Konsep suhu-waktu/waktu fisiologis pada hewan ektotermi
Konsep suhu-waktu
Konsep suhu-waktu merupakan faktor terpenting penentu pertumbuhan serta
perkembangan suatu organisme. Waktu merupakan batasan suatu organisme untuk dapat
menyesuaikan diri terhadap keadaan tertentu. Sedangkan suhu merupakan keseimbangan
yang diperoleh dari dalam tubuh atau dari luar lingkungan yang berguna untuk menghadapi
cuaca. Korelasi keduanya sangat berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang suatu
organisme, organisme yang termasuk dalam konsep waktu suhu ini adalah hewan poikiloterm
(ektotermi)
Hewan poikiloterm termasuk hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu
lingkungan dari luar, karena suhu bagian dalam lebih tinggi dari pada suhu bagian luar
tubuhnya. Pengertian terhadap suatu organisme suhu juga dapat digunakan sebagai parameter
yang menggambarkan derajat panas suatu benda. Semakin tinggi panas suatu benda, maka
semakin tinggi pula suhunya. Begitu pula sebaliknya, panas yang dipancarkan atau
dirambatkan oleh suatu benda merupakan bentuk energi yang dibebaskan oleh benda melalui
proses transformasi energi. Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang diperlukan oleh
tubuh makhluk hidup yang berfungsi membantu proses metabolisme dalam tubuh.
Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan
poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Dalam suatu
kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan
linier. Hewan poikiloterm lama waktu perkembangan akan berbeda pada suhu lingkungan
yang berbeda. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan kisaran suhu
proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada hewan poikiloterm, waktu merupakan
fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang sering dinamakan waktu
fisiologis itu mempunyai arti penting . sebagai contoh, suhu ambang terjadi perkembangan
sejenis belalang adalah 16⁰C lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur hingga
menetas 17,5 hari, maka jika pada suhu 30⁰C maka lama waktu untuk menetas hanya 5 hari.
Pada kasus ulat bulu didaerah probolinggo yang menyerang tanaman mangga, suhu
yang berada daerah tersebut memungkinkan hewan tersebut mampu hidup dan beradaptasi.
Karena suhu ambang pada hewan ulat bulu itu sama dengan belalang, maka dari itu ulat bulu
tersebut mampu hidup dan menyerang tanaman tersebut. Tetapi pada dasarnya para petani
sulit untuk melenyapkan ulat bulu tersebut meskipun sudah dilakukan tindakan, seperti
menyemprot hama dengan menggunakan peptisida. Karena jumlah populasi hewan tersebut
sangat banyak maka sulit sekali untuk di berantas hama tersebut. Hal ini juga dapat
disebabkan hilangnya predator seperti burung, kelelawar dan sebagainya yang biasanya dapat
membantu para petani untuk memberantas ulat bulu tersebut. Jadi jika waktu dan suhu itu
berada pada suhu ambang, maka bisa terjadi populasi ulat bulu tersebut meledak, karena ulat
bulu mampu memperbanyak keturunannya pada suhu yang memungkinkan.
Konsep waktu –suhu ini penting artinya untuk memahami hubungan antara waktu
dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep waktu-suhu ini
kita mampu mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi, mungkin
saja tiap tahun peledakan populasi akan terjadi dan dengan konsep waktu-suhu setidaknya
ada tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti dengan memberantas,
karena hewan ini merupakan hama dalam pertanian. Dan untuk memberantas hama tersebut
harus cepat karena memberantas telur dan pupa berbeda dengan memberantas hewan
dewasanya atau dengan kata lain konsep waktu-suhu ini sangan penting dalam pengendalian
hama bagi petani.
Pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm atau poikiloterm mengikuti suatu
pola yang tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies yang lain. Pada intinya ada
tiga kisaran suhu yang menarik yaitu:
1. Suhu rendah berbahaya, pada suhu yang ekstrim rendah di bawah batas ambang
toleransinya maka hewan ektoterm atau poikiloterm akan mati. Hal ini disebabkan
enzim-enzim tidak aktif bekerja sehingga metabolismenya berhenti. Pada suhu yang
masih lebih rendah dari suhu optimum, laju metabolismenya dan segala aktivitasnya
rendah. Sebagai akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lambat sehingga
memudahkan predator atau pemangsa untuk menangkapnya.
2. Suhu tinggi berbahaya, suhu tinggi akan mendenaturasikan protein yang juga
menyusun enzim, dengan adanya denaturasi protein ini menyebabkan metabolism
dalam tubuh akan terhambat dan menyebabkan aktivitas dari hewan tersebut akan
terhenti.
3. Suhu di antara keduanya, pada suhu antara ini laju metabolism dari hewan ektoterm
akan meningkat dengan makin naiknya suhu secara eksponensial. Hal ini
dinyatakan dengan fisiologi hewan sebagai “koefisien suhu”, “koefisien suhu” pada
tiap hewan ektoterm relatif sama walaupun ada yang sedikit berbeda.
Tidak seperti pada manusia serta pada hewan endotermal pada umumnya, maka hewan-
hewan ektotermal tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Hewan
ektotermal perlu gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-
fisiologis. Dapat dikatakan pula bahwa waktu adalah fungsi suhu untuk hewan ektotermal
dan waktu dapat “berhenti” jika suhu turun di bawah harga ambang. Dalam artian bahwa
untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangannya akan berbeda-beda pada suhu
lingkungan yang berbeda-beda.
Sebagai salah satu faktor lingkungan yang utama, suhu memberikan efek yang berbeda-
beda pada organisme di bumi ini. Variasi suhu lingkungan alami mempunyai efek dan
peranan potensial dalam menentukan terjadinya proses kehidupan, penyebaran serta
kelimpahan organisme tersebut. Variasi suhu lingkungan dapat ditinjau dari berbagai segi,
yaitu dari sifat sikliknya (harian, musiman), dari kaitannya dengan letak tempatnya di garis
lintang bumi (latidunal) atau ketinggian diatas permukaan laut (altitudinal) dan kedalaman
(perairan tawar, lautan, tanah). Disamping itu juga dikenal variasi suhu alami dalam sifat
kaitan yang lebih akrab dengan organisme (mikroklimatik).
Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap
hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan
pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju
perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula bahwa penyimpangan dari
linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang
bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear. Seringkali
secara sederhana dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di
atas ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan
memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu
dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologis. Pentingnya konsep
waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang
waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan
poikiloterm. Malahan sesungguhnya kebanyakkan spesies dan kebanyakkan aktivitas hanya
terbatas di kisaran suhu yang lebih sempit. Beberapa makhluk hidup terutama yang sedang di
dalam tingkat istirahat, mampu ada dalam suhu sangat rendah dalam waktu yang singkat,
sedangkan beberapa mikroorganisme, terutama bakteri, alga, dapat hidup dan berreproduksi
di dalam air panas yang suhunya mendekati suhu air mendidih.
Apabila dalam suhu rendah, hewan poikiloterm mungkin berubah menjadi tidak aktif,
atau bersifat tidur, atau dalam keadaan sedang hibernasi. Umumnya hewan poikiloterm
menggunakan periode penangguhan di dalam keadaan dormansi, yaitu keadaan secara nisbi
tidak aktif untuk menghemat energy, dan energi tersebut yang dapat dipergunakan dalam
waktu penangguhan berikutnya. Dari keadaan tersebut hewan poikiloterm dapat berfungsi
kembali bilamana suhu meningkat di atas harga ambang. Adapun harga ambang adalah
kuantitas faktor minimum yang menghasilkan pengaruh yang dapat dirasakan oleh hewan
tersebut.
Untuk pertumbuhannya, hewan ektothermal memerlukan kombinasi antara faktor
waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal tidak dapat tumbuh dan berkembang
bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu yang
cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, hewan ektothermal memerlukan suhu
lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan
untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya. Adanya keterkaitan antara suhu
lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan ektothermal disebut sebagai
konsep waktu suhu atau waktu fisiologis.
Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu
tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada
proses fisiologi serangga. Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu
yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu
minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum
kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum
batas umur akan sedikit.
Ketika serangga dewasa yang sedang memencar menemukan lokasi habitat umum
serangga inang. Pada langkah permulaan ini rangsangan yang menarik bukan dari tanaman
tetapi rangsangan fisik yang berupa cahaya, suhu, kebasahan, angin, atau juga gravitasi.
Langkah kedua, faktor penarik yang menolong adalah warna, ukuran dan bentuk tanaman.
Begitu serangga telah menemukan inangnya rangsangan tanaman jarak pendek yang
mendorong serangga menjadi menetap pada tanaman tersebut. Langkah ketiga, serangga
mencoba mencicipi (respon kimiawi) dan meraba-raba (respon fisik) tanaman untuk
mengetahui kesesuaiannya untuk mengetahui kesesuaiannya sebagai pakan. Apabila ternyata
tanaman tersebut sesuai, serangga akan merusak makannya karena rangsanagan berbagai
senyawa kimiawi tanaman yang sesuai. Langkah keempat, penerimaan inang (Untung, 2006)
Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk
memberi pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu dan tentang dinamika populasi hewan
ektoterm. Dengan mengetahui waktu-suhu dari hama yang berasal dari hewan poikilotermi
misalnya serangga maka dapat diramalkan berapa lama hama tersebut berkembang, mulai
dari telur samapai dewasa sehingga dapat dilakukan langkah-langkah pemusnahan ataupun
pengendalian hama tersebut.
Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan
poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Dalam suatu
kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terhadapat
hubungan linier. Hewan poikiloterm lama waktu perkembangan akan berbeda pada suhu
lingkungan yang berbeda. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan
kisaran suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada hewan poikiloterm, waktu
merupakan fungsi dari suhu lingkungan
Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya
hewan disebut sebagai konsep waktu suhu atau waktu fisiologis. Waktu fisiologis
berpengaruh terhadap kasus meledaknya populasi ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga
di Probolinggo tahun 2010. Pada kasus tersebut, suhu lingkungan sangat baik untuk
perkembangan telur ulat bulu. Suhu minimum penetasan telur ulat adalah 13˚C dan suhu
maksimum penetasan ulat bulu adalah 38˚C. Hujan yang diselingi dengan panas menjadikan
suhu lingkungan hangat dan stabil, sehingga telur ulat bulu lebih cepat menetas dibandingkan
suhu hari-hari biasanya. Semakin cepatnya waktu menetasan telur ulat bulu yang diatas
normal, maka dapat menyebabkan meledaknya populasi ulat bulu.
Ulat bulu adalah perubahan ekosistem yang ekstrem pada agroekosistem mangga.
Perubahan tersebut dipicu oleh beberapa hal, yakni musim hujan yang panjang pada tahun
2010−2011 yang menyebabkan kenaikan kelembapan udara. Suhu yang berfluktuasi
berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu. Abu vulkanik
akibat letusan Gunung Bromo, penanaman hanya satu varietas mangga, peralihan fungsi
hutan menjadi hutan produksi, dan penggunaan input kimia seperti pestisida dan pupuk ikut
menjadi pemicu ledakan populasi ulat bulu. Tanaman mangga sebetulnya membutuhkan
kehadiran serangga herbivora untuk meningkatkan suhu mikro untuk pertumbuhan tunas baru
dan merangsang pembungaan. Daun-daun tanaman mangga yang dimakan serangga akan
meningkatkan suhu mikro. A.submarginata adalah serangga herbivora yang semula hanya
dikenal sebagai hama daun teh. Namun, pada tingkat populasi yang tinggi pada tanaman
mangga, statusnya berubah menjadi serangga hama. Di luar proses jalur migrasinya ke
agroekosistem pertanaman mangga, peningkatan populasi ulat bulu diduga juga didukung
oleh letupan abu vulkanik Gunung Bromo yang mengakibatkan penurunan keanekaragaman
hayati, termasuk artropoda kompetitor dan musuh alaminya (predator, parasitoid, patogen
serangga).
Pada hakikatnya, salah satu faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi kehidupan
hewan poikiloterm adalah suhu, dan proses keberlangsungan suhu lingkungan akan berjalan
dalam kurun waktu yang sesuai dengan siklus periodenya. Suhu lingkungan memberikan
pengaruh yang berbeda-beda terhadap individu hewan. Variasi suhu lingkungan alami dan
dampak yang ditimbulkannya memberikan peranan potensial dalam penentuan proses
kehidupan, penyebaran serta kelimpahan populasi hewan poikiloterm. Oleh sebab itu, faktor
waktu-suhu akan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan hewan poikiloterm
(Sukarsono,2008).
Pada dasarnya konsep waktu-suhu sangat penting, dalam artian untuk memahami
hubungan antara waktu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Adanya pengetahuan
akan konsep waktu dan suhu ini, kita mampu untuk mengetahui atau memprediksi kapan
akan terjadinya peledakan populasi hewan-hewan poikiloterm, baik itu satu bulan sekali
bahkan hingga satu tahun sekali peledakan populasi. Oleh karena itu, dengan adanya prediksi
peledakan populasi, maka kita dapat mengantisipasi peledakan tersebut dengan aplikasi
pengendalian, baik itu secara mekanik maupun fisik.
Tahun 2011, indonesia juga dikejutkan oleh wabah ulat bulu yang melanda daerah
Probolinggo, Jawa Timur. Pada saat itu, jenis ulat bulu yang menyerang termasuk jenis baru
yang belum pernah dijumpai. Menurut guru besar ilmu hama tanaman IPB, Annu Rauf
mengungkapkan bahwa, ulat bulu yang berkembang biak di probolinggo ini merupakan ulat
bulu Lymantria marginanta. Ciri-ciri ulat bulu Lymantria marginanta yaitu ukuran tubuhnya
kecil dan bulu di kepala menjorok ke atas sebanyak satu buah. Ulat bulu jenis ini dapat
mengakibatkan gatal-gatal pada kulit, bagi orang yang alergi. Ulat jenis ini pada umumnya
menyerang pohon mangga, yang dapat mengakibatkan mangga tidak berbuah.
Berdasarkan kasus peledakan populasi ulat bulu tersebut, menimbulkan beberapa penafsiran
akan penyebab terjadinya peledakan populasi yaitu:
a. Menurut Gubernur Jawa Timur, H. Soekarwo (2011)
Adanya fenomena ulat bulu di Probolinggo dikarenakan oleh faktor cuaca. Cuaca hujan yang
selama ini cukup tinggi membuat daun di sekitar pohon mangga membusuk dan
mengakibatkan munculnya organisme baru, seperti larva ulat bulu.
b. Menurut Ketua Unit Rumah Sakit Hewan dan Pendidikan Stail, Liang Kaspe (2011)
Wabah ulat bulu ini terjadi karena tidak adanya keseimbangan ekosistem dalam rantai
makanan di wilayah Probolinggo, seperti populasi burung pemakan ulat yang jumlahnya
berkurang. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya burung yang di tangkap dan di tembak dan
semut keranggang yang masih berupa kroto (telur) sudah di ambil warga untuk dijual,
sehingga tidak keseimbangan ekosistem dalam rantai makanan ini membuat populasi ulat
bulu terus meningkat.
c. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian
kementrian Pertanian, Haryono (2011)
Penyebab meningkatnya populasi ulat bulu karena perubahan ekosistem baik di lingkungan
abiotik dan biotik. Adapun faktor hayati yaitu, disebabkan kurangnya pemangsa alami seperti
burung, kelelawar, dan semut rangrang dan parasitoid. Kemudian faktor nonhayati berupa
perubahan iklim global yang menyebabkan perubahan suhu dan kelembapan udara, sebab
semua makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan alam
yang terjadi.
d. Menurut Peneliti serangga Bidang Parasit LIPI, Rosichon Ubaidillah (2011)
Dalam teori entomologi, disebutkan bahwa dinamika populasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu abiotik dan biotik. Faktor biotik adalah adanya musuh alam dari ulat bulu yaitu
berupa predator, parasit dan patogen atau agen biologis yang menyebabkan penyakit pada
inangnya. Sedangkan faktor abiotik adalah musuh yang bukan berasal dari alam.
Adapun keterkaitan pengaruh faktor suhu-waktu terhadap kasus peledakan populasi ulat bulu
di daerah Probolinggo ini terlihat nyata, sebab dari paparan pernyataan beberapa para ahli
diatas, disebutkan bahwa faktor suhu dan waktu juga ikut berperan dalam peledakan populasi.
Selain itu, konsep faktor suhu-waktu juga dapat dilihat secara nyata sebagai pengendali hama
pertanian (belalang) yaitu :
Berdasarkan keterangan tabel diatas dapat dilihat bahwa, jika dalam suatu populasi larva
yang akan mengalami suatu metamorfosis menjadi serangga (belalang), ditetapkan bahwa
suhu maksimal tingkat perkembangbiakan larvanya adalah 30 ̊c, maka apabila serangga
tersebut berada pada lingkungan yang memiliki suhu diatas 30̊c dan mencapai suhu 60 ̊c
maka mengakibatkan larva mati. Hal ini dikarenakan bahwa larva tidak mendapatkan
suplement protein yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sebab protein pada
suhu 60 ̊c akan mengalami denaturasi atau rusak. Oleh karena itu, dengan mengetahui konsep
waktu dan suhu akan tingkat peledakan populasi serangga (belalang) sebagai salah satu jenis
hama pertanian (padi) maka kita dapat mengantisipasi kemungkinan adanya peledakan
tersebut dengan cara pengendalian hama secara fisik maupun mekanik. Adapun pengendalian
hama secara mekanik dapat dilakukan langsung dengan tangan, kemudian pengendalian
secara fisik yaitu dengan menggunakan alat seperti pada metode cuplikan kuadrat (fill trap
dan fall trap), dengan menggunakan pasak dengan ukuran (12 cm x 12 cm) atau bisa lebih,
kemudian pasak tersebut di bentuk seperti rumah-rumahan kecil, lalu dibawah pasak atau
rumah-rumahan kecil tersebut ditanam aqua gelas yang berisi laturan detergen atau air
mineral sebagai jebakan untuk serangga.
FAKTOR
SUHU PERTUMBUHAN
LARVA
WAKTU PERKEMBANGAN
LARVA
60 ̊c Mati
30 ̊c 1 ekor
25 ̊c 5 ekor
20 ̊c 10 ekor
15 ̊c 16 ekor
10 ̊c 20 ekor
Populasi ulat bulu biasanya akan mengalami peningkatan pada musim-musim pancaroba menjelang datangnya musim kemarau. Meskipun mengalami peningkatan tetapi populasinya biasanya masih dalam taraf ‘wajar’. Lalu apa yang menjadi penyebab ulat bulu itu mewabah seperti sekarang?.
Sedangkan populasi ulat bulu yang menggila dan jadi wabah di sejumlah daerah di Indonesia saat ini dimungkinkan oleh beberapa sebab.
Penyebab pertama adalah faktor meningkatnya temperatur lingkungan akibat perubahan cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat bulu yang semula membutuhkan waktu 4-7 minggu menjadi kurang dari 4 minggu. Siklus hidup ulat berawal dari telur, kepompong, menjadi ulat bulu dan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Tingkat kelembapan yang tinggi juga mengakibatkan sejumlah parasit yang menjadi predator alami ulat bulu tidak mampu bertahan hidup dan mengontrol populasi ulat bulu.
Penyebab kedua adalah terganggunya keseimbangan alam akibat semakin berkurangnya predator ulat bulu. Predator alami ulat bulu di antaranya adalah beberapa jenis burungseperti kutilang, perenjak (famili Cisticolidae dan Sylviidae) dan jalak, kelelawar dan serangga lainnya. Juga sejumlah parasitoid yang menyerang kepompong ulat bulu.
Penyebab lainnya, yang juga menjadi penyebab tidak langsung menggilanya wabah ulat bulu adalah pembudidayaan jenis pohon yang semakin homogen atau seragam. Padahal keanekaragaman jenis tanaman dan pergiliran pola tanam sangat berperan dalam menjaga rantai makanan sehingga predator hama pengganggu tanaman tetap hidup dan mampu membasmi hama pengganggu tanaman secara alami.
Dan kini akibat keseimbangan alam yang terganggu, sang ulat bulu sebagai salah satu fase metamorfosis ngengat menjadi wabah menggila yang menebarkan ancaman di sejumlah daerah di Indonesia.