KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN
MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI
JUNI 2008
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh
Febyanti Junaedi
NIM 105051102006
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN
MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI
JUNI 2008
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh
Febyanti Junaedi
NIM 105051102006
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN
MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI
JUNI 2008
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I)
Oleh
Febyanti Junaedi
NIM 105051102006
Di Bawah Bimbingan
Dra. Armawati Arbi, M.Si
NIP 19650207 199103 2 002
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Juni 2009
Febyanti Junaedi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di saat seluruh bangsa Indonesia tengah memperingati Hari Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 2008, terjadi insiden yang melibatkan dua organisasi massa,
yaitu Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di Lapangan Silang Monas. Berbagai
spekulasi mengenai penyebab terjadinya insiden yang dikalangan media lebih
dikenal dengan nama insiden Monas ini, sempat dilontarkan oleh beberapa
pihak.
“Ada yang mengatakan, massa AKKBB yang merupakan organisasi massa pro-Ahmadiyah menjelek-jelekkan FPI yang sangat keras
menentang dan meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, ada yang mengatakan, kerusuhan itu dipicu oleh sebuah tembakan yang
membuat laskar FPI marah.”1
Terjadinya insiden Monas ini sempat menjadi headline di beberapa media
massa di Indonesia. Selama sepekan baik itu media elektronik maupun media
cetak menayangkan dan menampilkan berita mengenai insiden Monas. Berita
mengenai insiden Monas ini adalah salah satu berita dengan sensitifitas yang
cukup tinggi. Banyak redaksi baik media cetak ataupun elektronik yang
menyatakan bahwa insiden Monas merupakan salah satu isu paling sensitif
ketika masuk sidang redaksi. Sensitif dikarenakan berita ini berkaitan dengan
persoalan agama, yaitu persoalan yang menyangkut banyak pihak. Sikap
masing-masing redaksi dan institusi media terhadap persoalan tersebut pastilah
1 Achmad Setiyaji, Tragedi Monas Berdarah (Bandung : Semesta Ide, 2008), h. v.
berbeda. Peristiwa boleh saja sama, tetapi sudut pandang pastilah berbeda.
Pernyataan tersebut dapat digambarkan secara jelas pada dua surat kabar
nasional, yaitu Koran Tempo dan Republika. Koran Tempo dan Republika
mengambil sudut pandang yang berbeda dalam setiap penulisan berita mengenai
insiden Monas. Koran Tempo menyatakan bahwa insiden Monas merupakan
peristiwa penyerangan atau aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI kepada
AKKBB, sedangkan Republika menyatakan bahwa peristiwa tersebut
merupakan bentrokan antara FPI dan AKKBB yang terjadi karena persoalan
Ahmadiyah.
Koran Tempo (Senin, 2 Juni 2008) menempatkan kasus tersebut pada
halaman pertama sebagai Top Headline dengan mengetengahkan judul
“Bubarkan FPI”, sedangkan Republika pada hari yang sama menempatkan
kasus tersebut juga pada halaman utama dengan mengetengahkan judul
“Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. Pada hari berikutnya, Koran Tempo
(Selasa, 3 Juni 2008) menjadikan kasus ini sebagai Top Headline dengan
menampilkan foto Panglima Komando Laskar Islam Munarman sedang
mencekik salah seorang anggota yang diduga berasal dari AKKBB, judul yang
diambil ialah “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. Di hari yang sama,
Republika kembali menempatkan kasus tersebut pada halaman utama dengan
judul “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”. Selama bulan Juni 2008,
Koran Tempo empat kali menjadikan kasus insiden Monas sebagai Top
Headline ditempatkan pada halaman depan, sebelas kali menjadikan kasus
tersebut sebagai Headline ditempatkan pada halaman kedua dan juga
diberitakan pada rubrik Metro, serta rubrik Nasional. Sedangkan Republika,
tercatat enam kali menempatkan kasus insiden Monas sebagai Headline di
halaman depan dan tiga kali menempatkan kasus tersebut bukan di halaman
depan.
Beberapa judul berita di atas dan juga judul-judul lainnya serta pandangan
kedua media cetak tersebut mengenai insiden Monas tampak menarik untuk
diteliti. Salah satu fungsi utama dari media massa sendiri adalah memberikan
informasi kepada khalayak. Berbagai media massa yang telah ada, dimanfaatkan
oleh khalayak untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi yang secara
otomatis akan lebih mengembangkan wawasan intelektual mereka.
Menyampaikan berita secara obyektif adalah kewajiban yang harus dilakukan
oleh institusi media dan wartawan. Meskipun mereka telah menyampaikan
informasi secara akurat dan aktual namun, pada kenyataannya tetap saja berita
yang disampaikan masih jauh dari obyektifitas. Di media massa seperti surat
kabar misalnya, pemberitaan yang ada selalu saja dikaitkan dengan beberapa
kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun organisasi. Banyak berita di
surat kabar tidak dinyatakan secara eksplisit tetapi implisit.
“Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi
tertentu mengenai kehidupan manusia : siapa pahlawan dan siapa penjahat;
apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa
yang tidak layak untuk dilakukan seorang pemimpin; tindakan apa yang
disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan) dan
pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa
yang masuk akal dan tidak; dan solusi apa yang harus diambil dan
ditinggalkan.” 2
Konstruksi berita pada dasarnya merupakan sebuah informasi yang
disampaikan secara kuantitatif dan kualitatif. Sisi kuantitatif dapat dilihat dari
seberapa sering berita tersebut muncul dan jumlah pemakaian istilah dalam
2 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS,
2002), h. x .
berita. Sedangkan sisi kualitatif dapat dilihat berdasarkan unsur objektivitas dan
faktualitas. Media memiliki ideologi yang ingin mereka refleksikan melalui
berita-berita yang disampaikan, baik ditujukan dalam cara penulisan berita,
bentuk penceritaan suatu peristiwa atau penentuan fakta mana yang harus
ditekankan atau justru dihilangkan.
Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh media dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode, di antaranya analisis wacana, analisis
framing dan analisis semiotika. Analisis framing merupakan metode yang sesuai
digunakan pada penelitian ini, karena dalam perspektif komunikasi analisis ini
dipakai untuk mengetahui bagaimana cara pandang yang digunakan oleh
wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Analisis framing secara
sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana
suatu peristiwa atau realitas dibingkai oleh media.3 Di sini realitas sosial
dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu, peristiwa dipahami dengan
bentukan tertentu. Melalui penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk mengkaji
lebih lanjut karakter pemberitaan Koran Tempo dan Republika mengenai
penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008, dilihat dari proses
pembingkaian masalah pada berita-berita yang disampaikan.
Dengan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, peneliti
merasa tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang berjudul KONSTRUKSI
REALITAS PADA MEDIA CETAK : Analisis Framing Pemberitaan
Insiden Monas di Koran Tempo dan Republika Edisi Juni 2008.
3 Ibid, h. 3.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih mudah dan terarah, maka
penulisan skripsi ini dibatasi pada analisis tekstual (message) pemberitaan
insiden Monas oleh tim redaksi Koran Tempo dan Republika. Khususnya dalam
headline berita mengenai penyebab terjadinya insiden Monas yang melibatkan
antara FPI dan AKKBB pada kedua harian tersebut. Sedangkan untuk batasan
waktu terbitnya, peneliti mengambil berita-berita selama satu bulan yaitu, Juni
2008. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis framing model
Robert N. Entman.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalah yang
akan dibahas antara lain :
1. Bagaimana struktur define problems (pendefinisian masalah) pada
berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo
dan Republika ?
2. Bagaimana struktur diagnose causes (penyebab masalah) pada berita-
berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan
Republika ?
3. Bagaimana struktur make moral judgement (membuat pilihan moral)
pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran
Tempo dan Republika ?
4. Bagaimana struktur treatment recommendation (menekankan
penyelesaian) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden
Monas di Koran Tempo dan Republika ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Teoritis
Dengan menggunakan analisis framing model Entman, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui struktur define problems (pendefinisian
masalah), diagnose causes (penyebab masalah), make moral judgement
(membuat pilihan moral) dan treatment recommendation (menekankan
penyelesaian) antara Koran Tempo dan Republika dalam pemberitaan
insiden Monas yang melibatkan FPI dan AKKBB.
b. Tujuan Praktis
Mencari hubungan / perbedaan proses framing Koran Tempo dan
Republika mengenai insiden Monas.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Sebagai upaya mengembangkan khazanah keilmuan tentang jurnalistik
dan memberikan gambaran karakter pemberitaan surat kabar, dalam hal
ini Koran Tempo dan Republika mengenai insiden Monas.
b. Manfaat Praktis
Memberikan kontribusi tentang bagaimana sebuah berita diperoleh,
diolah dan disampaikan pihak institusi media kepada khalayak pembaca
surat kabar, dalam hal ini Koran Tempo dan Republika terkait dengan
insiden Monas. Mengetahui bagaimana Koran Tempo dan Republika
mengkonstruksikan sebuah pesan. Juga memberikan pengetahuan
kepada khalayak umum tentang proses framing yang dilakukan oleh
kedua surat kabar nasional tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Penulisan skripsi dengan judul Konstruksi Realitas Pada Media Cetak :
Analisis Framing Pemberitaan Insiden Monas di Koran Tempo dan Republika
Edisi Juni 2008 ini terinspirasi dari beberapa penulisan skripsi yang pernah
peneliti lihat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Di
antara penulisan skripsi tersebut, menggunakan teknik analisis framing yaitu
untuk mengetahui konstruksi realitas pemberitaan pada media cetak.
Skripsi tersebut antara lain : Skripsi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik,
Andrizal yang berjudul Konstruksi Berita Kontroversi Jamaah Ahmadiyah
Indonesia dalam Majalah Forum Keadilan dan Majalah Sabili (Analisis
Framing Model William A. Gamson dan Andre Modigliani, dengan pisau
analisis model Gamson dan Modigliani. Skripsi mahasiswa Konsentrasi
Jurnalistik, Eri Suhasni Wulandari yang berjudul Analisis Framing Pemberitaan
aliran Al Qiyadah Al Islamiyah di Harian Media Indonesia, dengan
menggunakan pisau analisis model Pan dan Kosicki. Skripsi mahasiswa
Komunikasi Penyiaran Islam, Doni yang berjudul Konstruksi Media Cetak Atas
Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia
PDI-P di Harian Kompas dan Republika), dengan pisau analisis model Pan dan
Kosicki. Beberapa skripsi tersebut menjelaskan bagaimana media cetak, baik itu
majalah ataupun surat kabar dalam mengkonstruksikan suatu realitas kepada
khalayak melalui teks-teks berita yang berkaitan dengan kasus Ahmadiyah
Indonesia, Al Qiyadah Al Islamiyah dan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.
Perbandingan skripsi-skripsi di atas dengan skripsi yang penulis susun,
ialah terletak pada berita yang diteliti serta pisau analisis yang digunakan.
Peneliti menggunakan pisau analisis framing model Robert N. Entman yang
membagi analisisnya terhadap empat elemen, yaitu pendefinisian masalah,
sumber masalah, membuat pilihan moral dan menekankan penyelesaian.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian ini adalah paradigma konstruksionis yang sering
disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Dengan konsentrasi
analisis yaitu menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut
dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi dibentuk.4 Paradigma
konstruksionis memperhatikan interaksi antara komunikator dan komunikan
untuk menciptakan pemaknaan atau tafsiran dari suatu pesan. Paradigma
konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana
seseorang membuat gambaran tentang realitas. Paradigma ini memandang
kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak
pada bagaimana seorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-
masing pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi memproduksi dan
mempertukarkan makna.
4 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 37.
Dalam buku “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media”,
Eriyanto menyebutkan bahwa, penelitian dengan paradigma konstruksionis
memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1) Memiliki tujuan untuk menentukan realitas yang terjadi sebagai hasil
interaksi antara peneliti dengan objek penelitian 2) Peneliti melibatkan dirinya dengan realitas yang diteliti
3) Makna yang dihasilkan dari suatu teks merupakan hasil negosiasi
antara teks dengan peneliti
4) Hasil penelitian merupakan interaksi antara peneliti dan objek
penelitian
5) Subjektivitas peneliti menjadi dasar dari proses analisis
6) Empati dan interaksi dialektis antara peneliti dan teks sangat
ditekankan dalam rekonstruksi realitas yang diteliti
7) Kualitas dilihat dari sejauh mana peneliti mampu menyerap dan
mengerti bagaimana individu mengkonstruksikan realitas
2. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari
gejala-gejala sosial di masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif karena dalam
pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan
kategori. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam
pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut
antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen,
naskah, buku, dan lain-lain. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya
populasi atau sampling. Penelitian ini lebih menekankan pada kualitas data
bukan kuantitas data.5
5 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2006), h. 58.
3. Subjek dan Obyek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Koran Tempo dan Republika, sedangkan yang
menjadi objek pada penelitian ini adalah berita utama atau headline terkait
dengan penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam
analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data
primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding.
1) Data Primer (Primary-Sources)
Ialah data tekstual yang diperoleh dari pemberitaan di Koran Tempo
dan Republika. Penulis memilih berita yang hanya menyangkut
penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008.
2) Data Sekunder (Secondary-Sources)
Yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku, tulisan lain yang
berkaitan dengan penelitian ini dan wawancara dengan pihak dari
Koran Tempo dan Republika.
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis framing.
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan
dikonstruksi oleh media. Data yang ada dikumpulkan, kemudian diolah
menggunakan analisis framing dengan merujuk pada model atau kerangka
Robert N. Entman, sehingga akan terlihat bagaimana Koran Tempo dan
Republika mengemas berita tentang penyebab terjadinya insiden Monas.
Berdasarkan pada rumusan masalah, kerangka Entman tersebut terdiri dari
struktur problem identification / define problem menekankan pada bagaimana
suatu peristiwa dipahami oleh wartawan, causal interpretation / diagnose
causes menekankan pada apa dan siapa yang menjadi sumber dari suatu
peristiwa, moral evaluation / make moral judgement dipakai untuk
membenarkan atau memberikan argumen pada pendefinisian masalah yang
sudah dibuat dan treatment recommendation / suggest remedis dipakai untuk
menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan.
6. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah meneliti teks berita, yaitu berita
utama / headline yang terdapat pada Koran Tempo dan Republika mengenai
penyebab terjadinya insiden Monas, antara lain berita pada Koran Tempo :
Bubarkan FPI (2 Juni 2008), Pemerintah Kaji Pembekuan FPI (3 Juni 2008),
Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif (3 Juni 2008), Pemerintah Diminta
Tegas Soal FPI (3 Juni 2008), Polisi Ultimatum FPI (4 Juni 2008), Koran
Tempo Akan Diserbu (4 Juni 2008), Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi
Lemah (4 Juni 2008). Berita pada Harian Republika : Bentrokan Akibat
Pemerintah Lamban (2 Juni 2008), Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi
(3 Juni 2008), Akar Masalahnya Ahmadiyah (4 Juni 2008), Umat Islam Diminta
Bersatu (5 Juni 2008), 14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi (6 Juni 2008),
Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil (7 Juni 2008).
7. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini adalah kantor redaksional Koran Tempo yang
beralamat di Kebayoran Center Blok A11-A15 Jl. Kebayoran Baru – Mayestik,
Jakarta 12240 dan kantor redaksional Republika Jl. Warung Buncit Raya No. 37
Jakarta Selatan 12510. Serta perpustakaan sebagai tempat pengumpulan
dokumen, arsip dan data-data kepustakaan lainnya. Dengan segala pertimbangan
dan persiapan yang harus dilakukan untuk penelitian ini maka waktu
pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan selama enam bulan, terhitung
mulai bulan 31 Desember 2008 sampai dengan 12 Juni 2009.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini bersifat sistematis maka dalam penulisannya,
penulis berpedoman pada buku yang berjudul Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi), karya Hamid Nasuhi, dkk, terbitan Ceqda,
Jakarta, 2007. Penulis membagi skripsi ini menjadi (5) lima bab. Adapun
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN membahas Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II KERANGKA TEORI membahas Konstruksi Sosial atas Realitas,
Media Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas, Wartawan
Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas, Berita Sebagai Hasil
dari Konstruksi Sosial atas Realitas, Analisis Framing Model
Robert N. Entman dan Kerangka Pemikiran.
BAB III PROFIL KORAN TEMPO dan REPUBLIKA membahas
Sejarah dan Perkembangan Koran Tempo dan Republika, serta
Struktur Organisasi Koran Tempo dan Republika
BAB IV ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS
membahas Frame Koran Tempo dan Frame Republika, serta
Temuan dan Analisis Perangkat Framing Robert N. Entman
BAB V PENUTUP membahas kesimpulan dan saran, merupakan bab
penutup yang memuat kesimpulan penulisan dan saran dari penulis
sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam
perumusan masalah.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Konstruksi Sosial atas Realitas
Istilah konstruksi sosial atas realitas pertama kali diperkenalkan oleh Peter
L. Berger bersama Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The
Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”
(1966). Berger dan Luckmann menjelaskan tentang proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus-menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger
mengutarakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis,
dinamis dan plural.6 Proses dialektis ini, menurut Berger dan Luckmann
mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.
Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik
kegiatan mental maupun fisik. Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik
mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia, hasilnya berupa
realitas objektif yang terpisah dari dirnya. Internalisasi adalah penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga
individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan dunia sosial.
Di dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.7 Alasan untuk memberikan
perhatian pada berita yang begitu besar dalam kajian media adalah berita
6 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS,
2002), h. 13-19.
7 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006),
h. 188.
merupakan sumber utama informasi tentang dunia dalam hal geografi dan
politiknya.8 Konstruksi realitas merupakan aktifitas manusia sehari-hari ketika
menceritakan, menggambarkan, mendeskripsikan peristiwa, keadaan atau benda.
Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif, realitas itu hadir karena
dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan, realitas tercipta lewat konstruksi,
sudut pandang tertentu dari wartawan. Realitas tidak hadir dengan sendirinya
secara objektif, tetapi diketahui melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh
bahasa. Selain sebagai alat penggerak, bahasa juga dapat mewujudkan citra
mengenai suatu peristiwa.9 Dari sisi konstruksionis, media, wartawan dan berita
memiliki keterkaitan antara lain :10
1) Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi karena melibatkan sudut
pandang tertentu dari wartawan. Fakta dan realitas bukanlah sesuatu yang tinggal diambil, ada dan menjadi bahan dari berita. Fakta dapat
dikonstruksikan. 2) Media merupakan agen konstruksi karena dia bukan saluran yang
bebas. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan
pemihakkannya. Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
3) Berita bukan refleksi dari realitas, melainkan konstruksi dari realitas
tersebut. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu
melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan dan
media.
4) Berita bersifat subjektif, artinya bahwa opini tidak dapat dihilangkan
karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan
pertimbangan subjektif.
5) Wartawan merupakan agen konstruksi realitas karena tidak dapat
menyembunyikan rasa keberpihakan, etika dan pilihan moral dalam
menyusun berita. Dalam hal ini, wartawan tidak bisa menyembunyikan
pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang
intrinsik dalam pembentukan berita.
8 Graeme Burton, Yang Tersembunyi di Balik Media Pengantar Kepada Kajian Media
(Yogyakarta : Jalasutra, 2008), h. 155.
9http://blogaryandi.wordpress.com/2007/12/22/politisasi-bahasa-sebagai-instrument-
politik-media/, diakses pada 15 Februari 2009, 21:12
10 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 19-36.
B. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas
Penyajian informasi berupa berita kepada khalayak tidak lepas dari peran
utama seorang wartawan. Ada polemik yang mempersoalkan apakah wartawan
sebuah profesi atau pekerja biasa. Ada yang menganggap wartawan adalah
buruh, bahkan lebih ekstrim lagi yaitu menyamakan dengan kuli. Tidak
mengherankan bila kemudian muncul istilah kuli tinta atau kuli disket. Namun,
sejalan dengan perkembangan dunia jurnalistik yang semakin pesat dan modern,
akhirnya wartawan masuk dalam kategori kaum profesional. Wartawan sama
dengan kaum profesional lainnya seperti dokter, pengacara, akuntan, dosen, dan
lain-lain.11
Wartawan harus memiliki sifat dasar yang dapat memotivasinya
dalam bekerja. Sikap dasar yang pertama bagi wartawan ialah rasa ingin tahu
yang tinggi terhadap informasi. Sikap dasar berikutnya yang harus dimiliki oleh
wartawan ialah menggali informasi seluas-luasnya mengenai kasus yang akan
diberitakan.12
Di dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa
menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan
bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Fakta tidak diambil begitu
saja, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif yang berada di luar
diri wartawan. Realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana
proses konstruksi berlangsung. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan
bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata, melainkan relasi antara wartawan
dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Praktik membuat
liputan berita memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu lebih
11 Zenuddin HM, The Journalist Buku Basic Wartawan, Bacaan Wajib Para Wartawan,
Editor dan Mahasiswa Jurnalistik (Jakarta : Prestasi Pustakarya, 2007), h. 17.
12 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Ciputat : Kalam Indonesia, 2005), h. 33-34.
penting dibandingkan pandangan kelompok lain yang oleh pendekatan
positivistik dianggap tidak benar, dalam pendekatan konstruksionis dipandang
sebagai praktik jurnalistik.
Ada dua kriteria atau persyaratan yang dapat dikatakan merupakan
tuntutan atau panduan bagi wartawan dalam melakukan proses rekonstruksi
realitas. Pertama, kriteria atau persyaratan teknis misalnya, sebuah laporan
jurnalisme sebaiknya memiliki kelengkapan 5W+1H (what, who, where, when,
why, dan how). Kemudian berkaitan dengan jenis berita apakah hard news, soft
news, spot news, developing news atau continuing news. Konstruksi realitas
yang disusun oleh wartawan untuk menjadi calon berita ini diharapkan memiliki
nilai berita (news value) yang penting dan menarik. Kedua, persyaratan yang
berkaitan dengan kualitas atau bobot produk berita. Kualitas atau bobot produk
berita ini berarti produk jurnalisme surat kabar atau majalah hendaknya bersifat
objektif.13
Wartawan dalam melakukan proses konstruksi realitas masih dipengaruhi
oleh dua faktor lagi, yaitu faktor konteks eksternal dan faktor konteks internal
yang terdiri dari internal institusi dan internal individu. Faktor konteks eksternal
misalnya, sistem politik yang berlaku pada suatu negara dapat pula
mempengaruhi institusi surat kabar, khususnya wartawan dalam mengkonstruksi
realitas sehingga pada akhirnya dapat pula mempengaruhi penampilan dari isi
atau perwajahan sebuah surat kabar. Faktor konteks internal, internal institusi
berarti bahwa setiap institusi surat kabar memiliki motif atau kepentingan yang
berbeda satu dengan yang lain sedangkan internal individu berarti bahwa
13 M. Antonius Birowo, ed., Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi
(Yogyakarta : Gitanyali, 2004), h. 171-172
individu wartawan sendiri ketika bekerja merekonstruksi realitas bukan
merupakan individu yang pasif.
Peneliti memahami bahwa dalam aktifitas kreatifnya individu dalam hal
ini wartawan mengkonstruksikan masyarakat dan berbagai kenyataan sosial.
Aktifitas tersebut menghadapkan wartawan pada dua kenyataan yakni kenyataan
subjektif dan kenyataan objektif sebagai bagian dari masyarakat yang pada
akhirnya ia menginternalisasikan kenyataan tersebut sebagai bagian dari
kesadarannya. Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang bersifat
obyektif, benar dan seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Sebaliknya,
realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses
konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya bersifat subjektif yang terbentuk
lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif wartawan.
C. Media Massa Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas
1. Media Massa dalam Pandangan Konstruksionis
“Media berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media”
(jamak) yang secara harfiah berarti pertengahan, tengah, pusat.14
Cetak
dalam arti harfiah bahasa Indonesia ialah cap, acuan. Dalam bahasa
Inggris, cetak yang berkaitan dengan produksi media cetak ialah press.”15
Manusia membutuhkan komunikasi sebagai jembatan yang mampu
mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku,
antarbangsa dan antarras, serta membina persatuan dan kesatuan umat
manusia.16
Salah satu fungsi penting dalam komunikasi bagi masyarakat yaitu,
14 Masri Sareba Putra, Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memroduksi (Graha
Ilmu, 2007), h. 4.
15
Ibid. h. 5.
16
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 27.
kebutuhan untuk mendapatkan informasi. Fungsi memberikan informasi
diartikan bahwa media massa menyebarkan informasi kepada khalayak.
Khalayak selalu haus akan informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di
sekitarnya. Semakin berkembangnya teknologi saat ini pun, telah memberikan
kontribusi besar dalam penyebaran informasi. Komunikasi media massa
semakin canggih dan kompleks serta memiliki kekuatan yang lebih dari masa ke
masa.17
Di dalam pandangan kaum konstruksionis, media dilihat bukan sebagai
saluran yang bebas seperti yang dipandang oleh kaum positivis. Media ialah
subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan
pemihakkannya. Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefinisikan realitas. Dalam hal ini digambarkan, bagaimana media
memahami dan memaknai sebuah realitas dan dengan cara apa realitas itu
dibingkai oleh media.
Gitlin menyatakan bahwa bingkai media adalah pola yang selalu ada
dalam bentuk kognisi, interpretasi dan presentasi dari seleksi, penekanan atau
pengucilan.18
Bingkai media diperlihatkan melalui konsepsi dan skema
interpretasi wartawan dalam menyusun, mengisahkan, menulis dan menekankan
fakta dari suatu peristiwa tertentu. Setiap berita memiliki bingkai yang menjadi
pusat ide. Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari adalah produk
dari pembentukan realitas oleh media. Sejumlah pakar komunikasi seperti Gans
(1979) dan Gitlin (1980) mengelompokkan sejumlah pendekatan terhadap isi
media, di antaranya :
17 Elvinaro Ardianto, dkk., Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung : Simbiosa
Rekatama Media, 2005), h. 3.
18 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 69.
“Isi merupakan refleksi dari kenyataan sosial dengan sedikit
bahkan dengan tidak adanya distorsi, isi media dipengaruhi oleh pengalaman dan wawasan sosial para pekerja media dan sikap-sikap
mereka, isi media sangat dipengaruhi oleh kebiasaan wartawan dalam menulis berita atau cara kerja organisasi media, isi media dipengaruhi oleh
institusi sosial yang lain dan kekuatan di luar media, isi media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh media tersebut.”19
Realitas pada media tidak serta merta melahirkan berita, melainkan
melalui proses interaksi antara penulis berita (wartawan) dengan fakta. Terjadi
proses dialektika antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat oleh wartawan
sehingga isi berita merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi
kembali. Pembuatan berita pada dasarnya merupakan proses penyusunan atau
konstruksi kumpulan realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakna.
Media massa sudah menyelimuti setiap aspek kehidupan manusia hingga saat
ini. Dapat dikatakan, tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari
terpaan berita yang disajikan media massa. Karena sifat dan faktanya, pekerjaan
media massa yaitu menceritakan peristiwa sehingga kesibukan utama media
massa ialah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disampaikan kepada
khalayak.20
Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya
menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu
sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk
realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Wacana yang bermakna itulah, pada
akhirnya mampu menentukan citra yang ditampilkan media atas suatu persitiwa.
Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang
19 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Dasar-Dasar Jurnalistik Lembaga Pendidikan
Jurnalistik Antara (LPJA) (Jakarta : LPJA Press, 2006), h. 115-117.
20
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Jakarta : Granit, 2004),
h. 11
beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengidentifikasi ada lima
faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi.21
1) Level Individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang
profesional dari pengelola media. Level individu melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi
pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak
mempengaruhi apa yang ditampilkan media.
2) Level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan
dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media
umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut
berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita.
3) Level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur
organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan.
Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam
organisasi berita, sebaliknya ia hanya bagian kecil dari organisasi
media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media
bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
4) Level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di
luar media meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan
media. Level ini terdiri dari : a. Sumber berita. Dijelaskan bahwa sumber berita dalam hal ini
bukanlah suatu yang netral dan hanya memberikan informasi apa adanya. Dia mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi
media dengan berbagai alasan, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak.
b. Sumber penghasilan seperti iklan, pelanggan / pembeli media.
Sebuah media itu harus survive dan untuk bertahan hidup
kadangkala media harus berkompromi dengan pengiklan. Pihak
pengiklan juga memiliki strategi untuk memaksakan versinya
kepada media.
c. Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Dalam
sebuah negera otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi
faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang
disajikan. Keadaan tersebut jelas bertolak belakang dengan media
yang berada di bawah sistem negara demokrasi yang lebih
menganut paham liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak
ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar
dan bisnis. d. Level ideologi. Diartikan sebagai kerangka berpikir atau
kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
21 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta : LKiS, 2001), h.
7-13
2. Ideologi Media
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ideologi media, alangkah lebih
baik jika peneliti menjabarkan dahulu beberapa pengertian ideologi.
Pemahaman mengenai ideologi pastilah berbeda menurut para ahli, artinya
penggunaan kata ideologi memiliki arti yang berbeda dan tidak ada
keseragaman mengenai pengertian ideologi.
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata
idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan
logia berarti pengetahuan atau teori. Ideologi menurut arti kata ialah
pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam
pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Menurut Gramsci, ideologi lebih dari
sekedar sistem ide. James Lull berpendapat, ideologi merupakan ungkapan yang
paling tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa,
kelompok agama, kandidat dan pergerakan politik, dll.22 Dalam Kamus Besar
Bahas Indonesia, arti dari ideologi ialah kumpulan konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup atau cara berpikir seseorang atau suatu golongan.
Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi kedalam tiga
penggunaan utama : 23
1) Ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki
kelompok atau kelas tertentu.
2) Ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu.
22 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotika
dan Framing (Bandung : Rosdakarya, 2004) h. 64-65.
23
Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan
Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika),” (Skripsi S 1 Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).
3) Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di
sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.
Penggunaan pertama lebih pada aspek psikologis. Penggunaan kedua, bisa
mencakup media ideologis, yakni mencakup sistem-sistem pendidikan, politik,
hukum dan media massa. Aspek penggunaan ketiga, lebih menekankan pada
istilah yang digunakan untuk melukiskan produk sosial atas makna.
Gambar 1
Peta Ideologi Pamela J. Shoemaker
Peta ideologi Pamela J. Shoemaker, membagi jurnalistik ke dalam tiga
bidang, yakni bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi
(sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus).
Bidang terluar, yakni bidang penyimpangan, di mana dalam wilayah
penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan atau perilaku (realitas) tertentu
dikucilkan dan dipandang menyimpang. Berisi nilai yang dipahami bersama
oleh komunitas. Bidang yang paling tengah, yakni bidang kontroversi, di mana
dalam wilayah kontroversi, suatu peristiwa, perilaku, atau gagasan (realitas)
Sphere
of
Deviance
Sphere
of
legitimate controversy
Sphere of
consensus
dipandang menyimpang dan buruk. Dalam bidang ini, realitas masih
diperdebatkan atau dipandang kontroversi. Sedangkan bidang yang paling luar,
yakni bidang konsensus, di mana dalam wilayah konsensus menunjukkan
bagaimana realitas tersebut dipahami dan disepakati secara bersama-sama
sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.24 Teori ini
menjelaskan bagaimana sebuah ideologi yang ada dalam sebuah media massa
dapat mempengaruhi bagaimana sebuah peristiwa dibingkai oleh media tersebut.
Ideologi sebuah media massa berupa citra ideal yang dikemas oleh media
massa seperti fakta dan dipahami sebagai realitas kongkrit. Ideologi media
massa menghasilkan wacana media massa berupa konstruk kultural, termasuk
berita surat kabar. Ideologi media dapat tercermin dari isis media massa berupak
produk dari media massa tersebut.
Media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah-milah
serta menentukan isu apa saja yang akan ditampilkan dan isu apa saja yang
harus disembunyikan. Selain itu juga menentukan isu apa yang harus
ditonjolkan, sehingga isu tersebut dipandang penting oleh khalayak.
Kemampuan media massa yang seperti itulah yang dikenal sebagai kemampuan
media massa menjalankan fungsi agenda setting.
Teori agenda setting ialah teori yang membahas mengenai dampak media /
efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Teori ini dikemukakan
oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dengan publikasi pertamanya “The
Agenda Setting Function of The Mass Media”. Model agenda setting
mengasumsikan adanya hubungan yang positif antara penilaian yang diberikan
24 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 127-128.
media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak terhadap
suatu persoalan. Agenda setting menonjolkan isu apa yang dianggap penting
oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan
media, akan luput dari perhatian masyarakat.25 Ada tiga proses agenda setting26:
1) Media agenda di mana isu didiskusikan dalam media
2) Public agenda ketika isu didiskusikan dan secara pribadi sesuai
dengan khalayak
3) Policy agenda pada saat para pembuat kebijakan menyadari
pentingnya isu tersebut
Realitas yang dihadirkan media massa, harusnya dilihat oleh khalayak
sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). Realitas yang diterima
khalayak ini bukan realitas yang sesungguhnya, melainkan sesuatu yang
dianggap sebagai realitas semu. Fakta semu inilah yang dianggap sebagai fakta
oleh publik, sebab publik tidak mungkin melihat langsung fakta sesungguhnya
selain yang disajikan oleh media massa.
“Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang adalah representasi
dari budaya masyarakatnya, maka representasi media massa adalah representasi budaya para redaktur dan desk sebuah media massa
dipengaruhi juga oleh kekuasaan kapitalisme termasuk budayanya,
sehingga secara langsung nilai kapitalisme ikut mendominasi nilai-nilai
yang ada dalam pemberitaan media massa.”27
3. Visi Misi Organisasi Media Massa
Thomas S. Bateman dan Scott A Snell mendefinisikan visi sebagai
strategic vision yang bergerak melampaui pernyataann misi untuk menunjukkan
suatu perspektif tentang arah perusahaan dan ingin menjadi seperti apa
perusahaan tersebut. Sedangkan misi didefinisikan sebagai tujuan dasar dan nilai
25 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung : Rosda Karya, 2004), h.
68.
26
http://en.wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting theory diakses pada 9 Mei 2009
27 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 229.
suatu organisasi, sesuai dengan lingkup operasinya.28
Sementara itu, visi dan
misi media secara khusus, harus mencakup tiga hal penting, yaitu :
1) Visi Ekonomi
Visi ekonomi, yaitu tujuan yang berkaitan dengan posisi keuangan sebuah organisasi media massa dan terfokus pada penerimaan,
pengeluaran dan keuntungan 2) Visi Service
Visi service, yaitu tujuan yang berhubungan dengan produk
jurnalistik yang dapat menarik pembaca dan dapat direspon sesuai
dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Tujuan ini merupakan
bentuk kontribusi dari organisasi media massa tersebut bagi kehidupan
masyarakat
3) Visi Personal
Visi Personal, yaitu tujuan yang berhubungan dengan individu
yang dipekerjakan oleh organisasi media massa tersebut
D. Teks Berita Sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial atas Realitas
Istilah / kata berita berasal dari bahasa Sansekerta, yakni vrit yang
kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi write, arti sebenarnya ialah
“ada” atau “terjadi”. Sebagian ada yang menyebutnya vritta, artinya “kejadian”
atau “yang telah terjadi”. Vritta masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“berita” atau “warta”.29
Secara sosiologis, berita adalah semua hal yang terjadi
di dunia.30
Berita menampilkan fakta, tetapi tidak setiap fakta merupakan berita.
Berita biasanya menyangkut orang-orang, tetapi tidak setiap orang bisa
dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia,
tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan. Berita adalah hasil akhir dari
proses kompleks dengan menyortir (memilah-milah) dan menentukan peristiwa
28
http://digilib.petra.ac.id/viewer, diakses pada 24 Juni 2009
29
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004),
h. 46.
30
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature (Bandung :
Siombiosa Rekatama Media, 2006), h. 63.
dan tema-tema tertentu dalam suatu kategori tertentu.31
Menurut Hikmat dan
Purnama Kusumaningrat, “...Berita tidak mudah untuk didefinisikan, namun
lebih mudah untuk diketahui...”32.
“Berita bukanlah cermin kondisi sosial, tetapi laporan tentang salah
satu aspek yang telah menonjolkannya sendiri. Dengan demikian perhatian kita diarahkan pada hal-hal yang menonjol (dan bernilai diperhatikan)
sebagai laporan berita dalam bentuk yang sesuai bagi pemuatan terencana
dan rutin.”33
Di dalam pandangan konstruksionis, berita adalah produk dari
profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan
dikonstruksi. Berita bukan menggambarkan realitas, tetapi arena pertarungan
antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari
konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai
dari wartawan atau media. Bagaimana realitas tersebut dijadikan berita,
bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses
pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita
merupakan cerminan dari realitas. Berita itu bersifat subjektif, di mana opini itu
dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif
pertimbangan subjektif.34
Peristiwa lantas tidak dapat disebut sebagai berita,
tetapi harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut memenuhi kriteria
nilai berita. Peristiwa itu baru disebut memiliki nilai berita dan layak untuk
diberitakan kalau peristiwa tersebut memiliki sisi :
31Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 102.
32
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori & Praktik
(Bandung : Rosda Karya, 2005), h. 31.
33
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Jakarta :Erlangga, 1987),
h. 190.
34 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 24-27.
Tabel 01
Nilai Berita35
Nilai Berita Penjelasan
Keluarbiasaan (Unusualiness) News is unusualiness. Berita adalah
sesuatu yang luar biasa. Semakin besar suatu peristiwa, semakin besar
pula nilai berita yang ditimbulkannya. Nilai berita peristiwa luar biasa, dapat
dilihat dari lima aspek, yaitu lokasi peristiwa, waktu peristiwa, jumlah
korban, daya kejut peristiwa dan dampak yang ditimbulkan dari
peristiwa tersebut.
Kebaruan (Newness) News is new. Berita adalah semua
yang terbaru.
Akibat (Impact) News has impact. Berita adalah segala
sesuatu yang berdampak. Semakin
besar dampak sosial budaya ekonomi
atau politik yang ditimbulkannya,
maka semakin besar nilai berita yang
dikandungnya.
Aktual (Timeless) News is timeless. Secara sederhana
aktual berarti menunjuk pada
peristiwa yang baru atau yang sedang terjadi.
Kedekatan (Proximity)
News is nearby. Berita adalah kedekatan. Kedekatan mengandung
dua arti, yaitu kedekatan geografis dan kedekatan psikologis. Kedekatan
geografis menunjuk pada suatu peristiwa atau berita yang terjadi di
sekitar tempat tinggal kita. Kedekatan psikologis lebih banyak ditentukan
oleh tingkat keterikatan pikiran,
perasaan atau kejiwaan seseorang
dengan suatu objek berita.
Informasi (Information) News is information. Menurut Wilbur
Schramm, informasi adalah segala
yang bisa menghilangkan
ketidakpastian. Hanya informasi
tertentu yang memiliki berita atau
memberi banyak manfaat kepada
publik yang patut mendapat perhatian
media.
35 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, h. 80-92.
Konflik (Conflict) News is conflict. Berita adalah konflik
atau segala sesuatu yang mengandung
unsur atau sarat dengan dimensi
pertentangan.
Orang Penting (Public Figure, News
Maker)
News is about people. Berita adalah
tentang orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Orang-orang
penting, orang terkemuka, di mana pun selalu membuat berita. Nama
menciptakan berita (names makes
news)
Kejutan (Surprising) News is surprising. Berita adalah sesuatu yang datangnya tiba-tiba, di
luar dugaan, tidak direncanakan, di luar perhitungan, tidak diketahui
sebelumnya.
Ketertarikan Manusiawi (Human
Interest)
News is interesting. Apa saja yang
dinilai mengundang minat insani,
menimbulkan ketertarikan manusiawi,
mengembangkan hasrat dan naluri
ingin tahu, dapat digolongkan ke
dalam cerita human interest.
Seks (Sex) News is sex. Berita adalah seks. Seks
adalah berita. Sepanjang sejarah
peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan perempuan, pasti
menarik dan menjadi sumber berita.
Proses kerja dan produksi berita adalah sebuah konstruksi. Sebagai sebuah
konstruksi, ia menentukan mana yang dianggap berita dan mana yang tidak,
mana yang penting dan mana yang tidak. Terdapat standarisasi nilai yang
dipakai oleh wartawan dan media untuk melihat realitas. Selain nilai berita,
prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa yang disebut sebagai
kategori berita. Terdapat lima kategori berita seperti yang diungkapkan oleh
Tuchman, antara lain:
Tabel 02
Kategori Berita36
Kategori Berita Penjelasan
Hard News Berita mengenai suatu peristiwa
tertentu. Kategori berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas.
Semakin cepat diberitakan semakin baik. Bahkan ukuran keberhasilan dari
kategori berita ini adalah dari sudut kecepatan diberitakan.
Soft News Kategori berita ini berhubungan dengan kisah manusiawi. Yang
menjadi ukuran dalam kategori berita ini bukanlah informasi dan kecepatan
ketika diterima oleh khalayak, melainkan apakah informasi yang
disajikan kepada khalayak tersebut
menyentuh emosi dan perasaan
khalayak.
Spot News Spot news adalah subklasifikasi dari
berita yang berkategori hard news.
Dalam spot news, peristiwa yang
akan diliput tidak bisa direncanakan.
Peristiwa kebakaran, kecelakaan,
pembunuhan, gempa bumi adalah
jenis-jenis peristiwa yang tidak bisa diprediksi.
Developing News Developing news adalah subklasifikasi lain dari hard news. Baik spot news
maupun developing news berkaitan dengan peristiwa yang tidak terduga.
Tetapi, dalam developing news
dimasukkan elemen lain, peristiwa
yang diberitakan adalah bagian dari rangkaian berita yang akan diteruskan
ke esokan atau dalam berita
selanjutnya.
Continuing News Continuing news adalah subklasifikasi lain dari hard news. Dalam continuing
news peristiwa-peristiwa bisa
diprediksikan dan direncanakan. Satu
peristiwa bisa terjadi kompleks dan
tidak terduga tetapi mengarah pada
satu tema tertentu.
36 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 109-110
Ilmu komunikasi sebagai payung jurnalisme memahami ada dua cara
pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama, berita
sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu manajemen produksi institusi media
cetak surat kabar ataupun majalah. Berita merupakan hasil dari suatu proses
kerja manajemen redaksional dengan sejumlah panduan atau kriteria, mulai dari
pencarian dan peliputan peristiwa di lapangan oleh reporter, proses editing
redaktur dan redaktur pelaksana, kemudian sampai pada proses seleksi layak
muat pada sidang meja redaksi. Kedua, berita sebagai hasil konstruksi realitas
yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna. Bahwa berita yang
merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajemen redaksional
ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan
oleh wartawan dalam diri khalayak pembacanya. Berita tidaklah mencerminkan
realitas sosial yang direkamnya. Berita yang ada di media dapat memberikan
realitas yang sama sekali baru dan berbeda dengan realitas sosialnya.
Berita yang memiliki nilai berita paling banyak dan paling tinggi, semakin
besar kemungkinannya menjadi headline, sebaliknya berita yang sedikit atau
rendah nilai beritanya, semakin kecil kemungkinannya untuk menjadi headline.
Pada akhirnya nilai berita menjadi landasan atau pijakan berpikir bagi wartawan
untuk memberikan keputusan realitas mana yang diliput dan mana yang tidak,
begitu juga berita seperti apa yang layak muat dan seperti apa pula yang tidak
layak muat. Penyampaian sebuah berita menyimpan subjektivitas penulis. Bagi
masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita
dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda
dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers, mereka menilai
setiap penulisan berita menyimpan latar belakang seorang penulis.
E. Analisis Framing Model Robert N. Entman
Analisis framing dapat diartikan secara sederhana sebagai analisis untuk
mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Analisis framing itu
sendiri merupakan metode yang sesuai dengan perspektif komunikasi, analisis
ini digunakan untuk membedah ideologi media saat mengkonstruksikan fakta
atau suatu peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis
berita.37
“Kenapa peristiwa ini diberitakan sementara peristiwa itu tidak
diberitakan? Kenapa sisi yang ini diberitakan sementara sisi yang lain luput dalam pemberitaan? Kenapa aspek yang ini ditonjolkan oleh media,
sementara aspek yang lain dihilangkan dalam pemberitaan? Kenapa bagian yang ini ditekankan oleh media, sementara bagian yang itu dikaburkan?
Semua pertanyaan tersebut mengarah dalam konsep yang disebut sebagai framing.”38
Ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta.
Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari bidang
sosiologi dan psikologi. Pendekatan psikologi melihat bagaimana pengaruh
kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri atau gagasan tertentu.
Orang cenderung melihat dunia ini dari perspektif tertentu, pesan atau realitas
cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang
sama bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena
37Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotika
dan Framing, h. 162.
38
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 2
orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda. Dalam pendekatan
sosiologi, konsep framing secara aktif yaitu dengan mengklasifikasikan dan
mengkategorisasikan pengalaman hidup agar mempunyai makna. Pada bagian
ini, frame di lihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi media dan
pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama.
Framing menentukan apa yang perlu atau harus diperhatikan oleh
khalayak, bagaimana mereka mengerti masalah sebagaimana tercermin dalam
penilaian dan pilihan jawaban yang diambil. Dalam prakteknya, framing
dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu
yang lain, serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan
berbagai macam strategi wacana. Framing dapat menyebabkan suatu peristiwa
yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila
masing-masing wartawan memiliki frame yang berbeda ketika melihat peristiwa
tersebut dan menuliskan pandangannya dalam bentuk berita.
Robert N. Entman ialah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi
analisis framing untuk studi isi media, yaitu menekankan pada level
makrostruktural dan mikrostruktural. Pertama, level makrostruktural yang dapat
kita lihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Kedua, level
mikrostruktural yang memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari
peristiwa tersebut yang ditonjolkan dan bagian mana yang dilupakan atau
dikecilkan, pembahasannya berkaitan dengan pilihan fakta, sudut pandang dan
narasumber. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan
proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas media. Entman melihat
framing dalam dua dimensi, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan
isu, seperti yang dapat peneliti jelaskan pada tabel di bawah ini :
Tabel 03
Perangkat Framing Entman39
Seleksi isu Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Dalam hal ini dilihat
aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan ? Ada bagian berita yang
dimasukkan (included), tetapi ada juga
bagian yang dikeluarkan (excluded).
Tidak semua aspek atau bagian dari
isu ditampilkan, wartawan memilih
aspek tertentu dari suatu isu.
Penonjolan aspek tertentu dari isu Bagian ini berhubungan dengan
penulisan fakta. Dalam hal ini, dilihat
bagaimana aspek tertentu ditulis ? Hal
ini sangat berkaitan dengan pemakaian
kata, kalimat, gambar dan citra
tertentu untuk ditampilkan kepada
khalayak.
Kedua faktor tersebut dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses
seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif
wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya dan
dibuangnya. Pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu
melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi
sebuah berita. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada
pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi. Wartawan
memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput dan apa yang harus
dibuang, apa yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan kepada
khalayak.
39Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 187
Tabel 04
Konsepsi Framing Entman
Define Problems
(Pendefinisian Masalah)
Ialah elemen yang pertama kali kita lihat mengenai framing. Menekankan
bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Peristiwa yang sama dapat
dipahami secara berbeda. Bagaimana sebuah peristiwa dilihat ? Sebagai apa ?
Atau sebagai masalah apa ?
Diagnose Causes
(Sumber Masalah)
Ialah elemen framing yang digunakan
untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa.
Penyebab di sini bisa berarti apa (what) dan bisa juga berarti siapa (who).
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh
apa ? Apa yang dianggap sebagai
penyebab dari suatu masalah ? Siapa
yang dianggap sebagai penyebab
masalah ?
Make Moral Judgement
(Membuat Keputusan Moral)
Ialah elemen framing yang dipakai
untuk memberi argumentasi pada
pendefinisian masalah yang sudah
dibuat. Nilai moral apa yang disajikan
untuk menjelaskan masalah ? Nilai
moral apa yang dipakai untuk
melegitimasi atau mendelegitimasi
suatu tindakan ?
Treatment Recommendation
(Penekanan Penyelesaian / Solusi)
Ialah elemen yang dipakai untuk
menilai apa yang dikehendaki oleh
wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk
menyelesaikan masalah. Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi
masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi
masalah ?
F. Kerangka Pemikiran
Tabel 05
Kerangka Pemikiran
Realitas mengenai penyebab terjadinya insiden Monas yang melibatkan
dua organisasi massa, yaitu FPI dan AKKBB dijadikan headline / bahasan
utama pada Koran Tempo dan Republika. Peristiwa tersebut selanjutnya diliput
oleh Koran Tempo dan Republika menjadi teks berita dan disajikan kepada
pembaca. Teks berita tersebut merupakan refleksi konstruksi realitas Koran
Tempo dan Republika terhadap peristiwa tersebut. Konstruksi realitas tersebut
mengungkapkan ideologi dan posisi Koran Tempo dan Republika terhadap
realitas insiden Monas yang kemudian peneliti analisis teks berita tersebut
dengan merujuk pada model analisis framing Robert N. Entman. Model tersebut
Koran Tempo dan Republika
Teks berita penyebab terjadinya insiden Monas
Konstruksi realitas Koran Tempo
dan Republika terkait dengan berita
penyebab terjadinya insiden Monas
Frame berita mengenai penyebab
terjadinya insiden Monas dugaan :
1. Define problems
2. Diagnose causes
3. Make moral judgement
4. Treatment recommendation
akan menjelaskan bagaimana Koran Tempo dan Republika melihat realitas
penyebab terjadinya insiden Monas. Siapa pelaku penyerangan, alasan atau
sebab sampai terjadinya peristiwa tersebut, argumen moral yang diajukan dan
jalan keluar atau solusi apa yang ditawarkan.
BAB III
PROFIL KORAN TEMPO dan REPUBLIKA
A. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo dan Republika
1. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo
Tempo lahir dan besar pada zaman Orde Baru, disokong oleh perusahaan
yang juga dibesarkan pada masa Orde Baru tahun 1971, tetapi Orde Baru juga
yang mematikannya.40
Tempo lahir dan mati di masa Orde Baru, beberapa
pendiri Tempo adalah aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut
menggulingkan Soekarno. Tempo luput dari pembredalan dua kali pada masa
Orde Baru, tahun 1974 dan 1978. Tahun 1982, terjadi Insiden Lapangan
Banteng, menjelang Pemilu 1982 dan dianggap oleh pemerintah mengganggu
keamanan. Untuk itu Goenawan Mohammad harus menandatangani kesepakatan
dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif,
termasuk yang menyangkut keluarga Cendana.
Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, untuk itu
Tempo merupakan fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Periode ketika
Tempo berjaya ialah pada dekade 1980-an, di mana anggaran belanja iklan
perusahaan banyak masuk ke media cetak. Jumlahnya mencapai 50 % dari total
belanja iklan tersebut. Inilah yang pada akhirnya membuat gaji para wartawan
Tempo mencapai puncaknya. Setelah perpindahan Tempo dari kawasan Senen
ke kawasan Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian terjadi eksodus
puluhan wartawannya. Mereka keluar dari Tempo untuk mendirikan Majalah
40http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul
“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 8 Desember
2008, 22:43
Editor, keluarnya mereka dikarenakan Tempo telah berubah menjadi institusi
bisnis, bukan lagi institusi perjuangan dan manajemen sering kali membela
pemilik modal dan tidak lagi menganggap wartawan sebagai aset berharga.
“Dunia media sangatlah dinamis karena ia juga mewakili dinamika
dalam masyarakat secara mikro. Kantor Tempo pertama di Senen banyak menyimpan memori. Kehangatan ruang seperti bedeng justru
menimbulkan suasana egaliter; pintu penghubung ruangan yang mirip
pintu bar di film-film koboi; perilaku para kolumnis yang kocak-kocak,
seperti misalnya: tulisan Ong Hok Ham yang sulit diedit karena satu
halaman ketik ketinggalan di rumahnya, atau Abdurrachman Wahid yang
bisa menghabiskan dua nasi bungkus sebelum mulai mengetik kolomnya
di Kantor Tempo; dan perilaku para wartawannya sendiri yang memang
jahil, menyiasati waktu-waktu krisis saat deadline. Situasi ini bergeser
ketika kemudian Tempo pindah dari suasana pasar ke situasi perkantoran
modern di kawasan Kuningan.”41
Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya
meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971
yang merupakan majalah pertama dan tidak memiliki afiliasi dengan
pemerintah. Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan
21 Juni 1994, Tempo kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga
menerbitkan majalah dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang
bernama Tempo Magazine dan pada 2 April 2001 Tempo juga menerbitkan
Koran Tempo. Pelarangan terbit Majalah Tempo pada 1994 bersama dengan
Editor dan Detik, tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin
bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal
perang dari Jerman, laporan ini dianggap membahayakan stabilitas negara.
Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh
Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan juga kecewa pada sikap Persatuan
41 Ibid. “Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas”
Wartawan Indonesia (PWI) karena menyetujui pembredelan Tempo, Editor dan
Detik yang kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Koran Tempo adalah sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di
Indonesia, pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya
dikenal dengan Majalah Tempo. Dalam proses pendiriannya Koran Tempo
melakukan penjualan saham kepada publik sebanyak 17,6 persen dari dana
tersebut hingga akhirnya koran ini bisa beroperasi. Koran Tempo pertama kali
diterbitkan di Jakarta, 2 April 2001 dengan sirkulasi sebesar 100.000 setiap
hari.42
Pertimbangan mendirikan Koran Tempo secara teknis ialah untuk
mewadahi bahan-bahan berita Majalah Tempo yang terbuang percuma, secara
idealis Koran Tempo mencoba memunculkan sesuatu yang baru dan berbeda
dengan surat kabar lainnya.
Idealisme Koran Tempo sendiri ialah menjadi media massa cetak yang
mampu mendorong masyarakat menjadi kritis dalam menerima informasi.
Market reader Koran Tempo ialah masyarakat kelas menengah ke atas yang
secara ekonomi berkecukupan dan memiliki pendidikan tinggi. Motto yang
dianut Koran Tempo adalah “to be concise”, yaitu memberitakan sebuah
peristiwa dengan ringkas padat dan jelas sesuai dengan 5 W + 1 H. Motto ini
juga yang mendasari desain Koran Tempo yang pendek dan berita tidak
bersambung dari satu halaman lain ke halaman lainnya. Pertimbangan lain
adalah waktu pembaca surat kabar yang relatif pendek.
Saat ini Tempo memiliki labelnya sebagai koran kompak, sebuah
pergeseran konsep surat kabar harian broadsheet menjadi format tabloid lima
42 http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo, diakses pada 1 Februari 2009
kolom yang lebih mungil dan ringkas. Harus diakui bahwa Tempo adalah
sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di Indonesia yang alumninya diakui di
mana-mana. Sebutlah nama-nama petinggi media di Indonesia saat ini, banyak
di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut majalah berita, sukar
menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di dalamnya.
Visi Tempo Inti Media
Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk
berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang
menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat.43
Misi Tempo Inti Media
1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang
enampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda 2. Sebuah produk multimedia yang mandir, bebas dari tekanan kekuasaan
modal dan politik 3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan
tampilan visual yang baik 4. Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik
5. Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai kemajuan jaman
6. Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor
7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya
khasanah artistik dan intelektual
2. Sejarah serta Perkembangan Republika
Republika adalah koran nasional yang dilahirkan oleh kalangan komunitas
muslim di Indonesia pada 4 Januari 1993. Penerbitan tersebut sebagai upaya
panjang kalangan umat Islam, khususnya wartawan profesional muda yang
dipimpin oleh ex wartawan Tempo, Zaim Uchrowi. Kehadiran Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dapat menembus pembatasan ketat
pemerintah untuk izin penerbitan saat itu.
43 Lampiran company profile Tempo Inti Media
“Harian Umum Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan
media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni bangsa yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain
di dunia, memegang nilai-nilai spiritualitas sebagai perwujudan Pancasila sebagai filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD
1945.”44
Nama Republika sendiri merupakan ide dari Presiden Soeharto, pada
awalnya harian ini akan diberi nama “Republik”. Penerbitan Republika menjadi
berkah bagi umat. Sebelum masa itu, aspirasi umat tidak mendapat tempat
dalam wacana nasional. Kehadiran media ini bukan hanya memberi saluran bagi
aspirasi tersebut, namun juga menumbuhkan pluralisme informasi di
masyarakat. Karena itu kalangan umat antusias memberi dukungan, antara lain
dengan membeli saham sebanyak satu lembar saham per orang. PT Abdi Bangsa
Tbk sebagai penerbit Republika pun menjadi perusahaan media pertama yang
menjadi perusahaan publik. Mengelola usaha penerbitan koran bukan perkara
sederhana. Selain sarat dengan modal dan sarat SDM, bisnis inipun sarat
teknologi. Keberhasilan Republika menapaki usia 15 tahun merupakan buah
upaya keras manajemen dan seluruh awak pekerja di PT Abdi Bangsa Tbk yang
dilakukan oleh perusahaan yang menerbitkan koran ini sejak 1993 untuk
mengelola segala kerumitan itu.
Setelah BJ Habibie tak lagi menjadi Presiden dan seiring dengan surutnya
kiprah ICMI selaku pemegang saham mayoritas PT Abdi Bangsa, pada akhir
2000, mayoritas saham koran ini dimiliki oleh kelompok Mahaka Media. Walau
berganti kepemilikan, Republika tak mengalami perubahan visi dan misi.
Namun, harus diakui ada perbedaan gaya dibandingkan dengan sebelumnya.
Sentuhan bisnis dan independensi Republika menjadi makin profesional dan
44Lampiran company profile Republika
matang sebagai koran nasional untuk komunitas muslim. Mulai tahun 2004,
Republika dikelola oleh PT Republika Media Mandiri (RMM). Sementara PT
Abdi Bangsa naik menjadi perusahaan induk (Holding Company). Di bawah PT
RMM, Republika terus melakukan inovasi penyajian untuk kepuasan pelanggan.
Republika pertama kali tampil dengan “Desain Blok”, hingga berhasil
memperoleh juara pertama Lomba Perwajahan Media Cetak 1993. Tahun 1995
membuka situs surat kabar pertama di Indonesia. Tahun 1997, menjadi yang
pertama mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ). Republika juga
sebagai koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Pada 31
Januari 2000, Republika menjadi koran pertama yang melakukan resizing. Pada
umumnya koran di Indonesia menggunakan kertas ukuran sembilan kolom, hal
ini terlihat tidak ergonomis. Ketika seluruh koran pada 2005 berubah ke delapan
kolom, maka 2 Januari 2006 Republika berubah menjadi tujuh kolom. Tahun
2006, mulai edisi September, Republika memberikan sisipan gratis majalah
olahraga “Arena”. Republika juga menjadi koran pertama yang sejak awal
menjadi perusahaan terbuka dan telah listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Banyak keberhasilan yang telah diraih oleh Republika. Di antaranya melahirkan
institusi sosial Dompet Dhuafa Republika, sebuah yayasan mandiri yang
bergerak di bidang kemanusiaan.
Berdasarkan hasil riset AC Nielsen 2002-2003, mayoritas pembaca
Republika adalah kaum muda dan berpendidikan tinggi. Mereka umumnya
berasal dari kalangan berpendidikan menengah ke atas (87%), berpenghasilan
Rp.1.000.000 (69%) dengan terbanyak rentang di atas Rp.2.000.000 (45%)
dengan pengeluaran umumnya di atas Rp.1.000.000. Sejak mulai terbit pada
tanggal 4 januari 1993, oplah penjualan Republika terus meningkat. Sepuluh
hari sejak terbit, oplah Republika sudah mencapai 100.000 eksemplar. Padahal
rencana awal terbit hanya diperkirakan sekitar 40.000 eksemplar per hari pada
semester pertama tahun 1993, berarti oplah Republika meningkat 2,5 kali lipat
dari rencana awal. Pada semester kedua, oplah Republika naik menjadi 130.000
eksemplar dan memasuki tahun kedua sudah meningkat menjadi 160.000
eksemplar per hari.45
Visi Harian Republika
Menjadikan harian Republika sebagai koran umat yang terpercaya dan
mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas dan
profesional, namun mempunyai prinsip dalam keterlibatannya menjaga
persatuan bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman
Rahmatan Lil Alamin. 46
Misi Harian Republika
Misi Republika di berbagai bidang kehidupan adalah sebagai berikut:
1. Dalam bidang politik, Republika mendorong demokratisasi dan
optimalisasi lembaga-lembaga negara, partisipasi politik semua lapisan
masyarakat dan pengutamaan kejujuran dan moralitas dalam politik
2. Dalam bidang ekonomi, keterbukaan dan demokratisasi ekonomi menjadi
kepedulian Republika, mempromosikan profesionalisme yang
mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dalam manajemen, menekankan
perlunya pemerataan sumber-sumber daya ekonomi dan mempromosikan
prinsip-prinsip etika dan moralitas dalam bisnis
3. Dalam bidang budaya, Republika mendukung sikap yang terbuka dan
apresiatif terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, dari manapun datangnya, mempromosikan
bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat, mencerdasakan, menghaluskan perasaan, mempertajam kepekaan nurani, serta bersikap
kritis terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang cenderung mereduksi
45
Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap
Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika),” (Skripsi S 1
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).
46 Lampiran company profile Republika & http://republika.co.id
manusia dan mendangkalkan nilai-nilai kemanusiaan
4. Dalam bidang agama, Republika mendorong sikap beragama yang terbuka sekaligus kritis terhadap realitas sosial-ekonomi kontemporer
5. Memprioritaskan pengembangan pemasaran harian Republika di jabodetabek, tanpa harus mematikan di daerah yang sudah ada
6. Merajut tali persaudaraan dengan organisasi Islam di Indonesia 7. Bekerjasama dengan mitra usaha di dalam pengembangan pasar harian
Republika di luar pulau Jawa 8. Mengamati peluang pengembangan “Koran Komunitas” seperti misalnya
“Bintaro Pos”, “Depok Pos”, “Bekasi Pos” atau jenis koran lainnya
9. Mengelola Kantor Perwakilan sebagai “semi otonomi”
10. Menjadikan PT Republika Media Mandiri sebagai “sister company” yang
sehat
11. Menjadikan harian Republika sebagai koran # ONE.
B. Struktur Redaksi Koran Tempo dan Republika
1. Struktur Redaksi Koran Tempo
Penerbit : PT Tempo Inti Media Harian
Corporate Chief Editor : Bambang Harymurti
Pemimpin Redaksi : S Malela Mahargasari. PJ.
Redaktur Eksekutif : Gendur Sudarsono
Redaktur Senior : Diah Purnomowati, Fikri Jufri, Goenawan
Mohammad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus
Corporate Secretary : Rustam F. Mandayun
Redaktur Utama : Burhan Solihin, Purwanto Setiadi,
Wicaksono
Sekretaris Redaksi : Dyah Irawati Hapsari
Direktur Utama : Bambang Harymurti
Direktur : Herry Hernawan, Toriq Hadad
Alamat Redaksi :
Kebayoran Center Blok A11-A15, Jln.Kebayoran Baru Mayestik
Jakarta 12240
Telphone : (021) 7255625
Faksimili : (021) 7255645/50
Email : [email protected]
Alamat Perusahaan :
Jalan Palmerah Barat No. 8 Jakarta 12210
Telphone (021) 5360409
2. Struktur Redaksi Republika
Pemimpin Redaksi : Ikhwanul Kiram Mashuri
Wapemred : Nasihin Masha
Redaktur Pelaksana : Agung P. Vazza
Kepala Newsroom : Arys Hilman
Redaktur Senior : Anif Punto Utomo
Wakil Redaktur Pelaksana : Elba Damhuri, Selamat Ginting, S
Kumara Dewatasari
Asisten Redaksi Pelaksana : Nurul S. Hamami (Ekonomi),
Rakhmat Hadi Sucipto (Olahraga, Hiburan, Internasional), Bidramnanta
(Special Product), Subroto (Nasional), Nina Chairani (Ahad & Akhir
Pekan), Irwan Ariefyanto (Investigasi)
Sekretaris Redaksi : Fachrul Ratzi
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers :
SK Menpen No. 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992
Alamat :
Jl. Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta Selatan 12510
BAB IV
KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS di KORAN
TEMPO dan REPUBLIKA EDISI JUNI 2008
A. Frame Koran Tempo dan Frame Republika
1. Frame Koran Tempo
Analisis berita insiden Monas di Koran Tempo dilakukan untuk menjawab
pertanyaan riset peneliti, yaitu mengetahui penekanan dan seleksi isu yang
dilakukan oleh tim redaksi Koran Tempo pada pemberitaan terkait penyebab
terjadinya insiden Monas. Di bawah ini adalah uraian dari frame Koran Tempo
dalam bahasan utama mengenai penyebab terjadinya insiden Monas :
Tabel 06
Koran Tempo : Senin, 2 Juni 2008
“Bubarkan FPI”
Problem Identification /
Define Problem Masalah hukum pembubaran FPI
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Aksi anarkis FPI
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
a. FPI menodai Pancasila sebagai dasar negara
b. FPI menentang kebebasan beragama yang
sudah dijamin konstitusi
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Aparat bertindak tegas
Koran Tempo pada edisi Senin, 2 Juni 2008, menyampaikan berita terkait
penyebab terjadinya insiden Monas dengan mengangkat judul “Bubarkan FPI”.
Koran Tempo dalam pemberitaannya secara tegas meminta kepada pemerintah
untuk segera membubarkan FPI terkait aksi penyerangan kepada AKKBB di
Lapangan Silang Monas, 1 Juni 2008. Koran Tempo mengidentifikasikan
permasalahan ini ke dalam kasus hukum pembubaran FPI terkait dengan aksi
anarkis yang dilakukan oleh organisasi masyarakat tersebut kepada AKKBB.
Koran Tempo menggambarkan bahwa insiden Monas merupakan aksi kekerasan
yang amat keji yang telah dilakukan oleh FPI. Koran Tempo menegaskan bahwa
keberadaan FPI menuntut pembubaran Ahmadiyah merupakan ancaman
kebebasan beragama di Indonesia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Hal
tersebut bisa kita lihat dari pernyataan beberapa tokoh seperti Mantan Presiden
Abdurrahman Wahid, Goenawan Mohamad, budayawan dan tokoh pendiri
Tempo hingga juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng. Di antara
ketiganya sama-sama menyatakan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan
oleh FPI dan mendefinisikan bahwa keberadaan FPI mengancam kebebasan
umat beragama di Indonesia.
“JAKARTA – Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengecam
aksi penyerbuan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) terhadap
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, kemarin. Dia menuntut aparat
penegak hukum membubarkan FPI karena dinilai mengancam kebebasan
beragama di Indonesia.” 47
“Goenawan Mohamad, budayawan, menyatakan bahwa tindakan FPI menentang Ahmadiyah sama halnya dengan menentang kebebasan
beragama yang sudah dijamin konstitusi. “Memang FPI itu ingin mendirikan negara Islam?” katanya.”48
47 “Bubarkan FPI”, Koran Tempo, 2 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat di
lampiran.
48 Ibid, alinea 13. “Bubarkan FPI”.
“Lembaga kepresidenan juga bereaksi keras atas peristiwa ini. Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan, menegaskan bahwa negara
harus melindungi warga negara yang hak konstitusionalnya dilanggar...”49
Bahkan Gusdur menilai kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah menodai
Pancasila sebagai dasar negara, dikarenakan peristiwa penyerangan tersebut
terjadi pada saat peringatan Hari Lahir Pancasila ke-63.
“FPI telah menodai Pancasila sebagai dasar negara yang
menjunjung pluralisme bangsa, kata Ketua Dewan Syuro Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama ini.”50
Koran Tempo dalam hal ini menilai FPI sebagai pelaku tindak kekerasan
yang amat keji. Di mana pada pemberitaannya, Koran Tempo menggambarkan
kronologis kejadian, menuliskan pernyataan korban kekerasan yang semuanya
berasal dari anggota AKKBB. Seperti beberapa tulisan yang dimuat oleh Koran
Tempo pada edisi ini :
“Kemarin siang, Aliansi Kebangsaan menggelar apel memperingati hari kelahiran Pancasila. Kegiatan yang dipusatkan di Lapangan Monas
bagian selatan ini diikuti 70 lembaga, antara lain Komunitas Santri, Nahdlatul Ulama, Ahmadiyah, Komunitas Gereja, Penghayat
Kepercayaan, Syiah, dan Pesantren Cirebon.”51
“Koordinator Aliansi Kebangsaan, Anik H.T., memberi kesaksian,
“Mereka menyabet kami dengan kayu bendera dan pentungan. Mereka
menyemprotkan pasir yang diberi bumbu dapur. Perih di mata”.”52
“Kelompok penyerang beraksi brutal. Sasaran mereka bukan hanya
laki-laki, tetapi juga ibu-ibu dan anak-anak. “Kami tidak membalas. Kami
pilih mundur,” ujar Budi Kurniawan, anggota panitia.”53
49 Ibid, alinea 14. “Bubarkan FPI”.
50
Ibid, alinea 2. “Bubarkan FPI”.
51
Ibid, alinea 3. “Bubarkan FPI”.
52
Ibid, alinea 5. “Bubarkan FPI”.
53 Ibid, alinea 6. “Bubarkan FPI”.
Keinginan Koran Tempo agar FPI bertanggung jawab terhadap kekerasan
di Monas, terjawab dari pernyataan Panglima Laskar Pembela Islam (LPI),
Muhammad Machsuni yang secara tegas menyatakan bahwa LPI bertanggung
jawab terhadap kerusuhan di Monas. LPI adalah kelompok paramiliter FPI.
Machsuni mengingatkan bahwa yang melakukan tindak kekerasan di Monas
adalah LPI bukan FPI. Antara FPI dan LPI memiliki garis komando yang
berbeda. Dari pernyataan yang diutarakan oleh Machsuni dan kemudian ditulis
oleh Koran Tempo pada pemberitaannya seolah-olah menegaskan bahwa LPI
membenarkan perang dan kekerasan dalam menghadapi Ahmadiyah.
“Ahmadiyah, menurut Machsuni, telah mencoreng nama umat
Islam. Pilihannya hanya ada dua, “tobat atau perang”. Karena itu, dia
membenarkan kekerasan fisik yang terjadi di Monas. “Masak, perang
hanya dicolek saja,” kata Machsuni.”54
Dalam pemberitaannya, Koran Tempo meminta aparat penegak hukum
bertindak tegas terhadap FPI dan tidak terus melindungi mereka. Seperti yang
dikutip dari pernyataan anggota AKKBB :
“Itu perbuatan biadab FPI. Saya menuntut aparat bertindak tegas,
jangan terus melindungi preman berjubah.”55
54 Ibid, alinea 12. “Bubarkan FPI”.
55Ibid, alinea 9, baris 3. “Bubarkan FPI”.
Tabel 07
Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008
“Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”
Problem Identification /
Define Problem Masalah Hukum Pembekuan FPI
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Tindakan kekerasan FPI
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
a. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan
b. Indonesia bukan negara kekerasan
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
a. Menangkap para pelaku
b. Membubarkan FPI
Koran Tempo pada edisi Selasa, 3 Juni 2008, kembali menjadikan berita
insiden Monas sebagai bahasan utama pada harian tersebut dengan
menempatkan beritanya di halaman depan atau di Koran Tempo dikenal dengan
Top Headline, sedangkan untuk berita-berita terkait dengan insiden Monas di
tempatkan pada halaman kedua yaitu pada rubrik headline. Koran Tempo
memberikan porsi yang lebih banyak untuk berita insiden Monas, yaitu dengan
menyajikan sebanyak tiga berita pada hari ini.
Koran Tempo pada berita pertama, mengangkat judul “Pemerintah Kaji
Pembekuan FPI”. Dalam pemberitaannya Koran Tempo kembali menegaskan
kepada pemerintah untuk segera membubarkan FPI. Upaya pembubaran FPI
sendiri tengah dipelajari oleh pemerintah. Presiden SBY sudah menyerahkan
kasus FPI kepada Widodo A.S., Menteri Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan serta kementrian terkait. Seperti apa yang ditulis oleh Koran Tempo
berikut ini :
“Widodo menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kasus FPI kepadanya dan kementrian terkait. “nanti Departemen Dalam Negeri yang akan
mendalami,” kata Widodo seusai rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan kemarin malam.”56
Pembubaran FPI sendiri, menurut Widodo A.S. berlandaskan pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Namun, mekanisme pembubarannya sendiri masih belum tahu kapan akan
dilakukan. Seperti apa yang ditulis oleh Koran Tempo berdasarkan pernyataan
Jaksa Agung Hendarman Supandji :
“Jaksa Agung Hendarman Supandji menambahkan, dalam undang-
undang tersebut diatur, sebelum pembekuan dilakukan, pemerintah akan
memberi FPI dua kali peringatan. “Setelah itu baru fatwa Mahkamah
Agung (untuk pembekuan),” katanya.”57
Pembubaran FPI semata-mata dilakukan karena FPI telah melakukan tindak
kekerasan terhadap AKKBB di Lapangan Silang Monas yang menyebabkan
beberapa korban mengalami luka ringan dan berat. Tidak hanya itu, berbagai
kecaman juga datang dari beberapa pihak, termasuk Presiden SBY, Wakil
Presiden Yusuf Kalla dan Ketua DPR Agung Laksono yang pada intinya
mengecam tindak kekerasan tersebut. Seperti tulisan dari Koran Tempo berikut
ini :
“Presiden Yudhoyono kemarin kembali mengecam dan
menyesalkan aksi kekerasan FPI. “Indonesia adalah negara hukum, bukan
negara kekerasan,” katanya.”58
“Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta kepolisian bertindak tegas
terhadap FPI. “Siapapun yang bertindak anarkistis harus ditindak oleh
kepolisian,” katanya.”59
56 “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, h. 1, alinea 3. Lebih
jelas lihat di lampiran.
57
Ibid, alinea 5. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
58
Ibid, alinea 10. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
59 Ibid, alinea 11. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
“Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono juga mengutuk
keras FPI dan menuding aksi itu sebagai tindakan tidak bermoral. “Itu tidak bisa ditoleransi,” katanya.”60
Koran Tempo pada pemberitaannya memberikan solusi untuk segera
menangkap pelaku kerusuhan, salah satu diantaranya Panglima Komando
Laskar Islam Munarman. Koran Tempo dalam hal ini meminta ketegasan dari
pihak kepolisian untuk segera melakukan penangkapan dan ketegasan kepada
pemerintah untuk segera membubarkan FPI. Meskipun dalam tulisannya, Ketua
FPI Rizieq Shihab menolak permintaan pembubaran organisasinya dan
penangkapan terhadap anggota FPI.
“Ketua FPI Rizieq Shihab menolak permintaan pembubaran
organisasinya. Dia mengklaim desakan pembubaran datang dari segelintir
orang saja.”61
“Rizieq tidak akan merelakan satu pun anggota FPI ditangkap
polisi. “Kami akan melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan,” katanya.”62
Tidak hanya penyampaian berita pada tulisannya saja, Koran Tempo juga
memuat foto yang menggambarkan Ketua Laskar Islam Munarman, sedang
mencekik leher salah seorang pemuda berpakaian hitam yang dituliskan pada
caption foto tersebut sebagai anggota Aliansi Kebangsaan. Namun, pada
kelanjutannya Munarman membantah bahwa pemuda yang ia cekik adalah
anggota AKKBB. Munarman menegaskan bahwa pemuda yang ia cekik adalah
anggotanya bernama Ucok Nasrullah.
60 Ibid, alinea 12. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
61
Ibid, alinea 7. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
62 Ibid, alinea 9. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
Tabel 08
Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008
“Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif”
Problem Identification /
Define Problem Korban luka dari pihak AKKBB
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Tindakan kekerasan oleh laskar FPI
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Koban tidak berdaya, laskar FPI menyerang
tidak pandang bulu
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
-
Koran Tempo pada berita selanjutnya, masih di edisi yang sama, kembali
membahas mengenai insiden Monas dengan mengangkat judul “Dua Korban
Penyerangan Dirawat Intensif”. Koran Tempo membahas mengenai korban luka
akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laskar FPI. Koran Tempo
mendefinisikan bahwa kekerasan yang telah di lakukan laskar FPI
mengakibatkan beberapa orang dari pihak AKKBB terluka. Bahkan ada dua
korban luka dengan kondisi cukup parah, yaitu Muhammad Guntur Romli dan
Dedi C. Achmad, keduanya adalah korban dari pihak AKKBB.
“Para korban adalah aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), yakni Muhammad Guntur Romli,
32 tahun, dan Dedi C. Achmad, 57 tahun. Sedangkan Tahir, 50 tahun,
diizinkan pulang kemarin sore. Guntur Romli adalah aktivis Jurnal
Perempuan serta pembawa acara kongkow Bareng Gus Dur di Radio Utan
Kayu dan radio 68H. Sedangkan Dedi dan Tahir adalah anggota jemaah
Ahmadiyah.”63
63 “Dua korban Penyerangan Dirawat Intensif”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, h. 2, alinea 2.
Lebih jelas lihat di lampiran.
Koran Tempo menggambarkan secara jelas dari beberapa narasumber
tentang aksi brutal yang dilakukan oleh laskar FPI. Bagaimana mereka
menyerang?. Siapa yang diserang?. Dengan alat apa mereka melakukan
penyerangan?. Seperti tulisan Koran Tempo di bawah ini :
“AKKBB diserang di kawasan Monumen Nasional ketika
memperingati acara Hari Lahir Pancasila ke-63. Tiba-tiba, sekitar pukul
14.00 WIB, ratusan orang beratribut FPI menyerang dengan menggunakan
berbagai benda. Menurut Dedi, laskar FPI menyerang tanpa pandang bulu.
Wanita dan anak-anak pun jadi sasaran. “Mereka menyerang sambil
meneriakkan ‘Allahuakbar’.”64
Koran Tempo sangat jelas menggambarkan AKKBB sebagai pihak yang
dirugikan akibat insiden tersebut, sebagai pihak tertindas, sebagai korban dari
tindak kekerasan laskar FPI.
“AKKBB mencatat, 27 anggotanya yang menjadi korban dilarikan ke sejumlah rumah sakit, antara lain RSPAD, Tarakan, Abdi Waluyo
Menteng, Cipto Mangunkusumo, Jakarta, serta Mitra Internasional. Mereka berasal dari berbagai organisasi. Saidiman, koordinator aksi
AKKBB, mengatakan beberapa korban harus menjalani kontrol rutin.”65
Dan sebaliknya laskar FPI digambarkan oleh Koran Tempo sebagai pihak yang
harusnya bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut, akibat dari banyaknya
korban yang menderita luka ringan bahkan cukup parah dari pihak AKKBB.
64 Ibid, alinea 4. “Dua korban Penyerangan Dirawat Intensif”.
65 Ibid, alinea 7. “Dua korban Penyerangan Dirawat Intensif”.
Tabel 09
Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008
“Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”
Problem Identification /
Define Problem Masalah hukum Pembubaran FPI
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Kekerasan yang dilakukan FPI
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
a. Pembubaran FPI
b. Menangkap para pelaku aksi kekerasan
c. Pemerintah bersikap tegas
Koran Tempo pada berita terakhir terkait insiden Monas edisi Selasa, 3
Juni 2008, mengangkat judul “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”. Berita ini
seolah mempertegas berita yang ada pada Top Headline, yaitu “Pemerintah Kaji
Pembekuan FPI”. Koran Tempo menuliskan dua berita yang saling memiliki
keterkaitan ini seolah menginginkan pemerintah benar-benar menjalankan
komitmennya, bukan hanya sekedar wacana pembubaran FPI, tetapi ada bukti
nyata yang akan dilakukan. Berita ini masih terkait dengan persoalan hukum
pembubaran FPI atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi tersebut.
Dijelaskan oleh Koran Tempo bahwa pemerintah bisa membubarkan FPI
melalui jalur hukum, bisa melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
atau melalui pengadilan. Sebagaimana tulisan Koran Tempo berikut ini :
“JAKARTA – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan
Buyung Nasution, meminta pemerintah bersikap tegas terhadap organisasi
yang terlibat kekerasan dalam insiden di Monumen Nasional dua hari lalu.
Menurut dia, pemerintah bisa membubarkannya. “Caranya, melalui
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau meminta melalui
pengadilan,” ujar Adnan Buyung setelah menghadiri pembacaan siaran
pers Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Jakarta kemarin. “Pemerintah Harus Tegas.”66
Departemen Hukum dan HAM sendiri mengaku tidak bisa membubarkan
organisasi kemasyarakatan FPI, lantaran FPI bukan organisasi berbadan hukum.
FPI baru bisa dibubarkan apabila sudah berbadan hukum hal tersebut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Meskipun begitu, pelaku tindak anarkis pada insiden tersebut
harus tetap diproses melalui jalur hukum. Koran Tempo dalam hal ini kembali
mempertegas bahwa ia memiliki beberapa tuntutan, yaitu pembubaran FPI dan
yang terpenting adalah penangkapan pelaku anarkis pada insiden Monas serta
memproses mereka sesuai dengan hukum. Tidak hanya itu, dikatakan bahwa FPI
bukan organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yang berarti FPI adalah
organisasi masyarakat yang sifatnya ilegal. Jika tetap menginginkan
pembubaran FPI, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan harus direvisi terlebih dahulu.
“Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata
mengatakan FPI tidak bisa dibubarkan karena bukan organisasi yang
berbadan hukum. Departemennya, kata dia, tidak mencatat FPI sebagai
organisasi berbadan hukum. “Bisa dibubarkan kalau sudah berbentuk
badan hukum,” ujarnya.”67
“Pendapat senada dikemukakan ahli hukum Universitas Indonesia,
Rudy Satryo. “Organisasi massa itu tidak bisa dibubarkan,” ujarnya. Itu
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Pembubaran, menurut Rudy, baru bisa dilakukan setelah
undang-undang itu direvisi terlebih dahulu. Untuk menyelesaikan kasus
penyerangan itu, Rudy menyarankan agar tindakan anarkistis tersebut tetap
harus diproses hukum. “Tapi orangnya saja. Lembaganya tidak bisa dikenai sanksi hukum,” ujarnya.”68
66 “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, h. 2, alinea 1. Lebih
jelas lihat di lampiran.
67
Ibid, alinea 5. “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”.
68 Ibid, alinea 6. “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”.
Koran Tempo pada bagian akhir alinea pertama menuliskan pernyataan,
“Pemerintah Harus Tegas”. Pernyataan yang dilontarkan oleh Adnan Buyung
Nasution tersebut secara tersirat menggambarkan keinginan Koran Tempo agar
pemerintah bersikap tegas dalam menangani kasus insiden Monas dan tegas
terhadap komitmen untuk menindak lanjuti pembubaran FPI. Tuntutan
pembubaran FPI tidak hanya menjadi keinginan Koran Tempo, tetapi juga
banyak pihak. Dengan banyaknya tuntutan dari berbagai pihak terhadap
pembubaran FPI, maka Koran Tempo menginginkan agar pemerintah benar-
benar bersikap tegas.
Tabel 10
Koran Tempo : Rabu, 4 Juni 2008
“Polisi Ultimatum FPI”
Problem Identification /
Define Problem Tuntutan pembubaran FPI
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Tindakan kekerasan FPI
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Pembubaran FPI dilakukan jika terbukti
membahayakan kepentingan umum
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Pemerintah bertindak tegas dan memproses
kasus ini ke jalur hukum
Koran Tempo pada edisi Rabu, 4 Juni 2008, kembali memberitakan kasus
insiden Monas sebagai bahasan utama. Pada edisi hari ini Koran Tempo
menyajikan empat berita terkait insiden Monas. Satu berita ditempatkan pada
halaman depan (Top Headline), dua berita di tempatkan pada halaman kedua
(Headline) dan satu berita lagi di tempatkan pada rubrik Metro dengan gaya
penulisan features. Namun, peneliti hanya menganalisis tiga berita yang menjadi
bahasan utama.
Koran Tempo pada berita pertama edisi ini mengangkat judul “Polisi
Ultimatum FPI”. Koran Tempo mengidentifikasikan masalah seputar
pembubaran FPI. Tuntutan pembubaran tersebut dilakukan lantaran tindak
kekerasan yang telah dilakukan oleh organisasi tersebut pada 1 Juni 2008.
Namun, pada edisi ini ada perkembangan dari kasusnya sendiri, yaitu upaya
polisi yang meminta kepada pelaku tindak kekerasan agar secepatnya
menyerahkan diri. Di sini polisi menyatakan apabila para pelaku tidak
menyerahkan diri, maka pihak kepolisian melalui pernyataan yang disampaikan
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Inspektur Jenderal Adang Firman,
akan bertindak tegas terhadap pelaku yang keseluruhan adalah anggota Laskar
Pembela Islam, organisasi sayap FPI.
“JAKARTA - Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Inspektur
Jenderal Adang Firman memberi batas waktu kepada para pelaku kekerasan dalam insiden Monas agar menyerahkan diri paling lambat
malam tadi. “Jika itu dilanggar, kami akan bertindak tegas,” kata Adang
kemarin.”69
“Ia menjelaskan, aparatnya telah mengidentifikasi 10 lebih pelaku
dalam peristiwa pada Ahad lalu. Seluruh tersangka merupakan anggota
Laskar Pembela Islam, sayap organisasi Front Pembela Islam (FPI).”70
Pembubaran FPI sendiri, seperti yang dituliskan oleh Koran Tempo pada
setiap beritanya, merupakan tuntutan banyak pihak. Baik itu tuntutan perorang
ataupun tuntutan dari organisasi yang semuanya mengecam tindakan kekerasan
FPI. Hampir seluruh isi berita pada judul ini berisikan tuntutan pembubaran FPI.
Berikut beberapa tuntutan yang dituliskan oleh Koran Tempo :
69 “Polisi Ultimatum FPI”, Koran Tempo, 4 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat di
lampiran.
70 Ibid, alinea 2. “Polisi Ultimatum FPI”.
“...Ketua Umum Partai Amanat Nasional Sutrisno Bachir
mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas. “Bila sudah memenuhi syarat, pemerintah jangan takut membubarkannya...”71
“Syafi'i Anwar, Direktur International Center for Islam and
Pluralism, yang turut jadi korban dalam peristiwa itu, menegaskan bahwa dirinya adalah orang Muhammadiyah, yang secara teologi berbeda 200
persen dari Ahmadiyah. Namun, katanya, ia mengikuti aksi bersama Aliansi Kebangsaan karena merasa perlu membela hak hidup para
penganut Ahmadiyah. “Saya tidak setuju dengan kekerasan”.”72
“Tuntutan pembubaran FPI juga diusung oleh 15 organisasi yang
tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Antikekerasan dan Premanisme Berbasis Agama. “Mereka sudah mengancam kedamaian masyarakat,”
kata Malik Haromain, juru bicara Aliansi, setelah menemui Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Zuhairi Misrawi dari Baitul Muslimin
Indonesia juga menilai kekerasan yang dilakukan FPI telah mengancam kebangsaan dan kebebasan berideologi.”73
“Ketua Umum Garda Bangsa Camelia Puji Astuti Hasip
menyerukan hal serupa saat konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa. Organisasi ini juga menginstruksikan
agar elemen mereka menuntut pembubaran FPI di seluruh daerah.”74
Tuntutan pembubaran terhadap FPI juga terjadi di Jember, Jawa Timur, bahkan
Ketua FPI setempat menyatakan membubarkan diri dan meminta maaf kepada
masyarakat.
“Di Jember, Jawa Timur, Ketua FPI setempat, Abu Bakar,
akhirnya menyatakan membubarkan diri setelah rumahnya didatangi
ratusan pendukung mantan presiden Abdurrahman Wahid. “FPI Jember
juga meminta maaf kepada masyarakat,” katanya.”
Tuntutan pembubaran FPI bisa dilakukan apabila FPI terbukti membahayakan
kepentingan umum, seperti yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri,
Mardiyanto. Sehingga pada kesimpulan akhir, Koran Tempo menuntut
pemerintah bertindak tegas dan memproses masalah ini ke jalur hukum.
71 Ibid, alinea 4. “Polisi Ultimatum FPI”.
72
Ibid, alinea 5. “Polisi Ultimatum FPI”.
73
Ibid, alinea 7. “Polisi Ultimatum FPI”.
74 Ibid, alinea 9. “Polisi Ultimatum FPI”.
Tabel 11
Koran Tempo : Rabu, 4 Juni 2008
“Koran Tempo Akan Diserbu”
Problem Identification /
Define Problem
Ancaman penggugatan dan penyerbuan kantor
Koran Tempo
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause
Pemuatan foto Munarman sedang mencekik
seorang pemuda
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Pengembalian nama baik dengan menggunakan
delik pers
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Koran Tempo kembali menegaskan kepada
pihak kepolisian untuk tidak ragu-ragu
menindak pelaku kekerasan
Koran Tempo pada berita kedua, edisi Selasa, 4 Juni 2008 mengangkat
judul “Koran Tempo Akan Diserbu”. Koran Tempo menuliskan adanya
ancaman yang di sampaikan oleh Munarman untuk menggugat dan menyerbu
kantor Koran Tempo karena telah memfitnahnya melalui foto yang dimuat di
harian ini, Selasa, 3 Juni 2008.
“JAKARTA- Panglima Komando Laskar Islam Munarman mengancam akan menggugat dan menyerbu kantor Koran Tempo, yang
dinilai telah memfitnah dirinya. “Jika dalam 1 x 24 jam Goenawan Mohamad (pendiri Tempo) dan Tempo tak minta maaf, saya akan serbu
dia,” katanya dalam keterangan pers di markas Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Petamburan III, Jakarta Pusat, kemarin.”75
Foto tersebut menjadi masalah lantaran dalam foto yang dimuat oleh
Koran Tempo, Munarwan digambarkan sedang mencekik salah seorang pemuda.
Pada caption foto yang ditulis di sebelah kanan, Koran Tempo menuliskan
bahwa pemuda yang dicekik oleh Munarman adalah anggota Aliansi
Kebangsaan. Namun, pada jumpa pers yang diadakan di markas FPI di daerah
75 “Koran Tempo Akan Diserbu”, Koran Tempo, 4 Juni 2008, h. 2, alinea 1. Lebih jelas
lihat di lampiran.
Petamburan, Munarman membantah bahwa pemuda itu adalah anggota Aliansi
Kebangsaan. Munarman menyatakan bahwa pemuda yang ada di foto tersebut
adalah anak buahnya.
“Ancaman itu berkaitan dengan pemuatan foto Munarman yang
sedang mencekik seorang pemuda di halaman depan Koran Tempo edisi Selasa. Menurut bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia ini, pemuda yang ia cekik adalah anak buahnya yang akan
bertindak anarkistis.”76
Pemuatan foto yang dilakukan oleh Koran Tempo, bagi FPI dan
Munarman adalah fitnah yang telah mencoreng namanya. Sehingga Munarman
mengambil langkah untuk menuntut pengembalian nama baik dengan
menggunakan delik pers. Namun, ancaman yang disampaikan oleh Munarman,
ditanggapi biasa saja oleh Goenawan Mohamad selaku pihak yang dituntut oleh
Munarman untuk meminta maaf :
“Menanggapi ancaman itu, Goenawan Mohamad berkomentar
singkat, “Silakan serbu”.”77
Koran Tempo menuliskan bahwa foto tersebut disebarkan oleh AKKBB
dan berdasarkan sumber dari media lain, yakni Detikcom, pemuda yang
diketahui bernama Ucok Nasrullah, baru dua bulan bergabung dengan FPI. Hal
tersebut bertentangan dengan pernyataan Munarman dan Rizieq Shihab yang
menyatakan bahwa Ucok Nasrullah adalah aktivis senior laskar FPI.
“Nasrullah alias Ucok, pemuda yang dicekik itu, kemarin
ditunjukkan oleh Munarman dan pemimpin FPI, Rizieq Shihab, kepada
pers. Nasrullah disebut sebagai aktivis senior laskar FPI. Tapi, kepada
situs Detikcom, Nasrullah mengatakan baru bergabung di FPI dua
bulan.”78
76 Ibid, alinea 3. “Koran Tempo Akan Diserbu”.
77
Ibid, alinea 2. “Koran Tempo Akan Diserbu”.
78 Ibid, alinea 4. “Koran Tempo Akan Diserbu”.
“Nasrullah berada di lokasi ketika massa FPI pada Ahad siang lalu
menyerang para aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di lapangan selatan Monumen Nasional,
Jakarta Pusat. Dalam serangan itu, belasan orang terluka, empat di antaranya dirawat intensif di rumah sakit. Sehari kemudian, Aliansi
mengedarkan foto, termasuk kepada Tempo, yang menggambarkan Munarman sedang mencekik seorang pemuda.”79
Dari kedua alinea tersebut, Koran Tempo berusaha untuk membela diri dan
menyatakan bahwa bukan hanya Koran Tempo yang memuat foto tersebut,
tetapi ada media lain yang juga memuatnya. Koran Tempo juga menegaskan
bahwa yang menyebarkan foto tersebut bukanlah pihaknya, melainkan AKKBB.
Di bagian akhir pemberitaan, Koran Tempo melalui kutipan pernyataan
tokoh senior Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan mengecam
tindak kekerasan FPI. Dan Koran Tempo tidak lupa kembali menegaskan
kepada pihak kepolisian untuk tidak ragu-ragu menindak pelaku kekerasan dan
menyatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan di Lapangan
Silang Monas merupakan aksi damai. Selanjutnya, Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Agung Laksono meminta kepolisian menindak pemimpin FPI jika
terbukti memberikan komando penyerangan. Jika benar, polisi harus
membawanya ke persidangan.
“Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono meminta
kepolisian menindak pemimpin FPI jika terbukti memberikan komando
penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan. “Kalau ternyata ada komando,
siapa yang kasih komando? Kalau pimpinannya, semua diseret ke meja
hijau,” katanya di gedung DPR kemarin.”80
79 Ibid, alinea 5. “Koran Tempo Akan Diserbu”.
80 Ibid, alinea 9. “Koran Tempo Akan Diserbu”.
Tabel 12
Koran Tempo : Rabu, 4 Juni 2008
“Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”
Problem Identification /
Define Problem Lemahnya pengamanan polisi
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause
Penjagaan polisi sangat sedikit sehingga
terjadinya penyerangan brutal oleh FPI
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Banyaknya massa hanya dijaga oleh satu kompi
personel
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
-
Koran Tempo pada berita ketiga edisi Rabu, 4 Juni 2008 mengetengahkan
judul “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”. Koran Tempo,
berdasarkan narasumber yang diwawancarainya menuliskan bahwa peristiwa
insiden Monas bisa sampai terjadi diakibatkan lemahnya penjagaan polisi.
Massa melihat hanya ada satu sampai tiga polisi yang berjaga dan
mengamankan aksi.
“JAKARTA - Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menilai pengamanan oleh polisi sangat lemah
sehingga terjadi penyerangan brutal oleh laskar Front Pembela Islam (FPI) pada Ahad lalu.”81
“Anik H.T., Koordinator AKKBB, mengatakan saat itu hanya
melihat tiga polisi ketika terjadi penyerangan di lapangan Monumen
Nasional (Monas), Jakarta. “Dua berpakaian polisi, satunya preman,”
katanya kepada Tempo setelah kejadian. “Saya tak tahu polisi menjaga
kami atau kegiatan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).”82
“Koordinator Media AKKBB Budi Kurniawan juga hanya melihat
seorang polisi ketika penyerangan terjadi pada sekitar pukul 13.30 WIB.
81 “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”, Koran Tempo, 4 Juni 2008, h. 2,
alinea 1. Lebih jelas lihat di lampiran.
82 Ibid, alinea 2. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”.
“Berpakaian preman, menggenggam pistol, berusaha mencegah aksi brutal
FPI,” katanya di Galeri Nasional sesaat setelah kejadian.”83
Koran Tempo menggambarkan bagaimana riuhnya keadaan saat perayaan
Hari Lahir Pancasila ke-63, 1 Juni 2008. Pada hari itu ada beberapa massa yang
melakukan aksi, antara lain PDIP yang menggelar acara jalan sehat, Hizbut
Tahrir Indonesia, FPN dan buruh yang berunjuk rasa menolak kenaikan harga
bahan bakar minyak di depan Istana Merdeka, seberang Monas. Selain itu ada
massa AKKBB yang hendak melakukan aksi damai dan massa FPI. Riuhnya
massa tersebut hanya dijaga oleh satu kompi personel, di mana satu kompi
personel terdiri dari tiga pleton, satu pleton terdiri dari 12 orang. Jumlah
keseluruhan satu kompi personel adalah 36 orang dan mereka harus menjaga
ribuan orang yang melakukan aksi pada hari tersebut. Menanggapi tuduhan
tersebut, polisi membantah adanya penjagaan yang lemah dan membiarkan
penyerangan terjadi.
“Namun, polisi membantah adanya penjagaan yang lemah membiarkan penyerangan terjadi. “Mana ada, sih, polisi yang membiarkan
itu terjadi?” ujar Komisaris Besar Budi Winarso, Kepala Biro Operasi
Kepolisian Daerah Metro Jakarta, kemarin. Menurut dia, petugas yang
berjaga waktu itu dari Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat.”84
2. Frame Republika
Analisis berita insiden Monas di harian Republika dilakukan untuk
menjawab pertanyaan riset peneliti, yaitu mengetahui penekanan dan seleksi isu
yang dilakukan oleh tim redaksi Republika pada pemberitaan terkait penyebab
terjadinya insiden Monas. Di bawah ini adalah uraian dari frame Republika
dalam bahasan utama mengenai penyebab terjadinya insiden Monas :
83 Ibid, alinea 3. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”.
84 Ibid, alinea 7. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”.
Tabel 13
Republika : Senin, 2 Juni 2008
“Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”
Problem Identification /
Define Problem Persoalan Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause
Ketidaktegasan pemerintah menyelesaikan
persoalan Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Pemerintah terlalu berhati-hati menangani
masalah Ahmadiyah, sehingga berimplikasi
terhadap terjadinya bentrokan yang melibatkan
FPI dan AKKBB
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Segera menerbitkan Surat Keputusan Bersama
(SKB)
Republika pada edisi Senin, 2 Juni 2008, menjadikan peristiwa yang
melibatkan antara FPI dan AKKBB di Lapangan Silang Monas sebagai bahasan
utama dan mengetengahkan judul “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
Republika dalam hal ini mengidentifikasikan bahwa persoalan Ahmadiyah
menjadi pemicu utama penyebab terjadinya insiden Monas. Persoalan
Ahmadiyah merupakan persoalan yang sudah lama terjadi namun, pemerintah
dalam menangani kasus ini dinilai lamban dan tidak memiliki ketegasan.
Republika mengkonstruksikan bahwa penyebab utama terjadinya insiden
Monas akibat sikap ketidaktegasan dan ketidaktepatan pemerintah dalam
menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. Hal tersebut dapat terlihat dari judul yang
diambil. Di mana secara langsung Republika memberikan pernyataan bahwa
pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.
Tidak hanya terlihat dari judulnya saja, selanjutnya kita dapat melihat pada
bagian lead, yaitu berupa lead pernyataan sikap Republika terhadap peristiwa
tersebut.
“JAKARTA – Bentrokan antara massa Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI) dinilai merupakan buntut dari lambannya pemerintah
menangani masalah Ahmadiyah.”85
Lead tersebut diperkuat dengan beberapa pernyataan dari narasumber yang
kemudian oleh pihak Republika dijadikan kutipan untuk lebih memperkuat judul
yang mereka ambil. Salah satu narasumber yang diwawancarai oleh Republika
adalah Hamdan, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), ia
menyatakan bahwa pihaknya sudah mengingatkan pemerintah bahwa sikap
pemerintah yang tidak tegas dan tidak tepat dalam menyelesaikan persoalan
Ahmadiyah, akan menimbulkan bentrokan yang dikhawatirkan tidak hanya
terjadi di Jakarta saja tetapi bisa meluas ke daerah-daerah lain di luar Jakarta.
“Hamdan menyatakan bahwa pihaknya sudah mewanti-wanti pemerintah bahwa ketidaktegasan dan ketidaktepatan dalam
menyelesaikan masalah Ahmadiyah bisa mengakibatkan bentrokan. Hamdan mengaku khawatir bentrokan yang terjadi kemarin tak hanya akan
terjadi di Jakarta, tapi juga akan menjalar ke daerah-daerah lain. “Ini bisa
makin panas”, katanya.”86
Hal senada juga diungkapkan oleh Kuasa Hukum Forum Umat Islam (FUI),
Munarman. Ia menilai bahwa bentrokan terjadi karena langkah tegas pemerintah
soal Ahmadiyah tak kunjung diterapkan. Langkah pemerintah yang super hati-
hati dinilainya membuat situasi masyarakat tak menentu.
Republika menilai bahwa pemerintah yang harusnya bertanggung jawab
terhadap insiden tersebut. Republika juga mengkonstruksikan melalui kutipan
pernyataan Munarman adanya pihak-pihak yang secara sengaja memprovokasi
85 “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”, Republika, 2 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih
jelas lihat di lampiran.
86 Ibid, alinea 2. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
pihak lain dalam insiden Monas dan juga adanya keterlibatan umat agama lain
yang turut campur dalam menanggapi persoalan Ahmadiyah, pernyataan
tersebut yaitu :
“Potensi bentrok semakin terbaca, kata Munarman, karena yang
berdemonstrasi mendukung Ahmadiyah seperti yang kemarin terjadi di Monumen Nasional (Monas) – bukan hanya aktivis, tapi juga umat agama
lain. Mereka, kata Munarman, bahkan menuding FUI sebagai umat yang
kafir. “Disitu marahnya umat,” kata Munarman.” 87
Pada alinea ke enam, Republika menggambarkan secara selintas
bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Dengan mengambil kutipan dari salah
seorang anggota AKKBB yang menyatakan bahwa polisi bergerak lamban
dalam peristiwa tersebut. Namun, pada alinea ke tujuh, Republika memuat
keterangan dari Kepala Polres Jakarta Pusat, Komisaris Besar Heru Winarko
yang membantah tuduhan salah seorang massa AKKBB tersebut. Ia
memaparkan bahwa massa AKKBB telah menyalahi aturan. Pada awalnya
mereka hanya berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, namun mereka
malah bergerak menuju Monas.
“Bentrokan di Monas kemarin terjadi setelah makan mi massal
bubar. Tak diketahui pasti apa pemicu bentrokan itu. Salah seorang
pendemo dari AKKBB, Yudhi, mengatakan sebanyak 12 orang massa
AKKBB lainnya berlari tunggang-langgang. “Polisi geraknya lamban,”
Yudhi menyesalkan.”88
“Tapi, Kepala Polres Jakarta Pusat, Komisaris Besar Heru
Winarko, menyesalkan massa AKKBB. Pasalnya, mereka mulanya hanya
berencana berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. “Ternyata,
mereka menuju Monas juga,” sesalnya.”89
87 Ibid, alinea 5. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
88
Ibid, alinea 6. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
89 Ibid, alinea 7. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
Menanggapi peristiwa yang terjadi di Monas tersebut, Republika
memberikan solusi kepada pemerintah untuk segera menerbitkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa
Agung. Hal tersebut dapat terlihat pada alinea ke tiga, yaitu berupa kutipan
pernyataan Hamdan.
“Jika pemerintah sudah menerbitkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung tentang
penghentian kegiatan Ahmadiyah, Hamdan menilai bentrokan tak akan
terjadi. Situasi menggantung dinilainya bisa dimanfaatkan untuk
memprovokasi masyarakat. Jadi, “sekarang, saatnya ambil keputusan,”
tandas Hamdan.”90
Tabel 14
Republika : Selasa, 3 Juni 2008
“Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”
Problem Identification /
Define Problem Tuntutan penyelesaian Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause
Penodaan terhadap agama Islam oleh
Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Ahmadiyah tidak mengakui nabi Muhammad
sebagai nabi terakhir, merupakan penodaan
agama Islam
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Surat keputusan bersama (SKB) mendesak
untuk diterbitkan
Republika pada edisi Selasa, 3 Juni 2008 kembali menjadikan insiden
Monas sebagai bahasan utama dengan mengetengahkan judul “Masyarakat
Diimbau tak Lakukan Provokasi”. Republika mengidentifikasikan insiden
Monas yang melibatkan antara FPI dan AKKBB sebagai bentuk dari tuntutan
90 Ibid, alinea 3. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
masyarakat kepada pemerintah dalam penyelesaian Ahmadiyah. Republika
menilai Ahmadiyah telah melakukan tindakan penodaan dan penistaan agama
yang memancing terjadinya bentrok antara kedua ormas tersebut. Masalah
Ahmadiyah merupakan hal yang sangat rumit, karena tidak mengakui
Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Republika menjelaskan melalui kutipan
pernyataan Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi dan M. Sholeh
Amin, Ketua Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum PBNU, bahwa keyakinan
Ahmadiyah adanya nabi terakhir setelah nabi Muhammad SAW merupakan
bagian dari penodaan dan penistaan agama, apalagi Ahmadiyah mengklaim
dirinya sebagai Islam.
“Dia mencontohkan masalah Ahmadiyah yang disebutnya rumit
karena tak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, tapi tetap mengklaim sebagai Islam.”91
“...Menurutnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa ada nabi setelah
Muhammad SAW merupakan penodaan Islam.”92
Republika kembali menjelaskan melalui pernyataan yang disampaikan
oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa konflik agama yang terjadi saat ini akibat dari
mengekspresi kebebasan yang menggebu-gebu pada setiap individu.
“Salah satu penyebab yang melatar belakangi konflik antarumat
beragama karena terlalu menggebu-gebu mengekspresikan kebebasan...”93
Perubahan sistem pemerintahan yang pada awalnya bersifat otoriter berdasarkan
kekuasaan mantan Presiden Soeharto, akhirnya tumbang pada tahun 1998.
Dalam era sepuluh tahun terakhir sistem pemerintahan demokrasi pun kian
berkembang di Indonesia. Sistem demokrasi tersebut tidak serta merta
91 “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”, Republika, 3 Juni 2008, h. 1, alinea 7.
Lebih jelas lihat di lampiran.
92
Ibid, alinea 8, baris 6. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
93 Ibid, alinea 4. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
memberikan kedamaian bagi masyarakat pada umumnya, kebebasan saat ini
lebih cenderung kelewat batas dan bersifat provokatif. Sehingga butuh kearifan
dalam mengungkapkan kebebasan berekspresi. Seperti apa yang Republika kutip
dari pernyataan Jimly Asshiddiqie :
“Perubahan demokrasi sepuluh tahun terakhir membutuhkan
kearifan dalam mengungkapkan kebebasan berekspresi. “Jadi, kalau
mengekspresikan kebebasan yang provokatif, itu juga mengundang reaksi
yang tidak perlu, katanya”.”94
Republika juga menyampaikan adanya kekhawatiran isu pembubaran
Ahmadiyah menjadi pembubaran FPI. Republika menilai adanya pihak-pihak
yang sengaja berusaha untuk mengadu domba antar umat Islam. Namun, isu
pembubaran FPI dipertegas dengan pernyataan dari Jimly Asshiddiqie, bahwa
penyelesaian konflik dan tuntutan pembubaran FPI harus diselesaikan melalui
jalur hukum. Jimly menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan untuk
membubarkan organisasi massa seperti FPI adalah Pengadilan, bukan
Mahkamah Konstitusi (MK), seperti pernyataan yang dikutip oleh Republika :
“...Kalau yang dibubarkan itu parpol, di MK. Kalau ormas, di
pengadilan biasa.”95
Jimly juga mengkhawatirkan akan adanya adu domba pada umat beragama
jika pembahasan mengenai penyebab insiden Monas terus berkembang. Ia
menilai bahwa persoalan internal umat beragama hendaknya diselesaikan
dengan cara dialog. Di lain pihak, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan
mengingatkan agar upaya penodaan terhadap agama Islam harus di lawan dan
jangan sampai isu penodaan tersebut bergeser menjadi isu kekerasan oleh FPI.
“Upaya penodaan agama Islam harus di lawan. Jangan bergeser
karena isu kekerasan oleh FPI, kata pimpinan majelis pakar DPP PPP.”96
94 Ibid, alinea 3. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
95 Ibid, alinea 5, baris 7. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
Isu pergeseran persoalan penistaan agama juga di sampaikan oleh Politikus
Partai Golkar, Agun Gunandjar, yang berpendapat bahwa penghormatan
terhadap keragaman beragama berbeda dengan persoalan penistaan agama. Ia
juga mengingatkan agar masalah tersebut jangan dikaburkan menjadi isu
kebhinekaan.
Republika memberikan solusi, yaitu dengan meminta ormas AKKBB agar
mawas diri dan menghentikan provokasi. Di lain pihak, Republika juga
mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan surat keputusan bersama (SKB)
Ahmadiyah. Republika dalam hal ini menghormati kebebasan bagi setiap umat
untuk hidup dalam agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi tidak
diartikan bahwa kebebasan tersebut dengan melakukan tindakan penistaan
terhadap agama lain.
Tabel 15
Republika : Rabu, 4 Juni 2008
“Akar Masalahnya Ahmadiyah”
Problem Identification /
Define Problem Persoalan Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause
Ketidaktegasan pemerintah terhadap
Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan
beragama dan berkeyakinan, tapi penodaan
agama Islam
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Bersikap tenang dan meredam emosi
96 Ibid, alinea 9. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
Republika pada edisi Rabu, 4 Juni 2008 masih menjadikan insiden Monas
sebagai bahasan utama dengan mengangkat judul “Akar Masalahnya
Ahmadiyah”. Pada edisi ini, secara tegas Republika mendefiniskan masalah
terhadap persoalan Ahmadiyah. Republika menilai persoalan Ahmadiyah yang
tak kunjung diselesaikan dan pada akhirnya memicu konflik antarumat
beragama. Pernyataan Ketua DPR Agung Laksono, seperti yang dikutip oleh
Republika menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Monas harus
diselesaikan secara hukum dan aparat diminta untuk bersikap adil. Di lain pihak
ia juga menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kerusuhan tersebut adalah
permasalahan Ahmadiyah yang harus diselesaikan secepatnya.
“Para pelaku kerusuhan Monas harus dihukum, tapi masyarakat
jangan melupakan akar masalah, yakni Ahmadiyah yang hingga kini belum dibubarkan. “Ini penyebab utamanya menyangkut Ahmadiyah.
Harus segera diselesaikan Ahmadiyahnya, sementara pelaku kriminal diproses secara hukum,” kata Agung, Selasa (3/6).”97
Republika melalui kutipan pernyataan salah satu narasumbernya menilai
bahwa penyebab tidak terselesaikan masalah Ahmadiyah, dikarenakan sikap
ketidaktegasan pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut terutama
tak kunjung keluarnya surat keputusan bersama (SKB) Ahmadiyah.
“Akar masalah insiden Monas, diakui Ketua FPDIP, Tjahjo
Kumolo, adalah ketidaktegasan pemerintah menyikapi keberadaan
Ahmadiyah. Pembiaran Ahmadiyah memicu keresahan karena surat
keputusan bersama (SKB) soal Ahmadiyah terus diulur-ulur.”98
“Sayangnya, komitmen itu tak pernah muncul. Harusnya
pemerintah tegas dan tidak ragu-ragu, katanya.”99
97 “Akar Masalahnya Ahmadiyah”, Republika, 4 Juni 2008, h. 1, alinea 2. Lebih jelas lihat
di lampiran.
98
Ibid, alinea 4. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
99 Ibid, alinea 5. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
“Hasyim menyesalkan sikap pemerintah yang tak tegas terhadap
Ahmadiyah. “Pemerintah lebih banyak berwacana daripada melakukan tindakan preventif dan represif”.”100
Republika kembali menegaskan bahwa persoalan Ahmadiyah bukan masalah
kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan penodaan terhadap agama
tertentu, dalam hal ini Islam.
“Sebenarnya masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama
dan berkeyakinan, tapi penodaan agama tertentu, dalam hal ini Islam.”101
Republika menghendaki agar semua pihak bersikap tenang dan meredam
emosi. Tidak terpancing oleh isu-isu seperti tuntutan dari gerakan GP Ansor
untuk membubarkan FPI secara paksa yang dapat membuat memanasnya situasi.
“Menyikapi memanasnya situasi, pemimpin pondok pesantren Al-
Mizan, Jatiwangi, Majalengka, Maman Imanulhaq Faqieh, meminta semua
pihak meredam emosi. Menurut Maman yang menjadi salah satu korban kasus Monas, pesantren mengajarkan damai dan menghargai rasionalitas
serta perbedaan.”102
“Kami akan meredam massa di bawah, kata Maman. Kekerasan, tegasnya harus dihentikan kepada siapa pun dan atas nama siapa saja.”103
100 Ibid, alinea 8. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
101
Ibid, alinea 7. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
102
Ibid, alinea 13. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
103 Ibid, alinea 14. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
Tabel 16
Republika : Kamis, 5 Juni 2008
“Umat Islam Diminta Bersatu”
Problem Identification /
Define Problem Ajang adu domba sesama penganut Islam
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Persoalan Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement GP Ansor & FPI sama-sama penganut Islam
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Umat diminta bersatu dan desakan penerbitan
Surat Keputusan Bersama (SKB)
Republika pada edisi Kamis, 5 Juni 2008 masih menjadikan insiden Monas
sebagai bahasan utama, yaitu dengan mengangkat judul “Umat Islam Diminta
Bersatu”. Republika sebagaimana yang tertulis pada bagian lead menjelaskan
bahwa situasi saat ini dinilai menjadi ajang adu domba sesama penganut Islam.
“JAKARTA – Umat Islam diminta waspada terkait situasi
pascakerusuhan di Monas, Ahad (1/6) lalu. Situasi saat ini dinilai sudah begeser menjadi ajang adu domba sesama penganut Islam.”
104
“Anggota Forum Peduli Umat dan Bangsa (FPUB), Ferry Nur,
berharap umat cerdas agar tidak mudah tersulut provokasi yang merugikan...”105
Republika kembali menegaskan bahwa persoalan utama terjadinya
bentrokan adalah persoalan Ahmadiyah yang belum juga terselesaikan.
Beberapa pihak merasa kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak tegas dan
terkesan adanya perbedaan perlakuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam kasus Monas dan Ahmadiyah.
104 “Umat Islam Diminta Bersatu”, Republika, 5 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat
di lampiran.
105 Ibid, alinea 2. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
“Koordinator FPUB, KH Fikri Bareno, merasa heran perbedaan
perlakuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Monas. “Saya bangga setelah insiden Monas, Presiden berpidato dengan gagah,
menyesalkan kejadian itu. Tapi, mengapa Presiden tak berpidato segagah dan setegas itu dalam hal pembubaran Ahmadiyah?”.”106
Republika kembali menuliskan pernyataan KH. Hasyim Muzadi yang
menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat dan menyimpang dari
ajaran Islam, seperti yang ia nyatakan pada edisi Rabu, 4 Juni 2008.
“Sebenarnya masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama
dan berkeyakinan, tapi penodaan agama tertentu, dalam hal ini Islam.”
Pada edisi Kamis, 5 Juni 2008 ini, Republika seakan mempertegas kembali
penyataan Hasyim Muzadi dengan menyatakan bahwa Ahmadiyah
menyimpang.
“Hasyim juga tidak menampik bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat yang menyimpang dari Islam. “Yang penting itu caranya. Dia
(Ahmadiyah) kan masih nongkrong di kaum Muslimin. Tentu harus dihadapi dengan dakwah. Karena keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan
kekerasan,” katanya.”107
Agar pergesaran isu menjadi ajang adu domba tidak semakin memanas,
Republika, melalui pernyataan beberapa narasumbernya meminta agar umat
bersatu, menjaga ukhuwah dan merapatkan barisan. Umat diminta untuk tidak
mudah terprovokasi yang pada akhirnya akan merugikan banyak pihak.
“...siapa yang untung dari pertikaian antara Ansor dan Front
Pembela Islam (FPI). Ansor penganut Islam, FPI juga Islam. Mereka
jangan mau di adu domba oleh pihak lain, kata Fery, Rabu (4/6).”108
“Daripada saling serang, Sekjen Komite Indonesia untuk
Solidaritas Palestina (KISPA) ini mengimbau umat bersatu dan menjaga
ukhuwah.“FPUB menyeru umat merapatkan barisan”.”109
106 Ibid, alinea 4. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
107
Ibid, alinea 6. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
108
Ibid, alinea 2. baris 5. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
109 Ibid, alinea 3. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
Republika juga meminta kepada pemerintah agar bersikap tegas dengan
segera menerbitkan surat keputusan bersama (SKB). Namun, menanggapi
penerbitan SKB tersebut, juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng
menjelaskan bahwa penerbitan SKB masih dalam proses dan merupakan sesuatu
yang tidak mudah untuk dilakukan karena menyangkut masalah sensitif.
“Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, menjelaskan, SKB
Ahmadiyah masih dalam proses. “Ini menyangkut masalah sensitif”.”110
Republika menjelaskan pada bagian akhir tulisan pada edisi ini, kutipan
pernyataan juru bicara Depdagri, Saut Situmorang yang menegaskan bahwa
Mendagri telah mengirimkan surat teguran ke FPI dan AKKBB. FPI ditegur
karena penyerangannya mengganggu ketertiban umum, sedangkan AKKBB
ditegur karena apel akbar yang dilakukannya memicu penyerangan. Tidak hanya
itu, Republika dalam tulisannya seolah menolak penetapan tersangka kepada
pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab oleh polisi. Hal tersebut dapat dilihat
melalui kutipan pernyataan pengacara FPI, Mahendradatta yang menyatakan
bahwa status tersangka itu belum sah dikarenakan berita acara pemeriksaaan
(BAP) belum selesai. Republika juga mengklarifikasi tudingan yang
disampaikan oleh berbagai pihak yang menyatakan bahwa Munarman, Panglima
Komando Laskar Islam, pergi melarikan diri. Seperti yang terlihat melalui
penulisan kutipan pernyataan Munarman, bahwa :
“Saya belum datang ke Polda agar hukum berjalan lebih adil dan
seimbang.”111
110 Ibid, alinea 10. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
111 Ibid, alinea 15. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
Tabel 17
Republika : Jumat, 6 Juni 2008
“14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”
Problem Identification /
Define Problem Persoalan Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause
Pemerintah lamban mengambil keputusan
tentang Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Pro-kontra Ahmadiyah adalah rekayasa politik
pemerintah
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
Pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif
Republika pada edisi Jumat, 6 Juni 2008, menjadikan insiden Monas
sebagai bahasan utama dengan mengangkat judul “14 OKP : Jangan Ada
Diskriminasi”. Pada pemberitaannya Republika memuat pernyataan 14
Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP) yang tergabung dalam Forum
Pemuda Mahasiswa Islam (FPMI). Dalam pemberitaan ini, Republika lagi-lagi
mengidentifikasikan permasalahan Ahmadiyah sebagai pemicu terjadinya
insiden Monas. Dalam pemberitaannya, Republika memposisikan pemerintah
sebagai aktor yang harus bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut.
Pemerintah dinilai lamban dalam menanggapi persoalan Ahmadiyah, terutama
dalam penerbitan surat keputusan bersama (SKB) tentang Ahmadiyah. Banyak
pihak yang menilai jika pemerintah bertindak tegas terhadap permasalahan
Ahmadiyah dan segera menerbitkan SKB, insiden Monas tidak akan mungkin
terjadi.
“FPMI menganggap ketidaktegasan pemerintah terhadap
Ahmadiyah merupakan pemicu bentrokan. “Kalau pemerintah cepat mengambil keputusan soal Ahmadiyah, insiden tak akan terjadi,” imbuh
Syahrul.”112
Republika juga mempertanyakan tanggung jawab pemerintah terhadap
permasalahan Ahmadiyah. Seperti yang dikutip dari wawancara dengan KH
Didin Hafidhuddin, sebagai berikut :
“Kelambanan pemerintah membubarkan Ahmadiyah justru
menjadi pangkal masalah. “Pemerintah berkali-kali janji (soal
Ahmadiyah). Pemimpin yang memberi pernyataan dan tak
mewujudkannya, bagaimana bisa dipercaya?”.”113
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa pemerintahan saat ini tidak dapat
dipercaya, karena berulang kali janji menyelesaikan persoalan ahmadiyah, tetapi
tidak pernah diwujudkan secara nyata.
Republika melalui pernyataan Amien Rais menyatakan bahwa pro-kontra
Ahmadiyah sebagai pemicu insiden Monas merupakan rekayasa politik yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat.
“Di Yogyakarta, mantan ketua MPR, Amien Rais, meminta
masyarakat menahan diri. Akar kerusuhan Monas, yaitu pro-kontra
Ahmadiyah adalah rekayasa politik. “Rezim yang gagal menyejahterakan
rakyat, menambah pengangguran dan kemiskinan, pasti akan mencari isu
untuk mengalihkan perhatian rakyat”.”114
Pemerintah lagi-lagi dituduh oleh Republika sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas terjadinya insiden Monas. Terlepas dari beberapa pernyataan yang
Republika kutip, dalam pemberitaan ini Republika meminta kepada pemerintah
untuk mencermati akar permasalahan pemicu bentrokan dan pemerintah diminta
untuk bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam penyelesaian insiden Monas.
112 “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”, Republika, 6 Juni 2008, h. 1, alinea 4. Lebih
jelas lihat di lampiran.
113
Ibid, alinea 8. “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”.
114
Ibid, alinea 10. “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”.
Tabel 18
Republika : Sabtu, 7 Juni 2008
“Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil”
Problem Identification /
Define Problem
Penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah
Indonesia
Causal Interpretation /
Diagnoses Cause Lambatnya penerbitan SKB Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Make Moral Judgement
Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Treatment
Recommendation /
Suggest Remedis
a. Segera menerbitkan SKB dan bubarkan
Ahmadiyah
b. Umat Islam bersatu, pemerintah bersikap adil
Republika pada edisi Sabtu, 7 Juni 2008, yang mana merupakan edisi
terakhir harian ini menjadikan insiden Monas sebagai bahasan utama. Pada edisi
ini Republika mengangkat judul “Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil”. Republika
mengidentifikasikan penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah Indonesia.
Karena dalam bahasan utama sebelumnya, Republika menilai pemerintah telah
gagal mencermati akar permasalahan insiden Monas dan bertindak tegas
terhadap persoalan Ahmadiyah. Republika secara tegas mengidentifikasikan
penegakan hukum terhadap pembubaran Ahmadiyah Indonesia.
Penerbitan SKB Ahmadiyah bagi Republika sangatlah mendesak.
Menanggapi perkembangan penerbitan SKB tersebut, Jaksa Agung, Hendarman
Supandji mengungkapkan bahwa SKB Ahmadiyah tidak dapat membubarkan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dikarenakan tidak adanya instruksi
pembubaran, sesuai Pasal 2 UU PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ustadz Jeffry Al Buchori dalam menanggapi insiden Monas, meminta
umat Islam memperkuat persatuan dan jangan mau diadu domba. Kepada umat
non-Islam, Uje meminta kepada mereka untuk bersikap bijaksana dan
memberikan kesempatan kepada umat Islam sendiri yang menyelesaikan
permasalahan tersebut. Untuk pemerintah sendiri, Uje meminta pemerintah
bersikap adil.
“Dengan kejadian itu, umat Islam harus memperkuat persatuan dan
jangan mau diadu domba. Kepada masyarakat non-Islam, ustadz Jeffry
juga mengimbau agar bersikap bijaksana. “Biarkan kami menyelesaikan
urusan agama kami,” tegasnya.”115
Selain meminta agar umat Islam tetap bersatu, Republika juga meminta
penerbitan segera SKB dan membubarkan Ahmadiyah secepatnya. Karena,
keberadaan Ahmadiyah dan terlambatnya penerbitan SKB merupakan akar
masalah terjadinya insiden Monas.
B. Temuan dan Analisis Perangkat Framing Robert N. Entman
Peneliti akan menjabarkan beberapa hasil temuan dari headline berita
Koran Tempo dan Republika terkait dengan penyebab terjadinya insiden Monas.
Peneliti akan menjabarkan sesuai dengan perangkat model framing yang peneliti
gunakan, yaitu framing model Robert N. Entman yang terdiri dari empat
struktur, antara lain : Pertama, problem identification / define problem
(pendefinisian masalah). Kedua, causal interpretation / diagnose causes
(sumber masalah). Ketiga, moral evaluation / make moral judgement (membuat
115 Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil, Republika, 7 Juni 2008, h. 1, alinea 3. Lebih jelas
lihat di lampiran.
keputusan moral). Keempat, treatment recommendation / suggest remedis
(solusi).
Tabel 19
Problem Identification / Define Problem Koran Tempo dan Republika
No Koran Tempo No Republika
1. Masalah hukum pembubaran FPI 1. Persoalan Ahmadiyah
2. Masalah hukum pembekuan FPI 2.
Tuntutan Penyelesaian
Ahmadiyah
3. Korban luka dari pihak AKKBB 3. Persoalan Ahmadiyah
4. Masalah hukum pembubaran FPI 4.
Ajang adu domba sesama
penganut Islam
5. Tuntutan pembubaran FPI 5. Persoalan Ahmadiyah
6.
Ancaman penggugatan dan
penyerbuan kantor Koran Tempo 6.
Penegakan hukum pembubaran
Ahmadiyah
7. Lemahnya pengamanan polisi
Pada struktur pertama framing Robert N. Entman ini, antara Koran Tempo
dan Republika memiliki pendefinisian masalah yang sama terkait dengan
insiden Monas, yaitu permasalahan hukum. Hanya saja terdapat perbedaan yang
terletak pada objek permasalahan. Dari tujuh berita mengenai insiden Monas
dan ditempatkan pada bahasan utama, Koran Tempo empat kali melihat ini
sebagai masalah hukum pembubaran FPI terkait kekerasan yang dilakukan oleh
FPI kepada AKKBB. Permasalahan kekerasan tersebut dijadikan isu utama oleh
Koran Tempo untuk menuntut pembubaran FPI. Bagi Koran Tempo, keberadaan
FPI terutama tuntutan untuk membubarkan Ahmadiyah disertai dengan aksi
anarkis yang terjadi di Monas, telah mengancam kebebasan umat beragama di
Indonesia. Tidak hanya menjadikan persoalan insiden Monas sebagai masalah
hukum pembubaran FPI, tetapi Koran Tempo juga mendefinisikan adanya
kelengahan dari pihak kepolisian dalam menjaga massa yang pada 1 Juni 2008,
banyak melakukan aksi di sekitar Monumen Nasional. Koran Tempo bahkan
memuat berita berkaitan dengan akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh FPI,
yaitu berita berisi jumlah korban luka ringan dan parah yang semua korbannya
berasal dari AKKBB. Koran Tempo juga menyampaikan berita terkait dengan
pernyataan sikap dari harian tersebut terhadap ancaman Panglima Komando
Laskar Pembela Islam (LPI) Munarman, yang mengancam akan menyerbu
kantor Koran Tempo terkait pemuatan foto dirinya dengan gambar sedang
mencekik salah satu anggota yang dituliskan berasal dari Aliansi Kebangsaan.
Berdasarkan dari analisa yang telah peneliti lakukan pada berita utama
terkait dengan insiden Monas di Koran Tempo. Dengan merujuk pada elemen
pertama model framing Robert N. Entman, dapat peneliti tegaskan bahwa tim
redaksi Koran Tempo lebih banyak menekankan isu tuntutan pembubaran FPI
ketimbang isu lain seperti isu persoalan Ahmadiyah. Dalam setiap bahasan
utamanya, Koran Tempo selalu menyatakan sikap menuntut kepada pemerintah
secepatnya membubarkan FPI karena dinilai telah melakukan tindakan anarkis
dan mengancam kebebasan umat beragama di Indonesia. Peneliti juga melihat
dari beberapa kutipan narasumber yang diambil oleh Koran Tempo, hampir
keseluruhan narasumbernya berasal dari orang-orang yang pro terhadap
Ahmadiyah, orang-orang yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM)
untuk melindungi Ahmadiyah dan orang-orang yang pro terhadap pembubaran
FPI. Sebagai contoh kutipan pernyataan dari Gusdur, Goenawan Mohammad,
dan beberapa tokoh AKKBB lainnya. Sedangkan kutipan dari pihak FPI atau
LPI hanya sedikit saja dituliskan oleh Koran Tempo. Namun, pada wawancara
yang peneliti lakukan dengan Redaktur Eksekutif Koran Tempo, Gendur
Sudarsono, ia menyatakan bahwa Koran Tempo tidak menuntut pembubaran
FPI, berikut kutipan wawancaranya :
“Sebenarnya Koran Tempo tidak menuntut pembubaran.
Pembubaran itu hanya statement dari sebuah sumber, seorang yang mengatakan begitu. Tetapi, sikap Koran Tempo sendiri konsisten bahwa
kita tidak bisa sembarangan membubarkan organisasi, karena kita juga
menghargai kebebasan orang untuk berserikat dan berkumpul.”116
Pernyataan di atas bertentangan dengan apa yang peneliti pahami dan
analisa terhadap berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas. Dari
uraian mengenai frame Koran Tempo, justru peneliti melihat Koran Tempo lebih
banyak memaparkan tulisan terhadap tuntutan pembubaran FPI. Berdasarkan
pemahaman peneliti, bagaimana penulisan judul berita, lead, penentuan siapa
yang menjadi narasumber, secara tidak langsung menggambarkan apa
sebenarnya yang menjadi sikap institusi media terhadap suatu peristiwa. Peneliti
sendiri menemukan pernyataan Koran Tempo terkait tidak menuntut
pembubaran FPI dan menyatakan bahwa hal tersebut dapat melanggar
kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, yaitu pada Koran Tempo edisi
Sabtu, 7 Juni 2009. Di mana berita tersebut dimuat satu minggu setelah insiden
Monas terjadi. Pada edisi tersebut, Koran Tempo mengetengahkan judul
“Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang
Organisasi”. Dalam edisi tersebut, Koran Tempo mengutip pernyataan
Goenawan Mohamad, yaitu :
“Adapun tuntutan pembubaran FPI harus disikapi dengan kritis.
“Saya pribadi mengimbau agar kita tetap memperhatikan hak untuk menyatakan pendapat dan berorganisasi,” katanya. “Sangat berbahaya bila
pemerintah mengambil posisi gampang melarang organisasi. Ini seperti
116 Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
pengalaman kesewenang-wenangan di masa demokrasi terpimpin dan
Orde Baru.”117
Sedangkan Republika dalam hal ini, sama seperti Koran Tempo,
mendefinisikan kasus insiden Monas sebagai permasalahan hukum. Bukan
terkait dengan kekerasan yamg dilakukan oleh FPI, melainkan masalah
penegakan hukum terhadap pembubaran Ahmadiyah. Persoalan Ahmadiyah
bagi Republika menjadi pemicu utama terjadinya insiden Monas. Republika
memberikan tambahan pada pendefinisian masalahnya bahwa keberadaan
Ahmadiyah bukanlah tentang kebebasan beragama, melainkan mengenai
penistaan atau penodaan agama yang dilakukan oleh Ahmadiyah, yaitu terhadap
agama Islam. Penistaan agama tersebut dikarenakan Ahmadiyah tidak mengakui
Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Ditambah lagi pernyataan
Republika yang mengidentikkan adanya pergeseran isu pembubaran Ahmadiyah
menjadi pembubaran FPI dan adanya dugaan adu domba pada insiden Monas, 1
Juni 2008. Republika menilai, seharusnya yang menjadi perhatian utama dari
pemerintah ialah permasalahaan Ahmadiyah, bukan soal pembubaran FPI.
Dalam hal ini, Republika menyatakan bahwa pernyataan dan tuntutan
pembubaran FPI itu sendiri datang dari segelintir orang saja. Yang memang
mereka pada dasarnya menginginkan FPI untuk dibubarkan. Republika sendiri
melihat adanya indikasi upaya adu domba yang sengaja dilakukan dan dapat
memicu konflik horisontal.
117
“Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”,
Koran Tempo, 7 Juni 2008, alinea 5.
Republika memandang persoalan Ahmadiyah adalah persoalan yang
krusial. Ahmadiyah jelas menyimpang secara akidah dan syariat Islam. Seperti
diketahui bahwa Ahmadiyah terdiri dari dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qadian
dan di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang
berpusat di Parung, Bogor serta Ahmadiyah Lahore dan di Indonesia dikenal
dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Yogyakarta.
Ahmadiyah Qadian mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi. Ahmadiyah Lahore yang
secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai
nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam. Dari kedua aliran
tersebut, yang jelas-jelas menyimpang adalah JAI, selain mengakui Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi, aliran ini juga meyakini bahwa semua muslim
menurut mereka adalah kafir hingga mereka mau masuk ke kelompok
Ahmadiah Qadian, haram menikahi pasangan yang tidak segolongan dengan
mereka, meyakini Nabi Muhammad bukan Nabi akhir zaman bahkan nabi tetap
diutus bila diperlukan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang utama dari
sekalian nabi-nabi, meyakini bahwa kitab mereka diturunkan oleh Allah
namanya Alkitabul Mubin, meyakini bahwa desa Qadian, adalah seperti
madinah Al Munawwarah, dan tanahnya sama seperti tanah Haram
Berdasarkan dari analisa yang telah peneliti lakukan pada berita utama
terkait dengan insiden Monas di harian Republika. Dengan merujuk pada
struktur pertama model framing Robert N. Entman, dapat peneliti tegaskan
bahwa tim redaksi Republika lebih banyak menekankan isu tuntutan penegakan
hukum pembubaran Ahmadiyah ketimbang isu lain terkait masalah kekerasan
yang dilakukan oleh FPI sebagaimana yang dituliskan oleh Koran Tempo pada
setiap bahasan utamanya. Republika dalam setiap bahasan utamanya lebih sering
menuliskan dan menegaskan bahwa persoalan Ahmadiyah lah yang menjadi
akar masalah terjadinya insiden Monas, hingga Republika menuntut pemerintah
untuk membubarkan Ahmadiyah. Sama halnya seperti yang dilakukan oleh
Koran Tempo dalam pemilihan narasumber, Republika juga menuliskan
pernyataan beberapa narasumber yang kontra terhadap Ahmadiyah dan pro
terhadap pembubaran Ahmadiyah.
Tabel 20
Causal Interpretation / Diagnoses Cause Koran Tempo dan Republika
No Koran Tempo No Republika
1. Aksi anarkis FPI 1.
Ketidaktegasan pemerintah
menyelesaikan persoalan
Ahmadiyah
2. Tindakan kekerasan FPI 2. Penodaan terhadap agama Islam
oleh Ahmadiyah
3. Tindakan kekerasan laskar FPI 3. Ketidaktegasan pemerintah
terhadap Ahmadiyah
4. Kekerasan yang dilakukan FPI 4. Persoalan Ahmadiyah
5. Tindakan kekerasan FPI 5. Pemerintah lamban mengambil
keputusan tentang Ahmadiyah
6.
Pemuatan foto Munarman
sedang mencekik seorang
pemuda
6. Lambannya penerbitan SKB
Ahmadiyah
7. Penjagaan polisi sangat sedikit
Terjadinya insiden Monas bagi Koran Tempo disebabkan karena aksi
kekerasan FPI. Dari tujuh berita yang ada, Koran Tempo lima kali menjadikan
aksi kekerasan FPI sebagai penyebab utama terjadinya insiden Monas. Di
samping itu Koran Tempo juga menilai lemahnya penjagaan polisi pada saat
terjadinya aksi anarkis, disebut-sebut ikut menjadi sumber masalah. Bukan
pertama kali FPI melakukan aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, ini sudah ke
sekian kalinya FPI melakukan kekerasan. Sebelumnya FPI pernah menyerbu
markas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung, Bogor, Jawa Barat.
Sempat juga melakukan perusakan tempat peribadatan orang Ahmadiyah di
beberapa daerah. Dan puncaknya adalah ketika massa AKKBB yang dituliskan
oleh Koran Tempo sedang melakukan aksi damai, tiba-tiba diserang oleh massa
FPI. Berikut alasan Koran Tempo menyajikan berita terkait dengan kekerasan
yang dilakukan oleh FPI.
“Apakah kekerasan itu diperbolehkan di negara demokrasi. Dengan
alasan apapun apakah boleh kekerasan itu dilakukan. Apakah boleh berdakwah dengan cara kekerasan. Bolehkah orang hidup di Indonesia
memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Bolehkan di negara ini ada organisasi yang lebih berkuasa dibandingkan pemerintah. Apa yang akan
terjadi jika ada organisasi yang melakukan tindakan apapun semaunya. Yang terjadi adalah pemerintah tidak memiliki kuasa. Jika pemerintah
tidak memiliki kuasa, maka yang terjadi adalah anarki. Semua hal memiliki aturan dan prinsip tersebut yang pertama harus kita tegakkan.
Hal tersebut menjadi landasan Koran Tempo menyajikan berita
tersebut.”118
Berbeda halnya dengan Republika yang menilai bahwa sumber masalah
penyebab terjadinya konflik antara lain, ketidaktegasan dan ketidaktepatan
pemerintah menyelesaikan permasalahan Ahmadiyah, mengekspresikan
kebebasan yang menggebu-gebu dan lambannya penerbitan SKB. Menurut
Republika, pemerintah seakan ragu-ragu dalam menangani persoalan
Ahmadiyah yang secara jelas telah melakukan tindakaan penodaan dan
penistaan terhadap agama Islam. Republika sendiri, melalui wawancara dengan
118 Ibid.Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
Redaktur Investigasi, Irwan Ariefyanto menyatakan bahwa peristiwa insiden
Monas terjadi karena adanya pancingan dari pihak-pihak yang
mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM). Republika secara tegas
menuntut pembubaran Ahmadiyah :
“kami termasuk koran yang mendesak pemerintah untuk
membubarkan Ahmadiyah.”119
Berdasarkan dari analisa yang peneliti lakukan terhadap berita insiden
Monas di Koran Tempo dan Republika. Dengan merujuk pada struktur kedua
framing model Robert N. Entman, peneliti menegaskan bahwa Koran Tempo
berulang kali memberikan tekanan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan FPI
sebagai sumber masalah utama. Koran Tempo lebih melihat akibat yang
ditimbulkan dari insiden Monas tersebut. Sedangkan Republika berulang kali
memberikan tekanan bahwa ketidaktegasan pemerintah, kebebasan yang
menggebu-gebu dan lambannya penerbitan SKB dianggap sebagai sumber
masalah. Dalam hal ini Republika lebih melihat kepada pangkal permasalahan
sampai terjadinya insiden Monas. Hal tersebut dapat terlihat dari pemilihan
narasumber. Koran Tempo dan Republika, dalam satu edisi tertentu mengambil
narasumber yang sama terhadap persoalan insiden Monas, tetapi dengan kutipan
pernyataan yang berbeda. Seperti contohnya kutipan pernyataan Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Agung Laksono :
(Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”)
“Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono juga mengutuk keras FPI dan menuding aksi itu sebagai tindakan tidak bermoral. “Itu
tidak bisa ditoleransi,” katanya.”120
119 Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Jakarta, 23 April 2009.
120 “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, alinea 12
(Republika : Rabu, 4 Juni 2008. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”)
“Para pelaku kerusuhan Monas harus dihukum, tapi masyarakat
jangan melupakan akar masalah, yakni Ahmadiyah yang hingga kini belum dibubarkan. “Ini penyebab utamanya menyangkut Ahmadiyah.
Harus segera diselesaikan Ahmadiyahnya, sementara pelaku kriminal diproses secara hukum,” kata Agung, Selasa (3/6).”121
Dari pemuatan tulisan tersebut, jelas terlihat sudut pandang yang
digunakan oleh Koran Tempo dan Republika. Koran Tempo mengutip
pernyataan Agung Laksono yang menyatakan mengutuk keras aksi FPI dan
menilai aksi tersebut sebagai tindakan tidak bermoral. Sedangkan Republika
mengambil pernyataan Agung Laksono bahwa penyebab utama dari insiden
Monas adalah persoalan Ahmadiyah dan meminta pelaku kriminal diproses
secara hukum. Dari apa yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya,
terlihat jelas bahwa Koran Tempo lebih menekankan isu pada aksi kekerasan
yang dilakukan oleh FPI, sedangkan Republika lebih menekankan pada
persoalan Ahmadiyah tetapi, tidak juga memberikan dukungan kepada pelaku
aksi kekerasan.
Tabel 21
Moral Evaluation / Make Moral Judgement Koran Tempo dan Republika
No Koran Tempo No Republika
1.
a. Kekerasan FPI menodai
Pancasila sebagai dasar
negara
b. FPI menentang kebebasan
beragama yang sudah
dijamin konstitusi
1. Pemerintah terlalu berhati-hati
2. a. UU Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi 2.
Keyakinan Ahmadiyah yang
tidak mengakui Nabi
121 “Akar Masalahnya Ahmadiyah”, Republika, 4 Juni 2008, alinea 2
Kemasyarakatan
b. Indonesia bukan negara
kekerasan
Muhammad sebagai nabi
terakhir, merupakan penodaan
terhadap agama Islam
3. Korban tidak berdaya, laskar FPI
menyerang tidak pandang bulu 3.
Masalah Ahmadiyah bukan soal
kebebasan beragama dan
berkeyakinan, tapi penodaan
agama Islam
4.
UU Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi
Kemasyarakatan
4. GP Ansor & FPI sama-sama
penganut Islam
5.
Pembubaran FPI dilakukan jika
terbukti membahayakan
kepentingan umum
5. Pro-kontra Ahmadiyah rekayasa
politik pemerintah
6. Pengembalian nama baik dengan
menggunakan delik pers 6.
Pasal 2 UU PNPS No. 1/1965
tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
7. Banyaknya massa hanya dijaga
oleh satu kompi personel
Koran Tempo pada struktur ketiga framing Robert N. Entman memberikan
argumentasi yang dapat terlihat dari kutipan beberapa narasumber seperti yang
sudah peneliti jabarkan pada sub bab bagian pertama. Menjelaskan bahwa aksi
kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah mengancam kebebasan beragama di
Indonesia, apalagi kebebasan beragama itu sudah diatur dalam konstitusi.
Tindakan kekerasan yang dilakukan FPI pada saat peringatan Hari Lahir
Pancasila, bagi Koran Tempo merupakan tindakan penodaan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara yang menjunjung kebebasan beragama. Indonesia
bukanlah negara kekerasan, hingga Koran Tempo benar-benar mengecam dan
mengutuk tindakan kekerasan FPI terhadap AKKBB. Beberapa pasal yang
menyatakan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan antara lain:
“Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari
konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal tersebut
ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaanya itu.” 122
“Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan
hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1)
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.”
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat pada UUD 1945 dan UU tersebut,
menjadikan acuan bagi Koran Tempo bahwa sesungguhnya kebebasan beragama
itu sudah dijamin dalam konstitusi dan menyatakan bahwa Ahmadiyah sebagai
warga negara juga memiliki hak yang sama terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan.
Koran Tempo melalui bahasan utama mengenai penyebab terjadinya
insiden Monas, memberikan keputusan moral bahwa aksi kekerasan yang
dilakukan oleh FPI merupakan bukti nyata ancaman terhadap kebebasan
122
“Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP”. Artikel
diakses pada 21 Juni 2009, 00:562 dari
www.ditpertais.net/annualconference/.../Makalah%20Rumadi.doc
beragama dan berkeyakinan bagi warga negara Indonesia. Koran Tempo sendiri
menilai tindak kekerasan yang dilakukan oleh FPI merupakan pelanggaran
terhadap kebebasan umat beragama di Indonesia sebagaimana telah di atur
dalam konstitusi. Ahmadiyah bagi Koran Tempo merupakan umat beragama
yang harus dilindungi haknya.
“Kita hidup di negara Indonesia dengan dasar Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen. Tetapi, tetap saja
mengenai kebebasan beragama ada di dalam UUD 1945, bahkan diperkuat
dengan adanya beberapa pasal di dalamnya, untuk menjamin kebebasan
orang menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Hal
tersebut harus kita hargai dan itu yang menjadi titik poin Koran Tempo.
Jadi, dalam hal ini Tempo hanya menjalankan apa yang sebenarnya menjadi
dasar negara juga menjamin hal yang sama. Kita sebagai warga negara
menjalankan hal itu, menjalankan komitmen bersama untuk kita menghargai
kebebasan beragama, kemudian juga menjalankan keyakinan masing-masing
dan itu hak paling mendasar sekali.”123
Sebenarnya pada edisi Senin, 2 Juni 2008, Koran Tempo menuliskan
bahwa yang bertanggung jawab terhadap aksi kekerasan di Monas adalah Laskar
Pembela Islam (LPI), namun pada pemberitaan selanjutnya justru Koran Tempo
lebih menyudutkan FPI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
terjadinya insiden Monas, FPI sebagai pihak yang melakukan tindakan
kekerasan secara brutal, keji dan tidak pandang bulu. Dalam hal ini, AKKBB
dinilai sebagai korban dari tindak kekerasan FPI, dengan banyaknya jumlah
anggota AKKBB yang terluka. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI sendiri
berdampak pada tuntutan pembubaran oganisasi masyarakat tersebut di berbagai
daerah. Koran Tempo menilai UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bisa dijadikan dasar untuk membubarkan FPI.
123 Ibid. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
Dalam perkembangannya, UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menurut pakar hukum harus direvisi terlebih dahulu jika ingin
membubarkan ormas FPI. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi
Mattalata, mengatakan FPI tidak bisa dibubarkan karena bukan organisasi yang
berbadan hukum. Seperti dituliskan pada Koran Tempo edisi Selasa, 3 Juni
2008, “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”, disebutkan bahwa FPI bukan
organisasi kemasyarakatan yang berbentuk badan hukum, sehingga upaya untuk
membubarkan atau membekukan FPI tidak dapat dilakukan. Yang bisa
dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah menangkap para pelaku tindakan
anarkis pada insiden Monas. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan sendiri pada Bab VII, Pembekuan dan Pembubaran, Pasal 13,
menjelaskan bahwa :
Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi
Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan : a. Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban
umum; b. Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;
c. Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan
Bangsa dan Negara.
Republika dalam hal ini memandang bahwa pemerintah terlihat bersikap
hati-hati dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah hingga berakibat pada
terjadinya insiden Monas. Ahmadiyah merupakan aliran sesat yang telah
melakukan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam karena tidak
menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Kebebasan
beragama dan berkeyakinan bagi Republika bukan berarti bebas melakukan
penodaan dan penistaan terhadap agama lain, dalam hal ini agama Islam.
Republika menggunakan Pasal 2 Undang-Undang PNPS No. 1/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai dasar untuk
membubarkan Ahmadiyah. Berdasarkan rekomendasi dari Bakorpakem,
pemerintah diminta untuk menjalankan perintah Pasal 2 ayat 1 dan 2 undang-
undang tersebut sebagai follow up dari Pasal 1 UU PNPS No.1/1965, yaitu
berisi :
“Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang-
undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1).
Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan
kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk
menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama,
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka
“Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran
terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”.
Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka
dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya
lima tahun.”124
Berdasarkan dari analisa yang peneliti lakukan terhadap berita insiden
Monas di Koran Tempo dan Republika. Dengan merujuk pada struktur ketiga
framing model Robert N. Entman, peneliti menegaskan bahwa Koran Tempo
dalam hal ini melegitimasikan aksi kekerasan FPI sebagai aksi mengancam
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sudah diatur dalam konstitusi.
Sedangkan Republika dalam hal ini melegitimasikan bahwa keberadaan
Ahmadiyah adalah penodaan dan penistaan terhadap agama Islam.
124 “SKB Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 21:24 dari
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/.
Tabel 22
Treatment Recommendation / Suggest Remedis Koran Tempo dan
Republika
No Koran Tempo No Republika
1. Aparat bertindak tegas 1. Segera menerbitkan SKB
2.
a. Menangkap para pelaku
kekerasan
b. Membubarkan FPI
2. SKB mendesak diterbitkan
3. - 3. Bersikap tenang dan meredam
emosi
4.
a. Pembubaran FPI
b. Menangkap para pelaku aksi
kekerasan
c. Pemerintah bersikap tegas
4. Umat diminta bersatu dan
segera menerbitan SKB
5. Pemerintah bertindak tegas dan
memproses ke jalur hukum 5.
Pemerintah bersikap adil dan
tidak diskriminatif
6.
Koran Tempo kembali
menegaskan kepada pihak
kepolisian untuk tidak ragu-ragu
menindak pelaku kekerasan
6.
a. Segera menerbitkan SKB dan
bubarkan Ahmadiyah
b. Umat Islam bersatu,
pemerintah bersikap adil
7. -
Pada bagian akhir struktur framing model Robert N. Entman, antara Koran
Tempo dan Republika memberikan kesimpulan yang berbeda. Hal itu dapat kita
lihat dari konstruksi realitas yang disajikan oleh kedua surat kabar tersebut dari
awal pemberitaan mengenai kasus ini. Koran Tempo lebih menekankan pada isu
kekerasan yang dilakukan oleh FPI, bukan kepada apa yang menyebabkan FPI
melakukan aksi kekerasan tersebut seperti yang dilakukan oleh Republika. Tidak
mengherankan manakala Koran Tempo memberikan solusi kepada pihak
kepolisian untuk segera menangkap pelaku kekerasan pada insiden Monas serta
memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Koran Tempo juga
menuntut kepada pemerintah untuk bersikap tegas terhadap penanganan kasus
ini dan bersikap tegas terhadap komitmen untuk membubarkan FPI.
Berbeda halnya dengan Republika yang memberikan solusi kepada
pemerintah agar segera menerbitkan SKB, penerbitan SKB merupakan sesuatu
yang amat mendesak untuk dilakukan, karena terkait dengan penegakan hukum
mengenai Ahmadiyah. Pemerintah juga diminta untuk bersikap represif,
preventif, adil dan tidak diskriminatif. Untuk masyarakat, Republika meminta
masyarakat bersatu dan tidak mudah diadu domba oleh isu apapun terkait
dengan insiden Monas. Republika menghargai kebebasan beragama setiap
individu tetapi, kebebasan beragama tersebut bukan berarti dilakukan dengan
penistaan dan penodaan terhadap agama Islam.
Penangkapan terhadap pelaku aksi kekerasan sendiri sudah dilakukan oleh
polisi, yaitu pada Rabu, 4 Juni 2008. Polisi melakukan penangkapan besar-
besaran di markas FPI, di kawasan Petamburan, Jakarta Barat. Polisi berhasil
menangkap 59 orang termasuk Habib Rizieq Shihab. Munarman sendiri, yang
sempat dinyatakan buron, akhirnya menyerahkan diri pada Senin, 9 Juni 2008,
sekitar pukul delapan malam. Munarman menyerahkan diri setelah pemerintah
menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Senin sore. Isi dari SKB
tiga menteri yang ditanda tangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri
dan Jaksa Agung tersebut antara lain125
:
125 “Isi SKB Menteri Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 18:09
dari http://id.wordpress.com/tag/menteri-agama/.
1. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk
tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No. 1 PNPS 2005 tentang pencegahan
penodaan agama 2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluru penganut,
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai
dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau
pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat
dikenai sanksi sesuai peraturan perundangan
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga
dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan
tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan perundangan yang berlaku
6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah
untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka
pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini
7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008
Menteri Agama Muhammad M Baysuni
Jaksa Agung Hendarman Supandji
Menteri Dalam Negeri H Mardiyanto
Isi dari SKB tiga menteri tersebut tidak serta-merta membubarkan
Ahmadiyah, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Justru yang
ditekankan pada SKB ini ialah penghentian kegiatan JAI yang menyimpang dari
ajaran agama Islam pada umumnya. Dari ketujuh poin isi SKB, hanya dua poin
yang ditunjukkan langsung kepada JAI, tiga poin lainnya ditunjukkan kepada
warga negara Indonesia, satu poin ditunjukkan kepada aparat pemerintah untuk
melakukan pengamanan dan pengawasan serta pelaksanaan isi SKB tersebut. Ini
adalah upaya terbaik yang dilakukan oleh pemerintah untuk meredam emosi
masyarakat terhadap keberadaan JAI. Juga sebagai upaya untuk meredam aksi
kekerasan yang ditunjukkan kepada JAI, seperti banyak terjadi di berbagai
daerah. Pada poin keempat, SKB tersebut mengingatkan kepada warga untuk
tidak melakukan perbuatan anarki kepada JAI, jika melanggar mereka akan
diberikan sanksi sesuai dengan perundangan. Dalam hal ini, isi atau substansi
dari SKB tersebut ditangani langsung oleh Menteri Agama, sedangkan untuk
pengamanan dan pengawasan terhadap isi dari SKB tersebut dilakukan oleh
Jaksa Agung, dan pengawasan internal pemerintahan dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri.
Penerbitan SKB sendiri, dipandang berbeda oleh Koran Tempo dan
Republika. Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan pihak Koran
Tempo, Gendur Sudarsono, menanggapi dikeluarkannya SKB, ia berkomentar
bahwa :
“Kita sendiri tidak setuju dengan SKB. SKB adalah Surat
Keputusan Bersama, karena berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar. Dalam tata negara, susunan produk perundang-undangan kita ada : Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang, kemudian peraturan pemerintah. Makin ke bawah sebaiknya bukan mengatur hal-hal yang mendasar. Jadi,
kalau UUD dan UU sudah mengatur kebebasan kehidupan beragama,
kemudian ada SKB tiga menteri yang aturannya bersifat mengatur, justru
kontraproduktif menurut kami.”126
Sedangkan Republika sendiri memandang bahwa :
“SKB sendiri belum tegas. Permintaan kami sangat jelas,
Ahmadiyah harus dibubarkan. Setiap agama memiliki persoalan yang
sama mengenai masalah aqidah dan dialog merupakan jalan terbaik untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, dalam hal ini pemerintah dari
awal tidak memiliki ketegasan hingga terjadilah peristiwa di Monas.”127
126 Ibid. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
127
Ibid. Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Jakarta, 23 April 2009.
Koran Tempo dan Republika dalam keseluruhan beritanya mengambil
garis yang berbeda. Koran Tempo mengambil sudut pandang pemberitaannya
pada aksi anarkis yang dilakukan oleh FPI, yaitu lebih menekankan pada akibat
atau dampak dari aksi kekerasan FPI yang terjadi di Monas. Sedangkan
Republika mengambil sudut pandang terhadap persoalan mendasar yang
menyebabkan terjadinya insiden Monas atau dalam hal ini Republika lebih
menekankan pada akar masalah sampai terjadinya insiden Monas, yaitu
persoalan Ahmadiyah.
Perbedaan sudut pandang yang diambil oleh Koran Tempo dan Republika,
atau dalam hal ini perbedaan ideologi yang digunakan, dapat terlihat dari visi
misi kedua surat kabar nasional tersebut. Berdirinya suatu media selain sejarah
dan latar belakang pendiriannya, juga memiliki dasar-dasar yang dijadikan
acuan dalam pendiriannya. Yang pada akhirnya juga menjadi acuan bagi para
wartawan yang bekerja di media tersebut dalam melakukan proses konstruksi
realitas. Dalam hal ini, segmentasi pembaca pun menjadi sangat penting.
Koran Tempo sebagai bagian dari Tempo Inti Media, sebagai media yang
memiliki visi, yaitu kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan
pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan
perbedaan pendapat. Dalam memandang penyebab terjadinya insiden Monas,
menjadi hal yang wajar ketika Koran Tempo menanggapi kekerasan yang
dilakukan oleh FPI terhadap Ahmadiyah sebagai ancaman kebebasan beragama
sebagaimana telah diatur dalam konstitusi. Bukan soal Ahmadiyah yang
menjadi isu utama Koran Tempo menyajikan berita terkait insiden Monas.
Tetapi, akibat dari insiden Monas itulah yang oleh Koran tempo dijadikan isu
utama. Sehingga terlihat ada kesan, Koran Tempo memiliki keberpihakan
kepada AKKBB sebagai korban dari peristiwa tersebut. Di sisi lain, Koran
Tempo terlihat sangat menyudutkan FPI dalam peristiwa tersebut. Selintas
membaca berita-berita terkait insiden Monas, peneliti melihat Koran Tempo
lebih banyak mengutip pernyataan anggota AKKBB dalam pemberitaannya,
dari tujuh berita yang dianalisis oleh peneliti hampir keseluruhan terdapat
kutipan pernyataan dari AKKBB. Koran Tempo mengkaitkan antara kekerasan
yang dilakukan oleh FPI dan keberadaan Ahmadiyah kepada konstitusi.
Republika memandang persoalan Ahmadiyah sebagai pemicu terjadinya
insiden Monas, menurut peneliti adalah suatu pandangan yang wajar. Mengingat
Republika sebagai surat kabar berhaluan Islam dengan segmentasi pembaca
utamanya ialah komunitas muslim. Tetapi, dalam hal ini Republika tidak juga
memberikan dukungan atau keberpihakan kepada Front Pembela Islam (FPI)
sebagai ormas Islam, sebaliknya Republika justru meminta kepada pemerintah
untuk menindak para pelaku kekerasan di Monas secara hukum. Bagi Republika,
persoalan Ahmadiyah sesuatu yang sangat penting dan seharusnya mendapat
perhatian dari pemerintah. Dan kekerasan yang terjadi di Monas, merupakan
akibat dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan
Ahmadiyah.
Berita yang disajikan oleh media dan hadir di masyarakat bukanlah berita
yang apa adanya. Artinya, bukanlah berita yang hanya menampilkan fakta-fakta
yang terjadi di lapangan. Fakta itu tetap ada, tetapi dibalik itu semua ada suatu
proses pada media yang lebih dikenal dengan proses konstruksi (pertukaran
makna) yang melibatkan antara wartawan, idelogi media dan fakta dari suatu
peristiwa. Melalui proses konstruksi itu lah yang menjadikan sebuah berita
bersifat subjektif bukan objektif, seperti yang seharusnya dilakukan oleh sebuah
media dalam menyampaikan informasi kepada khalayak.
Sebelum dikeluarkannya SKB, catatan perjalanan tentang upaya
menentang ajaran Ahmadiyah, yaitu dengan ditetapkannya konsep 12 Butir
Penjelasan Ahmadiyah yang digodok oleh Departemen Agama dan
Bakorpapem. Butir-butir penjelasan itu, substansinya antara lain adanya
instrumen pengawasan selama tiga bulan. Selanjutnya, apabila tidak sesuai
dengan kesepakatan itu, akan dilakukan langkah-langkah tegas. FUI menyatakan
bahwa pernyataan 12 butir yang dibacakan Abdul Basith tertanggal 14 Januari
2008 adalah rumusan kompromi untuk meredam kemarahan umat Islam. Juga
menyelamatkan muka pemerintah dari rakyat yang menuntut dibubarkan
Ahmadiyah oleh pemerintah sesuai dengan bunyi fatwa tahun 1980 dan fatwa
MUI tahun 2005. Fatwa tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah berada di luar
Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah
murtad.
Pelaksanaan 12 penjelasan ternyata tidak dijalankan dengan konsisten oleh
Ahmadiyah. Mereka tetap menjalankan ajaran yang selama ini dianggap sesat
oleh kalangan umat Islam. Menyangkut ketidakkonsistenan ini, dalam
Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI), dipertegas
kembali bahwa ajaran Ahmadiyah menyesatkan serta berada di luar Islam.
Fatwa tersebut didasarkan dalam surah Al-Ahzab 40 yang dengan tegas
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan rasulullah dan nabi
terakhir. MUI berpedoman pada keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi
Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 dalam Muktamar II di Jeddah Arab Saudi
pada 22-28 Desember 1985 tentang aliran Qadiyaniyah yang menyatakan Aliran
Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah
Nabi Muhammad saw dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari
Islam karena mengingkari ajaran Islam yang disepakati oleh seluruh umat Islam
bahwa Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir.128
Dalam pandangan peneliti, keberadaan Ahmadiyah jelas menyimpang
secara akidah dan syariat. Apa yang sudah ditetapkan dalam al-Quran tidak
perlu diragukan lagi kebenarannya. Seorang muslim ialah yang mempercayai
dan meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah (La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah). Pada
perkembangannya, upaya dan tindakan tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah
sangat perlu dilakukan oleh pemerintah. Jangan sampai aksi kekerasan yang
pernah terjadi, seperti pembakaran masjid Ahmadiyah, kekerasan fisik kepada
anggota Ahmadiyah terjadi kembali. Kekerasan secara brutal kepada anggota
Ahmadiyah jelas bertentangan dengan konstitusi yang mana dalam konstitusi
tersebut, sebagai warga negara setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan
yang diskriminatif, hak untuk tidak disiksa, hak untuk hidup, dll. Surat
Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah yang diterbitkan oleh
pemerintah memang telat diterbitkan. Tetapi, setidaknya ada upaya nyata yang
telah dilakukan oleh pemerintah. Dan penerbitan tersebut setidaknya bisa
meredam emosi massa terhadap keberadaan JAI, walaupun tidak semua pihak
setuju dengan diterbitkannya SKB.
128 Ibid. Achmad Setiyaji, Tragedi Monas Berdarah. h. 102-104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sasaran akhir sebuah penelitian adalah menjawab pertanyaan dari
perumusan masalah. Berdasarkan hasil dari penelitian terhadap bahasan utama /
headline Koran Tempo dan Republika terkait penyebab terjadinya insiden
Monas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Perbedaan penekanan isu yang dilakukan oleh Koran Tempo dan Republika
di dalam berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas ini,
disebabkan karena ideologi yang terlihat pada visi misi serta segmentasi
pembaca kedua institusi media tersebut yang berbeda. Peristiwa bisa saja
sama, waktu peliputannya sama, narasumbernya sama, tetapi karena
perbedaan ideologi yang mereka miliki pada akhirnya menjadikan sebuah
berita itu berbeda dari segi sudut pandang yang disajikan. Kedua media
tersebut mengkonstruksikan realitas yang terjadi sesuai dengan nilai-nilai
ideologinya. Koran Tempo dalam hal ini lebih melihat pada akibat dari
terjadinya insiden Monas. Dalam setiap pemberitaannya, Koran Tempo
memberikan penekanan isu terhadap aksi kekerasan FPI terhadap AKKBB.
Hal tersebut dapat terlihat dari pemilihan narasumber berita yang
keseluruhan mengatakan mengecam aksi kekerasan FPI. Sedangkan
Republika dalam hal ini lebih melihat pada akar permasalahan terjadinya
insiden Monas, yaitu persoalan Ahmadiyah. Dalam setiap pemberitaannya,
Republika lebih memberikan penekanan isu terhadap persoalan Ahmadiyah
yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah. Sama seperti Koran Tempo,
hal tersebut dapat peneliti lihat dari pemilihan narasumber berita yang
keseluruhan mengatakan bahwa Ahmadiyah sebagai akar masalah penyebab
terjadinya insiden Monas.
2. Dari segi struktur framing Robert N. Entman (define problems, diagnose
causes, make moral judgement, treatment recommendation) terdapat
perbedaan antara Koran Tempo dan Republika.
a. Koran Tempo mendefinisikan masalah pada masalah hukum
pembubaran FPI. Pendefinisian itu terkait dengan aksi kekerasan yang
dilakukan FPI kepada AKKBB sebagai sumber masalah utama
terjadinya insiden Monas. Koran Tempo melegitimasikan bahwa
kekerasan FPI adalah ancaman kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia yang telah di atur dalam konstitusi. Hingga pada bagian solusi,
Koran Tempo memberikan solusi agar segera menangkap pelaku
kekerasan di Monas serta memproses mereka ke meja hijau.
b. Republika mendefinisikan masalah penyebab insiden Monas ke dalam
penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah. Pendefinisian masalah itu
terkait persoalan Ahmadiyah, di mana Republika menilai kelambanan
pemerintah menangani persoalan Ahmadiyah dinilai sebagai penyebab
utama terjadinya insiden Monas. Republika melegitimasikan bahwa
keberadaan Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Republika menilai Ahmadiyah bukan bagian dari Islam,
karena telah melakukan penistaan dan penodaan, yaitu dengan tidak
mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Hingga pada
bagian akhir, Republika memberikan solusi kepada pemerintah untuk
segera mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
penghentian kegiatan Ahmadiyah dan jika perlu membubarkan
Ahmadiyah.
B. Saran
1. Peneliti menyadari adanya bias dalam mengkonstruksikan berita di media
massa. Berita tidak terbentuk begitu saja, berita merupakan hasil konstruksi
antara institusi media dan wartawan. Media dan wartawan hendaknya
memiliki pegangan bagi apa yang disampaikan kepada khalayak. Antara lain
bersikap akurat, tidak arogan, kecepatan dan jujur terhadap kebenaran.
Akurat berarti, seorang wartawan atau sebuah institusi media haruslah
mendapatkan informasi yang pasti dan tidak bisa dibantah. Harus disadari
bahwa mengira dan menduga akan berakibat pada tuntutan hukum serta
hilangnya kredibilitas dan prestige (nama baik / kehormatan) suatu media.
Alangkah lebih baik ketika media dan wartawan berhati-hati dalam
menyampaikan berita, karena bias yang ditampilkan media massa dalam
mengkonstruksi realitas bisa saja berakibat pada konflik. Kecepatan dan
persaingan bukanlah hal yang baru bagi sebuah media maupun wartawan.
Seorang wartawan harus mampu menghasilkan tulisan yang dapat dipercaya
dalam keadaan tekanan waktu, harus pandai dan tenang dalam menghadapi
berbagai tekanan, wartawan harus menghasilkan berita dengan kecepatan
kilat yang isinya seakan-akan tidak dibuat dengan terburu-buru. Jujur
terhadap kebenaran ialah jujur dalam mengumpulkan dan menyajikan fakta
dan informasi, tidak bohong dan tidak menjiplak.
2. Kepada khalayak pembaca atau pun penikmat berita, hendaknya menerima
informasi tidak hanya dari satu sumber berita saja. Tidak hanya membaca
satu surat kabar saja, tidak hanya menonton atau mendengarkan berita dari
satu program berita saja, tetapi mencari lebih banyak lagi sumber informasi
dari surat kabar lain serta program-program berita yang ada di televisi atau
radio.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ardianto, Elvinaro. dkk. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung :
Simbiosa Rekatama Media, 2005.
Birowo, M. Antonius, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Gitanyali, 2004.
Burhan, Bungin. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2006.
Burton, Graeme. Yang Tersembunyi di Balik Media. Yogyakarta : Jalasutra,
2008.
Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2003.
Eriyanto. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta : LKiS, 2002.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta : Granit,
2004.
HM, Zainuddin. The Journalist Buku Basic Wartawan, Bacaan Wajib Para
Wartawan, Editor dan Mahasiswa Jurnalistik. Jakarta : Prestasi
Pustakarya, 2007.
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi.. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. Jurnalistik Teori &
Praktik. Bandung : Rosda Karya, 2005.
McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga, 1987.
Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta : Ceqda, 2007.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Rosda Karya, 2004.
Sareba Putra, Masri. Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memproduksi.
Graha Ilmu, 2007.
Setiyaji, Achmad. Tragedi Monas Berdarah. Bandung : Semesta Ide, 2008.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media : “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung : Rosda Karya, 2004.
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKiS,
2001.
Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Bandung :
Simbiosa Rekatama Media, 2006.
Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat : Kalam Indonesia, 2005.
Wibowo, Indiwan Seto Wahju. Dasar-Dasar Jurnalistik Lembaga Pendidikan
Jurnalistik Antara. Jakarta : LPJA Press, 2006.
Media Online :
“Agenda setting theory.” Artikel diakses pada 9 Mei 2009 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting theory
“Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP”.
Artikel diakses pada 21 Juni 2009, 00:562 dari
www.ditpertais.net/annualconference/.../Makalah%20Rumadi.doc
Haryanto, Ignatius. “Enak dibaca Tetapi Harus dari Atas”. Artikel diakses pada
8 Desember 2008, 22:43 dari http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm
“Isi SKB Menteri Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009,
18:09 dari http://id.wordpress.com/tag/menteri-agama/.
“Politisasi Bahasa.” Artikel diakses pada 15 Februari 2009, 21:12 dari
http://blogaryandi.wordpress.com/2007/12/22/politisasi-bahasa-sebagai-
instrument-politik-media/
Sejarah Koran Tempo. Artikel diakses pada 1 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo
Sejarah Republika. Artikel dari http://republika.co.id
“SKB Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 21:24 dari
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/
http://digilib.petra.ac.id/viewer, diakses pada 24 Juni 2009
Artikel Koran :
“Bubarkan FPI.” Koran Tempo, 2 Juni 2008.
“Pemerintah Kaji Pembekuan FPI.” Koran Tempo, 3 Juni 2008.
“Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif.” Koran Tempo, 3 Juni 2008.
“Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI.” Koran Tempo, 3 Juni 2008.
“Polisi Ultimatum FPI.” Koran Tempo, 4 Juni 2008.
“Koran Tempo Akan Diserbu.” Koran Tempo, 4 Juni 2008.
“Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah.” Koran Tempo, 4 Juni 2008.
“Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”, Koran Tempo, 7 Juni 2008.
“Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban.” Republika, 2 Juni 2008.
“Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi.” Republika, 3 Juni 2008.
“Akar Masalahnya Ahmadiyah.” Republika, 3 Juni 2008.
“Umat Islam Diminta Bersatu.” Republika, 5 Juni 2008.
“14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi.” Republika, 6 Juni 2008.
“Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil.” Republika, 7 juni 2008.
Lain-Lain :
Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap
Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan
Republika).” Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Company Profile Republika.
Company Profile Tempo Inti Media
Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto. Jakarta, 23 April 2009.
Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono. Jakarta, 2 Juni 2009.
Top Related