LAPORAN KASUS
ANESTESI PADA PASIEN MALFORMASI ANOREKTAL DENGAN
OPERASI ANOPLASTY
M
Dicky Angga
10310104
PEMBIMBING
dr. H. Nano Sukarno, Sp. An
dr. Teguh Santoso Efendi, Sp. An-KIC,. M.Kes
dr. Andika Chandra Putri, Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI BAGIAN SMF ANESTESIOLOGI DAN
REANIMASI RSUD DR SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA
TAHUN 2015
2
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny. P
Umur : 5 Hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat :Tamansari, Tasikmalaya.
Tanggal Masuk RS : 13 Agustus 2015
No. CM : 15295801
Dokter Anestesi : dr. Andika Chandra Putri, Sp. An
Dokter Bedah : dr. Toha SpB / dr. Budi
B. PERSIAPAN PRE-OPERASI
1. Anamnesa
a. A (Alergy)
Terdapat alergi terhadap cuaca (-), alergi makanan (-), alergi obat (-).
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu.
c. P (Past Medical History)
Riwayat asthma (-), penyakit yang sama dan riwayat operasi
sebelumnya (-)
d. L (Last Meal)
Pasien sebelum operasi puasa selama 2 jam
3
e. E (Elicit History)
Os datang ke RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada tanggal 8
Agustus 2015 dengan keluhan tidak ada anus. Ibu mengatakan anaknya
sejak lahir taggal 7 Agustus pukul 23.00 yang ditolong bidan desa
setempat dengan persalinan spontan, dengan berat badan 3300 gram
namun setelah kelahiran dan diperiksa ternyata bayi tidak mempunyai
anus. Bayi tampak kembung dan rewel. Keesokan harinya pihak
keluarga membawa ke dokter spesialis anak lalu dokterpun merujuk ke
rumah sakit.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanggal Periksa : 12 Agustus 2015
Dirawat di : Ruang 3A
Vital sign
a. KU : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. TD : Tidak dilakukan
d. Nadi : 110 x / menit
e. Respirasi : 38 x / menit
f. Suhu : 36,6 0 C
Status Generalisata
4
Berat badan : 3300 gram
Kepala
o Kepala
Bentuk, ukuran : normocephali
o Mata
Palpebra : tidak cekung
Konjungtiva : anemis ( - ) / ( - )
Sklera : ikterik ( - ) / ( - )
Pupil : refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil
Isokor dextra = sinistra
o Hidung
Pernapasan cuping hidung : ( - )
Sekret ` : ( - )
Mukosa hiperemis : ( - )
o Telinga
Nyeri tekan tragus : ( - ) / ( - )
Auricula : tidak tampak kelainan
Meatus acusticus eksternus : ( + ) / ( + )
o Mulut
Bibir : mukosa bibir basah,
sianosis ( - )
Palatum : celah palatum (+)
5
o Leher
KGB : pembesaran ( - ) / ( - )
o Thoraks
Inspeksi :Bentuk gerak simetris dextra=sinistra
rektraksi supraclavicula ( - ) / ( - ),
retraksi intercostalis ( - ) / ( - ),
retraksi subcostalis ( - ) / ( - ) dan
retraksi epigastrium ( - )
Palpasi : teraba pergerakan dinding dada
simetris
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Vesiculer breathing sound ( + ) / ( +),
Weezhing ( - ) / ( - ), Ronki ( - ) / ( - ),
Bunyi Jantung I, II regular, Gallop
(-), Mur-Mur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung
Auskultasi : Bising usus ( + ) meningkat
Palpasi : Defance muscular ( - ), lembut,
cembung.
Perkusi : Tympani
6
Hepar dan Lien
Palpasi : Tidak teraba
Ekstremitas
Edema : Ekstremitas atas dan bawah ( - )
Jari-jari : Normal, akral sianosis ( - )
Capillary Refill Time : Kurang dari 2 detik
Akral hangat pada semua ektremitas
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
(Tanggal 12 – 08 - 2015)
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode
Hematologi
H13 Jumlah Eritrosit 4,9 P:4,0-5,5 L:4,5-6,0 Juta/
mm3
Auto Analizer
Golongan Darah O Slide Test
Rhesus positif Slide Test
H01 Hemoglobin 16,9 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer
H14 Hematokrit 44 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer
H15 Jml Leukosit 11200 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer
H22 Jml Trombosit 265.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer
E48 Laju Endap Darah 19/32 P= < 20; L= <15 mm/jam Ves Matic
7
KARBOHIDRAT
K01 Glukosa Sewaktu 93 76-110 mg/dl GOD – POD
FAAL HATI/JANTUNG
K13 Bilirubin total 8,59 0,1-1,20 Mg/dl Jendrassik-Grof
K14 Bilirubin direk 1.02 <0,20 Mg/dl Jendrassik-Grof
K15 Bilirubin indirek 7,57 Mg/dl Jendrassik-Grof
K27A Natrium, NA 137 135-145 mmol/L ISE
K28A Kalium, K 4,3 3,5-5,5 mmol/L ISE
K29A Kalsium, Ca 1,29 1,10-1,40 mmol/L ISE
H26 Hitung Jumlah
Leukosit
H27 Basofil 0 0-1 % --
H28 Eosinofil 3 2-4 % --
H29 Batang 0 3-5 % --
H30 Segmen 68 50-70 % --
H31 Limfosit 22 25-40 % --
8
H32 Monosit 7 2-6 % --
- Hasil Radiologi
Tidak tampak tb paru aktif, jantung dan paru normal
4. Diagnosa Klinis
Malformasi Anorectal ( MAR ) Letak Rendah
5. Kesimpulan
Status ASA II.
C. LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)
Diagnosis pra-bedah : Malformasi Anorectal ( MAR )
Letak Rendah
Jenis Pembedahan : Anoplasty
Jenis Anestesi : Narkose Umum
Medikasi Induksi :
Fentanyl 10 µg dosis 1-3ug x BB,
Rocuronium 2,5 mg (dosis 0,6-1mg x BB)
Sulfas Atropin 0,1 mg ( 0,01-0,02 x BB )
Maitenance : Gas Anestesi Sevoflurane MAC 2 vol%
N2O 2,5 L/mnt
O2 2 L/mnt
9
Teknik Intubasi : Intubasi Endotrachealtube (ETT)
Respirasi : kontrol
Posisi : litotomi
Cairan Perioperatif
Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
Kebutuhan Basal = 10 x 3,3 = 33
33 cc/jam
Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan
= 2 x 33 cc/jam
= 66 cc
Insensible Water Loss= Jenis Operasi x Berat Badan
= 2 x 3,3kg
= 6,6 cc
IWL= Ringan ( 0-2ml/kg )
Moderat ( 2-4 ml/kg )
Berat ( 4-8 ml/kg )
Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= (½ x puasa) + IWL + maintenance
= (½ x 66) + 6,6 cc + 33 CC
= 77 cc
10
Kebutuhan cairan 1 jam kedua
= (¼ x puasa) + IWL + maintenance
= (¼ x 66) + 6,6 cc + 33 CC
= 56,1 cc
Perdarahan = Suction + Kasa (kecil 2)
= 0 cc + (30)
= 20 cc
Cairan Pengganti Darah
Jika Estimated Blood Volume (EBV) untuk anak =
80 cc/ kgBB
Maka untuk pasien BB = 3,3 kg
= (80 cc/kgBB) x (3,3 kgBB)
= 264 cc
Diketahui jumlah pendarahan selama oprasi
berlangsung sebanyak 20cc
Maka persentasi pendarahan yang terjadi selama operasi
= pendarahan / EBV X 100%
= 20 cc / 264 cc X 100%
= 7,57 %
Jadi, untuk penggantian < 10% EBV dapat diberikan
kristaloid sebagai pengganti pendarahannya sebanyak
1:3 dengan pendarahannya yaitu 20 cc
11
Dalam kasus ini pasien diberikan cairan KRISTALOID
dengan demikian. Maka untuk Cairan KRISTALOID yang
diberikan :
= 3 x 20cc
= 60 cc
Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi
Pasien diposisikan pada posisi supine
Memasang sensor finger pada tangan kiri pasien untuk monitoring
SpO2 dan SPO2 Rate.
Obat berikut diberikan secara intravena:
Fentanyl 5 µg dosis 1-3ug x BB,
Rocuronium 2,5 mg (dosis 0,6-1mg x BB)
Sulfas Atropin 0,05 mg ( 0,01-0,02 x BB )
Pemberian gas anestesi dengan O2 dan N2O (O2 2L/menit dan N2O
2,5L/menit) serta sevoflurane 2 Vol% selama 1-2 menit sesuai
dengan onset dari Rocuronium.
Dipastikan airway pasien paten dan terkontrol
Dipastikan pasien sudah dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk
dilakukan intubasi ETT dengan nomor 2.0.
Pemasangan ETT dibantu dengan laryngoscope
Setelah intubasi ETT cek suara nafas dengan menggunakan
stetoskop pada apeks paru kanan dan paru kiri, basis paru kanan dan
12
paru kiri serta lambung, pastikan suara nafas dan dada mengembang
secara simetris.
Fiksasi ETT dan sambungkan ke connector yang terhubung ke mesin
anastesi.
Maintenance dengan inhalasi O2 2 liter/menit, N2O 2,5 liter/menit,
Sevoflurance 2 vol%
Monitor tanda – tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen, tanda–
tanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas,
nyeri)
Indikasi Intubasi Trakea
1. Pasien pediatrik
Kesulitan Intubasi
-
Vital Sign Setiap 5 menit
TIME SATURASI HEART RATE
10.15 100 140
10.20 100 142
10.25 100 143
10. 30 100 147
10.35 100 146
10.40 100 150
13
10.45 100 152
10.50 100 152
10.55 100 153
11.00 100 155
Pada saat operasi dipasang selimut penghangat dan blood warmer
untuk menjaga suhu tubuh pasien agar tidak hipotermi. Setelah operasi
selesai gas anestesi yang di pakai hanya Oksigen sebanyak 6 liter/menit.
Selanjutnya dilakukan ekstubasi bangun (awake extubation), sebelumnya
dilakukan suction untuk membersihkan jalan napas. Setelah pasien
bangun dan jalan napas benar-benar bersih maka dilakukan ekstubasi.
Oksigenisasi setelah ekstubasi dengan cara di cuff sampai pasien
memberikan respon gerak tangan sebagai tanda bahwa pasien telah
bangun dan jalan napas pasien telah aman. Bila total Steward Score ≥ 5
maka pasien sudah dapat dipindahkan dari ruang operasi.
D. POST-OPERASI
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign
dengan menggunakan Steward Score ≥ 5 maka pasien sudah dapat
dipindahkan dari ruang operasi.
Infuse : KA-EN 1B 10-15gtt/menit
Analgetik Paracetamol infuse 3 x 50 mg
14
Antibiotik : Ceftriakson 3x165 mg
Diberikan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang dengan 1
bantal, minum dapat dimulai bila pasien sudah padar penuh sekitar 2-4
jam, apabila [bising usus (+)]
Monitoring Post-operasi :
Tanda vital (suhu, repsirasi, nadi)
E. FOLLOW UP PASCA OPERASI
1. Hari Pertama Post-Operasi (14 Agustus 2015)
Pasien dirawat di ruang 3A kamar 1
Pasien sudah tidak puasa karena sudah 4 jam Post-Operasi.
Pasien diberikan cairan infus KA-EN 1B 10-15 gtt/menit
Analgetik diberikan Paracetamol drop 3x 0,4 cc
Pasien diberikan antibiotik ceftriaxone (iv) 3 x 165 mg yang
sebelumnya dilakukan tes alergi dengan hasil (-)
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : N = 130 x/menit
R = 39 x/menit
S = 38,1o C
2. Hari Kedua Post-Operasi ( 15 Agustus 2015)
Pasien tidak puasa
Pasien diberikan cairan infuse KA-EN 1B 10-15 gtt/menit
Analgetik diberikan Paracetamol drop 3x 0,4 cc
15
Pasien diberikan antibiotik ceftriaxone (iv) 3x 165 mg
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : N = 115 x/menit
S = 37,4 C
R = 36 x/menit
3. Hari Kedua Post-Operasi ( 16 Agustus 2015)
Pasien tidak puasa
Pasien diberikan cairan infuse KA-EN 1B 10-15 gtt/menit
Analgetik diberikan Paracetamol drop 3x 0,4 cc
Pasien diberikan antibiotik amoxan drop 3x 0,4 cc
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : N = 110x/menit
S = 37,1 C
R = 35 x/menit
F. PEMBAHASAN
1. Pre-Operatif
a. Anamnesa
16
b. Os datang ke RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada tanggal 8
Agustus 2015 pukul 11.15 wib dengan keluhan tidak ada anus. Bayi
tampak kembung dan rewel. Keesokan harinya pihak keluarga
membawa ke dokter spesialis anak lalu dokterpun merujuk ke rumah
sakit.
c. Pemeriksaan Fisik
Berat badan : 3300 gram kg
Nadi : 110 x/menit
Nafas : 38 x/menit
Suhu : 36.6o C
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kepala :bentuk dan ukuran normocephali,
Leher : Dalam batas normal
Thoraks : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
4. Anestesi : Ternilai ASA II
ASA (American Society of Anesthesiologists) adalah merupakan suatu
klasifikasi yang lazim yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang, Untuk pasien ini yaitu ASA II .
5. Rencana Anestesi : Narkose Umum
17
Loading cairan untuk mengganti cairan puasa 2 jam pre-operasi,
agar komposisi cairan pasien yang berkurang saat puasa terpenuhi.
2. Durante Operatif
Teknik Anestesi : Intubasi Endotrachealtube (ETT)
Obat Anestesi :
Fentanyl 5 µg dosis 1-3ug x BB,
Rocuronium 2,5 mg (dosis 0,6-1mg x BB)
Sulfas Atropin 0,05 mg ( 0,01-0,02 x BB )
Maitenance : Gas Anestesi Sevoflurane MAC 2vol %
N2O 2,5 L/mnt 60%
O2 2 L/mnt 40%
Analgesic tambahan paracetamol 50 mg
Untuk kasus ini pemilihan teknik anestesi adalah anestesi umum
(general Anestesi), dikarenakan pasien masih berumur 5 hari (bayi)..
Pada anestesi umum trias anestesi dilakukan untuk menginduksi pasien
dengan obat hipnotik sedasi, analgetik dan pelemas otot.
Sevoflurane merupakan sedatif / hipnotik inhalasi yang digunakan
dalam menginduksi atau memelihara anestesi. dengan waktu induksi dan
pulih yang cepat dibandingkan isofluran. Termasuk gologan halogen
ether. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
konsentrasi di alveolar yang cepat membuat sevoflurane sebagai pilihan
yang baik untuk induksi inhalasi pada pasien pediatrik atau orang
dewasa. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
18
aritmia. Sevofluran dapat menurunkan tekanan arterial tetapi denyut
nadi tetap stabil. Sevofluran juga meningkatkan tekanan intracranial dan
aliran darah serebral. Pada autoregulasi yang tinggi dapat mengganggu
autoregulasi dari aliran darah ke otak.
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh
tubuh. Dan mula kerja kemudian pemulihannya cepat. Sevoflurane
menyebabkan depresi pernapasan yang mencerminkan efek depresi
langsung terhadap pusat pernapasan. Dan dapat menyebabkan relaksasi
otot yang adekuat pada pasien bayi dengan induksi inhalasi.
Untuk mengurangi rasa sakit pada saat induksi diberikan fentanyl
yang merupakan golongan opioid. Efek pemberian fentanyl pada
kardiovaskular dapat menyebabkan tekanan darah menurun, bradikardi.
Aliran darah otak, kecepatan metabolisme otak dan tekanan intracranial
menurun, pusing, penglihatan kabur. Dosis yang diberikan yaitu 1-3
ug /kgbb dengan daya analgesia yaitu 45 menit-2 jam.
Kemudian untuk memudahkan intubasi maka diberikan obat
anestesi jenis pelemas otot yaitu rocuronium. Rocuronium merupakan
obat pelemas otot non depolarisasi. Efek dan durasinya lebih cepat pada
anak-anak. Dosis yang diberikan yaitu 0,6-1 mg/kgbb. Dengan daya
kerja obat 30-45 menit. Efek terhadap kardiovaskular tidak terjadi pada
pemberian obat ini.
Selain menggunakan sevoflurane digunakan juga Nitrous Oxide
(N2O) untuk maintenance yang mempunyai sifat analgetik kuat dan
19
anestetik lemah, pemberian N2O harus selalu diiringi dengan pemberian
O2 dengan perbandingan 50:50, dimana diberikan N2O sebanyak 3
L/menit juga dibarengi pemberian O2 3 L/menit.
Saat tindakan operasi selesai dan akan dilakukan ekstubasi dalam
kondisi tanda vital dalam keadaan normal, pemberian Sevofluran dan N2O
dihentikan. Dan pasien diberikan O2 100% 5-6L/menit selama ± 15 menit
Setelah ekstubasi dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penilaian
Steward Score :
STEWARD SCORE (anak)
Pergerakan : gerak bertujuan 2
gerak tak bertujuan 1
tidak bergerak 0
Pernafasan : batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
20
perlu bantuan 0
Kesadaran : menangis 2
bereaksi terhadap rangsangan 1
tidak bereaksi 0
Bila total Steward Score ≥ 5 maka pasien sudah dapat dipindahkan
dari ruang operasi.
Atresia Ani
2.1 Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
2.2 Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern usus belakang ini
juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra (Sadler T.W, 1997).
21
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi
endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah
pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler
T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum
urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang.Sekat ini tumbuh kearah
kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur
7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini
terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi
membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler T.W,
1997).
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas
kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus
belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah
kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata,
yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari
epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
22
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum
urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani
perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus
dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).
2.3 Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1
dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006).
Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui
pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan,
jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005).
Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa
atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi (
Boocock G, 1987).
23
2.4 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik (Levitt M, 2007).
2.5 Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
24
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
2.6 Klasiikasi.
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani
dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin,
atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1
cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6
kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum,
fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada
perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel
tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
2.7 Manifestasi Klinis.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam.
25
Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari
rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama
sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.
Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih
sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi
beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler
(Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
anorektal adalah :
1. Kelainan kardiovaskuler.
26
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti
oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele,
dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani
letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai
20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai
VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal
and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
2.8 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
27
Pada anamnesis dapat ditemukan :
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan
adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa
menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila
pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1
cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak
tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan
rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1
28
cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari
kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah
letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi
atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus
terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan
vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan
agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala
obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan
klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan
memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui
fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal
rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk
menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu
selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan
apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
29
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai
dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien
memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan
atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah
meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang
terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya
mekonium) (Levitt M, 2007).
2.9 penatalaksanaan.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus
yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital
anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
30
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan
ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain
dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca
operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,
persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian
akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD
dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet
dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi
definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah
31
posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full postero sagital
anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar
sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel
terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum
susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu
cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada
evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada
fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan
kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva
dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di
posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus,
lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera
dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
32
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada
anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena
fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka
fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan
kolostomi segera.
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat
kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama
dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada
membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila
evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada
stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak
ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera
dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).
2.10 prognosis
33
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian
defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi
otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).
Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita (Hamami A.H, 2004).
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode
PSARP (Levitt M, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief Said A., Suryadi Kartini A., Dahlan M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. 2002. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Jakarta.
2. Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik . Edisi 10 EGC
Penerbit Buku Kedokteran . Jakarta
3. Dr. H. Soerasdi Erasmus, Sp.An, KIC, KMN; M. Dwi Satriyanto, dr,
Sp.An, M.Kes, Susanto Edi. Obat – Obat Anesthesia Sehari – hari.
4. Arvin, Behrman K. 2003. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
5. Agrawal K, Cleft Palate repair. Indian Journal of plastic surgery. 2009.
Diambil dari http:www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
6. Revesz Susan M, Newman M, HolttsBerry Karen. Repair Of Cleft Palate.
2012. Diambil dari http://www.med.umich.edu/surgery/plastic/clinical/pdf
34
7. Nicola Somerville, Fenlon Stephen. Anaesthesia for cleft palate
surgery.2005.OxfordJournals.Diambildari http://ceaccp.oxfordjournals.org
8. Morgan Mikhail MS, Maged SM. Clinical Anestesiologi, Four Edition,
lange medical book/McGraw-Hill. USA. 2006.