertumbuhan industri peternakan baik di
negara berkembang maupun negara maju. Produksi dunia sekarang diperkirakan
akan naik 2,2 juta ton menjadi 104.500.000 metrik ton, dengan dua-pertiga dari
pertumbuhan berasal dari Kawasan Asia.
Prospek yang lebih positif terjadi di Uni Eropa dan Federasi Rusia dengan
memperluas output peternakannya (daging broiler, daging babi, dan daging sapi)
untuk memenuhi permintaan domestik yang kuat. Peningkatan investasi dan
pergeseran konsumen dari daging sapi dan babi ke unggas mendasari ekspansi
output di Cina. Diperkirakan akan terjadi pergeseran produksi daging dunia dari
ruminansia besar dan non ruminansia ke arah daging unggas.
Keuntungan produksi peternakan juga diramalkan terjadi dewasa ini di India,
Indonesia, Jepang, Malaysia dan Thailand, dengan terjadinya pasokan berlebih
(oversupply) dilaporkan menekan harga dan profitabilitas turun. Tidak seperti di
Brazil, sektor peternakan diperkirakan akan tumbuh tinggi di Argentina, yang telah
pindah ke posisi sebagai produsen peternakan terbesar kelima di dunia,
mencerminkan tahun terakhir pemerintah didukung investasi dan harga pakan yang
kompetitif . Di Arab Saudi, subsidi pakan ternak diimpor mendukung ekspansi output
peternakan komersial, yang akan mengangkatkan tingkat swasembada negara dari
38% (2011) menjadi 46% (2012).
Dengan ketersediaan yang memadai di banyak pasar Asia menyebabkan
permintaan impor daging baik unggas maupun sapu, di Kawasan Asia menjadi yang
lebih rendah, perdagangan peternakan dunia diperkirakan naik hanya 2,4% menjadi
13 juta ton pada tahun 2012. Ekspansi produksi awal tahun 2012 terjadi di Jepang,
Republik Korea dan Filipina sehingga membatasi pasokan impor ke wilayah ini,
meskipun pengiriman yang lebih besar terjadi ke Singapura dan Viet Nam.
Pengiriman ke Federasi Rusia pada tahun 2012 diperkirakan akan kembali meningkat
setelah empat tahun mengalami kontraksi, lebih sebagai hasil dari perjanjian khusus
dengan Ukraina dan Belarus dibandingkan sebagai kenggotaan baru dalam WTO.
Berbeda dengan daerah lain, pertumbuhan impor untuk Afrika secara
keseluruhan diperkirakan akan tetap bertahan pada sekitar 12% pada 2012.
55
Kecenderungan ini mencerminkan efek positif dari pertumbuhan pendapatan di
beberapa negara Afrika, seperti Angola, Benin, Ghana dan Republik Kongo, yang
menyebabkan meningkatnya permintaan dua digit impor domestik terhadap daging
unggas. Bahkan pengiriman ke Afrika Selatan terus bergerak naik, meskipun negara
ini memberlakukan kebijakan anti-dumping pada pengiriman daging unggas asal
Brasil. Impor Mesir juga mengalami lonjakan pada tingkat tertinggi, sebaliknya impor
daging oleh Republik Islam Iran, yang pasokannya semakin didominasi oleh negara
tetangga Turki, telah dilanda dampak dari sanksi. Informasi tentang keuntungan
produsen daging ternak di bawah tekanan ketidak stabilan harga output dan
tingginya biaya pakan ternak dapat dilihat pada Gambar 16 berikut.
Profitability for pork and poultry producers hit by inability to raise prices to factor in high feed costs
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Gambar 16. Keuntungan Produsen Daging di Bawah Tekanan Ketidak Stabilan Harga Output dan Tingginya biaya Pakan
6.2.2. Perkembangan Impor Daging Sapi Indonesia
Perkembangan impor produk peternakan selama kurun waktu 2005 sampai
2012 dapat disimak pada Tabel 9. Apabila data impor produk peternakan diperinci
lebih lanjut berdasarkan kelompok produk peternakan maka impor produk
peternakan didominasi oleh hasil ternak, ternak dan produk hewani non pangan.
56
Jika diperbandingkan dengan data ekspor menunjukkan bahwa neraca perdagangan
Indonesia mengalami defisit yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2005, defisit neraca perdagangan mencapai kurang dari 0,5 miliar dolar tetapi pada
tahun 2012 mencapai lebih dari 2,1 miliar dolar. Apabila didasarkan atas neraca
perdagangan disetiap kelompok produk ternak saja, maka Indonesia boleh dikatakan
tidak memiliki daya saing dalam industri peternakan sehingga Indonesia hanyalah
menjadi pangsa ekspor negara lain yang industri peternakannya telah maju seperti
AS, Australia, Selandia Baru, Brazil, serta negara lain di Asia seperti Thailand dan
Malaysia.
Tabel 9. Perkembangan Impor Produk Peternakan Menurut Kelompok Produknya 2005-
2012 (000US$)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
A TERNAK
117,889
117,032
227,074
380,776
464,322 450,479 328,509 309,748
B HASIL TERNAK
699,779
769,723 1,159,409 1,485,869 1,573,643 1,723,326 1,909,966 1,846,600
C PRODUK HEWANI NON
PANGAN NA NA NA NA NA 436,459 593,927 481,712
D OBAT HEWAN NA NA NA NA NA
46,465
47,745 51,451
E LAIN - LAIN NA NA NA NA NA 111,610 164,654
8,589
Total Impor
817,668
886,754 1,386,483 1,866,645 2,037,965 2,768,339 3,044,801 2,698,100
Hasil ternak umumnya dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu daging,
susu, dan telur. Tabel 10 menunjukkan neraca perdagangan berbagai jenis hasil
ternak dan produk hasil olahannya. Hampir semua jenis hasil ternak mengalami
neraca perdagangan yang defisit, defisit pada produk daging mencapai US$ 200
juta, susu US$ 1,1 miliar dan telur US$ 0,75 juta. Kalau didasarkan atas data impor
maka Indonesia tidak mempunyai daya saing untuk memasarkan produk hasil
ternak, karena kebutuhan dalam negeri yang sangat besar dan dipenuhi oleh impor
dari Negara lain.
Berdasarkan data statistik Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013
menunjukkan adanya surplus neraca perdagangan yang besar dari hasil ternak
dalam bentuk lemak. Tabel menunjukkan bahwa pada tahun 2012 Indonesia mampu
mengekspor 74 ribu ton lemak dengan total nilai lebih dari US$ 72 juta dolar AS,
sehingga mencapai surplus lebih dari US$ 62 juta dolar. Terdapat dua kemungkinan
dari data tersebut: (1) Lemak yang diekspor merupakan lemak yang dihasilkan oleh
57
feed lotter, karena peluang menghasilkan produksi lemak dalam jumlah yang cukup
besar adalah perusahaan peternakan, karena hampir semua bagian hewan
dikonsumsi untuk manusia terutama yang dipotong melalui RTP dan TPH skala kecil
menehgah; dan (2) Diperkirakan ekspor lemak yang dilaporkan dalam Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013 adalah ekspor lemak nabati yang digunakan
untuk pakan ternak. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ada perusahaan
Agroindustri sawit (Asian Agri) yang mengolah Palm Oil Fatty Acids (hasil samping
industri minyak goreng dari sawit) menjadi lemak padat untuk pakan sapi dan
diekspor ke beberapa negara di dunia termasuk Eropa dan Pakistan. Didasarkan atas
nilai ekspor dibanding dengan volume ekspor maka diperkirakan nilai bahan ini
hanyalah < US$ 1 per kg, sehingga bahan ini kemungkinan besar adalah turunan
lemak dari hasil samping industri minyak sawit, bukan lemak hewan.
Tabel 10. Nilai and Volume Impor Hasil Ternak Tahun 2012
Impor
Volume (Kg) Nilai (US$)
1 Daging 50223428 199054896
a Sapi 39419157 164887147
b Babi 1049793 4511440
c Kambing/domba 1270086 8753690
d Kuda 0 0
e Unggas 586219 1641275
f Jeroan sapi 7898173 19261344
g Jeroan Non sapi 0 0
h Daging lainnya 0 0
2 Susu 386116371 1228330179
a Susu dan kepala susu 233566083 813744787
b Yogurt 265621 77678
c Mentega 128389465 310448037
d Keju 23895202 103360575
3 Telur 1416964 7533407
4 Madu 2510172 9851783
5 Lemak 4493844 9862451
6 Makanan-olahan 577578597 391966874
Total hasil ternak 1022339376 1846599590
58
VII. PERKEMBANGAN HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA
7.1. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia
Perkembangan harga daging sapi di pasar dunia yang digunakan dalam studi
ini merujuk pada harga impor (CIF) Amerika Serikat dari negara eksportir terbesar
dunia yaitu Australia dan Selandia Baru. Perkembangan harga tersebut diwakili oleh
potongan daging dengan kelas 85% lean fores. Harga daging sapi di pasar dunia
menunjukkan adanya pergeseran (shift) dari awalnya yaitu tahun 2004-2009 stabil
di kisaran 115 – 121 US cents per Pound dengan rata-rata pertumbuhan
0,63%/tahun, kemudian meningkat tajam pada tahun 2010 menjadi 152,48 US
cents dan tahun 2011 menjadi 183,18 US cents per Pound dengan rata-rata
pertumbuhan selama dua tahun adalah 23,8%/tahun (Gambar 17). Pada tahun
2012-2013 harga daging sapi stabil pada tingkat harga baru yang berkisar antara
183 – 188 US cents per Pound dengan rata-rata pertumbuhan 0,14%/tahun.
Perilaku harga daging sapi di pasar dunia untuk beberapa negara asal impor utama
Autralia dan Selandia Baru dengan tujuan Amerika Serikat menunjukkan adanya
fluktuasi harga tahunan yang bervariasi antar tahun, yaitu dari fluktuasi rendah
hingga tinggi.
Sumber: World Bank, 2014
Gambar 17. Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional, 2004-2013
59
Indeks harga daging sapi dengan tahun dasar 2005 untuk kualitas 85% lean
fores selama 24 tahun pada Gambar 18, mendukung bahwa selama masa itu
lonjakan harga tertinggi terjadi saat tahun 2010 dan 2011. Pada saat ini indeks
harga mencapai 54,13 - 60,24 persen diatas harga dasar tahun 2005. Sementara itu
dimasa lalu antara tahun 1995 – 2000 pernah terjadi penurunan indeks harga
sebesar 26,06 - 34,06 persen dibawah harga dasar.
Hasil proyeksi indeks harga daging sapi pada periode 2011-2013 dapat
disimak pada Gambar 2. Dengan demikian perilaku harga yang diproyeksikan
mendekati harga aktualnya. Berdasarkan analisis perbandingan perilaku kedua data
tersebut dapat diperkirakan bahwa untuk 2-3 tahun kedepan harga daging sapi
kualitas 85% lean fores bertahan pada kisaran 180 – 190 US cents per Pound.
Sumber: World Economic Outlook, 2014
Gambar 18. Perkembangan Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun Dasar 2005 di
Pasar Internasional, 1980-2013
7.2. Perkembangan Harga Daging sapi Indonesia
Perkembangan harga daging sapi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Penawaran daging sapi domestik bersumber dari daging sapi lokal dan
impor. Jika penawaran lebih rendah dari permintaan maka harga daging sapi akan
meningkat, dan sebaliknya jika penawaran lebih besar dari permintaan harga daging
sapi akan menurun. Untuk menjaga stabilitas harga di pasar domestik, maka jika
60
penawaran dari produksi daging sapi lokal masih kurang dari permintaan yang ada
maka diperlukan tambahan penawaran melalui impor.
Untuk mengetahui kapan terjadi kelangkaan penawaran dapat dihitung dengan
pendekatan selisih permintaan dan penawaran. Namun hal itu tidak mudah
dilakukan karena perkiraan ketersediaan sapi siap potong di peternak tidak identik
dengan ketersediaan daging di pasar. Hal itu disebabkan usaha peternak sapi masih
belum semua berorientasi komersil. Motif peternak memelihara sapi masih banyak
untuk tabungan sehingga tidak respon terhadap pasar. Demikian juga dari sisi
konsumsi, perkiraan tingkat konsumsi secara agregat nasional merupakan angka
yang masih sangat kasar. Oleh karena itu, pendekatan lain yang dapat digunakan
untuk menentukan kelangkaan pasokan adalah dinamika harga dapat dijadikan
indikasi. Pada tahun 2013 Indonesia menerapkan kebijakan harga referensi daging
sapi sebesar Rp 76.000,-/kg untuk daging secondary cut (Kemendag, 2013). Artinya
jika harga yang terjadi dipasar konsumen melebihi harga referensi, maka pemerintah
akan membuka kran impor dengan tujuan untuk stabilisasi harga daging sapi.
7.2.1. Harga Daging Sapi pada Daerah Konsumen dan Produsen
Penggunaan daging sapi lokal untuk memasok kebutuhan pasar DKI Jakarta
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan lokal setempat. Jika tidak, pengeluaran
daging sapi yang berlebihan dari sentra produksi akan mengurangi pasokan di
daerah sentra produksi tersebut. Jika hal itu terjadi harga daging di daerah sentra
produksi akan naik, jika dayabeli konsumen tinggi maka akan terjadi pengurasan
populasi sapi lokal dan jika dayabeli rendah maka akan menyebabkan permintaan
menurun. Penurunan volume permintaan akan menurunkan omset penjualan
pedagang pengumpul (blantik), pedagang pejagal (distributor) dan pengecer lokal.
Tujuan pasar daging sapi dari daerah-daerah sentra produksi di Pulau Jawa dewasa
ini tidak terbatas untuk tujuan DKI Jakarta, terapi juga memasok daerah sentra
konsumsi baru seperti Samarinda, Banjarmasin dan Pekanbaru. Harga harian dan
bulanan daging sapi di Jakarta masih berada di bawah harga di Pasar Samarinda dan
Banjarmasin, serta hampir sama dengan harga di Pakanbaru (Gambar 19).
61
Sumber: Disperindag Provinsi
Gambar 19. Perkembangan Harga Harian Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013
Berdasarkan Gambar 20 menunjukkan bahwa urutan tingkat harga bulanan
dan harian menunjukkan hal yang sama dengan fluktuasi yang berbeda. Diduga,
relatif rendahnya harga di pasar DKI Jakarta dibandingkan harga pasar di Pakanbaru
disebabkan ada pengaruh pasokan daging asal impor di pasar DKI Jakarta. Hal ini
dilandasi argumen bahwa sebagian besar importir dan pengusaha feedloot berada di
DKI Jakarta dan sekitarnya. Tingginya harga pasar di Samarinda akan mendorong
daging sapi impor masuk ke daerah itu. Pada periode belakang ini sudah ada
pasokan daging impor ke pasar Samarinda yang masuk dari Jakarta. Namun
sebagian besar daging sapi yang beredar di pasar Samarinda berasal dari
pemotongan sapi yang masuk dari NTT, sebagian kecil dari daerah NTB, Gorontalo,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
62
Gambar 20. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi pada Daerah Sentra
Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013
Untuk melihat asal daerah mana saja yang masih potensial memasukkan
daging sapi ke Jakarta berdasarkan perbedaan harga, dapat dilihat pada Gambar 21.
Di Denpasar, harga daging sapi masih relatif rendah dan memungkinkan untuk
diperdagangkan antar pulau ke Jakarta. Pada periode dewasa ini ada juga daging
sapi beku yang dipasok dari Kupang ke Kota Surabaya dan DKI Jakarta dengan
jumlah terbatas menggunakan alat angkut pesawat terbang. Selain itu ada juga
daging beku yang dikirim dari NTT ke Makasar menggunakan kapal laut. Sebenarnya
dengan menggunakan kapal laut masih ada peluang untuk memasok daging sapi
beku dari Kupang ke Surabaya, Makasar, dan DKI Jakarta. Untuk daerah sentra
produksi Bali, akan lebih mudah memasarkan daging sapi beku langsung ke pasar
DKI Jakarta karena dapat menggunakan angkutan darat.
63
Gambar 21. Perkembangan Harga Daging Sapi di DKI Jakarta dan Sentra Produksi,
Selama Jan-Agustus, 2013
Harga daging sapi dari pasar Kota Mataram NTB, jika ditambah dengan
ongkos angkut terlihat sudah tidak jauh berbeda dengan harga yang terjadi di DKI
Jakarta. Daerah Mataram (Lombok) selama ini lebih banyak mengeluarkan sapi bibit,
kecuali untuk Kabupaten Sumbawa dan Bima yang masih mengeluarkan sapi potong
ke luar provinsi. Daerah lain yang berpotensi mengirimkan daging sapi ke Jakarta
adalah Surabaya dan Semarang. Namun akhir-akhir ini, adanya batasan ternak sapi
dan daging sapi impor masuk ke Jawa Timur, sementara itu pengeluaran sapi dari
Jatim tidak dibatasi membuat daerah ini mulai kekurangan pasokan sapi dan daging
sapi akibatnya harga daging sapi di Kota Surabaya mendekati harga daging sapi
yang terjadi di pasar Jakarta.
7.2.2. Harga Daging Sapi Nasional
Perkembangan harga eceran daging sapi rata-rata secara nasional dari tahun
1983-2014 dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan gambar tersebut
menunjukkan adanya kecenderungan harga meningkat ketahun dari tahun ke tahun.
64
Selama periode 1983-2014 hanya satu kali terjadi sedikit penurunan harga antar
tahun sebesar Rp 29/Kg, yaitu dari sebesar Rp 35.814/Kg pada tahun 2003 menjadi
Rp 35.785/Kg tahun Rp 2004. Sementara itu, besarnya kenaikan harga per tahun
minimal Rp 211/Kg pada tahun 1987 ke 1988 dan maksimal Rp 16.103 pada tahun
2012 ke 2013.
Sumber: BPS
Gambar 22. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional dari 1983-April 2014
Jika dipilah menurut periode sebelum dan sesudah krisis moneter
memberikan gambaran yang menarik, yaitu periode 1983-1997 dan 1998-2014.
Pada periode 1983-1997 atau periode sebelum terjadi krisis moneter dan krisis
ekonomi, harga daging sapi tingkat nasional dapat dikatan relatif stabil dengan nilai
koefisien variasi 0,421. Setelah periode terjadi krisis moneter dan krisis ekonomi
harga daging sapi terus meningkat dengan nilai koefisien variasi yang lebih besar
dari periode sebelumnya yaitu 0,486. Pada periode krisis moneter dan krisis ekonomi
Lembaga keuangan internasional IMF melakukan intervensi terhadap kebijakan
ekonomi Pemerintah Indonesia (Letter of Intent/LoI) untuk melakukan deregulasi
perdagangan dalam negeri, termasuk perdagangan sapi antar daerah dan antar
negara. Perubahan prinsip yang terjadi pada perdagangan sapi antar daerah di
Indonesia adalah Departemen Pertanian saat itu melalui Direktorat Jenderal
65
Peternakan tidak lagi melakukan kebijakan alokasi kuota pasokan ternak sapi dari
berbagai sentra produksi ke DKI Jakarta.
Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan nilai tukar
rupiah melemah dan harga sapi bakalan dan daging sapi impor mengalami lonjakan
luar biasa. Akibatnya permintaan terhadap ternak sapi dan daging sapi lokal
meningkat dengan sangat cepat, sehingga harganya juga mengalami lonjakan yang
tinggi. Banyak usahaternak terutama usahaternak sapi komersial mengalami
masalah yang serius, karena melambungnmya harga pakan ternak pabrikan. Pasca
krisis ekonomi, peningkatan harga domestik masih terus berlanjut. Dengan makin
stabilnya ekonomi makro Indonesia yang direfleksikan makin stabilnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar, memberi insentif kembali bagi importir untuk melakukan
impor ternak dan daging sapi yang terus mengalami peningkatan dan terus berlanjut
hingga saat ini.
Pada periode pasca krisis 2004-2009, harga daging sapi di pasar dunia dalam
kondisi yang relatif stabil (Gambar 1). Ada paradoks antara yang terjadi dipasar
dunia dengan kondisi yang terjadi di pasar domestik, yaitu harga stabil dipasar dunia
dan meningkatnya harga dipasar domestik. Kondisi ini tentunya memberikan windfall
profits bagi perusahaan feedloot dan importir yang mendorong makin
berkembangnya jumlah importir ternak sapi dan daging sapi. Pada sisi lain,
pemerintah mengalami kesulitan mengendalikan harga daging sapi dengan hanya
bertumpu pada pasokan daging sapi lokal yang jumlah produksi dan pasokannya
meningkat secara lambat dibandingkan peningkatan jumlah permintaannya.
Disamping itu kebijakan pengendalian harga dimasa lalu dalam bentuk alokasi kuota
perdagangan antar daerah juga tidak dapat dilakukan. Dinamika yang demikian jika
tidak ada upaya keras melakukan peningkatan produksi dalam negeri maka
kebutuhan impor diperkirakan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, pendapatan, berkembangnya hotel-restaurant-catering, serta
supermarket/hyper market dan industri kuliner berbasis daging sapi.
Hasil kajian empiris di Jawa Tengah dan Jawa Barat menunjukkan bahwa
perkembangan harga daging sapi kelas medium ditingkat konsumen masing-masing
diperkirakan sekitar Rp 80.000-90.000,-/Kg dan 85.000/kg s/d Rp 95.000/kg.
Gejolak fluktuasi harga daging sapi terjadi umumnya pada hari raya terutama
66
menjelang lebaran (puasa), hari raya lebaran dan hari besar lainnya. Pada hari-hari
besar tersebut terutama hari raya Idul Fitri, harga di Jawa Tengah dan Jawa Barat
masing-masing dapat mencapai diatas Rp 100.000/kg dan Rp 110.000,-/Kg.
Sementara pada hari-hari biasa harga daging umumnya stabil, hal ini disebabkan
disamping adanya pasokan ternak hidup dari luar Jawa Barat maupun sapi impor,
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan wilayah surplus daging ayam.
Daging ayam merupakan komoditas substitusi yang mampu meredam fluktuasi
harga daging sapi. Dengan melimpahnya daging ayam tersebut, maka kebutuhan
pangan asal daging sebagian bisa dipenuhi oleh produk daging unggas tersebut.
Harga daging sapi dipasaran Jawa Tengah dan Jawa Barat memang tetap
normal, akan tetapi pedagang ternak lokal mengalami stagnasi kegiatan sebab tidak
berani ambil resiko kerugian dengan harga sapi bakalan yang cukup tinggi tersebut.
Harga daging dipasaran masih normal berkisar antara Rp 85.000 s/d Rp 95.000/kg.
Artinya penetapan harga referensi Rp 76.000/kg yang ditentukan oleh pemerintah
masih jauh dibawah harga normal daging sapi yang terjadi di pasar-pasar eceran.
Penurunan pemotongan ternak sapi lokal dimanfaatkan oleh pengusaha feedlotter
yang juga importir untuk memasok daging-daging sapi asal impor. Kondisi inilah
yang mampu menormalisir harga daging sapi setempat, yang pada akhirnya importir
jugalah yang bisa memanfaatkan peluang bisnis tersebut. Dengan demikian wilayah
Jawa Barat sebenarnya merupakan wilayah pasar daging yang sangat potensial yang
diperebutkan oleh dua kekuatan pelaku pasar yaitu pedagang lokal dan importir.
Sementara peternak setempat belum sepenuhnya mampu memanfaatkan
kesempatan tersebut, sebab masyarakat Jawa Barat kurang berminat untuk
berusaha mengembangkan budidaya ternak sapi potong.
67
VIII. HASIL ANALISIS PROYEKSI HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN
INDONESIA
8.1. Hasil Proyeksi Harga Daging sapi Dunia
Industri sapi potong memiliki peranan besar dalam membangun industri
peternakan dari dulu hingga kini. Pengembangan industri sapi potong dapat
membangun keterkaitan yang kuat antara industri hulu hingga hilir. Tidak dapat
dipungkuri, peranan industri sapi potong dalam pembangunan nasional dapat diukur
melalui kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan,
pengentasan kemiskinan, menciptakan peluang usaha dan menumbuhkan sentra-
sentra industri pengolahan (abon, bakso, sosis, dendeng), industri kuliner (nasi
rendang, nasi empal gentong, nasi rawon, dan nasi gandul) dan industri lainnya
sehingga mampu dijadikan sebagai penggerak perekonomian diperdesaan.
Disamping itu, industri sapi potong erat kaitannya dengan bisnis penyediaan
produk makanan protein hewani yang bernilai strategis sebagai sumber utama
daging. Produk daging sapi memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat menjangkau
masyarakat luas dan cukup digemari oleh masyarakat Indonesia karena mempunyai
rasa dan tekstur yang baik. Tidak heran, permintaan terhadap produk daging sapi
terus meningkat seiring dengan adanya pertambahan penduduk, peningkatan
pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, peningkatan kesadaran akan gizi
seimbang, serta preferensi/selera konsumen. Prospek pasar suatu komoditas atau
produk juga dapat dilihat dari trend harga komoditas/produk yang mencerminkan
kekuatan penawaran (produksi) dan permintaan (konsumsi). Untuk mempertemukan
kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan melalui kegiatan ekspor dan impor.
Berikut disajikan dan diulas prospek pasar daging sapi didunia dengan menggunakan
pendekatan proyeksi.
Berdasarkan data perkembangan harga historis, proyeksi harga daging sapi
hingga tahun 2019 diperkirakan terus mengalami peningkatan. Harga aktual daging
sapi dunia tahun 2014 sebesar US Cents 183,59/pound menjadi US Cents
219,17/pound pada tahun 2019, atau naik sebesar 19,4 persen pada periode
tersebut. Gambarannya secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 23.
68
Berdasarkan perkembangan data harga historis aktuan dan hasil proyeksi harga
memberikan beberapa gambaran pokok: (1) Secara keseluruhan perkembangan
harga aktual daging sapi dari tahun 2004-2013 mengalami peningkatan,
perkembangan relatif lambat pada periode 2004-2009 dan mengalami
perkembangan yang pesat pada periode 2009-2012, serta sedikit meurun pada
tahun 2012-2013; dan (2) Hasil proyeksi berdasarkan perkembangan harga historis
aktual 2004-2013, menunjukkan bahwa perkembangan harga daging sapi secar
aktual pada periode 2013-2019 terus mengalami peningkatan pada level moderat.
Sumber: World Bank, 2014
Gambar 23. Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional 2004-2013 dan Proyeksi 2014-2019
Sejalan dengan naiknya harga daging sapi secara nominal didunia, indeks
harga daging sapi dunia juga terus meningkat dari 168,9 pada tahun 2014 menjadi
189 atau meningkat sebesar 11,9 persen (Gambar 24). Berdasarkan perkembangan
data harga historis aktuan dan hasil proyeksi indeks harga memberikan beberapa
gambaran pokok: (1) Secara keseluruhan perkembangan indeks harga daging sapi
dari tahun 1980-2010 mengalami fluktuasi yang rendah, perkembangan relatif
lambat pada periode 1986-1994 dan terus mengalami pelambatan, bahkan
69
penurunan pada periode 1994-2002, sejak 2004 hingga 2013 mengalami
perkembangan yang tergolong tinggi; dan (2) Hasil proyeksi berdasarkan
perkembangan indeks harga historis 2004-2013, menunjukkan bahwa hasil proyeksi
perkembangan indeks harga daging sapi pada periode 2013-2019 terus mengalami
peningkatan pada level tinggi.
Sumber: World Bank, 2014
Gambar 24. Perkembangan dan Proyeksi Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun
Dasar 2005 di Pasar Internasional, 1980-2019
8.2. Hasil Proyeksi harga daging sapi Indonesia
Perkembangan industri peternakan sapi potong di pasar domestik masih
cukup cerah, tetapi harus disertai dengan adanya peningkatan daya saing dan iklim
investasi yang kondusif. Peningkatan dayasaing harus dilakukan pada seluruh rantai
komoditas atau produk daging sapi potong. Iklim investasi yang kondusif ditujukan
untuk memperkuat industri hulu, on farm dan industri hilir. Laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia ke depan masih cukup cerah, diperkirakan masih tumbuh 5
hingga 6%/tahun. Baik di pasar global maupun pasar domestik terjadi pergeseran
selera konsumen ke komoditas dan produk yang lebih bernilai tinggi (high values
commodities).
70
Analisis prospek pasar daging sapi potong di pasar domestik difokuskan pada
peubah harga daging yang merupakan cerminan produksi, komsumsi dan impor.
Peubah ekspor tidak dianalisis karena Indonesia merupakan negara importir dimana
impor telgolong besar dan ekspor daging sapi sangat terbatas. Berikut disampaikan
hasil analisis prospek pasar daging sapi didunia dengan menggunakan pendekatan
proyeksi harga daging sapi potong.
Pada satu sisi terjadinya peningkatan permintaan terhadap produk daging
sapi sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat,
sedangkan pada sisi lain populasi sapi nasional pada empat tahun terakhir ini
mengalami penuruan, maka diproyeksikan harga daging sapi nasional (HDSN) terus
meningkat hingga tahun 2019 (Gambar 25). Jika pada tahun 2013 rata-rata harga
daging sapi nasional mencapai Rp 100.000/Kg maka diproyeksikan pada tahun 2019
naik menjadi Rp 137.635/Kg. Kondisi ini sesuai dengan tipikal harga daging sapi
yang cenderung terus naik dari tahun ketahun tanpa pernah mengalami penurunan
yang signifikan.
Sumber: BPS (Diolah)
Gambar 25. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional 1983-2014 dan Proyeksi
2015-2019
71
Hal yang hampir sama terjadi pada proyeksi harga daging sapi di Kota Jakarta
dengan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 26).
Namun demikian jika dicermati peningkatan harga daging sapi di pasar DKI Jakarta
tidak setajam dengan peningkatan harga daging sapi secara nasional. Hal ini
disebabkan DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran, dan Bekasi dan sekitarnya
merupakan lokasi dimana banyak perusahaan feedloot yang juga berperan sebagai
importir. Proyeksi perkembangan harga daging sapi bulanan di Jakarta dilakukan
hingga Nopember 2015. Hasil proyeksi menunjukkan harga daging sapi pada bulan
Nopember 2013 sebesar Rp 90.960/Kg naik menjadi Rp 101.342/Kg pada bulan
Nopember 2015. Laju pertumbuhan harga yang terus meningkat mengindikasikan
bahwa prospek pasar daging sapi baik di pasar nasional maupun di pasar DKI
Jakarta masih prospektif.
Sumber: Dinas Perindag Provinsi (Diolah)
Gambar 26. Perkembangan Harga Daging Sapi di Kota Jakarta 2009:1-2013:11 dan Proyeksi 2013:12-2015:11
Harga daging sapi yang terjadi di pasar domestik sangat dipengaruhi oleh
produksi, komsumsi dan impor. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
antara lain: (1) Harga daging sapi, semakin rendah harga daging sapi semakin tinggi
permintaan terhadap daging sapi, (2) Harga barang subtitusi daging sapi (daging
kerbau, daging kambing/domba, daging babi, daging ayam, dan telur ayam),
semakin tinggi harga barang substitusi semakin tinggi permintaan daging sapi, (3)
Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya, jumlah penduduk Indonesia tahun
72
2015 diperkirakan mencapai 259 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,49%/tahun,
merupakan pangsa pasar yang sangat besar; (4) Tingkat Urbanisasi, meningkatnya
jumlah penduduk yang migrasi dari desa kekota dan dari sektor pertanian ke sektor
industri merupakan fenomena umum yang terjadi di negara-negara berkembang; (5)
Revolusi peternakan, terutama didukung oleh perkemabngan industri hulu dan hilir,
seperti terjadinya revolusi putih di India dan revolusi pada unggas komersial baik di
negara maju maupun negara berkemabang, sedangkan pada sapi potong revolusi
masih sangat terbatas; (6) Peningkatan pendapatan masyarakat, terutama terjadi
pada golongan menengah, terutama terjadi di wilayah Jabodetabek; (7) Fenomena
segmentasi pasar (konsumen rumah tangga, industri pengolahan, hotel, restaurant,
dan catering) yang menuntut atribut produk daging sapi yang lebih lengkap dan
rinci; (8) Keunggulan relatif antara harga terhadap biaya (relative cost price
advantage), diperkirakan kini dan kedepan Indonesia akan kebanjiran produk daging
sapi impor karena kalah dalam bersaing terutama dengan Australia, Brazil, dan
India; dan (9) Terjadinya revolusi pasar modern (supermarket revolution),
menjamurnya pasar modern seperti supermarket dan hypermarket akan
meningkatkan permintaan daging sapi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran atau pasokan daging sapi
antara lain adalah: (1) Harga daging sapi, semakin tinggi harga daging sapi
mendorong peternak untuk meningkatkan produksi daging sapi; (2) Harga input
produksi (bakalan, pakan, dan obat-obatan), semakin rendah harga input produksi
semakin tinggi motivasi peternak untuk meningkatkan produksinya; (3)
Perkembangan teknologi yang lebih maju, teknologi yang lebih maju akan
menggeser fungsi produksi ke atas; (4) Perkembangan ilmu genetika berbasis sapi,
perkembangan ilmu dan teknologi genetika akan menekan harga bakalan dan
meningkatkan produksi daging sapi; (5) Genetic base yang terkonsentrasi, seperti
pemurnian Sapi Bali, Sapi PO, Sapi Madura, Sapi Sumbawa, dan Sapi Aceh, dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi usahaternak sapi potong; (6) Harga bahan
baku pakan dan distribusi penggunaannya; dan (7) Katagori konsumsi pakan,
pengembangan formula pakan yang memenuhi kandungan nutrisi berbasis bahan
pakan lokal.
73
Lesson Learnt dayasaing sapi potong di Australi dan Brazil, antara lain
direfleksikan oleh rendahnya biaya produksi, yang antara lain didukung oleh bi biaya
TK yang rendah dan produksi jagung dan kedelai yang melimpah. Pengembangan
industri peternakan dikedua negara tersebut dikombinasikan dengan: (1)
pengembangan sistem produksi yang terintegrasi, (2) Pengembangan industri sapi
potong dengan pendekatan perusahaan, perusahaan besar dengan manajemen yang
baik akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, (3) Peralatan yang moderen
dapat menekan biaya produksi, (4) Inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis
pasar (market driven), dan (5) Iklim investasi yang kondusif, melalui fasilitasi
penyediaan infrastruktur publik yang mampu mendukung pengembangan industri
peternakan.
Tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan industri sapi potong
adalah: (1) Peternakan menyumbang sekitar 37% methane dan 65% nitrous oxide
emissions, (2) Waste emits 30 mmt of ammonia, (3) Rekomendasi kuat untuk
mengurangi tingkat karbon yang dihasilkan oleh daging dan susu, serta (4)
Pengembangan produk (product promossion) dan promosi produk (product
promossion), serta advokasi untuk meningkatkan konsumsi nasional.
74
IX. EVALUASI KEBIJAKAN TERKAIT KEBIJAKAN STABILISASI HARGA
MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI
9.1. Kebijakan Menstabilkan Pasokan Domestik
Intervensi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
dalam bidang pertanian dapat dilakukan dengan menggunakan tiga bentuk
kebijakan, yaitu kebijakan harga, kebijakan investasi publik dan kebijakan
makroekonomi (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al., 2005). Secara teoritis
kebijakan yang mempengaruhi pasar daging sapi domestic adalah kebijakan yang
mempengaruhi sisi penawaran dan permintaan. Secara empiris kebijakan yang
mempengaruhi harga daging sapi domestik dilakukan melalui kebijakan teknis dan
kebijakan perdagangan. Kebijakan teknis yang ditujukan untuk meningkatkan
produksi daging sapi dilakukan dengan pengembangan teknologi produksi, seperti
pengembangan industri pembibitan, teknologi pakan, teknologi budidaya, dan sistem
integrasi tanaman ternak. Kebijakan perdagangan diimplementasikan oleh
pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Untuk kasus daging sapi
Indonesia merupakan negara net importir, oleh karena kebijakan yang terkait adalah
kebijakan impor. Sementara itu, kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk alokasi
produksi dari daerah-daerah sentra produksi untuk memasok pasar DKI Jakarta.
Arah kebijakan terkait dengan distribusi dan perdagangan sapi dan daging
sapi dalam negeri ditujukan untuk: (1) Menjaga harga ternak sapi dan daging sapi
pada tingkat yang terjangkau oleh masyarakat; (2) Memperlancar dan meningkatkan
efisiensi distribusi ternak sapi dan daging sapi antar wilayah dan antar waktu; (3)
Mengembangkan kebijakan perdagangan dan kerjasama luar negeri yang memihak
kepada kepentingan pembangunan industri sapi potong dalam negeri; dan (4)
Meningkatkan sarana usaha dan perdagangan (RPH/TPH, pasar hewan, angkutan
ternak sapi/daging sapi, penampungan, dan pengelolaan limbah).
Dalam kebijakan impor suatu komoditas, paling tidak ada tiga opsi kebijakan
yang dapat dilakukan, yaitu: pasar bebas, kebijakan subsidi, kebijakan tarif, dan
kebijakan kuota. Secara teoritis, kebijakan pasar bebas memberikan tingkat
kesejahteraan tertinggi bagi masyarakat secara keseluruhan, kemudian diikuti
subsidi, tariff dan kuota. Namun argumen untuk melindungi produsen dalam negeri,
75
belum semua komoditas diperdagangkan mengikuti mekanisme pasar bebas.
Kebijakan tarif dan subsidi menyebabkan terjadinya distorsi pasar, sedangkan pada
kebijakan kuota mekanisme pasar menjadi tidak berjalan.
Kebijakan tarif yang diterapkan baik untuk sapi hidup/bakalan dan daging
ditujukan untuk melindungi produsen domestik. Besarnya tarif untuk daging sapi dan
sapi bakalan masing-masing hanya sebesar 5% dan 3,5% masih jauh dibawah
bound tariff masing-masing mencapai 50 dan 40%. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perlindungan terhadap peternak domestik sangat terbatas. Banyak
argumen yang mendukung tarif, seperti argumentasi industri baru, pertahanan
nasional, serta ketahanan pangan.
Kebijakan tarif yang diterapkan pada komoditas sapi hidup dan daging sapi
menyebabkan harga yang dibayar konsumen dalam negeri menjadi lebih tinggi dari
harga yang seharusnya. Jika tingkat tarif yang diterapkan tinggi dapat berdampak
terhadap menurunnya tingkat konsumsi daging sapi penduduk. Sebaliknya produksi
daging sapi dalam negeri diharapkan menjadi meningkat dan pemerintah menerima
pemasukan dari penerimaan tarif impor. Penerimaan tarif yang relatif kecil kurang
berdampak pada sisi permintaan maupun pasokannya. Penerimaan tarif impor
sebaiknya dioptimalkan penggunaannya untuk memperkuat industry sapi potong
dalam negeri yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing produk dalam
negeri sehingga mampu menurunkan harga yang harus dibayar konsumen dalam
negeri.
Pada suatu negara sebagai suatu kesatuan dapat mempengaruhi harga
barang impor maka tarif yang positif dapat menjadi optimal secara nasional. Apabila
kurva penawaran pihak luar negeri bersifat elastis sempurna dan apabila harga
dunia tetap maka tingkat tarif yang optimal sama dengan nol. Semakin kurang
elastis penawaran luar negeri semakin tinggi tingkat tarif optimal yang harus
diterapkan. Meskipun demikian tarif hanya akan optimal apabila pihak luar negeri
tidak melakukan pembalasan dengan tarif yang dikenakan pada barang-barang
ekspor negara yang memberlakukan tarif tersebut.
Dampak tarif terhadap barang impor, seperti halnya pada komoditas sapi,
antara lain adalah: (1) Tarif hampir selalu menurunkan kesejahteraan dunia; (2)
Tarif biasanya menurunkan kesejahteraan masing-masing negara, termasuk negara
76
yang mengenakan tarif; (3) Sebagai aturan umum, manfaat apapun yang dapat
diberikan oleh pengenaan tarif bagi suatu negara, cara lain dapat dilakukan secara
lebih baik; (4) Ada beberapa pengecualian pada kasus perdagangan bebas: (a) tarif
“optimum suatu negara”: yaitu apabila negara tertentu dapat mempengaruhi harga
pada saat ia berdagang dengan pihak luar, maka negara tersebut akan memperoleh
manfaat dari tarif yang dikenakan; (b) argumentasi “terbaik kedua” untuk
pengenaan tarif. Apabila terjadi distorsi dalam perekonomian yang tidak dapat
diperbaiki maka pembebanan tarif mungkin lebih baik daripada tidak berbuat
apapun; (c) dalam kasus distorsi yang kisarannya sempit, yang khusus terdapat
pada perdagangan internasional, maka kebijakan tarif, kebijakan tarif lebih baik
daripada kebijakan lainnya; (5) Tarif jelas akan membantu kelompok-kelompok yang
ada kaitannya dengan produksi barang substitusi impor, walaupun tarif itu tidak baik
akibatnya bagi negara secara keseluruhan.
Kebijakan subsidi produsen merupakan kebajikan terbaik kedua (second best
policy) setelah pasar bebas, namun secara politik kegiatan subsidi sering
mendapatkan kritik yang tajam dari pihak-pihak yang memiliki perberbedaan
kepentingan, karena kebijakan subsidi cenderung memberikan manfaat kelompok
tertentu. Kebijakan subsidi disektor pertanian umumnya diberikan dalam bentuk
subsidi input produksi, seperti subsidi benih, subsidi pupuk, dan subsidi suku bunga.
Pada sistem komoditas sapi potong pemerintah belum memberikan subsidi,
meskipun ada tuntutan peternak agar pemerintah memberikan subsidi pakan ternak.
Hambatan perdagangan non-tarif yang paling lazim adalah kuota impor, yakni
suatu pembatasan terhadap jumlah impor yang diizinkan oleh suatu negara setiap
tahunnya (Lindert dan Kindleberger, 1993). Dengan satu atau cara lain, pemerintah
mengeluarkan sejumlah lisensi impor yang sah dan terbatas serta melarang impor
tanpa lisensi. Kebijakan kuota impor yang dilakukan pemerintah dengan menetapkan
jumlah kuota tertentu dari suatu komoditas atau produk, seperti sapi bakalan, sapi
hidup, dan daging sapi yang dapat diimpor.
Sepanjang jumlah impor sapi bakalan dan daging sapi yang diizinkan lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah sapi bakalan dan daging sapi yang ingin diimpor
apabila tanpa adanya kuota, maka izin impor tersebut bukan hanya mempunyai efek
mengurangi jumlah yang diimpor, tetapi juga berdampak meningkatkan harga sapi
77
bakalan dan daging sapi di dalam negeri di atas harga dunia, pada tingkat dimana
para pemegang lisensi impor membeli sapi bakalan dan daging sapi dari luar negeri.
Dalam kontek demikian, maka kuota impor memiliki dampak yang sama dengan
kebijakan tarif.
Ada beberapa alasan mengapa pemerintah sering memilih menggunakan
kebijakan kuota daripada kebijakan tarif, untuk membatasi impor (Lindert dan
Kindleberger, 1993): (1) Untuk memastikan agar peningkatan pengeluaran impor
lebih lanjut dapat dikendalikan terutama apabila persaingan dari luar negeri semakin
meningkat; (2) Kuota dipilih bagi sebagian pejabat pemerintah dapat memberikan
keluwesan dan kekuasaan administratif yang lebih besar; (3) Pejabat pemerintah
memberinya kekuasaan dan keluwesan dalam menangani perusahaan-perusahaan
dalam negeri, dalam menentukan siapa yang memperoleh lisensi impor; dan (4)
Bagi sebagian kepentingan kaum proteksionis juga melihat kesempatan untuk
memperoleh hak lisensi secara khusus, sedangkan tarif merupakan sumber
penghasilan yang berada di luar jangkauan mereka.
Harga ditingkat produsen jauh lebih rendah dengan harga ditingkat
konsumen, sehingga produsen mendapat keuntungan besar (windfall profit).
Permasalahannya bagaimana mendistribusikan lisensi impor yang dikeluarkan
pemerintah kepada para importir. Jika lisensi tersebut dilelang dan merupakan
pemasukan negara akan menjadi lebih baik. Sebaliknya jika lisensi tersebut tidak
didistribusikan secara terbuka, hanya diterima oleh kelompok tertentu.
Hingga saat ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan menetapkan
besarnya bea tarif impor untuk sapi bibit sebesar 0 dan besarnya bea masuk impor
untuk sapi non bibit, daging sapi, dan jeroan masing-masing 5%. Besaran tarif
tersebut jauh lebih rendah dari besaran yang dapat dikenakan, yaitu masing-masing
40% untuk sapi hidup termasuk bibit, 50% untuk daging sapi, dan 40% untuk
jeroan (Kemenkeu, 2012).
Permentan No 50/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan
Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan/atau Olahannya kedalam Wilayah Negara
Republik Indonesia perlu dicermati terkait kebijakan stabilisasi harga. Dalam
konsideran menimbang pada butir b diungkapkan bahwa: impor karkas, daging sapi
dan jeroan dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan
78
pasokan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya yang belum tercukupi dari
pasokan di dalam negeri. Dalam implementasinya menghadapi permasalahan pokok,
diantaranya adalah bagaimana mengukur terjadinya kekurangan kebutuhan tersebut
secara akurat dan bagaimana mengatur perdagangan ternak dan daging sapi dari
sentra produksi ke sentra konsumsi sehingga ketersediaan sentra produksi dapat
didistribusikan dan tersedia pada daerah sentra konsumsi dengan jumlah yang dapat
diperhitungkan. Hingga saat ini (2014), kebijakan penetapan jumlah yang
direkomendasikan untuk diimpor dalam Permentan 50/2011 tidak dikaitkan dengan
kebijakan perdagangan dalam negeri. Bahkan beberapa Pergub terkait perdagangan
sapi siap potong dari sentra produksi ke sentra konsumsi banyak dilanggar oleh
pelaku usaha tataniaga sapi dan daging sapi. Secara empiris terjadi bahwa sapi-sapi
yang diperdagangkan beratnya dibawah batas minimal yang diatur dalam Pergub.
Pengaturan Rekomendasi Persetujuan Pemasukan (RPP) karkas, daging sapi,
jeroan dan produk olahannya yang dilakukan sesuai Permentan tersebut
mengandung makna bahwa kegiatan impor dilakukan dengan Kebijakan Kuota.
Dengan demikian Pemerintah melakukan dua kebijakan sekaligus dalam mengatur
impor karkas, daging sapi, jeroan dan produk olahannya. Pada Pasal 1 nomor 21,
disebutkan bahwa Rekomendasi Persetujuan Pemasukan (RPP) adalah keterangan
tertulis yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya kepada
pelaku usaha yang akan melakukan pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau
olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pada Pasal 2, ayat (1)
Pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya dapat dilakukan oleh pelaku
usaha setelah mendapat izin pemasukan dari Menteri Perdagangan. Pada ayat (2)
Menteri Perdagangan dalam memberikan izin pemasukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah memperoleh RPP dari Menteri Pertanian. Pada Pasal 3 ayat (2)
huruf d disebutkan bahwa dalam RPP memuat negara asal, jumlah, jenis, dan
spesifikasi karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya. Hal ini mengandung makna
bahwa para importir diberikan kuota tertentu oleh pemerintah yang terindikasi dari
pencantuman jumlah produk yang dijinkan untuk diimpor.
Pertanyaannya adalah : (1) Bagaimana mekanisme penentuan dalam
pemberian ijin impor dari pemerintah kepada importir?; (2) Apakah para pemegang
lisensi kuota impor yang diberikan pemerintah kepada importir dilakukan dengan
79
transaksi terbuka seperti tender atau lelang, sehingga dari kegiatan tersebut
pemerintah memperoleh penerimaan sebagai pemasukan ke kas Negara? Jika tidak
dibayar, maka kebijakan impor dengan tarif lebih baik dilakukan karena dapat
memberikan pemasukan dari pajak kepada Negara dan mekanisme pasar tetap
berjalan. Kebijakan pemberian lisensi kuota yang tidak transparan dapat
menimbulkan terjadinya pemburu rente (rentseeking) suatu transaksi yang dapat
menguntungkan pihak tertentu. Secara teoritis kebijakan kuota menyebabkan
mekanisme pasar tidak bekerja dan importir memperoleh keuntungan besar (windfall
profit).
Pada Pasal ayat (3) disebutkan bahwa tujuan penggunaan karkas, daging,
jeroan, dan produk olahannya asal impor meliputi hotel, restoran, katering, dan
industri. Kebijakan-kebijakan pada periode sebelumnya, produk impor hanya
digunakan untuk memasok hotel dan restoran berbintang. Namun pada Permentan
ini sudah tidak lagi terbatas pada hotel dan restoran berbintang, tetapi juga sudah
digunakan untuk catering dan industri pengolahan. Tinggal konsumen rumah tangga
dan rumah makan kecil atau warung-warung nasi yang tidak boleh menggunakan.
Secara implementasi dilapang sangat sulit untuk melakukan pengawasan secara
ketat. Artinya tidak ada jaminan bahwa produk impor tersebut tidak masuk ke pasar
tradisional (wetmarket). Secara empiris dilapang banyak dijumpai produk daging
sapi impor yang masuk ke pasar tradisional dan supermarket/hyper market,
sehingga memiliki peluang yang tinggi dibeli oleh konsumen rumah tangga dan
rumah makan kecil atau warung-warung nasi. Selain itu, sejauh mana pengaturan
distribusi daging sapi impor dilakukan. Secara empiris daging impor tidak hanya
masuk ke pusat konsumsi utama seperti DKI Jakarta, Jabar dan Banten, namun
secara riil dilapang daging sapi impor sudah masuk di beberapa kota besar di Jawa
Tengah, DIY, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 84/Permentan/PD.410/8/2013 tentang
pemasukan Karkas, daging, jeroan dan/atau olahannya kedalam wilayah Negara
Republik Indonesia. Pada konsideran menimbang: (a) bahwa sebagai tindak lanjut
amanat Pasal 59 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan
80
Karkas, Daging, jeroan dan/atau olahannya ke dalam wilayan Negara Republik
Indonesia, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 63/Permentan/OT.140/5/
2013; (b) bahwa untuk memberikan kelancaran dan kepastian dalam pemasukan
karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya, Peraturan Menteri Pertanian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai lagi; (3) bahwa untuk
melindungi kesehatan dan ketenteraman batin masyarakat, pemasukan karkas,
daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
harus memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang
dipersyaratkan; dan (d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta optimalisasi pelayanan pemasukan karkas,
daging, jeroan dan olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, perlu
meninjau kembali Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011
tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau
olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 63/Permentan/OT.140/5/2013.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 85/Permentan/PD.410/8/2013 tentang
pemasukan sapi bakalan, sapi indukan, dan sapi siap potong kedalam wilayah
Negara Republik Indonesia. Kemudian perubahan kedua atas Peraturan menteri
Pertanian No 85/Permentan/PD. 410/8/2013 tentang pemasukan sapi bakalan, sapi
indukan, dan sapi siap potong ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pada
pasal 12 termaktub persyaratan sapi bakalan: (a) Sehat, dibuktikan dengan sertifikat
kesehatan (health sertificate) yang diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal
sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan (health requirement) dan
sertifikat asal ternak (sertificate of origin) dari negara asal yang diterbitkan oleh
negara asal yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal; (b) residu
antibiotik dan hormon pertumbuhan seperti trenbolon asetat yang membahayakan
kesehatan manusia tidak melebihi ambang batas standar yang ditetapkan secara
internasional sebelum dilalulintaskan, dilengkapi dokumen sistem survilans dan
monitoring yang diterapkan di negara asal; dan (c) berat badan perekor maksimal
350 kg pada saat tiba dipelabuhan pemasukan, dan berumur tidak lebih dari 30
bulan serta harus digemukkan minimal 60 hari setelah masa karantina.
81
Pada pasal 14 termaktub persyaratan sapi potong: (a) Sehat, dibuktikan
dengan sertifikat kesehatan (health sertificate) yang diterbitkan oleh otoritas
veteriner negara asal sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan (health
requirement) dan sertifikat asal ternak (sertificate of origin) dari negara asal yang
diterbitkan oleh negara asal yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di
negara asal; (b) residu antibiotik dan hormon pertumbuhan seperti trenbolon asetat
yang membahayakan kesehatan manusia tidak melebihi ambang batas standar yang
ditetapkan secara internasional sebelum dilalulintaskan, dilengkapi dokumen sistem
survilans dan monitoring yang diterapkan di negara asal.
Kebijakan terkait lainnya dituangkan dalam Permendag Nomor: 24/M-
DAG/PER/9/2011, Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan.
Kebijakan Kemendag ini hampir sama dengan yang dikeluarkan Kementan, yaitu
terkait pengaturan dan ijin impor dan ekspor.
Pada pasal 3 ayat (2) Permendag ini menyebutkan bahwa: Impor Produk
Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hanya dapat dilakukan
apabila produksi dan pasokan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi
kebutuhan konsumsi masyarakat dengan harga terjangkau. Disini tegas tidak hanya
ditujukan untuk hotel, retsoran, catering dan industry seperti Permentan 50/2011,
tetapi juga untuk masyarakat termasuk rumah tangga dengan tujuan member akses
pada konsumen terhadap produk impor dengan harga terjangkau. Pasal 3 tersebut
sedikit tidak komsisten dengan pasal 7, yaitu: Impor karkas, daging, jeroan, dan
atau olahannya yang termasuk dalam Produk Hewan yang tercantum dalam
Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini hanya untuk tujuan penggunaan
dan distribusi komoditi yang diimpor untuk industri, hotel, restoran, katering,
dan/atau keperluan khusus lainnya. Disini tidak eksplisit dikatakan untuk komsumen
rumah tangga, tetapi ada untuk kegunaan khusus lainnya.
Pada tahun 2013, Kementerian Perdagangan memperbaharui aturan impor
dan ekspor hewan dan produk hewan dengan Permendag Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013, Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan.
Pada permendag ini, kegiatan impor mempertimbangkan harga referensi. Dimana
pada Pasal 1, nomor 17 disebutkan bahwa: harga referensi adalah harga acuan
penjualan ditingkat pengecer yang ditetapkan oleh Tim Pemantau Harga Daging
82
Sapi. Pada Pasal 14 ayat (1), Permendag 46/2013 disebutkan bahwa: Dalam hal
harga daging sapi jenis potongan sekunder (secondary cuts) di pasaran di bawah
harga referensi maka importasi Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini ditunda importasinya sampai harga kembali
mencapai harga referensi. Pada ayat (2) disebutkan besarnya harga referensi adalah
Rp 76.000 per Kg.
Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0201.20.00.00, uraian barang adalah
potongan daging lainnya bertulang (bone in) yang tergolong potongan sekunder
(secondary cut) adalah: (1) Butt-A (Paha belakang bertulang utuh, Paha belakang
bertulang tanpa sengkel; (2) Butt-D/Square cut (Paha belakang bertulang persegi);
(3) Bone in Rib (Iga utuh bertulang dan potongannya); (4) Chuck square cut (Sampil
persegi bertulang); (5) Neck (Leher bertulang); (6) Shin/Shank forequater (Sengkel
depan bertulang); dan (7) Shin/Shank hindquater (Sengkel belakang bertulang)
(Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013).
Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0201.30.00.00, uraian barang adalah
daging tanpa tulang (boneless) yang tergolong potongan sekunder (secondary cut)
adalah: (1) Rump Steak (Steak Tanjung); (2) Rump Cup (Tanjung tanpa urat), (3)
Bottom Sirloin (Pangkal tanjung bawah); (4) Rostbiff (Tanjung bersih); (5)
Topside/inside meat (Penutup bersih); (6) Topside/inside cap off (Penutup tanpa
urat); (7) Topside/inside cap (Penutup dengan urat); (8) Topside/inside (Penutup
utuh); (9) Eye round (Gandik); (10) Outside meat (Pendasar bersih); (11) Outside
(Pendasar gandik); (11) Silverside (Pendasar utuh); (12) Rib meat (Daging iga utuh
dan jenis potongannya); (13) Stir fry (Daging tumis); (14) Knuckle/round (Kelapa
tanpa urat); (15) Flank steak (Samcan steak); (16) Flank steak tip (Samcan steak
datar); (17) Flap meat (Samcan bagian dalam bersih); (18) Internal flank plate
(Samcan bagian dalam); (19) External flank plate (Samcan bagian luar); (20) Thick
Skrit/hanging tander (Lantunan gantung); (21) Thin Skrit/outside skrit (Lantunan
bagian luar); (22) Inside skrit (Lantunan bagian dalam); (23) Thick flank (Kelapa
dengan urat); (24) Thin flank (Samcan); (25) Chuck eye log (Mata sampil bersih);
(26) Chuck eye roll (Mata sampil bulat); (27) Chuck roll long cut (Sampil bulat
panjang); (28) Chuck roll (Sampil bulat); (29) Neck meat (daging leher); (30) Chuck
crest/hump meat (punuk); (31) Chuck square cut (Sampil persegi); (32) Chuck
83
(Sampil); (33) Chuck & blade (Sampil & sampil kecil); (34) Chuck tender (Kijen);
(35) Oyester blade (Sampil kecil tiram); (36) Beef bolar blade (Sampil kecil bulat);
(37) Blade (Sampil kecil); (38) Shin/Shank (Sengkel); dan (39) Neck chain (Rantai
Leher) (Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013).
Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0202.20.00.00, uraian barang adalah
potongan daging lainnya, bertulang (bonein) yang tergolong potongan sekunder
(secondary cut) adalah: (1) Butt-A (Paha belakang bertulang utuh); (2) Butt-A (Paha
belakang bertulang bola); (3) Butt-C/Shank off (Paha belakang tanpa sengkel); (4)
Butt-D/Square cut (Paha belakang bertulang persegi); (5) Bon in Rib (Iga utuh
bertulang dan jenis potongannya); (6) Chuck-square cut (Sampil persegi bertulang);
(7) Neck (Leher bertulang); (8) Shin/shank forequater (Sengkel depan bertulang);
(9) Shin/shank hindquater (Sengkel belakang bertulang); (10) Brisket Rib
Plate/Brisket Plate (Sandung lamur tanpa iga datar bertulang); (11) Spare Rips (Iga
belakang); dan (12) Konro Ribs (Iga Konro) (Direktorat bahan Pokok dan Barang
Strategi, 2013).
Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0202.30.00.00, uraian barang adalah
daging tanpa tulang (boneless) yang tergolong potongan sekunder (secondary cut)
adalah: (1) Rumb Cap (tanjung tanpa urat); (2) D-Rump (Tanjung tanpa pangkal);
(3) Rump (tanjung dengan pangkal); (4) Bottom Sirloin (Pangkal tanjung bawah);
(5) Topside/inside meat (Penutup bersih); (6) Topside/inside cap off (Penutup tanpa
urat); (7) Topside/inside cap (Penutup dengan urat); (8) Topside/inside (Penutup
utuh); (9) Eye round (Gandik); (10) Outside meat (Pendasar bersih); (11) Outside
(Pendasar gandik); (11) Silverside (Pendasar utuh); (12) Rib meat (Daging iga utuh
dan jenis potongannya); (13) Knuckle/round (Kelapa tanpa urat); (14) Flap meat
(Samcan bagian dalam bersih); (15) Internal flank plate (Samcan bagian dalam);
(16) External flank plate (Samcan bagian luar); (17) Thick Skrit/hanging tander
(Lantunan gantung); (18) Thin Skrit/outside skrit (Lantunan bagian luar); (19) Inside
skrit (Lantunan bagian dalam); (20) Thick flank (Kelapa dengan urat); (21) Thin
flank (Samcan); (22) Chuck eye log (Mata sampil bersih); (23) Chuck eye roll (Mata
sampil bulat); (24) Chuck roll long cut (Sampil bulat panjang); (25) Chuck roll
(Sampil bulat); (26) Neck meat (daging leher); (27) Chuck crest/hump meat
(punuk); (28) Chuck square cut (Sampil persegi); (29) Chuck (Sampil); (30) Chuck &
84
blade (Sampil & sampil kecil); (31) Chuck tender (Kijen); (32) Oyester blade (Sampil
kecil tiram); (33) Beef bolar blade (Sampil kecil bulat); (34) Blade (Sampil kecil);
(35) Shin/Shank (Sengkel); dan (36) Neck chain (Rantai Leher) (Direktorat bahan
Pokok dan Barang Strategi, 2013).
Pada pasal 17 disebutkan bahwa karkas, daging dan atau jeroan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Permentan 46/2013 hanya dapat diimpor
untuk tujuan penggunaan dan distribusi bagi industri, hotel, restoran, katering dan
atau keperluan khusus lainnya. Selanjutnya pada pasal 18 ayat (1) disebutkan
bahwa: Pemerintah dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik
untuk melakukan impor hewan dan produk hewan dalam rangka menjaga ketahanan
pangan. Pada ayat (2) produk impor tersebut sebagaimana pada Lampiran I
ditujukan untuk didistribusikan ke pasar ritel. Permendag 46/2013 memperbaharui
Permendag sebelumnya terkait ketentuan impor dan ekspor hewan dan produk
hewan dan produk olahannya. Dengan demikian peraturan sebelunya (Permendag
24/2011 dan Permendag 22/2013) sudah sudah tidak berlaku. Pada Permendag ini,
kebijakan impor menggunakan harga referensi dan untuk tujuan ketahanan pangan,
sama seperti Permendag 22/2013, Pemerintah dapat menunjuk Perum Bulog untuk
melakukan impor dan memasok produk impor tersebut ke pasar ritel. Hal ini
mengandung makna bahwa pada kondisi tertentu, seperti menjelang puasa dan
lebaran, pemerintah dapat melakukan operasi pasar daging sapi dengan tujuan
mengendalikan harga daging sapi sehingga akses konsumen terhadap daging sapi
menjadi lebih terjangkau.
Permendag 46/2013 diubah kembali dengan Permendag Nomor 57/M-
DAG/PER/9/2013, Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan 46/M-
DAG/PER/8/2013. Hal yang mengalami perubahan terkait pada peran Perum Bulog.
Pada Permendag 46/2013, Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: (1) Pemerintah
dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk melakukan impor
Hewan dan Produk Hewan dalam rangka menjaga ketahanan pangan; (2)
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik hanya dapat mengimpor Hewan dan
Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini
untuk didistribusikan ke pasar ritel atau eceran; dan (3) Impor Hewan dan Produk
Hewan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik sebagaimana dimaksud pada
85
ayat (2) harus mendapat Persetujuan Impor dengan melampirkan rekomendasi
impor sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) hurub b dan dikecualikan dari
ketentuan mendapatkan penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan.
Pada Permendag 57/2013 tentang pemasukan sapi bakalan, sapi indukan,
dan sapi siap potong, pasal 18 diubah menjadi sebagai berikut: (1) Dalam rangka
menjaga ketahanan pangan, Pemerintah dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan
Urusan Logistik untuk melakukan impor Hewan dan Produk Hewan sebagaimana
tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri ini; (2) Dihapus; (3) Impor Hewan
dan Produk Hewan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat Persetujuan Impor dengan melampirkan
rekomendasi sebagimana dimkasud dalam Pasal 11 ayat (1) hurub b dan
dikecualikan dari ketentuan mendapatkan penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk
Hewan. Dengan dihapusnya ayat (2) Pasal 18 ini, Perum Bulog menjadi dibatasi
perannya sehingga tidak harus memasok ke pasar ritel atau eceran.
Sangat dinamisnya peraturan-peraturan terkait impor dan ekspor hewan dan
produk hewan serta produk olahannya mengindikasikan banyaknya berbagai
kepentingan yang terlibat dalam kegiatan ini. Secara empiris diperoleh informasi
bahwa pelaku impor hewan dan produk hewan terus mengalami peningkatan dari
waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan kegiatan perdagangan lintas negara untuk
hewan dan produk hewan serta produk olahannya memang menguntungkan,
dimana importir berpeluang menerima windfall profit dengan kebijakan kuota impor
hewan dan produk hewan dan produk olahannya. Dengan adanya kebijakan harga
referensi, bukan berarti kebijakan kuaota impor dihapuskan, namun ijin impor
diberikan kepapa imortir terdaftar, jika harga yang terjadi dipasar melebihi harga
referensi yang dijadikan harga acuan apakah perlu impor atau tidak.
Kebijakan teknis juga mempengaruhi stabilisasi harga daging sapi domestik.
Secara konseptual kemampuan produksi atau penyediaan pasokan daging sapi
ditentukan oleh populasi dan pertumbuhannya (hal ini ditentukan oleh efisiensi
reproduksi) dan produktivitas dalam menghasilkan daging sapi. Secara teknis
terdapat tiga sumber pertumbuhan produktivitas usahaternak sapi potong, yaitu: (a)
perubahan teknologi, baik teknologi genetik (pembibitan), budidaya, serta teknologi
pemotongan dan pengolahannya; (2) peningkatan efisiensi produksi usahaternak
86
sapi potong; dan (3) peningkatan skala usahaternak yang mencapai skala ekonomi.
Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengupayakan peningkatan
produksi dalam negeri untuk meningkatkan peran pasokan produksi lokal ke pasar
daging sapi domestik. Pada periode lima tahun terakhir upaya tersebut dilakukan
dengan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau tahun 2014 (PSDS 2014).
Secara konseptual, kebijakan pemerintah tersebut diharapkan mampu
menggeser kurva penawaran ke kanan bawah untuk meningkatkan pasokan daging
sapi lokal sehingga mampu menstabilkan harga daging sapi di pasar domestik. Pada
Program tersebut dilakukan melalui 13 kegiatan teknis. Kegiatan ini sebenarnya
dapat dikategorikan kebijakan subsidi untuk mendukung peningkatan produksi
dalam negeri. Hal yang sama banyak dilakukan oleh negara-negara lain, termasuk
negara maju.
Capaian Kinerja Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat
dilihat dari perspektif makro ekonomi dan makro teknis. Berdasarkan indikator
makro ekonomi memberikan beberapa gambaran pokok (Kementan, 2013): (1)
Produk Domestik Bruto berdasarkan harga berlaku tahun 2012 sebesar Rp.146.090
miliar, sedangkan pada tahun 2013 hingga semester I baru mencapai Rp.77.774
miliar; (2) Penyerapan tenaga kerja peternakan cenderung mengalami peningkatan,
jika pada tahun 2012 sebesar 4,238 juta, meningkat pada tahun 2013 menjadi 4,3
juta orang. Namun serapan tenaga kerja peternakan dibandingkan dengan Sektor
Pertanian tahun 2013 sebesar 11,5% atau menurun sekitar 0,13% dibanding 2012
yang besarnya 11,63%; (3) Nilai investasi PMDN pada tahun 2012 mencapai Rp.
97,445 miliar, namun hingga bulan September 2013 sudah mencapai Rp. 292,301
miliar. Sedangkan investasi PMA pada tahun 2012 mencapai US$ 19,822 juta, dan
hingga bulan September 2013 baru mencapai US$ 9,95 juta; (4) Kesejahteraan
peternak diukur dari NTP. Jika pada 2012 indeksnya sebesar 101,33, maka pada
2013 menjadi 101,95 atau terjadi peningkatan sebesar 0,6 %; (5) Neraca
perdagangan ekspor-impor masih mengalami defisit. Jika pada tahun 2012 rasionya
1:4,85, maka sampai dengan bulan Agustus 2013 rasionya naik sebesar 2,02 % dan
menjadi 1:5,16. Kontribusi penurunan defisit dihasilkan dari ekspor obat hewan dan
produk hewani non-pangan, sehingga di masa mendatang penanganan obat hewan
dapat menjadi engine of trade peternakan; (6) Total Nilai Ekspor Komoditi Pangan
87
Asal Hewan dan Produk Hewan Non Pangan Tahun 2013 sebesar 145,8 ribu ton
(US$ 297,2 juta), sedangkan sampai dengan bulan Desember 2013 nilainya sebesar
103 ribu ton (US$ 215 juta); dan (7) Nilai ekspor obat hewan tahun 2012 sebesar
US$ 22,3 ribu, sedangkan hingga bulan Oktober 2013 adalah sebesar US$ 8,5 ribu.
Sementara itu, capaian dari makro teknis (Populasi dan Produksi Sapi dan
Kerbau) merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut (Kementan, 2013): (1)
Hasil Sensus Pertanian (ST 2013) populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,2 juta ekor
atau terjadi penurunan sebesar 14,5% dari hasil PSPK 2011 yaitu sebesar 16,4 juta.
Namun demikian pada tahun 2013 produksi daging telah mengalami peningkatan
sebesar 29,50% atau sebanyak 465,16 ribu ton dibandingkan produksi daging tahun
2009 sebesar 351,3 ribu ton; (2) Jumlah pejantan unggul sebanyak 698 ekor,
sedangkan targetnya adalah 565 ekor; (3) Terjadi penurunan kelahiran ternak pada
tahun 2013 melalui program Inseminasi Buatan (IB) sebanyak 1.271.732 ekor (66,63
%) dari target 1.908.445 ekor jika dibandingkan dengan kelahiran IB pada tahun
2012 sebanyak 1.580.141 ekor (87,78 %) dari target 1.800.000 ekor. Demikian juga
melalui program Kawin Alam (INKA) terjadi peningkatan kelahiran yaitu sebesar
457.346 ekor (32,66 %) jika dibandingkan dengan kelahiran KA pada tahun 2012
sebesar 169.984 ekor (12,14%).
Capaian kinerja PSDSK 2014 Hasil evaluasi pencapaian intervensi 14 langkah
kegiatan PSDSK tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Pertama, pada
kegiatan aspek perbibitan mencakup kegiatan : (1) Pengembangan dan penerapan
Good Breeding Practices, kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan bibit sesuai
dengan standar dengan penerapan GBP di kelompok; (2) Realisasi sampai dengan
bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 10,35% terhadap Blue Print dan
9,47% terhadap POK 2013 dari total bobot 10% atau terjadi intervensi sebesar
0,52% terhadap Blue Print dan 0.47% terhadap POK 2013 dari target intervensi
sebesar 0,5%; (3) Penguatan Kelembagaan Perbibitan. Kegiatan ini bertujuan untuk
memperkuat kelembagaan pembibitan di daerah sehingga berfungsi menghasilkan
bibit sesuai standar; (4) Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap
kegiatan tersebut sebesar 0,11% terhadap Blue Print dan 5,14% terhadap POK 2013
dari total bobot 6%.
88
Tabel 11. Capaian 14 Intervensi PSDSK Tahun 2013.
Keterangan: (*) Hasil simulasi : hasil simulasi dengan sistem modelling untuk mencapai
swasembada daging sapi tahun 2014.
(**) Intervensi : selisih hasil simulasi dengan koreksi existing, artinya nilai kuantitatif yang harus dilakukan oleh PSDSK dari masing-masing kegiatan yang ada (14 kegiatan).
(***) Nilai Bobot : Penilaian Tim Monev Ditjen PKH.
Kedua, Aspek budidaya ternak mencakup manajemen pemeliharaan. Kegiatan
ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM dan kelembagaan IB
dan INKA melalui berbagai latihan untuk meningkatkan kompetensinya dan
merealisasikan kelembagaan IB. Peningkatan kelembagaan tersebut diikuti dengan
melengkapi sarana dan prasarana, optimalisasi kegiatan, pembinaan SMD dan
pengelolaan limbah. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 sebesar 2,85%
terhadap Blue Print dan 7,29% terhadap POK 2013 dari total bobot 13% atau terjadi
intervensi sebesar 3,38% terhadap Blue Print dan 8,64% terhadap POK 2013 dari
target intervensi sebesar 15,40%.
Ketiga, aspek pakan mencakup kegiatan: (1) Pengembangan complete feed
pada ternak perah, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi sapi perah.
Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 1,32%
terhadap Blue Print dan 3,83% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau
terjadi intervensi sebesar 0,05% terhadap Blue Print dan 0,15% terhadap POK 2013
dari target intervensi sebesar 0,20%.
Uraian Kondisi
Tahun 2012
(%)
Hasil Simulasi
(%) *
Blue Print
(%)
POK (%) Blue
POK
1 Good Breeding Practices 3,50 4,00 0,50 10 10,35 9,47 0,52 0,47
2 Kelembagaan Perbibitan 41,05 41,05 tetap 6 0,11 5,14
3 Manajemen Pemeliharaan 14,60 30,00 15,40 13 2,85 7,29 3,38 8,64
4 Complete Feed 1,80 2,00 0,20 5 1,32 3,83 0,05 0,15
5 Konsentrat 13,60 14,30 1,30 5 2,62 4,79 0,68 1,25
6 Benih Hijauan 30,00 40,00 10,00 5 2,10 4,14 4,20 8,28
7 Integrasi Ternak Tanaman 6,20 12,30 6,10 5 2,59 4,98 3,16 6,08
8 Padang Penggembalaan 10,00 12,30 2,00 5 2,72 3,82 1,09 1,53
9 Teknologi Pakan 1,00 12,00 1,30 8 2,43 6,14 0,39 1,00
10 Water Reservoir 10,00 2,30 3,00 3 - 1,83 - 1,83
11 Tingkat Kematian Ternak 1,63 1,50 (0,13) 15 6,84 8,31 (0,06) (0,07)
12 Tingkat Kesakitan 35,00 25,00 (10,00) 10 3,54 6,2 (3,54) (6,20)
13 Rumah Potong Hewan 20,00 54,00 - 10 5,00 8,15
14 Indeks Distribusi - - - 0 - 0 - -
100 42,47 74,09TOTAL
No Parameter Intervensi
Modelling
(%) **
Bobot (***) Hasil Pembobotan Hasil Intervensi
89
Pengembangan pakan konsentrat pada ternak sapi dan kerbau. Kegiatan ini
bertujuan untuk meningkatkan penggunaan konstentrat melalui pengolahan dan
lumbung pakan daerah. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap
kegiatan ini sebesar 2,62% terhadap Blue Print dan 4,79% terhadap POK 2013 dari
target total bobot 5% atau terjadi intervensi sebesar 0,29% terhadap Blue Print dan
1,25% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 1,30%.
Penyediaan benih hijauan berkualitas. Kegiatan ini bertujuan untuk
menyediakan pakan hijauan berkualitas melalui perbaikan sumber benih dan
mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pakan berkualitas dan
perluasan areal kebun HPT. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap
kegiatan ini sebesar 2,10% terhadap Blue Print dan 4,14% terhadap POK 2013 dari
target total bobot 5% atau terjadi intervensi 4,20% terhadap Blue Print dan 4,28%
terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 10%.
Integrasi ternak tanaman. Kegiatan ini bertujuan untuk mengoptimalkan
sumber daya melalui integrasi ternak dan tanaman ternak berfungsi menghasilkan
pupuk organik dan kompos dari biomassa yang dihasilkan dari tanaman. Realisasi
sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,59% terhadap
Blue Print dan 4,98% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau terjadi
intervensi sebesar 3,16% terhadap Blue Print dan 6,08% terhadap POK 2013 dari
target intervensi sebesar 6,10%.
Pengembangan padang penggembalaan. Kegiatan ini bertujuan untuk
perluasan, perbaikan dan pembangunan areal padang penggembalaan sehingga
memungkinkan meningkatnya kapasitas tampung ternak melalui tambahan
penyediaan HPT dan intensifnya penyediaan pakan. Pengembangan padang
penggembalaan dilakukan pada koridor Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua.
Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,72%
terhadap Blue Print dan 3,82% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau
terjadi intervensi sebesar 1,09% terhadap Blue Print dan 1,53% terhadap POK 2013
dari target intervensi sebesar 2%.
Pengembangan Teknologi Pakan. Kegiatan ini bertujuan untuk menerapkan
berbagai hasil penelitian menjadi paket teknologi di lapangan. Implementasinya
adalah adanya teknologi pakan yang dilengkapi dengan pengembangan SDM dan
90
pelatihan pemanfaatan teknologi pakan dengan bahan baku lokal. Realisasi sampai
dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,43% terhadap Blue
Print dan 6,14% terhadap POK 2013 dari target total bobot 8% atau terjadi
intervensi sebesar 0,39% terhadap Blue Print dan 1% terhadap POK 2013 dari target
intervensi sebesar 1,3%.
Pengembangan Water Reservoir. Kegiatan ini bertujuan untuk menerapkan
teknologi penyimpanan air, terutama di daerah yang kekurangan air untuk ternak
melalui pembangunan embung, tandon air dan pengelolaannya. Realisasi sampai
dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 1,83% terhadap POK
2013 dari target total bobot 3% atau terjadi intervensi sebesar 1,83% terhadap POK
2013 dari target intervensi sebesar 3%.
Keempat, aspek kesehatan hewan. Pengurangan tingkat kematian ternak
sebagai akibat penyakit hewan menular. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
populasi dan produksi ternak melalui pengurangan angka kematian ternak. Realisasi
sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 6,84% terhadap
Blue Print dan 8,31% terhadap POK 2013 dari target total bobot 15% atau mampu
menurunkan tingkat kematian ternak sebagai akibat penyakit hewan menular
sebesar (0,06%) terhadap Blue Print dan (0,07%) terhadap POK 2013 dari target
intervensi sebesar 0,13%.
Penurunan tingkat kesakitan ternak sebagai akibat penyakit hewan tidak
menular. Kegiatan ini bertujuan untuk menurunkan tingkat kesakitan ternak sebagai
akibat penyakit hewan tidak menular tetapi merugikan secara ekonomis. Realisasi
sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 3,54% terhadap
Blue Print dan 6,20% terhadap POK 2013 dari target total bobot 10% atau terjadi
penurunan tingkat kesakitan ternak sebagai akibat penyakit hewan tidak menular
sebesar (3,54%) terhadap Blue Print dan (6,20%) terhadap POK 2013 dari target
intervensi sebesar 10%.
Kelima, aspek kesehatan masyarakat veteriner dan pasca panen dalam
kegiatan operasionalnya mencakup pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH.
Peningkatan RPH ditargetkan untuk penerapan higiene dan sanitasi di RPH dalam
upaya penyediaan pangan asal ternak yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
Adapun pelaksanaan kegiatan operasionalnya mencakup: (1) Pembangunan RPH
91
baru di provinsi yang memiliki potensi dalam usaha pemotongan hewan namun
belum memiliki fasilitas RPH yang memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi
dengan cara: (a) Pembangunan RPH baru yang memenuhi persyaratan teknis
higiene sanitasi dan kesejahteraan hewan, baik dari aspek lokasi, prasarana jalan
dan air bersih, bangunan dan peralatan; (b) Penyiapan Sumberdaya Manusia RPH
yang terampil dan terlatih; (c) Peningkatan kemampuan pengelola RPH dalam
menerapkan manajemen RPH sebagai sarana pelayanan masyarakat untuk
menghasilkan produk yang ASUH.
Renovasi RPH yang sudah ada, dengan cara: (a) Fasilitasi perbaikan
bangunan dan/atau peralatan RPH sehingga mampu menerapkan praktek higiene
sanitasi dan kesejahteraan hewan; (b) Pembinaan pelayanan teknis kesmavet di
RPH; (c) Penatalaksanaan manajemen dan operasional RPH yang mengacu kepada
prinsip sistem jaminan keamanan dan kehalalan pangan. Realisasi sampai dengan
bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 5% terhadap Blue Print dan
8,15% terhadap POK 2013 dari total bobot 10%.
Keenam, aspek pengaturan dan distribusi dalam kegiatan operasionalnya
mencakup peningkatan indeks distribusi yang bertujuan untuk meningkatkan potensi
ternak lokal untuk memasuki tata niaga formal antara lain melalui pasar hewan,
rumah potong hewan dan pasar daging. Dengan masuknya ternak lokal pada tata
niaga formal akan menurunkan jumlah impor sapi bakalan maupun daging. Indeks
distribusi pada tahun 2014 ditargetkan meningkat 0,70% dari 0,61% kondisi
eksisting (Revisi Blue Print, 2012). Realisasi kegiatan pada setiap parameternya
sampai dengan bulan Desember 2013 sangat bervariasi, ada yang baru mencapai
10%, namun ada pula yang telah selesai sehingga realisasinya sebesar 100%.
9.2. Isu-Isu Kebijakan Aktual
9.2.1. Perubahan Regulasi Impor Sapi Potong dan Daging Sapi
Perubahan Permentan No. 84/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus
2013 menjadi Permentan No. 96/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September
2013 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
92
Perubahan Permentan No. 85/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus
2013 menjadi Permentan No. 97/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September
2013 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan sapi Siap Potong ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
Prinsip dasar perubahan tersebut meliputi: (a) Penentuan kuota impor sapi
dilakukan oleh Kementerian Perdagangan, sedangkan Kementerian Pertanian hanya
mengeluarkan Rekomendasi Teknis Kesehatan Hewan yang ditanda tangani oleh
Direktur Kesehatan Hewan; (b) Importir adalah semua perusahaan swasta dan
BUMN yang telah memenuhi persyaratan.
Pada tahun 2013, Kementerian Perdagangan memperbaharui aturan impor
dan ekspor hewan dan produk hewan dengan Permendag Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013, Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan.
Pada peraturan ini menyertakan penetapan harga refernsi oleh pemerintah.
Permendag 46/2013 diubah kembali dengan Permendag Nomor 57/M-
DAG/PER/9/2013, Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan 46/M-
DAG/PER/8/2013. Hal yang mengalami perubahan terkait pada peran Perum Bulog.
Pada Permendag 46/2013, Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: (1) Pemerintah
dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk melakukan impor
Hewan dan Produk Hewan dalam rangka menjaga ketahanan pangan; (2)
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik hanya dapat mengimpor Hewan dan
Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini
untuk didistribusikan ke pasar ritel atau eceran; dan (3) Impor Hewan dan Produk
Hewan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mendapat Persetujuan Impor dengan melampirkan rekomendasi
impor sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) hurub b dan dikecualikan dari
ketentuan mendapatkan penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan.
9.2.2. Ketersediaan dan Permintaan (Supply and Demand)
Ketersediaan dan permintaan (Supply and Demand) Daging Sapi/Kerbau dan
Sapi Potong tahun 2013. Secara nasional ketersediaan daging tahun 2013 berjumlah
509,89 ribu ton yang terdiri dari: (a) Ketersediaan produksi lokal sebanyak 474,41
ribu ton; dan (b) Kekurangan penyediaan sebanyak 75,26 ribu ton.
93
Dalam Rakortas yang diadakan pada tanggal 20 November 2012, kekurangan
tersebut diputuskan dibulatkan menjadi 80 ribu ton. Impor daging sapi sebanyak 80
ribu ton terdiri dari 32 ribu ton dalam bentuk daging beku dan sebanyak 48 ribu ton
setara dengan 267 ribu ekor sapi bakalan. Selanjutnya dalam Rakortas tanggal 20
Juni 2013 diputuskan tambahan impor sebanyak 3.000 ton daging beku yang
ditugaskan kepada Perum BULOG dan sapi siap potong sebanyak 25.000 ekor untuk
memenuhi kebutuhan Hari Idul Fitri Tahun 2013.
Konsumsi daging sapi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun
seiring pertumbuhan ekonomi dan perubahan perilaku konsumsi masyarakat
(Fabiosa, 2005). Konsumsi daging secara nasional pada tahun 2013 sebanyak
549,67 ribu ton yang meliputi: (a) Konsumsi rumah tangga sebanyak 517,67 ton; (b)
Industri pengolahan sebanyak 19.400 ton; dan (c) HOREKA (Hotel, Restoran dan
Katering) sebanyak 12.600 ton. Realisasi impor daging sapi sampai dengan bulan
Desember 2013 adalah sebanyak 30.840 ton (yang dilakukan oleh 67 perusahaan
importir daging) dan Perum BULOG sebanyak 1.300 ton. Realisasi impor sapi
bakalan sampai dengan bulan Desember 2013 adalah sebanyak 339.358 ekor yang
masuk melalui 4 (empat) pelabuhan, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta;
Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung; Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap; dan
Pelabuhan Belawan, Medan. Realisasi impor sapi siap potong sampai dengan bulan
Desember 2013 adalah 113.102 ekor. Sementara itu, realisasi impor sapi bibit dan
kerbau bakalan sampai bulan Desember 2013 masing-masing sebesar 199 ekor dan
201 ekor.
9.2.3. Penetapan Referensi Harga Daging Sapi
Harga daging sapi saat ini masih di anggap relatif tinggi yaitu antara 80.000-
90.000/kg dan bahkan pada hari-hari menjelang puasa dan hari raya idul fitri
mencapai Rp 95.000-100.000,-/kg atau di atas harga referensi yang ditetapkan
sebesar Rp 76.000/kg meskipun kuota impor tidak dibatasi lagi. Diusulkan agar
harga referensi berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Pertanian, IPB dan PPSKI
yang dianggap layak untuk peternak dan tidak memberatkan konsumen adalah
antara Rp 85.000,00–Rp 90.000,00/kg untuk daging kelas 2 (secondary cuts) dan
antara Rp 80.000,00–Rp 85.000,00 untuk daging kelas 3. Hasil kajian empiris
94
dilapang di Jawa Tengah dan jawa Barat juga diperoleh besaran yang sama, bahwa
dengan memperhitungkan biaya pokok usahaternak, keuntungan normal 10 %,
serta biaya biaya pemasaran dan margin keuntungan pelaku tata niaga maka harga
referensi yang dipandang adil baik bagi peternak maupun konsumen sebesar Rp.
85.000,00-90.000,00/kg untuk daging kelas dua (secondary cut) dan Rp. 80.000,00-
85.000,00/kg untuk daging kelas 3.
9.2.4. Tata Niaga dan Transportasi
Keterbatasan sarana prasarana pengangkutan ternak dari daerah-daerah
produsen seperti NTT, NTB, Bali, dan Sulsel ke daerah konsumen seperti DKI
Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Informasi dari Kementerian Perhubungan pada
Rakonteknas di Bandung tanggal 28 November 2013 menyampaikan bahwa tahun
2014 akan tersedia kapal angkut ternak dari daerah produsen ke konsumen yang
dimodifikasi dari kapal perang dengan kapasitas 400 ekor per kapal. Sedangkan
kapal yang di desain khusus untuk pengangkutan ternak saat ini sedang dalam
proses pembuatan dan direncanakan selesai pada bulan Juni 2015. Adanya
komitmen dari Kementerian Perhubungan dalam distribusi ternak sapi dan daging
sapi diharapkan dapat membantu menstabilkan harga daging sapi di pasar domestik.
9.2.5. Analisa Perhitungan Pasokan dan Kebutuhan Sapi Potong dan Kerbau 2014
Dalam rangka mengamankan ketersediaan daging dan ternak sapi/kerbau
tahun 2014, masing-masing provinsi sudah melakukan penghitungan potensial stock
dan ready stock di wilayahnya masing-masing. Perhitungan ketersediaan sapi dan
kerbau tahun 2014 juga berdasarkan dengan data yang diperoleh dari hasil Sensus
Pertanian Tahun 2013 (ST-13), terutama dikaitkan dengan data yang ada di masing-
masing provinsi dan kabupaten untuk dapat digunakan sebagai perhitungan
ketersediaan daging sapi dan kerbau tahun 2014.
Berdasarkan parameter yang telah disepakati, potensial stock daging sapi dan
kerbau tahun 2014 berasal dari sapi potong dan kerbau jantan dewasa dikurangi
untuk pemacek, dan betina afkir, sapi perah dewasa dan betina afkir, maka
95
diperoleh potensial stock 3,25 juta ekor dan ready stock sebanyak 2,952 juta dan
menghasilkan daging sebanyak 530,8 ribu ton.
Berdasarkan hasil pemantauan harga sapi dan daging sapi sepanjang tahun
2013 yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri,
Kementerian Perdagangan, terlihat adanya fluktuasi dan puncaknya terjadi pada
bulan Agustus dan Oktober 2013 karena terkait dengan Idul Fitri, Idul Adha dan
banyaknya acara perkawinan. Selanjutnya referensi harga Rp.76.000,- per kg perlu
ditinjau kembali dengan mempertimbangkan harga dasar di tingkat peternak sesuai
dengan biaya produksi yang dikeluarkan, keuntungan para peternak, serta biaya
pemasaran dan margin keuntungan bagi pelaku tataniaga sapi dan atau daging sapi.
Ijin impor sapi dan daging sapi saat ini dilakukan melalui Unit Pelayanan
Perdagangan, Kementerian Perdagangan secara elektronik, dimana persetujuan
impor sapi dan daging sapi diberikan per triwulan, dengan mencantumkan jumlah
sapi yang diimpor (ekor) dan tonase daging impor. Untuk mendapatkan surat ijin
impor sapi dan daging sapi maka para importir terdaftar harus menyertakan bukti
realisasi impor, minimal harus mencapai 80 % dari renaca impor pada periode satu
tahunnya.
9.3. Opsi Kebijakan Stabilisai Harga Daging Sapi
Produk daging sapi tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high value
product) dihargai konsumen dengan harga yang relatif tinggi dibanding komoditas
pangan lainnya, bahkan dibandingkan harga daging jenis lainnya. Ada fenomena
pergeseran permintaan dari komoditas biji-bijian (tradisional) ke arah produk bernilai
ekonomi tinggi yang dalam ekonomi (high value commodity) atau dalam ekonomi
disebut fenomena value ladder. Fluktuasi harga produk daging sapi di pasar
domestik terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan.
Salah satu penyebab utama kekurangan pasokan adalah ketidakmampuan produsen
dalam mengatur volume pasokan baik dari aspek jumlah, kualitas dan kontinyuitas
pasokan.
Jika pada tahun 2013 rata-rata harga daging sapi di pasar domestik mencapai
Rp 100.000/Kg maka diproyeksikan pada tahun 2019 naik menjadi Rp 137.635/Kg.
96
Sementara itu, perkembangan harga bulanan menunjukkan keterkaitan yang tinggi
dengan hari-hari besar keagamaan, terutama menjelang puasa dan hari raya
lebaran, serta Idul Adha. Pada umumnya, satu minggu-dua minggu sebelum
memasuki Bulan Puasa, harga merambat naik hingga mencapai 10-20%, kemudian
pada bulan puasa sedikit mengalami penurunan, dan kemudian melonjak lagi pada
seminggu sebelum lebaran hingga mencapai 10-30%, dan selanjutnya mengalami
penurunan harga pasca Hari Raya Lebaran. Pada satu-dua minggu sebelum Hari
Raya Idul Adha harga sapi meningkat hingga mencapai 10-30%. Sementara itu,
pada hari-hari raya keagamaan lainnya, seperti Natal dan Tahun Baru serta Imlek,
biasanya harga produk daging sapi mengalami peningkatan secara terbatas dan
bersifat sangat temporal, kurang lebih 5-10%.
Harga produk daging sapi berfluktuatif, hal ini sangat berkaitan erat dengan
dinamika fluktuasi harga bakalan dan harga pakan ternak. Artinya bahwa fluktuasi
harga produk daging sapi sangat dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi sisi
penawarannya. Menurut Irawan et al. (2001), kondisi harga yang fluktuatif pada
dasarnya terjadi akibat kelebihan atau kekurangan penawaran dibandingkan dengan
permintaan. Fluktuasi harga tersebut umumnya disebabkan oleh dis-sinkronisasi
perencanaan produksi antar daerah produksi. Beberapa faktor lain berpengaruh
adalah terbatasnya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan Tempat Pemotongan
Hewan (TPH) yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan, gudang/peralatan
penyimpanan berpendingin (cold storage) dan moda transportasi berpendingin yang
mampu mengendalikan volume penawaran. Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih
merugikan peternak daripada pelaku usaha besar. Biasanya jika terjadi peningkatan
harga di pusat pasar konsumen, informasi kenaikan harga tidak ditransmisikan
secara sempurna, tetapi jika terjadi penurunan harga di pusat pasar konsumen,
informasi penurunan harga ditransmisikan secara sempurna.
Hasil kajian data sekunder dan wawancara empiris dilapang tentang
pembentukan harga produk daging sapi di pasar domestik menunjukkan: (1) Harga
produk daging sapi ditentukan oleh sisi pasokan dan sisi permintaan, dan sisi
kekurangan pasokan lebih sering terjadi; (2) Pada saat pasokan kurang dari
permintaan, maka harga produk daging sapi meningkat secara pesat, sebaliknya
pada saat pasokan berlebih dari permintaan maka terjadi fenomena anjlok harga,
97
secara empiris fenomena lonjak harga di pasar domestik lebih sering terjadi
terutama pada saat menjelang bulan puasa dan menjelang lebaran, sedangkan
kenaikan harga sapi hidup lebih sering terjadi menjelang Hari Raya Idul Adha; (3)
Kebutuhan produk daging sapi cenderung konstan sepanjang waktu, hanya pada
hari raya atau hari besar keagamaan terutama menjelang puasa dan hari raya
lebaran permintaan daging sapi meningkat sekitar (10-30%); (4) Sementara
pasokan berubah-rubah sepanjang waktu, karena sangat dipengaruhi oleh gejolak
faktor eksternal, seperti wabah penyakit dan dinamika pasar global; (5) Sangat
mendesak mengembangkan kebijakan manajemen rantai pasok (supply chains
management/SCM) dan manajemen rantai nilai (value chain management/VCM),
sehingga ada keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan pengendalian
aktivitas bisnis dalam rantai pasok dan pembagian manfaat secara adil dalam
distribusi nilai superior produk daging sapi dengan biaya termurah untuk memenuhi
variabel-variabel kepuasan pelanggan (Vorst and Van Der, 2006).
Selama ini bisnis industri daging sapi di dalam negeri lebih diserahkan pada
mekanisme pasar, meskipun terdapat peraturan dan kebijakan pemerintah yang
secara dinamis diterbitkan pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah yang telah
dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan tarif impor daging sapi dan bakalan yang
masing-masing hanya sebesar 5% dan 3,5% padahal bound tarif untuk kedua
komoditas tersebut masing-masing sebesar 50% dan 40% (Kemenkeu, 2012;
Erwidodo, 2013).
Perubahan Permentan No. 84/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus
2013 menjadi Permentan No. 96/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September
2013 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
Perubahan Permentan No. 85/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus
2013 menjadi Permentan No. 97/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September
2013 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan sapi Siap Potong ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
Penetapan harga referensi daging sapi sebesar Rp 76.000,-/Kg. Kebijakan
tersebut dapat dikatakatan bias ke masyarakat konsumen dan minim dalam
perlindungan ke peternak atau produsen (Permendag 57 Tahun 2013).
98
Untuk mengatasi gejolak harga daging sapi dapat dilakukan upaya stabilisasi
harga sebagai berikut: (1) Perencanaan produksi antar wilayah sentra produksi yang
didasarkan atas dinamika permintaan pasar (baik lokal, regional maupun nasional),
bukan semata-mata tergantung pada hari-hari besar keagamaan; (2) Memperbaiki
kelancaran sistem distribusi pasokan produk daging sapi dari daerah-daerah sentra
produksi (NTT, NTB, Bali, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa tengah) ke pusat konsumsi
(Jabodetabek) dengan dukungan infrastruktur dan moda transportasi dengan sistem
rantai dingin (cold chain); (3) Memperbaiki struktur pasar sapi dan daging sapi yang
dikendalikan oleh feed lotter-importir-pedagang besar, sehingga tercipta mekanisme
pasar yang adil dan transparan, sehingga dapat memberikan insentif berproduksi
bagi peternak; (4) Mempengaruhi mekanisme pasar input (perilaku industri
pembibitan, industri pakan ternak) dan pasar output (feedlotter, importir, dan
pedagang besar) di pusat-pusat pasar terutama di pasar Jabodetabek yang akan
berdampak secara luas ke pasar-pasar diluar wilayah Jabodetabek; dan (5)
Membangun kemitraan rantai pasok (supply chain management/SCM) dan
manajemen rantai nilai (management value chain/VCM) pada industri daging sapi
yang bersifat saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan, sehingga
terbangun keterpaduan proses produk dan keterpaduan antar pelaku usaha.
Terdapat beberapa model kebijakan stabilisasi harga untuk melindungi petani
dan peternak, yaitu: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada
komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah
diterapkan pada komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah
diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi sudah diterapkan pada
produk daging sapi dan produk hortikultura.
Berdasarkan tinjuan konseptual dan kajian empiris dilapang kebijakan harga
yang dipandang relefan dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi adalah
kebijakan Kebijakan Minimun Regional (HMR) dan Kebijakan Harga Referensi.
Harga Minimum Regional (HMR) dapat dijadikan harga indikasi bagi petani/peternak,
pedagang, importir, industri pengolahan dalam penentuan harga saat melakukan
transaksi. Bagi peternak adanya harga indikasi dapat memperkuat posisi tawar dan
transparansi harga sapi dan daging sapi yang dihasilkan. Mendorong terjadinya
99
perbaikan kualitas sapi dan daging sapi, karena perbedaan kualitas atau mutu akan
diberikan harga yang berbeda di pasar.
Dasar penetapan HMR adalah: (1) Biaya produksi dan pendapatan
usahaternak, (2) Harga sapi hidup/daging sapi domestik dan internasional, (3) Nilai
tukar rupiah terhadap dollar, (4) Tarif atau bea masuk sapi dan daging sapi, dan (4)
Upah Minimum Regional (UMR) Wilayah. Komoditas yang sudah ditetapkan HMR-
nya adalah komoditas jagung di Provinsi Lampung dan Sumatera Utara. Peluang
menerapkan kebijakan ini pada produk daging sapi dipandang relefan, karena
komoditas daging sapi memiliki posisi perdagangan yang relatif sama dengan
komoditas jagung, dimana Indonesia sebagai net importer. Namun untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan HMR harus didukung adanya kelompok/gapoktan/
asosiasi-asosiasi/koperasi peternak sapi potong di daerah-daerah sentra produksi
dan dukungan pendanaan pemerintah baik melalui APBN maupun APBD yang besar,
karena untuk menstabilkan harga perlu adanya operasi pasar.
Kebijakan kedua yang dipandang cocok dan telah diterapkan untuk stabilisasi
harga daging sapi adalah kebijakan harga referensi. Dalam upaya stabilisasi harga
daging sapi di tingkat eceran, Kementerian Perdagangan melakukan kebijakan Harga
Referensi Daging Sapi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
Dag/Kep/8/2013 tanggal 30 Agustus 2013 tentang ketentuan Impor dan Ekspor
Hewan dan Produk Hewan.
Penyebab terjadinya fluktuasi (peningkatan) harga daging sapi (jawaban
boleh lebih dari satu) (Pedagang, Dinas Pedagangan Provinsi/Kabupaten, Dinas
Peranian Prov/Kab, Kelompok Peternak) secara berturut-turut adalah: keterbatasan
pasokan, peningkatan permintaan karena kebutuhan pada hari-hari besar
keagamaan (puasa, hari raya idul fitri, idul adha, natal, imlek), berkembangnya
industri pengolahan berbasis daging sapi (bakso, abon, dendeng, industri kuliner),
berkembangnya pasar modern (Super Market/Hyper Market), kenaikan harga input
(bakalan dan pakan), dan kenaikan biaya distribusi/angkutan.
Sebagian besar sumber informasi dilapang mengungkapkan bahwa salah satu
penyebab utama fluktuasi harga daging sapi adalah keterbatasan pasokan. Hal ini
antara lain disebabkan oleh: (1) Adanya kebijakan pemerintah yang menghambat
masuknya produk impor (sapi indukan, sapi bakalan, dan daging sapi), seperti
100
kebijakan tarif dan kuota; (2) Berkurangnya ketersediaan sapi lokal, karena
tingginya tingkat pemotongan terutama pada saat Idul Adha; (3) Tingginya
pemotongan sapi betina produktif, yang terjadi di daerah sentra-sentra produksi baik
di Pulau Jawa maupun Luar Pulau Jawa; (4) Kurang berkembangnya industri
pembibitan, karena kurangnya insentif usaha pembibitan; (5) Keterbatasan sarana
dan prasarana pemotongan hewan (RPH) modern, dan (6) Keterbatasan
infrastruktur sistem distribusi dan pemasaran sapi dan daging sapi.
Secara umum stakeholders yang terkait dengan industri daging sapi, baik itu
pemerintah pusat (Ditjen Peternakan, Kementan; Ditjen P2HP, Kementan, Ditjen
Pemasaran Dalam Negeri, Kemendag; Ditjen Pemasaran Luar Negeri, Kemendag;
Dinas Peternakan, Dinas Perdagangan) mengetahui bahwa saat ini
pemerintah/Kemendag telah menerapkan kebijakan harga referensi (Permendag 46
Tahun 2013 yang diubah menjadi Permendag No. 57 Tahun 2013) pada komoditas
harga daging sapi potong di Indonesia.
Hasil kajian terhadap Permendag tersebut diperoleh informasi tentang pokok-
pokok pengaturan impor hewan dan produk hewan adalah sebagai berikut: (1)
Mekanisme impor dilakukan dengan menggunakan Harga referensi; (2) Harga
Referensi adalah harga acuan penjualan di tingkat pengecer; (3) Harga Referensi
telah ditetapkan sebesar Rp. 76.000,00/kg untuk jenis secondary cuts; (4) Harga
Referensi dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga Daging Sapi
yang dibentuk oleh Menteri Perdagangan yang keanggotaannya terdiri dari inststansi
terkait; dan (5) Berdasarkan hasil evaluasi, Tim Pemantau Harga Daging Sapi
mengusulkan Harga Referensi kepada Menteri Perdagangan untuk ditetapkan
kembali menjadi Harga Referensi baru.
Mekanisme penentuan kebijakan impor sapi dan daging sapi berdasarkan
Hrga Referensi adalah sebagai berikut: (1) Mekanisme impor daging sapi dilakukan
berbasis harga, maka diperlukan pemantauan dan proyeksi harga daging sapi untuk
jenis secondary cuts dalam menentukan “buka-tutup” impor; (2) Hasil pemantauan
harga harian daging sapi selama periode tertentu akan digunakan sebagai proyeksi
harga yang terjadi untuk dua bulan ke depan; dan (3) hasil proyeksi harga untuk
dua bulan ke depan digunakan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan impor,
101
dengan tetap memperhatikan faktor yang mempengaruhi harga seperti iklim,
ketersediaan stok, dan andil komoditi terhadap tingkat inflasi.
Hasil kajian empiris di lapang untuk pelaku usaha hanya importir, pedagang
besar dipusat konsumsi, pedagang besar di daerah sentra produksi, Asosiasi Sapi
Potong mengetahui adanya kebijakan harga referensi. Sementara itu, pelaku usaha
rakyat, seperti peternak kecil dan pedagang pengecer tidak mengetahui adanya
kebijakan harga referensi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 76.000,00/kg
untuk secondary cut.
Menurut pendapat informan kunci baik di tingkat pusat maupun daerah
terhadap besaran harga referensi daging sapi yang ditetapkan pemerintah
dipandang terlalu rendah. Harga yang dipandang wajar menurut Ditjen Peternakan,
Badan Litbang Pertanian, Dinas Peternakan, peternak, dan pedagang sebesar Rp
80.000,00 – 90.000,00,-/kg untuk secondary cut atau rata-rata Rp 85.000,00/kg.
Harga referensi adalah merupakan mekanisme penetapan harga berdasarkan
pada harga ditingkat konsumen dan berkaitan dengan penawaran dan permintaan.
Jika harga ditingkat konsumen tinggi berarti atau melampaui harga referensi
dianggap pasokan barang dipasar kurang atau terjadi kelangkaan di pasar, sehingga
untuk memenuhi permintaan dan menstabilkan harga barang di pasar, pemerintah
dapat mengeluarkan kebijakan impor untuk mencukupi pasokan. Kebijakan referensi
ini telah diberlakukan daging sapi dan produk-produk hortikultura (cabai merah dan
bawang merah).
Faktor-faktor yang telah dipertimbangkan dengan baik dalam penetapan
harga referensi daging sapi adalah biaya pokok usahaternak dari bakalan sampai
dengan sapi siap potong, biaya pemasaran (angkut) dari daerah sentra produksi ke
pusat konsumsi, dan margin keuntungan masing-masing pelaku tataniaga.
Kendala-kendala pokok dalam implementasi kebijakan harga referensi
mencakup kendala teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, dan aspek kebijakan.
Kendala teknis meliputi: (1) Penentuan pasokan baik yang bersumber dari sapi lokal
tidak mudah, karena ternak sapi bagi peternak rakyat memiliki multi fungsi terutama
sebagai tabungan (sehingga sering disebut “Rojo Koyo”); (2) Tidak mudah
menentukan ketersediaan sapi impor di negara asal; dan (3) Infrastruktur terutama
102
pengangkutan baik dari daerah sentra produksi ke pusat konsumsi maupun dari
negara asal ke pasar domestik.
Kendala ekonomi meliputi: (1) Meningkatnya harga input produksi (sapi
bakalan, indukan, dan pakan ternak); (2) meningkatnya harga sapi dan daging sapi
domestik maupun pasar global; dan (3) Lemahnya permodalan peternak terutama
untuk usaha pembibitan maupun usaha penggemukan sapi potong.
Kendala sosial-ekonomi meliputi: (1) Lemahnya konsolidasi kelembagaan
peternak (kelompok peternak, gapoktan, dan asosiasi sapi potong); (2) Stuktur
pasar sapi dan daging sapi yang tidak berjalan secara baik dan sempurna; dan (3)
Kurang optimalnya sistem koordinas Tim Pemantau Harga Daging Sapi, baik antara
Tim Pengarah dengan Tim Teknis maupun koordinasi internal masing-masing,
sehingga sistem koordinasi belum berjalan secara optimal.
Kendala aspek kebijakan meliputi: (1) Berubah-ubahnya kebijakan dan
peraturan pemerintah terkait komoditas pangan strategis, sehingga menyulitkan
dalam operasionalisasi dilapangan; (2) Sosialisasi kebijakan kurang dilakukan melalui
proses sosial yang matang; (3) Ada transisi harga dari sebelum ada kebijakan
dengan setelah ada kebijakan pemerintah, ada keterlambatan waktu (lag time)
antara saat kebijakan diambil dengan dampak yang diharapkan; dan (4) Kebijakan
pemerintah jika tidak dilakukan secara tepat dan cepat dapat menimbulkan rush
buying di negara sumber ternak atau daerah sentra produksi, sehingga bisa bersifat
kontra produktif, yang semula ditujukan untuk menstabilkan harga malahan
berakibat mendorong peningkatan haraga.
Beberapa argumen pilihan kebijakan dengan kebijakan referensi harga: (1)
Harga referensi ditetapkan berdasarkan masukan seluruh stakholders terkait dengan
sapi dan daging sapi (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Dinas
Perdagangan, Dinas Peternakan, Peternak, Asosiasi Sapi Potong, Pedagang Besar,
Importir); (2) Harga referensi lebih fleksibel untuk diterapkan pada daging sapi
dengan sistem buka tutup impor; (3) Mekanisme pasar domestik tetap berjalan,
karena pasar didasarkan kekuatan penawaran dan permintaan, impor hanya
dilakukan kalau harga bergejolak melebihi harga referensi yang ditetapkan; (4)
Harga daging sapi dapat distabilkan pada kisaran yang dinginkan; (5) Kepentingan
peternak produsen dan konsumen dapat diakomodasikan dengan baik; dan (6) Tidak
103
memerlukan pendanaan pemerintah yang besar, karena pemerintah hanya memberi
ijin impor.
Beberapa keterbatasan kebijakan referensi harga: (1) Menentukan harga
refernsi secara tepat tidak mudah, karena adanya perbedaan kepentingan antar
pihak yang terlibat dalam penentuan harga (Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan, Peternak, Asosiasi Sapi
Potong, Pedagang Besar, Importir); (2) Fenomena harga daging sapi di pasar
domestik dan global terus mengalami trend peningkatan, sehingga penetapan
berapa lama rentang waktu penetapan harga referensi sulit ditentukan; (3)
Penetapan harga refernsi yang berlarut-larut dapat menciptakan rush buying dan
dapat berdampak menyebabkan peningkatan harga sapi dan daging sapi di dearah
sentra produksi dan asal impor; dan (4) Penetapan harga referensi daging sapi yang
dipadukan dengan kebijakan kuato impor dapat mendorong pelilaku rent seeking
oleh kelompok pencari rente ekonomi.
Usulan kebijakan terkait harga referensi pada produk daging sapi: (1)
Penetapan besaran dan periode berlakunya harga referensi harus didasarkan pada
kasil kajian dan diskusi mendalam antar stakeholders terkait; (2) Harus ada
keperpihakan ke peternak produsen dan produksi daging sapi domestik, untuk
kepentingan ketahanan pangan baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang;
(3) Keran impor hanya bisa dibuka pada saat harga pasar (eceran) benar-benar
melampaui/diatas harga referensi; (4) Harga referensi harus didasarkan biaya
produksi yang dikeluarkan oleh peternak dan pelaku tata niaga, harga refernsi
didasarkan sebagai acuan atau patokan impor jika dan hanya jika ada mengalami
lonjak harga di atas harga refernsi; dan (5) Penetapan harga referensi daging sapi
harus juga didasarkan dengan daya serap pasar, baik pasar tradisional, pasar
modern, industri pengolahan, serta hotel, restaurant dan katering.
104
X. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
10.1. Kesimpulan
1. Secara total produksi sapi potong pada ketujuh negara produsen utama
masih menunjukkan pertumbuhan yang positip, meskipun mengalami
pelambatan pada periode 2010-2014. Dari sisi pertumbuhan produksi
terdapat tiga kelompok Negara: (1) negara dengan pertumbuhan produksi
menurun dialami Amerika Serikat dan Uni Eropa, (2) negara dengan
pertumbuhan produksi stabil yaitu Australia dan Selandia Baru, dan (3)
negara dengan pertumbuhan menaik terjadi di India, Brazil dan China.
2. Berdasarkan indikator makro teknis menunjukkan bahwa populasi dan
produksi sapi domestik mengalami pertumbuhan yang tergolong moderat,
namun pertumbuhan tersebut belum mampu memenuhi pertumbuhan
permintaan domestik. Pertumbuhan produksi daging sapi secara nasional
sebesar 7,48%/tahun. Pertumbuhan produksi daging sapi di Luar Jawa
(6,60% - 29,66%) jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan di Pulau Jawa
(2,42%-15,92%).
3. Perkembangan harga daging sapi secara nasional selama 10 tahun terakhir
menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,6% per tahun. Perkembangan harga
tersebut tergolong tinggi dan mengindikasikan adanya kekurangan pasokan
daging sapi lokal.
4. Berdasarkan data historis, proyeksi harga daging sapi hingga tahun 2019
diperkirakan terus mengalami peningkatan. Harga aktual daging sapi dunia
tahun 2014 sebesar US Cents 183,59/pound menjadi US Cents 219,17/pound
pada tahun 2019, atau naik sebesar 19,4% pada periode tersebut. Harga
rata-rata harga daging sapi nasional pada tahun 2013 mencapai Rp
100.000/Kg maka diproyeksikan pada tahun 2019 naik menjadi Rp
137.635/Kg. Kondisi ini sesuai dengan tipikal harga daging sapi yang
tergolong high value commodity yang cenderung terus mengalami
peningkatan dari tahun ketahun tanpa pernah mengalami penurunan yang
signifikan.
105
5. Proyeksi perkembangan harga daging sapi bulanan di Jakarta dilakukan
hingga Nopember 2015. Hasil proyeksi menunjukkan harga daging sapi pada
bulan Nopember 2013 sebesar Rp 90.960/Kg naik menjadi Rp 101.342/Kg
pada bulan Nopember 2015. Laju pertumbuhan harga yang terus meningkat
mengindikasikan bahwa pasar daging sapi baik di pasar domestik cukup
prospektif.
6. Hasil evaluasi pencapaian intervensi kebijakan 14 langkah kegiatan
operasional PSDSK tahun 2013 yaitu sebesar 74,65% dengan perincian: (1)
Aspek perbibitan ternak dengan realisasi 14,61% dari target 16%, (2) Aspek
budidaya ternak sebesar 7,29% dari target 13%, (3) Aspek pakan ternak
sebesar 29,54% dari target 36%, (4) Aspek kesehatan hewan sebesar
14,54% dari target 25%, dan (5) Aspek kesehatan masyarakat veteriner
sebesar 8,11% dari target 10%. Pencapaian target program PSDSK tersebut
tergolong baik, meskipun belum maksimal.
7. Terdapat beberapa opsi kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah
untuk melindungi petani atau peternak dapat dilakukan melalui: (1) Harga
Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan
atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada
komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan
pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi, sudah diterapkan pada
komoditas daging sapi dan produk-produk hortikultura.
8. Opsi kebijakan yang dipandang relefan untuk stabilisasi harga daging sapi
adalah kebijakan harga referensi. Beberapa argumen yang melandasi adalah:
(1) Harga referensi ditetapkan berdasarkan masukan seluruh stakholders
terkait dengan sapi dan daging sapi (Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan, Peternak, Asosiasi Sapi
Potong, Pedagang Besar, Importir); (2) Harga referensi lebih fleksibel untuk
diterapkan pada daging sapi dengan sistem buka tutup impor; (3) Mekanisme
pasar domestik tetap berjalan, impor hanya dilakukan kalau harga bergejolak
melebihi harga referensi yang ditetapkan; (4) Harga daging sapi dapat
distabilkan pada kisaran yang dinginkan; (5) Kepentingan peternak produsen
dan konsumen dapat diakomodasikan dengan baik; dan (6) Tidak
106
memerlukan pendanaan pemerintah yang besar, karena pemerintah hanya
memberi ijin impor.
9. Penetapan harga referensi Rp 76.000,- per kg harga daging sapi perlu ditinjau
kembali dengan mempertimbangkan biaya pokok di tingkat peternak dan
tingkat keuntungan yang wajar bagi peternak. Hasil kajian empiris dilapang
penetapan harga tersebut dipandang kurang berpihak pada peternak
produsen, karena tingkat harga referensi yang ditetapkan masih terlalu
rendah. Harga daging sapi kelas dua di Provinsi Jawa Tengah mencapai Rp
85.000,00-Rp. 95.000,00/kg.
10.2. Implikasi Kebijakan
1. Berdasarkan indikator makro teknis pertumbuhan populasi dan produksi di
Wilayah Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Pulau Jawa. Implikasinya
adalah pengembangan sapi potong kini dan kedepan lebih diprioritaskan di
Wilayah Luar Jawa terutama melalui pengembangan pola integrasi tanaman
ternak.
2. Hasil proyeksi harga baik di pasar global maupun domestik menunjukkan
harga daging sapi terus merambat naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa
prospek daging sapi baik di pasar global maupun pasar domestik cukup
prospektif.
3. Upaya stabilisasi harga daging sapi dapat dipadu-padankan dengan upaya
Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK2014).
Mengingat faktor penyebab fluktuasi harga daging sapi di pasar domestik
lebih disebabkan oleh masalah pasokan sapi dan daging sapi lokal.
4. Upaya Pencapaian PSDSK 2014 dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut: (1) Aspek infrastruktur meliputi antara lain (a) pembangunan dan
rehabilitasi darmaga dan bongkar muat ternak; (b) pengadaan kapal khusus
ternak; (c) pengadaan gerbong khusus ternak jalur Jawa-Jabodetabek; (d)
pengawasan terpadu jalur tata-niaga ternak dan daging; (e) pemantauan dan
pengendalian perkembangan harga komoditas ternak dan daging; (2) Aspek
lahan meliputi antara lain (a) penyelesaian status lahan dan pembangunan
kawasan padang penggembalaan untuk investasi ternak sapi; (b)
107
pengembangan integrasi sapi-sawit; (3) Aspek bibit, indukan dan bakalan
dijabarkan dalam kegiatan (a) mobilisasi sapi ke sentra-sentra produksi
pengembangan; (b) importasi sapi indukan; (c) insentif betina produktif; (3)
Aspek SDM meliputi kegiatan: (a) rekruitmen dan peningkatan kompetensi
tenaga penyuluh dan SDM bidang peternakan dan kesehatan hewan; (4)
Aspek teknologi meliputi kegiatan pengembangan lumbung pakan dan
pengolahan hasil samping pertanian; (5) Aspek pembiayaan melalui kegiatan
advokasi fasilitasi pembiayaan KUPS, KKPE oleh pelaku usaha.
5. Aspek pendukung yaitu : (a) advokasi penyusunan regulasi mendukung
pembangunan peternakan di daerah; (b) penegakan hukum pelarangan
pemotongan betina produktif dan penataan TPH; (c) pengusulan penerbitan
Pergub tentang kewajiban investasi ternak di lahan perkebunan kelapa sawit;
dan (d) penurunan bea masuk sapi indukan dari 5% menjadi 0%.
6. Kisaran harga yang dipandang adil baik dari sisi peternak maupun konsumen
sebesar Rp. 80.000,00-90.000,00/kg atau rata-rata Rp 85.000,00/kg daging
sapi secondary cut. Penetapan harga referensi harus ditinjau kembali secara
periodik (jangka pendek, menengah) dan dilakukan penyesuaian harga
referensi yang memenuhi aspek keadilan baik dari sisi peternak, konsumen
dan pelaku tataniaga.
7. Langkah yang perlu dilakukan pemerintah diantaranya adalah melakukan
sinergi optimum antar kementerian terkait, yaitu Kementerian Pertanian,
Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Kementerian
Pertanian fokus pada usaha pembibitan dan pengembangan produksi
nasional sejalan dengan pencapaian rencana swasembada daging sapi.
Kementerian Perindustrian fokus pada kegiatan hilirisasi untuk menciptakan
dan meningkatkan nilai tambah produk. Kementerian Perindustrian fokus
dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi untuk konsumen umum, HORECA,
dan stabilitas harga daging sapi dalam negeri.
8. Pentingnya efektivitas koordinasi tim pengarah, tim teknis, serta di antara tim
pengarah dan tim koordinasi. Efektivitas koordinasi harus dilakukan dari
tahap perencanaan, sosialisasi, implementasi, serta monitoring dan evaluasi
sehingga kebijakan stabilisasi harga daging sapi berjalan secara efektif.
108
DAFTAR PUSTAKA
ADB. 2011. Dunia Food Price Inflation and Developing Asia. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank, 2011.
BPS. 2011. Statistik Inonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta
Daryanto, Arief. 2009. Dinamika Dayasaing Industri Peternakan. IPB Press.
Daryanto, Arief. 2010. Poultry Industry Outlook. Direktur Program Pascasarjana
Manajemen dan Bisnis IPB (MB-IPB). Makalah disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global”. Fakultas
Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI), Bogor, 26 Oktober 2009
Daryanto, Arief. 2009. Poultry Industry Outlook. Disampaikan pada Seminar “Strategi
Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global” Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) Bogor, 26 Oktober 2009.
Direktorat Bapostrat. 2013. Kumpulan Peraturan Komoditi Daging Sapi. Direktorat Bahan Pokok dan Barang strategis, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Jakarta.
Direktorat Bapostrat. 2013. Profil Komoditi Daging Sapi. Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, Kementerian Perdagangan. Jakarta.
Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Integrasi Sapi Potong dengan Tanaman Perkebunan. Kerjasama Direktorat Jenderal Peternakan dengan Universitas
Brawijaya. Jakarta.
Ditjen Peternakan. 2011. Blue Print Program Swasembada daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
DKP. 2012. Percepatan Pencapaian Swasembada Lima Komoditas Pangan Pokok. Prosiding : Konferensi Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2012. Jakarta.
Erwidodo, 2013. Stabilisasi Harga dan Ketahanan Pangan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Seminar Forum Kebijakan
Pembangunan Jakarta, 21 November 2013.
Fabiosa, 2005. Growing Demand for Animal-Protein-Source Product in Indonesia: Trade Implication. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University.
FAO. 2008. http://www.fao.org/corp/statistics/en/.
FAO. 2012. http://www.fao.org/corp/statistics/en/.
Gordon Butland. 2012. Feed and Livestock Sector in South East Asia. PUKHET
August 2012.
Irawan et al. 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Kemenkeu. 2012. Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2012. Direktorat Jenderal Bea
Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.
109
Kementan. 2012. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta.
Kementan. 2013. Laporan Data Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2004-2012. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Lindert, P. H. dan Ch. P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Edisi Kedelapan). Alih Bahasa Burhanuddin Abdullah, Bagian Penelitian Bank
Indonesia. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Monke EA, Pearson SR. 1989. The Policy Analysis Matrix ForAgricultural Development. Itacha and London (GB) : Cornell University Press.
Oktaviani, R., Widyastutik, Amaliah, S. 2010. Dampak FTA ASEAN-China Terhadap Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Pearson, S., C. Gotsch, dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Permendag No. 46 Tahun 2013. Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia.
Permendag No. 57 Tahun 2013. Tentang. Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan No. 46 Tahun 2013. Menteri Perdagangan Republik Indonesia.
Pusdatin. 2009. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Peternakan. Pusat Data
dan Informasi Pertanian. Depatemen Pertanian. Jakarta.
Rahardjo, Y. 2000. Supaya Swasembada Daging Berhasil. Indonesia-Views. apakabar@saltmine,radix.net.
Samuelson, P.A. dan W.D. Nordaus. 1993. Mikro-Ekonomi. Edisi Ke Empat Belas. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementetrian Pertanian. Bogor.
Tangenjaya, B. 2014. Dayasaing Produk Peternakan: Ceruk Pasar (Niche Market). Bahan Makalah untuk Penyusunan Buku Dayasaing (belum dipublikasikan).
Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Bogor.
Undang-Undang No. 18 tentang Pangan.
Vorst, G. A. Dan J. Van Der. 2006. Performance Measurement in Agri-Food Supply-Chain Network-An overview, Springer, Netherlands.
Yusdja, Y. dan E. Pasandaran. 2005. Keragaan Agribisnis Tanaman-ternak. Dalam: Efendi Pasandaran, A.M. Fagi dan Faisal Kasryno, hal. 185-201. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Yusdja, Y., R. Sayuti, B. Winarso, I. Sadikin dan C. Muslim. 2004. Pemantapan
Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Top Related