KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP IDENTITAS
BUDAYA SUROBOYOAN DALAM PROGRAM
NDORO BEI DI JAWA POS MEDIA TELEVISI
(JTV) SURABAYA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh
Umi Lailatul Baroroh
11150510000039
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Umi Lailatul Baroroh
NIM :11150510000039
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP IDENTITAS
BUDAYA SUROBOYOAN DALAM PROGRAM NDORO
BEI DI JAWA POS MEDIA TELEVISI (JTV) SURABAYA
adalah benar merupakan karya saya sendiri yang belum pernah
diajukan sebagai skripsi atau karya ilmiah pada perguruan tinggi
atau lembaga lain dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan
karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi.
Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan
peraturan perudangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini
sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang
lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan
seperlunya.
Jakarta, 7 April 2020
Umi Lailatul Baroroh
NIM 11150510000039
KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP IDENTITAS
BUDAYA SUROBOYOAN DALAM PROGRAM
NDORO BEI DI JAWA POS MEDIA TELEVISI
(JTV) SURABAYA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh
Umi Lailatul Baroroh
NIM 11150510000039
Pembimbing
Syamsul Rijal, MA, Ph.D
NIP 197810082006041002
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020M
i
ABSTRAK
Umi Lailatul Baroroh, “Konstruksi Media Terhadap
Identitas Budaya Suroboyoan dalam Program Ndoro Bei di
Jawa Pos Media Televisi Surabaya”, 2020
Kuatnya arus modernisasi dan globalisasi dapat
menggeser identitas dan kearifan lokal suatu daerah. Nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat tengah mengalami erosi.
Keberadaan televisi lokal diharapkan mampu menampilkan
budaya daerah serta peristiwa lokal dengan menyentuh kehidupan
nyata masyarakat setempat. Jawa Pos Media Televisi merupakan
televisi swasta regional terbesar dan pertama di Indonesia. JTV
memiliki khas sebagai televisi yang mengangkat kearifan lokal.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan penelitian
adalah untuk menjawab “Bagaimana Identitas Budaya
Suroboyoan dikonstruksi dalam program acara Ndoro Bei di Jawa
Pos Media televisi?” dan “Apa makna dari tanda yang
dimunculkan dalam tayangan Ndoro Bei di Jawa Pos Media
Televisi?”
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
konstruksi sosial yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman. Teori tersebut menyebutkan bahwa
kostruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu
untuk menafsirkan dunia realitas yang ada. Pada tataran aplikasi
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Charles Sanders
Pierce. Kunci analisis Pierce adalah untuk melihat sebuah tanda
dengan konsep triadik, yaitu representament, objek dan
interpretant.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
adalah analisis dokumentasi dan wawancara.
Konstruksi Identitas Budaya Suroboyoan dalam program
acara Ndoro Bei termasuk dalam Konstruksi radikal, sehingga
pegetahuan dan pengalaman penulis cerita memiliki peran
penting. Identitas Budaya suroboyoan ditunjukkan dalam
berbagai tingkah laku dan ekspresi, seperti lugas, spontan dan
terbuka. Bahasa Suroboyoan yang khas juga tidak luput dari
dialog.
Kata Kunci: Konstruksi Sosial, Identitas Budaya, Semiotika,
Budaya Suroboyoan
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberikan kekuatan dan kesabaran kepada penulis selama
menjalani jenjang perkuliahan hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada nabi besar Muhammad shallahu’alaihi wa
sallam serta keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih
kepada kedua orangtua penulis, Ibunda Siti Waqiah dan
Ayahanda Imam Muslih yang telah memberikan semangat dan
doa tiada henti kepada penulis karena berkat doa mereka, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga mereka selalu diberkahi
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selalu dalam lindungan-Nya
Penulis hanyalah manusia biasa yang banyak kekurangan
dan sangat membutuhkan bantuan orang sekitar untuk mencapai
suatu tujuan, terlebih dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karenanya, dalam kata pengantar ini penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada beberapa pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis
merampungkan karya akhir ini. Rasa terima kasih ini diberikan
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
iii
2. Bapak Dr. Suparto,M.Ed. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta Ibu Dr. Siti Napsiyah,
MSW, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr.
Sihabudin Noor, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum dan Drs. Cecep Sastrawijaya, MA,
selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan
Kerjasama
3. Ketua Program Studi Jurnalistik, sekaligus Dosen
Penasihat Akademik Jurnalistik A angkatan 2015 Bapak
Kholis Ridho, M.Si dan Sekretaris Program Studi
Jurnalistik Ibu Musfiroh Nurlaily, MA yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan birokrasi karya
ilmiah ini.
4. Bapak Syamsul Rijal MA, Ph.D sebagai pembimbing
yang telah meluangkan waktunya serta memberikan
arahan dan masukan untuk penulis hingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah mengajar dan membimbing
penulis semasa kuliah.
6. Seluruh Staf dan pengurus perpustakaan, baik Staf
Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi maupun Staf Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yag
telah membantu hingga penulis dapat melihat referensi
dari penelitian terdahulu.
iv
7. Pihak Jawa Pos Media Televisi, Bapak Nugroho
Widiyatmoko selaku Produser program acara Ndoro Bei,
dan Bapak Hendrik yang telah membantu penulis
memberikan data-data yang penulis butuhkan
8. Teman-teman Jurnalistik 2015. Terima kasih telah
menjadi teman yang menyenangkan. Khususnya Ineike
Pramestiya, Dewi Rahmayuni, Rizka Maulidina, Awanda
Noviani, Rissa Diah Dwi Djayanti dan Hilma Nur Alifah
semoga tali persaudaraan kita tetap terjaga.
9. Teman-teman Hikam Korda Jabodetabek. Terima kasih
telah menjadi sahabat, pembimbing sekaligus motivator
bagi penulis.
10. Teman-teman KKN Pena Rusa, terima kasih telah
menjadi saudara di saat jauh dari keluarga, keceriaan yang
kalian berikan tidak akan terlupakan.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dan
kekhilafan dalam menyusun skripsi ini, karena itu penulis
berharap adanya kritik dan saran dari semua pihak. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 10 April 2020
Umi Lailatul Baroroh
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................ 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................ 13
D. Metodologi Penelitian .......................................... 13
E. Tinjauan Pustaka .................................................. 16
F. Sistematika Penulisan .......................................... 20
BAB II LANDASAN TEORI ............................................. 22
A. Media dan Identitas .............................................. 22
B. Konstruksi Sosial ................................................. 26
C. Semiotika ............................................................. 29
1. Semiotika Charles Sanders Pierce .................. 31
D. Identitas Budaya ................................................... 36
E. Identitas Budaya Suroboyoan .............................. 40
BAB III GAMBARAN UMUM JAWA POS MEDIA
TELEVISI ............................................................................. 54
A. Perkembangan Bisnis Jawa Pos Group ................ 54
B. Sejarah dan Perkembangan jawa Pos Media
Televisi ................................................................. 60
C. Program Tayangan Ndoro Bei ............................. 66
D. Struktur Program tayangan Ndoro bei ................. 67
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .............. 70
A. Simbol Tradisi Jawa ............................................ 72
B. Simbol Kepercayaan dalam Beragama ................ 76
vi
C. Sikap terbuka ........................................................ 78
D. Perilaku Lugas ...................................................... 81
E. Perilaku Spontan .................................................. 82
F. Kalimat Kiasan ..................................................... 83
G. Puisi Jawa Tradisional.......................................... 85
H. Data Hasil Keseluruhan Temuan ......................... 86
BAB V PEMBAHASAN ...................................................... 94
A. Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce ......... 94
B. Konstruksi Identitas Budaya Suroboyoan ............ 108
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN............ 115
A. Kesimpulan .......................................................... 115
B. Implikasi ............................................................... 117
C. Saran ..................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 118
LAMPIRAN .......................................................................... 124
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
berlangsung sangat pesat. Penemuan alat cetak oleh Johanes
Guttenberg pada tahun 1455 menjadi pemicu lahirnya
teknologi baru seperti mesin ketik, mesin print hingga mesin
cetak dengan kombinasi teknik foto. Mesin-mesin tersebut
akhirnya dapat memproduksi majalah, surat kabar dan buku
sebagai sarana informasi. pada tahun 1876 penemuan telepon
oleh Alexander Graham Bell juga mewarnai perkembangan
dunia teknologi komunikasi dan informasi. Perkembangan
selanjutnya dari telepon ini adalah penemuan telepon mobile
yang kemudian melahirkan pelayanan third generation (3G)
oleh sebuah industri komunikasi yang bernama the Holy Grail
yang memungkinkan mengirimkan pesan suara, video, dan
data melalui internet.1
Adanya perkembangan teknologi memudahkan
masyarakat dalam mengakses media, baik media cetak
ataupun media online. Kemudahan tersebut juga
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kebutuhannya
mendapatkan informasi. Beberapa media yang sekarang telah
familiar seperti surat kabar, majalah, film, radio, televisi dan
media sosial telah menjadi rujukan utama masyarakat untuk
1Amar Ahmad, Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Informasi:
Akar Revolusi dan Berbagai Standarnya. Jurnal Dakwah Tabligh Vol 13 No 1
Tahun 2012, h. 139. diakses pada: 5 September 2019 dari: http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/view/300
2
mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Suatu kajian dari
Indiana University membandingkan pemakaian media sosial
dalam partisipasi politik di lima negara yakni, Indonesia,
Taiwan, Cina, Thailand dan Jepang. Hasil kajian tersebut
menemukan bahwa Indonesia adalah negara dengan pangsa
pengguna media sosial tertinggi (71,6 persen) yang
menggunakan media sosial dengan maksud untuk
mengonsumsi berita.2
Sejak tahun 1960-an, masyarakat Indonesia sendiri sudah
akrab dengan salah satu media yang menggabungkan audio
sekaligus visual secara langsung yakni televisi. mereka dapat
menikmati acara televisi melalui televisi publik yakni TVRI
(Televisi Republik Indonesia). Perkembangan selanjutnya,
beberapa stasiun televisi swasta mulai bermunculan. Tercatat
munculnya RCTI, SCTV dan TPI pada awal 1990-an.
Kemudian dilanjutkan dengan kehadiran ANTV pada tahun
1992, Indosiar pada tahun 1995, Metro TV pada tahun 2000,
Lativi yang sudah berganti nama menjadi TV One, Trans TV
pada tahun 2001 dan TV 7 yang sekarang bernama Trans 7
pada tahun 2007. Dilanjutkan dengan kehadiran Global TV,
Net TV, dan INews TV. Di samping televisi swasta, dalam
dunia pertelevisian di Indonesia juga terdapat televisi regional
2 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga
dan Revolusi Digital (Tangerag Selatan; CV Marjin Kiri, 2019), h. 20
3
atau daerah dan televisi berlangganan seperti Indovision,
Kabelvision atau Telkomvision.3
Televisi menjadi medium dengan jangkauan dan
popularitas terbesar di seluruh nusantara. Setidaknya
seminggu sekali sebagian besar penduduk dewasa menonton
berita di televisi. Pada tahun 1990an, survei menunjukkan
bahwa 60 persen orang Indonesia menonton televisi setiap
minggu. Angka tersebut naik hingga 90 persen pada tahun
2015 (hampir 150 juta penduduk dewasa). Selain murah dan
mudah untuk diakses, penggabungan antara unsur-unsur
audio dan visual sekaligus menjadi daya tarik tersendiri.
Selain itu, televisi juga bersifat langsung dan tidak mengenal
jarak. Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi
dan informasi lainnya, kini televisi telah bertransformasi, baik
dari bentuknya, informasi yang diberikan kepada khalayak,
atau bahkan teknologi internal di dalam televisi itu sendiri.
Televisi saat ini telah berkembang ke dalam berbagai bentuk,
seperti televisi yang menggunakan sistem satelit, jaringan,
maupun sistem digital.4
Perusahaan televisi Indonesia menjadi sangat produktif di
era digital. Belanja iklan media naik dari Rp9 triliun pada
2001 menjadi Rp60 triliun pada 2010. Televisi swasta
memperoleh sekitar 80 persen dari belanja ini pada 2004,
3 Hermin Indah Wahuni, Kebijakan “Media Baru” di Indonesia
(Harapan, Dinamika dan Capaian Kebijakan “Media Baru” di
Indonesia)(Yogakarta; Gadjah Mada University Press, 2013), h. 114. 4 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital, h. 69.
4
menjadikannya media yang paling layak secara finansial.
Karena televisi termasuk dalam siaran gratis, maka dengan
mudah menjadikannya media yang paling banyak
dikonsumsi. Sekitar 70 persen dari semua iklan media di
Indonesia sekarang masuk ke televisi, dibandingkan dengan
sekitar 20 persen untuk media cetak.5
Semangat untuk menciptakan kondisi yang lebih terbuka,
bebas, dan transparan terhadap sistem media penyiaran di
tanah air dimulai dengan dihasilkannya UU penyiaran No. 32
tahun 2002. Undang-undang penyiaran tersebut dianggap
lebih demokratis jika dibandingkan pada masa rezim
Soeharto. Dalam undang-undang tersebut mengatur tetang
prinsip-prinsip penyelenggaraan peniaran yang berlaku di
Indonesia.6
Adanya UU Penyiaran membuka peluang bagi
berkembangnya televisi-televisi lokal dengan memberikan
pengakuan bagi eksistensi lembaga penyiaran lokal, baik
swasta, komunitas, maupun publik. Pasal 31 dalam UU
Penyiaran menyatakan bahwa stasiun penyiaran lokal dapat
didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah Negara Republik
Indonesia dengan wilayah jagkauan siaran terbatas pada
lokasi tersebut, juga mayoritas kepemilikan modal awal dan
pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada
5 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital, h. 80. 6 Surokim, Muhtar Wahyudi, Televisi Lokal; Strategi Jitu
Memenangkan Persaingan dan Merebut Pemirsa TV (UTM Press; Madura,
2013), h. 7
5
masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.
Semangat otonomi daerah mendorong pertumbuhan televisi
lokal di Indonesia.7
Televisi lokal menurut Asosiasi Televisi Lokal Indonesia
adalah stasiun televisi yang berdaya jangkau siar lokal (daya
jangkau siaran maksimum dalam satu provinsi/kota). Dengan
arti lain, televisi lokal adalah stasiun penyiaran yang memiliki
studio siaran yang berada di lokasi tertentu dengan wilayah
jangkauan siaran tertentu. Kehadirannya memiliki makna
yang penting dan strategis dalam konteks daerah, sebagai
media massa yang akan merepresentasikan khasanah budaya
lokal, dengan tingkat keragaman, kekayaan dan keunikan
masing-masing daerah. Hal ini selain untuk memperteguh
budaya lokal, juga dimaksud dapat membendung arus
globalisasi yang telah masuk dalam ranah media8.
Asosiasi Televisi Lokal Idonesia (ATVLI) dibentuk pada
tahun 2002 oleh beberapa pemilik media lokal. ATVLI
didirikan sebagai wadah berkumpulnya stasiun-stasiun
televisi lokal di Indonesia guna memperjuangkan kepentingan
para anggotanya dan kepentingan masyarakat lokal untuk
mendapatkan informasi, serta kepentingan seluruh elemen
bangsa sebagai bagian yang utuh dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu tujuan dibentuknya
ATVLI juga untuk menentang dominasi lembaga penyiaran
7 UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran diakses pada 22 Agustus
2019 dari: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_32_02.htm 8 ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) diakses pada 20
Agustus 2019 dari: http://atvli.or.id/
6
nasional yang berbasis di Jakarta. Dalam beberapa hal ATVLI
mampu menghambat ambisi konglomerat nasional, tetapi
pengaruh raja-raja daerah mengalami penurunan.9
Data keanggotaan ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal
Indonesia) hingga tahun 2017 mencapai 67 stasiun televisi
yang telah bergabung. Angka tersebut masih terus bertambah
seiring dengan pembukaan loket perizinan di berbagai daerah.
Namun, di sisi lain banyaknya media lokal menumbuhkan
tingkat persaingan atau kompetisi di industri penyiaran.
Beratnya persaingan dalam industri televisi lokal dan nasional
pada dasarnya sudah dipahami oleh para pembuat kebijakan
penyiaran dan pemerintah. Karenanya dalam UU No.32
Tahun 2002 tentang penyiaran juga mengatur ketentuan
Sistem Stasiun Berjaringan (SSJ). Esensi dari SSJ adalah
pemenuhan hak masyarakat daerah untuk memperoleh
informasi yang diinginkan sekaligus hak menggunakan
frekuensi yang memang milik publik.10
Sistem Siaran Berjaringan mengakomodasi prinsip-prinsip
utama dalam demokratisasi penyiaran yaitu otonomi publik,
keberagaman isi (Diversity of Content), dan keberagaman
kepemilikan (Diversity of Ownership). Selain sebagai amanat
UU No. 32 Tahun 2002, dari aspek bisnis Sistem Siaran
Berjaringan juga dinilai lebih efiesien dan menguntungkan.
9 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital, h. 120 10
Haryati,”Televisi Lokal dalam Representasi Identitas Budaya”
Eksistensi Media Lokal di Era Konvergensi Vol.11 No. 1 Tahun 2013 diakses
pada 24 April 2019
dari: https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/observasi/article/view/87
7
Dengan melakukan strategi promosi dan marketing bersama,
maka daerah juga akan menikmati iklan dari industri
penyiaran. Terlebih pada era globalisasi, persaingan semakin
bebas. Dengan demikian Televisi lokal juga dapat
mempertahankan eksistensinya dan berkembang secara
sehat.11
.
Pendapat dari Fernando Delgado terkait peran media lokal
dengan identitas lokal bahwa beberapa aspek identitas
kultural seseorang bisa dibangkitkan melalui reportase (apa
yang disajikan) media. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
penggambaran artistik di mana di dalamnya terkandung tema-
tema budaya tertentu; pertunjukan-pertujukan musik yang
diidentifikasikan dengan suatu kelompok kebudayaan
tertentu; dan melalui berbagai pengalaman dengan orang
media-media yang lain.12
Media lokal tidak hanya mampu menyebarluaskan
informasi kepada khalayak namun juga dapat menjadi sarana
penumbuhan citra. Menurut definisi Bhattacharjee dan
Mendel secara umum konten lokal adalah sebagai program
yang diproduksi di bawah kontrol kreatif dari warga. Konten
lokal terdiri dari beberapa jenis program di antaranya adalah
fiksi, film seri, dokumenter, program seni dan dan acara
11
Haryati,”Televisi Lokal dalam Representasi Identitas Budaya”
Eksistensi Media Lokal di Era Konvergensi Vol.11 No. 1 Tahun 2013 diakses
pada 24 April 2019
dari: https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/observasi/article/view/87 12
Christiana Juditha,”Televisi lokal dan Konten Kearifan lokal (Studi
Kasus di Sindo TV Kendari), penelitian Komunikasi da Pembangunan, Vol. 16
No. 1 Tahun 2015 diakses pada 8 Mei 2019 dari :
http://journal.ui.ac.id/index.php/jkmi/article/view/7825
8
pendidikan, berita, olahraga, peristiwa, game, advertising,
teleshpping, atau teleteks jasa. Salah satu konten lokal pada
televisi adalah budaya lokal masyarakat setempat. Budaya
lokal identik dengan kearifan lokal atau local wisdom.
Kearifan lokal secara etimologi dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap suatu objek atau peristiwa
yang terjadi dalam ruang tertentu.13
Untuk mendirikan stasiun lokal, perusahaan televisi harus
mendapatkan izin dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
(KPID). Sesuai data KPID (Komisi Penyiaran Indonesia)
Jawa Timur terdapat 85 stasiun televisi yang terdiri dari
Lembaga Penyiaran Televisi (LPS) lokal 35 stasiun televisi,
Lembaga Penyiaran Televisi Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) 23
Stasiun televisi, Lembaga Penyiaran Berjejaring (LPB) 23
stasiun televisi, Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) satu
stasiun televisi, satu stasiun televisi Lembaga Penyiaran
Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan dua
stasiun televisi Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK).14
Dari 60 stasiun televisi lokal di Jawa Timur, 20 di
antaranya berada di Surabaya. Salah satu televisi lokal yang
berada di Surabaya adalah Jawa Pos Media Televisi (JTV).
13
Christiana Juditha,”Televisi lokal dan Konten Kearifan lokal (Studi
Kasus di Sindo TV Kendari), penelitian Komunikasi da Pembangunan, Vol. 16
No. 1 Tahun 2015 diakses pada 8 Mei 2019 dari :
http://journal.ui.ac.id/index.php/jkmi/article/view/7825 14
Kominfo Jatim, Jawa Timur Cikal Bakal Lahirnya televisi Lokal
Indonesia diakses pada 9 September 2019 dari:
http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/jawa-timur-cikal-bakal-lahirnya-
televisi-lokal-di-indonesia
9
Menurut Santoso, ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia,
Jawa Pos Media televisi (JTV) merupakan televisi lokal
pertama yang berdiri di Jawa Timur dan menjadi percontohan
bagi provinsi lain.15
Jawa Pos Media Televisi (JTV) merupakan stasiun
televisi lokal Jawa Timur yang bermarkas di Surabaya. JTV
adalah anak perusahaan koran ternama yaitu Jawa Pos.
Secara resmi perusahaan yang berbadan hukum dengan nama
PT. Jawa Pos Media Televisi ini, mulai mengudara sejak 8
November 2001. Dengan konsep lokal, massal, nakal, JTV
senantiasa bersama masyarakat dalam menghasilkan produk-
produk siaran berkualitas yang informatif, edukatif dan
inspiratif. Dengan demikian, sangatlah pantas jika JTV
menjadi jendela informasi bagi masyarakat Jawa Timur baik
yang ada di dalam provinsi maupun yang ada di luar provinsi.
Sementara slogan ”100 Persen Jatim” semakin menjadikan
JTV bertambah kuat sebagai televisi yang berkomitmen
mengeksplore dan mengembangkan potensi lokal Jawa
Timur.16
Dalam penyusunan acara, Jawa Pos Media Televisi
memfokuskan diri terhadap minat dan kebutuhan pemirsa di
Jawa Timur dengan mengangkat kearifan lokal dan
menyajikannya dalam informasi, hiburan dan sebagainya.
15
Kominfo Jatim, Jawa Timur Cikal Bakal Lahirnya televisi Lokal
Indonesia diakses pada 9 September 2019 dari:
http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/jawa-timur-cikal-bakal-lahirnya-
televisi-lokal-di-indonesia 16
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php
10
Acara-acara yang melibatkan komunitas Jawa Timur-an akan
mendapatkan perhatian besar, untuk membangun kedekatan
secara emosional dengan pemirsanya, oleh karena itu JTV
memilih program yang lebih menekankan pada konten
lokal.17
Stasiun televisi swasta yang berkantor pusat di Surabaya
ini memiliki banyak Program Acara, salah satunya adalah
Ndoro Bei. Tayangan Program Ndoro Bei dapat dikategorikan
sebagai tayangan infotainment. Kata infotainment merupakan
kata bentukan baru yang menggabungkan information
(informasi) dan entertainment (hiburan). Artinya infotainment
adalah informasi yang dikemas dengan cara yang menghibur.
Namun, menurut Syahputra yang dikutip oleh Ika Damayanti
menyatakan bahwa di Indonesia infotainment dimaknai
sebagai informasi tentang hiburan. Sehingga sisi hiburan
menjadi substansi untuk disampaikan kepada masyarakat.
Akibatnya informasi yang disampaikan kepada pemirsa
seringkali informasi yang dianggap dapat menghibur.18
Konsep infotainment berasal dari John Hopkins
University Baltimore, Amerika Serikat. Ide dasar konsep
infotainment berawal dari asumsi informasi disiarkan tidak
dapat diterima begitu saja oleh masyarakat, untuk itu dibuat
sebuah pancingan khusus dengan menyelipkan entertainment
17
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php 18
Ika Damayanti, Penerapan Unsur-unsur Produk Jurnalistik dalam
Infotainment, (Universitas Negeri Sebelas Maret, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi:2008), h. 7
11
(hiburan) yang menarik perhatian masyarakat ditengah
information (informasi). Sejak para pegawai infotainment
diakui sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia pada
tahun 2005, Infotainment pun mulai disebut sebagai salah
satu produk jurnalistik dengan istilah jurnalisme
infotainment.19
Dalam praktek lapangan, beberapa jurnalis infotainment
mengangkat permasalahan dan kehidupan selebritis sebagai
konsumsi publik. kehidupan selebritis diyakini tidak terkait
dengan kepentingan publik. sehingga sempat memicu
perdebatan mengenai tayangan infotainment sebagai produk
jurnalistik oleh Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI).20
Program acara Ndoro Bei telah mengudara sejak 2015
setiap Hari Jumat dan Sabtu pukul 18:00-19:00 WIB. Banyak
Variety Show seperti Ndoro Bei di televisi lain, namun
dengan berusaha mengomunikasikan budaya Jawa Timur
melalui penggunaan bahasa lokal Jawa Timur, banyak nilai
yang kedaerahan yang terkandung mulai dari kostum yang
selalu mengenakan pakaian adat Jawa Timur, latar tempat
khas rumah Jawa Timur dan lagu campur sari tayangan ini
menjadi berbeda. Selain itu, para tokoh juga mengekspresikan
bagaimana tingkah laku masyarakat suroboyoan dalam
bersosial.
19
Ika Damayanti, Penerapan Unsur-unsur Produk Jurnalistik dalam
Infotainment, h. 7 20
AJI Malang, Menyikapi Persoalan Infotainment diakses pada 24
April 2020 dari: https://malang.aji.or.id/2010/07/29/menyikapi-persoalan-
infotainment/
12
Ndoro Bei memang ditujukan sebagai acara hiburan,
menghibur pemirsanya dengan lawakan khas Jawa Timur.
Selain untuk menghibur diharapkan juga mampu menarik
minat kaum muda untuk lebih mengenal budayanya yang
telah ada sehingga mampu meneguhkan kembali identitas
budaya yang mulai terkikis oleh globalisasi.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar lebih terarah antara masalah yang dikemukakan
dengan pembahasanya, maka perlu diberikan
pembatasan masalah yang akan diteliti. Penulis
membatasi permasalahan pada tayangan Ndoro Bei
episode “Tonggo Anyar” yang tayang pada tanggal 13
juli 2019, Episode “Tolong Menolong” yang tayang
pada tanggal 10 Agustus 2019, dan Episode “Team
Work” yang tayang pada tanggal 27 September 2019.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul yang sudah dipaparkan, maka
rumusan masalah yang akan diteliti disusun dengan
pertanyaan:
a) Apa makna dari tanda yang dimunculkan
dalam tayangan Ndoro Bei di Jawa Pos Media
Televisi?
b) Bagaimana Identitas Budaya Suroboyoan
dikonstruksi dalam program acara Ndoro Bei
di Jawa Pos Media Televisi Surabaya?
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Sesuai dengan rumusan pertanyaan masalah di atas,
secara khusus peelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana program televisi Ndoro Bei
mengonstruksi identitas Budaya Suroboyoan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu referensi dalam pengembangan ilmu
komunikasi bagi akademisi, baik dosen maupun
mahasiswa. Khususnya dalam kajian analisis
semiotika untuk mengetahui konstruksi media
televisi mengenai identitas Budaya Suroboyoan.
b. Signifikansi Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan mempunyai
manfaat bagi para jurnalis, khususnya media Jawa
Pos Media Televisi sendiri. Memberi acuan kepada
pembaca yang ingin mengetahui bagaimana media
televisi khususnya program Ndoro Bei dalam
memaknai identitas Budaya Suroboyoan.
D. Metodologi Penelitian
1. Metodologi Penelitian
a. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma
konstruktivistik yang memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural,
14
tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis
adalah menemukan bagaimana peristiwa atau
realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa
konstruksi itu dibentuk.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dalam
komunikasi menekankan pada bagaimana sebuah
pendekatan dapat mengungkapkan makna-makna
dari konten komunikasi yang ada sehingga hasil-
hasil penelitian yang diperoleh berhubungan
pemaknaan dari sebuah proses komunikasi yang
terjadi.21
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah program Ndoro Bei,
sementara objek penelitiannya adalah produksi program
Ndoro Bei yang tayang setiap hari Jum’at dan Sabtu pukul
18:00-19:00 di Jawa Pos Media Televisi
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan
dalam penelitian adalah sebagai berikut:
21
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Prenada Media,
2006), h. 306
15
a. Analisis Dokumentasi, teknik pengumpulan
data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah analisis dokumen. Data yang di analisis
adalah data dari hasil dokumentasi yang
dikumpulkan dari data berupa teks tayangan
Ndoro Bei. Data tersebut merupakan data yang
berhubungan dengan penelitian ini.
b. Wawancara. Dalam hal ini peneliti melakukan
tanya jawab secara langsung dengan pihak
produksi tayangan Ndoro Bei di JTV. Teknik
yang digunakan adalah teknik wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur. Hal tersebut
bertujuan untuk memberikan kebebasan
kepada peneliti untuk bertanya, namun tetap
terarah pada masalah penelitian yang diangkat.
4. Teknik Analisis Data
Untuk mengetahui konstruksi media dalam program
Ndoro Bei mengonstruksi identitas budaya Suroboyoan,
penulis menggunakan analisis Charles Sanders Peirce.
Dalam teori segitiga makna yang terdiri dari tiga elemen
utama, yakni tanda, obyek dan interpretan. Tanda
merupakan sesuatu yang digunakan agar tanda bisa
berfungsi. Dalam klasifikasinya tanda dibagi menjadi tiga
pertama Qualisign, kualitas yang ada pada tanda,
misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu,
kedua Sinsign, eksistensi aktual benda atau peristiwa yang
16
ada pada tanda misal kata keruh yang ada pada urutan
kata air sungai keruh, menandakan bahwa ada hujan di
hulu sungai, ketiga Legisign, norma yang terkandung
dalam tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang
menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh
dilakukan.
Elemen kedua adalah objek. Berdasarkan objek,
Peirce membagi tanda atas ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan antara
penanda dan pertandanya bersifat bersamaan atau bentuk
ilmiah. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya
hubungan alamiah antara penanda dan pertanda yang
bersifat hubungan sebab akibat. Sedangkan simbol adalah
tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
penanda dengan pertandanya.
Interpretant yang menjadi pokok ketiga juga memiliki
klasifikasi tersendiri. Klasifikasi tersebut adalah Rheme,
tanda yang memungkinkan orang menafsirkan
berdasarkan pilihan, Dicent Sign atau Dicisign adalah
tanda sesuai kenyataan dan Argument adalah tanda yang
langsung memberikan alasan tertentu.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian
terdahulu mengenai konstruksi identitas pada media di
antaranya adalah:
17
1. “The Construction of Cultural Identity in Local
Television Station’s Programs in Indonesia” karya Yuyun
W.I Surya Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.22
Penelitian ini
bertujuan untuk mengeksplorasi konstruksi identitas budaya
dalam program Jawa Timur Television (JTV). Peneliti
mengungkapkan bahwa Jawa Pos Media Televisi telah
membangun identitas budaya “baru” untuk Jawa Timur,
yakni identitas budaya Suroboyoan. Identitas tersebut telah
diterjemahkan ke dalam beberapa simbol seperti penggunaan
bahasa tertentu dan penggunaan ikon khusus dalam
pengaturan program. Kesamaan penelitian tersebut dengan
penelitian yang penulis lakukan yaitu sama-sama membahas
mengenai konstruksi identitas budaya dalam program Jawa
Pos Media Televisi, sedangkan yang membedakan, dalam
penelitian ini adalah fokus program acara yakni Cangkru’an
dan dubbing serial Asia dengan dialek talkshow.
2. “Konstruksi Perempuan dalam Film
Assalamualaikum Beijing Produksi Maxima Production”
ditulis oleh Siti Fadillah Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.23
Peneliti dalam skripsi ini ingin mengetahui dan menganalisa
22
Yuyun W.I Surya, The Construction of Cultural Identity in Local
Television Station’s Programs in Indonesia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan
dan Politik Vol. 21 No. 3 tahun 2008 23
Siti fadillah, Konstruksi Perempuan dalam Film Assalamualaikum
Beijing Produksi Maxima Production. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Tahun 2016
18
konstruksi perempuan dalam film Assalamualaikum Beijing.
Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis
adalah sama-sama membahas tentang konstruksi dalam
sebuah tayangan. Sedangkan perbedaannya adalah konstruksi
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konstruksi
perempuan. Berbeda dengan penelitian penulis yang lebih
memfokuskan pada konstruksi identitas budaya.
3. “Analisis Kreatif Hiburan Televisi Lokal dalam
Konstruksi Identitas Daerah (Studi Komparatif pada
Riau Televisi dan Riau Channel Televisi Pekanbaru)”,
ditulis oleh Dhea Helyana Putri, Mahasiswa Program Studi
Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya, Universitas Islam Indonesia.24
Tujuan penelitian ini
adalah Untuk mengetahui proses kreatif yang diterapkan
pada program hiburan televisi lokal Riau Televisi (RTV)
dan Riau Channel Televisi (RCTV) dalam mengonstruksi
identitas daerah serta mengetahui faktor yang mempengaruhi
proses kreatif program hiburan di Riau Televisi (RTV) dan
Riau Channel Televisi (RCTV). Kesamaan penelitian
tersebut dengan penelitian ang dilakukan penulis adalah
sama-sama memahas konstruksi identitas daerah dalam
media lokal. Sedangkan perbedaannya dalam penelitian ini
lebih fokus pada analisis kreatif dalam memproduksi sebuah
24
Dhea Helyana Putri, Analisis Kreatif Hiburan Televisi Lokal dalam
Konstruksi Identitas Daerah (Studi Komparatif pada Riau Televisi dan Riau
Channel Televisi Pekanbaru), Universitas Islam Indonesia, Fakultas Psikologi
dan Ilmu Sosial Budaya, Tahun 2018.
19
tayangan hiburan. Berbeda dengan penelitian penulis yang
lebih mengarah pada konstruksi identitas budaya daerah.
4. Konstruksi Media Terhadap Identitas Muslimah
dalam Program Assalamu Alaikum Cantik Trans TV
(Analisis Framing) oleh Siti Atirah Mahasiswa Jurusan Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Hasanuddin Makassar.25
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui program acara Assalamu Alaikum Cantik
Trans TV dalam mengkontruksi identitas muslimah dan
untuk Mengetahui kecenderungan program acara Assalamu
Alaikum Cantik Trans TV dalam memaknai identitas
muslimah. Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian
penulis adalah sama-sama membahas konstruksi identitas
pada tayangan media massa, dalam hal ini televisi. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian penulis adalah fokus
penelitiannya yakni konstruksi identitas muslimah dengan
konstruksi Identitas Budaya.
5. “Tingkat Kesukaan Penonton Surabaya Mengenai
Program Acara “Ndoro Bei” di Jawa Pos Media Televisi
(JTV)” oleh Alessandra Kusuma Heris Mahasiswi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, tahun 2017.26
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa adanya
kecenderungan tingkat kesukaan positif mengenai program
25
Siti Atirah, Konstruksi Media Terhadap Identitas Muslimah dalam
Program Assalamu Alaikum Cantik Trans TV (Analisis Framing), Universitas
Hasanuddin Makassar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Tahun 2015 26
Alessandra Kusuma Heris, Tingkat Kesukaan Penonton Surabaya
Mengenai Program Acara “Ndoro Bei” di Jawa Pos Media Televisi (JTV),
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Tahun 2017.
20
acara Ndoro Bei. Sebagian besar responden menyatakan
tingkat kesukaan yang positif, yang artinya responden
menyukai program acara Ndoro Bei. Penelitian ini menjadi
landasan peneliti bahwa tayangan Program Ndoro Bei di Jawa
Pos Media Televisi termasuk tayangan yang masih diminati
oleh masyarakat Surabaya. Kesamaan dalam penelitian ini
adalah objek penelitiannya, yakni sama-sama Program acara
Ndoro Bei yang tayang di Jawa Pos Media Televisi.
Sedangkan perbedaanya adalah penelitian tersebut lebih fokus
pada respon penonton terhadap tayangan, sedangkan
penelitian penulis lebih fokus pada isi dan makna tayangan
Program Ndoro Bei.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini sistematis,
untuk itu penulis membaginya mejadi lima bab, yaitu tiap-
tiap bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN memuat tentang latar
belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian pustaka, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI yang terdiri dari
Teori Media dan Identitas, Teori
Konstruksi Sosial, Teori Semiotika Charles
Sanders Peirce, Identitas Budaya, Identitas
Budaya Suroboyan.
21
BAB III GAMBARAN UMUM JAWA POS
TELEVISI memuat tentang latar belakang
berdirinya, visi, misi dan tujuan berdirinya
Jawa Pos Televisi, Struktur Organisasi
dalam Program Ndoro Bei
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
pada bab ini berisi tentang uraian penyajian
data dari temuan penelitian sesuai dengan
analisis semiotika dalam tayangan program
Ndoro Bei di Jawa Pos Media Televisi
Surabaya.
BAB V PEMBAHASAN pada bab ini berisi
tentang uraian dari temuan penelitian
sesuai dengan analisis semiotika dalam
tayangan program Ndoro Bei di Jawa Pos
Media Televisi Surabaya
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
terdiri dari kesimpulan dan saran yang
merupakan jawaban terhadap semua bab-
bab tersebut. Skripsi ini juga dilengkapi
dengan daftar pustaka dan lampiran.
22
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Media dan Identitas
Para kritikus komunikasi kontemporer menaruh minat
lebih terhadap persoalan budaya. Mereka melihat adanya
transformasi luar biasa yang sedang berlangsung di tengah
masyarakat. Dalam satu dekade terakhir diyakini bahwa kita
tengah bergerak dari perang dingin (cold war) menuju perang
budaya (culture war) yang telah disebutkan oleh Danis K.
Davis dan James Jasinski dalam essainya yang berjudul
Beyond Culture Wars (1993). Asumsi yang mendasar saat itu
adalah adanya tantangan dalam dunia sosial. Nilai-nilai yang
dijunjung tinggi tengah mengalami erosi dan kepercayaan
kaum puritan tengah digerogoti dari berbagai penjuru.1
Media dalam hal ini menjadi entitas tersendiri yang
berperan sebagai medan pertarungan wacana dan kultur
antarberbagai kekuatan yang bermain di baliknya. Tangan
yang berperan penting di balik media (dalam hal ini pemilik
modal) tetap menjadi bagian penting yang menentukan
ideologi media juga menciptakan kerangka (frame)
pemberitaan. Budaya anak-anak yang sekarang berkembang
pun merupakan suatu konstruksi sosial dari kekuatan-
kekuatan global yang memiliki sumber daya dan modal yang
besar. Kita dapat bersentuhan seketika dengan kultur baru
1 Idy Subandy Ibrahim, Kritik Budaya dan Komunikasi; Budaya,
Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia
(Yogyakarta; Jalasutra, 2011), h. 278
23
dari negara lain dengan mudah melalui media. Dari budaya
media yang sering kita serap tersebut muncullah kesadaran
tentang perbandingan antara budaya asing dan budaya kita
sendiri, baik persamaan atau perbedaannya. Di sinilah media
tampil sebagai institusi penting bagi pembentuk kesadaran
dan menentukan persepsi orang terhadap dunia dan
masyarakat.2
Kehadiran media massa dalam sebuah masyarakat
pluralis (etnis dan budaya) sesungguhnya memiliki peran
yang amat strategis. Media mendapatkan amanat untuk turut
serta membantu upaya apresiasi terhadap berbagai elemen
kultural yang ada dalam masyarakat sehingga tetap terjaga
keutuhan dan persatuan bangsa. Hal ini tentunya berangkat
dari asumsi yang diyakini bersama bahwa berbagai elemen
bangsa yang berbeda kultural tersebut memang memiliki hak
hidup bersama dalam konteks masyarakat demokratis
modern.3
Seperti dalam sejarah kita melihat fenomena yang marak
di akhir tahun 1990-an, betapa iklan sampo untuk remaja dan
anak-anak (pria) begitu gencar di televisi. Rupanya budaya
pemeliharaan tubuh dan penampilan diri secara istimewa
bukan lagi milik remaja putri, atau orang dewasa untuk
2 Idy Subandy Ibrahim, Kritik Budaya dan Komunikasi; Budaya,
Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, h. 278-
279 3 Tri Nugraha Adi, Media dan Identitas Kultural dalam Masyarakat
Pluralis diakses pada 15 September 2019 di:
https://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/07/media-dan-identitas-
kultural-dalam-masyarakat-pluralis/
24
tampil ke pesta atau acara resmi. Akan tetapi telah menjadi
gaya hidup untuk tampil menjadi bagian dari pemuja budaya
konsumsi.4
Media berperan penting dalam perkembangan suatu
identitas seseorang. Media menciptakan suatu gambaran
bagaimana seseorang tersebut berpenampilan, berpakaian,
dan bertindak sesuai dengan usia dan gender seseorang.
Selain itu, media juga digunakan untuk merekrut orang
sehingga tergabung dalam kelompok yang berbeda, layaknya
mendukung dan menentang tindakan tertentu seperti
pernikahan sesama jenis, aborsi atau perang di Irak.5
Budaya media merupakan budaya yang telah
menggantikan budaya tinggi dan saat ini sedang dominan,
menjadi pusat perhatian, dan memberikan dampak pada
khalayak. Dengan kehadiran budaya media, maka setiap
orang diarahkan pada arus citra dan suara yang beragam,
menghapus jarak antara realitas dan citra media, memberi
berbagai bentuk pengalaman, dan subjektivitas baru.
Menurut Katherine Hamley saat ini pembentukan identitas
anak muda didominasi oleh konstruksi media. Kondisi
tersebut disebutnya sebagai media saturated yaitu media
telah menguasai berbagai aspek dalam kehidupan termasuk
kehidupan kaum muda. Akses terhadap media seperti
televisi, film, majalah dan internet memudahkan mereka
4 Idy Subandy Ibrahim, Kritik Budaya dan Komunikasi; Budaya,
Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, h. 230 5 Larry A. Samovar,dkk., Komuikasi Lintas Budaya (Jakarta: Salemba
Humanika, 2010) h. 195
25
untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan,
memutuskan apa yang menyenangkan bagi mereka, dan ingin
menjadi seperti apa. Makna yang diperoleh dari media
kemudian dibentuk kembali dan disesuaikan dengan
kebutuhan pribadi untuk membentuk identitas.6
Identitas budaya disuarakan media massa dengan proses
komunikasi massa. Definisi paling sederhana dari
komunikasi massa diungkapkan oleh Bittner Komunikasi
massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media
massa pada sejumlah besar orang. Media massa di sini
diartikan sebagai media yang dihasilkan oleh teknologi
modern. Sedangkan massa berarti menunjuk pada khalayak,
audience, penonton, pemirsa atau pembaca.7
Dalam praktik komunikasi, identitas tidak hanya
memberikan makna tentang pribadi seseorang, tetapi lebih
jauh dari itu menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang
melatarbelakanginya.8 Dari ciri khas tersebut seseorang dapat
menemukan dari mana orang yang dia kenal.
Komunikasi massa berproses pada level budaya massa,
sehingga sifat-sifat komunikasi massa sangat dipengaruhi
oleh budaya massa yang berkembang di masyarakat di mana
proses komunikasi berlangsung. Begitu pula identitas budaya
6 Ranny Rastati, “Media dan Identitas: Cultur Imperialism Jepang
melalui Cosplay (Study terhadap cosplayer yang melakukan crossdress)” Vol.
1 No. 2 tahun 2012 diakses pada 19 September 2019 di:
http://journal.ui.ac.id/index.php/jkmi/article/view/7818 7 Nurudin, Pengantar Kmunikasi Massa (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2003) h. 2 8Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya
(Yogyakarta: lkis Printing Cemerlang), 2009 h. 68
26
dalam masyarakat, di mana identitas budaya yang
berkembang mempengaruhi sifat-sifat komunikasi massa
yang disampaikan melalui media massa.9
B. Konstruksi Sosial
Sebuah realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut.
realitas sosial memiliki makna ketika realitas sosial
dikonstruksi dan dimaknai secara objektif oleh individu lain,
sehingga memantapkan realitas itu secara subjektif. Individu
mengonstruksi realitas sosial dan mengonstruksinya dalam
dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan
sujektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.10
Membahas teori konstruksi sosial (social cnstrustion),
tentu tidak bisa terlepaskan dari dua tokoh sosiolog yakni
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger
merupakan sosiolog dari New School for Social Research,
New York, sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari
University of Funkfurt. Istilah kostruksi atau realitas sosial
mejadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociological f
Knowledge (1966). Mereka menggambarkan proses sosial
melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu secara
9 Ahmad Mulyana, Modul Sosiologi Komunikasi, (Universitas Mercu
Buana, Fakultas Ilmu Komunikasi: 2016), h. 7 10
Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film (Jakarta:Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2005), h. 272
27
terus menerus menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara sujektif.11
Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial
dengan memisahkan pemahaman antara “kenyataan” dan
“pengetahuan”. Mereka mengartikan kenyataan sebagai
kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui
memiliki keberadaan yang tidak bergantung kepada kita
sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas yang diakui memiliki
keberadaan yang tidak bergantung kepada kita sediri.
Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian
bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik
secara spesifik.12
Realitas sosial menurut padangan kaum konstruktivis,
setidaknya sebagian adalah produksi manusia, hasil proses
budaya, termasuk penggunaan bahasa.13
Sejauh ini ada tiga
macam konstruktivisme, yaitu:
1. Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa
yang dibentuk oleh pikiran manusia. Kaum
konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan
antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria
11
Burhan bungin, Konstruksi sosial media massa: kekuatan pengaruh
media massa iklan televisi dan kepuasan konsumen serta kritik terhadap Peter
L. Berger dan Thomas Luckman (Jakarta: Kencana, 2011), h. 13 12
Burhan bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2008), h.
195 13
Eriyanto, analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2007), h. xxi
28
kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan
suatu realitas ontologis objektif, namun sebagai sebuah
realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu
yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada
individu lain yang pasif. Oleh karena itu, konstruksi harus
dilakukan sendiri olehnya terhadap pegetahuan itu,
sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi
itu.14
2. Konstruktivisme Realisme Hipotesis
Menurut realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) kita
dipandang sebagai suatu hiptesis dari suatu struktur
kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan
yang sejati, yang dekat dengan realitas. Menurut Munevar
(1981) dalam Paul Suparno bahwa pengetahuan kita
mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak
sempurna.15
3. Konstruktivisme Biasa
Konstruktivisme Biasa tidak mengambil semua
konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini,
pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu.
Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran ang
14
Burhan bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat h. 194 15
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
(Yogyakarta: Kaisius, 2001), h. 26-27
29
dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya
sendiri.16
Terdapat kesamaan dari ketiga macam konstruktivisme di
atas, di mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja
kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada,
karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan
atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun
sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat berdasarkan
pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Inilah
yang oleh Berger dan Luckman disebut dengan konstruksi
sosial.17
C. Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion”
yang berarti tanda, atau “seme” yang berarti penafsir tanda.
Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni
logika, retorika, dan poetika. Tanda ketika itu masih dimaknai
dengan sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain,
misalnya asap yang menandai adanya api. Pengertian
semiotika sendiri adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda merupakan perangkat
yang digunakan dalam dalam upaya mencari jalan di tengah
manusia dan bersama manusia.18
16
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, h. 26-27 17
Laura Christina Luzar, Teori Konstruksi Realitas Sosial.diakses
pada 20 April 2020 dari: https://dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori-konstruksi-
realitas-sosial/ 18
Alex, Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), h. 15-16
30
Charles Sanders Peirce mendefinisikan semiotika sebagai
suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna. Dari
berbagai pengertian di atas, perlu digaris bawahi bahwa para
ahli melihat semiotika sebagai ilmu atau proses yang
berhuunga dengan tanda. Namun jika definisi yang diberikan
oleh Charles Morris yang menganggap semiotika sebagai
suatu proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan
tanda bagi beberapa organisme, tampaknya terlampau luas
dan terkesa meliputi sejumlah besar proses.19
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf,
kata, kalimat tidak mamiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-
tanda tersebut megemban arti (Significant ) dalam kaitannya
dengan pembaca. Pembaca tersebut yang akan
meghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (sigifie)
sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
bersangkutan. Sebuah teks, baik itu surat, makalah, iklan,
cerpe, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun dan
semua hal yang mungkin menjadi tanda bisa dilihat dalam
aktivitas penanda yaitu suatu proses signifikasi yang
menggunakan tanda dan menghubungkan antara objek dan
interpretasi.20
Semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses
hubungan antara lima istilah
19
Alex, Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 16 20
Alex, Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 17
S (s,i,e,r,c)
31
S sebagai hubungan semiotik (semiotik relation), s untuk
tanda (sign), i untuk penafsir (interpreter), e pengaruh
(effect). Misalnya, suatu disposisi dalam penafsir (i) akan
bereaksi dengan cara tertentu terhadap rujukan (r: reference)
pada kondisi-kondisi tertentu konteks atau kondisi (c:
contexs/conditions) karena tanda (s:sign). Begitulah runtutan
cara semiotika dalam mejelaskan jalinan tanda atau ilmu
tentang tanda. Secara sistematik semiotika menjelaskan
esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda serta proses
signifikasi yang menyertainya.21
a) Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce
Dalam kajian Semiotika Ferdinand De Saussure dan
Charles Sanders Pierce merupakan tokoh penting yang
berpangaruh. Charles Sanders Pierce dikenal sebagai
seorang yang paling risinil dan multidimesional. Ia lahir
pada tahun 839 di Cambridge dalam sebuah keluarga
Intelektual.22
Pierce dikenal dengan teori tandanya. Meurut Pierce
tanda adalah sesuatu ang dapat ditangkap, represetatif dan
interpretatif. Representatif menurut Pierce adalah sesuatu
yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam
beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu disebut
dengan interpretatif, dikatakan demikian karena
datangnya dari tanda pertama, di posisi interpretant akan
21
Alex, Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 17 22
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39
32
mengacu pada objek tertentu. Tanda dapat dimaknai
sebagai tanda apabila ia menjalankan fungsinya sebagai
tanda, itulah mengapa ia menjuluki semiotika sama
dengan logika 23
Pierce menggolongkan tanda menjadi tiga titik dalam
segitiga yang disebut juga sebagai signifikasi. Dengan
demikian sebuah tanda atau representamen memiliki relasi
„triadik‟ langsung dengan interpretant dan objeknya. Di
dalam teori Pierce, berbagai tanda yang terhubung dengan
objeknya menjadi suatu bahasan yang umum. Tanda-
tanda yang diciptakan manusia untuk berkomunikasi
merupakan sebuah representasi atas bahasa atau tanda
yang berlaku secara umum. Seperti contoh pada
kehidupan manusia, tanda gerak atau isyarat bisa diartikan
sebagai memanggil atau anggukan kepada dapat diartikan
sebagai persetujuan.24
Relasi triadik atau proses kognitif semiosis Charles
Sanders Pierce terbagi menjadi tiga tahapan. Pertama
representasement yaitu penyerapan melalui panca indera.
Kedua, objek yaitu mengaitkan representasement pada
pengalaman memaknai melalui kognisi manusia. Ketiga,
interpretant yaitu menafsirkan objek sesuai dengan
keinginannya.25
23
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), h. 186 24
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi h. 18 25
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 266-267
33
Pierce menyebut representamen atau tanda ke dalam
Ground. Ground adalah tahapan pertama dalam triadik
Pierce. Agar memudahkan, Ground disimbolkan dengan
X. Berdasarkan fungsinya yakni menangkap melalui
panca indera, X menjadi tahapan pertama. Ground
menjadi landasan atau dasar dari sesuatu ang diguakan
agar tada bisa berfungsi. Di dalam tanda terdapat konsep
qualisign, sinsign,lesigns.26
Elemen pertama dari representamen atau ground
adalah qualisign. Qualisign adalah kualitas yang ada
pada tanda dan terdapat sifat pada tanda tersebut. Dalam
tayangan Ndoro Bei contohnya adalah ketika Probo dan
Hengki sedang membersihkan rumah yang kerap
dilakukan pada satu suro serta membacakan tembang
macapat yang diyakini dapat meredakan kemarahan si
penjaga rumah. Kedua adalah Sinsign. Sinsign dasar
tampilnya (eksistensi) dalam kenyataan benda atau
peristiwa pada tanda. Dalam tayangan Ndoro bei tanda
26
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 41
Gambar 2.3 : Triadic Pierce
Representamen
(X)
Objek (Y) Interpretan (X=Y)
34
yang dimunculkan adalah visualisasi adanya asap
dianggap memberikan efek-efek ghoib karena pejaga
rumah yang dimaksud berbentuk ghoib. Ketiga legisign,
yakni norma atau aturan yang dikandung oleh tanda
contohnya di dalam tayangan ini, tembang macapat yang
dibacakan oleh Probo merupakan puisi jawa tradisional
yang memiliki aturan-aturan atau patokan-patokan sastra
jawa juga mengandung ajaran kehidupan.
Pada objek disimbolkan dengan huruf Y. Tahapan ini
disebut dengan tahapan kedua, yang mana setelah tanda
diterima lewat panca indera tanda tersebut akan masuk
kognisi pemikiran manusia. Pierce membagi tanda dalam
tiga kategori yakni ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah
sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
serupa dengan bentuk objeknya (alamiah). Ikon di dalam
tayangan Ndoro Bei adalah Hengki dan Probo
membersihkan rumah dengan membacakan tembang
macapat. Kedua adalah indeks, tanda yang menunjukkan
sebab akibat dari penanda yang megisyaratkan
petandanya sebagai hubungan alamiah. Contoh dalam
tayangan Ndoro Bei adalah munculnya asap ketika
dibacakan tembang macapat. Ketiga adalah simbol,
sesuatu yang menjalankan fungsi penanda ke petanda
yang telah disepakati dan digunakan oleh masyarakat.
pada tayangan ini simbol yang sangat terlihat adanya asap
ketika dibacakan tembung macapat menunjukkan adanya
35
makhluk lain atau makhluk ghoib.27
Tabel 2.1
Pembagian jenis tanda menurut Peirce
Jenis
Tanda
Hubungan antara Tanda
dan Sumber Acuannya
Contoh
Ikon Tanda yang hubungan antara
penanda dan petandanya
bersifat bersamaan bentuk
Alamiah
Potret/Peta
Indeks Tanda yang menunjukkan
adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang
bersifat kausal/sebab akibat
Asap sebagai
tanda adanya api
Simbol Tanda yang menunjukkan
hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya
yang bersifat arbitrer/semena
Simbol dalam
perjanjian
masyarakat
Terakhir adalah interpretant. Interpretant merupaka
sebuah tanda yang ada dalam benak objek yang dirujuk
tanda atau tafsiran dari prses representasemen dengan
objek. Interpretant disimbolkan sebagai X=Y yang
merupakan gabungan atau tafsiran dari proses tanda
27
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 41-42
36
dengan objek. Interpretant juga terdapat konsep berupa
rheme, decisign,dan argument. Rheme adalah pernyataan
yang masih berupa kemugkinan, misalnya membacakan
tembung macapat pada bulan Suro ditujukkan sebagai
salah satu cara untuk membersihkan rumah ataupun
barang-barang peninggalan masa lampau. Decisign adalah
pernyataan yang sudah terbukti kebenarannya atau
berdasarkan fakta. Contoh dalam tayangan ini adalah
tembang macapat yang dibacakan oleh Probo dan Hengki
pada bulan Suro dimaksudkan untuk membersihkan
rumah atau disebut dengan jemasan pusaka. Argument
adalah tanda yang memiliki sifat umum atau tanda yang
langsung memberikan alasan tertentu. Contoh dalam
tayangan Ndoro Bei adalah Jamasan Pusaka merupakan
tradisi yang banyak dianut oleh masyarakat Jawa yang
dilakukan untuk merawat atau melestarikan warisan dan
kenang-kenangan dari para leluhur. Tradisi ini dilakukan
pada bulan Suro atau yang bertepatan dengan 1 Muharram
dalam kalender Hijriyah.28
D. Identitas Budaya
Secara etimologis kata identitas berasal dari kata
identity. Identity atau dalam bahasa indonesia disebut juga
dengan identitas. Idetitas dapat berarti suatu kondisi atau
kenyataan tetang sesuatu yang sama atau suatu keadaan yang
28
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h . 24
37
mirip satu sama lain. Sedangkan dalam tataran hubungan
manusia, identity mengantarkan kita pada sebuah konsep
tentang bagaimana meletakkan seserang ke dalam tempat
orang lain (komunikasi empatik), atau sekurang-kurangnya
meletakkan atau berbagi (to share) pikiran, perasaan,
masalah atau simpatik (empati) dalam sebuah proses
komunikasi.29
Identitas merupakan sebuah konsep yang abstrak,
kompleks dan dinamis, oleh karenanya identitas tidak mudah
untuk diartikan. Identitas seseorang dapat berubah seiring
waktu menurut pengalaman hidup. Ketika seseorang di
sekolah dasar, sekolah menengah atas, atau bahkan setelah
masuk universitas, selama itu pula seseorang mendapat
identitas. Namun identitas yang baru akan mengesampingkan
identitas yang lama. Misal, ketika masuk universitas
identitasnya menjadi seorang mahasiswa, bukan lagi seorang
pelajar. Meski demikian, identitas regional akan tetap
dipertahankan, seperti identitas kampung halaman, negara
dan budaya. Pada dasarnya identitas merujuk pada
pandangan refleksi mengenai diri kita sendiri maupun
persepsi dari orang lain terhadap diri kita. Singkatnya seperti
yang diungkap oleh Martin dan Nakayama bahwa identitas
adalah konsep diri sendiri, siapa diri kita sendiri.30
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya diartikan
sebagai pikiran, akal budi; adat istiadat; sesuatu mengenai
29
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komuikasi Atarbudaya h. 69 30
Larry A. Samovar dkk., Komuikasi Lintas Budaya, h. 184
38
kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); dan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar
diubah. Sedangkan dalam tradisi Antrpologi, Cliffort Geerzt
mengartikan budaya sebagai nilai yang secara historis
memiliki karakteristiknya sendiri dan bisa dilihat dari
simbol-simbol yang muncul.31
Identitas budaya secara sederhana dapat diartikan
sebagai rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan
yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui
batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik
atau ciri-ciri kebudayaan orang lain. Ini berarti jika kita ingin
mengetahui dan menetapkan identitas budaya, maka kita
tidak sekedar menentukkan karakteristik atau ciri-ciri fisik
atau bilogis semata, akan tetapi juga mengkaji identitas
kebudayaan seseorang melaui tatanan berpikir (cara dan
orientasi berpikir) perasaan (cara dan orientasi perasaan) dan
cara bertindak (motivasi dan orientasi tindakan).32
Faktor-faktor pembentuk identitas budaya adalah
kepercayaan, bahasa dan pola perilaku. Kepercayaan adalah
usaha untuk menerima sebuah kebenaran tetang sesuatu yang
dipelajari dalam kebudayaan. Sedangkan bahasa merupakan
alat untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai
alat untuk berpikir. Dalam konteks ini, bahasa berfungsi
sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi sekaligus
31
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya, di Era Budaya Siber
(jakarta: Prenadamedia Group, 2012) h. 15 32
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komuikasi Atarbudaya h. 72
39
sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa
memengaruhi persepsi, menyalurkan dan membentuk
pikiran. Mintargo mengatakan bahwa tingkah laku manusia
lebih banyak merupakan hasil dari kegiatan-kegiatan yang
dipelajari daripada yang tidak dipelajari dan hal tersebut
merupakan tradisi. Perilaku manusia yang dipelajari
termasuk kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap emosi dan semua
bentuk aktivitas da tanggapan-tanggapan yang didapatkan
melalui pengalaman. 33
Menurut Kenneth Burke untuk menentukan identitas
budaya sangat tergantung pada bahasa (bahasa sebagai unsur
kebudayaan nonmaterial), bagaimana represesoedarsontasi
bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas
yang dirinci kemudian dibandingkan. Kenneth Burke juga
berpandangan bahwa penamaan identitas seseorang atau
sesuatu selalu meliputi konsep penggunaan bahasa terutama
untuk mengerti suatu kata secara denotatif dan konotatif.34
Identitas dibangun melalui interaksi sosial dan
komunikasi. identitas juga dihasilkan oleh negosiasi melalui
media, yakni bahasa. Sekurang-kurangnya kita dapat
mengidentifikasi melalui aksen, logat, atau dialek saat
33
Esti Verulitasari, Agus Cahyono, Nilai Budaya dalam Pertunjukan
Rapai Geleng mencerminkan Identitas Budaya Aceh, Journal of Art
Education: Vol 1 No. 1 Tahun 2016, h. 42 diakses di:
http://jurnal.unnes.ac.id/siu/idex.php/chatarsis pada 23 Desember 2019 34
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komuikasi Antarbudaya (h. 72
40
mereka berbicara, baik dalam bahasa daerah mereka ataupun
bahasa indonesia.35
Identitas budaya dijelaskan oleh Fong sebagai
identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal
maupun non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di
antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki
dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-
norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi
sosial.36
E. Identitas Budaya Suroboyoan
Wilayah keberadaan orang Jawa Suroboyoan jauh
melampaui wilayah administratif Kota Surabaya.
Sebagaimana wilayah guyuban bahasa jawa dialek Surabaya
yang tidak hanya di wilayah kota Surabaya, orang jawa
“Suroboyoan” di samping berada di kota Surabaya juga
berada di seluruh wilayah Surabaya, Mojokerto, dan
Sidoarjo, di sebagian besar wilayah Jombang, Gresik,
Pasuruan, Batu dan Malang, serta di sebagian kecil wilayah
Lamongan dan Kediri.37
Sehubungan wilayah-wilayah tersebut tidak ada isolasi
alam yang membatasi satu dengan yang lain atau dengan
wilayah subetnik jawa yang lain, maka batas wilayah itu sulit
35
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), h. 86 36
Larry A. Samovar, dkk., Komuikasi Lintas Budaya h. 184 37
Warsiman, Penguatan Identitas Budaya Lokal Jawa Timur;
Mencari Jejak Kearifan Lokal (Malang:UB Press, 2015), h. 116
41
diberi batas tegas. Luasnya tebaran wilayah orang jawa
“Suroboyoan” atau subetnik Surabaya, menyebabkan
terjadinya pengelompokan yang lebih kecil menjadi sub-sub-
etnik Surabaya. Pengelompokan sub-sub-etnik itu terjadi di
samping faktor wilayah, juga karena faktor interaksi sosial di
antara mereka. Atas dasar keduanya, subetnik Surabaya
sering mereka kelompokkan menjadi dua sub besar, yakni
orang “Suroboyoan” yang andhus (Jawa: Medhok,asli) dan
yang biasa. Sub-etnik surabaya andhus umumnya berada di
pedalaman berbagai wilayah tebaran subetnik tersebut,
sedangkan sub-suetnik Surabaya biasa berada di pusat-pusat
kota atau di daerah yang sudah maju pada wilayah-wilayah
keberadaan subetnik tersebut.38
Subetnik Surabaya kelompok andhus lebih banyak
memandang bahwa bekerja adalah untuk hidup. Mereka lebih
banyak melakukan pekerjaan baik itu bertani maupun
berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidupnya. Mereka berada pada wilayah ekonomi subsistensi,
bekerja untuk memperoleh penghasilan dan bisa untuk
makan atau bertahan hidup. Mereka bekerja tidak untuk
mengumpulkan kekayaan. Mereka sadar bahwa kaya dan
miskin itu “wis cinorek” dan “urip saderma nglakoni”. Oleh
sebab itu, mereka pahami kalau ditakdirkan kaya tentu akan
38
Warsiman, Penguatan Identitas Budaya Lokal Jawa Timur;
Mencari Jejak Kearifan Lokal, h. 116
42
ada jalannya. Sebaliknya, bekerja siang malam sekalipun,
kalau “wis cinorek” menjadi miskin yang tetap tiada hasil.39
Pemahaman tentang bekerja seperti itu sudah banyak
disingkirkan oleh kelompok subetnik Surabaya yang biasa.
Mereka sangat tidak menyetujui kelompok andhus tadi.
Mereka memahami bahwa hidup adalah untuk kerja. “wong
urip ya kudu nyambut gawe”, ungkapan ini di samping
memberi indikasi bahwa orang surabaya kelompok biasa
suka bekerja, juga berimplikasi pada tujuan mereka bekerja.
Mereka bekerja agar memeperoleh kehidupan yang layak,
bukan sekadar untuk hidup apalagi hidup sekadar. Mereka
selalu mengatakan, “supaya bisa urip temen, ya kudu
nyambut gawe”. Berkait dengan semboyannya “kalah cacak,
menang cacak” mereka bekerja senantiasa aktif, reaktif, dan
kompetitif atau kontestatif. Mereka selalu berupaya untuk
bekerja yang le bih baik dan memperoleh penghasilan yang
lebih. Oleh karena itu, kerap kali ditemui orang Surabaya
kelompok ini bekerja berpindah-pindah dari satu pekerjaan
ke pekerjaan yang lain. Mereka mencari kerja yang sesuai
demi “urip sing temen” mereka tidak ingin dalam
kehidupannya menjadi “urip-uripan” atau “golek urip”.
Selain itu mereka sangat menghargai pekerjaan, demi
pekerjaan pula mereka rela bertengkar. Bahkan, megrbankan
dirinya. Mereka tidak ingin menjadi gelandangan, tidak ingin
“kalungan umplung lewat embong”, mereka suka
39
Warsiman, Penguatan Identitas Budaya Lokal Jawa Timur;
Mencari Jejak Kearifan Lokal, h. 117
43
menumpahi orang-orang yang malas bekerja, atau menyia-
nyiakan pekerjaannya dengan kata-kata “kepengin kelakon
kalungan umplung turut embong”.40
Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran Agama
Islam di tanah jawa. Kota ini juga merupakan basis warga
Nahdatul Ulama. Agama Islam sudah mulai tersebar sejak
abad 15 di daerah Surabaya. Sunan Ampel, salah satu
anggota wali songo mendirikan masjid dan pesantren di
daerah Ampel pada tahun 1530. Agama Islam menjadi
agama mayoritas di Kota Pahlawan.41
Meski Islam menjadi agama mayoritas, namun banyak
agama lain yang juga diyakini oleh masyarakat pada
umumya. Agama lain yang dianut oleh masyarakat adalah
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Kerukunan umat beragama terjalin dengan saling
menghormati, menghargai dan tolong-menolong,. Secara
fisik kerukunan tersebut terlihat dengan adanya bangunan
Masjid Agung Surabaya yang bersebelahan dengan salah
satu gereja besar di Surabaya.42
Asal kata Surabaya adalah “Sura ing Bhaya” yang berarti
keberanian menghadapi bahaya. Untuk memasuki ibu kota
kerajaan Majapahit dari arah lautan yaitu Muara Kali Mas,
Surabaya menjadi gerbang utama. Menurut sejarah, pada
40
Warsiman, Penguatan Identitas Budaya Lokal Jawa Timur;
Mencari Jejak Kearifan Lokal, h. 118 41
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
Jurnal Sosial Humaniora: Vol. 6 No. 1 Tahun 2013, h. 68 42
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 69
44
tanggal 31 Mei 1293, pasukan Mongol yang datang dari laut
digambarkan sebagai ikan suro (ikan hiu/ berani) dan
pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan
sebagai boyo (buaya/ bahaya), secara harfiah diartikan berani
menghadapi bahaya yang datang mengancam. Peperangan
tersebut dimenangkan oleh Raden Wijaya. Sesuai dengan
kesepakatan oleh sekelompok sejarawan tanggal 31 Mei
1293 diperingati sebagai hari jadi Surabaya.43
Terbunuhnya Arya Penangsang oleh Sutawijaya anak
angkat dari Joko Tingkir sebagai tanda berakhirnya kerajaan
Demak. Surabaya menyusul keruntuhan kerajaan Demak
karena merupakan bagian dari kerajaan tersebut. Sejak
keruntuhannya tersebut, Surabaya menjadi sasaran
penaklukan Kesultanan Mataram. Pemblokiran aliran sungai
brantas oleh Sultan Agung secara tidak langsung memaksa
Surabaya untuk menyerah. Tahun 1620 Surabaya
digambarkan di sebuah tulisan VOC sebagai negara yang
kaya dan berkuasa. Belanda menyerahkan 30.000 prajurit
untuk melawan kesultanan Mataram. Trunojoyo dari Madura
merebut Surabaya pada tahun 1675, namun akhirnya didepak
VOC pada tahun 1677. Dalam perjanjian antara Paku
Buwono II dan VOC Surabaya diserahkan penguasaanya
kepada VOC. Sesuai dengan perjanjian tersebut, tanggal 11
43
Soedarso, dkk, Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 64
45
November 1743 Surabaya resmi berada di bawah kedaulatan
kolonial Belanda. 44
Dalam kekuasaan Belanda, Surabaya dibagi menjadi
kampung-kampung berdasarkan etnis. Pembagian tersebut
berdasarkan atas peraturan Wijkenstensel yang berisi setiap
etnis harus menempati kampung etnisnya masing-masing.
Kampung-kampung tersebut adalah Kampung Pecinan,
Kampung Arab, Kampung Bumiputra (inlander atau orang-
orang Jawa/ Melayu) dan Kampung Eropa. Dalam peraturan
Passentensel juga menyatakan bahwa seseorang yang hendak
keluar dari lingkungannya harus menunjukkan surat jalan.
Peraturan kedua inilah yang menyebabkan sulitnya keluar-
masuk di kawasan Kampung Arab, Pecinan, atau Pribumi.
Pembagian kampung berdasarkan etnis merupakan upaya
Belanda untuk mengontrol populasi dan kriminalitas serta
pengawasan di Surabaya. Dengan demikian jika ada
kerusuhan atau pemberontakan, maka intel Belanda mudah
mencari tersangka. Intel Belanda mengidentifikasi pelaku
berdasarkan identitas etnis misal, pakaian yang dikenakan
apakah gamis, cheong-sam atau sarung.45
Seiring berjalannya waktu kampung-kampung bentukan
Belanda mengalami perkembangan. Kampung Pecinan yang
terbentuk di Chinesche Voorstraat atau Pecinan Kulon (kini
Jalan Karet) juga muncul di Jalan tepekong (kini Jalan
44
Soedarso, dkk, Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 65 45
Soedarso, dkk, Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 65
46
Coklat). Di kawasan Jalan Coklat terdapat klenteng tertua di
Surabaya bernama Hok An Kiong (klenteng Dewa Mazu)
sebagai penanda. Adanya Jalan Kemang Jepun merupakan
simbol bahwa orang Tionghoa berperan penting dalam
membangun perekonomian kota. Kawasan tersebut menjadi
penghubung antara kawasan pedagang Eropa (Heerenstraat)
dan kawasan lain yang berkembang di Selatan Surabaya.
Sebuah gapura tinggi dan besar, di atasnya terdapat ornamen
dua naga yang berhadap-hadapan kanan dan kiri merupakan
sebuah penanda Kembang Jepun. Tulisan Kya-Kya tertulis di
gapura yang sudah berdiri sejak 2003.46
Kampung etnis lain yang juga mengalami perkembangan
adalah Kampung Ampel atau Kampung Arab. Kampung
Arab ini telah ada sejak zaman Majapahit dan masih banyak
dihuni oleh orang Arab. Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya
V) memberikan sebidang lahan di Ampel Denta kepada
Sayyid Ali Rahmatullah sebagai rasa terima kasih atas
bantuannya dalam mengatasi kemerosotan di Kerajaan
Majapahit. Ampel Denta berkembang sebagai pusat ilmu
Agama Islam. Kawasan ini diramaikan sebagai kawasan
perdagangan oleh sebagian besar dari pendatang Arab. Kini
kawasan perdagangan di Ampel disebut dengan pasar Ampel.
Pasar Ampel merupakan pasar tertua di Surabaya. Kegiatan
jual beli di pasar Ampel sudah berlangsung sejak tahun 1420.
Kampung Arab terbentuk menjadi kampung yang islami.
46
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 65
47
Bangunan di Kampung Arab dihiasi oleh bangunan-
bangunan lama seperti rumah kampung, pasar dan masjid
berarsitektur Melayu.47
Kampung Eropa mengalami kondisi yang berbeda.
Kampung tersebut sudah tidak lengkap lagi dengan warga
keturunan Eropa, yang tersisa hanya bangunan-bangunan tua
bergaya Eropa di beberapa titik Surabaya. Sejak masa
nasionalisasi atau pasca kemerdekaan 1945, para pejuang
mengambil secara sepihak rumah-rumah orang Belanda.
Karena kekalahannya, maka orang Belanda pun kesulitan
mengklaim kembali rumah-rumah mereka. Saat itu mereka
hanya memiliki dua opsi yakni tinggal di Indonesia dan
mejadi Warga Negara Indonesia atau pulang ke negaranya,
Belanda. Banyak yang memutuskan untuk mudik ke
Belanda. Sehingga fisik bangunan masih ada tetapi
penghuninya sudah tidak ada.48
Menurut Dukut Imam
Widodo, penulis Hikajat Soerabaya Tempo Doeloe,
hilangnya bangsa eropa di Surabaya tidak semata-mata hanya
karena mereka pulang ke negara asalnya, ia mengatakan,
“Dulu, ada bunker di Balai Pemuda. Saat itu,
Balai Pemuda masih bernama Simpangsche
Societeit. Ketika masa nasionalisasi, orang-orang
Belanda yang ditahan di kampung interiran
dibebaskan. Oleh Pemuda Insonesia, orang-orang
47
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 66 48
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 67
48
Belanda digiring ke Balai Pemuda. Semua
dibunuh dan mayatnya disimpan di buker itu”
Kampung Eropa kini hanya tersisa bangunan-bangunannya
saja. Etnis yang sampai kini masih ada dalam peta dinamika
kota Surabaya adalah Kampung Pecinan, Kampung Arab,
Kampung Bumiputra atau Pribumi.49
Di Kota Pahlawan ini juga berdiri Gereja Bethany yang
merupakan gereja terbesar di Asia Tenggara. Banyak
yayasan-yayasan sosial yang berasazkan agama, mereka
bekerja sama dalam kegiatan bakti sosial. Bahkan ada satu
wadah kerukunan umat beragama di Surabaya yang sering
menyikapi suatu problem sosial manusia agar tidak
terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
yang akan merusak persatua dan kesatuan Bangsa Indonesia
pada umumnya dan masyarakat Jawa Timur khususnya.
Agama Yahudi memiliki sebuah synagoga (tempat ibadah
Yahudi) di jalan Kaayon, dekat stasiun Gubeng. Masyarakat
berkeyakinan Yahudi umuma adalah imigran dari Bagdad
dan Belanda. Buktinya semakin jelas dengan adanya makam
khusus orang Yahudi di daerah Kembang Kuning,
Surabaya.50
Suku mayoritas Surabaya adalah suku Jawa. Jika
dibandingkan dengan suku jawa pada umumnya, suku jawa
di Surabaya memiliki temperamen yang lebih keras dan
49
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 67 50
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 69
49
egaliter. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya
dari kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa.
83,68% penduduk Surabaya adalah suku Jawa, 7,5% adalah
suku Madura, 7,25% Tionghoa, 2,04% Arab dan sisanya
merupakan suku lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado,
Minangkabau, Dayak, Ambon, Aceh dan warga asing51
Budaya Surabaya juga dikenal dengan budaya Arek.
Budaya Arek merupakan karakteristik masyarakat Surabaya
yang Solidaritas, Demokrasi dan Egaliter. Budaya tersebut
telah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Terbentuknya budaya Surabaya adalah hasil dari
percampuran dari varian budaya yang berbeda. Aspek-aspek
keberanian dan kenekatan dari masyarakat pendukung
budaya Arek merupakan kontribusi dari keberanian dan
kenekatan dari orang-orang Madura. Keterbukaan dan
Egaliterian masyarakat merupakan kontribusi dari budaya
pesisir. Sedangkan solidaritas yang kuat, guyub dan rukun
merupakan kontribusi dari dari budaya pedesaan dan agraris.
Sikap saling kritik juga mewarnai kehidupan masyarakat
Surabaya. Kritik-kritik tersebut didasari rasa cinta dan
semangat untuk membangun lingkungan bukan untuk
merusak tatanan. Sifat Egaliter juga tumbuh di dalam
masyarakat Surabaya, yakni menjunjung tinggi kesetaraan
dan kebersamaan. Egalitarianisme adalah kecenderungan
51
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 68
50
cara berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan dan
mendapat perlakuan yang sama dalam berbagai dimensi, baik
agama, politik, ekonomi, sosial atau budaya. Hal tersebut
menujukkan bahwa masyarakat Surabaya tidak mau
terkukung dengan pejenjangan yang terlalu rumit yang
tercermin dalam keseharian mereka terutama dalam bertutur
kata.52
Selain solidaritas, demokrasi dan egaliter, masyarakat
Surabaya juga memiliki karakteristik yang terbuka, dan terus
terang. Karakteristik tersebut dapat memengaruhi bahasa
yang digunakan, sehingga basa Suroboyoan dianggap
sebagai bahasa yang lugas, spontan, berkarakter, dan
berkesan kasar apabila dibandingkan dengan bahasa jawa
standar yaitu bahasa jawa yang digunakan di Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Karisedanan Surakarta. Yunani
Prawiranegara mengatakan Basa Suroboyoan sebagai daerah
pesisir mewarisi budaya dan bahasa pesisiran sebagai bahasa
transisi dari bahasa Jawa Majapahitan ke bahasa Jawa baru
Jawa Tengahan. Oleh karena itu ada kesan basa Suroboyoan
kasar dan kurang mengindahkan bahasa jawa standar.
Menurut Yunani Prawiranegara dalam Jawa Pos Edisi 25
Januari 2004 Basa Suroboyoan yang egaliter terkesan begitu
jenaka sehingga membuat suasana kemraket atau akrab,
52
Nita Anggraeni Goenawan dkk,” Perancangan Buku Ilustrasi
tentang Fenomena Budaya Arek Suroboyo” Jurnal Desain Komunikasi
Visual Adiwarna, Vol 1 No. 8 Tahun 2016
sumber:https://www.neliti.com/id/publications/87411/perancangan-buku-
ilustrasi-tentang-fenomena-budaya-arek-suroboyo diakses pada 16 Maret 2019
51
Grapyak atau ramah dan semenak atau menyenangkan.
Sedangkan Kisyani menyatakan bahwa basa Suroboyoan
adalah bahasa yang lugas, spontan dan berkarakter.53
Surabaya juga memiliki dialek khas sendiri yang dikenal
dengan Boso Suroboyan. Dialek ini dituturkan di daerah
Surabaya dan sekitarnya hingga memiliki pengaruh di bagian
timur Provisi Jawa Timur. Boso Suroboyoan dikenal egaliter,
blak-blakan dan tidak mengenal ragam tingkatan bahasa
seperti Bahasa Jawa pada standar umumnya.54
Masyarakat
Surabaya dikenal fanatik dan bangga terhadap bahasanya,
akan tetapi oleh karena perkembangan budaya dan
banyaknya pendatang yang datang ke Surabaya yang telah
mencampuradukkan bahasa Suroboyo, Jawa Ngoko dan
Madura, maka bahasa asli Suroboyo sebagian perlahan mulai
punah misal kata-kata:
- Njegog (Belok)
- Nderok (Berhenti)
- gog (Paman)
- Maklik (Tante)
- Bangka, matek dan modhar (mati)
- Kaspo dan diplokotho, mbojuk (di tipu)
- Mbadok dan ngganyang (makan)
- Digasak, disikat, digibeng, diantem (dipukul)
- Jembuk (rugi)
53
Kisyani, Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan
Blambangan (Jakarta: Pusat bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2004) 54
Soedarso, dkk. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya.
h. 69
52
- Jembret (jelek)
- Gablek, nduwe (punya)
- Kacrek, wedi (takut)
- Kaliren dan keluwen (kelaparan)
- Babune dan rewange (pembantunya)
- Mbideg, meneng (diam)
- Ndobolno dan njebolno ( menjebolkan)
- Saklemet dan mek thitik (sedikit)
- Saklumbruk dan akeh (banyak)
- Mblakrak, mlaku-mlaku dan dolin ( jalan-jalan atau
bermain)55
Komunitas Arek dikenal mempunyai semangat juang
tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi.
Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas yang
berperilaku bandha nekat Perilaku bandha nekat ini di satu
sisi bisa mendorong munculnya perilaku patriotik, tetapi di
sisi lain juga menimbulkan sikap destruktif.56
Posisi Kota Surabaya sebagai kota metropolitan, pasar
dari kota sekitarnya di Jawa Timur, dan pintu gerbang bagi
arus informasi, pendidikan, perdagangan, industri dan
teknologi dari luar Surabaya menyebabkan masyarakat Kota
Surabaya relatif terbuka dan heterogen. Komunitas Arek ini
55
Tri Winiasih, pemertahanan kasar “Basa Suroboyoan” dalam
acara berita Pojok Kampung di Televisi Lkal JTV: Balai Bahasa Surabaya,
Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa Nusantara, Magister Linguistik PPs
UINDIP Semarang, 2010 h. 80-82 56
Surokim, Muhtar Wahyudi, Televisi Lokal;Strategi Jitu
Memenangkan Persaingan dan Merebut Pemirsa TV (UTM Press; Madura,
2013), h. 46
53
dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai
model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah
ini.57
Kesenian tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di
Surabaya adalah Ludruk, Srimulat, Wayang Purwa Jawa
Timuran (Wayang Jek Dong), Wayang Potehi (pengaruh
kesenian China), Tayub, Tari Jaranan, dan berbagai kesenian
bercoral Islam seperti Dibaan, Terbangan, dan sebagainya.
Sementara kesenian modern berbagai gaya, corak, dan
paradigma berkembang pesat di Kota Surabaya. Seni rupa
bergaya realisme, naturalisme, surialisme, ekspresionisme,
pointilisme, dadaisme, dan instalasi berkembang pesat di
kota ini. Begitu pula model teater, tari, musik, dan sastra
kontemporer sangat pesat perkembangannya. Sikap
keterbukaan, egalitarian, dan solidaritas tinggi itu mendorong
berbagai kesenian macam apa pun bisa berkembang di Kota
Surabaya sebagai wadah budaya Arek.58
57
Surokim, Muhtar Wahyudi, Televisi Lokal;Strategi Jitu
Memenangkan Persaingan dan Merebut Pemirsa TV , h. 46 58
Surokim, Muhtar Wahyudi, Televisi Lokal; Strategi Jitu
Memenangkan Persaingan dan Merebut Pemirsa TV, h. 46-47
54
BAB III
GAMBARAN UMUM JAWA POS MEDIA TELEVISI
A. Perkembangan Bisnis Jawa Pos Group
Industri media berubah berkat keputusan-keputusan yang
diambil oleh Dahlan Iskan. Dahlan melihat peluang untuk
menjadi raja media tidak dengan memanfaatkan restrukturisasi
stasiun televisi di Jakarta, melainkan dengan membeli dan
memperluas harian lokal di seluruh nusantara. Dahlan berhasil
merevitalisasi surat kabar Jawa Pos yang berbasis di Surabaya
pada tahun 1980-an. Ia berhasil membuat Grup Jawa Pos
mencetak keuntungan sebesar AS$2,8 Juta pada tahun 1998.1
Model bisnis Dahlan Iskan adalah dengan membeli,
membangun, dan merawat surat kabar lokal dengan biaya rendah.
Perusahaan-perusahaan yang lebih besar mendapat peralatan baru
seperti mesin cetak, tinta, plat cetak setiap beberapa tahun,
sedangkan peralatan lama dikirim untuk membagun surat kabar di
provinsi lain. Semua perusahaan yang berada di bawah Grup
Jawa Pos biasanya dengan nama Pos atau Radar. Model bisnis
seperti inilah yang pada akhirnya membuat perusahaan Grup
Jawa Pos memiliki ratusan surat kabar di seluruh nusantara.2
Jawa Pos dengan jaringan bisnis multimedianya yang telah
tersebar di seluruh Indonesia mejadi best practice dalam
1 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital (Tangerang Selatan; CV Marjin Kiri, 2019), h. 65 2 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital, h. 65
55
kompetisi industri media. Bermula dari koran yang memiliki
oplah kecil dan terbit di Surabaya, menjadi koran dengan jaringan
terbesar di Indonesia. Meski terlahir di luar Ibukota Jakarta,
Perusahaan ini mampu mengembangkan bisnisnya hingga
memiliki lebih dari 200 media cetak dan televisi lokal. Bisnis
Jawa Pos terbilang cukup sukses dalam media cetak lokalnya.3
Di balik kesuksesannya, Jawa Pos melewati pasang surut.
Secara historis, kepemilikan koran ini mengalami beberapa kali
pergantian. Pertama kali didirikan pada 1 Juli 1949 di Surabaya
Jawa Timur dengan nama Djava-Post oleh The Chung Shen.
Singkat cerita, pada tahun 1982, oplah koran mengalami
kemerosotan tajam hingga mejadi 6.800 eksemplar perhari. The
Chung Shen memutuskan menjual Jawa Pos ketika usianya
menginjak 80 tahun. Selanjutnya, Eric F.H Samola mengambil
alih Jawa Pos, ia juga menjabat sebagai Direktur Utama PT
Grafiti Pers (Penerbit Majalah Tempo). Eric megangkat Dahlan
Iskan yang sebelumnya kepala biro Tempo Surabaya untuk
memimpin Jawa Pos.4
Berkat tangan dingin Dahlan Iskan, Jawa Pos mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Untuk mengantisipasi
perkembangan bisnis media, kelompok Jawa Pos mendirikan
Jawa Pos News Network (JPNN). Salah satu jaringan surat kabar
terbesar di Indonesia ini memiliki lebih dari 80 surat kabar,
3 Company Profile Jawa Pos Group diakses pada 17 September 2019
di:https://www.jawapos.com/about-us/ 4 Nyoman Frastyawan,LKP: Rancang Bangun Sistem Informasi Bursa
Kerja pada PT. Jawa Pos Koran Surabaya, (Undergraduate Thesis, STIKOM
Surabaya: 2014), H. 6
56
tabloid dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia.
Spesialisasi bisnis Jawa Pos Group meluas dengan berdirinya
televisi lokal, media online, radio, taloid dan majalah.5
Sebagai usaha untuk mendukung pondasi bagi industri
media cetak, PT. Jawa Pos bekerja keras untuk menyampaikan
ilmu pengetahuan, berita aktual dan teknologi untuk masyarakat
luas dan dari berbagai kalangan dengan berpegang teguh pada
visi dan misinya yaitu:
Visi: “Menjadi perusahaan media cetak maupun online dunia
yang dihormati, disegani dan patut dicontoh.”
Misi:
a) Meningkatkan kesejahteraan bangsa melalui pemuasan
pelanggan dan mencerdaskan bangsa dengan adanya
informasi yang aktual
b) Menjadi bagian penting dalam mendukung perkembangan
nasional melalui media
Jawa Pos berkembang menjadi entitas konglomerasi media
dan multiusaha yang berskala nasional dengan slogan Surat
Kabar Nasional dari Timur. Kompleks Graha Pena Jl. Ahmad
Yani No 88 Surabaya, Jawa Timur merupakan markas terbesar
Kelompok Jawa Pos. Dalam kompleks Graha Pena terdapat
gedung dengan 21 lantai yang menjadi kantor utama surat kabar
Jawa Pos.6
5 Nyoman Frastyawan,LKP: Rancang Bangun Sistem Informasi Bursa
Kerja pada PT. Jawa Pos Koran Surabaya, h. 6 6 Company Profile Jawa Pos Group diakses pada 15 September 2019
di: https://www.jawapos.co.id/profile/index.php
57
Gambar 3-1: kelompok Jawa Pos Media
Harian Jawa Pos mendominasi media cetak di Jawa
Timur. Jawa Pos bukan hanya menjadi media terlaris namun juga
media sangat kuat dan berpengaruh. Pada tahun 2005, Jawa Pos
mendukung mantan pemimpin redaksi Arief Afandi dalam
kampanyenya untuk menjadi wakil walikota Surabaya. Dukungan
tersebut termasuk membeli waktu siaran dalam Talk Show dan
iklannya di televisi. Afandi dan pasangannya memenangkan
pemilihan. Pada 2010, Jawa Pos kembali mendukung salah satu
kandidat walikota baru yakni Tri Rismaharini hingga
memenangkannya dalam pemilihan.7
7 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital, h. 134
Sumber: Company Profile Jawa Pos Media Group
https://www.jawapos.co.id/profile/index.php
58
Gambar 3-2: Kelompok Jawa Pos Media
Kelompok Jawa Pos bukan hanya menjadi pionir dalam
perkembangan industri media cetak, namun juga sebagai pelopor
berdirinya televisi lokal di Indonesia. Tahun 2002 menjadi
sejarah baru dalam wajah pertelevisian di Indonesia. Kelompok
Jawa Pos mendirikan Riau TV di pekanbaru. Riau TV inilah yang
menjadi televisi lokal pertama di Indonesia. Masih dalam tahun
yang sama, dilanjutkan dengan berdirinya Batam TV di Batam
dan JTV di Surabaya. Seiring berjalannya waktu semakin banyak
televisi lokal yang didirikan oleh kelompok Jawa Pos. Beberapa
di antaranya adalah Jawa Pos Media Televisi (JTV), Padjajaran
Sumber: Company Profile Jawa Pos Media Group
https://www.jawapos.co.id/profile/index.php
59
TV (PJTV), SBO, Fajar TV (FTV), Malioboro TV, Batam TV,
dan Cirebon TV.8
Kebangkitan konglomerat digital di Jakarta menyebabkan
merosotnya raja-raja media daerah. Professor kajian media di
Universitas Airlangga, Rachma Ida, menyebut Dahlan Iskan dari
Grup Jawa Pos dan Satria Naradha dari Grup Bali Post sebagai
Raja Daerah.9
Kegagalan Grup Jawa Pos yang paling menonjol adalah
harian indo Pos di Jakarta yang tidak mampu bersaing dengan
Kompas dan harian-harian lain yang sudah lebih mapan di
ibukota. Perusahaan telah menjadi konglomerasi yang tangguh
karena berfokus kepada daerah.
“kami membangun modal kecil, stasiun-stasiun lokal. Itu
pelan tapi pasti”,ucap Dahlan Iskan.10
Sejak keberangkatan Dahlan Iskan ke Jakarta dipimpin oleh
anaknya, Azrul Ananda. Azrul Ananda menjadi pemimpin
redaksi pada tahun 2005 di usia 27 tahun, sebelum menjadi
presiden direktur pada 2009. Di tahun 2010, ia mengatakan
bahwa anak-anak muda adalah kunci perkembangan perusahaan,
walaupun masih ada beberapa orang tua yang membantu.
Pernyataannya didukung oleh Adi Sariaatmadja yang
8 Company Profile Jawa Pos Group diakses pada 15 September 2019
di: https://www.jawapos.co.id/profile/index.php 9 Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital, h. 118 10
Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga
dan Revolusi Digital, h. 96
60
menjelaskan bahwa revolusi digital memungkinkan orang-orang
seperti Azrul Ananda untuk menentukan masa depan industri
media dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh generasi
ayahnya. Dahlan Iskan pun menegaskan bahwa masa depan
organisasi ada di tangan Azrul.11
B. Sejarah dan perkembangan Jawa Pos Media Televisi
Rona Jawa Timur, Warna Indonesia begitulah slogan yang
biasanya terdengar dalam tayangan program-program di Jawa Pos
Media Televisi atau lebih akrab disebut dengan JTV. JTV
merupakan anggota jaringan Jawa Pos Televisi yang dimiliki oleh
grup Jawa Pos yang juga memiliki afiliasi surat kabar dan biro
JTV di beberapa daerah di Provisi jawa Timur. Televisi swasta
regional terbesar di Indonesia ini berbasis di gedung JTV,
Kompleks Graha Pena Jl. Ahmad Yani No 88 Surabaya, Jawa
Timur. 12
Afiliasi JTV yang tersebar di Jawa Timur adalah:
JTV Surabaya
JTV Malang
JTV Madiun
JTV Kediri
JTV Jember
JTV Trenggalek
11
Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki, Warga
dan Revolusi Digital, h. 176 12
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php
61
JTV Pacitan
JTV Pamekasan
JTV Bojonegoro
JTV Bondowoso
JTV Banyuwangi
JTV Tayang perdana dengan durasi tayang 10 jam sehari.
Meginjak tahun ke-6, JTV mampu megudara selama 22 jam
sehari dengan 95% produksi sendiri. Dengan konsep lokal,
massal, nakal, JTV senantiasa bersama masyarakat dalam
menghasilkan produk-produk siaran berkualitas yang informatif,
edukatif dan inspiratif. Mengangkat dinamika Jawa Timur dengan
tiga bahasa lokal yakni bahasa Suroboyan, Madura dan Kulonan
(Mataraman). Ikon bahasa tersebut dimaksud untuk menarik
perhatian pemirsa sekaligus membangun kedekatan emosional
penonton sehingga dapat memperkuat posisi JTV sebagai
lembaga penyiaran.
1. Visi dan Misi Jawa Pos Media Televisi13
Untuk mempertahakan citra di masarakat, JTV memiliki
visi dan misi yang akan terus mejadi landasan dalam
menyusun prgram-programnya. Selain sebagai media
penyiaran yang objektif dan indepeden, JTV juga sebagai
media penyiaran lokal yang hampir semua programnya
berbasis kedaerahan.
a. Visi
13
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php
62
- Semangat bergairah dan atraktif mampu mewarnai
tahu-tahun ke depan JTV. Sehingga tetap
memberikan sajian televisi yang menarik, sensasional
dan memiliki kekhasan kedaerahan.
- JTV hadir sebagai televisi yang warnanya menjadi
pengaruh kuat pada keragaman Indonesia.
b. Misi
- Memberikan tayangan televisi berciri khas yang
mampu beradaptasi dengan perkembangan informasi
dan tantangan.
- Menjaga warna JTV sebagai media massa yang bisa
menjadi bagian dalam skala Indonesia.
- Bersinergi secara proposional dengan televisi
jaringan.
2. Motto JTV14
“Lokal, Nakal dan Massal”
Lokal
Jawa Pos Media Televisi percaya lokalitas
merupakan aset berharga yang perlu diapresiasikan,
disampaikan dan dikembangkan. Ke-lokal-an merupakan
identitas yang unik masyarakat Jawa Timur yang dapat
diekspresikan dalam program-program JTV.
Nakal
14
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php
63
Nakal disini bukan dalam arti negatif. Nakal yang
positif mengandung pengertian kreatif, inovatif, semangat,
muda, tidak membosankan, mengandung kebaruan, dan
menyegarkan.
Massal
JTV merupakan stasiun televisi yang diperuntukan
bagi kemajuan masyarakat Jawa Timur pada khususnya
dan masyarakat Indonesia pada umumnya. JTV
memandang nilai kebersamaan dan kesetaraan masyarakat
harus tertuang dalam program-program yang dihadirkan.
Stasiun televisi ini merupakan anggota jaringan.
3. Logo Jawa Pos Media Televisi
Gambar 3-3: Logo Pertama JTV (2001-2012)
64
Gambar 3-4: Logo JTV (2012-sekarang)
4. Program Acara15
Program acara dari JTV (Jawa Pos Media Televisi),
dikelompokkan dalam beberapa kategori, yakni:
a. News
1) Pojok 7
2) Pojok Kampung
3) Jatim Awan
4) Nusantara Kini
5) Berita Kini 3 Menit
6) Sorot
b. Entertaiment
1) Aneh-aneh E Jagad
2) Ngidam
3) Semangat Pagi
4) Warung VOA
15
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php
65
5) Arena Spirit
6) Kartun Anak
7) Mbois
c. Musik
1) Stasiun Dangdut
2) Larasati
3) Badut (balada dangdut)
4) Muter Lagu
5) Adem Panas (Campursari)
d. Religi
1) Lentera Fajar
2) Islam itu Mudah
3) Ngaji Blusukan
4) Rindu Ka’bah Mina
5) Menek Blimbingan
6) Umrah Amanah Humayrah
e. Talk Show
1) Dialog khusus
2) Gak Cuma Cangkrukan
3) Jatim Inspirasi
4) Solusi Sehat
5) Solusi Jatim
6) Solusi Bisnis
7) One Enterpreneur
8) Rumpi Sehat
9) Bincang siang
10) Obrolan Malam
66
f. Komedi
1) Ndoro Bei
2) Markeshow (Stand Up )
3) Goro-Goro Kartolo
4) Tawa Malam
5) Ngetoprak Kirun
g. Dokumenter
A. Destinasi
B. Napak Tilas
C. Vice Indonesia
D. Warna-Warni Nusantara
E. Blakraan
C. Program Tayangan Ndoro Bei
Ndoro Bei merupakan program acara jenis Variety Show
yang isinya perpaduan antara drama komedi, jogetan dan musik
serta Moment Today. Dalam setiap episodenya acara ini
mengusung tema sederhana sebagai pengantar utama dalam lagu-
67
lagu campursari yang akan dimainkan. Tayangan komedi yang
dicampur dengan lagu campur sari ini menampilkan ciri khas
dinamika Jawa Timur dengan tiga bahasa lokal, yakni Bahasa
Suroboyoan, Bahasa Jawa Timuran dan bahasa Kulonan
(Mataraman).16
Ide dasar tayangan ini adalah memunculkan kembali seni
tradisioal yang ada di Nusantara khususnya Jawa Timur yang saat
ini kurang diminati kaum muda, namun pemainnya sendiri
menggunakan anak muda. Hal tersebut terlihat pada nama
program acaranya yakni Ndoro Bei yang berarti anak muda
bangsawan keraton. Program acara ini telah mengudara sejak
2015 setiap Hari Jumat dan Sabtu pukul 18:00-19:00 WIB.
Banyak Variety Show seperti Ndoro Bei di televisi lain, namun
dengan berusaha mengomunikasikan budaya Jawa Timur melalui
penggunaan bahasa lokal Jawa Timur, banyak nilai yang
kedaerahan yang terkandung mulai dari kostum yang selalu
mengenakan pakaian adat Jawa Timur, latar tempat khas rumah
Jawa Timur dan lagu campur sari tayangan ini menjadi berbeda.17
D. Struktur Pelaksana Program tayangan Ndoro Bei:18
Ketua Dewan Pengarah : Imawan Mashuri
Kepala Pengarah Produksi : Maesa Samole
Pengarah Produksi : Erman Siswiyanto
16
Wawancara Pribadi dengan Bapak Nugroho Widiyatmoko,
Produser Ndoro Bei pada 13 Agustus 2019 17
Wawancara Pribadi dengan Bapak Nugroho Widiyatmoko,
Produser Ndoro Bei pada 13 Agustus 2019 18
Tayangan Ndoro Bei Episode Tonggo Anyar, segmen 5 menit
06:13-08:10
68
Kepala Produksi : Ari Cahyono
Kepala Program : Domas Wijanarko
Kepala Teknik : Kc. Sumirat
Wakil Kepala Produksi : Guntur Hendar Sumartono
Penanggung Jawab Operasional Produksi: Widhi
Purwonugroho
Eksekutif Produser : Halley Raditya
Produser : Nugroho Widiyatmoko
Asisten Produser : Rofi Pareno
Pengarah Acara : Doni Priambodo
Pengarah Lapangan : Ria
Koordinator Penata Gambar : Agus Bali
Penata Gambar : Endri Setyo Raharjo,
Agus Bejo Santoso, Abdul
Kholiq
Koordinatr Penata Cahaya : Agus Bali
Penata Cahaya : Mas Kunto Wibisono,
Wido Maryono
Koordinator Penata Suara : Yulianto
Penata Suara : Andik Pri, Yoyok
Setiabudi
Koordinator Ruang Kendali Siar : Lukman H
Ruang Kendali Siar : Indah, Che, Yohana, Didit,
Siswanto, Adji
Perawat Teknik : Sariyanto
Koordinator Penunting Gambar : Lukman
Penyunting Gambar : M. Yudha Isra Putra, Amd
69
Promo : Endro, Andi, Harun
Grafis : Susilo, Dicky
Koordinator Pengantar Teknik : Subiyanto
Pengarah Teknik : Rudi
Pendukung Teknik : Wachid
I.T : Triman, Fajar, Rustyan
Transmisi : Nanang, Ucup, Anas,
Latief
Admin Teknik : Tedjo, Rico, Dwi
Artistik : Irfan, Suroso, Widodo,
Andre, Supono
Desain : Bayu
Koordinator Penata Busana : Heni Susanti
Penata Busana : Lina
Unit Manager : Darmanto
Marketing : Rina Prabawati, Heri
Siregar, Kiagus Firdaus
Quality Kontrol : Wawan
70
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Program Acara Ndoro Bei bermaksud menjadi sebuah
wadah untuk mengangkat berbagai kearifan lokal. Kearifan lokal
yang mungkin pada saat ini sudah jarang ditemui tersebut
berusaha untuk dikemas secara menarik, dalam hal ini tetap
dalam unsur entertainment dan kebudayaan. Program acara
Ndoro Bei berusaha menampilkan budaya Jawa Timur yang mana
dalam memberikan tontonan yang berdasar pada tatanan juga
menggunakan tuntunan sehigga ada estetika di dalam tayangan
tersebut.1
Dengan jenis program sebagai tayangan komedi, Produser
Ndoro Bei mengaku tidak membatasi target penontonnya karena
tujuan akhir dari tayangan tersebut adalah sebagai hiburan yang
di dalamnya terkandung unsur-unsur budaya lokal seperti budaya
jawa yang memiliki nilai-nilai tata krama dan tuba sita. Nilai-nilai
tersebut disampaikann melalui alur cerita. Alur cerita tersebut
disampaikan dengan tindak tanduk melalui benda perantara hidup
(manusia).2
Rating dan share pada program acara Ndoro Bei bisa
dikatakan stabil, yang tidak pernah turun secara signifikan atau
naik secara drastis. Bila dibandingkan dengan program acara lain
seperti Pojok Kampung atau Stasiun Dangdut, Ndoro Bei masih
jauh tertiggal. Program Pojok Kampung atau Stasiun dangdut
1 Wawancara pribadi dengan Bapak Nugroho Widiyatmoko produser
Ndoro Bei pada 13 Agustus 2019 2 Wawancara pribadi dengan Bapak Nugroho Widiyatmoko produser
Ndoro Bei pada 13 Agustus 2019
71
memiliki waktu tayang setiap hari sedangkan program Ndoro Bei
hanya memiliki waktu tayang dua kali dalam seminggu yakni hari
Jumat dan Sabtu pada pukul 18:00-19:00 WIB.3
Dalam menentukan tema di setiap episode pada tayangan
Ndoro Bei membutuhkan banyak peran. Semua tim termasuk tim
riset berdiskusi untuk menentukan tema. Hal yamg paling mudah
adalah mengikuti hari-hari besar seperti Hari Kebangkitan
Nasinal dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. terlepas dari
hari besar, terkadang tema juga mengikuti hal-hal yang sedang
ramai dibicarakan atau yang sedang viral saat itu.4
Berdasarkan faktor-faktor pembentuk identitas budaya,
yakni kepercayaan, bahasa dan pola perilaku, penulis memetakan
beberapa adegan dalam tayangan Ndoro Bei yang masuk dalam
beberapa kategori. Kategori tersebut adalah simbol tradisi Jawa,
simbol kepercayaan dalam beragama, sikap terbuka, sifat Lugas,
sifat spontan, kalimat kiasan atau tembung entar, puisi jawa
tradisional atau tembang macapat.
3 Wawancara pribadi dengan Bapak Nugroho Widiyatmoko produser
Ndoro Bei pada 13 Agustus 2019 4 Wawancara pribadi dengan Bapak Nugroho Widiyatmoko produser
Ndoro Bei pada 13 Agustus 2019
72
Tabel 4.1 Simbol Tradisi Jawa5
Visual
Segmen 1
Episode tim
work
Audio-
dialog
Segmen 1 (episode team work)
Probo: iki wayahe anu lho heng, resik-resik omah,
mageri omah.
Hengki: yo bener to, ulane kan yo cocok to prob
iki prob. Bulan-bulan ngeneki sok-sok ki wong-
wong ki pada ngumbah pusaka, apa maneh omah
keneki tinggalane yo ra mung omah biasa ora
podo liyane. Barang-barang neng jero omah kene
kabeh ki tenan, awakmu upama ngerti sejarahe
ngunu wah wedi awakmu. Iki poto ki ngunu
peninggalan jaman disik, jaman penjajahan
belanda
Probo: ojo sampek iki dirusak karo wong
Hengki: wah tenan, iki nganti pindah saka nggone
kene ki, wah tenan kuabeh metu. Iki guci ki yo
ngunu, guci ki sejarahe tenan,
Probo: lak sampek pecah?
5 Tayangan Ndoro Bei episode team work, segmen 1 menit 00:55-
03:50
73
Hengki: lak sampek pecah, ngijoli awakmu
awakmu iki wingit tenan, dadi barang-barange ki
kudu dijaga tenan lo Prob, iki aku wes welinge
mbah-mbah disek ojo nganti sembrono, karo
senengane ki ngerti pora?
Probo: opo?
Hengki: seng njaga-njaga ndek njero ki, kendi,
kendi iki ora sembarang kendi. Iki ndek njerone
enek isine
Probo: isine?ojok ngeden-gedeni lo Heng
Hengki: tenan lho iki tenan, aku ora ngapusi, iki
jaman ndisek iki dinyanyekne koyok tembang-
tembang macapat gunu loh, awakmu iso toh?, ben
ora nesu, ben ora ngamuk.
Probo: owalah iyo iyo
Probo: Ana kidung rumekso ing wengi,
Teguh ayu luputa ing lelara,
Luputa bilahi kabeh,
Jin setan datan purun,
Peneluhan tan ana wani,
Miwah panggawe ala,
Gunaning wong luput,
Geni atemahan tirta,
Maling adoh ana ngarah mring mami,
Guna duduk pan sirna
Hengki: iki aku pesen Prob, aja sampek enek sing
74
mindah-mindah barang pusaka saka nggone
Probo: berarti iku lek nggone duduk kono, mesti
lak kedadean apa ngunu
Hengki: mesti bahaya
Probo: ojok ngunu heng, aku mrinding iki lo
Hengki: iki aku mung ngilekne awakmu mulane
dijaga tenanan barang-barang kaya ngeneki
Probo: awakmu yo iyo gak aku tok
Makna Denotasi
a. resik-resik omah: membersihkan rumah
(dengan menyapu atau mengepel)
b. ngumbah pusaka: mencuci pusaka seperti
keris dan guci menggunakan air serta
sabun
Makna Konotasi
a. resik-resik omah: memagari rumah dengan
hal ghaib dimaksudkan agar selamat dari
gangguan ghaib
b. ngumbah pusaka: mencuci pusaka dengan
tembang macapat
Terjemahan
Probo: ini sudah waktunya Heng, waktunya
bersihin rumah, memagari rumah
Hengki: ya bener, bulannya memang cocok Prob.
Bulan-Bulan seperti ini, biasanya orang-orang
akan mencuci pusaka, apalagi rumah seperti ini
yang isinya bukan hanya rumah biasa pada
umumnya. Barang-barang di dalamnya ini, misal
75
kamu paham sejarahnya, kamu akan takut. Ini,
photo ini peninggalan zaman dahulu, zaman
penjajahan Belanda
Probo: jangan sampai ini dirusak orang
Hengki: iya bener, kalau sampai ini dipindah dari
tempat asal, wah beneran semua akan keluar.
Guci ini juga gitu, misal kamu tahu beneran
sejarahnya
Probo: kalau sampai pecah?
Hengki: kalau sampai pecah kamu harus ganti, ini
amanat, jadi barang-barang yang ada di sini
harus bener-bener dijaga Prob, ini aku sudah
mendapat wasiat dari mbah-mbah jangan sampai
sembarangan, dan kamu tahu nggak apa yang
disukai?
Probo: Apa?
Hengki: penjaga dari kendi ini? kendi ini bukan
sembarang kendi, di dalem kendi ini ada
penjaganya. Ada isinya di dalam
Probo: apa isinya?jangan nakut-nakuti Heng
Hengki: bener ini, aku tidak bohong, zaman
dahulu ini dinyanyikan dengan tembang-tembang
macapat gitu, kamu bisa kan? Biar tidak marah
Probo: oh iya iya
Probo: ini doa pejaga malam
Semoga semua aman, bebas dari penyakit,
Dijauhkan dari petaka,
Jin dan setan tidak akan mengganggu,
Teluh (santet) tak akan berani (beraksi),
Sekalian niat jahat,
(dan) tipu daya luput,
Api akan tertangkis air,
Pencuri menjauh tidak berani mengintai,
(dan) segala bentuk santet sirna
Hengki: ini pesanku Prob, jangan sampai ada
yang memindahkan barang pusaka dari tempatnya
Probo: berarti kalau itu tempatnya bukan di situ,
akan terjadi hal yang ditakutkan gitu?
Hengki: akan bahaya
Probo: jangan gitu Heng, aku merinding jadinya
76
Hengki: aku cuma ngingetin kamu, makanya
harus dijaga bener barang-barang kayak gini
Probo: kamu juga, bukan hanya aku!
Tabel 4.2 Simbol Kepercayaan dalam Beragama6
Visual
Segmen 2
Episode Tonggo
Anyar
Segmen 2
Episode Tolong
Menolong
Audio-dialog Segmen 2 (episode Tonggo Anyar)
Hengki: urip ki kudu guyub lan rukun
Probo: lha lek misale enek tonggo seng njarak
ngunu kui yok opo? Opo awakdewe gak panas
gethem-gethem?
Hengki: Sabar, Inna Allaha Ma’a Shabiriin,
wong sabar iku kekasihe Gusti Allah
Segmen 2 (episode Tolong menolong)
6 Tayangan Ndoro Bei Episode Tonggo Anyar, segmen 2 menit
00:28-01:34, Episode Tolong Menolong, Segmen 2 menit 05:48-06:17
77
Hengki: kulo dipeseni kalian ndoro, pokoke iso
ra iso, awakku iki ka gak nang omah, iki
awakmu tak peseni, keluarga kene kudu
Qurban
Joni: tetep apek kui
Hengki: niki rencanane qurban niku sapi 35
Makna Denotasi
panas gethem-gethem: suhu cuaca
terhitung tinggi
Makna Konotasi
panas gethem-gethem: puncak
kemarahan
Terjemahan
Segmen 2 (episode Tonggo Anyar)
Hengki: Hidup ini harus dijalani dengan
kebersamaan dan kerukunan
Probo: kalau misalnya ada tetangga yang
bikin rusuh gimana? Apa kita gak marah
banget?
Hengki: Sabar, Inna Allaha Ma’a
Shabiriin,orang sabar itu kekasihnya Allah
Segmen 2 (episode Tolong menolong)
Hengki: saya mendapat amanat dari Ndoro,
karena Ndoro tidak ada di rumah , bisa atau
tidak bisa, kamu saya amanati, keluarga kita
harus Qurba, katanya
Joni: iya, bener bagus itu
Hengki: rencananya Qurban sapi dengan
jumlah 35 ekor
78
Tabel 4.3 Sikap Terbuka7
Visual
Segmen 5
Episode Tonggo
Anyar
Audio-dialog Segmen 5 (Episode Tonggo Anyar)
Hengki: tibake koyok ngunu kui toh tonggo
anyar ora rukun karo tonggone yo koyok
sampean ngunu kui!
Probo: isone mek ngrasani tok heh!
Gandhoel: sek sek sek, aku nggenahne iki
enek masalah opo? Kok sampek tonggo
teparo ae padu?
Hengki: omongmu jare wong loro iki ngeyek
keluarga kene?
Gandhoel: sopo seng ngenyek?
Hengki: awakmu jare ngomong mau!
Gandhoel: lohloh, samean iku yo gunu, ojo
sok ngenyek tonggo, ora apik. Dadi tonggo
apik ki yo kudune saling membantu
Silo: ki pie to iki?
Kampret: wo sue-sue lambene tak lekrek cah
7 Tayangan Ndoro Bei episode Tonggo Anyar, segmen 5 menit 02:10-
07:20
79
iki ngko!
Silo: aku ora ngomong opo-opo, sumpah lo
ora gomong opo-opo!
Hengki: tenan lo ora ngomong opo-opo?
Silo: ora!
Hengki: wo jebule sumber masalah yo wes
ra enek wong liyo, yo wong loro iki!
Kampret: wong loro iki seng dadi tumbak
cucukan
Hengki: maju! We mitnah we? Ngakuo!
Coepliz: ora i, halah ngeneki yo cek akur,
cek kenal mas, samean po kenal ambek ki?
Hengki: durung kenal, neng awakmu kok
mindaanmu ki yo ora ngunu kui
Probo: caramu wi salah, kon lapo kok ngedu
omongan lak jarene keluargaku dinyek
kunu? Neng saiki lek geger ngeneki sopo seg
tanggung jawab?
Hengki: wes ngene ae, timbang wong ki
maleh gae anter-anteran hayo digowo nang
KUD ae hayo
Makna Denotasi
tumbak cucukan: tombak yang
runcing
Makna Konotasi
80
tumbak cucukan: orang yang
suka mengadu domba;
menyampaikan keburukan orang
lain kepada orang lain;
provokator
Terjemahan
Hengki: ternyata seperti itu tetangga baru,
tidak rukun dengan tetangganya ya, seperti
kamu itu
Probo: bisanya cuma ngomong di belakang
Gandhoel: bentar-bentar, aku ingin
memperjelas, sebenarnya ini ada apa? Kok
tetangga bersebalahan aja tengkar
Hengki: katamu dua orang ini menghina
keluarga kita?
Gandhoel: siapa yang menghina?
Hengki: kamu, tadi bilang
Gandhoel: loh loh, kamu juga, jangan gitu,
jangan suka menghina tetangga. Jadi
tetangga yang baik itu harus saling
membantu (ucapnya kepada Silo)
Silo: loh ini gimana toh ini?
Kampret: wah lama-lama mulutnya aku
robek ini nanti!
Silo: aku gak bilang apa-apa, sumpah!
Hengki: beneran gak bilang apa-apa?
Silo: enggak
Hengki: oh ternyata sumber masalahnya
bukan orag lain lagi, ini, dua orang ini!
Kampret: dua orang ini yang mngadu
domba (nujuk Gandhoel dan Coepliz)
Hengki: maju, kamu memfitnah, kamu?
Coepliz: enggak kok, kayak gini ini biar
pada akur, biar pada kenal. Kamu apa kenal
sama dia?
81
Hengki: belum kenal, tapi kelakuanmu kok
gitu?
Probo: caramu tu salah, kenapa kamu ngadu
domba, dengan bilang keluarga kita dihina
sama tetangga sebelah? Trus sekarang
siapa yang tanggug jawab?
Hengki: udah gini aja, daripada saling
menyalahkan, kita bawa ke KUD aja
Tabel 4.4 Perilaku Lugas8
Visual
Segmen 3 Episode
Tonggo Anyar
Audio-dialog Segmen 3 (Episode Tonggo Anyar)
Probo: seng temen, kon seng temen lak rene
ngomonge, kurang ajar kon dadi, hei!, seng
temen kon lak rene iku seng temen, ngomong
gawa informasi gak temen blas!
Gandhoel: he aku temen lo rek, iki rek
Hengki: ojo dadi tumbak dicucuki awakmu!
Probo: Tumbak Cucukan
8 Tayangan Ndoro Bei episode Tonggo Anyar, Segmen 3 menit
05:50-06:12
82
Makna Denotasi
tumbak cucukan: tombak yang
runcing
Makna Konotasi
tumbak cucukan: orang yang
suka mengadu domba;
menyampaikan keburukan orang
lain kepada orang lain;
provokator
Terjemahan
Probo: yang bener kamu, yang bener
ngomongnya kalau ke sini, ngasih informasi
kok gak bener sama sekali
Gandhoel: heh, beneran loh aku
Hengki: jangan ngadu domba kamu
Tabel 4.5 Perilaku Spontan9
Visual
Segmen 2
Episode tolong
menolong
Audio-dialog Segmen 2 (Episode Tolong Menolong)
Probo: arek-arek iki mboke dobol
9 Tayangan Ndoro Bei Episode team work, segmen 2 menit 01:18-
01:24
83
Makna Denotasi
Dobol: wasir
Makna Konotasi
Dobol: menyebalkan
Terjemahan
Probo: anak-anak ini ternyata ngeselin
Tabel 4.6 Kalimat Kiasan atau Tembung Entar10
Visual
Segmen 3
Episode
Tonggo
Anyar
Audio-
dialog
Segmen 3 (Episode Tonggo Anyar)
Probo: seng temen, kon seng temen lak rene
ngomong he, kurang ajar kon dadi, hei!, seng
temen kon lak rene iku seng temen, ngomong gawa
informasi gak temen blas!
Gandhoel: he aku temen lo rek, iki rek
Hengki: ojo dadi tumbak dicucuki awakmu!
10
Tayangan Ndoro Bei episode Tonggo Anyar, segmen 3 menit
05:50-06:12
84
Probo: Tumbak Cucukan!11
Makna Denotasi
Temen: teman
tumbak cucukan: tombak yang runcing
Makna Konotasi
Temen: benar; sungguh-sungguh
tumbak cucukan: orang yang suka
mengadu domba; menyampaikan
keburukan orang lain kepada orang lain;
provokator
Terjemahan
Probo: yang bener kamu, yang bener ngomongnya
kalau ke sini, ngasih informasi kok gak bener
sama sekali
Gandhoel: heh, beneran loh aku
Hengki: jangan ngadu domba kamu
11
Tombak cucukan adalah orang yang suka mengadu domba, yang
suka membicarakan kejelekan orang lain kepada orang lain
85
Tabel 4.7 Puisi Jawa Tradisional atau Tembung Macapat12
Visual
Segmen 2
Episode
Tolong
Menolong
Audio-
dialog
Segmen 2 (Episode Tolong Menolong)
Joni: anak sapi opo?
Hengki: pedet
Joni: mbok.e pedet?
Probo: Sapi
Joni: nak mbok.e sapi?
Hengki: opo enek?
Joni: enek
Hengki: lha opo?
Joni: semut ireng
Hengki: mbok.e sapi kok semut ireng ki loh
Joni: nembango-nembango
Probo: semut ireng, anak-anak sapi
Terjemahan
Joni: anak sapi sebutannya apa?
Hengki: pedet
Joni: induk pedet?
12
Tayangan Ndoro Bei episode Tolong Menolong, segmen 2 menit
06:16-06:45
86
Probo: Sapi
Joni: kalau induk sapi?
Hengki: emang ada?
Joni: ada
Hengki: apa?
Joni: semut hitam
Hengki: induk sapi kok semut hitam?
Joni: coba bacain tembang macapat
Probo: semut ireng, anak-anak sapi
Berdasarkan dari hasil bedah adegan menggunakan teori
semiotika charles sanders pierce di atas, penulis simpulkan
beberapa penemuan dari identitas budaya Suroboyoan yang
kemudian penulis kategorikan sebagai berikut
Tabel 4.8 Data hasil keseluruhan temuan
No Konsep
Identitas
Budaya
Tanda yang
Dimunculkan
Segmen
yang
Diaanalisa
Keterangan
1 Kepercayaan
(penerimaan
sebuah
kebenaran
tentang
sesuatu yang
dipelajari
dalam
kebudayaan)
Simbol
Tradisi Jawa
Segmen 1
Episode
Team
Work
Pada segmen
ini diceritakan
bahwa orang
jawa yang
memiliki
peninggalan
atau barang
yang keramat
seperti keris
ataupun guci,
memiliki
87
kebiasaan
untuk
membersihkan
barang
tersebut pada
bulan Suro
atau biasa
disebut
dengan Satu
Suro. Satu
Suro
merupakan
hari pertama
dalam
kalender jawa
di bulan Sura
di mana
bertepatan
dengan Satu
Muharram
dalam
kalender
hijriyah. Ini
menunjukkan
bahwa adanya
tradisi yag
88
masih dijaga
dan dijadikan
pedoman
dalam hidup
karena bila
tradisi tersebut
tidak
dilaksanakan,
akan ada
petaka yang
menimpa.
Simbol
Kepercayaan
dalam
beragama
Segmen 2
Episode
Tolong
Menolong
dan
Segmen 2
Episode
Tonggo
Anyar
Kepercayaan
dalam
beragama
terlihat pada
segmen ini.
Pertama, saat
membicarakan
hari raya Idhul
Adha yang
dipercaya
dapat
menyucikan
harta. Kedua,
saat
membicarakan
89
arti kesabaran.
Seperti dalam
hadist yang
berbunyi
“Inna Allaha
ma’a
Shaabiriina”
yang diartikan
bahwa rang
sabar adalah
kekasih Tuhan
2 Pola
Perilaku
(kebiasaan-
kebiasaan,
sikap-sikap
emosi dan
semua
bentuk
taggapan
yang
ditunjukkan)
Sikap
Terbuka
Segmen 5
Episode
Tonggo
Anyar
Dalam segmen
ini diceritakan
bahwa ada
rumor tentang
tetangga baru
yang
memfitnah
keluarga
Ndoro Bei.
Sebagai
penduduk
yang telah
lama tinggal,
keluarga
Ndoro Bei
90
tidak terima,
terlebih belum
kenal dengan
tetangga baru
tersebut.
Keluarga
Ndoro Bei
mendatangi
tetangga baru
tersebut, guna
mecari akar
permasalahan
secara
langsung.
Lugas Segmen 3
Episode
Tonggo
Anyar
Respon Probo
dalam
menanggapi
Gandhoel
untuk
memberikan
informasi
secara benar
terlihat lugas
dan tebuka.
Hingga Probo
menasehati
91
Gandhoel
untuk tidak
mengadu
domba antara
dirinya dengan
tetangga baru
tersebut.
Sifat Spontan Segmen 2
Episode
Tolong
Menolong
ucapan dobol
oleh probo
terlihat secara
spontan tanpa
dipikir atau
direcanakan
padahal dobol
berkonotasi
negatif.
Seperti kata
‘Jancuk’ yang
diucapkan
oleh
masyarakat
Surabaya,
meski
berkontasi
negatif tetapi
memiliki rasa
92
yang berbeda.
Kedua kata
tersebut
dianggap
sebagai
ungkapan
keakraban.
3 Bahasa
(aksen,
logat, atau
dialek saat
mereka
berbicara,
baik dalam
bahasa
daerah
mereka
ataupun
bahasa
indonesia)
Kalimat
Kiasan atau
Tembung
Entar
Segmen 3
Episode
Tonggo
Anyar
Ada tembung
entar atau
kalimat kiasan
dalam bahasa
Jawa. Dalam
segmen ini
Probo
mengucapkan
‘Tumbak
Cucukan’
yang bisa
diartikan
sebagai orang
yang suka
mengadu
domba, yang
suka
membicarakan
kejelekan
93
orang lain
kepada orang
lain
Puisi Jawa
Tembung
Macapat
Segmen 2
Episode
Tolong
Menolong
Ada tembang
macapat yang
dinyanyikan
oleh Probo
berbunyi
“Semut Ireng,
Anak-anak
Sapi”
94
BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce
Data 1: Simbol Tradisi Jawa
Segmen 1 Episode Team Work
Representamen:
1. Qualisign: pada segmen ini memperlihatkan bahwa Probo
dan hengki sedang membersihkan rumah yang kerap
dilakukan pada satu suro dengan membacakan tembang
macapat yang diyakini dapat meredakan kemarahan si
penjaga rumah.
2. Sinsign: visualisasi adanya asap dianggap memberikan
efek-efek ghoib karena pejaga rumah yang dimaksud
berbentuk ghoib
3. Legisign: tembang macapat yang dibacakan oleh Probo
merupakan puisi jawa tradisional yang memiliki aturan-
aturan atau patokan-patokan sastra jawa juga mengandung
ajaran kehidupan
Objek:
1. Ikon: hengki dan Probo membersihkan rumah dengan
membacakan tembang macapat
2. Indeks: ketika tembang macapat dibacakan muncul asap-
asap
3. Simbol: munculnya asap ketika dibacakan tembung
macapat menjadi simbol adanya makhluk lain.
95
Interpretant:
1. Rheme: membacakan tembung macapat pada bulan Suro
ditujukkan sebagai salah satu cara untuk membersihkan
rumah ataupun barang-barang peninggalan masa lampau
2. Dicent: Segmen ini menunjukkan bahwa tembang macapat
yang dibacakan oleh Probo dan Hengki pada bulan Suro
dimaksudkan untuk membersihkan rumah atau disebut
dengan jemasan pusaka
3. Argument: Jamasan Pusaka merupakan tradisi yang banyak
dianut oleh masyarakat Jawa yang dilakukan untuk
merawat atau melestarikan warisan dan kenang-kenangan
dari para leluhur. Tradisi ini dilakukan pada bulan Suro
atau yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender
Hijriyah
Analisis:
Bulan Suro atau biasa disebut dengan satu Suro dianggap
kramat bagi masyarakat Jawa, terlebih bila jatuh pada Jumat
Legi. Banyak tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa,
salah satunya adalah Jamasan Pusaka. Tradisi Jamasan Pusaka
atau merawat pusaka adalah salah satu tradisi masyarakat jawa
pada bulan Suro. Jamasan Pusaka juga dapat dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya menyuci pusaka dengan air
kembang atau pun dengan dibacakan tembang-tembang
macapat.
96
Data 2: Simbol Kepercayaan dalam beragama
Segmen 2 Episode Tonggo Anyar
Representamen:
1. Qualisign: hengki menasehati Probo dan Daok agar
senantiasa hidup guyub dan rukun dengan tetangga sebelah,
jika ada masalah dihadapi dengan sabar. Orang yang dapat
bersabar akan disukai Tuhan
2. Sinsign: Daok dan Probo mendengarkan dengan saksama
3. Legisign: selayaknya orang yang beriman akan meyakini
apa-apa yang telah dipelajari dalam agama yang dianutnya.
Seperti keyakinan Hengki bahwa orang yang bersabar
adalah kekasih Tuhan
Objek:
1. Ikon: Hengki menasehati Probo dan Daok
2. Indeks: nasehat yang diberikan oleh Hengki agar senantiasa
hidup dalam kebersamaan tanpa pertikaian dengan tetangga
sebelah
3. Simbol: untuk mencapai hidup harus disertai dengan
kesabaran
Interpretant:
1. Rheme: ajaran agama islam agar senantiasa bersabar
dianggap sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan
2. Dicent: Inna Allaha Ma’a Shabiriin, bahwa sesungguhnya
Tuhan bersama orang-orang yang sabar.
3. Argument: kepercayaan yang telah dianut akan menjadi
pedoman dalam mejalani hidup seseorag
97
Data 2: Simbol Kepercayaan dalam beragama
Segmen 2 Episode Tolong Menolong
Representamen:
1. Qualisign: Hengki, Probo dan cak Joni selaku lurah sedang
berkumpul membicarakan persiapan peringatan hari raya
Idhul Adha yaitu qurban.
2. Sinsign: hengki mengguakan blangkon serta sarung batik
sedangkan Cak Joni menggunakan baju koko beserta
kopyah
3. Legisign: penggunaan busana yang dipakai menunjukkan
identitas mereka sebagai orang jawa serta umat muslim
Objek:
1. Ikon: Hengki, Probo dan cak Joni selaku lurah sedang
berkumpul membicarakan peringatan Idhul Adha, hari raya
umat Islam
2. Indeks: mereka membicarakan tetag peringatan idhul adha
di mana Hengki dan Probo menyampaikan amanah dari
Ndoro Bei untuk ikut serta dalam berqurban. Dalam
pembicaraan tersebut mereka menunjukkan identitasnya
sebagai orang jawa juga muslim
3. Simbol: blangkon serta sarung batik yang digunakan
Hengki menunjukkan identitas budaya Jawa, sedangkan
baju koko yang digunakan oleh Cak Joni merupakan
identitas muslim
Interpretant:
1. Rheme: Perayaan hari raya idhul Adha biasa diperingati
dengan Qurban hewan
98
2. Dicent: selain untuk perayaan hari raya, penyembelihan
hewan Qurban juga menunjukkan ketaatan terhadap
kepercayaan yang dianut
3. Argument: Seseorang dapat dikatakan taat apabila
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dianutnya
Analisis:
Faktor dalam pembentukan identitas budaya salah satunya
adalah kepercayaan. Kepercayaan diartikan sebagai usaha
untuk menerima sebuah kebenaran tetang sesuatu yang
dipelajari dalam kebudayaan. Dalam hal ini yang dilakukan
oleh Hengki, Probo dan Daok adalah menerima kebenaran
yang telah dipelajari dalam Agama. Hari Raya Idhul Adha
melekat dengan perayaan Qurban, hal ini berusaha dipenuhi
oleh Hengki dan Probo. Begitu pula pada segmen 2 Episode
Tolong Menolong kebenaran akan kesabaran juga berusaha
diyakini hingga dijadikan pedoman dalam kehidupan.1
Data 3: Sikap Terbuka
Segmen 5 Episode Tonggo Anyar
Representamen:
1. Qualisign: Keluarga Ndoro Bei yang diwakili oleh Probo
dan Hengki merasa tidak terima atas fitnah yang diterima
dari tetangga sebelah. Akhirnya mendatangi tetangga
sebelah yakni Silo dan Kampret bersama Gandhoel dan
1Esti Verulitasari, Agus Cahyono, 2016, Nilai Budaya dalam
Pertunjukan Rapai Geleng mencerminkan Identitas Budaya Aceh, Journal of
Art Education diakses di: http://jurnal.unnes.ac.id/siu/idex.php/chatarsis pada
23 Desember 2019
99
Coepliz dengan maksud untuk menyelesaikan masalah
secara langsung
2. Sinsign: Tindakan yang dilakukan Ndoro Bei menunjukkan
ekspresi mereka dalam menghadapi masalah
3. Legisign: Sikap yang ditunjukkan keluarga Ndoro Bei
merupakan sikap terbuka dan terus terang. Secara terbuka
dan terus terang keluarga Ndoro menyatakan sikap tidak
terima atas ejekan dari tetangga barunya. Selain sikap
terbuka dan terus terang, sikap saling kritik juga mewarnai
kehidupan masyarakat Surabaya. Kritik-kritik tersebut
didasari rasa cinta dan semangat untuk membangun
lingkungan bukan untuk merusak tatanan.
Objek:
1. Ikon: Hengki dan Probo mendatangi tetangga sebelah
yakni Silo dan Kampret ditemani Gandhoel dan Coepliz
2. Indeks: Hengki dan Probo tak terima atas ejekan tetangga
sebelah hingga mendatanginya untuk menanyakan
langsung
3. Simbol: Tindakan tidak terima yang ditujukkan oleh Probo
dan Hengki menunjukkan sifat terbuka dan terus terang
dalam menyatakan perasaannya
Interpretant:
1. Rheme: Probo maupun Hengki langsung menunjukkan
kekesalannya di depan Silo dan Kampret. Karena merasa
tak bersalah Silo dan Kampret juga menunjukkan hal
serupa.
100
2. Dicent: Masyarakat Surabaya akan terus terang menyatakan
sikap mereka terhadap sesuatu, baik yang disukai maupun
tidak.
3. Argument: Masyarakat Surabaya memiliki sikap terbuka
dan terus terang dalam menyatakan sikap dan perasaan. Hal
tersebut terlihat pada keluarga Ndoro Bei yang mendatangi
tetangga baru tersebut guna menyelesaikan masalah
tersebut secara langsung
Analisis:
Sikap terbuka dan terus terang masyarakat Surabaya terlihat di
segmen ini, di mana keluarga Ndoro Bei secara terus terang
mereka mengaku tidak terima atas fitnah yang dilakukan oleh
tetangga barunya dan secara langsung meminta yang
bersangkutan untuk bertanggung jawab. Selain sikap terbuka dan
terus terang, sikap saling kritik juga mewarnai kehidupan
masyarakat Surabaya, dalam segmen ini terlihat ketika Probo
mengkritik Gandoel dan Coepliz sebagai pelaku penyebar fitnah
bahwa apa yang mereka lakukan tetap salah meskipun niat
mereka baik yakni agar kedua tetangga tersebut bisa saling kenal.
Kritik-kritik tersebut didasari rasa cinta dan semangat untuk
membangun lingkungan bukan untuk merusak tatanan 2
2 Nita Anggraeni, Aristarchus Pranayama,Ryan Pratama,”
Perancangan Buku Ilustrasi tentang Fenomena Budaya Arek Suroboyo”
sumber:https://www.neliti.com/id/publications/87411/perancangan-buku-
ilustrasi-tentang-fenomena-budaya-arek-suroboyo diakses pada 16 Maret 2019
pukul 11:58 WIB
101
Data 4: Perilaku Lugas
Segmen 3 Episode Tonggo Anyar
Representamen:
1. Qualisign: Probo menasehati Gandhoel untuk bericara
secara lugas, begitu pula dengan Hengki yang melarang
Gandheol menjadi orang yang suka mengadu domba dan
suka membicarakan kejelekan orang lain kepada orang lain
2. Sinsign: informasi yang dikatakan Gandhoel dan Coepliz
diragukan oleh Hengki dan Probo
3. Legisign: informasi bohong bisa menjadi propaganda
negatif yang dapat memengaruhi langsung perilaku
seseorang agar memberikan respon sesuai yang
dikehendaki oleh pelaku propaganda.3
Objek:
1. Ikon: informasi yang diberikan oleh Gandhoel dan Coeplis
bernada negatif dan cenderung menyudutkan keluarga
Ndoro Bei
2. Indeks: mendengar informasi yang menyudutkannya,
keluarga Ndoro Bei tidak terima
3. Simbol: sudah seharusnya hidup rukun dengan tetangga
sebelah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengenal
mereka dengan baik sehingga tidak ada fitnah di ataranya
3Republika Diakses pada 27 Desember 2019 di:
http://www.replubika.co.id/berita/trendtek/internet/17/04/11/oo7uxj359-
begini-dampak-berita-hoax
102
Interpretant:
1. Rheme: ucapan gandhoel dan Coeplis yang berbelit-belit,
sudah menimbulkan kecurigaan bagi Probo dan Hengki
2. Dicent: kecurigaan Probo dan Hengki hilang setelah
Gandhel dan Ceoplis dapat meyakinkan bahwa informasi
yang disampaikan benar adanya
3. Argument: terlihat dari ucapan Probo yang tidak suka
berbelit-belit. Basa Suroboyoan adalah bahasa yang lugas,
spontan dan berkarakter.4
Analisis:
Masyarakat Surabaya memiliki karakteristik bahasa yang
lugas. Dalam segmen ini terlihat di mana Probo tidak semerta-
merta percaya kepada Gandhoel dan Coepliz. Ia bahkan
terlihat meragukan informasi yang disampaikan. Begitu pula
dengan Hengki yang cenderung mengkritik Gandhoel dan
Coepliz agar tidak menjadi orang yang mengadu domba, atau
membicarakan keburukan orang lain kepada orang lain. Kritik-
kritik terse but didasari rasa cinta dan semangat untuk
membangun lingkungan bukan untuk merusak tatanan
Data 5: Perilaku Spontan
Segmen 2 Episode tolong menolong
Representamen:
1. Qualisign: Secara Spontan Probo mengucap bahwa para
pengiring musiknya ‘Dobol’
2. Sinsign: Kata dobol memiliki arti yang cenderung negatif
4Kisyani, Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan
Blambangan (Jakarta: Pusat bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2004)
103
3. Legisign: meski cenderung negatif, kata dobol lebih
familiar di masyarakat Surabaya karena dianggap lebih
jenaka dan membuat suasana lebih akrab
Objek:
1. Ikon: Probo megucapkan ‘Dobol’ kepada para pengiring
musik dan disambut dengan gelak tawa dari para pemain
lainnya
2. Indeks: kata dobol adalah makian yang sering digunakan
sebagai bumbu percakapan marah
3. Simbol: meski Probo mengucapkan makian kepada para
pengiring musik, mimik muka yang ditujukkan malah
sebaliknya yakni dengan tertawa
Interpretant:
1. Rheme: ucapan Probo yang ditujukan kepada para
pengiring musik berbentuk makian dan menunjukkan
kekesalan
2. Dicent: penggunaan beberapa kata makian dalam bahasa
Suroboyoan lebih diartikan sebagai keakraban
3. Argument: ‘dobol’ jika diartikan dalam bahasa Indonesia
berarti wasir, seperti kata ‘jancuk’ yang memiliki konotasi
negatif. Namun pengucapan kata tersebut juga merupakan
tanda seberapa dekatnya Arek Suroboyo dengan temannya
dan obrolan akan terasa semakin hangat
Analisis:
Bahasa Surabaya dinilai kasar dan kurang mengindahkan
bahasa jawa pada umumnya. Beberapa kata yang sering
diucapkan dan menjadi khas Surabaya di antaranya ‘koen’
104
(diucapkan ‘kon’), ‘jancuk’, ‘dobol’. Kata-kata tersebut
cenderung kasar bagi masyarakat jawa di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Karisedanan Surakarta. Namun bagi
masyarakat Surabaya sendiri dianggap sebagai simbol
keakraban. Budaya Suroboyoan yang terus berkembang juga
terus melahirkan kosa kata baru yang menjadi khas bagi
masyarakat Surabaya dalam berinteraksi sesamanya sebagai
wujud identitas ketegasan dan kepribadian seseorang saat
menunjukan status sosial lewat bahasa pada lingkungan
masyarakat.
Data 6: Tembung Entar
Segmen 3 Episode Tonggo Anyar
Representamen:
1. Qualisign: Hengki mengatakan kepada Gandhoel dan
Coepliz “ojo dadi tumbak dicucuki (tumbak cucukan)”
2. Sinsign: ‘Tumbak Cucukan’ merupakan salah satu dari
tembung Entar, atau dalam Bahasa Indonesia disebut
dengan kata kiasan5
3. Legisign: arti sebenarnya dari ‘tumbak cucukan’ adalah
orang yang mengadu domba atau orang yang suka
membicarakan kejelekan orang lain kepada orang lain
5Tembung Entar, diakses pada 19 Januari 2020 dari:
https://tanahmemerah.wordpress.com/kasastraa/kawruh-bahasa-jawa/tembung-
entar/
105
Objek:
1. Ikon: penggunaan tembung macapat dalam dialog antara
Probo, Hengki, Gandhoel dan Coepliz
2. Indeks: dialog dalam tayangan Ndoro Bei menggunakan
bahasa Suroboyoan, namun dalam segmen ini, Hengki
menceletuk menggunakan Tembung Entar atau kata kiasan
3. Simbol: pada segmen ini menujukkan bahwa bukan hanya
bahasa Suroboyan saja ang digunakan dalam dialog, namun
juga terdapat kata-kata yang juga dapat dimengerti oleh
masyarakat jawa pada umumnya.
Interpretant:
1. Rheme: dalam komunikasi, bahasa merupakan salah satu
faktor penting agar maksud yang disampaikan diterima
dengan baik
2. Dicent: selain untuk menyampaikan sebuah pesan,
penggunaan kata kiasan dalam bahasa jawa yang digunakan
oleh Hengki juga untuk menghibur
3. Argument: Tembung Entar dalam bahasa jawa adalah
gabungan dua kata yang memiliki makna berbeda dari kata
asalnya. Tembung ini seperti kata kiasan yang memiliki arti
tidak sebenarnya. Hengki menyampaikan dalam dialog
tersebut selain untuk menasehati Gandhoel dan Coepliz
juga untuk hiburan karena penyampaiannya dengan bahasa
yang terbolak-balik juga tidak dengan mimik muka yang
serius.
106
Analisis:
Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi dengan orang
lain dan sebagai alat untuk berpikir. Dalam konteks ini, bahasa
berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi
sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial.6
Dalam segmen 3 Episode Tonggo Anyar, bahasa Suroboyoan
menjadi bahasa yang paling banyak digunakan meski juga ada
bahasa jawa standar. Tembung entar atau kata kiasan yang
digunakan dalam segmen ini menunjukkan bahwa kata kiasan
bukan hanya untuk menyampaikan sebuah pesan namun juga
untuk dialog komedi.
Data 7: Tembung Macapat
Segmen 2 Episode Tolong Menolong
Representamen:
1. Qualisign: Probo mendendangkan sebait tembang Macapat
2. Sinsign: Tembang macapat yang berbuyi “Semut Ireng,
Anak-anak Sapi”
3. Legisign: bait yang dibacakan oleh Probo mengisahkan
bentuk keluarbiasaan, walaupun hanya seekor semut hitam
yang mungkin tidak terlihat dalam kegelapan, memiliki
anak-anak yang besar dan bermanfaat, bahkan suci dalam
suatu kepercayaan
6Esti Verulitasari, Agus Cahyono, 2016, Nilai Budaya dalam
Pertunjukan Rapai Geleng mencerminkan Identitas Budaya Aceh, Journal of
Art Education diakses di: http://jurnal.unnes.ac.id/siu/idex.php/chatarsis pada
23 Desember 2019
107
Objek:
1. Ikon: Cak Joni memberikan tebakan bahwa induk sapi
adalah semut hitam seperti dalam tembang macapat
2. Indeks: tebakan tersebut dimaksudkan sebagai lawakan
3. Simbol: tembang macapat seringkali dilantunkan dengan
suka cita, namun di balik itu memuat ajaran kehidupan dan
warisan para leluhur.
Interpretant:
1. Rheme: Tembang macapat merupakan bentuk puisi jawa
tradisional yang memiliki aturan-aturan dan patokan sastra
jawa
2. Dicent: Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang
disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku
kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi
sajak akhir yang disebut guru lagu.7
3. Argument: Dalam kalimatnya yang terstruktur terdapat
pesan yang tersirat. Kalimat Semut Ireng, Anak-anak Sapi
mengisahkan tentang orang biasa yang mungkin juga
tinggal di pelosok desa dan miskin harta serta kurang
pendidikan tetapi bisa melahirkan orang-orang hebat dan
terhormat. Dalam kebudayaan masyarakat Jawa hal tersebut
layaknya orang tua yang tiada henti berdoa dan tirakat agar
anak-anaknya sukses.8
7 Wikipedia Tembung Macapat, diakses pada: 5 Januari 2020 di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Macapat 8 Semut Ireng Anak-anak Sapi, diakses pada 10 Januari 2020 di:
http://www.nu-klaten.or.id/2019/08/semut-ireng-anak-anak-sapi-dan-
kondisi.html?m=1
108
Analisis:
Dalam segmen ini Cak Joni memberikan tebakan tentang
sebutan anak-anak hewan. Ternyata tebakan tersebut hanya
lawakan semata, karena jawaban dari tebakan merupakan syair
dari salah satu tembang macapat. Tembang macapat
merupakan salah satu puisi jawa tradisional. Puisi Jawa
tradisional bisa berupa tembang, parikan, guritan, singir, dan
tembang dolanan anak-anak. Puisi Jawa tradisional memiliki
aturan-aturan atau patokan-patokan sastra jawa. Sedangkan
puisi jawa moderm berupa puisi bebas, yaitu puisi yang tidak
terikat oleh norma-norma ketat seperti yang dijumpai dalam
puisi Jawa tradisional (tembjing).9 Tembang ”Semut Ireng,
Anak-anak Sapi” pernah sangat familiar di telinga masyarakat
Jawa. Tembang tersebut seringkali dilantunkan dengan suka
cita, namun di balik itu memuat berjuta ajaran kehidupan
warisan para leluhur.10
B. Konstruksi Identitas Budaya dalam Tayangan Ndoro Bei
di Jawa Pos Media Televisi
Sesuai dengan padangan konstruksionis, yang
memandang media bukan saluran yang bebas atau netral,
melainkan sebagai subyek yang mengkonstruksi realitas, di
mana para pekerja yang terlibat dalam produksi pesan juga
menyertakan padangan, bias dan keberpihakannya. Karenanya
9 Dhanu Priyo Prabowo, Geguritan Tradisional dalam sastra jawa
(Jakarta; Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002), H. 7 10
http://www.nu-klaten.or.id/2019/08/semut-ireng-anak-anak-sapi-
dan-kondisi.html?m=1
109
sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi
secara berbeda.11
Teori konstruksi sosial dicetuskan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Mereka menggambarkan proses sosial
melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu secara
terus menerus menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subjektif. Pemikiran Berger dan
Luckmann secara sosial berasal dari pemikiran aliran
konstruktivisme. Aliran konstruktivisme menghubungkan
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dengan realitas yang
dialami manusia.12
Bagi Berger masyarakat adalah realitas obyektif sekaligus
realitas subyektif. Masyarakat sebagai realitas obektif, artinya
masyarakat berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan
dengannya. Sedangkan masyarakat sebagai realitas subyektif,
individu berada dalam masyarakat itu sebagai bagian yang
tidak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa indvidu adalah
pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk
individu.
Dalam tayangan Ndoro Bei, penulis telah membedah dan
mengAnalisis beberapa tanda yang mengandung identitas
budaya Suroboyoan. Melalui Analisis Charles Sanders Pierce,
maka dapat diketahui bahasan yang ingin disampaikan oleh
11
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media
(Yogyakarta; LkiS, 2002), H. 17 12
Burhan bungin, Konstruksi sosial media massa: kekuatan pengaruh
media massa iklan televisi dan kepuasan konsumen serta kritik terhadap Peter
L. Berger dan Thomas Luckman (Jakarta: Kencana, 2011), h. 13
110
tayangan ndoro bei adalah mengenai identitas budaya yang
dikemas melalui komedi
Identitas budaya dapat diartikan sebagai rincian
karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki
oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya
tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri
kebudayaan orang lain. Dalam masyarakat yang pluralis
identitas budaya sangat diperlukan terlebih dalam
berkomunikasi. Menurut Alo Liliweri terdapat Tiga faktor
pembentuk identitas budaya. Faktor pembentuk identitas
budaya adalah kepercayaan, tingkah laku dan bahasa.
Faktor pertama dalam membentuk identitas budaya adalah
kepercayaan. Kepercayaan merupakan sebuah usaha untuk
menerima sebuah kebenaran tetang sesuatu yang dipelajari
dalam kebudayaan. Dalam hal ini tradisi jawa atau biasa
disebut dengan kejawen juga merupakan sebuah identitas bagi
masyarakat Jawa.
Dalam tayangan Ndoro Bei pada episode Team Work
segmen satu menayangkan tradisi satu suro atau yang biasa
disebut dengan Satu Suro. Satu Suro bertepatan pada tanggal 1
Muharram dalam kalender Hijriah. Tradisi saat malam satu
suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana
memandang. Di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa
Timur memperingati tradisi satu Suro dengan Tirakatan (tidak
tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri
sambil berdoa), Pagelaran Wayang Kulit dan Jamasan Pusaka.
111
Tradisi budaya yang ditampilkan dalam tayangan Ndoro
Bei adalah tradisi Jamasan Pusaka. Tradisi jamasan pusaka
merupakan salah satu cara merawat benda-benda pusaka
seperti keris yang diangggap memiliki tuah. Merujuk pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia Jamasan yaitu mencuci keris,
biasanya dilaksanakan setahun sekali pada satu suro,
sedangkan Pusaka yaitu harta benda peninggalan orang yang
telah meninggal. Jamasan pusaka mempunyai makna dan
tujuan luhur karena kegiatan ini termasuk dalam kegiatan
ritual budaya yang dinilai sakral.
Tradisi tersebut ditayangkan dalam program acara Ndoro
Bei yang memang memiliki jenis tayangan komedi, maka
dapat dipastikan tradisi Jamasan Pusaka pun tidak terlalu
serius. Meski demikian maksud dari tayangan tersebut dapat
tersampaikan dengan beberapa adegan seperti yang dilakukan
Probo, yakni dengan membacakan tembang macapat.
Kepercayaan dalam beragama juga turut ditampilkan pada
segmen 2 Episode Tonggo Anyar dan Tolong Menolong. Pada
Episode Tonggo Anyar ditunjukkan pada dialog antara Probo,
Hengki dan Daok. Mereka membicarakan bahwa hidup harus
guyub atau rukun dengan tetangga sebelah. Untuk mencapai
kehidupan yang guyub dan rukun harus disertai dengan
kesabaran. Hengki juga menjelaskan bahwa buah dari
kesabaran bukan hanya bisa rukun dengan tetangga namun
juga menjadi kekasih Tuhan. Ucapan Hengki tersebut berasal
dari ajaran agama yang dipercayai dan dijadikan sebagai
pedoman hidup. Begitu pula pada episode Tolong Menolong
112
yang membahas tentang perayaan Idhul Adha. Idhul Adha
juga merupakan ajaran dalam agama islam yang hingga kini
dijadikan pedoman dalam perayaannya
Selain kepercayaan, tingkah laku juga merupakan faktor
pembentuk identitas budaya. Mintargo mengatakan bahwa
tingkah laku manusia lebih banyak merupakan hasil dari
kegiatan-kegiatan yang dipelajari daripada yang tidak
dipelajari dan hal tersebut merupakan tradisi. Perilaku manusia
yang dipelajari termasuk kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap
emosi dan semua bentuk aktivitas dan tanggapan-tanggapan
yang didapatkan melalui pengalaman. Tingkah laku
masyarakat Surabaya cenderung Egaliter; menganggap semua
orang memiliki derajat yang sama, Lugas; besifat apa adanya
dan tidak berbelit-belit dalam berbicara, dan spontan;
melakukan sesuatu serta merta, tanpa dipikir atau tanpa
direncanakan terlebih dahulu.
Sikap terbuka juga terlihat pada Episode Tonggo Anyar.
Dalam tayangan tersebut, keluarga Ndoro Bei tidak terima atas
perlakuan tetangga baru dan meminta pertanggungjawaban
secara langsung, meski yang dihadapi adalah tetangga baru
yang belum dikenal secara baik. Dengan mendatanginya
secara langsung, keluarga Ndoro Bei menunjukkan sikap
terbuka terhadap kritik maupun keluhan dari tetangga baru.
Sifat lugas ditunjukkan oleh Probo yang tidak serta merta
percaya kepada Gandhoel dan Coepliz. Ia bahkan terlihat
meragukan informasi yang disampaikan karena begitu
berbelit-belit. Begitu pula dengan Hengki yang cenderung
113
mengkritik Gandhoel dan Coepliz agar tidak menjadi orang
yang membicarakan keburukan orang lain kepada orang lain.
Kritik-kritik tersebut didasari rasa cinta dan semangat untuk
membangun lingkungan bukan untuk merusak tatanan. Sifat
spontan terlihat saat Probo mengucapkan kata ‘dobol’. Kata
tersebut merupakan kata makian yang biasa diucapkan oleh
masyarakat Surabaya. Meskipun kata tersebut cenderung kasar
bagi masyarakat jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Karisedanan Surakarta, namun bagi masyarakat Surabaya
sendiri dianggap sebagai simbol keakraban.
Faktor pembentuk identitas budaya selanjutnya adalah
bahasa. Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi dengan
orang lain juga sebagai alat untuk berpikir. Dalam konteks ini,
bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk
berkomunikasi sekaligus sebagai pedoman untuk melihat
realitas sosial. Bahasa dapat memengaruhi persepsi,
menyalurkan dan membentuk pikiran.13
Selain bahasa Suroboyan yang cenderung kasar bagi
masyarakat jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Karisedanan Surakarta, tayangan Ndoro Bei juga
menampilkan bahasa tradisional jawa seperti tembung entar
dan tembang macapat. Tembung entar merupakan kata kiasan.
Ucapan hengki pada episode Tonggo Anyar megandung
tembung entar. Dalam dialog tersebut Hengki menyampaikan
13
Esti Verulitasari, Agus Cahyono, 2016, Nilai Budaya dalam
Pertunjukan Rapai Geleng mencerminkan Identitas Budaya Aceh, Journal of
Art Education diakses di: http://jurnal.unnes.ac.id/siu/idex.php/chatarsis pada
23 Desember 2019
114
kepada Gandhoel dan Coepliz, jangan menjadi tumbak
cucukan. Tumbak cucukan berarti orang yang mengadu domba
atau menyampaikan keburukan orang lain kepada orang lain.
Pada episode Tolong menolong Probo sempat membacakan
sebait tembang macapat yakni ”Semut Ireng, Anak-anak
Sapi”. Meski tidak sepenuhnya dibacakan tetapi cukup
menunjukkan bahwa bukan hanya bahasa Suroboyoan saja
yang digunakan dalam tayangan Ndoro Bei.
Seperti yang disampaikan oleh Nugroho Widiyatmoko
Produser tayangan Ndoro Bei, bahwa Ndoro Bei bukan hanya
sebagai tayangan komedi, namun juga menampilkan budaya
Jawa Timur, yang mana dalam memberikan tontonan yang
berdasar pada tatanan juga menggunakan tuntunan sehingga
ada estetika di dalam tayangan tersebut. Budaya Arek atau
Budaya Surboyoan terlihat lebih ditunjukkan, mengingat
jangkauan Jawa Timur Media Televisi adalah masyarakat
Surabaya. Meski terdapat bahasa jawa tradisional, bahasa
Suroboyoan tetap menjadi unggulan dalam dialog antar
pelakon.
115
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian penulis mengenai konstruksi
media terhadap identitas budaya Suroboyoan dalam
program Ndoro Bei di Jawa Pos Media Televisi (JTV)
Surabaya, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Makna dan Tanda dari Tayangan Ndoro Bei
Dengan menggunakan teori semiotika Charles Saders
Pierce, makna dalam tayangan ini dapat dilihat dari
kata dialog yang diucapkan, tingkah laku, simbol,
ekspresi dan lain sebagainya.
a. Representamen dalam tayangan Ndoro Bei di Jawa
Pos Media Televisi adalah keadaan masyarakat
Surabaya dan lingkungan yang ditampilkan.
b. Objek dalam tayangan ini adalah sikap dan
perilaku masyarakat Surabaya. Sikap tersebut
ditunjukkan dalam berbagai ekspresi seperti
terbuka, terus terang, spontan dan lugas, bahasa
pengantar yang digunakan juga bahasa sehari-hari
yang biasa digunakan oleh masyarakat Surabaya
pada umumnya
c. Interpretant dalam tayangan Ndoro Bei pelakon
menunjukkan identitas budaya mulai dari peran
116
dan kepribadiannya seperti gestur tubuh, gaya
bicara, dan perilakunya terhadap lingkungan sosial
2. Konstruksi identitas Budaya dalam Tayangan Ndoro
Bei di Jawa Pos Media Televisi
Sesuai dengan penjelasan dari Nugraha
Widyatmoko selaku produser program acara Ndoro
Bei bahwa tayangan ini dimaksudkan sebagai
tayangan yang menampilkan budaya Jawa Timur yang
mana dalam memberikan tontonan berdasar pada
tatanan juga menggunakan tuntunan, sehingga
terdapat estetika yang dapat dipetik. Dengan demikian
tuntunan yang dimaksud merupakan bentuk pikiran
dari penulis cerita, sehingga konstruksi yang terjadi
pada tayangan ini adalah konstruksi radikal.
Pegetahuan dan pengalaman penulis cerita memiliki
peran penting dalam mengonstruksi budaya
Suroboyoan. Konstruksi radikal hanya mengakui apa
yang dibetuk oleh pikiran manusia.
Dengan meggunakan teori konstruksi sosial
penulis menyimpulkan bahwa identitas budaya
Suroboyan dalam Program tayangan Ndoro Bei
ditampilkan melalui tokoh-tokoh sebagai lakon cerita.
Tokoh-tokoh yang berperan menunjukkan identitas
budaya masyarakat Suroboyoan dengan berbagai
tingkah laku dan ekspresi, seperti lugas, spontan dan
terbuka. Bahasa suroboyoan yang khas juga tidak
luput dari dialog.
117
B. Implikasi
Berdasarkan dari hasil peelitian dapat
dikemukakan bahwa implikasi dari penelitian adalah
dorongan untuk menyuarakan identitas budaya yang kini
mulai pudar dalam dunia pertelevisian. Identitas budaya
yang diangkat adalah identitas budaya Suroboyoan atau
budaya Arek. Budaya ini berkembang di daerah Surabaya
dan beberapa daerah sekitar yang sesuai dengan
jangkauan siaran Jawa Pos Media Televisi.
Tayangan ini termasuk tayangan komedi yang
dimaksudkan untuk menghibur pemirsa, namun dalam
tayangan ini juga terdapat nasehat-nasehat yang tersirat
sehingga terdapat pesan yang dapat ditangkap bagi
penontonya.
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan
beberapa saran terkait fakta dan hasil data potongan
adegan dari beberapa episode, antara lain:
1. Sebaiknya Program acara Ndoro Bei dapat
mengangkat identitas kebudayaan lain, khususnya
kebudayaan yang ada di Jawa Timur, mengingat
stasiun Jawa Pos Media Televisi (JTV) memiliki anak
perusahaan di daerah lain.
2. Menambah pemain-pemain baru, khususnya dari
kalangan anak muda, sehingga menambah daya tarik
untuk kalangan pemuda
118
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma
dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat
Jakarta: Prenada Media
Bungin, Burhan. 2011. Konstruksi sosial media massa: kekuatan
pengaruh media massa iklan televisi dan kepuasan
konsumen serta kritik terhadap Peter L. Berger dan
Thomas Luckman. Jakarta: Kencana
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, Makna: Buku Teks Dasar
Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi.
Yogyakarta: Jalasutra
Eriyanto. 2007. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan
Politik Media. Yogyakarta: lkis Yogyakarta
Ibrahim, Idy Subandy. 2011. Kritik Budaya dan Komunikasi;
Budaya, Media dan Gaya Hidup dalam Proses
Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Kisyani. 2004. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan
Blambangan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional
Liliweri, Alo. 2009. Makna Budaya dalam Komuikasi
Antarbudaya. Yogyakarta: lkis Printing Cemerlang
Liliweri, Alo. 2013. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya, di Era Budaya
Siber. Jakarta: Prenada media Group
Nurudin. 2003. Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: Raja
Grafindo Persada
119
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural
Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra
Prabowo, Dhanu Priyo. 2002. Geguritan Tradisional dalam
sastra jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional
Samovar, Larry A. Dkk. 2010. Komuikasi Lintas Budaya.
Jakarta:Salemba Humanika
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sumarno, Marselli. 2005. Dasar-Dasar Apresiasi Film.
Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia
Suparno, Paul. 2001. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Kaisius
Surokim dan Muhtar Wahyudi. 2013. Televisi Lokal;Strategi Jitu
Memenangkan Persaingan dan Merebut Pemirsa TV.
UTM Press: Madura
Tapsell, Ross. 2019. Kuasa Media di Indonesia:Kaum Oligarki,
Warga dan Revolusi Digital. Tangerang Selatan: CV
Marjin Kiri
Wahuni, Hermin Indah. 2013. Kebijakan “Media Baru” di
Indonesia (Harapan, Dinamika dan Capaian
Kebijakan “Media Baru” di Indonesia). Yogakarta:
Gadjah Mada University Press
Warsiman. 2015. Penguatan Identitas Budaya Lokal Jawa
Timur; Mencari Jejak Kearifan Lokal. Malang:UB
Press
Wibowo. 2013 Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi.
Jakarta: Mitra Wacana Media
120
SKRIPSI:
Atirah, Siti, 2015, Konstruksi Media Terhadap Identitas
Muslimah dalam Program Assalamu Alaikum Cantik
Trans TV (Analisis Framing), Universitas Hasanuddin
Makassar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Damayanti, Ika. 2008. Penerapan Unsur-unsur Produk
Jurnalistik dalam Infotainment Universitas Negeri
Sebelas Maret, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fadillah, Siti, 2016, Konstruksi Perempuan dalam Film
Assalamualaikum Beijing Produksi Maxima
Production. Skripsi. Universitas Islam Negeri Jakarta,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Frastyawan, Nyoman. 2014. LKP: Rancang Bangun Sistem
Informasi Bursa Kerja pada PT. Jawa Pos Koran
Surabaya, STIKOM Surabaya, Fakultas Teknologi dan
Informatika
Heris, Alessandra Kusuma, 2017, Tingkat Kesukaan Penonton
Surabaya Mengenai Program Acara “Ndoro Bei” di
Jawa Pos Media Televisi (JTV), Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya,
Putri, Dhea Helyana, 2018, Analisis Kreatif Hiburan Televisi
Lokal dalam Konstruksi Identitas Daerah (Studi
Komparatif pada Riau Televisi dan Riau Channel
Televisi Pekanbaru), Universitas Islam Indonesia,
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya.
JURNAL:
Ahmad, Amar. 2012. Perkembangan Teknologi Komunikasi dan
Informasi: Akar Revolusi dan Berbagai Standarnya.
Jurnal Dakwah Tabligh: Volum 13 Nomor 1
121
Goenawan, Nita Anggraeni dkk. 2016. Perancangan Buku
Ilustrasi tentang Fenomena Budaya Arek Suroboyo.
Jurnal Komunikasi Visual Adiwarna.: Volume 1 Nomor
8
Haryati. 2013.Televisi Lokal dalam Representasi Identitas
Budaya. Jurnal Eksistensi Media Lokal di Era
Konvergensi: Balai Pengkajian dan Pengembangan
Komunikasi dan Informatika Bandung (BPPKI)
Kementerian Komunikasi dan Informatika: Volume 11
Nomor 1
Juditha, Christiana. 2015. Televisi lokal dan Konten Kearifan
lokal (Studi Kasus di Sindo TV Kendari). Jurnal
Penelitian Komunikasi dan Pembangunan: Volume 16
Nomor 1
Rastati, Ranny. 2012. Media dan Identitas: Cultur Imperialism
Jepang melalui Cosplay (Study terhadap cosplayer
yang melakukan crossdress). Jurnal Komunikasi
Indonesia. Universitas Indonesia: Volume 1 Nomor 2
Soedarso, dkk. 2013. Dinamika Multikultural Masyarakat Kota
Surabaya. Jurnal Sosial Humaniora. LPPM Institut
Teknologi Sepuluh November: Volume 6 Nomor 1
Surya, Yuyun W.I, 2008, The Construction of Cultural Identity in
Local Television Station’s Programs in Indonesia.
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik,
Universitas Airlangga Surabaya, Vol. 21 No. 3.
Verulitasari, Esti dan Agus Cahyono, 2016, Nilai Budaya dalam
Pertunjukan Rapai Geleng mencerminkan Identitas
Budaya Aceh, Journal of Art Education. Universitas
Negeri Semarang: Volume 1 Nomor 1
122
Winiasih, Tri. 2010 Pemertahanan Kasar “Basa Suroboyoan”
dalam acara berita Pojok Kampung di Televisi Lkal
JTV: Balai Bahasa Surabaya, Seminar Nasional
Pemertahanan Bahasa Nusantara, Magister Linguistik
PPs UINDIP Semarang
INTERNET:
AJI Malang, Menyikapi Persoalan Infotainment diakses pada 24
April 2020 dari:
https://malang.aji.or.id/2010/07/29/menyikapi-persoalan-
infotainment/
ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) diakses pada 20
Agustus 2019 dari: http://atvli.or.id/
Company Profile Jawa Pos Group diakses pada 15 September
2019 di: https://www.jawapos.co.id/profile/index.php
Company Profile JTV di akses pada: 10 Mei 2019 dari:
https://www.jtv.co.id/profile/index.php
Kominfo Jatim, Jawa Timur Cikal Bakal Lahirnya televisi Lokal
Indonesia diakses pada 9 September 2019 dari:
http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/jawa-timur-
cikal-bakal-lahirnya-televisi-lokal-di-indonesia
Republika, dampak berita hoax diakses pada 27 Desember 2019
di:
http://www.replubika.co.id/berita/trendtek/internet/17/04
/11/oo7uxj359-begini-dampak-berita-hoax
Semut Ireng Anak-anak Sapi, diakses pada 10 Januari 2020 di:
http://www.nu-klaten.or.id/2019/08/semut-ireng-anak-
anak-sapi-dan-kondisi.html?m=1
Tembung Entar, diakses pada 19 Januari 2020 dari:
https://tanahmemerah.wordpress.com/kasastraa/kawruh-
bahasa-jawa/tembung-entar/
123
Tri Nugraha Adi, Media dan Identitas Kultural dalam
Masyarakat Pluralis diakses pada 15 September 2019
di:
https://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/07/med
ia-dan-identitas-kultural-dalam-masyarakat-pluralis/
UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran diakses pada 22 Agustus
2019 dari: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_32_02.htm
124
LAMPIRAN
125
Lampiran 1: Surat Izin Penelitian
126
Lampiran 2: Hasil Wawancara
Hasil Wawancara Pribadi dengan Nugroho Widiatmoko
Produser Program Acara Ndoro Bei
Gedung JTV, Kompleks Graha Pena, Surabaya. Selasa 13
Agustus 2019
1. Apa maksud dan tujuan dibuatnya program Ndoro Bei?
“yang pertama, JTV (Jawa Pos Media Televisi) adalah
Jawa Pos Media Televisi, yang basic nya adalah Televisi lokal
yang menasional. Kalau berbicara lokal otomatis kita
megangkat unsur-unsur yang ada. Unsur itu dari pelbagai
elemen, entertainment, kebudayaan. Kalau bilang entertainmet
dan kebudayaan juga luas. Jadinya apa yang ada di Jawa
Timur kita angkat. Bukan kita angkat tapi lebih kita beri
wadah, otomatis dengan wadah itu terangkat juga, terangkat
berbagai macam kearifan lokal yang mungkin di zaman
sekarang sudah sangat jarang ditemui, kesenian tradisional
yang bersifat tradisional kayaknya ya JTV yang konsisten
untuk terus mengangkat kebudayaan lokal
2. Siapa target audiens dari Program Ndoro Bei?
Target audiens sebenernya,(karena) Ndoro Bei itukan
komedi ya, jadi tidak dibatasi umur sekian ke atas atau umur
sekian ke bawah, karena komedi ya begitu. Ending sudah pasti
intertaint, kearifan lokal tetap diangkat, nilai-nilai kalau dalam
bahasa jawa kan ada namanya tata krama, tuba sita, kayak gitu
127
ya karena bentuk pengangkatannya kan dalam sebuah alur
cerita seperti itu
3. Apa keunggulan Program Ndoro Bei dibanding Program lain?
Gak ada keunggulan dalam JTV, semua baik, esensinya
adalah memberikan, perbedaaanya mungkin genre saja. Kalau
stasiun dangdut semua orang pasti pernah denger dangdut dan
sebagainya, kalau Ndoro Bei tidak semua orang megerti dan
paham kayak sindennya seperti itu, ya gak papa, kita
memberikan tontonan yang original Kultur budaya Jawa
Timur di mana setiap kita berbicara tentang kultur budaya, kita
memberikan tontonan yang berdasar pada tatanan juga
meggunakan tuntunan, jadi ada estetika di situ,
4. Apakah program Ndoro Bei menjadi program dengan rating
dan share tertinggi di antara program lain?
Kebetulan kalau Ndoro Bei tayangnya seminggu dua kali,
tidak seperti pojok kampung yang setiap hari, jadi kalau
ngomongin rating dan share masih kalah, otomatis berjarak
agak jauh dengan program stasiun dangdut dan juga pojok
kampung yang mereka tayang setiap hari. Akan tetapi program
Ndoro Bei (memiliki) rating dan share relatif stabil. menurut
analisis AC Nielsen tidak pernah menurun drastis, tidak ada,
beda kalau stasiun dangdut yang kadang rating pertama ketika
jihan audi, sera, mereka kan punya audiens sendiri, itukan
salah satu faktor yang membuat rating tinggi dan itu kan tidak
setiap hari ada.
5. Bagaimana struktur pelaksana dari Program Ndoro Bei?
128
Itu namanya kerabat kerja, itu buanyak, tapi kalau spesifik
di Ndara Bei, itu ada Produser, Aspro (asisten produser),
mereka akan diskusi tentang apa yang akan dikerjakan, tema-
tema apa yang akan diambil. Di situ ada PD (Program
Diretur), FD(Floor Directur), cameraman, audioman, trus juga
lightingman, make up, semua itu kan nama-nama divisi yang
saling berhubungan, kalau gak ada salah satu ya gak
terlaksana, dekorasi, artistik, tehnik yang berhuungan kamera,
switcher, vuc.
6. Bagaimana proses penentuan tema atau topik tiap episode?
Dan siapa sajakah yang terlibat?
Banyak, yang paling simple adalah kita ngikutin hari-hari
besar. setiap bulan kan ada hari-hari tertentu atau hari besar,
kayak keangkita nasional, trus juga 17 Agustus kan juga ada,
hari ibu gitu, itu kita jadikan tema dari program Ndoro Bei,
terlepas dari itu juga kadang juga diskusi tentang apa yang
sedang viral, sedikit-sedikit kita ngikutin perkembangan saja,
sekarang kan media-media, media sosmed lebih canggih dan
lebih cepat, ada tim juga utuk riset kira-kira apa tema yang
akan kita ambil. Semua tim berdiskusi.
7. Apakah tema yang diangkat berfokus pada budaya
Suroboyoan?
Gak juga, Surabaya yang diangkat pada tema, memang
sedikit banyak Surabaya sering kita bawakan di Ndoro bei,
orang-orang yang kebetulan banyak yang di Surabaya, tidak
menutup kemungkinan, itu teknis saja. Tidak menutup
129
kemugkinan Ndoro Bei bisa mengangkat daerah lain buka
hanya temana tapi juga pemainya, (juga) lokasinya
Lampiran 3: Dokumentasi
Top Related