Kualitas Hidup pada Pasien Epilepsi yang
Resisten terhadap Pengobatan : Pengaruh dari Usia Pasien , Usia saat Onset Kejang dan Durasi Penyakit
Epilepsi
Diterjemahkan dari
Quality of Life in medication – resistant epilepsy : The effects
Of patient’s age, age at seizure onset, and disease duration
Magdalena Szaflarski, Jason M. Mecker, Michael D. Privitera, jerzy P. Szaflarski
Available online 17 February 2006
Oleh :
Dwi Purnomo Sidhi
Nara sumber :
DR.Dr.Tjipta Bachtera,Sp.A(K)
PPDS-I ILMU KESEHATAN ANAK FK UNDIP
SMF KESEHATAN ANAK RS Dr. KARIADI
SEMARANG
2007
Kualitas Hidup pada Pasien Epilepsi yang Resisten terhadap Pengobatan: Pengaruh dari Usia Pasien, Usia saat Onset Kejang, dan
Durasi Penyakit Epilepsi
Magdalena Szaflarski, Jason M. Mecker, Michael D. Privitera, Jerzy P. Szaflarski
Abstrak
Tujuan . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari usia, usia saat onset dan durasi penyakit epilepsi terhadap
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (HRQOL) pada pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan.
Metode. Kami menganalisa data dengan sampel sebesar 99 pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan yang berasal
dari the Epilepsy Monitoring Unit . Pasien telah melengkapi kuesioner the Quality of Life in Epilepsy-89 (QOLIE-89), Profile of Mood States
(POMS), dan Adverse Event Profile . Banyaknya penyakit penyerta serta jumlah obat anti epilepsi yang diberikan dirangkum dalam sebuah
tabel. Variabel tergantungnya adalah seluruh nilai QOLIE-89. Data kemudian di analisa menggunakan tes regresi least-square biasa.
Hasil . Hasil regresi sederhana menunjukkan adanya pengaruh yang tidak signifikan dari usia pasien pada QOLIE-89 (p=0,354),
sementara usia saat onset dan durasi penyakit memiliki pengaruh yang signifikan (p=0,004 dan p=0,012, secara berturut-turut); semakin
tinggi usia saat onset dan semakin pendek durasi penyakit, semakin rendah nilai HRQOL. Setelah ditambah dengan variabel
Depresi/Penolakan POMS, Adverse Event Profile , penyakit penyerta dan obat-obat anti epilepsi, pengaruh dari usia saat onset dan durasi
penyakit tidak lagi signifikan (p=0,084 dan p=0,207).
Kesimpulan . Epilepsi yang onsetnya pada saat dewasa akan mengganggu kehidupan sosial, ekonomi dan psikologis seseorang,
sementara mekanisme penanganan yang lebih baik dan dukungan sosial dapat memperbaiki HRQOL ketika durasi penyakit memanjang.
Hubungan yang sederhana dari usia saat onset dan durasi penyakit dengan HRQOL dapat dijelaskan oleh keadaan mood dan kejadian
merugikan, yang merupakan prediktor yang jauh lebih kuat untuk HRQOL. Intervensi untuk meningkatkan HRQOL pada pasien dengan
epilepsi yang resisten terhadap pengobatan harus, oleh karenanya, terfokus pada penanganan gangguan mood dan meminimalkan efek
samping obat.
Kata kunci : epilepsi; kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan; the Quality of Life in Epilepsy-89 ; usia; usia saat onset;
durasi; mood; depresi; kejadian merugikan.
I. Pendahuluan
Epilepsi terkenal sebagai penyebab terganggunya kualitas hidup. Pasien dengan epilepsi harus memikul beban pembatasan aktifitas
dan stigma sosial, mereka bahkan selalu ketakutan akan kejang yang selanjutnya akan dialami olehnya, dan mereka tidak terlindung dari
efek samping obat yang merugikan. Semua faktor tersebut berperan dalam mengganggu kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan
(HRQOL). Karena tertarik pada pengaruh epilepsi terhadap HRQOL, telah menyebabkan terjadinya perkembangan dalam instrumentasi
untuk menilai kualitas hidup yang spesifik untuk epilepsi, yang diakui dan digunakan secara luas untuk menilai respon terapi, dan juga untuk
menilai faktor resiko kualitas hidup yang buruk pada pasien dengan epilepsi. Frekuensi kejang, penyakit medis atau psikologis penyerta,
jumlah dari obat antiepilepsi (AED) yang diberikan, dan efek samping pengobatan seluruhnya telah dihubungkan dengan rendahnya
HRQOL. Morbiditas yang berkaitan dengan usia, khususnya durasi dari epilepsi dan usia saat onset, telah diketahui dapat mempengaruhi
kualitas hidup dalam analisa sekunder pada sub kelompok tertentu dari pasien epilepsi, misalnya, pada remaja, namun hanya sedikit
penelitian yang mengeksplorasi pengaruh langsung dari usia, dan belum pernah ada penelitian yang membandingkan pengaruh usia, usia saat
onset kejang, dan durasi penyakit pada HRQOL. Dalam penelitian ini, kami menguji ketiga tipe pengaruh yang berkaitan dengan usia ini
terhadap HRQOL dalam sebuah sampel pasien yang resisten terhadap pengobatan epilepsi. Diantara orang-orang dengan penyakit epilepsi,
mereka adalah orang-orang yang menderita akibat kejang yang selalu berulang meski telah diberikan terapi medikamentosa, dan diketahui
memiliki HRQOL yang lebih rendah. Memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan HRQOL pada populasi pasien ini sangat dibutuhkan
untuk mengetahui intervensi yang sesuai.
2. Metode
Kami mengumpulkan data dari pasien yang masuk pada the Epilepsy Monitoring Unit (EMU) di Universitas Cincinnati antara 20
Januari 2001 dan 20 Januari 2003. Banyak pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan melakukan pemeriksaan dengan
monitoring menggunakan video/EEG sebagai bagian dari penatalaksanaan klinis mereka, maka dari itu pusat monitoring epilepsi adalah
tempat yang paling logis dimana kami dapat melakukan penelitian pada populasi pasien ini. Saat masuk, pasien melengkapi instrumentasi
the Quality of Life in Epilepsy-89 (QOLIE-89), Profile of Mood States (POMS), dan Adverse Event Profile . Pasien dapat menjadi peserta
penelitian jika mereka berusia 18 tahun atau lebih dan tidak memiliki keterbatasan mental signifikan atau kondisi yang dapat mengganggu
kemampuan mereka untuk mengisi kuesioner dengan kemampuan mereka sendiri. Diagnosis epilepsi diberikan berdasarkan hasil dari
monitoring video/EEG yang panjang (PVEM). Resistensi terhadap pengobatan didefinisikan sebagai kejang yang terus dialami meski telah
diberikan percobaan terapi medikamentosa adekuat yang diberikan paling tidak berupa dua kali pengobatan monoterapi dan minimal satu
kali pengobatan kombinasi. Badan pengawas institusi pada Universitas Cincinnati telah menyetujui penelitian ini.
Dalam periode penelitian, 324 pasien terdaftar di EMU. Lima puluh lima pasien tidak dapat dimasukkan dalam penelitian ini karena
mengalami kecacatan mental, memiliki status mental yang terganggu, atau hanya berada di EMU kurang dari 24 jam. Total 269 pasien
memenuhi persyaratan dan diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Dari seluruh pasien yang kami minta untuk berpartisipasi, 10
pasien menolak untuk menjadi peserta penelitian. Dalam sampel sebanyak 259 pasien yang setuju untuk berpartisipasi, 101 pasien (39%)
didiagnosis dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan, dan 158 pasien (61%) didiagnosis dengan kondisi epilepsi lainnya (misalnya:
kejang non-epileptik psikogenik atau sinkope yang disertai kejang, N=104) atau belum didiagnosis dengan pasti (misalnya: kejang tipikal
yang tidak terekam, N=54). Karakteristik pasien secara demografis dan klinis dari sampel EMU ini telah dijelaskan sebelumnya. Analisis
yang dilakukan saat ini berdasarkan pada subkelompok pasien dengan diagnosis resistensi terhadap pengobatan yang pasti.
Kami menilai HRQOL dengan QOLIE-89, yaitu intrumen yang paling banyak dipakai dan paling komprehensif yang dikembangkan
khusus untuk evaluasi HRQOL pada pasien dengan epilepsi. Nilai intrumen yang lebih tinggi mengindikasikan kualitas hidup yang lebih
baik. Pengukuran status psikologis yang kami gunakan adalah dengan skala Depresi/Penolakan POMS. POMS adalah instrumen yang paling
banyak digunakan dan mengandung 65 item yang berhubungan dengan mood dalam 6 dimensi (depresi/penolakan, ketegangan/ansietas,
fatigue/inersia, kekacauan/kebingungan, kemarahan/permusuhan, dan vigor/aktifitas). Nilai yang semakin tinggi pada skor
Depresi/Penolakan POMS menunjukkan masalah mood yang semakin buruk. The Adverse Event Profile adalah 19 item yang digunakan
untuk menilai efek samping pengobatan. Semakin tinggi skornya, semakin berat pengaruh merugikan yang ada dalam pengobatan.
Karekteristik demografis dan riwayat medis didata melalui tinjauan pada catatan medis dan dari informasi yang disampaikan pasien
sendiri. Frekuensi kejang dinilai dari informasi yang diberikan pasien tentang jumlah kejang dalam satu minggu, dirata-rata dalam satu tahun
sebelum masuk EMU. Variabel tergantung dalam penelitian kami adalah kualitas hidup pada epilepsi yang diukur dengan skor QOLIE-89
secara keseluruhan. Variabel independen yang utama adalah usia, usia saat onset, dan durasi epilepsi. Usia diukur dalam tahun. Usia saat
onset dinilai dari wawancara klinis dan dari catatan klinis sebelumnya. Durasi epilepsi dihitung dengan mengurangi usia dengan usia saat
onset. Variabel kovariat termasuk Depresi/Penolakan POMS, Adverse Event Profile , jumlah penyakit penyerta, dan jumlah dari AED—
seluruhnya telah ditunjukkan berhubungan dengan kualitas hidup pada epilepsi.
Untuk statistik deskriptif, kami menghitung persentase distribusi untuk variabel kategorikal dan nilai tengah (median), dengan
standar deviasi untuk variabel kontinyu. Korelasi bivariat (Pearson r digunakan untuk data yang terdistribusi normal dan Spearman p untuk
data yang terdistribusi secara tidak normal) dan-regresi least-square biasa-digunakan untuk memperkirakan hubungan antara variabel yang
berkaitan dengan usia (usia pasien, usia saat onset kejang dan durasi epilepsi), faktor mood dan klinis, dan QOLIE-89 sebagai variabel
dependen. Untuk tiap variabel prediktor yang berkaitan dengan usia, kami melakukan cara regresi sederhana yang diikuti sebuah cara
termasuk cara kovariat lainnya, seperti variabel yang memiliki hubungan yang signifikan dengan skor QOLIE-89 secara keseluruhan pada
analisis korelasi. Kami juga menguji pasangan variabel yang berkaitan dengan usia, sendiri-sendiri atau secara kombinasi dengan variabel
prediktor lainnya (ketiga variabel tidak dapat dimasukkan dalam persamaan karena durasi didefinisikan sebagai usia dan usia saat onset).
Sampel kami memiliki kekuatan 80% pada metode two-tailed α sebesar 0,05 untuk mendeteksi korelasi dari Pearson r=0,346 atau r2 = 0,121.
3. Hasil
Dari 101 pasien yang memenuhi syarat untuk analisa, 13 pasien (13%) tidak melengkapi POMS dan atau Adverse Event Profile .
Berdasarkan analisis data yang hilang, kami mengganti nilai yang hilang dengan nilai rata-rata dari data yang ada. Namun, 2 pasien
dieksklusi dari analisis karena tidak adanya data QOLIE-89, penyakit penyerta, dan atau data demografis. Jumlah sampel akhirnya adalah
N=99.
Statistik deskriptif untuk sampel dirangkum dalam Tabel 1. Enam puluh tiga persen sampel adalah perempuan. Usia rata-rata adalah
37 tahun. Usia saat onset epilepsi rata-rata adalah 19 tahun, dan durasi penyakit epilepsi rata-rata adalah 18 tahun. Nilai tengah skor QOLIE-
89 secara keseluruhan adalah 55,8.
Tidak didapatkan korelasi bivariat signifikan yang dapat ditemukan antara jenis kelamin, frekuensi kejang, dan riwayat adanya hasil
MRI abnormal dan variabel lainnya dalam penelitian ini. Usia memiliki hubungan positif dengan usia saat onset (r=0,509, P<0,001) dan
durasi penyakit epilepsi (r=0,228, P=0,023); dua variabel yang disebutkan terakhir, berkorelasi secara negatif (r = - 0,722, P<0,001). Jumlah
dari penyakit penyerta secara positif berkorelasi dengan usia saat onset (r=0,342, P=0,001) dan berkorelasi negatif dengan durasi epilepsi (r
= - 0,270, P=0,007). Jumlah AED berkorelasi negatif dengan usia saat onset (r = - 0,459, P<0,001) dan berkorelasi positif dengan durasi
epilepsi (r=0,530, P<0,001). Korelasi antara QOLIE-89 dan usia tidaklah signifikan, sementara korelasi antara QOLIE-89 dan usia saat onset
(r = - 0,289, P=0,004) dan durasi epilepsi (r=0,251, P=0,012) masih sedang. Hubungan bivariat yang agak lebih kuat (P<0,001) diamati
antara QOLIE-89 dan Depresi / Penolakan POMS dan Adverse Event Profile (r = - 0,614), dan Depresi / Penolakan POMS dengan Adverse
Event Profile (r=0,527). Hanya variabel yang memiliki korelasi signifikan dengan QOLIE-89 dan/atau variabel lain dalam penelitian ini
yang digunakan dalam analisis regresi.
Hasil regresi terangkum dalam Tabel 2. Model 1 menunjukkan cara regresi yang hanya menggunakan variabel yang berkaitan dengan
usia sebagai prediktor QOLIE-89. Model 2 menunjukkan sebuah cara termasuk variabel prediktor yang berkaitan dengan usia dan variabel
prediktor lainnya (seperti yang tercantum dalam kolom kiri terluar dari tabel). Hasil dari model regresi sederhana menunjukkan bahwa usia
bukanlah prediktor HRQOL yang signifikan (P=0,354), sementara usia saat onset dan durasi epilepsi adalah prediktor yang signifikan (P <
0,01; hasilnya akan serupa jika ditambahkan variabel usia). Jika usia saat onset dan durasi epilepsi dimasukkan sendiri-sendiri dalam sebuah
pengukuran, mereka tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada HRQOL (lihat di bawah tabel 2); mereka menjelaskan pengaruh satu
sama lain. Hasil regresi multipel (model 2) menunjukkan bahwa bahwa tidak ada variabel yang berhubungan dengan usia yang memiliki
pengaruh yang signifikan pada HRQOL (P=0,460, P=0,084, dan P=0,207, berturut-turut menurut usia, usia saat onset, dan durasi dalam
model terpisah). Depresi/Penolakan POMS, Adverse Event Profile , jumlah penyakit penyerta, dan jumlah AED menjelaskan pengaruh dari
usia saat onset dan durasi penyakit pada HRQOL. Model regresi multipel memberikan 52-54% penjelasan untuk QOLIE-89 (R2 =0,535),
dibandingkan 1%, 6%, dan 8% pada model terhadap usia, durasi epilepsi, dan usia saat onset, secara berturut-turut (R 2 =0,01; 0,06; dan
0,08).
4. Pembahasan
Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan peran dari usia, usia saat onset kejang, dan durasi penyakit terhadap HRQOL pada
epilepsi. Penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun usia tidak berkorelasi dengan kualitas hidup pada epilepsi, usia saat
onset dan durasi penyakit dapat diharapkan memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup pada epilepsi – jika tidak adalagi
selain QOLIE-89 yang diketahui memiliki korelasi . Bagaimanapun, bila data tambahan, khususnya yang mengikutsertakan kejadian depresi
dan merugikan, yang tersedia, data tersebut harus digunakan dalam penjelasan yang lebih baik lagi dalam kualitas hidup pada epilepsi.
Analisis sub kelompok tentang pengaruh dari epilepsi pada HRQOL, khususnya pada anak-anak, telah mengesankan bahwa semakin
dini usia saat onset, dihubungkan dengan HRQOL yang semakin buruk. Penelitian tersebut menyediakan data yang mendukung hubungan
antara kontrol kejang yang buruk, hilangnya fungsi neuropsikologis, dan rendahnya HRQOL pada pasien dengan usia saat onset yang dini.
Pada penelitian kami, kami menemukan hal yang sebaliknya: dengan semakin bertambahnya usia saat onset, maka sebenarnya akan
menurunkan HRQOL, jika tidak mempertimbangkan faktor lain. Terdapat beberapa kemungkinan penjelasan dari penemuan kami. Populasi
dalam penelitian kami memiliki usia rata-rata 19 tahun, yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan penelitian pada anak-anak.
Kemungkinan terdapat pengaruh batas tertinggi: onset epilepsi dini pada populasi anak-anak mungkin menghasilkan atau dihasilkan dari
keterlambatan perkembangan yang terjadi secara signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh frekuensi kejang yang sering pada saat awal-awal
masa pertumbuhan atau mungkin disebabkan oleh pengaruh merugikan dari obat-obatan yang diberikan selama masa perkembangan sosial
dan kognitif yang sedang berjalan cepat. Namun tentu, pengaruh fenobarbital pada perkembangan kognitif sudah sangat diketahui, dan pada
usia saat onset yang dini pada populasi anak-anak, sering dihubungkan dengan epilepsi yang sulit ditangani yang membutuhkan medikasi
AED multipel sehingga akan dialami kejadian merugikan yang berhubungan dengan pengobatan secara kumulatif. Miller dkk, dalam
analisisnya pada populasi anak-anak dengan epilepsi, juga meneliti pengaruh variabel seperti usia, jenis kelamin, diagnosis epilepsi, durasi
penyakit, usia saat onset, beratnya kejang, jumlah AED, pengaruh merugikan dari pengobatan, tipe terapi, dan adanya gangguan neurologis
yang menyertai terhadap HRQOL. Hasilnya mengindikasikan bahwa hanya gangguan neurologis penyerta dan jumlah AED saja yang
merupakan prediktor signifikan dari HRQOL saat kovariat dimasukkan dalam analisis. Bagaimanapun, hasil regresi bertahap
mengindikasikan adanya hubungan negatif yang secara statistik signifikan antara durasi penyakit dan hubungan positif yang signifikan
antara usia saat onset dan gangguan neurologis penyerta. Penemuan ini mengesankan bahwa pada populasi anak-anak, seperti juga pada
dewasa, usia saat onset dan durasi penyakit adalah signifikan jika tidak dilakukan analisis kovariat.
Pada populasi dewasa, perkembangan sosial dan intelektual telah terjadi pada titik yang berada di tempat yang memiliki mekanisme
pendukung yang lebih baik, dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang didefinisikan lebih baik pula. Dalam kondisi seperti ini, onset
kejang yang terjadi pada usia yang lebih tua dapat menyebabkan pengaruh yang lebih penting terhadap HRQOL untuk alasan yang lebih
praktis. Hilangnya kemampuan untuk mengemudi, sebagai contoh, menjadi sangat penting jika lingkungan pekerjaan dan sosial pasien
berputar dengan aktifitas ini. Pekerjaan dapat langsung terpengaruh oleh usaha pencegahan kejang jika pekerjaan pasien memiliki resiko
yang tinggi seperti mengoperasikan mesin atau alat berat. Meski terdapat mekanisme penyelesaian masalah yang lebih baik, cara hidup
seseorang telah lebih pasti pada saat dewasa, dan, karenanya, onset kejang yang terjadi pada usia yang lebih tua dapat bersifat lebih merusak.
Pengaruh dari durasi epilepsi pada HRQOL belum diteliti dengan baik. Dalam satu penelitian di Tunisia yang membandingkan
kualitas hidup pasien epilepsi dengan durasi epilepsi dalam populasi secara umum, durasi epilepsi tidak mempengaruhi HRQOL. Berbagai
laporan mengenai pengaruh durasi dari penyakit lainnya seperti penyakit Parkinson dan diabetes pada HRQOL, telah menemukan bahwa
penyakit yang waktunya lama, akan menurunkan kualitas hidup. Penemuan bahwa HRQOL akan meningkat seiring dengan peningkatan
durasi penyakit epilepsi mungkin mencerminkan konsekuensi penyesuaian sosial dan psikologis dengan penyakit dan terjadinya perbaikan
pada mekanisme dalam mengatasi masalah. Hasil dari analisis kovariat menambahkan tingkat kepercayaan pada hipotesa ini, seperti depresi,
pengaruh merugikan dari pengobatan, penyakit penyerta dan jumlah AED menjadi lebih bersifat prediktif pada HRQOL pada saat kami
mempertimbangkan pengaruhnya. Meskipun peningkatan durasi penyakit epilepsi mengesankan adanya peningkatan jumlah dari AED,
percobaan medikasi multipel dan titrasi dapat menyebabkan didapatkannya terapi optimal dengan efek samping yang semakin kecil.
Penemuan kami tidak dapat diberlakukan secara umum pada semua orang dengan epilepsi dalam populasi umum. Subjek dalam
penelitian kami adalah pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan yang menerima perawatan dalam kondisi yang sangat
khusus. Sebagian besar pasien dengan epilepsi (60-70%) dapat diterapi dengan baik dan tidak mengalami kejang yang berulang kembali,
dan, karena itu, mereka jarang dievaluasi di EMU. Penelitian kami secara lebih jauh akan dapat dinyatakan salah jika digunakan pasien
epilepsi yang paling resisten terhadap pengobatan, namun dalam kasus ini, kami tidak percaya hal tersebut akan terjadi. Sampel kami tampak
mewakili populasi pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Nilai tengah skor QOLIE-89 dalam sampel kami (55,8) serupa
dengan nilai tengah skor QOLIE-89 (65,5) pada kelompok pasien yang sangat parah yang dimasukkan dalam penelitian yang menggunakan
skor QOLIE-89, dan pada nilai skor QOLIE-89 pasien yang dimasukkan dalam penelitian bedah epilepsi baru-baru ini (52,9-60,5).
Karakteristik demografis dari pasien juga serupa pada ketiga penelitian ini.
Akhirnya, akan sangat berguna jika kita memiliki data kualitatif tambahan yang berdasarkan pada wawancara dengan pasien yang
ditujukan untuk menilai kualitas hidup pada pasien dengan onset epilepsi yang terjadi pada usia yang lebih tua. Bagaimanapun, penelitian
aslinya memiliki tujuan untuk mengetahui berbagai faktor yang lebih luas dalam kualitas hidup pada penderita epilepsi. Artikel ini
didasarkan pada analisa data yang sebelumnya telah didapatkan. Penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk melihat secara lebih
mendalam pada masalah yang terkait usia pada epilepsi.
Secara singkat, jika data kovariat seperti mood dan pengaruh merugikan dari pengobatan tidak dimasukkan, kami menemukan bahwa
onset yang lebih dini dan durasi penyakit yang lebih lama berhubungan dengan HRQOL yang lebih baik pada pasien dewasa yang dirujuk
pada EMU, hanya jika faktor lain tidak ikut dipertimbangkan. Meskipun penemuan ini telah dijelaskan, sebagian-dengan mood-pengaruh
merugikan dari pengobatan, kondisi penyakit penyerta yang lebih banyak dan peningkatan jumlah pengobatan dengan AED, pada pasien
dengan onset epilepsi yang terjadi pada usia yang lebih tua dan baru saja didiagnosis, terapi gangguan mood dan minimalisasi akibat
merugikan dari pengobatan epilepsi dapat menyebabkan perbaikan pada HRQOL.
Tabel 1
Statistik deskriptif untuk sampel pasien epilepsi (N=99)
Variabel % atau nilai tengah SD Range
Perempuan
Usia
Usia saat onset
Durasi epilepsi (tahun)
Jumlah penyakit penyerta
Kejang/minggu
Jumlah AED
MRI abnormalb
63,0%
37
19
18
1
2a
6
52,5%
10
15
16
2
12
3
18-77
1-76
0-52
0-8
0-75
0-14
Skor QOLIE-89 keseluruhan
Skor Depresi / Penolakan POMS
Skor Adverse Event Profile
55,8
14,1
44,8
17,2
9,9
9,4
13,8-91,5
0-38
19-67
a Median
b N=97
Tabel 2
Hasil regresi least square biasa (variabel tergantung: skor QOLIE-89 keseluruhan, N=99)
Variabel prediktorModel 1 Model 2
B SE P B SE P
Usiaa
Depresi / Penolakan POMS
Adverse Event Profile
Jumlah penyakit penyerta
Jumlah AED
Konstanta
R2
- 0,515
61,539
0,009
0,167 0,354 - 0,089
- 0,678
- 0,771
- 1,572
0,451
102,892
0,523
0,120
0,148
0,158
0,831
0,403
0,460
<0,001
<0,001
0,062
0,266
Usia saat onsetb
Depresi / Penolakan POMS
Adverse Event Profile
- 0,339
0,114 0,004 - 0,177
- 0,642
- 0,752
0,101
0,147
0,157
0,084
<0,001
<0,001
Jumlah penyakit penyerta
Jumlah AED
Konstanta
R2
62,331
0,083
- 1,154
0,091
103,062
0,535
0,862
0,446
0,184
0,838
Durasi Epilepsib
Depresi / Penolakan POMS
Adverse Event Profile
Jumlah penyakit penyerta
Jumlah AED
Konstanta
R2
0,333
49,958
0,063
0,136 0,012 0,150
- 0,642
- 0,768
- 1,383
0,135
97,822
0,528
0,118
0,149
0,157
0,846
0,469
0,207
<0,001
<0,001
0,106
0,774
Usia saat onsetb
Durasi Epilepsi
Depresi / Penolakan POMS
Adverse Event Profile
- 0,263
0,118
0,165
0,187
0,114
0,530
- 0,154
0,046
- 0,637
- 0,752
0,125
0,146
0,149
0,157
0,224
0,754
<0,001
<0,001
Jumlah penyakit penyerta
Jumlah AED
Konstanta
R2
58,809
0,087
- 1,135
0,043
101,989
0,535
0,868
0,474
0,194
0,927
Catatan: seluruh variabel yang termasuk dalam model telah ditunjukkan. Kovariat potensial lain (jenis kelamin, frekuensi kejang, MRI
abnormal) tidak dimasukkan karena mereka tidak menunjukkan hubungan dengan variabel yang tersisa dalam penelitian yang berdasarkan
pada sebuah analisis korelasi. B=koefisien regresi yang tidak terstandarisasi; SE = Standard error .
a hasilnya akan serupa jika usia saat onset atau durasi dimasukkan sebagai prediktor tambahan. Usia, usia saat onset, dan durasi tidak
seluruhnya dapat dimasukkan dalam satu model karena durasi didefinisikan sebagai selisih antara usia dan usia saat onset.
b hasilnya akan serupa jika usia dimasukkan sebagai prediktor tambahan
Top Related