Download - Koreana Summer 2015 (Indonesian)

Transcript

ISSN 1975-0617

Mu

siM Pan

as 2015vo

l. 4 no

. 2PASAR TRADISION

ALFITuR Kh

uSuS

SENI & BuDAYA KOREA

Pasar Tradisional Korea: Ajang Gejolak dan Rom

antika Kehidupan; Orang-orang yang M

embangunkan Subuh: Cerita Pasarku

Mu

SIM P

AN

AS 2015 vo

l. 4 no

. 2w

ww

.koreana.or.kr ISSN 2287-5565

Sejarah dan Perkembangannya

Pasar Tradisional

WaterWaterWaterWaterWater

A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 10, NUMBER 1, SPRING 2015

US$15.00W15,000

AVERTING WATER CRISES IN ASIA: ESSAYS BY

Dipak Gyawali, Hyoseop Woo, David S. Hall & Kanokwan Manorom, Lyu Xing and Ramaswamy R. Iyer

THINK TANKS, THINK NETS AND ASIAA focus on how the industry of ideas has spread in Asia looks at the regional, Chinese and Japanese experience

THE DEBATE: US STRATEGY TOWARD NORTH KOREARobert Carlin Squares Off Against Bruce Klingner

PLUSPradumna B. Rana & Ramon Pacheco Pardo Asia’s need to work with the IMF on regional financial securityBrad Nelson & Yohanes Sulaiman Indonesia’s new maritime ambitions may spell trouble with ChinaMichal Romanowski The EU’s task in Central AsiaRobert E. McCoy History’s lessons for the North Korea nuclear stando� and why the Six-Party Talks stalledBook Reviews by Thomas E. Kellogg, Nayan Chanda, John Delury & Taewhan Kim

See our latest issue, full archives and analysis on our expert blog at www.globalasia.org

Managing Asia’s Most

Precious Resource

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia.

In our latest issue:Water:

Managing Asia’s Most

Precious Resource

Find out more and subscribe to our print or online editions

at www.globalasia.org

Have you tried our digital edition yet? Read Global Asia on any device with our digital edition by Magzter. Issues are just $5.99 or $19.99 per year. Download the free Magzter app or go to www.magzter.com

A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION

our digital edition by Magzter. Issues are

cITRA KOREA

Samgyetang di Puncak Musim Panas

Melawan Panas dengan Panas

Sebuah deretan panjang orang, sebagian besar dari mereka pekerja kan-tor dalam kemeja lengan pendek, berhadapan dua hingga empat orang dalam sebuah gang menuju pintu masuk rumah bergaya tradisional

yang luas. Deretan itu bergerak perlahan, namun mereka berdiri di tempat dengan sabar, di bawah terik matahari. Adakah sesuatu yang istimewa terjadi?

Papan nama neon besar menggantung di bawah atap memberikan petunjuk untuk yang mudah dibaca dalam sebuah kerumunan. Ini adalah restoran yang khusus menjual samgyetang. Sebuah plakat persegi dengan meterai resmi Rose of Sharon yang terletak di samping pintu menunjukkan bahwa itu diakui pemerintah sebagai “Restoran yang Baik.” Tapi selain restoran ini, ada banyak restoran yang khusus menjual samgyetang seluruh Korea, hanya saat ini ada-lah tahun mereka untuk berjaya.

Nama samgyetang berasal dari kata: ginseng (sam,) ayam (gye), dan sup (tang). Artinya, seekor ayam muda direbus dengan ginseng dalam sup hangat. Tentu ini sebenarnya sedikit lebih rumit dari sekadar itu. Selain ayam dan gin-seng, bahan-bahan lain seperti beras ketan, buah jujube kering, seluruh butir bawang putih besar, diletakkan biji perilla dan tambahan lain untuk menandai bahwa itu merupakan hidangan musim panas Korea.

Samgyetang merupakan salah satu hidangan yang muncul dalam tradisi kuno Korea yang mempertimbangkan bahwa makanan dan obat-obatan bera-sal dari sumber yang sama. Ayam kaya akan kandunga asam amino. Ginseng, salah satu produk Korea yang paling berharga, yang dikenal untuk mengaktif-kan enzim dalam tubuh, mempercepat metabolisme dan membantu menghi-langkan rasa letih. Bawang putih dianggap sebagai afrodisiak, bekerja sungguh-sungguh melindungi perut, dan pada saat yang sama mencegah anemia. Jadi dalam situasi panas, musim panas memaksa orang berkeringat dan tubuh pun mudah capek, Orang-orang Korea akan menikmati semangkuk samgyetang yang mendidih sebagai bantuan untuk melawan panas yang melemahkan.

Pada masa ini, melalui peternakan unggas yang berkembang dengan baik, ayam muda tersedia sepanjang tahun karena diperlukan untuk membuat sam-gyetang. Di masa lalu, ayam yang menetas di musim semi tumbuh menca-pai bobot 500 gram - ukuran ideal - pada musim panas. Dengan "ayam lunak" (yeonggye) demi memenuhi kebutuhan daging mereka, pertumbuhan yang sangat berguna, satu porsi bisa dimakan demi upaya menaklukkan musim panas. Kebiasaan makan samgyetang dilakukan pada hari-hari paling terik di musim panas. Hari-hari terpanas muncul pada tahun 1960 setelah pengenalan lemari es. Kemasan-nutrisi samgyetang, sekarang ini tersedia setiap waktu, merupakan salah satu hidangan favorit Korea dalam empat musim.

Kim Hwa-young Kritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian Nasional

PeMiMPin UMUM Yu Hyun-seokDireKtUr eDitorial Yoon Keum-jinPeMiMPin reDaKSi Koh Young HunDewan reDaKSi Bae Bien-u Choi Young-in Emanuel Pastreich Han Kyung-koo Kim Hwa-young Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner SasseDireKtUr Kreatif Kim SameDitor Kim Jeong-eun Noh Yoon-young Park Sin-hyePenata artiStiK Lee Young-bokDeSainer Kim Ji-hyun Lee Sung-ki Yeob Lan-kyeong

Penata letaK Kim’s Communication AssociatesDan DeSain 385-10 Seogyo-dong, Mapo-gu Seoul 121-839, Korea www.gegd.co.kr Tel: 82-2-335-4741 Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000.Di negara lain US$9.Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan.

inforMaSi Berlangganan:The Korea FoundationWest Tower 19F Mirae Asset CENTER1 Bldg. 26 Euljiro 5-gil, Jung-gu, Seoul 100-210, Korea

PercetaKan eDiSi MUSiM PanaS 2015Samsung Moonwha Printing Co.274-34 Seongsu-dong 2-ga, Seongdong-gu, Seoul 133-831, KoreaTel: 82-2-468-0361/5

© The Korea Foundation 2015Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Diterbitkan empat kali setahun oleh the Korea foundation

2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-guSeoul 137-863, Korea

http://www.koreana.or.kr

Musim panas telah tiba. Seperti pada musim dingin, orang-orang Korea tetap berge-

gas menuju kereta atau gedung untuk segera menikmati sejuknya pendingin. Pada saat

seperti ini makanan samgyetang menjadi menu favorit mereka. Melawan panas dengan

panas. Sungguh kenikmatan luar biasa.

Namun, ada sebuah tempat yang selalu ramai dikunjungi orang. Tempat tersebut

sungguh-sungguh tidak terpengaruh oleh perubahan musim dan cuaca. Tempat itu ialah

pasar tradisional. Pasar merupakan jantung kehidupan masyarakat, di desa maupun

di kota. Pasar-pasar tradisional memiliki sejarah panjang dan nilai-nilai yang tak bisa

dibuang begitu saja. Siapa yang tidak mengenal pasar Namdaemun, Dongdaemun, dan

Gwangjang. Seluruh wisatawan asing yang datang ke Korea pasti mengunjungi pasar

tersebut. Masing-masing pasar tersebut memiliki keunikan dan kekhasan masing-ma-

sing.

Namun sebenarnya Korea tidak hanya memiliki pasar besar itu. Korea memiliki ba-

nyak pasar tradisional. Pasar-pasar tersebut memiliki tema-tema khusus. Pasar Kyung-

dong terkenal sebagai pasar obat tradisional, pasar ternak Cheongdo, pasar hwamunseok

di pulau Ganghwa, dan sebagainya merupakan pasar-pasar yang tidak kalah unik dan

menariknya.

Pasar-pasar tersebut mencerminkan realitas kehidupan masyarakat Korea. Hanya

sayang dengan kemajuan teknologi maju dan kehadiran pasar-pasar modern pelan-pelan

menenggelamkan eksistensi pasar tradisional. Tentu ini amat mencemaskan. Oleh kare-

na itu, masyarakat Korea dan pemerintah berusaha untuk membangkitkan kembali fungsi

dan kedudukan pasar tradisional di tengah modernisasi yang juga tak bisa terbendung.

Pada sajian kali ini, Koreana membedah tuntas sejarah, realitas, dan harapan kita ter-

hadap masa depan pasar tradisional. Selamat menikmati suguhan Koreana musim panas

ini. Jangan lupa mencatat festival-festival menarik yang ada di musim panas di Korea.

Hiburan keluarga yang menarik yang sayang jika Anda tinggalkan.

Musim Panas dan Pasar tradisionalDari Redaksi

“Hari Pasaran” Hwang Young-sung Minyak di atas kanvas, 38 x 45,5cm 1982 Hangat, penggambaran penuh warna tentang kios-kios di luar pasar negeri yang dikemuli kelambu penghalang terik matahari.

Seni & BUDaya Korea Musim Panas 2015

Koh young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

fitUr KHUSUS

Pasar Tradisional, Sejarah dan Perkembangannya

FiTur KhuSuS 1

Pasar Tradisional Korea: Ajang Gejolak dan Romantika Kehidupan Lee Chang-guy

FiTur KhuSuS 2

Pesona Pasar Khusus TradisionalLee Yun-jeong

FiTur KhuSuS 3

Orang-orang yang Membangunkan Subuh: Cerita PasarkuLee Myoung-lang

FiTur KhuSuS 4

Pasar Tradisional Kini Berkembang Menjadi Pusat Budaya DaerahPark Eun-young

WAWANCArA

Seung Hyo-sang Merancang Kota dengan Regenerasi dan Kebersamaan Park Seong-tae

FoKuS

Mengembalikan Bahasa Tubuh dalam 1 Menit 59 DetikPark Byung-sung

TiNJAuAN SENi

Ritual untuk Mohon Ampun dan Damai - <Ibu> oleh Son SookKim Su-mi

JATuh CiNTA PADA KorEA

Seni dalam Hidup Annaliisa AlastaloDARCY PAqUET

BuKu & LAiNNyA

“Pavane for a Dead Princess”Mengenal Masyarakat yang terobsesi dengan Kecantikan

“Korean Heritage” Petunjuk online warisan Budaya Korea

“Hors les Murs”‘who ate Up all the Shinga?’ edisi Bahasa Prancis

“Koryosa choryo II” catatan Sejarah Koryo

“Sketches of Korea: An Illustrated Guide to Korean Culture”Korea di Mata Dua warga Prancis

Charles La Shure, Lee Woo-young

ESAi

Gelombang Korea Masih Mengguncang di IndonesiaAsri Dwi Hapsari

hiBurAN

Akankah Drama Online Merajai Dunia Hiburan?Wee Geun-woo

GAyA hiDuP

Masakan Rumah Makin DigemariKim Yong-sub

PErJALANAN KESuSASTrAAN KorEA

CAHAYA DI LUAR TAK DAPAT MENAHAN KESEDIHANChang Du-yeong

MUSIM DINGIN DI LUAR JENDELAChoi Eun-mi

33

48

39

04

12

22

28

56

54

48

44

38

34

58

60

64

23

4 KOREANA Musim Panas 2015

Pasar Moran di Seongnam merupakan pasar lima hari yang besar yang dibuka pada setiap tanggal yang berangka 4 dan 9. Dekat dengan Seoul, populer dikunjungi oleh penduduk kota. Di luar pasar terbentang 950 kios, dan dikunjungi hingga 100.000 pembeli termasuk pada hari kerja.

Pasar Moran di Seongnam merupakan pasar lima hari yang besar yang dibuka pada setiap tanggal yang berangka 4 dan 9. Dekat dengan Seoul, populer dikunjungi oleh penduduk kota. Di luar pasar terbentang 950 kios, dan dikunjungi hingga 100.000 pembeli termasuk pada hari kerja.

SENI & BUDAYA KOREA 5

FITUR KHUSUS 1 Pasar Tradisional, Sejarah dan Perkembangannya

Semua yang namanya tradisional ada tanggal kedaluwarsanya. Orang Korea membanggakan sejarahnya yang sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu, tetapi pada kenyataannya umur

sejarah budaya tradisional yang menurun hingga kini jauh lebih pendek daripada itu. Tidak ada seorangpun yang menganggap budaya sandang pangan yang populer di zaman neolitikum sebagai budaya tradisional, tidak ada juga yang menghias diri dengan topi kerucut berhiaskan bulu-bulu atau topi Jeolpungmo yang dulunya terkenal di zaman Goguryeo hingga ke Kerajaan Tang. Masakan yang dianggap oleh orang Korea sebagai masakan asli Korea beru-mur sejarah 50~60 tahun saja. Bahkan hanbok (pakaian tradision-al Korea) ataupun hanok (rumah tradisional Korea) yang menjadi model adalah yang ada sejak pertengahan zaman Joseon.

Lantas, bagaimana sih yang dimaksud dengan pasar tradisional Korea dan apa yang dimaksud dengan budaya pasar Korea? Kita akan menggunakan dua kutipan berikut sebagai panduan.

Pemandangan Pasar di Mata Pengunjung “Pada hari-hari pasar dibuka, semua lapangan di desa penuh

diisi dengan buah-buahan dan sayuran, bawang putih dan bawang bombay bertumpukan seadanya. Sepanjang hari orang-orang ber-teriak, bersantai, dan bernyanyi. Kadang-kadang mereka akhirnya berkelahi, dan tanpa henti mereka berteriak dan tertawa. Berkat iklim ringan dan makanan yang murah, kehidupan mereka mudah dan segala sesuatu yang mereka butuhkan dapat ditemukan di luar pintu rumah mereka.”

“Desa-desa yang biasanya tenang dan terasa sumpek, akan berubah pada hari pasar dibuka. Desa dipenuhi dengan kerumu-nan orang-orang yang ribut dan mondar-mandir. Mulai subuh jalan menuju pasar sudah dipadati oleh petani yang membawa barang dagangannya untuk dijual atau dibarter. Ayam, yang dimasukkan di kandang, sepatu jerami, topi jerami, dan sendok kayu dijinjing dan dipikul. Beberapa mendirikan kios untuk menjual sutra, gauzes, tali pinggang, sepatu untuk pesta, gulungan benang sutra, cermin tangan, kantong rokok, buku tentang pertanian dan sebagainya”.

Kutipan pertama berasal dari buku “Italian Journey” oleh sas-trawan dan negarawan besar Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), pada tanggal “17 September 1786. Verona” (Vero-na, kota tempat tinggal Juliet!). Kutipan kedua berasal dari buku “Korea dan Tetanqganya” yang ditulis oleh penjelajah, naturalis dan penulis dari Inggris Isabella Bird Bishop (1831-1904), yang mengunjungi Korea pada akhir abad ke-19. Kutipan ini adalah deskripsi dari pasar Bongsan di Provinsi Hwanghae, yang kebe-tulan dikunjunginya dalam perjalanan dari Kaesong (juga dieja Gaeseong) ke Pyongyang setelah Perang Sino-Jepang. Apa persa-maan dan perbedaan antara dua kutipan ini?

Yang terutama adalah bahwa keduanya tidak mengecewakan pemikiran Timur ataupun Barat tentang suasana ‘Pasar’. Cukup untuk membuat wisatawan yang tergiur oleh pemandangan matahari terbenam dari sebuah tempat liburan di mana air laut berwarna biru safir memenuhi cakrawala atau oleh foto dari gang belakang perkotaan yang ditutupi dengan grafiti berwarna-warni,

ajang gejolak dan romantika Kehidupan

Pasar Tradisional Korea

lee chang-guyPenyair, Kritikus Sastraahn Hong-beomFotografer

Pasar tradisional di Korea di masa lampau adalah tempat bertemunya sebuah desa dan desa lainnya, juga manusia

satu dengan manusia lainnya. adalah tempat untuk mendengar kabar anak perempuan yang telah menikah dan tinggal

jauh, juga tempat untuk menukar hasil jerih payah bertani dengan barang keperluan harian. namun pasar tradisional

yang merupakan bagian dari kehidupan kita itu sekarang semakin menghilang. Sebagai gantinya, kini kita berbelanja

di toserba atau supermarket yang bersih dan terorganisasi rapi. tetapi apakah di sana kita dapat membeli simpati dan

kenangan juga?

6 KOREANA Musim Panas 2015

untuk meluangkan barang satu hari dari jadwal wisata mereka untuk mengunjungi pasar lokal.

Pekembangan Pasar Seiring Perkembangan PertanianJika pemandangan nostalgia pasar yang makmur itu dianggap

sebagai tradisi dari pasar, maka pasar tradisional harus ditempat-kan di sekitar abad ke-18. Oleh ilmuwan dikatakan bahwa pasar di Korea mulai menyebar dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Periode ini adalah ketika produksi pertanian sangat me-ningkat. Sehingga sesuai untuk industri kerajinan bermula, yang memungkinkan orang untuk membuat hidup bahkan tanpa ber-tani. Dengan peningkatan frekuensi dan volume perdagangan, ekonomi uang berkembang, dan desa-desa untuk pemukiman juga bertumbuh. Pasar negara Joseon, yang disebut Hyangsi, dipenuhi di setiap 30 sampai 40 ri oleh pasar, dan terdapat lebih dari 1000 pasar yang dibuka setiap lima hari sekali di seluruh negeri di awal abad ke-19. Asosiasi pedagangpun muncul pada sekitar pertengah-an abad ke-18.

Perubahan sosial seperti yang dibawa oleh perubahan iklim.

Yakni masa berakhirnya zaman es kecil yaitu abad ke-18. Di Eropa juga sama saja situasinya. Penurunan produksi yang sempat menyebabkan kelaparan melanda Eropa mulai memasuki masa stabil dengan pasokan makanan yang cukup pada abad ke-18. Dengan adanya penyediaan teknologi pertanian baru ketergan-tungan pada gandum berkurang, jagung dan kentang mulai mun-cul sebagai pangan pokok baru. Faktor lingkungan ini membawa perubahan radikal untuk pertanian dan berbagai industri lainnya, mendorong perkembangan pasar, menanamkan dalam ingatan orang kenangan romantis pasar sebagai tempat yang melimpah dengan sejuta barang dan manusia.

Sudah hampir dua puluh tahun berlalu sejak kehidupanku di Seoul berakhir dengan kegagalan dan tiba-tiba berakhir di Jangho-won, Icheon Gyeonggi-do, dan mulai hidup di antara petani-petani sebagai seorang penulis. Jika dulu aku berkeliaran sebagai orang asing untuk “memeriksa” pasar, kini aku sering berkeluyuran di pasar memakai celana olah raga, melongok ke sana sini, memba-wa dalam kantong plastik hitam sepotong kue beras mugwort lem-but bertabur bubuk kacang atau mungkin sebongkah besar tahu

1 Bengkel pandai besi di Pasar Gurye selalu sibuk seperti biasa, para pan-dai besi membuat peralatan bertani dan berkebun secara tradisional: api membara dari tungku, besi dipalu untuk dibentuk pada landasan dan diselesaikan hanya dengan tangan untuk membuat alat-alat seperti sabit, garu, dan cangkul.

2 Kios ikan di Pasar Yongin. Ketika pasar diskon besar berpindah ke dekatnya, pasar lima hari tradisional mulai mengalami penurunan, namun berkat upaya dari warga setempat pasar itu telah hidup kembali.

1 2

SENI & BUDAYA KOREA 7

segar. Dan jika kebetulan bertemu dengan ibu-ibu, aku menyapa dan bercanda dengan mereka tanpa kecanggungan sedikit pun.

Di tempat Bertemunya air dan Darat, di Situ ada Pasar dan orang Berkumpul

Pasar Janghowon di Icheon, Gyeonggi-do, meskipun telah kehi-langan kejayaannya, tetap bertahan sebagai pasar relatif besar sampai saat ini. Tidak hanya besar dalam jumlah kios dengan barang-barang ditata untuk dijual, tetapi dalam jumlah orang yang datang dari Yeoju, Eumseong dan Anseong. Tempat ini ada-lah pusat produksi beras Icheon dan pusat distribusi biji-bijian lain bahkan sejak tahun 1930-an kereta api telah masuk, bank serta tradisi pasar gandum pun masih bertahan sampai hari ini.

Ukuran pasar tradisional ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama, adalah terletak di tepi sungai. Karena wilayah Korea sebagian besarnya adalah pegunungan, lebih mudah dan lebih aman untuk bepergian dengan jalur air daripada darat. Oleh kare-na itu, pasar yang terletak di mana jalur air dan darat - bahkan hari ini - berskala besar. Pasar Anseong, sekitar 30 kilometer jauhnya dari pasar Janghowon, adalah pada rute pelayaran akhir dari Sung-

ai Anseong, yang mengalir ke Perairan Teluk Asan di pantai barat melalui Pyeongtaek. Tempat ini juga merupakan jalur darat utama ke Seoul dan merupakan salah satu pasar besar utama masa lalu, menarik datangnya pedagang dan tukang-tukang. Garam dan ikan kering dari pantai barat dipasok ke daerah pedalaman melalui Anseong dan Juksan. Satu abad yang lalu, pasar Anseong memi-liki lebih dari 50 toko yang menjual barang dari kuningan, sehingga skala keseluruhan pasar di zaman itu dapat dengan mudah dite-bak. Janghowon juga dilewati oleh Sungai Cheongmi yang merupa-kan anak sungai dari Sungai Han, sementara walaupun jumlahnya terkesan tidak signifikan, banyak kapal berlayar mondar-mandir membawa garam dan udang asin di musim hujan dan keluar lagi menuju Seoul sarat dengan beras dan produk lokal lainnya.

Bahkan di musim kemarau ketika air sungai surut ada titik terakhir di mana kapal tetap dapat masuk dan keluar. Sekitar 20 kilometer di sepanjang Sungai Cheongmi ada dermaga Mokgye, yang merupakan perhentian terakhir untuk transportasi air di Sungai Han. Di masa lalu, dermaga Mokgye adalah tempat yang ramai oleh perahu layar yang datang dan pergi membawa garam, ikan kering, ikan asin dan kebutuhan sehari-hari dari pelabuhan

8 KOREANA Musim Panas 2015

Incheon. Dari sinilah barang-barang terdistribusi sampai pedala-man di seluruh bagian selatan Korea. Pasar Mokgye adalah pasar sementara yang dibuka sekitar tiga kali sebulan ketika kapal garam datang. Sekali dibuka, pasar akan tetap terbuka selama beberapa hari. Pekerja perahu dan kapal saja berjumlah ratusan, membuat jalan antara dermaga dan pasar Mokgye selalu ramai dan hiruk pikuk.

Beberapa pasar utama yang terletak pada titik-titik di mana jalur darat dan air bertemu adalah pasar Gurye di Provinsi Jeolla Selatan dan pasar Hadong di Provinsi Gyeongsang Selatan dengan Sungai Seomjin; Pasar Naju dan pasar Yeongsanpo dengan Sungai Yeongsan, baik di Jeolla Selatan; Pasar Ganggyeong dengan Su-ngai Geum di Chungcheong Selatan; dan pasar Gupo dengan Su-ngai Nakdong di Gyeongsang Selatan.

Pasar jenis lainnya adalah Woosijang atau pasar ternak. Peda-gang sapi akan membentuk kelompok lima sampai sepuluh orang pengurus sapi, masing-masing dengan sekitar lima ekor sapi. Tidak seperti pedagang lain yang berusaha melewati jalan pintas

ke pasar, kelompok ini akan menghindari jalan pintas dan seng-aja melewati jalan terjal saat mereka melakukan perjalanan dari satu pasar ke pasar berikutnya. Sebuah pasar barulah akan men-jadi besar saat pedagang sapi datang dan mendirikan kios-kios mereka. Melihat-lihat jualan di kios-kios sekitar kios sapi inilah kenikmatan mengunjungi pasar. Pasar ternak Janghowon selalu riuh dengan pedagang ternak dan perantara yang melakukan per-jalanan dari Yeongnam (Gyeongsang), melintasi Mungyeong dan berhenti di pasar Chungju. Di pasar ternak selalu ada tergantung periuk besi besar di atas api di mana sup daging sapi direbus. Uap putih dan bau gurih yang menyebar dari periuk mengundang sel-era mereka yang bergegas menembus fajar. Sebagian besar pasar ternak sekarang telah menghilang, tapi restoran-restoran yang menjual masakan menggunakan daging berupa daging panggang atau sup masih menggunakan nama Woosijang (Pasar Ternak) hingga sekarang, mengingatkan kita betapa sejarah bangga pada pasar ternak ini.

SENI & BUDAYA KOREA 9

Pada saat hari di mana pasar yang tiap lima hari sekali jualan buka, aku mengun-jungi Damyang. Sekarang memang tidak dapat ditemukan bekas tempat tersebut, tetapi hingga pertengahan tahun 80-an, tempat ini adalah pasar kerajinan bambu yang terbesar di negeri ini. Pada zaman itu tidak ada satupun peralatan rumah tangga yang tidak terbuat dari bambu. Saat pergi jalan-jalan, gimbab (nasi gulung Korea) yang ditaruh di tempat makan plastik akan cepat basi, sedangkan gimbab yang ditaruh di keranjang bambu akan tetap segar walaupun disim-pan dalam waktu lama. Ini dikarenakan bambu mempunyai fungsi sterilisasi dan bahannya yang bersifat dingin berfungsi mendinginkan makanan seperti layaknya kulkas. Dulu kalau pasar kerajinan bambu buka, orang dari segala penjuru negeri ini datang berbondong-bondong. Para pedagang yang ingin tiba tepat pukul 7 pagi saat pasar dibuka, sehari sebelumnya menginap di daerah dekat pasar dan ada juga yang datang dari subuh. Barang-barang kerajinan buatan penganyam yang terbaik selalu habis bersamaan dengan dibukanya pasar, karena itu persaingan sangat tinggi untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Kala itu, para pedagang yang membeli barang dalam jumlah besar menggunakan truk barang untuk membawa barang dagangan mereka, sehingga usaha transportasi pun sempat maju di Damyang. Sejak plastik muncul, pasar kerajinan bambupun menghilang tanpa jejak, seakan tidak pernah ada. Bambu dibagi menjadi bagian tipis seperti benang, kemudian disulam seperti menyulam kain menjadi keran-jang bambu yang besar dan kecil, sangatlah pas untuk menaruh barang-barang di dalamnya. ‘Chaesang’, ker-anjang sulam bambu yang diberi beragam warna sangatlah elegan. Seo Han-Kyu (1930 - ) pengrajin yang awal-nya menyulam tikar bambu saat menemukan hadiah pernikahan neneknya yang berupa Chaesang di gudang loteng dan kemudian memulai untuk memperbaikinya sekarang menjadi ‘Pengrajin Chaesang’, Warisan Buda-ya Tak-Benda Penting Nomor 53. Tetapi para pengrajin sendiri mengatakan bahwa masa depan barang-barang yang terbuat dari bambu tidak cerah. Keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan waktu dan usaha yang diperlukan untuk membuat-nya, dan juga tidak ada bantuan dari pemerintah untuk dapat mempertahankannya. Pengrajin Seo Han-Kyu, mendapatkan bantuan dana secara rutin, namun jumlahnya dibawah biaya hidup minimum untuk menghidu-pi keluarganya yang terdiri dari empat orang. Kim Young-Kwan, asisten pengajar pelestarian Chaesang den-gan wajah suram mengatakan “Alangkah baiknya jika pemerintah membantu penjualan dibandingkan dengan memberikan bantuan dana. Kami sibuk membuat barang, tidak sempat untuk memikirkan marketing ataupun mencari jalur penjualan. Jika pemerintah ambil bagian untuk menyediakan jalur guna menjangkau penjualan ke orang awam itu akan lebih baik daripada memberikan bantuan dana.”Pengrajin bambu Park Hyo-sook yang menjalankan ‘Kerajinan Jinsung’ di depan Museum Bambu, juga men-jalankan usaha bambu bersama dengan suaminya yang sejak umur 5 tahun telah menggeluti kerajinan bambu. Tetapi dia juga tidak berniat untuk menurunkan usaha ini ke anak-anaknya. “Buat apa menurunkan pekerjaan yang tidak ada masa depannya ke anak-anak. Kalau saya, ya lelah pun tidak apa-apa, tapi pekerjaan ini masa depannya juga tidak ada, bagaimana mungkin saya suruh mereka mewarisinya”. Melihat barang-barang keraji-nan bambu yang memberikan suasana sejuk ini seakan-akan melihat jejak pasar kerajinan bambu yang pernah ada, sangat indah, namun aku tidak sanggup menatapnya berlama-lama.

Cerita Pasar Kerajinan BamBu dari Orang-Orang yang tinggal Bersama POhOn BamBuKim Hyun-jin Penulis Lepas

1 Ppeong-twigi merupakan beras gembung dan biji-bijian lain yang dibuat da-lam mesin di pinggir jalan yang melahirkan letupan suara keras ketika dima-sak. Biji-bijian meletup ini merupakan camilan kuno yang sangat dicintai.

2 Seorang pria tua mem-bongkar penampi bambu anyamannya untuk dijual di pasar bambu di Damyang

1

2

10 KOREANA Musim Panas 2015

Saat pasar dibuka, barulah kita dapat mendengar kabar-kabar lain tentang dunia yang tidak muncul di televisi atau koran. Walaupun apa yang disebut sebagai ‘kabar’ itu sebatas tentang si Anu cedera karena traktor yang dikendarainya masuk ke petak sawah, atau tentang anak gadis si Anu yang sudah melahirkan padahal belum menikah. Kalau ditambah dengan tuak, maka percakapan akan berlanjut pada situasi negara yang memunculkan komentar-komentar sengit menjadikan pasar sebagai arena yang mencerminkan keadaan masyarakat.

tempat Berkumpulnya Massa dan Menyerukan Kemerde-kaan

Meskipun pasar tradisional terus kehilangan pentingnya sebagai tempat untuk membeli dan menjual barang, namun fungsi seba-gai tempat berkumpulnya orang-orang dari desa sekitar pada hari dan tempat yang sama masih saja bertahan. Selain pada musim bertani, hari pasar dibuka masih merupakan hari besar bagi orang-orang di desa untuk berkunjung dan melihat-lihat ke pasar seka-lipun tidak ada yang diperjualbelikan. Sampai-sampai ada pepatah Korea yang mengatakan “kalau ada yang pergi ke pasar, dengan menjinjing karungpun pasti akan turut serta”.

Saat pasar dibuka, barulah kita dapat mendengar kabar-kabar lain tentang dunia yang tidak muncul di televisi atau koran. Walau-pun apa yang disebut sebagai ‘kabar’ itu sebatas tentang si Anu luka karena traktor yang dikendarainya masuk ke petak sawah, atau tentang anak gadis si Anu yang sudah melahirkan padahal belum menikah. Kalau ditambah dengan tuak, maka percakapan akan berlanjut pada situasi negara yang memunculkan komentar-komentar sengit menjadikan pasar sebagai arena yang mencer-minkan keadaan masyarakat.

Pasar Malmok, terletakdi antara Jeongeup dan Sintaein di Provinsi Jeolla Selatan, terkenal sebagai situs pemberontakan pada tahun 1894 yang dipimpin oleh Jeon Bong-jun (1855-1895) dengan petani setempat yang telah menderita penindasan di bawah pejabat pemerintah yang korupsi. Pemberontakan ini, yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Petani Donghak, yang walau-pun berakhir dengan kegagalan dan meninggalkan banyak yang belum terselesaikan, tapi rakyat Korea mengingatnya sebagai sebuah peristiwa penting dalam munculnya penuh gejolak bangsa dalam sejarah modern.

Pasar Aunae di Cheonan (atau disebut juga Byeongcheon) adalah salah satu situs bersejarah di mana setelah Deklarasi Kemerdekaan di Seoul pada tanggal 1 Maret 1919, banyak orang berkumpul meneriakkan kemerdekaan dari penjajahan Jepang. Polisi Jepang mencoba untuk memecah pertemuan dengan tem-bakan dan banyak orang tewas. Yu Gwan-sun (1902-1920), seorang siswi lokal yang berpartisipasi dalam reli 1 Maret di Seoul dan memulai protes di Cheonan, ditangkap, disiksa, dan meninggal di penjara. Sampai sekarang ia dihormati sebagai Joan of Arc dari

Korea dan sebagai pahlawan perjuangan bangsa Korea untuk kemerdekaan dari Jepang.

Pasar juga adalah tempat dimainnkannya permainan tradisional rakyat jelata. Ketika pasar baru dibuka atau pindah ke lokasi lain, berita itu diiklankan melalui lagu, tarian, dan pertunjukan yang di-sebut ‘nanjangpan’, kata yang umum digunakan saat ini untuk me-rujuk kepada ‘gejolak’ atau ‘keributan’. Berbagai permainan rakyat seperti gulat, tarik-menarik perang, yut (permainan tradisional) serta pertunjukan oleh penghibur keliling berlangsung di pasar untuk menarik perhatian banyak penonton.

Karena irigasi dan pembukaan jalan raya, rute berlayar tua sekarang semua tertutup, sementara modernisasi dan stan-dar sanitasi telah memisahkan pasar ternak dari pasar lain pada umumnya. Pertemuan dan demonstrasi juga telah pindah dari pasar ke pusat kota dan lapangan dari kantor-kantor pemerintah, sementara hiburan seperti akrobat dan tarian topeng kini dipentas-kan di teater yang ditata apik dengan penonton yang menyambut-nya dengan penuh hormat.

Sejalan dengan permintaan pelanggan, pasar tradisional telah meningkat pesat dalam hal kebersihan dan ketersediaan parkir. Namun, berbagai hal yang menyenangkan mata, telinga, dan lidah telah menurun, sementara volume dan kualitas barang tidak se-perti dulu. Kalau melihat masih ada pasar yang terletak di dekat lokasi wisata atau yang menjual hasil produk lokal, tampaknya jalan untuk mempertahankan pasar tradisional masih ada.

Wanita-wanita tua menjinjing keranjang sarat dengan sayuran liar dari gunung di musim semi atau hasil tani dari kebun mereka di musim gugur dan mengambil tempat mereka di sudut pasar, berjongkok berdampingan sambil menggelar barang dagang-an mereka. Kesenangan kecil menyaksikan orang-orang yang mondar-mandir, dan mungkin juga untuk mendapatkan sekadar uang saku, serta kesegaran sejenak dalam kejenuhan pengemba-raan dalam kehidupan bagi para nenek itupun akan hilang suatu hari. Bagaimanakah cara seorang pengembara muda yang masih berjalan lambat sambil mencicipi kebebasan mengembara dapat terus beradu pandang dengan para pendahulunya yang menyata-kan bahwa semua itu bukanlah apa-apa melalui sebuah lontaran lelucon dan pandangan dalam nan bijak?

SENI & BUDAYA KOREA 11

Seorang perempuan tua menjual sayuran di Pasar Jincheon, peman-dangan umum di musim semi, ketika perempuan membawanya ke ladang dan pegunungan di dekatnya untuk meng-umpulkan sayuran yang akan dijualnya di pasar.

12 KOREANA Musim Panas 2015

Pesona Pasar Khusus TradisionalPasar tradisional yang memperdagangkan barang khusus merupakan tempat yang mengasyikkan dalam suka

dan duka bagi masyarakat umum dan menjadi kisah yang disampaikan kepada semua orang di setiap waktu dan

tempat. Bagi mereka yang memimpikan perjalanan bonafide ke jantung wilayah, pasar tradisional merupakan

"tempat" yang mengantarkan orang memasuki ruang dan waktu yang dihuni orang-orang sederhana.

lee yun-jeongWartawan, Redaksi Fitur, The Kyunghyang Shinmun Shim Byung-wooFotografer

FITUR KHUSUS 2 Pasar Tradisional, Sejarah dan Perkembangannya

SENI & BUDAYA KOREA 13

Pasar Kyungdong, pasar obat tradisional di Seoul, mengingatkan kembali berabad-abad lalu pada awal dan sejarah dalam beberapa dekade kepada ukuran dan hamparan yang sekarang, meliputi sekitar 1.000 toko dan klinik. Di sini sangat mungkin membeli hampir semua bahan yang diperlu-kan dalam pengobatan tradisional Korea.

Sayang, mereka mengatakan kelabang sangat baik agar punggung kembali sehat. Mari kita pergi ke pasar dan membelinya beberapa.” Tiga puluh tahun

yang lalu punggung paman saya terluka parah saat mem-perbaiki pagar yang rusak. Bahkan, setelah dirawat di rumah sakit, dia masih tidak bisa bangun dari tempat tidur. Nenek saya menjelajahi kota mencari obat-obatan yang baik yang bisa menyembuhkan punggung sesuai dengan kata orang. Saya hanya memperoleh sepuluh ketika nenek saya kali pertama mengajak saya ke Pasar Kyungdong.

Pasar obat-obatan di SeoulPasar adalah tempat yang ramai. Seperti pasar lainnya

ada sarang laba-laba dari toko yang tak terhitung jumlah-nya besar dan kecil dengan banyaknya barang untuk dijual. Area pusat dibangun sebagai pasar obat-obatan, Yangnyeong-si. Senyawa yang menakjubkan dari bahan-bahan jamu berbagai jenis, bentuk dan ukuran yang disusun berdasar-kan klasifikasi farmakologis yang didapatkan kembali dari tradisi kuno obat-obatan. Di antara tumpukan bahan-bahan di gudang, nenek saya berhasil menemukan kelabang ke-ring. Dengan kaki berbulu yang tak terhitung jumlahnya, kelabang telah dikeringkan persis seperti mereka tam-pak hidup, dan pedagang obat mengambil pilihan nenek dan hati-hati melembutkannya di dalam lumpang. Kemu-dian kelabang berubah menjadi bubuk, yang ditempatkan di dalam kapsul. Tak ada yang tahu apakah itu merupakan perwujudan kasih sayang nenek atau dampak dari kela-bang, namun beberapa bulan kemudian paman saya sehat dan kembali bekerja.

Didorong oleh kenangan lama, saya melakukan per-jalanan kembali ke Pasar Kyungdong. Selama beberapa dekade terakhir, pasar tradisional telah perlahan-lahan sepi. Toko-toko besar dan supermarket telah tumbuh di setiap lingkungan dan melalui belanja online, Anda bisa mendapatkan apa pun yang langsung dikirim ke pintu Anda dengan hanya klik mouse. Saya pun bertanya-tanya bagaimana Pasar Kyungdong itu mampu bertahan.

Dengan naik Subway Jalur No 1, saya turun di Stasiun Jegi di timur laut Seoul. Segera setelah saya melangkah keluar ke jalan, bau yang penuh aroma menggelitik hidung saya. Sebuah gerbang tradisional yang besar berpapan nama “Seoul Yangnyeongsi” (Pasar Obat-obatan Seoul)

14 KOREANA Musim Panas 2015

menandai pintu masuk ke pasar jamu terbesar di Korea. Daerah pasar tradisional di sini mencakup sekitar 10 kilometer persegi, membentang dari Jegi-dong ke Yongdu-dong dan Jeonnong-dong saling berdekatan di Distrik Dongdaemun, dan meliputi Pasar Obat-obatan Seoul, Pasar Kyungdong lama dan baru, Gedung Kyungdong, dan Menara Hansol Donguibogam.

Sejarah pasar obat-obatan tradisional dimulai sejak peme-rintahan Raja Hyojong (1649-1659) dari Dinasti Joseon. Pasar itu merupakan pasar musiman di bawah kendali kerajaan, dibuka pada musim semi dan musim gugur, memperdagangkan jamu dari seluruh pelosok negeri. Lebih dari sekadar pasar untuk bahan obat-obatan, juga berfungsi sebagai salah satu dari empat lembaga yang menyediakan bantuan dan layanan medis yang didirikan di bawah perintah raja. Makanan dan pakaian dibagikan kepada me-reka yang lapar dan miskin serta perawatan medis diberikan bagi yang sakit. Pusat bantuan lainnya terletak berada di luar gerbang timur kota (sekarang Anam-dong) dan Hongje-dong, tapi hanya situs Yangnyeongsi yang telah dikonfirmasi.

Menjelang akhir pendudukan kolonial Jepang (1910-1945), bah-kan, pasar obat-obatan dalam keadaan berbahaya karena kehil-angan fungsinya. Untuk mencegah penyebaran gerakan kemerde-kaan, Jepang menutup pasar itu sebab menjadi forum untuk pertu-karan secara aktif orang, barang dan informasi. Pada tahun 1960, pasar secara alami hidup kembali ketika pedagang obat mulai ber-kumpul lagi di daerah antara Stasiun Cheongnyangni dan terminal bus antarkota Majang-dong. Sekarang merupakan pusat distribusi untuk dua pertiga semua bahan obat tradisional yang diperdagang-kan di Korea.

Ketika saya kembali ke pasar untuk pertama kalinya setelah 30 tahun, saya menemukan keadaan seperti itu menjadi terke-nal. Penuh dengan susunan yang menarik dari bahan-bahan, dari kenangan kelabang kering yang telah dibeli nenek saya, hingga katak betung, kupasan kastanye, berry dan kulit ash berduri, dan berbagai bagian dari bunga mawar malam. “Bisnis tidak seba-gus masa lalu,” kata salah satu pedagang. “Tapi ini merupakan pasar obat terbesar di negara ini. Anda boleh mengatakan bahwa semua bahan obat terbaik dijual di sini.” Ada sebuah museum yang sangat baik yang memperlihatkan sejarah pengobatan tra-disional yang terletak di ruang bawah tanah Menara Donguibogam, dan gang-gang kecil seperti labirin menuju ke pasar umum yang menjual buah-buahan dan sayuran, ikan dan kebutuhan sehari-hari. Di Pasar Kyungdong tubuh terlihat tumbuh perkasa hanya dari menghirup aroma bahan obat, sementara hati bergembira menikmati pemandangan warna-warni.

Hilangnya Pasar KhususSeperti halnya Pasar Kyungdong beberapa pasar tradisional

yang lain mempertahankan kejayaan masa lalu mereka, tetapi banyak pula yang telah menghilang, tinggal kenangan sejarah. Salah satu yang hilang ialah pasar untuk tikar bermotif bunga,

yang disebut hwamunseok, yang lenyap pada 1990-an. Hwamun-seok adalah perpaduan hwa untuk “bunga” mun untuk “pola,” dan seok untuk “tikar.” Yang sangat baik disebut tikar anyaman dibuat di Pulau Ganghwa pada periode pertengahan Goryeo dan berkem-bang menjadi industri kerajinan lokal yang besar. Selama 39 tahun pulau tersebut menjadi penghasil kapital setelah invasi Mongol dari Goryeo di abad ke-13, tikar kualitas tertinggi diproduksi untuk rumah tangga kerajaan dan pejabat tinggi

Dalam upaya menemukan jejak pasar lama, saya menuju ke Pulau Ganghwa. Saya mengunjungi Dangsan-ri, yang telah berubah menjadi sebuah desa bertema hwamunseok, dan Yango-ri, di mana ada ruang pameran yang didedikasikan untuk tikar bermotif bunga. Kurang lebih 130 tahun yang lalu, pengrajin ber-nama Han Chung-gyo di desa Yango-ri ditugasi oleh istana untuk mengembangkan berbagai desain tikar anyaman seperti bebek Mandarin, lanskap, aksara wan (卍), dan berbagai motif lukisan rakyat. Pada periode pertengahan pemerintahan Joseon, desain yang paling populer untuk tikar ialah naga, harimau, dan sepu-luh simbol untuk usia panjang. Di rumah-rumah biasa, tikar tanpa dekorasi polos yang biasa digunakan.

Sampai dengan tahun 1980-an, 49.000 tikar anyaman dengan dekorasi meriah diproduksi setiap tahun di Pulau Ganghwa. Setiap hari, 400 rumah tangga, atau sepertiga dari semua keluarga petani di pulau itu, terlibat dalam pembuatan tikar.

Memasuki tahun 1990-an, bagaimanapun, jumlah rumah tangga yang terus berlatih kerajinan tradisional terasa menurun. “Lebih mudah mencari nafkah dengan mendapatkan pekerjaan yang lang-sung mendapatkan upah di kota daripada dengan membuat tikar ini, sehingga orang berhenti membuat tikar. Pada masa lalu pasar hwamunseok dibuka sebagai bagian dari pasar lima hari Ganghwa tetapi angka penjualan terus turun, pasar pun lenyap sama seka-li, “jelas Goh Mi-Gyeong, yang mengoperasikan pusat pelatihan pembuatan hwamunseok- di Dangsan-ri. Saat ini, hanya sekitar 10 rumah tangga melanjutkan tradisi pembuatan tikar bermotif bunga.

Perdagangan”pasar tema” tradisional di tempat itu mengalami pasang surut. Kain rami dari desa Juggok di Jeonju, masih diang-gap sebagai produk mewah seni kerajinan, dibuat untuk diper-dagangkan di pasar lima hari Jeonju. Namun sekarang ini, hanya dapat ditemukan di ruang pameran di Juggok. Pengrajin desa menerima pesanan pribadi dan berhubungan dengan pelang-gan secara langsung. Sejarah kain rami tenun di Juggok kembali pada1590 dan menjadi tradisi terus selama empat abad. Proses keseluruhan yang melelahkan, dari membuat benang dari batang rami untuk tenun kain dan mencelupnya itu dikerjakan oleh para perempuan desa.

Para perempuan tua, beberapa berusia lebih dari 80 tahun, yakin bahwa mereka tidak akan mampu bekerja keras dan mele-lahkan demi keturunan mereka. Saat ia dengan lembut merapikan kain halus, seseorang berkata, “Ketika kami mengenakan paka-

SENI & BUDAYA KOREA 15

Sejarah pasar obat-obatan tradisional dimulai sejak pemerintahan Raja Hyojong (1649-1659) dari Dinasti Joseon. Pasar itu merupakan pasar musiman di bawah kendali kerajaan, dibuka pada musim semi dan musim gugur, memperdagangkan jamu dari seluruh pelosok negeri. Lebih dari sekadar pasar untuk bahan obat-obatan, juga berfungsi sebagai salah satu dari empat lembaga yang menyediakan bantuan dan layanan medis yang didirikan di bawah perintah raja.

1 Sejak tahun 1980-an, toko barang-barang antik yang diperlukan tersebar di berba-gai bagian dari Seoul mulai dikumpulkan di Dapsimni, membentuk pasar seni dan barang antik terdapat sekitar 140 toko.

2 Lorong toko buku di Bosu-dong Busan pertama kali muncul selama Perang Korea dan kini menjadi tempat budaya dan objek wisata utama dari kota metropolis terbesar kedua Korea. Berbagai acara budaya diadakan di sini setiap Oktober.

2

1

16 KOREANA Musim Panas 2015

1

SENI & BUDAYA KOREA 17

ian kepada cucu laki-laki dan cucu perempuan kami dengan pakai-an rami, mereka semua terlihat bahagia. Karena itulah sulit untuk melepaskan pekerjaan ini, meskipun sangat sulit. Kain rami sangat indah sebagai bahan pakaian. “

Pasar ternak pun mengalami nasib serupa. Sebuah survei pada akhir 1918 menunjukkan bahwa terdapat 655 pasar ternak di seluruh negeri. Tapi sekarang semua pasar tersebut harus me-nyusut menjadi tidak berfungsi atau hilang sama sekali, sehingga sulit menemukan pasar khusus ternak di mana saja. Pasar ternak Cheongdo, pernah terkenal secara nasional, sebagai bagian dari pasar lima hari Donggok. Pasar Donggok pernah menjadi pusat komersial utama Distrik Cheongdo di provinsi selatan Gyeongsang Utara, dan berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dibu-ka pada tahun 1959, operasi pasar ternak dipindahkan ke Badan Peternakan Cheongdo pada tahun 1998, tetapi ketika memakai sistem lelang elektronik pada tahun 2010 gaya pasar lama pun menghilang. Di lorong sebelah kiri yang kosong, restoran yang khusus menjual sup daging sapi dan beras, dan restoran-restoran lain tetap sebagai kenangan akan pasar ternak Dogok dan pasar daging Majang-dong pada masa keemasan mereka.

tema Pasar Baru Pascaperang KoreaPasar khusus tidak seluruhnya mengalami kemunduran. Se-

telah Perang Korea, pasar baru mulai muncul. Busan merupakan tempat sebagian besar warga Korea Selatan mengungsi selama perang. Pengungsi dari seluruh negeri melarikan diri ke tem-pat yang relatif aman dari kota, berduyun-duyun menuju pantai di ujung tenggara negara. Pengiriman kebutuhan militer untuk Angkatan Darat AS dan barang-barang melalui Pelabuhan Busan menciptakan perdagangan yang ramai. Di daerah Nampo-dong muncul yang disebut Pasar Kukje (“pasar internasional”), sebuah pasar yang sangat terbuka tempat segala sesuatu dari barang-ba-rang elektronik hingga pakaian dapat ditemukan.

Sebuah pasar ikan berdiri di mulut Sungai Kecil Bosu di Chung-mu-dong. Daerah ini dikenal karena batu kerikil yang sangat banyak yang disebut jagal, dan pasar akhirnya dikenal seba-gai Pasar Jagalchi. Meskipun pasar itu kini telah berubah dengan fasilitas modern, dan meskipun pandangan dipenuhi para perempuan penjual ikan, “ajime,” mengenakan celana baggy dan celemek berdiri di depan warung mereka sam-bil berteriak menawarkan dagangan mereka merupa-kan kebiasaan dari masa lalu, Bagaimanapun juga Pasar Ja-

1 Pasar ternak dioperasikan oleh Badan Peternakan Hapcheon Provinsi Gyeongsang Selatan. Pasar ternak tradisional, fitur yang berbeda dengan pasar lima hari regional, segalanya ada namun pelan-pelan menghilang setelah pengenalan sistem manajemen modern dan lelang elektronik.

2 Pasar hwamunseok di Pulau Ganghwa. Terbuat dari potongan yang ditenun dan dicelup dengan cepat, tikar ini telah lama menjadi bagian hidup orang Korea yang dicintai, bukan hanya untuk kecan-tikan mereka, tetapi sebagai cara untuk menciptakan suasana sejuk di musim panas Korea yang panas dan lembab.

galchi tetap menjadi simbol kota Busan.Di dekat Bosu-dong terdapat toko buku tua yang terkenal. Pasar

ini mulai terbentuk selama perang ketika orang mulai membeli dan menjual buku bekas dari kotak apel yang diletakkan di dekat Pasar Kukje. Bosu-dong sekarang ini, dilengkapi dengan kafe buku kecil yang nyaman dan grafiti berwarna-warni, merupakan tempat berfoto yang terkenal.

Lalu ada pasar yang melawan arus zaman. Pasar seni dan barang antik di Dapsimni, Seoul, tetap tidak berubah sejak zaman berdirinya di tahun 1980-an. Hanya beberapa langkah dari jalan utama, setelah keluar dari pintu 1 atau 2 dari Stasiun Dapsimni di Jalur No 5, orang akan disambut dengan pemandangan yang biasanya ditemukan di museum, termasuk topi tradisional bulu kuda hitam (disebut gat) dari Dinasti Joseon, keramik, kerajinan kayu, barang-barang rakyat, lukisan-lukisan tua dan kaligrafi, dan barang antik membuat perjalanan mereka ke Korea seakan dari ikut lelang di luar negeri. Ketika mencari suasana kuno banyak orang menuju ke Insa-dong, tapi siapapun yang tertarik dalam hal-hal yang benar-benar tua harus menuju Dampsimni. Di tempat ini berkumpul kurang lebih 140 dealer barang bekas, yang digunakan untuk lokasi Cheonggyecheon, Ahyeon-dong, Chungmu-ro, dan Hwanghak-dong pada tahun 1980, menurut hitungan 15 persen dari pedagang antik di negara ini.

Karya seni tua pada umumnya disebut barang antik, atau gold-ongpum di Korea. “Orang-orang mengatakan goldong (Gudong dalam bahasa Cina) mengacu pada bahan makanan Cina yang digunakan untuk membuat sup kental dari tulang,” kata Cheon Se-yeoung, sekretaris jenderal Badan Barang-barang Antik Dapsimni Seoul.” Juga dikatakan bahwa gudong adalah bahasa slang Cina kuno untuk “tua dan berakhir.” Barang-barang tua yang tak layak dipakai lagi dilahirkan kembali sebagai “barang antik”; dalam per-jalanan waktu mereka semakin sulit menemukan dan memaknai sejarah seni. Berjalan di sekitar toko-toko antik Dapsimni seperti berjalan kembali dalam waktu lampau.

2

18 KOREANA Musim Panas 2015

1 2

Pasar namdaemunPasar Naemdaemun (“Pasar Gerbang Selatan”) pertama kali

dibangun sekitar 1414 pada awal pemerintahan Dinasti Joseon di lokasi sekarang ini di dekat gerbang utama tembok kota yang menge-lilingi ibu kota. Kemudian pada tahun 1911, pada awal pemerintahan kolonial Jepang, pejabat pro-Jepang Song Byeong-jun (1858-1925) mendirikan Badan Pertanian Korea, yang merupakan cikal bakal pasar dalam bentuknya yang sekarang. Pasar mengalami berba-gai perubahan sesudahnya, kepemilikannya dipindahkan ke tangan Jepang pada tahun 1922 dan namanya berubah menjadi Pasar Pusat Produksi pada tahun 1936 di bawah kekuasaan pemerintah umum Jepang. Pada waktu itu, tidak banyak pedagang Korea di pasar karena monopoli oleh pedagang Jepang yang sewenang-wenang. Beberapa yang tersisa akhirnya diusir ke daerah sekitar Jembatan Yeomcheon (dekat Stasiun Seoul sekarang ini). Pedagang Korea pindah kembali ketika Jepang harus pergi karena kemerdekaan Korea pada tahun 1945. Pasar berkembang tapi kemudian Perang Korea pecah pada tahun 1950 dan semua perdagangan berhenti. Pada dua peristiwa, yaitu pada tahun 1968 dan 1975, kebakaran besar hampir melenyap-kan bagian tengah pasar.

Saat ini Pasar Namdaemun meliputi area seluas 42.225 meter persegi dan terdiri atas 58 bangunan dan 9.265 toko. Tidak mudah untuk mengatakan barang-barang apa saja yang dijual di sana sebab yang akan ditemukan di sana sangat banyak. Ada toko pakaian yang khusus untuk anak-anak, wanita dan pakaian pria, alat dapur, elek-tronik, aksesoris, kesenian rakyat dan kerajinan, barang-barang impor,

kacamata dan kamera. Pasar tersebut sering dipakai lelucon “memiliki segala sesuatu kecuali apa yang tidak memiliki.”

Setelah memanjakan mata dengan melihat-lihat berbagai barang yang dijual, saatnya memuaskan perut. Makanan yang paling terke-nal yang selalu diburu di pasar, selalu ramai dikunjungi pembeli Korea dan turis asing di malam hari, ialah tempat yang tersohor menjual gal-chi jorim (ikan layur dan lobak direbus dalam saus panas). Ketika salah satu restoran di pasar pertama kali menawarkan hidangan ini 30 tahun yang lalu itu memperlihatkan sukses besar, sehingga restoran lain mulai mengikutinya sampai seluruh gang di tempat itu dikenal sebagai “gang galchi jorim.” Tempat ini sangat menarik seolah tak ada habisnya orang yang ingin menikmati kekhasan rasa khusus ini.

Terletak di tengah-tengah Seoul, dekat Myeong-dong dan Lotte Department Store, Pasar Namdaemun yang memiliki sejarah panjang dan menarik itu diperkirakan akan tetap menjadi salah satu destinasi yang paling dicari oleh wisatawan di masa depan.

Pasar DongdaemunUntuk mengikuti mode harus ada anggaran lebih jika mengun-

jungi Pasar Dongdaemun (“Pasar Gerbang Timur”). Ini bukan pasar ritel biasa. Outlet grosir pakaian dibuka pada pukul 8 sore dan tutup menjelang fajar. Sekitar tengah malam, Anda dapat melihat pedagang dari wilayah lain negara ini melakukan tawar-menawar dengan mem-bawa tas besar penuh pakaian tergantung di bahu mereka, sementara bus yang membawa para pedagang berjajar di jalan menunggu untuk

Pasar di seoul: lebih menyenangkan daripada yang anda tahuKim Hyun-jin Penulis Lepas

SENI & BUDAYA KOREA 19

1 Sebuah toko hanbok di Pasar Namdaemun. Gaun tradisional Korea telah tampak perubahan warna dan desain dari masa ke masa.

2 Kota Busana Dongdaemun merupakan kawasan ritel dan grosir pakaian yang sangat besar dengan lebih dari 30.000 toko menjadi daya tarik wisata interna-sional yang terkenal.

3 Kedai makanan di Pasar Gwangjang terkenal den-gan sajian beragam ma-kanan jalanan yang sangat disenangi oleh masyarakat Korea.

4 Pasar Bangsan khusus menjual bahan keraji-nan DIY. Popularitas lilin beraroma menyebabkan meningkatnya jumlah toko yang menjual bahan pembuatan lilin.3 4

membawa mereka pulang sebelum istirahat siang. Adegan tersebut seperti memperlihatkan bahwa pasar ini satu-satunya bagian dari kota yang masih terjaga. Pasar ini terkenal bukan hanya oleh pengecer pa-kaian di seluruh negeri tetapi juga menarik para pembeli busana dan wisatawan dari Asia Tenggara, Amerika Tengah, Eropa, Rusia, dan ne-gara-negara lainnya.

Pasar Dongdaemun saat ini terdiri atas daerah pasar tradisional yang membentang dari Jongno 4-ga dan Cheonggye 4-ga ke pintu gerbang timur ibu kota tua, Dongdaemun, dan sekelompok kompleks perbelanjaan modern yang besar. Meskipun disebut Pasar Baeogae selama masa pendudukan Jepang, 1910-1945, pasar ini telah terdaf-tar atas nama Pasar Dongdaemun pada tahun 1905 dan pasar modern pertama di Korea. Pada tahun 1996 sejumlah kompleks perbelanjaan busana besar dibuka dan dibangun di daerah ini yang kemudian dike-nal sebagai Dongdaemun Shopping Town, atau Dongdaemun Fashion Town. Tidak hanya pakaian yang dijual di sini tapi semua bahan yang diperlukan untuk membuat pakaian, termasuk segala macam kain, hiasan dan aksesori. Di sini juga tempat para desainer muda bekerja dengan penuh gairah dan memelihara impian mereka maju ke kancah fashion global.

Pasar gwangjangNama resminya ialah Pasar Tradisional Gwangjang Jongno, pasar ini

dimiliki dan dioperasikan oleh Badan Gwangjang, yang didirikan pada tahun 1904 dan dapat dianggap perusahaan tertua di Korea. Nama itu berasal dari lokasi pasar di Cheonggye 3-ga sampai 4-ga, antara dua jembatan, Jembatan Gwang dan Jembatan Jang. Selain terkenal untuk produk pakaian, Pasar Gwangjang saat ini memiliki reputasi di bidang makanan. Beberapa sajian paling populer adalah pancake kacang hijau (bindaetteok), mie, tumis daging dalam adonan, daging sapi tartare,

ikan rebus pedas, dan Mayak Gimbap (gulungan nasi yang mencandui) terkenal membuat kecanduan, yang selalu dikerumuni pembeli dan wisatawan sepanjang minggu. Kunjungilah pasar ini untuk menikmati rasa makanan yang dinikmati oleh warga Korea biasa. Jangan lam-bungkann harapan Anda terlalu tinggi dan itu akan menjadi pengala-man yang menyenangkan.

Pasar BangsanTerletak di pusat tertua kota Seoul, tepat di seberang Sungai Kecil

Cheonggye dari Pasar Gwangjang, pasar ini menjual segala sesuatu yang diperlukan untuk membuat roti, alat DIY dan bahan, serta pem-bungkus dan kemasan bahan. Juga menawarkan bagi penggemar roti rumahan segala macam bahan kue dan harganya lebih murah daripada di tempat lain sehingga mereka pulang dengan kedua tangan penuh dan mimpi manis ada di kepala mereka. Pada kesempatan seperti Hari Natal dan Valentine suasana pasar yang biasanya menjemukan tiba-tiba berubah ramai karena kedatangan banyak siswi berseragam seko-lah dengan semangat tinggi dan para perempuan muda. Pasar ini juga terkenal menjual bahan yang dibutuhkan untuk membuat lilin wangi, yang saat ini sangat populer di kalangan wanita muda.

Berbagai variasi tas, kotak dan kertas yang digunakan untuk mem-bungkus dan membawa makanan juga datang dari pasar ini. Berdeka-tan dengan Eulji-ro merupakan alasan berkembangnya secara subur industri percetakan dan toko yang mengkhususkan diri dalam pen-jualan bahan-bahan percetakan yang ditemukan di pasar. Selain men-jual bahan kemasan, toko di sini menghasilkan cetakan bahan bisnis, semua jenis plakat dan penjualan bahan promosi, bagaikan tongkat sihir. Berbeda dengan pasar tema lain, Pasar Bangsan lebih banyak melayani pengecer daripada masyarakat umum. Tutup pukul 06:00 sore.

20 KOREANA Musim Panas 2015

Berikut adalah cuplikan cerpen “Ketika Buckwheat

Berkembang” oleh lee Hyo-seok (1907-1942), yang

menggambarkan kehidupan pedagang desa. cerpen ini

diambil dari “Kehidupan yang Sudah Jadi: fiksi Korea

Modern dari Maestro”, yang dipilih dan diterjemahkan

oleh Kim chong-un dan Bruce fulton, dan diterbitkan

oleh the University of Hawaii Press, Honolulu, pada 1998.

Setiap pedagang yang berkeliling di pasar pedesaan mema-hami bahwa bisnis tidak pernah menguntungkan di musim panas. Dan pada hari-hari tertentu, pasar di Bongpyeong

sudah sepi, meskipun matahari masih tinggi di langit; panasnya, merembes ke bawah tenda kios penjaja, sudah mampu mem-bakar punggung Anda. Sebagian besar penduduk desa sudah pulang, dan Anda tidak bisa tetap buka selamanya hanya untuk melakukan bisnis dengan buruh tani yang akan senang menukar seikat kayu bakar dengan sebotol minyak tanah atau ikan. Kawan-an lalat telah datang mengganggu, dan anak-anak setempat pun menjadi pengganggu bagaikan serangga.

“Haruskah kita menyebutnya ini sebagai keberuntungan?" Heo Saengwon berspekulasi, seorang pria kidal dengan wajah bopeng, kepada Cho Seondal, kawannya seorang pedagang kelon-tong.

“Terdengarnya bagus untukku. Kami belum pernah melaku-kan dengan baik di Bongpyeong ini. Kita harus membuat mem-bundelnya besok di Daehwa.”

“Dan kita harus berjalan sepanjang malam untuk sampai ke sana,” kata Heo.

“Aku tidak keberatan - kita memiliki bulan untuk menerangi jalan.”

Cho menghitung penghasilan hari itu, membiarkan koin ber-denting bersama-sama. Heo sepintas mengamati, lalu mulai menggulung tenda mereka dan menyingkirkan barang-barang yang telah digelar. gulungan kain katun dan bundel kain sutra mengisi dua keranjang anyaman sampai penuh. Potongan kain berserakan di tikar yang tergelar di tanah.

Kios-kios pedagang lainnya nyaris tutup, dan beberapa kelom-pok sudah pergi untuk beristirahat dan meninggalkan kota. Para penjual ikan, tukang pateri, penjual manisan, dan penjaja jahe - seluruhnya pergi. Besok merupakan hari pasaran di Jinbu dan Daehwa, dan banyak cara Anda pergi ke sana, Anda harus men-empuh lima belas atau dua puluh mil sepanjang malam untuk sampai ke sana. Tapi di Bongpyeong ini halaman pasar terlihat berantakan tidak teratur setelah pertemuan keluarga, dan Anda bisa mendengar pertengkaran pecah di kedai minum. Sumpah serapah para pemabuk terdengar bersama-sama dengan suara lengkingan perempuan mengoyak udara.

Dalam dua dasawarsa Heo telah menjajakan barang-barang kelontong di pasar pedesaan, ia jarang melewatkan Bongpyeong dalam perjalanannya. Dia kadang-kadang pergi ke Chungju, Jecheon, dan daerah tetangga, dan kadang-kadang berkeliaran lebih jauh ke wilayah Gyeongsang. Sebaliknya, kecuali ia pergi ke tempat seperti Gangneung untuk membeli persediaan barang, ia membatasi putaran perjalanannya untuk pergi ke Pyeongchang. Biasa berlangsung lebih dari satu bulan, ia menapaki satu kota ke kota berikutnya. Dia bangga bercerita kepada orang lain bahwa Cheongju merupakan kampung halamannya, tapi tampaknya ia tidak pernah pergi ke sana. Bagi Heo, tempat tinggal yang manis ialah panorama indah sepanjang jalan yang membawanya dari satu pasar kota ke pasar kota berikutnya. Ketika akhirnya ia mendekati salah satu dari kota-kota itu setelah perjalanan mele-lahkan hampir setengah hari, keledai yang kecapekan meringkik bahagia. Khususnya, ketika mereka tiba di ambang senja, lampu berkedip-kedip di kota – walaupun peristiwa itu sudah sangat

Perjalanan Pedagang dari Pasar ke Pasar

KetiKa Buckwheat BerKemBang

SENI & BUDAYA KOREA 21

diakrabi sekarang – selalu saja jantung Heo berdebar cepat.Heo tumbuh menjadi pemuda hemat dan telah menyisihkan

sedikit uang. Namun kemudian satu tahun selama All Souls’ Festi-val ia berfoya-foya dan berjudi, dan dalam tiga hari ia hamburkan semua tabungannya. Hanya kecintaannya yang hebat ter-hadap ekstrim keledai telah menahannya agar tidak menjual hewan tersebut. Pada akhirnya, ia tidak mempunyai pilihan lagi selain kembali ke titik awal dan mulai melakukan perjalanan dari pasar kota lagi. Sungguh beruntung aku tidak menjualmu, ia berkata sambil bercucuran air mata, membelai punggung keledai karena mereka harus pergi meninggalkan kota. Dia telah berutang, dan sekarang harus menabung untuk keluar dari masalah. Dan de-ngan demikian ia mulai dari keberadaan yang kecil saat berang-kat dari satu pasar ke pasar berikutnya.

Dalam rangkaian hidup borosnya, Heo tidak pernah berhasil menaklukkan seorang wanita. Dingin, makhluk tak berperasaan - mereka tidak pedulikan aku, pikirnya dengan sedih. Satu-satunya teman setia ialah keledai.

Hal ini bisa saja terjadi, ada satu perselingkuhan, dan dia tidak akan pernah melupakannya. Perselingkuhannya yang pertama dan terakhir - itu sebuah hubungan yang paling misterius. Hal itu terjadi ketika ia masih muda, ketika ia mulai menetap di pasar Bongpyeong, dan setiap kali dia ingat itu ia merasa bahwa hidup-nya sudah pantas.

“Untuk kehidupanku, aku masih tak bisa melukiskan,” kata Heo bukan kepada orang tertentu. “Malam ini sangat purnama ....”

Ini tanda-tanda bahwa Heo akan mulai mengoceh lagi malam ini. Sebagai teman Heo itu, Cho sudah dapat menduga apa yang

akan terjadi kemudian. Tapi dia tidak bisa memberitahu Heo de-ngan cara tepat bahwa ceritanya itu menyakitkan, dan kepolosan Heo dimulai pada saat ia mengoceh lagi sesuka hatinya.

“Sebuah cerita seperti ini berjalan dengan baik ketika malam bulan purnama,” kata Heo sambil menatap ke arah Cho. Itu bukan karena ia ingin meminta maaf kepada temannya; bukan, cahaya bulan telah membuatnya meluap-luap.

Jalan menyempit, memaksa orang-orang mengatur hewan mereka dan menungganginya bergantian. Dentang lonceng ter-gantung di leher keledai mengalir lembut menuju tanaman Buck-wheat. Suara Heo, yang datang dari depan, tidak jelas terdengar sampai kepada Dong-i di ujung barisan, tapi Dong-i memberikan banyak kenangan yang menyenangkan bagi dirinya.

“Sekarang hari pasaran di Bongpyeong, dan bulan keluar, sep-erti malam. Aku mendapatkan sedikit ruang kecil dengan lantai tanah, dan sangat lembab hingga aku tidak bisa tidur. Aku putus-kan untuk turun dan berdingin di sungai Begitulah Bongpyeong sekarang – tanaman buckwheat terdapat mana-mana sejauh Anda memandang, dan bunga-bunga putih beterbangan sampai ke sun-gai. Aku bisa meletakkannya di atas kerikil, namun bulan begitu cerah, aku putuskan untuk menggunakan gudang kincir air. Baik, aku ingin mengabarkan kepada Anda, sekonyong-konyong hal-hal ajaib terjadi di dunia ini, aku berada di dalam gudang, ber-temu empat mata dengan putri lelaki tua Song -... kota yang indah. Kemana nasib membawa kami bersama-sama? Anda boleh ber-taruh.

Heo mengisap sebatang rokok, menikmati kata-katanya sendi-ri. Aroma luar biasa dari asap ungu menghiasi udara malam.

Ilustrasi oleh Kim Si-hoon

22 KOREANA Musim Panas 2015

FITUR KHUSUS 3 Pasar Tradisional, Sejarah dan Perkembangannya

Aku lahir di Yeongdeungpo dan besar di pasar grosir buah dan sayur di dae-rah itu. Dan aku sendiri juga pernah berdagang buah. Suatu hari saat sedang berjualan, ada seorang pria yang menutupi pandangan di depanku.

Pria itu memakai sepatu yang alasnya sudah menipis dan jaket usang berwarna hijau tentara yang bagian lengannya penuh dengan noda hitam, bertanya kepadaku bagaimana caranya supaya bisa menjadi makelar. Para pedagang buah yang ada di sebelahku saling berebutan menjawab.

“Di sini? Tidak bisa bacapun bisa kok!”“Kalau mau jadi makelar di sini harus lulusan universitas, susah”.Pria tersebut bingung karena jawaban-jawaban yang sangat berbeda. Sejak itu,

cerita ini menjadi anekdot turun-temurun di kalangan orang pasar. Ya, memang begitu. Tempat di mana aku tumbuh yaitu pasar buah dan sayur

Yeongdeungpo adalah tempat orang-orang yang beraneka ragam latar belakang hidup bersama, mulai dari yang hanya lulusan SD sampai yang bergelar doktor. Hidup mereka berbeda-beda. Tetapi persamaannya adalah hidup mereka semua sama-sama bergantung pada buah apa yang masuk hari itu. Tidak ada seorangpun yang terkecuali. Jika masuk stoberi maka harus menjual stoberi, jika masuk pir maka harus berjualan buah pir, jika masuk semangka maka harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyusun semangka. Bagi kami kalau masuk stroberi pertanda itu musim semi, kalau masuk semangka berarti musim panas dan kalau masuk jeruk berarti musim dingin telah tiba. Begitulah para pedagang di tempat ini menghabiskan musim demi musim sambil minum makgeolli (arak Korea yang ter-buat dari beras beragi) dari gelas yang sama dan menjadi tua bersama-sama.

anak-anak Pasar yang tumbuh Sebagai ‘anak Kami’Aku tumbuh sebagai anak mereka, orang-orang pasar. Kalau mendapat juara

1 di sekolah, bapak-bapak yang makan di rumah makan ibuku memberikan uang seratus won, seribu won sebagai uang jajan, kalau main sampai larut malam di taman dekat rumah, bapak-bapak sekompleks pun memarahi menyuruh pulang.

Situasi di grosir buah di Pasar Gro-sir Pertanian Gangseo, pedagang menyortir semangka yang diterima dari petani berdasarkan ketebalan kulit dan tingkat kematangan.

tempat yang memulai harinya lebih dini dibandingkan tempat lain. Suasana energik pasar dan

kehidupan orang-orangnya yang mirip namun berbeda-beda. Para pedagang buah yang menerka-

nerka musim dari buah yang mereka jual hari itu, mereka merupakan saingan dan juga sekaligus

keluarga yang saling bersandar dan bahu-membahu satu sama lain sampai hari ini.

Orang-orang yang Membangunkan Subuh cerita Pasarku lee Myoung-lang Novelis

ahn Hong-beom Fotografer

SENI & BUDAYA KOREA 23

24 KOREANA Musim Panas 2015

Anak-anak pasar adalah anak semua orang pasar tanpa peduli anaknya siapa.

Anak-anak pasar dari subuh harus ikut ibu dan bapak mereka ke pasar. Anak bayi yang belum bisa jalan ditaruh di dalam kardus apel atau kardus jeruk di situlah mereka menangis, tertawa, menggoyang-goyangkan kepala, sam-bil menunggu orangtua mereka selesai bekerja, sedangkan anak-anak yang sudah bisa berjalan bermain berkeliling pasar. Barusan saja ada di sebelah ibunya, tiba-tiba sudah berjalan jauh sampai ke toko pisang, disangka ada di toko pisang tiba-tiba sudah berkelayapan lagi masuk ke dalam warung. Anak-anak kecil ini kapan saja dapat selalu mem-buat keonaran, sehingga para orang tua selalu mengawasi dengan saksama. Kadang mengambil buah pir yang ada di dalam keranjang dan membawanya lari, kadang mengam-bil jeruk rumah kaca yang mahal dari kardus dan mema-kannya seketika juga sebelum sempat dimarahi. Tetapi walaupun begitu, tidak ada satupun orang-orang pasar yang membenci anak-anak yang berwajah kumuh dan kurus kering itu, malahan mereka memeluk bahu kurus anak-anak tersebut. Karena mereka semua mengerti sebagai sesama pedagang yang membesarkan anak de-ngan berjualan buah.

Anak-anak pasar menjadikan pasar tempat bermain mereka, mereka bermain dan berlari-lari di pasar, tanpa mendapat perhatian sepenuhnya dari orang tua me-reka. Kalau sudah capai mereka masuk ke dalam kardus apel apa saja yang mereka temukan di toko dan tertidur di dalamnya. Begitulah keseharian anak-anak pasar. Mungkin karena itu jika melihat mereka tidur, walaupun anak yang nakal sekalipun, dibandingkan benci, lebih membuat hati tergerak untuk menyelimuti mereka.

Sewaktu kecil, jika aku merobek-robek kantong plas-tik yang ada di toko kantong plastik, atau memakan jeruk rumah kaca yang mahal, walaupun entah siapa itu memarahiku dengan mata melotot sekalipun, kalau aku memasang muka merengut karena ingin buang air besar, dialah juga yang mengantarku ke toilet, dan ada juga yang

Pasar Grosir Pertanian Gangseo membuka lelang terpisah antara buah dan sayuran. Penawaran dibuka setiap 30 menit sejak pukul 02:30 pagi untuk buah dan sejak pukul 08:30 malam untuk sayuran.

SENI & BUDAYA KOREA 25

Hari masih gelap, namun para pedagang distributor sudah berkumpul ramai di depan pasar. Kardus apel tersusun setinggi tubuh manusia, di depannya ramai dan riuh mulai dari pedagang yang mencoba menghitung barang ‘satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh!”, sampai pedagang yang memeriksa barang-barang yang akan di lelang. Para pedagang distributor semuanya naik ke atas panggung lelang dan melihat ke bawah ke kardus-kardus berisi apel, tampaknya lelang tetap pertama hari ini telah dimulai.

Lelang dibagi menjadi dua; lelang tetap dan lelang ber-pindah, lelang tetap adalah dimana semua pedagang dis-tributor naik ke atas panggung lelang sambil melihat ke bawah ke barang sampel yang ditunjukkan di rak pajang-an. Biasanya cara lelang ini untuk buah-buah yang tidak mudah rusak dan tahan lama walaupun dipindah-pindah-kan; seperti apel, pir, dan kesemek. Sedangkan lelang ber-pindah adalah di mana barang yang akan dilelang ditaruh di suatu tempat tertentu dan pelelang serta para peda-gang distributor yang berpindah-pindah dari sela-sela barang yang dilelang. Biasanya cara lelang ini untuk buah-buah yang mudah rusak; seperti stroberi, kesemek yang matang, dan anggur.

“Coba minggir.”“Kamu kenapa sih mengejar terus apa yang mau aku

makan?”Di depan kardus apel sangat ramai dan penuh dengan

para pedagang distributor yang berkumpul, ada yang men-coba masuk di sela-sela orang yang sempit, dan ada juga yang membuka kardus dan mengambil satu apel untuk diperiksa dengan teliti. Terdorong di sini, tertarik di sana, setelah beberapa kali terdorong, beberapa kali terinjak, akhirnya ada juga pedagang yang sama sekali akhirnya pergi menjauh.

Untuk menjadi pemandu lelang harus orang yang mempunyai pengalaman kerja di bagian porter, harus senior, itupun senior yang terbaik dan statusnya harus ketua, suaranya harus bagus, harus pintar, dan harus mendapat pengakuan dari orang lain, ada tiga atau empat orang yang berganti-gantian bertugas menjadi pemandu lelang.

“Ah–! Punya Bok Soon Lee dari Yeongcheon Apel hijau isi 50 biji sepuluh kardus!”

Pelelang yang ada di atas panggung lelang meneriak-kan kembali apa yang pemandu lelang teriakkan, para pedagang distributor yang berdiri di belakang kardus apel memasukkan tangan mereka ke penutup tangan dan mengikat erat pada pergelangan tangan mereka.

“Ah–, tiga puluh ribu! Ah–, tiga puluh satu ribu! Ah– tiga

puluh dua ribu, tiga ribu! Lima ribu delapan ribu Sembilan ribu! Empat puluh ribu!”

Saat pelelang memulai 4 keranjang (isi 40 buah) dengan harga empat puluh ribu, para pedagang yang ingin mem-beli dengan harga murah saling berebutan mengangkat jari.

“Tidak turun? Tidak ada empat puluh ribu? Tiga puluh sembilan ribu nomor 702!”

Pelelang menghentakkan kakinya di panggung lelang. Pertanda barang telah berhasil dilelang. Pelelang ini sela-lu memberi tanda berhasilnya lelang dengan kaki. Bukan hanya cara memberi tanda berhasilnya lelang yang berbe-da, namun cara meneriakkan komentar juga berbeda-be-da tiap pelelang. Pelelang ini meneriakkan komentar den-gan “Ah–, tiga puluh ribu!”, tetapi ada juga pelelang yang meneriakkan “Nah, tiga puluh ribu lagi!”, dan ada juga pelelang yang meneriakkan “Cilukba cilukba, tiga puluh ribu!”. Sepertinya mereka memakai bahasa yang mereka anggap nyaman dan melekat di mulut mereka masing-masing.

“Punya Bok Soon Lee dari Yeongcheon Apel hijau isi 80 biji tiga puluh kardus!” Ah–, tujuh ribu! Ah–, delapan ribu! Ah–, Sembilan ribu!”

Para pedagang riuh oleh teriakan pelelang. Barang yang dibeli oleh para pedagang berbeda-beda. Para peda-gang grosir buah dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan barang apa yang mereka beli. Yang pertama tipe pedagang yang menjual barang yang harus bagus kualitasnya tidak peduli entah berapapun itu harganya, yang kedua peda-gang yang membeli barang-barang yang kualitasnya tidak buruk dan juga tidak baik, yang terakhir tipe yang penting murah, asal murah pasti dibeli.

Kalau begitu, tunggu sebentar, coba jawab kuis ini.Di antara para pedagang grosir ini, tipe mana yang

mempunyai paling banyak pelanggan?Jawabannya, ketiga-tiganya. Jualan grosir tidak selalu berarti kalau barangnya

bagus pasti banyak pelanggannya. Penjual eceran yang menjual barang berkualitas bagus tentunya akan mencari penjual grosir yang menjual barang berkualitas bagus, pengusaha pub dan hiburan malam akan membeli barang yang kualitasnya lumayan tidak buruk dan harganya ter-jangkau dari penjual grosir. Dan ada juga penjual kaki lima yang tidak mempedulikan jenis barang dan harga, mau musim panas ataupun musim gugur, entah itu melon Korea atau apel yang penting harganya tidak lebih dari tiga ribu.

Hari ini juga subuhnya pasar ramai dan riuh. Setelah lelang berakhir para pedagang yang telah membeli barang untuk dijual hari ini sibuk kembali ke tokonya masing-masing dengan bahu yang penuh dengan harapan.

Cerita Pasar mereKa

26 KOREANA Musim Panas 2015

SENI & BUDAYA KOREA 27

membelikan es krim saat aku jatuh dan menangis, yang menyulamkan namaku di baju kaos warna kuning, merekalah ibu-ibu pasar. Karena itu, bagiku ibu-ibu pasar semua adalah ‘ibu’ku, dan aku juga sudah seperti anak perempuan mereka semua. Mungkin juga anak-anak pasar sekarang seperti aku dulu, jika tiba hari Orang Tua akan sibuk untuk memberikan bunga ke ibu-ibu dan bapak-bapak di pasar.

Tempat di mana orang-orang yang tidak sedarah tetapi lebih dekat dari saudara kandung hidup bersama – tempat itu adalah pasar Yeongdeungpo, kampung hala-manku. Tetapi kampung halamanku tergusur oleh perubahan dan dipindahkan dari Yeongdeungpo ke daerah agak pinggiran menjadi pasar Gang-seo. Tempat yang dulunya arena jual beli buah oleh para pedagang kini sedang dalam pembangunan untuk disulap menjadi pusat perbelanjaan.

“Manusia tidak Pernah tahu apa yang akan terjadi”Walaupun telah dipindahkan ke tempat lain, para pedagang tetap membuka

pasar dari subuh, berjualan buah, mencari makan dan membesarkan anak-anak mereka. Sambil mengulang kata-kata “Kalau terdesak, apapun bisa dikerjakan” dan “manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi”, dari dulu sampai sekarang hidup mereka tetap sama. Sekilas kata-kata ini dapat terdengar negatif, namun jika melihat kehidupan orang-orang pasar lebih dalam, maka siapapun akan mengerti apa maksud dari kata-kata tersebut.

Diantara para pedagang di pasar ada bapak yang bernama Choi. Berbeda dari penampilannya yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang berada, dia adalah orang paling kaya di pasar. Dia yang seorang ahli teknisi listrik, kehilangan peker-jaan saat ‘krisis moneter’. Suatu hari, dia berniat untuk memungut buah untuk dimakan sehingga mondar mandir di pasar, saat itu seorang makelar menyarankan untuk mencoba berjualan walaupun dalam eceran dan memberikan tempat untuk berjualan begitu saja tanpa syarat apa-apa. Sejak itu bapak Choi selalu berkata “manusia tidak tahu apa yang akan terjadi”. Bukan berarti bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi sehingga hidup sembarangan. Tetapi manusia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari sehingga hari ini pun harus hidup rajin.

Di pasar kami ada lagi satu orang yang mirip dengan bapak Choi, dia adalah ‘Nenek Kardus’ yang selalu bilang “kalau terdesak, apapun bisa dikerjakan”. Nenek ini walaupun memungut kardus bekas, selalu bertanya dulu dengan sopan “Boleh aku bawa kardusnya?”. Kalau di dalam kardus ada sampah atau buah yang busuk, dia selalu membantu membuangnya di plastik sampah yang dia bawa. Tindakan nenek itu semuanya sopan dan baik.

“Kalau terdesak, ya apapun harus dikerjakan”.Tempat di mana orang-orang yang kalau terdesak apapun dikerjakan, dan

orang-orang yang mengetahui dengan benar bahwa manusia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, karena itu orang-orang ini hidup rajin dan sungguh-sungguh dibandingkan siapapun, dan bangun lebih pagi dari orang lain, tempat itu adalah pasar.

Pasar Buah dan Sayur Pasar Yeongdeungpo dibuka lebih awal di pagi hari untuk lelang grosir dan tetap dibuka hingga sore hari untuk penjualan eceran. Terdapat aliran pengunjung yang konstan datang ke pasar untuk membeli buah yang baik dan segar.

Para pedagang pasar adalah mereka yang minum makgeolli (arak Korea yang terbuat dari beras beragi) dari gelas yang sama dan menjadi tua bersama-sama. Tempat dimana orang-orang yang tidak sedarah namun lebih dekat daripada saudara kandung hidup bersama— tempat itu adalah pasar Yeongdeungpo, kampung halamanku.

28 KOREANA Musim Panas 2015

FITUR KHUSUS 4 Pasar Tradisional, Sejarah dan Perkembangannya

Mulai tahun 2008 sampai 2013, Kementer ian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata telah

melakukan sebuah proyek untuk mer-evitalisasi pasar tradisional yang disebut ‘Munjeong-seongshi’. Proyek ini mengukir kembali makna asli pasar tradisional dan membuat program sesuai dengan karak-teristik masing-masing pasar. Kemente-rian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata menilai bahwa proyek ini berhasil men-gubah pasar tradisional daerah sebagai ruang seni dan budaya yang membuatnya menjadi bagi orang-orang muda. Di sisi lain, mereka yang mengawasi proses itu menyebutnya sebagai “pusat untuk mem-pertontonkan dan pusat hasil”. Namun demikian, proyek ini jelas membawa dampak positif. Karena orang muda secara bertahap menjadi tertarik kepada pasar tradisional, dan membentuk pasar yang mengandung budaya mereka sendiri.

Pasar-pasar tradisional yang lahir Kembali sebagai ruang Seni dan Budaya

Salah satu kisah sukses besar adalah Youth Mall Market di Pasar Selatan Jeonju (Jeonju Nambu Traditional Market). Tidak-

lah berlebihan jika Pasar Selatan disebut sebagai tempat favorit yang tidak bisa dike-cualikan di Jeonju. Lampu-lampu di lantai dua Pasar Selatan yang mulai redup kar-ena ditinggalkan oleh satu dua pedagang akibat kesulitan keuangan mulai menyala lagi setelah pusat perbelanjaan itu menye-wakan tempat dengan harga yang terjang-kau bagi kaum muda yang memimpikan wirausaha. Karena untuk menarik tamu muda di pasar tradisional diperlukan peda-gang-pedagang muda. Ada toko kecil yang menjual peralatan desain, yang pemiliknya lulusan seni artistik di Prancis dan beper-gian ke luar negeri sebulan sekali untuk mengumpulkan beberapa benda yang nantinya dijual di tokonya, ada juga tempat pengobatan yang pemiliknya lulusan medis dari universitas, dan juga ada toko cocktail bar, toko taco, restoran, dan beraneka jenis toko lainnya.

Dengan mulai dikenalnya mal anak muda, penjualan pasar yang ada men-ingkat sekitar 10% sampai 20%. Setiap Jumat dan Sabtu, jam 6 sore hingga jam 12 malam dibuka Pasar Malam yang menya-jikan jajanan, kerajinan, acara budaya, seperti pertunjukan dan pameran kecil, sehingga kita dapat melihat anak-anak,

tua muda, wanita pria, berbaur bersama menikmatinya. Sekarang Pasar Selatan telah menjadi bagian dari tur ke Jeonju Hanok Village (Desa Tradisional Jeonju).

Pedagang Memilih untuk Hidup Ber-simbiosis dengan Penulis Muda

Seperti Soho dan Chelsea di New York, dan 798 Art Zone di Dashanzi District, Beijing, yang dipadati dengan pabrik dan perumahan, serta menjadi tempat bagi seniman muda dengan modal pas-pasan berkumpul mencari tempat yang murah. Karena merekalah di daerah itu ada toko, galeri, dan aliran pengunjung yang mem-bentuk budaya baru seperti kafe, restoran, dan fasilitas lainnya, menciptakan budaya lokal yang khas. Di Seoul, hal yang sama terjadi di Hongdae, Garosugil, dan Itaewon. Tampaknya menjadi semacam aturan tak tertulis, bahwa masuknya studio seniman ke suatu tempat menjadikan lingkungan “tempat populer.” Jadi, apa yang akan ter-jadi jika aturan ini diterapkan ke pasar tra-disional?

Tingkat bawah tanah Seoul Central Market di Hwanghak-dong adalah markas untuk komunitas pengrajin dan desainer bernama Gedung Kreativitas Sindang. Se-

Pasar tradisional Kini Berkembang Menjadi Pusat Budaya DaerahSinar lampu yang redup, warung yang kotor, jalan yang sempit… semua ini adalah kesan tentang pasar tradisional

pada umumnya. walau dulu pasar tradisional berfungsi sebagai pusat dari masyarakat daerah setempat, namun kini

orang semakin jarang mengunjunginya. Di tempat yang semakin terlupakan itu ada secercah cahaya yang semakin

terang. yaitu sejak seniman dan pedagang muda mulai memberi perhatian. Kita akan melihat kembalinya kejayaan

pasar tradisional berkat ide-ide gemilang serta semangat muda yang berbinar.

Park eun-youngEditor LepasShim Byung-wooFotografer

SENI & BUDAYA KOREA 29

1 Sanggar para pengrajin di Gedung Kreativitas Sindang. Sebelumnya merupakan pusat perbe-lanjaan bawah tanah, gedung lalu direnovasi oleh Pemerintah Metropolitan Seoul untuk memberikan lokakarya bagi seniman dan pengrajin, menciptakan kehidupan baru ketika pasar mengalami penurunan.

2 Sebuah toko di Youth Mall di area lantai Pasar Nambu Jeonju. Tempat unik yang sangat populer di kalangan anak muda yang menginginkan sesuatu yang asli.

1

2

30 KOREANA Musim Panas 2015

telah pusat perbelanjaan bawah tanah ini didirikan pada tahun 1970, tempat ini sem-pat berkembang, tetapi dengan berkurang-nya jumlah pengunjung, hanya beberapa toko saja yang bertahan. Untuk memper-baikinya, pada tahun 2009 pemerintah met-ropolitan Seoul merenovasi pusat perbe-lanjaan ini menjadi tempat ideal untuk peng-rajin dan desainer. Meskipun ruang kerja hanyalah berupa kamar kecil berukuran masing-masing 6,6 meter persegi, para seniman dapat berkonsentrasi pada peker-jaan mereka tanpa khawatir tentang biaya sewa dan pemeliharaan. Tetapi para seni-man tidak mengunci diri mereka dalam ruang kerja bawah tanah mereka. Mereka naik ke atas untuk berbaur dengan peda-gang dan penduduk asli pasar. Mereka merancangkan papan toko dan mengelo-la festival pasar untuk promosi. Kegiatan mereka tidak seperti kebanyakan peris-tiwa pasar tradisional, yang sebagian besar ditujukan untuk memikat wisatawan, festi-val ini bertujuan sosialisasi antara mereka dengan pedagang lokal.

Ada pula Pasar Dae-In di Gwangju, Provinsi Jeolla Selatan, yang telah di-segarkan kembali melalui kolaborasi seni-man muda dan pedagang. Park Sung-hyen, kurator untuk Gwangju Biennale pada tahun 2008 mengganggap seni harus menjangkau dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga ia me-nyarankan seniman muda untuk menggu-nakan toko kosong di pasar sebagai stu-dio mereka. Para pedagang bekerja sama dengan menurunkan harga sewa. Tiga puluh seniman masuk, dan hasil terbesar dari perbauran mereka ini adalah ‘Pasar Bintang’ yakni sejenis pasar malam yang telah dibuka dua kali sebulan sejak 2010. Dalam wilayah di mana kesempatan untuk menikmati budaya sangat terbatas, beri-ta tentang pasar malam dengan cepat menyebar. Sajian yang menyenangkan, acara-acara yang bisa langsung diikuti pengunjung, membuat skala pasar malam ini tumbuh dua kali ukuran mulanya. Pada musim panas 2013, galeri koperasi berna-ma Dada Creative Studio dibuka di pasar,

mendukung pameran seni, lelang karya seni, pameran dan kegiatan kreatif lainnya dari seniman muda. Pasar itu aktif digu-nakan sebagai studio dan tempat mereka untuk pameran perdana mereka.

Tetapi berbeda dengan yang diharap-kan, tidak ada perubahan yang berarti dalam keuntungan pedagang. Meskipun pasar menarik lebih dari seribu orang per hari pada akhir pekan, sebagian besar dari mereka adalah wisatawan untuk menikmati acara dan pertunjukan, dan jarang yang membeli keperluan sehari-hari mereka. Namun demikian, para peda-gang sudah cukup gembira dengan keha-diran seniman muda dan pengunjung muda di pasar, serta vitalitas yang mer-eka bawa ke pasar yang hampir terlupa-kan. Contoh lainnya adalah Pasar Dongjin di Yeonnam-dong, Mapo-gu, Seoul, yaitu tempat terpencil yang telah kehilangan fungsi aslinya sebagai pasar dan digunakan sebagai gudang. Pasar ini, begitu kecil dan tenang sehingga mudah hilang dari ingat-an, telah direvitalisasi oleh perencana dan desainer muda yang tertarik pada budaya dan pasar tradisional. Di Pasar 7 Hari yang dibuka sejak tahun lalu, sejumlah loka-karya budaya dan acara disediakan oleh seniman muda dan pedagang, termasuk sesi pembuatan furnitur menggunakan

Dengan mulai dikenalnya mall anak muda, penjualan pasar yang ada meningkat sekitar 10% sampai 20%. Setiap Jumat dan Sabtu, jam 6 sore hingga jam 12 malam dibuka Pasar Malam yang menyajikan jajanan, kerajinan, acara budaya, seperti pertunjukan dan pameran kecil, sehingga kita dapat melihat anak-anak, tua muda, wanita pria, berbaur bersama menikmatinya. Sekarang Pasar Selatan telah menjadi bagian dari tur ke Jeonju Hanok Village (Desa Tradisional Jeonju).

kayu yang terbuang. Berkat acara ini, gang-gang di sekitarnya juga hidup kembali de-ngan usaha kecil, seperti kafe, restoran, toko buku, workshop kerajinan, dan galeri, membuat tempat ini menjadi salah satu lingkungan paling trendi di daerah Hong-dae yang memang sudah populer.

Pasar Bongpyeong yang Sukses Berubah melalui Seni

Pasar Bongpyeong di Pyeongchang, Provinsi Gangwon, adalah kisah sukses perubahan sebuah pasar berkat dukung-an aktif dari pemerintah daerah, dengan kerjasama para pedagang, dan sponsor perusahaan. Di Pasar Bongpyeong yang adalah pasar terbesar di Korea itu selama ratusan tahun masih terdapat lebih dari 70 toko, dan Pasar 5 Hari yang dibuka dari tanggal 2~7 setiap bulannya, menarik ham-pir seratus pedagang untuk menjajakan dagangannya. Bongpyeong adalah sebuah kota yang terkenal sebagai latar belakang dalam cerpern karya Lee Hyo-Seok “Ketika Buckwheat berkembang” yang meng-gambarkan suka dan duka hidup orang-orang di pasar. Sebagian karena alasan ini, setiap September kota ini ramai dengan wisatawan yang ingin melihat bunga soba mekar penuh. Namun pasar bersejarah yang sebenarnya hanya 100 meter jaraknya

SENI & BUDAYA KOREA 31

1 Toko aksesoris di Pasar Daein Gwangju. Sebagai sanggar lokakarya di pasar berfungsi sebagai tempat untuk pembuatan dan penjualan oleh para pengrajin muda. Mereka telah menarik lebih banyak orang muda untuk berkunjung ke pasar itu.

2 Sebuah sentuhan artistik telah ditambahkan pada Pasar Pusat Seoul di Hwanghak-dong oleh warga seniman Gedung Kreativitas Sindang mulai mem-perlihatkan kontribusi bakat mereka pada pasar tradisional.

3

1

2

32 KOREANA Musim Panas 2015

dari tempat wisata utama dan Lee Hyo-seok Memorial Hall itu terlihat santai saja. (Lihat halaman 20 untuk kutipan dari “Keti-ka Buckwheat Berkembang”)

Untuk menemukan cara untuk menye-lamatkan masa depan pasar tradisional, Pemerintah Provinsi Gangwon berkon-sultasi dengan Kartu Hyundai. Pemerin-tah mengusulkan agar Proyek Realisasi Impian Kartu Hyundai, yang menawarkan desain ruang pembaharuan dan layanan program untuk usaha kecil, untuk diap-likasikan di pasar tradisional. Lab Desain Kartu Hyundai setuju bekerja sama dengan pemerintah provinsi membentuk sistem

berkelanjutan yang akan memungkinkan pasar tradisional berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka mencoba untuk fokus pada “hal-hal yang bisa dilakukan tanpa membuat atau menambahkan apa-apa” dan akhirnya mereka meningkatkan ling-kungan keseluruhan Pasar Bongpyeong dengan menggunakan desain awning yang merupakan keperluan pokok setiap toko. Setiap toko menunjukkan identitasnya dengan warna awning, hijau untuk produk pertanian, biru untuk produk kelaut-an, ungu untuk pakaian, dan garis-garis oranye untuk makanan, dan menempatkan sebuah papan kecil dengan foto dari pemi-

lik dan cerita pendek tentang barang yang dijualnya. Pemerintah daerah memberi-kan pendidikan desain untuk para peda-gang tentang cara untuk mengatur warna, membuat display menyenangkan, mem-buat papan harga dan asal produk. Namun beberapa sesi pendidikan yang telah dilakukan itu tentunya belum cukup untuk mengubah kebiasaan dan metode peda-gang yang telah puluhan tahun melakukan bisnis. Pasar Bongpyeong tidak memiliki banyak acara promosi atau budaya baik. Namun, sejarah panjang serta daya tarik polos dari masyarakat setempat menam-bah pesona pasar tua ini.

1

SENI & BUDAYA KOREA 33

1 Seorang seniman beker-ja di studionya di Gedung Kreativitas Sindang.

2 Youth Mall di Pasar Nambu Jeonju. Dikoordinasikan oleh kelompok perencanaan Boddaridan, berbagai acara berlangsung di sini setiap akhir pekan.

3 Bangunan gedung di Pasar Daein Gwangju. Ilustrasi di pintu masuk setiap toko diciptakan oleh para warga seniman.

4 Marché, pasar loak terkenal di Seoul, digelar di jalan-jalan Daehangno. Pasar dua mingguan ini memberi kesempatan berharga para petani muda untuk mem-promosikan produk mereka.

Saat ini, Pasar Dae-In memiliki 20 toko yang disewakan kepada pen-gusaha muda. Berkat kegiatan mereka, pasar mulai menarik pelang-gan muda tahun lalu dan ketenaran kini telah menyebar secara nasion-al. Para pedagang asli positif tentang perubahan. Anggota muda dari pasar bangga menciptakan “pasar yang menyatu dengan seni.” Mereka berjuang untuk mendapatkan daya saing tetap sebagai pasar seni den-gan koeksistensi tradisi dengan seni, pedagang dengan seniman baru dan pengusaha muda.

Jung Sam-jo General Manager Pasar Bintang di Pasar Dae-In, Gwangju

Boddaridan (The Packers) di Youth Mall adalah kelompok meren-canakan berbagai acara untuk merevitalisasi Pasar Selatan (Nambu Market). Untuk membuatnya menjadi “pusat budaya dari masyarakat setempat”, mereka melakukan kegiatan yang beragam seperti per-encanaan dan pengelolaan pasar loak, mengelola toko yang menan-gani brand lokal, dan menangani lokakarya inspirasional. Karena pasar menarik orang semakin banyak, modal-modal besar mulai meram-bah masuk. Toko waralaba telah mengisi pasar dan daerah sekitarnya, ‘mengusir’ para pedagang yang telah lama berdagang di tempat ini. Seperti pedang bermata dua, keadaan seperti ini sulit untuk dihindari, namun terus terang fenomena ini membuat hati saya sendu.

Kim chae-ram Ketua Grup Penjaja Asongan Muda Pasar Selatan Jeonju

“ dengan berkumpulnya orang-orang di pasar, uang mulai mengalir masuk.”

Saya meluncurkan merek sendiri setelah kembali dari Inggris, di mana saya pernah belajar desain fashion aksesori. Saya membuat tero-bosan pertama saya di pasar loak dalam acara yang digelar di Digital Media City di Sangam-dong, tahun lalu. Setelah itu, saya berpartisi-pasi dalam banyak pasar loak di seluruh negeri, termasuk Seoul dan Busan, untuk mempromosikan produk saya lebih luas. Sekitar enam bulan kemudian, saya mendapat telepon dari seorang merchandiser di Hyundai Department Store yang meminta saya mengambil bagian dalam toko pop-up untuk desainer muncul. Sekarang, Susurrus adalah merek permanen di department store besar di Seoul dan Daegu. Untuk desainer baru, pasar loak bukan hanya tempat jual beli barang, tetapi juga adalah tempat yang tempat untuk memulai usaha.

Song yoon-gi CEO dan Designer dari Susurrus

“ untuk desainer baru, pasar loak adalah cara yang bagus untuk memulai”

“ Kami bangga karena ini adalah pasar seni satu-satunya di seluruh Korea.”

2 3

4

34 KOREANA Musim Panas 2015

wawancara

Dengan prinsip “pesona kesederhanaan,” yang lebih menekankan pentingnya memanfaatkan dan

berbagi sesuatu, Seung Hyo-sang (dikenal juga sebagai Seung H-Sang) menuangkan buah pikirnya

melalui arsitektur. ia ingin menyampaikan kepada orang lain melalui arsitektur, memperlihatkan

betapa menyenangkan berbagi jalan dan tempat tinggal, tanpa melupakan akar kemanusiaan dalam

alam, dan menciptakan tempat yang memungkinkan kita berkomunikasi satu sama lain. Sebagai

“arsitek kota” pertama di Seoul, ia ingin membuat kota ini lebih baik.

Merancang Kota dengan regenerasi dan Kebersamaan Park Seong-tae

Sekretaris Jenderal, Yayasan Junglim

1

Seung Hyo-sang

SENI & BUDAYA KOREA 35

1 Seung Hyo-sang, “ar-sitek kota” pertama Seoul, memimpikan tempat bagi orang-orang untuk bisa berkomunikasi satu sama lain dan dengan alam.

2 Kota Welcomm (2000). Markas besar biro iklan Welcomm, terle-tak di Jangchung-dong, Seoul, merupa-kan salah satu karya besar Seung Hyo-sang.

©O

samu M

urai

Seung Hyo-sang adalah seorang arsitek dan intelektual terkemuka di Korea. Hanya sedikit arsitek di Korea yang ter-pelajar dan berwawasan luas sepertinya. Seung membentuk

Grup 4.3, yang mengembangkan wacana baru arsitek Korea yang menolak paham lama dan menerapkan “pesona kesederhanaan” sebagai etos kerja, dan menempatkan dirinya sebagai salah satu arsitek penting di Korea dalam dua dekade terakhir. Ia menge-sampingkan pekerjaan pribadinya untuk sementara waktu, dan sejak bulan September 2014 ia menjadi “arsitek kota” Seoul seba-gai penasihat pemerintah metropolitan dalam seleksi dan evalu-asi proyek perencanaan kota. Kini, ia memimpin sebuah proyek pembaharuan kota seperti perluasan Gwanghwamun Square, regenerasi Mal Sewoon, dan pembangunan “Taman di udara” di Seoul Station Overpass. Apa kebijakannya dalam perencanaan kota Seoul, dan apa yang ingin ia capai?

“arsitek Kota” Pertama di Seoul Park Seong-tae Anda adalah arsitek kota di Seoul. Posisi ini

belum banyak dikenal.Seung Hyo-sang Ini adalah pekerjaan yang saya anggap paling

penting saat ini. Saya bisa mengatakan, “Itu terlalu rumit, jangan diterapkan.” Tapi tentu tidak semudah itu. Saya terpaksa terlibat dalam politik, yang sangat saya benci, dan membuat saya tertekan. Seiring bertambahnya usia, sekarang saya bisa lebih mudah meng-atasinya. Dulu, sepertinya itu mustahil.

Park Anda ikut dalam kegiatan sosial sebelumnya, misalnya sebagai koordinator dalam Paju Book City dan komisioner dalam Venice Biennale. Pekerjaan arsitek kota tentu jauh lebih besar, dengan lebih banyak beban dan masalah. Apa yang ingin Anda

ubah dari kota Seoul dalam mengatasi keadaan itu?Seung Keadaan tidak berubah begitu saja karena saya ingin

mengubahnya. Saya tidak akan mengubah apa pun. Saya hanya mencoba memenuhi tuntutan zaman. Saat ini pertumbuhannya lumayan lambat. Saya merasakannya. Selama masa-masa cemer-lang dulu, pengembangan kota secara besar-besaran sangat mungkin dilakukan. Tapi sekarang terjadi pergeseran paradigma ke arah peningkatan keterlibatan bersama warga masyarakat. Meski hal ini memakan waktu lebih lama, mereka melihat metode yang lebih bijaksana dalam regenerasi kota yang bisa menghemat biaya dan mengurangi risiko kesalahan. Pengembangan kota bera-lih ke metode yang disebut “akupuntur perkotaan.”

Park Maksud Anda, Anda mencoba mengubah Seoul melalui titik-titik lemahnya, seperti Seoul Station Overpass, Mal Sewoon, dan Gwanghwamun Square, yang termasuk dalam rencana pemerintah untuk memperkuat kota, tapi dengan intervensi arsi-tektur yang sangat terbatas.

Seung Pengembangan kota sejauh ini sudah memisahkan manusia dari alam, dan juga memisahkannya satu sama lain. Kini saatnya untuk secara bertahap menyatukannya kembali. Kota perlu direvitalisasi dengan cara menghubungkan ruang publik satu dengan lainnya, bukan dengan cara membangun ruang baru yang glamor dan spektakuler. Jadi, pemodelan kembali Mal Sewoon, pendirian “Taman di udara” di Seoul Station Overpass, restorasi Seoul City Wall, dan menghubungkan ruang-ruang publik itu san-gat dibutuhkan saat ini.

regenerasi Masyarakat, Hubungan alam dan ManusiaPark Apa proyek paling berat yang sedang Anda kerjakan saat

ini? Perluasan Gwanghwamun Square itu memerlukan pengurang-an lima jalur lalu lintas. Dan ternyata terjadi banyak perdebatan mengenai hal ini.

Seung Sebenarnya proyek Gwanghwamun Square ini tak terla-lu berat. Kami sudah melakukan beberapa uji coba. Di suatu akhir pekan, kami memblok beberapa jalur, tapi tidak terjadi masalah arus lalu lintas. Tempat ini bisa diperluas secara bertahap, dan bersamaan dengan itu kami berencana menambah fasilitas buda-ya. Tempat itu akan menjadi tempat yang damai dan orang-orang dapat menyaksikan pertunjukan atau pameran dan duduk dan berbincang sambil menikmati secangkir teh kalau cuaca sedang bagus.

Park Tampaknya Anda mengubah kota ini menjadi kota yang ramah untuk pejalan kaki. Sebagian orang menentang proyek Gwanghwamun Square karena berpotensi menimbulkan kema-cetan, tapi saya tahu Anda mencoba mencari solusi dengan mem-batasi lalu lintas ke pusat kota.

Seung Benar. Wilayah yang dibatasi Tembok Kota Seoul ada-lah kota tua. Sebagian besar kota bersejarah di negara-negara lain memiliki batas yang jelas antara kota baru dan kota tua. Di Seoul, batas itu sudah hilang. Batas itu sudah dimusnahkan ka-

Park Seong-taeSekretaris Jenderal, Yayasan Junglim

2

36 KOREANA Musim Panas 2015

rena meniru kota-kota modern di negara-negara lain. Tahun lalu, Pemerintah Metropolitan Seoul mengusulkan visi baru yang di-sebut “Rencana Seoul 2030.” Dalam rencana ini, gunung-gunung di sekitar Seoul terlihat. Sebelumnya, gunung-gunung itu tidak termasuk dalam rencana dan tidak dimunculkan dalam gambar. Ini menandakan bahwa kami sudah mulai melihat kota dalam tiga dimesi. Jika kebijakan perkotaan dibuat berdasarkan struktur kota, sangat mungkin mengubah kota tua menjadi “kota yang damai,” sebuah kota yang penuh pesona.

Kebangkitan Kembali Kota tua dan Proyek tetangga DekatPark Anda mengatakan bahwa ketika pusat kota berubah,

sekitarnya juga akan berubah. Tampaknya Anda memikirkan masyarakat dengan lingkungan kecilnya di luar pintu utama kota tua Seoul.

Seung Seoul akan berubah menjadi kota dengan banyak ruang terbuka, sebuah kota yang damai di dalam empat pintu utama kota tua Seoul, dan sekitar 150 komunitas di luar pintu utama itu. Wali kota Park Won-soon menyampaikan janji kampanye dalam pemilih-an yang lalu yaitu “Proyek Tetangga 10 Menit.” Ia merencanakan perpustakaan, taman, dan fasilitas budaya dalam jarak 10 menit berjalan kaki dari rumah penduduk. Lingkungan seperti ini punya karakter sebuah komunitas kecil yang bisa berdiri sendiri dan bisa berpadu dengan komunitas lain.

Park Benarkah rapat akbar Persatuan Arsitek Internasional (UIA: Union Internationale des Architectes) tahun 2017 akan diada-kan di Seoul?

Seung Selama ini tak ada acara budaya berskala internasional di Seoul. Acara internasional diadakan di kota lain di Korea, se-perti Festival Film Internasional Busan, Festival Musik Internasional

SENI & BUDAYA KOREA 37

Tongyeong, dan Gwangju Biennale. Jadi, kami mempersiapkan biennalee arsitektur pertama tahun 2017 bersamaan dengan rapat akbar UIA Seoul. Tahun ini, kami menyelenggarakan pra-bien-nale. Saya mengikuti Venice Biennale beberapa kali dan semua-nya diadakan dalam gaya Barat. Tahun lalu dan tiga tahun yang lalu, ketika David Chipperfield menjadi komisioner, saya diundang untuk ikut dalam pameran. Di antara lebih dari seratus orang yang mengikuti acara itu, hanya Kazuyo Sejima dan saya yang berasal dari Asia. Oleh karena itu, menurut saya penting sekali mengada-kan biennale di Asia.

Park Apakah Anda mempunyai rencana khusus sebagai arsi-tek secara pribadi, ketika jabatan sebagai arsitek kota berakhir? Apa yang sangat ingin Anda lakukan?

Seung Arsitek di Eropa bekerja dalam tim tiga atau empat orang. Jumlah ini ideal untuk sebuah kantor. Mereka juga punya

banyak waktu merefleksi sebuah proyek, membuat sketsa dan rencana. Saya iri. Mereka tampak bahagia sekali. Itulah yang ingin saya lakukan. (Tertawa)

Siapakah Seung Hyo-sang?Arsitek Seung Hyo-sang lahir di Busan pada tahun 1952. Ia

menyelesaikan studinya di Jurusan Arsitektur dan Program Pas-casarjana Arsitektur di Seoul National University dan melanjut-kan studinya di Vienna University of Technology. Sekembalinya ke Korea, ia bekerja di studio Kim Swoo-geun (selanjutnya menjadi SPACE Group) selama 15 tahun, berperan dalam mendesain bang-unan seperti Gereja Katolik Yangdeok di Masan dan Gereja Presbi-terian Kyungdong di Seoul. Ia membuka studionya sendiri, IROJE, pada tahun 1989. Beberapa di antara karyanya adalah Sujoldang (1993), Subaekdang (1998), Welcomm City (2000), dan makam Presiden Roh Moo-hyun (2010). Pada tahun 2002 ia menjadi arsi-tek pertama yang menerima penghargaan “Artist of the Year” oleh Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer, Korea (MMCA). Ia menjadi komisioner dan general manager di Venice Biennale dan Gwangju Design Biennale. Beberapa publikasinya adalah “Old Things are All Beautiful,” “Tomb of Roh Moo-hyun,” “Art Travel at 50 Degrees North Latitude,” “The Pattern of the Earth,” “Architec-ture, a Sign of Thought,” dan “The Beauty of Poverty.”

“ Pengembangan kota sejauh ini sudah memisahkan manusia dari alam, dan juga memisahkannya satu sama lain. Kini saatnya untuk secara bertahap menyatukannya kembali. Kota perlu direvitalisasi dengan cara menghubungkan ruang publik satu dengan lainnya, bukan dengan cara membangun ruang baru yang glamor dan spektakuler.”

1 “Kebun Botani Seoul,” oleh arsitek Belanda Winy Mass, terpilih sebagai pemenang desain untuk Proyek Sta-siun Seoul 7017. Desain menggam-barkan “taman di udara,” melapisi jembatan dengan berbagai pohon dan tanaman.

2 “Taman Sabuk-Hijau Sewoon.” Kota Seoul merencanakan untuk mem-perbaharui area Sewoon Shopping Mall yang tertinggal dengan mencip-takan ruang hijau.

2

1

38 KOREANA Musim Panas 2015

Adegan dalam penampilan “Pina Ahn di Seoul” (2014). Tarian ini dilakukan oleh 100 orang biasa yang telah menyaksikan film “Pina” dan membagikan perasaan dan pikiran mereka.

ahn eun-mi larut dalam karya-karyanya yang menghapus batas-

batas konvensional dalam tarian. Melalui “tari komunitas”, dia

memotivasi orang-orang untuk melihat kehidupan mereka dan

menggunakan tubuh mereka untuk mengekspresikan apa

yang telah mereka temukan. gerakan tubuh mereka, hindari

pembatasan terhadap hal yang membelenggu mereka,

yang menggembirakan dan bahkan mengharukan. Mata kita

dikagetkan oleh bahasa tubuh, yang melekat secara alami pada

manusia, dan cakupan emosi divisualisasikan melalui bahasa

yang menuntun kita menuju dunia yang dipenuhi kebebasan

sejati.

1 Menit

59 DetiK

Park Byung-sungKepala Penyunting The Musicalchoe young-moFotografer

Mengembalikan Bahasa Tubuh dalam

foKUS

SENI & BUDAYA KOREA 39

40 KOREANA Musim Panas 2015

Sebuah penampilan luar biasa dipentaskan di Pusat Kreasi Gyeonggi, yang terletak di pulau Daebu, di lepas pantai barat, pada bulan Oktober 2014. Sebuah dia-

log canggung antara seorang ayah dan putrinya yang sudah dewasa terdengar melalui pengeras suara telepon. Seorang wanita setengah baya sambil berpakaian terus mengejar tokoh yang merupakan personifikasi dari uang; ia melakukan teater situasi, bergumam, “Aku biasanya bertugas menge-jar uang, namun pada beberapa hal uang justru mengejarku. Lalu, aku menemukan bahwa hal tersebut bukanlah uang, hal itu hutang”. Seorang gadis berdiri tidak melakukan apa-pun dalam keheningan akhirnya mulai meratap. Setiap ade-gan berdurasi satu menit dan 59 detik.

Itu merupakan adegan dari sebuah proyek tari komunitas yang digarap oleh penari kontemporer Ahn Eun-mi, yang ber-judul “Satu Menit Lima Puluh Sembilan Detik.” Para pemain-nya bukanlah para penari profesional melainkan orang biasa – para pelajar, perempuan paruh baya, dan kaum muda – yang dengan mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan mungkin tidak begitu halus secara artistik, tetapi mereka amat menarik, dan kadang-kadang cukup menyen-tuh.

Penonton Menjadi Subjek SeniDalam gerakan seni komunitas, penonton, sebagai

penikmat dan pengamat seni sampai saat ini, menjadi sub-jek. Meskipun sekarang melibatkan berbagai genre, ter-masuk teater dan tari, gerakan ini pertama kali dimulai pada bidang seni rupa dengan mengeluarkan seni dari kungkung-an apresiasi biasa terdapat pada galeri ke dalam kehidu-pan masyarakat. Lebih dari sekadar membuat seni menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, gerakan tersebut berupa-ya membuat anggota masyarakat menjadi subjek seni, se-hingga seni dan kehidupan bisa hidup berdampingan dengan cara membalikkan hubungan antara penyedia seni dan kon-sumen.

Gerakan seni komunitas bermula di Amerika dan Eropa pada tahun 1960-an, ketika orang-orang muda berupaya untuk mencapai demokrasi dalam bidang seni. Pemberontak-an terhadap elitisme budaya, mereka mengejar demokrasi budaya, pertama dalam seni rupa dan kemudian pada bera-gam genre seni. “100 Persen Gwangju” oleh Rimini Protokoll, grup teater dokumenter yang mengunjungi Korea tahun lalu, merupakan contoh yang bagus dari teater komunitas. Sera-tus warga Gwangju pergi ke panggung untuk menetapkan sejarah dan wilayah kota Gwangju melalui kisah-kisah pribadi mereka.

Tari merupakan genre yang melakukan gerakan seni komunitas paling aktif. Hal ini dikarenakan tari berfokus pada ekspresi tubuh, tanpa bergantung pada unsur-unsur lain-

nya. Tari komunitas memiliki ekspresi paling beragam di Ing-gris, langkah-langkah kebijakan menumbuhkan partisipasi dalam tari komunitas dan program ini berafiliasi dengan lem-baga-lembaga pendidikan untuk menumbuhkan kreativitas budaya para siswa. Program ini juga digunakan untuk tujuan penyembuhan dengan menyediakan kegiatan tersebut kepa-da si sakit melalui dorongan psikologis.

Tari komunitas pertama kali muncul di Korea sekitar tahun 2010, dan sejak saat itu telah ditampilkan dalam fes-tival seni dan teater publik yang diselenggarakan oleh orga-nisasi budaya pemerintah daerah setempat. Hal tersebut menjadi lebih dikenal luas melalui Pina Bausch (1940-2009), koreografer yang mengejutkan dunia tari dengan Tanzthe-ater-nya, yang memutus tradisi seni tari dengan mencam-pur musik, seni rupa, dan video. Ketertarikannya selalu ber-fokus pada masyarakat. Dia mengeksplorasi asal mula tari, menanyakan apa yang membuat orang berpindah, dan dalam karya-karyanya selalu berhubungan dengan antagonisme dan konflik di kalangan masyarakat serta keterasingan dan isolasi.

Pada tahun 2008, Bausch bekerja sama dengan para re-maja amatir dari Jerman menggelar “Kontakthof” (1978), yang sebelumnya telah ditampilkan oleh penari profesional. Dia ingin tahu bagaimana remaja, yang baru mulai belajar tentang dunia, mengekspresikan emosi mereka. Keseluruh-an proses tersebut didokumentasikan dalam sebuah film oleh Anne Linsel berjudul Tarian Mimpi, 2009. Film ini dirilis pada bulan Januari 2011, yang terinspirasi serbuan berbagai karya tari komunitas di Korea. Selain Tarian Persembahan bagi Nenek Moyang (2011) oleh Ahn Eun-mi, karya-karya lain yang menampilkan pertunjukan dari orang biasa ialah

Proyek Rakyat Perempuan Cantik Paruh Baya (2012) oleh Kim Yoon-jin, Irama Keraguan Mimpi (2012) oleh grup tari Ddongjaru (“dung sack”) (sutradara dan koreografer Lee Sung-jae), dan Pemikir Pertama — Api Prometheus (2012) oleh Jung Young-doo.

tubuh sebagai Kenangan HidupAhn Eun-mi secara konsisten bekerja menghapus batas-

batas dalam tari, sehingga tari komunitas secara alami mun-cul sebagai pokok persoalan penting. Diawali dengan Tar-ian Persembahan bagi Nenek Moyang pada tahun 2011, menampilkan perempuan tua sebagai penyaji, ia telah meng-gelar berbagai karya tari komunitas: Tarian Diri (2012) ber-sama para remaja, Tarian Tak Berjawab (2013) dengan laki-laki paruh baya, dan Tarian Gelora Semangat (2014) bersama beberapa generasi.

Ahn Eun-mi terlibat dalam tari komunitas secara kebetul-an ketika ia mengembangkan minat mengenai tubuh perem-puan tua. Merasa penting untuk mendokumentasikan tubuh

SENI & BUDAYA KOREA 41

Berbeda dari pandangan orang lain, seseorang dapat berkonsentrasi pada dirinya sendiri dan bersenyawa dengan dunia. Kemudian diri pun lenyap, dan seseorang mencapai alam pribadi. Hal tersebut merupakan pengalaman menggembirakan, yang dapat dibandingkan dengan kehadiran Tuhan dalam keberadaan seseorang.

1, 2 Adegan dalam penampilan “Pina Ahn di Seoul” (2014). Dalam karya ini Ahn Eun-mi berfokus pada mengurai rutinitas sehari-hari dan memulihkan kembali bahasa tubuh.

1

2

42 KOREANA Musim Panas 2015

perempuan tua, ia melakukan perjalanan ke pedesaan di mana dia meminta perempuan dan laki-laki tua menari di depan kameranya. Dengan cara ini, dia menemukan gerak-an yang belum pernah terlihat sebelumnya. “Sebagian besar perempuan berusia lebih dari 60 tahun dan telah melahirkan setidaknya beberapa kali, tubuh mereka mungkin sudah tidak indah, tetapi itu merupakan bukti hidup mereka bertahun-tahun”, kata Ahn Eun-mi. Dia kagum dengan energi yang berasal dari tubuh mereka dan gagasan menempatkan mere-ka di atas panggung merupakan awal dari proyek tari komu-nitas.

Tarian Persembahan bagi Nenek Moyang, Tarian Diri dan Tarian Tak Berjawab semua mengadopsi pendekatan yang sama tetapi dengan berbagai kelompok pemain-perem-puan tua, remaja, dan laki-laki setengah baya. Setiap orang menunjukkan keunikan dan energi, mereka terikat oleh seja-rah dan waktu yang diwujudkan sebagai bagian dari generasi mereka masing-masing. Ahn sangat takjub menonton ang-gota dari generasi yang berbeda, yang berbeda tetapi sama, dan sama tetapi berbeda. Dia mengamati ingatan tubuh yang berbeda, dari wanita tua sampai remaja, dan laki-laki seteng-ah baya hingga individu yang tidak bisa ditentukan.

Penonton terharu saat mereka menyaksikan tubuh perempuan tua, yang mengungkap sejarah hidup mere-ka, dan tersentuh oleh tubuh polos dan murni kaum muda. Gerakan dari pria paruh baya yang agak kasar dan tertahan, namun menyampaikan sejarah mereka sendiri. Gerakan asing seperti itu tidak pernah terlihat sebelumnya dan ener-gi vital yang mengalir dari tarian orang biasa menawarkan sekilas kenangan rahasia bersama lintas generasi.

Meskipun karya-karya ini difokuskan pada vitalitas fisik orang biasa, pada akhir 2014 minat Ahn bergeser dari tubuh kepada pemikiran, seperti terlihat dalam karya-karyanya seperti Pabrik Permainan Tubuh bagi Dewasa 3355, Pina Ahn di Seou, dan Satu Menit Lima Puluh Sembilan Detik. Dalam Pabrik Permainan Tubuh bagi Dewasa 3355, para pemain dibiarkan untuk membuat gerakan mereka sendiri setelah merefleksikan topik “seksualitas”. Mereka bebas mengek-splor panggung dengan cara mereka sendiri, menceritakan kisah mereka sendiri. Kemudian, pelajaran tentang kemanu-siaan diberikan. Apakah diskusi itu membantu menciptakan ketidakjelasan dalam karya, tetapi tampaknya membahas teori seni dan berbagai subjek kemanusiaan lainnya bertu-juan untuk merangsang kreativitas para pemain.

Untuk Pina Ahn di Seoul, film dokumenter 3D Pina oleh Wim Wenders, yang bekerja sama dengan Pina Bausch untuk film tersebut, dipakai sebagai bahan pembelajaran. 100 warga berpartisipasi dalam program ini, menonton film ber-sama-sama, berbagi pemikiran dan perasaan mereka, lalu menampilkan kreasi mereka sendiri. Terpesona oleh vitalitas

yang diungkapkan oleh setiap generasi, Ahn berkonsentrasi pada proses pemulihan bahasa tubuh dengan melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari. Satu Menit Lima Puluh Sembi-lan Detik merupakan contoh pergeseran perspektif Ahn Eun-mi, dari tubuh manusia kepada pikiran dan emosi.

Dari tubuh kepada Pemikiran – Proses Pencarian Kebebasan Sejati

Proyek Pina Ahn di Seoul direncanakan untuk menjelas-kan gagasan Pina Bausch bahwa tari adalah bahasa yang memungkinkan Anda untuk mengekspresikan diri tanpa pelatihan khusus. Satu Menit Lima Puluh Sembilan Detik dibangun berdasarkan keyakinan ini. Seperti Pina Bausch, yang tertarik pada pertanyaan mengenai apa yang mem-buat orang bergerak, Ahn Eun-mi mengeksplorasi proses dimana pemikiran diungkapkan dalam tari melalui tubuh, tanpa dikurangi. Pekerjaannya tentang mendapatkan kembali bahasa tari yang hilang dan membangunkan naluri kita, me-nembus hal-hal yang terlupakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Satu Menit Lima Puluh Sembilan Detik, setiap peserta melakukan pekerjaan sendiri, yang berlangsung selama satu menit 59 detik, setelah latihan tiga bulan. Sela-ma masa persiapan, para peserta memiliki waktu untuk melatih tubuh mereka untuk merespon sinkron irama yang kuat dari instrumen perkusi. Pelajaran kemanusiaan mem-beri mereka kesempatan untuk melihat ke dalam batin diri mereka. Setiap individu bebas untuk menentukan cerita dan cara dia akan menyampaikan pesan mereka. Memang, tujuan akhir dari proyek ini adalah untuk membangkitkan indra dan menemukan dan memberikan cerita sendiri. Berbeda dari pandangan orang lain, seseorang dapat berkonsentrasi pada dirinya sendiri dan bersenyawa dengan dunia. Kemudian diri pun lenyap, dan seseorang mencapai alam pribadi. Hal terse-but merupakan pengalaman menggembirakan, yang dapat dibandingkan dengan kehadiran Tuhan dalam keberadaan seseorang. Ahn Eun-mi tidak mengajarkan teori maupun teknik, tetapi mendorong orang untuk mengekspresikan diri tanpa malu. Para peserta berteriak bebas dengan cara me-reka sendiri tanpa keberatan. Tanpa memandangnya sebagai kesenian, penonton sangat terharu saat mereka menyaksi-kan para pemain berjuang untuk mengekspresikan diri de-ngan seluruh tubuh mereka, menerobos semua hambatan.

Hasil akhir dari proyek ini adalah bukan untuk evaluasi estetika. Yang lebih penting dari hasil akhir adalah proses. Hal ini bukan berarti bahwa tari tersebut tidak indah—de-ngan caranya sendiri. Saat penampilan mungkin kurang sempurna secara teknis seperti layaknya penari profesional, namun secara emosional sangat menyentuh. Hal ini lebih menyegarkan daripada tari lainnya, untuk kebebasan dan kejujurannya.

SENI & BUDAYA KOREA 43

1 “Tarian Persembahan bagi Nenek Moyang” (2011). Sebelum perempuan tua mulai, pemain muda menari dengan sangat an-tusias untuk memeriahkan suasana.

2 “Tarian Tak Berjawab” (2013). Pria paruh baya antara 40 tahun dan 60 tahun menari bebas untuk sebuah medley musik “berderap” Korea sebagai latar belakang.

1

2

Aktris Son Sook telah memiliki karir lebih dari 50 tahun jauh sebelumnya. Selama 15 tahun ia telah memainkan peran utama dalam “Ibu” oleh dramawan dan sutradara Lee Youn-taek.

ritual untuk mohon ampun dan Damai - <ibu> oleh Son Sook

tinJaUan Seni

Kim Su-miKritikus Teater

SENI & BUDAYA KOREA 45

Drama<Ibu> karya oleh produser drama tengah baya Lee Yoon-taek dianggap sejajar dengan <Ibu Tegar> oleh Bertolt Brecht dari Jerman, atau drama yang diangkat dari novel

panjang <Ibu> oleh Maxim Gorki dari Rusia. Sejak pertunjukan perdananya di tahun 1996, <Ibu> kembali dipentaskan pada tahun 1999 oleh Theatre Troupe Georipae, dan sejak saat itu selama 15 tahun drama tersebut terus dipentaskan setiap tahunnya. Aktris drama Son Sook yang memainkan peran utama ibu sejak berusia 50-an, sampai kini saat usianya memasuki 70-an tetap memain-kan peran tersebut, membuat drama ini semakin memiliki nilai tersendiri.

Memotivasi Kehidupan SebenarnyaKesamaan dari semua ibu di dunia mungkin dapat dikatakan

adalah perpaduan dari sifat maskulin yang kuat untuk menjaga keamanan dan kenyamanan keluarganya ditambah dengan sifat feminin yang terus berkorban bagi keluarganya. Karena itu, sosok seorang ibu seringkali dikatakan bersifat kelaki-lakian dan juga kewanitaan. Tetapi dalam <Ibu> karya Lee Yoon-taek, identitas sang ibu yang saat ia masih seorang gadis tentunya adalah seorang wanita biasa, dijadikan sebagai fokus utama di atas sosok ibu yang bersifat di antara maskulin dan feminin tadi. Ibu tentunya memiliki saat saat ketika ia adalah seorang wanita yang bebas dan bahagia saat dipanggil menurut namanya dan bisa mengutarakan apa yang dia suka dan tidak suka. Tetapi sebutan ‘Ibu’ yang besar dan berat telah menghapus saat-saat itu sampai ke bekas-bekasnya.

Penulis drama ini mengingatkan kembali bahwa bagi seorang ibu berlogat Gyeongsang kuat yang seiring dengan mengalirnya waktu menjadi seorang pemarah dan cepat tersinggung ini ada kalanya ia adalah seorang gadis pemalu berumur 17 tahun yang memiliki kenangan manis dan pahit oleh cinta pertama. Selanjut-nya, penulis drama berusaha untuk menghibur hati para ibu yang menyesali diri sepanjang hidup, karena diskriminasi terhadap wanita di zaman dulu mereka tidak mendapat kesempatan untuk belajar menulis bahkan untuk bisa menulis nama mereka. Ke-sedihan seorang ibu yang tak kunjung reda, harus rela kehilangan kedua anaknya akibat kemiskinan dan peperangan, harus menyim-pan di dalam hati sepanjang hidupnya rahasia kelahiran dua anak laki-lakinya yang berbeda ibu. Suami yang tidak melindungi kelu-arganya dan lebih berkeliaran di luar, akhirnya meninggal menjadi roh yang menghantui ibu. Ibu yang tidak bisa melupakan anak laki-lakinya selalu menempatkan kendil berisi abu jenazah anaknya di samping bantalnya sepanjang hidup. Setelah berdamai dengan roh suaminya yang muncul setiap malam dalam mimpi dan mengada-

kan gut (ritual penghiburan bagi roh orang yang sudah meninggal), barulah sang ibu dapat menutup mata dengan lega dan mening-galkan dunia fana ini.

Penulis dan pengarah drama <Ibu> Lee Yoon-taek, menuliskan kembali kisah dengan model yang tak lain adalah ibunya sendiri ditambah dengan beberapa tokoh yang muncul dalam dramanya diramu dengan cerita-cerita yang pernah diperdengarkan oleh ibu-nya. Lahir dari keluarga petani miskin selama pendudukan Jepang, ibunya hidup melalui penjajahan, kemerdekaan dan perang; seja-rah keluarganya mencerminkan kesulitan yang dialami orang-orang Korea selama periode itu.

Tidak ada yang luar biasa dari ibu Lee, yang tidak pernah meng-enyam pendidikan formal. Hanya saja ia menceritakan kepada anaknya yang adalah penulis rahasia-rahasia dalam kehidupannya yang disimpan dalam hatinya sepanjang hidupnya. Bosan men-dengar cerita sama yang diceritakan berulang-ulang, Lee mencari akal dan menghadiahkan sebuah alat perekam untuk ibunya. Suatu hari, ketika sang anak mendengarkan kembali rekaman suara ibu-nya, barulah dia menyadari bahwa itu bisa dijadikan bahan drama. Cerita sang ibu yang begitu-begitu saja akhirnya benar-benar lahir kembali sebagai suatu karya.

Pada pementasan perdana, <Ibu> digelar pada tahun 1995 di Dongsung Hall, disutradarai oleh Kim Myeong-gon dan dibintangi Na Mun-hee. Empat tahun kemudian, Lee memberanikan diri untuk menampilkan cerita ibunya. Dia mengubah pengaturan latar yakni Miryang, yang tak lain adalah kampung halaman ibunya dan memilih aktris Son Sook, yang berasal dari kota yang sama. Drama ini mengandung banyak unsur seni pertunjukan tradisional Korea, seperti kegiatan menenun, memintal, upacara pernikahan tradi-sional, chomangja-gut (ritual perpisahan untuk anggota keluarga yang telah meninggal), dan samul-nori (ensemble perkusi tra-disional) yang digunakan sebagai efek di sepanjang pertunjukan. Pemain-pemainnya bebas melampaui ruang dan waktu, berjalan masuk dan keluar dari kehidupan dan kematian, dan dari masa lalu dan masa kini. Membuat drama yang pada mulanya hanya mencakup cerita seorang wanita, menjadi lebih luas cakupannya, yakni melingkupi sejarah dan budaya satu negara.

Menjelang akhir abad ketika suasana penuh dengan kecemasan dan depresi, orang mungkin telah mencari kenyamanan dalam “Kekuatan Ibu”. Begitu <Ibu> digelar di Teater Jeongdong, dalam seminggu semua kursi telah penuh, dan selama dua bulan sete-rusnya tetap mempertahankan keadaan tersebut dan mencatat kesuksesan.

Drama <ibu> adalah sebuah drama yang menggambarkan 70 tahun kehidupan seorang wanita yang menjalani sejarah

modern Korea dengan seluruh jiwa raganya. Melalui karya ini kita dapat menyaksikan cinta dan obsesi antara wanita

dan pria, pengampunan dan rekonsiliasi keluarga, dan di satu sisi juga menjadi suatu kesempatan untuk melihat

kembali arti kehidupan dan kematian dari manusia.

46 KOREANA Musim Panas 2015

alasan Mengapa Harus ‘Son Sook’ Son Sook bukanlah bintang yang menampilkan sosok seorang

ibu yang pada umumnya kita kenal sebagai pribadi yang lembut dan keibuan. Penampilannya kurus dengan suara yang nyaris tak terdengar, sosoknya terkesan kuat dengan tindak tanduk tegar seperti layaknya wanita perkotaan yang terlihat berpendidikan. Kepada wanita ini, Lee Youn-taek memberikan peran seorang ibu yang bersifat keras kepala dengan aksen Kyoung-sang yang kuat. Apa kira-kira alasannya.

Bagi Lee Youn-taek, kehidupan ibu yang melewati zaman seja-rah modern bersifat ‘pasif’ dan ‘bertahan’. Ibu yang tidak berkua-sa atas masa penjajahan harus mengemis air gula untuk melipur lapar anak-anaknya dan harus membungkuk-bungkuk untuk memperoleh secarik selimut lusuh bagi keluarganya. Cara terbaik untuk bertahan dalam amukan perang bagi seorang ibu adalah suara yang lirih dan tubuh yang kurus. Brehit dalam karyanya <Ibu yang tegar dan anak-anaknya> mengisahkan seorang ibu tegar yang kehilangan anaknya dalam perang, sehingga sang ibu men-jadi lebih terobsesi untuk hidup tegar dan bersikap aktif. Sosok ibu yang digambarkan oleh Lee Youn-taekadalah seorang ibu yang meratapi nasib kehilangan anak laki-lakinya sepanjang hidup den-gan sikap pasif dan bertahan.

Son Sook yang bertubuh kerempeng dengan suara lirih sangat-lah sesuai untuk menampilkan sosok ibu yang demikian. Suaranya yang terdengar renyah dengan pembawaan yang sesuai membias-kan dengan kuat kesedihan yang panjang dan dalam bak sebuah sumur. Logat kental asli Gyeongsang yang bernada turun naik oleh aktris ini memberi rasa keindahan seorang insani yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Son Sook yang selama 50 tahun berkecimpung dalam dunia drama dan tampil dalam lebih dari 150 karya berkomentar jenaka dalam sebuah interview, “Saya belum pernah menampilkan lakon Chunhyang ataupun Juliet. Semakin tua, saya hanya dapat peran ibu saja”.

Setelah selesai dipentaskan di Teater Jeongdong, drama <Ibu> oleh Theatre Troupe Georipae lalu diundang oleh Taganka Theatre di Moscow. Saat pementasan, di bulan Mei 1999, Son Sook diang-kat menjadi Menteri Lingkungan Hidup, dan selama masa jabatan-nya sebagai menteri ia tetap berdiri di pentas. Dan dengan karya drama ini ia memperoleh penghargaan sebagai Aktris Terbaik dalam Anugerah Seni Paeksang di tahun yang sama. Menjadikan <Ibu> semakin terkenal dan membuat hubungan Son Sook dengan

“ Aku tidak percaya pada malaikat kematian, aku juga tidak tahu akan lahir kembali dalam bentuk apa nanti. Tapi aku percaya pada kehidupan di masa lalu. Orang yang hidup pasti memiliki kehidupan di masa lalu. Sejarah masa lalu yang terkubur di lubuk hati dan tidak bisa diceritakan, itulah kehidupan di masa lalu. Jadi, bukankah itu berarti bahwa sekarang ini kita hidup di kehidupan berikutnya. Siang bolong, ini semua tak lain adalah kehidupan berikutnya”.

1 Sebuah adegan dalam penampilan “Ibu,” (2004) di Coex Art Hall, putri menantu (Kim So-hee) menitikkan air mata di kisah sedih ibu.

2 Ibu berbicara riang dengan anaknya (Kim Hal-cheol) dalam sebuah adegan dalam penampilan pada tahun 1999 di Teater Jeongdong.

3 Sebuah adegan dalam penampilan di Teater Myeongdong (2015). Isak tangis duka ibu di atas anaknya (Kim Ah-young) yang berada dalam pelukannya yang mati kelaparan di tengah-tengah perang.

1

2

©Street Theatre Troupe

SENI & BUDAYA KOREA 47

drama ini menjadi lebih istimewa karena pada awal pementasan-nya ia pernah berjanji ‘saya akan berdedikasi pada <Ibu> sebagai karya utama saya untuk 20 tahun ke depan’.

Pada Mulanya Semua adalah SatuDalam skenario <Ibu> ada teks seperti berikut. “Aku tidak per-

caya pada malaikat kematian, aku juga tidak tahu akan lahir kem-bali dalam bentuk apa nanti. Tapi aku percaya pada kehidupan di masa lalu. Orang yang hidup pasti memiliki kehidupan di masa lalu. Sejarah masa lalu yang terkubur di lubuk hati dan tidak bisa diceritakan, itulah kehidupan di masa lalu. Jadi, bukankah itu berarti bahwa sekarang ini kita hidup di kehidupan berikutnya. Siang bolong, ini semua tak lain adalah kehidupan berikutnya”.

Tidak peduli apakah setelah mati akan pergi ke neraka atau surga. Yang penting adalah mengetahui alasan mengapa saat

ini bersinar terang bagai tengah hari. Apakah alasannya adalah karena adanya sejarah pilu dari masa getir, atau karena adanya kenangan masa lalu yang tersimpan di dalam hati. Sebagaimana keberadaan terang tidak mungkin dapat disadari tanpa adanya kegelapan, tanpa kepedihan, tidak akan ada kegembiraan, tanpa kematian tidak akan ada kesadaran akan kehidupan tanpa adanya kehancuran sulit mengerti nilai penciptaan. Semua hal tersebut yang pada mulanya adalah satu, saling mengampuni dan berda-mai dalam satu nama, yakni ‘Ibu’. Mungkin inilah ajaran moral yang ingin disampaikan oleh ibu yang merelakan kepergian anak laki-lakinya dengan melepas sebuah perahu kertas yang dipenuhinya dengan kenangan tentang anaknya sepanjang hidup, oleh seorang istri yang sambil menyediakan makan malam bagi roh sang suami tetap mengkhawatirkan lauk pauk yang dirasanya selalu kurang cukup.

3

©MYEONGDONG THEATRE Choi Yong-seok

48 Koreana Musim Panas 2015

JATUH CINTA PADA KOREA

seni & budaya Korea 49

Di negara yang sangat dikenal dengan budaya urbannya yang sibuk, kehidupan Annaliisa Alasta-lo di pedesaan sangat menarik perhatian. “Kadang-kadang mereka mengatakan kepada saya: ‘Kami senang Anda di sini dan memperlihatkan kepada kami gaya hidup yang lebih tenang,”

katanya. “Banyak teman Korea saya menyukainya. Mungkin karena melihat bagaimana saya menikma-ti hidup membuat mereka berpikir cara lain menjalani hidup ini.”

Ada banyak cara menjalani hidup, tapi banyak orang terjebak pada pola yang biasa. Sadar atau tidak, kita cenderung membiarkan tuntutan pekerjaan atau sekolah menempati prioritas utama. Pilihan hidup Annaliisa memperlihatkan bahwa sangat mungkin mengikuti suasana persaingan masyarakat modern namun tetap mengutamakan waktu bersama anggota keluarga, lebur bersama alam dan mengakrabi seni.

Sebuah Kehidupan Baru di KoreaAnnaliisa lahir pada tahun 1984 sebagai anak ketiga dari 12 bersaudara, dan tumbuh di desa kecil

di bagian wilayah Finlandia yang tak jauh dari Joensuu. Pada tahun 2003, ia pergi ke Helsinki untuk belajar keramik di Aalto University. Ia suka berkreasi dengan tanah liat, dan merasa bisa menyalurkan perasaan melalui tangannya. Semasa menjadi mahasiswa, ia juga menekuni seni kaca tiup, yang mem-berinya perasaan berbeda. “Keramik identik dengan sentuhan, sedangkan kaca terlalu panas untuk disentuh, jadi harus menggunakan alat,” katanya.

Di bangku kuliah Annaliisa bertemu calon suaminya, seorang seniman dari Korea yang sudah menggeluti seni keramik di Republik Ceko sebelum pergi ke Finlandia dan belajar di departemen yang

Seniman kaca Annaliisa Alastalo telah tinggal di Korea selama delapan tahun hingga sekarang. “Hidup pelan”-nya, hidup dan bekerja dengan suaminya yang seniman Korea dan membesar-kan kedua anak mereka di pedesaan, sangat menarik perhatian.

Annaliisa Alastalo

Seni dalam Hidup

“Saya merasa tinggal dalam dunia

saya sendiri,” kata seniman kaca

tiup Annaliisa Alastalo, mengenai

gaya hidup uniknya di Korea. Ia

sangat menikmati tinggal di rumah

bersama suami — seniman dan

desainer arsitektur Hong Sung-hwan

— dan dua anak perempuannya.

Mengunjungi studio/rumah mereka di

Sudong, Namyangju, sekitar 45 menit

di luar kota Seoul, seakan memasuki

lingkungan yang menenangkan dan

sangat bernilai seni.

Darcy PaquetPenulis LepasAhn Hong-beomFotografer

50 Koreana Musim Panas 2015

1

2

seni & budaya Korea 51

sama. “Ia sangat mengesankan,” katanya, sambil tersenyum. “Ia sangat menawan.” Suaminya mengatakan bahwa ia ‘tenggelam’ di Finlandia, sama seperti sebelumnya di Republik

Ceko, karena tradisi artistik yang sangat berbeda dari tradisi Korea. “Saya terpesona oleh beberapa karya seni yang saya temui, dan ingin belajar bagaimana membuatnya,” katanya. Takdir membawanya bertemu Annaliisa. Setelah mengenal selama beberapa waktu, mereka menikah dan dikaruniai dua anak perempuan, Saaga lahir pada tahun 2005 dan Saara di tahun 2006. Pada tahun 2007, mereka memutuskan tinggal di Korea.

“Ketika pertama kali datang ke Korea, saya tidak menyangka akan menetap. Saya ingin mengha-biskan beberapa tahun di negara suami saya, dan anak-anak saya bisa mengenal dua budaya,” kata Annaliisa. Mereka awalnya tinggal di wilayah Jongno di Seoul, tapi kemudian memutuskan menetap dan pindah ke kota Namyangju. Rumah mereka terletak di tepi jalan setapak, dengan pemandangan perbukitan di sekelilingnya.

“Banyak orang Korea memiliki pandangan tidak begitu positif mengenai alam pedesaan sebagai sesuatu yang miskin dan primitif. Tapi bagi saya, alam Korea sangat indah,” katanya. “Saya tidak per-nah ingin membesarkan anak-anak kami di kota.” Mereka merancang rumah dengan ruang studio di lantai satu, termasuk tungku pemanas untuk kaca yang dibangun oleh suaminya, dan ruang keluarga di lantai atas. Di luar rumah, pohon-pohon yang mereka tanam ketika pindah dulu sudah tumbuh den-gan subur.

Ekspresi Diri dalam Kaca TiupHidup di desa membuat Annaliisa lebih fokus pada pekerjaannya. Mangkok, piring, toples dan vas

bunga dari kaca berbagai ukuran dan warna memenuhi rumahnya, baik di ruang pamer maupun di dapur. “Saya juga berkarya dengan kaca semi-opaque,” katanya, sambil menjelaskan semburat asap yang ditampilkan dalam banyak karyanya. Meski dibuat dengan cermat dan dibentuk dengan sempur-na, tetap ada kualitas fungsional dalam semua karyanya. “Saya orangnya praktis; seni suami saya lebih abstrak,” katanya sambil tersenyum.

Seni kaca tiup memerlukan tungku yang dipanaskan selama berhari-hari, dan dijaga tetap dalam keadaan bertemperatur tinggi. Pasir yang berfungsi sebagai bahan mentah dilelehkan di dalam tungku, dan kemudian diletakkan di ujung pipa tiup yang panjang. Setelah zat yang berkilau itu melewati lem-peng baja, pipa ditiup untuk membentuknya menjadi gelembung. Beragam alat dipergunakan untuk membuat kaca itu menjadi bentuk yang diinginkan. “Anda tinggal menambahkan sesuatu ke dalam pasir untuk mendapatkan warna lain, dan dengan teknik yang Anda pakai, Anda juga bisa membuat gelembung di dalam gelembung atau aksen-aksen lainnya,” kata Annaliisa.

Dalam beberapa tahun ini ia mengadakan pameran tunggal, di antaranya di Pusnt Seni Gana di Seoul dan Gallery Pfo di Busan. Kerajinan kaca tiup belum banyak ditekuni di Korea, dan pameran itu membantunya memperkenalkan seni ini kepada khalayak. Memang perlu persiapan luar biasa, tapi pameran ini juga membawa kepuasan tersendiri. “Saya benar-benar tak menyangka pameran ini akan sukses. Saya sangat senang ternyata masyarakat menyukainya,” katanya.

Sementara itu, rumah mereka, yang juga berfungsi sebagai ruang pamer, makin menarik minat masyarakat untuk datang ke Namyangju dan melihatnya berkarya. Di tempat itu pengunjung disuguhi atmosfer yang sangat menenangkan. Kadang-kadang mereka yang awalnya pembeli menjadi teman. baik

1 Karya kaca yang dibuat oleh Annaliisa Alastalo, yang mempelajari pembua-tan seni kaca di Universitas Aalto di Helsinki, Finlandia. Potongan-potong-an ini merupakan gaya Persia yang menggabungkan seni dan fungsi.

2 Karya yang terinspirasi oleh porselen putih Joseon.

“seandainya kelak saya pulang ke Finlandia, saya akan menekuni seni keramik. Tapi, dengan kuatnya tradisi keramik di Korea, saya tak yakin di mana saya akan tinggal.”

52 Koreana Musim Panas 2015

1

seni & budaya Korea 53

Media Korea juga sudah melirik Annaliisa. Pada tahun 2010 ia dan suaminya tampil di acara TV popu-ler “Human Theater”, dan sejak saat itu ia dan keluarganya tampil juga di majalah dan media lain. Pada tahun 2011, ia menerbitkan sebuah buku fotografi dan teks khusus mengenai kehidupan bersama ke-luarganya di Finlandia and Korea. Buku itu berjudul “Annaliisa’s Onnela.” Kata onnela dalam bahasa Finlandia berarti “sebuah tempat yang penuh kebahagiaan.”

Anak Dua BudayaSaaga dan Saara (“nama-nama Finlandia sering kali memiliki dua vokal,” katanya) duduk di sekolah

dasar tak jauh rumah. “Ada untung ruginya di sekolah kecil. Mereka menerima perhatian penuh dari gurunya. Mereka juga belajar bagaimana berada dalam lingkaran sosial yang sangat terbatas,” kata-nya. Keputusan yang lebih menantang harus dipikirkannya nanti ketika mereka besar. “Di Finlandia, kami punya sistem pendidikan tanpa memberikan tekanan yang berlebihan kepada siswa. Siswa SMP dan SMA di Korea mengalami banyak tekanan, dan saya tak ingin itu dialami oleh Saaga dan Saara.”

Anak-anak perempuannya menikmati berada di lingkungan alam, dan memiliki rasa percaya diri karena cara pengasuhan yang positif dan tanpa tekanan. Mereka mahir berbahasa Korea dan mengerti ketika ibunya bertutur dalam bahasa Finlandia, meski mereka sering kali menjawabnya dalam bahasa Korea. “Harapan saya, ketika kami berada di Finlandia kelak, mereka bisa menggunakan bahasa itu lebih aktif,” katanya. Ia dan suaminya berbicara dalam bahasa Korea dan bahasa Inggris.

Saaga dan Saara ingin menjadi seniman. Meski masih belum menunjukkan minat yang serius dalam seni kaca tiup, mereka terlihat sangat terkesan dengan karya ibu mereka. Annaliisa prihatin dengan komentar banyak orangtua Korea yang mengarahkan anak-anaknya menekuni profesi yang lebih men-janjikan. “Saya tak ingin menekan anak-anak saya dengan pandangan itu,” katanya.

Melihat Dunia dengan Mata yang BerbedaTinggal di Korea menginspirasi Annaliisa dalam banyak hal, dan sebagai seorang seniman ia sangat

menghargai sejarah panjang dan tradisi keramik Korea. “Apa yang dica-pai oleh Korea dalam kerajinan keramik ini sangat mengesankan. Bebe-rapa yang saya lihat sungguh membuat saya menahan nafas,” katanya. Di antara karyanya, salah satu yang sangat menyita perhatian publik ada-lah sebuah perahu dalam toples porselen putih dari masa Dinasti Joseon. Bentuk yang sudah lazim dikenal direka ulang dengan kaca berwarna, yang memberikan kesan tradisional dan modern, Timur dan Barat pada saat yang bersamaan.

“Saya pikir jika saya kembali ke Finlandia, saya akan mulai menekuni seni keramik lagi. Tapi, dengan kuatnya tradisi keramik di Korea ini, saya tak yakin lagi di mana saya akan tinggal,” katanya.

Meski membesarkan anak-anak adalah aktivitas yang menyita segala-nya, Annaliisa masih punya waktu menekuni hobinya, seperti fotografi (ia aktif di Instagram, dengan foto seperti yang dimuat dalam majalah mewah), menjahit (ia membuat baju pengantin yang anggun untuk seorang temannya), dan membuat kue (pai apel adalah favoritnya). Dari rumah, yang dirancang oleh suaminya, sampai piring yang mereka pakai makan dan baju yang dipakai oleh anak-anaknya, kebanyakan barang yang digu-nakan oleh keluarganya setiap hari adalah buatan tangan mereka dan dirancang dengan nilai estetika yang tinggi.

“Seni dapat membuat orang berpikir. Seni membantu kita melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dan saya suka cara seni membawa keindahan dalam hidup kita” kata Annaliisa. Hidupnya adalah contoh sempurna, dan makin banyak orang Korea melihat karyanya dan belajar mengenai kisah-nya. Ia menjadi inspirasi bagi orang lain.

1 Annaliisa bekerja di studionya. Dia mencurahkan sebagian besar pagi harinya untuk pekerjaannya.

2 Annaliisa dan anak-anaknya di ta-man di rumah mereka di Namyangju, Provinsi Gyeonggi. Pada tahun 2011 ia menerbitkan sebuah buku berjudul “Annaliisa’s Onnela” tentang kehidu-pan keluarganya di Finlandia dan Korea.

2

54 Koreana Musim Panas 2015

Novel Park Min-gyu yang terbit pada tahun 2009 ini mengangkat kisah yang hidup dalam masyarakat Korea dengan akurat dan nyaris tanpa cela. Obsesi tentang kecantikan, keingin-an mendapatkan hak privilege, dan kontradiksi cinta adalah tema tulisan Park, yang ter-bukti tak hanya lebih kuat tapi juga lebih tajam dari sebilah pedang.

Dikisahkan, sang narator berasal dari keluarga yang berpisah; ibunya, yang digambar-kannya “berwajah biasa, tapi sangat baik hati,” ditelantarkan oleh ayahnya, seorang aktor tampan yang dulunya pemeran pengganti, lalu menikah dengan perempuan yang lebih muda dan lebih cantik. Ia erteman dan kemudian menjalin hubungan dengan perempuan yang tidak cantik yang membuatnya terdiam ketika pertama kali memandangnya. Lalu ada tokoh bernama Yohan, teman mereka, yang memungkinkan hubungan antara narator dan gadis itu terjalin. Ia adalah perekat di antara mereka dan penguat cerita itu.

Melalui hubungan antara narator dengan gadis itu dan percakapannya dengan Yohan, novel mengungkap penyakit masyarakat Korea modern, yang memuja kecantikan de-ngan rela menghabiskan banyak waktu di bawah pisau bedah. Dalam surat yang pedih dan menyakitkan kepada narator, gadis yang “tidak cantik” itu mengatakan bahwa hidup-nya ditentukan saat ia lahir. Ini tidak adil, tapi masyarakat Korea memang menganggap

kecantikan sebagai sesuatu yang ideal, dan wajah yang tidak cantik diang-gap memalukan. Pemikiran ini secara alami melahirkan tuntutan hak privi-lege. Seperti yang dikatakan oleh Yohan, hanya yang paling cantik dan pa-ling kaya yang menempati kelas atas. Mereka hanya sekitar satu persen dan memiliki hampir semua kekuatan. Fenomena ini tentu saja tak hanya milik masyarakat Korea, tapi novel ini mengungkapkan bahwa hasrat menempati posisi itu kini sangat mewabah. Satu-satunya cara untuk masuk ke dalam kelompok ini adalah dengan mengalahkan sisanya sebanyak sembilan puluh sembilan persen, lalu lahirlah persaingan. Seorang teman narator mengiba-ratkan: “Tak peduli bagaimana cara tikus-tikus bersaing, mereka tetap saja tikus.”

Kritik Park mengenai masyarakat Korea itu sangat tajam, tapi ia tidak bisa memberikan jalan keluar. Misalnya, cinta adalah tema penting dan positif dalam karyanya; tapi ketika narator itu jatuh cinta kepada si gadis, Yohan menyatakan bahwa gadis itu “lampu pijar yang mulai menyala,” bersinar dengan kecantikan barunya. Gambaran positif mengenai cinta dipertanyakan ketika narator mengatakan bahwa semua cinta tumbuh karena kepercayaan yang salah dan ketika Yohan menyatakan bahwa “cinta adalah imaginasi.” Seperti halnya dalam hidup ini, dalam novel “Pavane for a Dead Princess” tak ada jawaban yang benar. Setiap kali kita berpikir mengenai sesuatu, Park seakan menyentakkan kita, dan membiarkan kita terus bertanya. Jika kita berhenti, kita akan merasa segalanya baik-baik saja.

Novel ini adalah kisah yang sangat menarik sekaligus merupakan komen-tar sosial yang sangat jelas. Gemanya terasa ketika halaman terakhirnya membawa kita kembali ke bagian awal, dan membuat kita mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini kita yakini kebenarannya. Seperti Yohan, Park pun tidak memberikan jawaban — kita harus mencarinya sendiri.

BUKU & Lainnya

“Pavane for a Dead Princess” Oleh Park Ming-yu, Terjemahan oleh Amber Hyun Jung Kim, 262 halaman, 15,95 dolar, Champaign/London/Dublin: Dalkey Archive Press (2014)

Charles La ShureProfesor, Program

Studi B

ahasa dan Sastra Korea,

Universitas N

asional SeoulLee W

oo-youngW

artawan, The K

orea Herald

Mengenal Masyarakat yang Terobsesi dengan Kecantikan

seni & budaya Korea 55

Bagi mereka yang tertarik dengan budaya Korea, majalah online yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan, sebuah badan pemerintah dalam bidang pelestarian dan promosi warisan budaya Korea, ini adalah jendela untuk melihat lebih dalam kekayaan sejarah dan tradisi Korea.

Majalah online yang terbit tiap tiga bulan sekali ini memperkenalkan warisan buda-ya dan tempat-tempat indah di seluruh negeri. Setiap artikel ditulis oleh pakar sejarah Korea disertai dengan foto-foto yang sangat menawan.

Edisi musim semi kali ini menampilkan beragam topik seperti Buddhisme dan pe-ngaruh budayanya, kecantikan dan simbolisme desain tradisional dalam kerajinan kayu, dan ritual shaman, gut.

Feature utamanya mengangkat kronologi perkembangan Buddhisme di Korea, salah satu kepercayaan yang paling berpengaruh dalam sejarah Korea, yang sangat dihayati dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tulisan ini dibuat oleh Jeong Byeong-sam, seorang profesor sejarah dan budaya di Sookmyung Women’s University. Dalam rangka merayakan ulang tahun Buddha pada bulan Mei, bagian galeri foto menampil-kan gambar kuil Buddha yang sangat tenang dan menawan dari seluruh negeri.

Mengapa remaja Korea suka sekali berfoto selfie di kereta? Mengapa kaca mata hitam menjadi kebutuhan bagi perempuan paruh baya Korea? Dua warga Prancis melakukan observasi unik mengenai gaya hidup orang Korea dalam karya kolaboratifnya “Sketches of Korea: An Illustrated Guide to Korean Culture.”

Buku ini mengangkat 47 topik berbeda dari trend terbaru di negara itu, termasuk budaya minum mereka, hingga budaya tradisional, adat istiadat, seni, kepercayaan dan shamanisme. Setiap tema diulas dengan gamblang oleh dua warga Prancis ini — antropolis budaya Benjamin Joinau dan seniman Elodie Dornand de Rouville — yang sudah tinggal di Korea selama lebih dari satu dekade.

Joinau, seorang profesor budaya dan tata negara di Hongik University di Seoul, per-tama kali datang di Korea pada tahun 1994 ketika ia tergabung dalam dinas militer Prancis. Ia terpesona oleh budaya Korea dan memutuskan untuk menetap. Inilah yang mengalihkan minatnya kepada antropologi budaya. De Rouville, yang menikah dengan lelaki Korea, adalah seorang seniman yang karyanya tampil dalam banyak pameran tunggal. Karyanya merefleksikan kehidupan sehari-hari orang Korea dan eksplorasi personalnya mengenai kenangan di beberapa tempat.

Novel yang ditu-lis oleh Park Wan-seo (1931-2011) ini sangat diminati di Korea sejak diluncurkan pada tahun 1992 dan sudah diterje-

mahkan ke dalam beberapa bahasa Buku ini mengisahkan pengalaman penulisnya yang dibesarkan pada jaman pendudukan Jepang dan pada masa perang Korea di awal dan pertengahan abad 20. Berlatar di Kaesong, kini menjadi kota di perbatasan wilayah Korea Utara, novel ini menampil-kan kembali masa kecil dan masa remaja penulisnya selama tahun-tahun penuh pergolakan dalam sejarah Korea.

“Koryosa choryo,” adalah salah satu dari catatan sejarah penting mengenai Dinasti Koryo (918-1392), diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pertama kali oleh Edward J. Shultz, profesor emeritus di University of Hawaii. Buku ini ditulis oleh 28 orang dari zaman dinasti Joseon (1392-1910), secara kronologis mengisahkan peristiwa penting selama periode Koryo dan peristiwa seja-rah lain yang tidak banyak dikenal publik. Catatan sejarah menarik ini menceritakan apa yang dilakukan para raja, kehidupan para aristokrat, perubahan dalam lembaga sosial dan politik Koryo, dan bencana alam seperti banjir, kelaparan dan gempa bumi yang memakan banyak korban.

Korea di Mata dua Warga Prancis

‘Who ate up all the shinga?’ edisi bahasa Prancis

Petunjuk online Warisan budaya Korea

Catatan sejarah Koryo

“Hors les Murs” Ditulis oleh Park Wan-seo; Diterjemahkan oleh Hélène Lebrun, 448 halaman, 15 euro, Paris: Atelier des Cahiers

“Korean Heritage” oleh Dinas Kebudayaan www.cha.go.kr/eng_webzine/2015/spring/index.html

“Koryosa choryo II” Diterjemahkan oleh Edward J. Shultz dan Hugh H.W. Kang, 45.000 won, Seoul: Jimoondang

“Sketches of Korea: An Illustrated Guide to Korean Culture” Oleh Benjamin Joinau dan Elodie Dornand de Rouville, 212 halaman, 12.900 won, Seoul: Seoul Selection

56 Koreana Musim Panas 2015

ESAI

Sudah bertahun-tahun lamanya sejak pertama kali Gelombang Korea masuk ke Indonesia. ‘Demam’ yang tadinya hanya dipandang sebelah mata kini semakin merambah ke seluruh penjuru tanah air. Dan yang lebih hebatnya lagi, Gelombang Korea sekarang ini tidak hanya

diterima di kalangan atau batasan umur tertentu. Dari anak yang masih duduk di sekolah dasar maupun ibu rumah tangga atau orang dewasa yang sudah berkarir, tidak sedikit dari mereka yang jatuh cinta kepada Gelombang Korea ini. Hal ini menunjukkan bahwa Gelombang Korea masih mengguncang tanah air.

Harus diakui, drama dan musik populer Korea masih menjadi alasan pertama mengapa Gelom-bang Korea bisa mendunia. Dan Indonesia, walaupun hanya sekian persen dari total populasinya yang menyukai Gelombang Korea, telah menjadi tujuan konser para K-pop boyband dan girlband terkenal beberapa tahun terakhir ini. Banyak orang yang rela menghabiskan jutaan uangnya untuk dapat menonton artis K-pop kesukaan mereka. Bahkan tidak sedikit orang yang rela pergi ke neg-ara tetangga untuk menonton artis K-pop kesukaan mereka ketika artis tersebut tidak menyeleng-garakan konser di Indonesia.

Tidak hanya itu, di Indonesia-pun banyak terbentuk fanbase artis K-pop, sama halnya seperti di Korea. Mereka menciptakan suatu ikatan persaudaraan sendiri berdasarkan kecintaan mereka ter-hadap Gelombang Korea yang sudah merajarela. Dan fanbase tersebut menggabungkan orang-orang Indonesia dari seluruh pelosok, dan di sana mereka saling berbagi informasi, bahkan ter-interkoneksi dengan fanbase dari seluruh penjuru dunia. Hal ini adalah salah satu penunjang meng-apa Gelombang Korea bisa mendunia seperti sekarang ini.

Gelombang Korea: Sebuah FenomenaGelombang Korea dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena karena kefleksibilitasannya untuk

dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat, tua maupun muda. Dan sekarang ini, Gelombang Korea tidak hanya sebatas drama atau musik populer saja. Hal lain yang sangat terasa mulai eksis adalah dari segi makanannya. Beberapa tahun lalu, restoran yang menjual makanan Korea hanya dapat ditemui di beberapa kawasan di Jakarta saja. Namun sekarang adalah hal yang lumrah untuk melihat keberadaan restoran Korea yang rata-rata selalu ramai didatangi pengunjung, bukan hanya di Jakarta tapi juga di daerah lain di Indonesia, seperti Yogyakarta dan Bali.

Satu hal lagi yang juga menarik perhatian adalah besarnya minat para pengikut Gelombang Korea untuk belajar bahasa Korea. Cukup sulit di Jakarta untuk dapat mendapatkan tempat di kelas bahasa Korea yang ditawarkan oleh Kedutaan Besar Korea untuk Indonesia, walaupun banyak insti-tusi pendidikan bahasa lainnya yang menawarkan belajar bahasa Korea. Bahkan tidak sedikit orang Indonesia yang pergi merantau ke Korea untuk belajar bahasa Korea.

Mengapa makanan? Dan mengapa belajar bahasa Korea?Dua aspek ini adalah dua hal dari berbagai aspek yang terdapat di dalam kultur Korea. Kul-

GelombanG Korea maSiH menGGuncanG di indoneSia Asri Dwi Hapsari

Pegawai HUMAS, PT. Dyandra Promosindo

seni & budaya Korea 57

tur, seperti dikatakan oleh E.B. Tylor adalah, “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” (Tylor 1871:1) Dari sini, dapat disimpulkan bahwa orang-orang, khusus-nya mereka yang mengikuti Gelombang Korea adalah orang-orang yang tidak hanya sekadar suka, tapi juga ingin setidaknya merasakan hidup dalam kultur Korea. Gelombang Korea tidak hanya berhasil membuat orang-orang ingin melihat dan mendengar, tapi juga ingin merasakan dan hidup di dalamnya. Atas dasar ini, maka Gelombang Korea dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena.

Korea Menjadi Destinasi Utama BerliburTidak hanya itu, Gelombang Korea juga telah berhasil menjadikan Korea sebagai salah satu des-

tinasi utama untuk berlibur bagi orang Indonesia. Seperti berita yang dikutip dari Populis.co.id pada bulan Maret 2015, “Wisatawan Indonesia yang mengunjungi Korea Selatan sepanjang 2014 naik 10,1% menjadi 208.329 orang dibandingkan tahun sebelumnya.”

Lalu apa yang orang Indonesia cari di Korea?Satu hal yang tidak kalah terkenal dari fenomena K-pop adalah kosmetik-kosmetik asal Korea

yang terkenal kualitasnya. Walaupun di Indonesia sudah ada beberapa brand kosmetik Korea, namun di varian yang ditawarkan oleh brand yang sama yang berada di Korea ada beberapa yang berbeda. Ditambah lagi, banyak brand yang hanya ada di Korea saja.

Selain itu, ada juga pengaruh dari segi fashion. Di Indonesia, banyak akun-akun instagram yang menawarkan pakaian-pakaian ‘made in Korea’, tapi tentu saja akan lebih menyenangkan jika se-seorang berburu langsung di negara asalnya. Fashion style ala orang-orang Korea terkenal sebagai gaya yang simple namun edgy, dua hal yang selalu menjadi tren di dunia fashion.

Terakhir, dan yang paling mendorong minat orang-orang Indonesia untuk berlibur ke Korea adalah melihat secara langsung keindahan Korea yang dilihat lewat drama-drama Korea yang dis-ebut sebagai salah satu pilar dari Gelombang Korea. Drama adalah salah satu mediator terakurat untuk menggambarkan kehidupan di Korea, dan tidak jarang juga drama-drama Korea menampil-kan keindahan alam Korea yang sangat dijaga oleh pemerintah Korea. Dari kerajaan-kerajaan kuno sampai pemandangan alam, semua hal yang dipertontonkan di drama Korea seolah mengundang wisatawan untuk secara langsung menikmati keindahan Korea.

Beribu alasan dapat menyokong pernyataan bahwa Gelombang Korea telah menjadi sebuah fenomena. Jika dapat disimpulkan, Gelombang Korea telah berhasil membuat apa yang tadin-ya hanya terdengar dan terlihat di layar kaca menjadi sebuah tekad untuk menyelaminya lebih dalam. Mungkin banyak yang memprediksi bahwa Gelombang Korea hanya bertahan ses-aat, tapi kenyataan yang ada sekarang menunjukkan sebaliknya. Setidaknya sampai detik ini, Gelombang Korea masih dan akan tetap mengguncang Tanah Air sampai waktu yang cukup lama.

Dalam bulan Februari tahun ini, stasiun TV konvensional KBS menandatangani surat perjanjian kesepahaman untuk berkolaborasi dalam kerja sama promosi drama online

dengan situs portal terbesar kedua di Korea Daum, yang dijalankan oleh Daum Kakao. Daftar tayang diumumkan segera setelahnya, menampilkan “Love Detective Sherlock K” dan “Prince of Prince” diperankan oleh Sung Kyu dari grup Infinite dan Day Yura dari grup Girl. KBS berencana memproduksi sekitar 10 drama online tahun ini. Lebih dari 10 serial yang ditayangkan tahun lalu menarik per-hatian pelaku industri dan penonton. Nilai genre drama ini sangat dilirik pasar sehingga stasiun TV konvensional pun melakukan ger-akan-gerakan agresif. Apa yang menyebabkan genre ini tumbuh demikian pesat?

Drama online adalah drama yang ditayangkan di situs internet. Di Amerika Serikat, www.hulu.com menayangkan versi lengkap atau versi yang diedit dari film dan drama TV populer, tapi di Korea genre drama ini khusus diproduksi dan ditayangkan secara online. Kehadirannya di Korea mirip dengan serial TV Amerika “House of Cards” di layanan berlangganan online populer Netflix pada tahun 2013. Sebelum bulan Januari 2014 konsep drama online masih sangat baru bagi penonton Korea. Namun, genre ini kemudian menjadi sangat disukai setelah “Aftermath,” “Lovecell,” dan “Gan-seochi” ditayangkan oleh Naver dan “Flirty Boy and Girl,” ditayang-kan oleh Daum.

“House of Cards” membuktikan bahwa drama berkualitas juga bisa diproduksi di platform Internet. Drama online Korea berbeda

1 “Masa depan Terbaik” yang dibintangi seo Kang-jun dan bang Minah, tayang perdana pada 28 oktober 2014 di naver TVcast.

2 “Perempuan Tersohor” yang dibintangi Cheon Woo-hee dan ahn Jae-hong, tayang perdana pada 25 agustus 2014 naver TVcast.

3 “dr. ian “yang dibintangi Kim young-kwang dan sandara Park, tayang perdana pada 29 Maret 2015 di naver TVcast.

1

©sam

sung

HIBURAN

Akankah Drama Online Merajai Dunia Hiburan?

Wee Geun-woo Wartawan, Majalah Web IZE

Genre drama baru yang bisa ditonton melalui komputer dan telepon pintar telah hadir. Genre hiburan ini dikenal

dengan nama drama atau serial online yang dikembangkan dari drama TV konvensional. Drama online pertama kali

ditayangkan oleh situs portal internet Korea terbesar Naver, yang berjudul “Aftermath.” Drama ini sangat sukses,

ditonton oleh 3,5 juta orang dalam waktu hanya empat minggu sejak tayang perdana pada bulan Januari 2014.

Kemudian lahirlah serial lain termasuk “Flirty Boy and Girl” dan “Prominent Woman” yang dibesut oleh sutradara

film indie Yoon Seong-ho dan “Lovecell” yang dibintangi aktor TV seperti Jang Hyuk, dan berhasil menarik banyak

penonton. Bagaimana konten media baru ini merestrukturisasi pasar budaya Korea?

dari drama TV. Walaupun hanya tampil dalam waktu singkat yaitu sekitar 20 menit, “Aftermath,” yang diadaptasi dari komik online, mengisahkan seorang bocah laki-laki yang memiliki kekuatan super setelah mengalami kecelakaan mobil dengan cara yang lebih singkat dan padat dibanding drama TV. Yoon Seong-ho, sutra-dara film indie yang dikenal dengan karya apiknya, membuat pa-rodi acara reality show perjodohan di SBS “Couples” ke dalam versinya menjadi “Flirty Boy and Girl.” Ia menampilkan emosi romantis natural yang jarang terlihat di layar televisi. Drama online yang menyenangkan dan mudah diakses ini menjadi populer kare-na karakteristiknya yang mobile.

Era Hiburan Mobile Korea tak tertandingi dalam hal telepon pintar dan penetrasi

Internet. Koneksi wi-fi bisa didapat di seluruh wilayah Seoul, se-hingga memungkinkan mengunduh atau menonton konten dengan nyaman. Tak heran, drama online Korea bisa sangat melejit de-ngan cepat.

Industri IT Korea termasuk portal raksasa Naver dan Daum sangat mendominasi pasar perangkat mobile. Dengan penetrasi telepon pintar, sebagian besar konten Internet bisa diakses melalui telepon, bukan lagi harus melalui PC, dan industri ini secara kon-stan memperbaharui lamannya dan membuat konten yang khusus untuk perangkat mobile. Komik online, yang merupakan layanan paling populer dari Naver, memperoleh pasar dengan pengembang-an aplikasi telepon pintar dan pembuatan konten khusus untuk telepon pintar. Drama online, dengan setiap episode berkisar 20 menit, sangat cocok untuk pengguna telepon pintar.

Bukan hanya provider situs portal tradisional yang melirik pergeseran konsumsi konten dari PC ke perangkat mobile. Industri televisi yang menjadi media paling berpengaruh selama 40 tahun,

kini tidak lagi. Terjadi kompetisi antara saluran kabel dan saluran program umum dalam memperebutkan penonton, tapi ternyata pasar mobile tampil sebagai pesaing yang lebih kuat. Penonton muda adalah target utama iklan yang merupakan nyawa industri media yang makin jauh dari platform TV. Penonton berusia sekitar 20-30 tahun memakai situs Internet VOD (video on demand) untuk menonton acara favorit mereka, sedangkan remaja lebih menyukai klip video pendek. Dalam banyak hal, stasiun TV memang sedang berada dalam masa sulit.

Akankah Pasar Baru Memimpin Pengembangan Konten? Belajar dari bagaimana platform konten terdahulu mendekati

pasar mobile, drama online dibuat untuk memuaskan kebutu-han pengguna telepon pintar, dan pertumbuhannya sangat pesat. Drama ini diawali ketika Kim Dong-joon dari ZE:A memainkan peran utama dalam “Aftermath.” Sejak saat itu, genre drama baru ini menjadi ajang penyanyi terkenal mencoba dunia seni peran. Sandara Park dari 2NE1 membintangi “Dr. Ian” bersama model yang kemudian menjadi aktor Kim Young-kwang. “The Best Future” dibuat oleh Samsung Group, yang menyedot lebih dari 10 juta penonton, dibintangi Minah dari Girl’s Day. “Lovecell,” dibuat dari komik online Naver dengan judul yang sama, memasang bin-tang top Jang Hyuk dan Kim Woo-bin, bukan sebagai pemeran utama tapi untuk kepentingan sensasi semata.

KBS sudah memasuki dunia drama online. Stasiun besar harus melebarkan sayap dan beralih ke konten berbasis web supaya bisa bertahan dalam pasar media yang lebih menjanjikan di dunia Internet. Akankah penyedia konten lama dan baru mampu menyu-guhkan konten yang khusus dibuat untuk perangkat mobile yang memuaskan penonton masa kini? Drama yang mereka produksi-lah yang akan menjawabnya.

32

©soyw

orks

©kirin production

60 Koreana Musim Panas 2015

GAYA HIDUP

Orang Korea biasa saling menyapa dengan cara unik, yaitu dengan menanyakan, “Sudah

makan?” (yang artinya “Apa kabar?”). Bahkan, masih bisa dijumpai orang-orang yang

mengucapkan “Kita bekerja supaya bisa makan dan bertahan hidup, kan?”. Ungkapan

ini menunjukkan pengalaman yang dilalui orang-orang Korea pada masa lalu masih

menyisakan kenangan di hati mereka. Sungguh suatu kebahagiaan menikmati makanan

dengan orang-orang tercinta. Kecintaan akan masakan rumah, atau jipbap, bukan hanya

mengenai makanan, tapi tentang menghadirkan kembali pengalaman berbagi makanan

dengan orang-orang yang Anda sayangi.

Masakan RuMah Makin DigeMaRiKim Yong-subDirektur, Edged Imagination Institute for Trend Insight & Business Creativity

seni & budaya Korea 61

acara televisi kabel di saluran tvN “Three Meals a Day” adalah reality show yang tidak memiliki tema khusus. Acara ini menampilkan dua atau tiga orang selebriti yang tinggal di desa terpencil dengan bahan makanan seadanya yang bisa mereka temui

di tempat terdekat dan memasaknya untuk tiga kali makan dalam sehari. Mereka mema-sak sayuran yang tumbuh di kebun keluarga, atau dengan terampil mengolah ikan yang mereka tangkap di laut menjadi hidangan lezat. Yang mengejutkan, banyak pemirsa yang sangat antusias. Laki-laki dan perempuan, muda dan tua, menantikan acara ini.

Mengapa Mereka Kecanduan?Dewasa ini banyak orang Korea yang makan di luar atau menyantap makanan cepat

saji. Mereka makan di luar tanpa keluarga. Barangkali mereka tidak suka memasak atau makan bersama. Dengan menonton acara “Three Meals a Day,” mereka merasakan ke-rinduan akan masakan rumah yang ditampilkan di layar TV: memilih dan mengumpulkan bahan, memotong kayu bakar, menyalakan api, dan memasak untuk seluruh keluarga. Perjuangan si aktor membuat mereka seolah ikut mengalaminya, dan menyadari betapa berharganya sebuah keluarga dan betapa nikmatnya masakan rumah.

Kita merindukan hidangan rumah, yang dimasak oleh ibu kita, dan seluruh anggota kel-uarga berada di rumah. Kita sangat menginginkan makan malam di rumah, yang sering kali terlewat karena kesibukan. Masakan rumah, bukan makanan spesial, menghadirkan kembali kenangan lama yang kita alami bersama keluarga. Tradisi ini terabaikan akibat proses modernisasi, urbanisasi, dan industrialisasi.

Masakan Rumah Mengubah DuniaMasakan rumah adalah makanan yang biasa kita santap di rumah, bukan hidangan

spesial yang dimasak secara khusus. Pengusaha restoran juga membaca peluang ini dan menawarkan prasmanan dengan menu “hidangan rumah,”. Berbeda dari zaman dulu keti-ka kebanyakan prasmanan menyajikan menu hidangan Barat atau Jepang, prasmanan ala Korea ini membawa angin segar dalam industri makanan.

Restoran keluarga kini berubah menjadi restoran prasmanan masakan Korea. Selama satu dekade ini, sebagian besar keluarga cenderung menikmati hidangan Barat di restoran keluarga atau restoran prasmanan yang khusus menyajikan makanan Barat. Namun, kini “hidangan rumah” menjadi tren. Untuk menjawab permintaan ini, konglomerat sudah masuk ke dalam bisnis bufet dan mendapatkan sambutan baik. Masakan rumah dipandang sebagai peluang bisnis yang menguntungkan, sehingga makin banyak konglomerat yang terjun ke dalam bisnis ini.

Dalam sebuah survei terhadap 7.000 warga Korea yang diadakan oleh Kementrian Ke-sehatan dan Kesejahteraan pada tahun 2013, hanya sekitar 64 persen responden mengata-kan bahwa mereka makan malam di rumah dengan keluarga lebih dari dua kali seminggu. Ini berarti sepertiga dari mereka biasa makan di luar. Angka ini turun sebanyak 12 persen dari 76 persen di tahun 2005. Artinya, kita merindukan masakan rumah.

Kecintaan pada masakan rumah ini juga mengubah tren acara memasak di televisi. Dulu, acara ini menampilkan juru masak profesional mendemonstrasikan teknik mema-sak atau selebriti memperkenalkan hidangan khas dari restoran adiboga. Kini, acara yang menampilkan hidangan yang bisa Anda masak di rumah dengan mudah sangat disukai.

62 Koreana Musim Panas 2015

1, 3 “Makan Secara Sosial” merupakan berbagi kebaikan tetapi “tidak begitu istimewa” makan bersama dengan orang asing. Ini adalah tren baru merespon kerinduan masyarakat terhadap makanan rumah pada saat banyak orang kehilangan kesenangan sederhana menikmati makanan keluarga.

2 Saluran TV kabel TVN “Tiga Makanan Sehari,” sebuah pertunjukan reality show tentang tinggal di tempat susah, sangat populer. Tanpa tema tertentu, hanya menghadirkan dua atau tiga selebriti yang tinggal di sebuah desa terpencil mendapatkan makanan di tempat terdekat, yang mereka gunakan untuk memasak tiga kali makan setiap hari.

©zipbob.net

©C

J E&M

1

2

3

seni & budaya Korea 63

“Night Snack Bar” dan “Happy Together” dari KBS 2TV dan “Here’s the Refrigerator” dari JTBC adalah beberapa di antara acara yang ditonton oleh mereka yang menginginkan cara memasak praktis dengan memakai bahan sehari-hari yang bisa ditemukan di dapur dan kulkas. Acara seperti ini menghadirkan kegiatan memasak lebih dekat ke dalam kehidup-an kita sehari-hari dan membuat kita merasakan kenikmatan memasak di rumah. Kini, semakin banyak orang mengembangkan minatnya dalam memasak dan mengikuti pelatih-an memasak. Banyak pusat kebudayaan di toko swalayan membuka kelas memasak dan sebagian besar siswanya laki-laki.

Makan Bersama Ala Kinfolk“Kinfolk” adalah nama majalah gaya hidup dan trend budaya Amerika. Kinfolk meng-

acu kepada gaya hidup hemat, estetik dan tenang, dan kerabat, tetangga, atau teman berkumpul bersama menikmati makan dan saling menemani seperti sebuah keluarga besar. Mereka berbagi hidangan sederhana tapi sehat — makanan rumah dalam arti sebe-narnya. Mereka yang menerapkan gaya kinfolk menjauhkan kesibukan mengejar karir atau

kekayaan personal. Mereka secara tulus lebih dekat dengan orang lain, khususnya keluarga dan teman-teman, dan men-jalani kehidupan mereka dengan tenang dan nyaman. Mereka menemukan keba-hagiaan dengan cara ini. Sejalan dengan makin diminatinya gaya Kinfolk ini, kecin-taan akan hidangan rumah menyebar ke seluruh dunia.

Layanan makan bersama menawarkan kesempatan menikmati kebersamaan. Jasa ini membuat orang-orang yang tidak saling mengenal duduk bersama menikmati makanan dan terlibat dalam pembicaraan hangat. Dimulai di Amerika Serikat, kini konsep ini diperkenalkan ke Korea. Nama layanan social dining Korea terkemuka adalah Hidangan Rumah.

Masakan rumah tidak harus lezat atau mahal. Makanan sederhana menjadi sempurna jika dinikmati bersama keluarga. Ternyata kata sikgu dalam bahasa Korea (anggota kelu-arga) secara harfiah berarti “seseorang yang menemani Anda makan.” Dengan tujuan menemukan teman makan bersama, layanan social dining tepat bagi mereka yang ter-tarik menjadi sikgu, menerima orang lain seperti anggota keluarga sendiri dan menikmati makan bersama.

Makin banyaknya orang yang hidup sendiri meningkatkan kerinduan akan hidangan rumah ini. Kita tidak menyadari betapa berharganya masakan rumah sampai kita tak punya kesempatan lagi menikmati makan bersama keluarga. Apakah kita baru rindu keha-ngatan keluarga setelah kita tak punya pilihan selain makan seorang diri? Kini kita sangat menikmati masakan rumah yang biasanya hanya kita anggap sebagai bagian dari rutinitas saja. Barangkali ini artinya kita ingin lebih sering bersama dengan orang-orang yang kita sayangi.

Masakan rumah tidak harus lezat atau mahal. Makanan sederhana tanpa pelengkap ini-itu menjadi sempurna jika dinikmati bersama keluarga. Kata sikgu dalam bahasa Korea (anggota keluarga) secara harfiah berarti “seseorang yang menemani anda makan.”

84 Koreana Musim Panas 2015

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke [email protected]

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke [email protected].

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol "Kirim". Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea 1 tahun 25,000 won 6,000 won

2 tahun 50,000 won

3 tahun 75,000 won

Asia Timur 1 1 tahun US$45 US$9

2 tahun US$81

3 tahun US$108

Asia Tenggara dsb 2 1 tahun US$50

2 tahun US$90

3 tahun US$120

Eropa dsb 3 1 tahun US$55

2 tahun US$99

3 tahun US$132

Afrika dsb 4 1 tahun US$60

2 tahun US$108

3 tahun US$144

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim.1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan)2 Mongolia dan Asia Tenggara(Kamboja, Laos, Myanmar,Thailand,Vietnam, Filipina,Malaysia, Timor Leste,Indonesia,Brunei,

dan Singapura)3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan,

Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka)4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)

Cara Berlangganan

Biaya Berlanqganan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Tanggapan Pembaca

Informasi Berlanqganan

WaterWaterWaterWaterWater

A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 10, NUMBER 1, SPRING 2015

US$15.00W15,000

AVERTING WATER CRISES IN ASIA: ESSAYS BY

Dipak Gyawali, Hyoseop Woo, David S. Hall & Kanokwan Manorom, Lyu Xing and Ramaswamy R. Iyer

THINK TANKS, THINK NETS AND ASIAA focus on how the industry of ideas has spread in Asia looks at the regional, Chinese and Japanese experience

THE DEBATE: US STRATEGY TOWARD NORTH KOREARobert Carlin Squares Off Against Bruce Klingner

PLUSPradumna B. Rana & Ramon Pacheco Pardo Asia’s need to work with the IMF on regional financial securityBrad Nelson & Yohanes Sulaiman Indonesia’s new maritime ambitions may spell trouble with ChinaMichal Romanowski The EU’s task in Central AsiaRobert E. McCoy History’s lessons for the North Korea nuclear stando� and why the Six-Party Talks stalledBook Reviews by Thomas E. Kellogg, Nayan Chanda, John Delury & Taewhan Kim

See our latest issue, full archives and analysis on our expert blog at www.globalasia.org

Managing Asia’s Most

Precious Resource

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia.

In our latest issue:Water:

Managing Asia’s Most

Precious Resource

Find out more and subscribe to our print or online editions

at www.globalasia.org

Have you tried our digital edition yet? Read Global Asia on any device with our digital edition by Magzter. Issues are just $5.99 or $19.99 per year. Download the free Magzter app or go to www.magzter.com

A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION

our digital edition by Magzter. Issues are

cITRA KOREA

ISSN 1975-0617

Mu

siM Pan

as 2015vo

l. 4 no

. 2PASAR TRADISION

ALFITuR Kh

uSuS

SENI & BuDAYA KOREA

Pasar Tradisional Korea: Ajang Gejolak dan Rom

antika Kehidupan; Orang-orang yang M

embangunkan Subuh: Cerita Pasarku

Mu

SIM P

AN

AS 2015 vo

l. 4 no

. 2w

ww

.koreana.or.kr ISSN 2287-5565

Sejarah dan Perkembangannya

Pasar Tradisional