Download - Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

Transcript
Page 1: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

1 | P a g e 1  

KONSEP GERAKAN PEMERINTAHAN, SOSIAL DAN HUKUM DALAM UPAYA PENYELAMATAN LINGKUNGAN INDONESIA

Oleh: Subagyo

(Surabaya, April 2011)

ABSTRAK

Lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia disebabkan oleh keberpihakan penegak hukum kepada kepentingan kapital dan kurang responsif terhadap problem keadilan sosial. Dibutuhkan penanaman paradigma dan penyusunan agenda upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup terkait masa depan generasi penerus Indonesia. Konsepnya adalah “eco-government, eco-society and eco-law action based on eco-law system (gerakan pemerintahan, sosial dan hukum berdasarkan sistem hukum lingkungan), di mana respon, kekuatan dan kesadaran masyarakat merupakan cara alternatif dalam penegakan hukum lingkungan.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Sejarah kerusakan ekologi dunia dapat dibaca dari fenomena hujan asam pernah

terjadi di Manchester, Inggris, kota penting dalam Revolusi Industri. Pada tahun 1852,

Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara.

Pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak melakukan penelitian

mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat

meningkat di tahun 1990-an setelah di New York Times memuat laporan dari Hubbard

Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan

lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.1

Prof. David Orr dari Oberlin College menyampaikan bahwa jumlah sperma para

lelaki di dunia menurun 50 persen sejak tahun 1938, air susu perempuan sering

mengandung lebih banyak racun dibandingkan yang diizinkan dalam susu yang dijual

perusahaan susu. Toksin yang menular saat kehamilan mempengaruhi kekebalan bayi

                                                       1 http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan_asam 

Page 2: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

2 | P a g e 2  

yang tak berdosa. Hampir 80 persen hutan Eropa rusak karena hujan asam.2 Kita dapat

menyebut fenomena itu sebagai akibat kekejaman terhadap ekologi, suatu perlakuan

yang tidak adil kepada alam, karena mengotorinya dengan dalih kepentingan ekonomi.

Indonesia juga mempunyai problem ekologi yang cukup berat. Laju kerusakan

hutan mencapai 1,1 juta hektar pertahun berdasarkan data pemerintah tahun 2009.

Menteri Kehutanan menyatakan penyebabnya adalah banyak kawasan hutan yang telah

beralih menjadi pertambangan dan perkebunan. Dampaknya juga pada percepatan

pemanasan global (global warming).3

Dampak buruk global warming dan pertambangan sudah dirasakan. Tahun 2007

Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian

Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Syamsul Maarif, mengatakan bahwa kenaikan air laut

di Indonesia mencapai sekitar 0,5 sentimeter per tahun atau 10 sentimeter dalam 20

tahun. Prof. Syamsul menunjukkan data, Indonesia semula memiliki 17.504 pulau, kini

tinggal 17.480 pulau, karena tenggelam akibat naiknya air laut dan penambangan yang

menyebabkan permukaan pulau makin rendah. Prof. Syamsul tidak bicara peran

pemerintah, tapi dia berharap peran masyarakat dengan pernyataan, "Karena itu, seluruh

penghuni pulau kecil harus sadar bagaimana mengelola pulaunya."4

Berbagai aktivitas yang melanggar kaidah hukum lingkungan selama ini tidak

memperoleh penyelesaian yang baik. Tragedi semburan lumpur Lapindo merupakan

sebuah contoh pelanggaran hukum administrasi negara dengan cara pemberian izin yang

melanggar hukum tata ruang dan jarak pengeboran dengan sarana umum serta

pemukiman penduduk. Terjadi pelanggaran aspek-aspek teknik dalam pelaksanaan

pengeboran sehingga mengakibatkan kecelakaan yang berujung pada semburan lumpur

panas yang menghancurkan belasan desa/kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan

Porong, Tanggulangin dan Jabon di Sidoarjo Jawa Timur.5

Perkara pidana kasus lumpur Lapindo dihentikan Kepolisian RI. Gugatan

YLBHI dan WALHI juga gagal. Putusan pengadilan menyatakan semburan lumpur

                                                       2 Daniel C. Maguire, Energi Suci (terj. Ali Noer Zaman), Pohon Sukma, Yogyakarta, 2004, hal. 8‐

9. 3 Edan! 1,1 Juta Hektar, Laju Kerusakan Hutan Indonesia, Kompas, 27 Nopember 2009. 4 Perubahan Iklim Dunia ‐  Masa Depan Pulau Kecil, Kiamat Kecil Negara Kepulauan, Gatra Edisi 

Khusus Beredar Kamis, 22 November 2007. 5Laporan  pemeriksaan  Badan  Pemeriksa  Keuangan  (BPK)  dalam masalah  semburan  lumpur 

panas Sidoarjo, tertanggal 29 Mei 2007.  

Page 3: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

3 | P a g e 3  

Lapindo disebabkan gempa Yogyakarta, berdasarkan pendapat empat ahli yang diajukan

pihak Lapindo Brantas Inc. Kasus ini juga menimbulkan tanda tanya besar, termasuk

dalam perspektif hukum acaranya sebab menggunakan keterangan ahli sebagai alat

bukti dalam hukum acara perdata adalah melanggar standard pembuktian menurut pasal

1886 KUHPerdata dan pasal 164 HIR. Hakim malah mengabaikan Laporan Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) tanggal 29 Mei 2007 dalam kasus Lapindo yang mestinya

merupakan alat bukti akta otentik.6

Sedangkan dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, hakim Pengadilan Negeri

Manado Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mnd juga membebaskan para terdakwa dari

Newmont Minahasa Raya. Hakim berpendapat bahwa bahwa asas subsidiaritas harus

diterapkan. Hakim juga menyatakan tidak terbukti bahwa Teluk Buyat tercemar,

berdasarkan alat bukti hasil riset CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial

Research Organization), WHO (World Health Organization) dan National Institute for

Minamata Disease (NIMD) yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004.7

Namun, The New York Times membeberkan informasi bersumber dari Mr.

Moran seorang ahli di Amerika Serikat, bahwa studi CSIRO yang dibiayai Newmont

telah menemukan kandungan konsentrasi merkuri dalam sedimen dekat dua area

pembuangan limbah sebesar 446 dan 678 parts per million. Sedangkan survei WHO,

menurut Dr. Jan Speets seorang penasihat teknis WHO, merupakan studi yang sangat

dangkal dan tidak menggunakan cara yang ilmiah untuk menentukan penyebab

penyakit-penyakit di desa Buyat Pante atau apakah teluk Buyat tercemar. Ia berkata

bahwa studi yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan.8

Hal senada disampaikan oleh Mineral Policy Institute, Australia yang

menyatakan bahwa temuan-temuan CSIRO sesungguhnya menunjukkan bahwa sedimen

di dasar Teluk Buyat telah terkontaminasi oleh limbah tambang (tailing) dengan

kandungan arsen yang mencapai 10 sampai 20 kali lipat lebih tinggi dari acuan sedimen

dasar laut Australia/Selandia Baru serta acuan ambang batas yang mungkin

                                                       6 Subagyo, Lumpur lapindo dan Hukum Usang, opini, Kompas, 31 Mei 2010. 7Unofficial  Transcript  of  the  Ruling  Read  Out  in  Manado  Court  on  24‐April‐2007,  dari 

Richardness.org,   dan Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan  Indonesia, Sinar Grafika,  Jakarta, 2009, hal. 133‐137.  

8 Jane  Perlez,  Report Heightens  Pollution Dispute  at  Indonesian  Bay,    berita,  The New  York Times, 9 Nopember 2004.

Page 4: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

4 | P a g e 4  

menimbulkan dampak beracun (Probable toxic Effects Level) yang diterapkan oleh

Amerika Serikat dan Kanada.9

Karena adanya kontroversi hasil-hasil riset tersebut, pemerintah Indonesia

membentuk Tim Terpadu. Hasil penelitian Tim Teknis (yang menjadi bagian Tim

Terpadu tersebut) menyimpulkan ada pelanggaran hukum perizinan yang dilakukan

Newmont terkait ketiadaan izin pembuangan limbah tailing yang merupakan bahan

berbahaya dan beracun (B3) dan menyimpulkan pencemaran Teluk Buyat disebabkan

perbuatan Newmont.10 Berdasarkan hasil kerja penelitian Tim tersebut maka tanggal 24

Nopember 2004 Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Lingkungan Hidup

secara resmi mengumumkan bahwa Teluk Buyat telah tercemar.11

Kita dapat melihat betapa ambigunya watak pemerintahan Indonesia. Di sisi lain

mereka menunjukkan keprihatinan terhadap problem ekologi yang kian berat, tapi di

tempat lain mereka leluasa memberikan izin-izin eksploitasi dengan cara-cara

melanggar kaidah administrasi negara, membuka akses terjadinya kejahatan ekologi.

Kementerian Lingkungan Hidup juga merasa prihatin, dalam siaran persnya

tanggal 16 Desember 2010 yang menyatakan:

Selama penerapan UU Nomor 23 Tahun 1997 hingga saat ini, masih banyak pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat memenuhi rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d 2010 yang sampai disidangkan di pengadilan, hakim memutuskan 5 kasus vonis penjara, 14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan.12

Lemahnya upaya preventif (dari aspek administrasi negara) dan buruknya

penanganan kasus-kasus lingkungan hidup tersebut memberikan gambaran bahwa

pemerintahan Indonesia, terutama kekuasaan eksekutif dan yudisiilnya (yudikatif)

masih belum responsif terhadap kondisi ekologis dan tidak berpikir secara futuristik.

Tentu ini sebuah fenomena pemerintahan yang ketinggalan zaman.

                                                       9Critique  of  the  'Buyat  Bay'  CSIRO  Environmental  Monitoring  study  commissioned  by  PT 

Newmont Minahasa Raya (2004), Mineral Policy Institute, 31 Oktober 2004.  10Hasil  Studi  Aspek  Hukum  Kasus  Pencemaran/Perusakan  Teluk  Buyat,  Tim  Teknis  dari  Tim 

Penanganan  Kasus  Pencemaran  dan  Perusakan  Lingkungan  Hidup  di  Desa  Buyat  Pante  dan  Desa Ratatotok Timur Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Jakarta, 8 Nopember 2004. 

11Rahman  Dako,  Perlawanan  Sosial  atas  Pertambangan  di  Sulawesi  Utara  –  Memahami Peranan LSM, Jurnal “Tanah Air” WALHI, Edisi Oktober‐Desember 2009, hal. 165.  

12 Siaran Pers: Rakornas Penegakan Hukum Lingkungan 2010, 6 Desember 2010, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, www.menlh.go.id. 

Page 5: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

5 | P a g e 5  

Efektivitas hukum lingkungan masih belum dapat diandalkan. Masa depan nasib

lingkungan hidup Indonesia kian terancam. Nasib generasi masa depan dipertaruhkan.

Ketika sumber daya alam kelak kian habis dan langka, diikuti dengan persoalan

lingkungan yang mengikutinya, negara ini akan mengalami kemunduran dan generasi

Indonesia di masa depan akan menjadi korban.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah sebagai

berikut:

a. Bagaimanakah sesungguhnya sistem hukum lingkungan hidup Indonesia?

b. Bagaimanakah paradigma dan agenda implementasi sistem hukum lingkungan hidup

untuk menyelamatkan Indonesia di masa depan?

SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

1. Sistem Hukum Indonesia

Sebelum membicarakan sistem hukum lingkungan Indonesia, kita harus

memahami dulu sistem hukum Indonesia, sebab sistem hukum lingkungan merupakan

bagian dari sistem hukum Indonesia secara utuh. Hukum lingkungan merupakan salah

satu bidang hukum yang khusus, tetapi hukum lingkungan bukan merupakan kamar

hukum yang eksklusif dan tertutup dengan tembok dari bidang-bidang hukum lainnya,

apalagi dari induknya yang bernama Hukum Indonesia.

Hans Kelsen menyatakan bahwa tatanan hukum terdiri dari sistem norma umum

dan individul yang terkait sedemikian rupa sehingga penciptaan dari setiap norma

sistem ini ditentukan oleh yang lain dan pada akhirnya ditentukan oleh norma dasar.

Kelsen juga menyatakan bahwa tidak tepat jika kita membedakan antara tindakan

penciptaan hukum dengan penerapan hukum.13 Dengan demikian, dalam suatu sistem

hukum harus ada kesatuan prinsip yang tak boleh bertentangan satu sama lain, yang

didasarkan pada norma dasarnya. Sedangkan penerapan hukum juga dianggap sebagai

                                                       13  Hans  Kelsen,  Teori  Hukum  Murni  –  Dasar‐dasar  Ilmu  Hukum  Normatif  (terj.  Raisul 

Muttaqien), Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2007, hal. 257‐258. 

Page 6: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

6 | P a g e 6  

kegiatan penciptaan hukum karena akan menghasilkan norma individual (putusan yang

mengikat pihak-pihak yang diadili).

Bellefroid mendefinisikan sistem hukum sebagai suatu rangkaian kesatuan

peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya.14

Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa dalam pembahasan hukum dan sistem

hukum senantiasa mengandung tiga komponen, yakni struktur, substansi dan kultur

hukum. Komponen “struktur” terdiri dari keseluruhan institusi hukum dan aparatur

penegaknya. “Substansi” merupakan keseluruhan aturan hukum, asas-asas hukum baik

tertulis maupun tak tertulis termasuk putusan pengadilan. Sedangkan “kultur hukum”

berwujud opini-opini, kepercayaan-kepercayaan kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan

cara bertindak dari para penegak hukum dan warga masyarakat.15

Sebelum kita masuk pembahasan sistem hukum Indonesia, ada baiknya dilakukan

perbandingan secara umum tentang sistem hukum di dunia. Sistem hukum Indonesia

sering dikaitkan dengan sistem hukum Belanda karena pengaruh hukum Belanda yang

pernah menjajah Indonesia. Sedangkan sistem hukum Belanda merupakan sistem civil

law yang terkenal dengan corak positivistik. Sistem hukum ini dianut negara-negara

Eropa Kontinental.

Namun, ahli hukum Belanda bernama Paul Scholten sejak lama mengenalkan

konsep sistem hukum yang terbuka (openbaar system van het rechts). Scholten

mengatakan, barangsiapa yang berusaha memperoleh pengetahuan tentang tata hukum

dari tempat lain, tidak akan pernah cukup hanya dengan mempelajari undang-undang,

tapi juga harus mengetahui tentang putusan pengadilan, hakim yang menerapkan

hukum, pada saat yang sama dengan itu membentuk hukum baru.16

Konsep tersebut menjadi kenyataan ketika tanggal 31 Desember 1919 Hoge Raad

(Mahkamah Agung) Belanda membuat tafsir baru dalam putusannya tentang pengertian

yuridis perbuatan melawan hukum dengan pengertian luas. Hukum tidak lagi dipandang

sebatas undang-undang, tapi juga termasuk hukum tidak tertulis.

                                                       14 Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 2.  15  Achmad  Ali, Menguak  Teori  Hukum  (Legal  Theory)  dan  Teori  Peradilan  (Judicialprudence) 

Termasuk Interpretasi Undang‐undang (Legisprudence), Volume 1, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 204. 16  Paul  Scholten,  De  Structuur  Der  Rechtswetenschap  (Struktur  Ilmu  Hukum),  (terj.  B.  Arief 

Sidharta), Alumni, Bandung, 2005, hal. 73‐74.  

Page 7: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

7 | P a g e 7  

Di belahan bumi lain juga ada sistem hukum common law yang berkembang di

Inggris abad ke-11 yang juga dikenal dengan unwritten law, merupakan hukum

kebiasaan dan adat setempat. Undang-undang yang dibuat hanya mengatur pokok-

pokoknya saja. Dalam sistem common law ini hakim pengadilan menggunakan prinsip

“membuat hukum sendiri” (case law atau judge made law). Sistem hukum ini diikuti

oleh negara-negara bekas jajahan, dominion, termasuk berpengaruh di Kanada dan

Amerika Serikat.17

Prof. Achmad Ali menyatakan bahwa para ahli perbandingan hukum melihat

sistem hukum Indonesia ini masuk kategori mixed law (sistem hukum campuran) karena

memberlakukan sistem hukum perundang-undangan, hukum Islam, dan Hukum Adat.18

Tetapi dengan melihat perkembangan yang ada, tampaknya hampir tak ada

negara di dunia ini yang sistem hukumnya tak tercampur, akibat dari pergaulan hukum

global, munculnya tatanan hukum Internasional yang mempengaruhi sistem hukum

masing-masing negara. Keadaan baru tersebut direspon oleh teori hukum baru bernama

triangular concept of legal pluralism yang dikemukakan oleh Werner Menski, seorang

profesor hukum dari University of London. Teori ini menyajikan suatu pemikiran

kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori hukum di dunia

globalisasi ini, dengan menyoroti kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini.

Menski memandang bahwa teori-teori Barat terlalu sempit dan eurosentris. Ia

mengombinasikan secara interaktif teori hukum alam modern, positivisme dan sosiologi

hukum, guna membahas pluralisme hukum yang merupakan realitas global.19

Saya lebih condong kepada pendapat bahwa sistem hukum Indonesia disebut

sebagai sistem hukum Pancasila. Sistem hukum Pancasila ini dapat saja menerima

sistem hukum dari manapun asalkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang hendak

mewujudkan negara Indonesia yang berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan

beradab, berkesatuan Indonesia, berdemokrasi Pancasila dan berkeadilan sosial. Dengan

demikian sistem hukum Indonesia dapat menerima asas-asas hukum asing yang sesuai

dengan Pancasila dan menolak prinsip-prinsip yang bertentangan dengan Pancasila, atau

menggunakannya dengan cara penyesuaian dalam penerapannya.                                                        

17 H. Riduan Syahrani, Kata‐kata Kunci Mempelajari  Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hal. 240. 

18 Achmad Ali, op.cit., hal. 203. 19 Ibid,  hal. 184‐186.  

Page 8: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

8 | P a g e 8  

Jika kita melihat substansi dalam sistem hukum Indonesia, hukum dapat

dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah

pembuatan dan pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The State’s Law), Hukum

Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek (The

Professional’s Law).20

Untuk menyingkat uraian, saya akan langsung menuju pada sistem hukum

kekuasaan kehakiman yang akan menjadi acuan bagaimana hukum praktik (The

Professional’s Law) itu diterapkan, sebab norma hukum umum itu akan terwujud dalam

norma indidual dalam bentuk putusan-putusan hakim, jika terdapat perkara yang harus

diselesaikan melalui pengadilan.

Di zaman Orde Lama dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948

tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan dan Undang-

undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum

dan Mahkamah Agung, menentukan bahwa para hakim wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam

masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.

Zaman Orde Baru, diterbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang juga memuat sistem hukum yang sama,

bahwa para hakim diwajibkan menegakkan hukum dan keadilan termasuk dengan jalan

menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (pasal pasal 27 ayat 1). Di era

reformasi, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah dengan Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1999. Selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tetap menganut sistem hukum peradilan yang

mewajibkan para hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat 1).

Tahun 2009 undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 yang menganut sistem yang sama, yakni mewajibkan para hakim untuk

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat (pasal 5 ayat 1). Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa

sistem hukum Indonesia bersifat terbuka, responsif, memberi kewenangan hakim

                                                       20Jimly Asshiddiqie, Hukum  Tata Negara  dan  Pilar‐Pilar Demokrasi,  Konstitusi  Press,  Jakarta, 

2005, hal. 4. 

Page 9: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

9 | P a g e 9  

melakukan penemuan hukum, lebih berorientasi pada keadilan sosial. Prinsip inilah

yang harus dipahami oleh para penegak hukum dalam menerapkan hukum Indonesia.

Tetapi salah satu problem dalam memahami paradigma ini adalah masih adanya

fakultas hukum yang berparadigma positivisme sehingga melahirkan para sarjana

hukum yang kurang mampu dalam merespon perubahan kebudayaan masyarakat dan

pola-pola baru perilaku manusia modern.

2. Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia

Sistem hukum lingkungan merupakan bagian dan satu kesatuan dalam sistem

hukum Indonesia, sehingga sistem hukum lingkungan tidak dapat dilepaskan dari

kerangka besar sistem hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.

Dengan memahami uraian tentang sistem hukum Indonesia di depan, kita sudah dapat

mengidentifikasi bahwa substansi hukum Indonesia berupa peraturan perundang-

undangan yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.

Pada masa pemerintahan reformasi, pedoman konstitutif sistem hukum

lingkungan ditentukan dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menentukan: “Setiap

orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Serta pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan: “Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Indonesia baru mempunyai undang-undang pokok tentang lingkungan setelah

adanya Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang sering dianggap sebagai tonggak pertama

hukum lingkungan global. Tahun 1982 barulah diundangkan Undang-undang Nomor 4

Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU

No. 4 Tahun 1982). Undang-undang ini sudah bicara tentang konsep pembangunan

berwawasan lingkungan untuk meningkatkan mutu hidup sebagaimana disebut di pasal

1 angka 18. Undang-undang tersebut juga menentukan tujuan terwujudnya manusia

Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup (Pasal 4). Dalam Penjelasan Umum-nya

eksplisit dijelaskan bahwa Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan hukum

Page 10: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

10 | P a g e 10  

lingkungan. Sistem pengelolaan lingkungan hidup yang ditetapkan adalah sistem

terpadu antarlembaga pemerintah pusat dan dengan pemerintah daerah.

UU No. 4 Tahun 1982 tersebut kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 1997) yang

mengenalkan sistem hukum lingkungan yang penyelenggaraan pengelolaannya dengan

wawasan Nusantara (Penjalasan Umum angka 2 UU No. 23 Tahun 1997), bahwa

lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah

negara maupun administrasi, namun harus jelas batas wewenang pengelolaannya, yakni

lingkungan hidup Indonesia.

UU No. 23 Tahun 1997 juga merumuskan konsep penyelesaian sengketa

alternatif (luar pengadilan), adanya lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa

lingkungan, gugatan perwakilan kelompok (class action), dan mengakui kedudukan

hukum organisasi bidang lingkungan hidup untuk melakukan upaya hukum melalui

pengadilan.

Dalam UU No. 23 Tahun 1997 ini dikenal asas yang bernama asas subsidiaritas

(Penjelasan Umum angka 7) yang menjelaskan bahwa hukum pidana hendaknya

didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi

perdata dan alternatif penyelesaian lingkungan hidup tidak efektif dan/atau

perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.

Asas subsidiaritas dalam UU No. 23 Tahun 1997 tersebut tampaknya bukanlah

asas yang imperatif, melainkan sebuah asas “yang disarankan” dengan memahami

istilah “hendaknya didayagunakan”, sehingga tidak wajib diterapkan.

UU No. 23 Tahun 1997 kemudian digantikan dengan Undang-undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32

Tahun 2009) yang mewajibkan penggunaan asas subsidiaritas. Undang-undang ini juga

mengubah sistem izin lingkungan sebagai syarat wajib dan utama dalam setiap kegiatan

yang berdampak pada lingkungan hidup (pasal 36 sampai dengan 40). Orientasi UU No.

32 Tahun 2009 adalah jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas lingkungan

yang baik dan sehat sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) yang ditentukan pasal 28

H UUD 1945 (lihat konsideran huruf a dan f UU No. 32 Tahun 2009).

Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2009 menentukan bahwa setiap penyusunan peraturan

perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan

Page 11: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

11 | P a g e 11  

perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009.

Di sini tampak bahwa sistem hukum nasional diarahkan dan diwajibkan berorientasi

pada lingkungan hidup (green law atau eco-law system). Prinsip-prinsip dan norma

hukum lingkungan harus menjiwai substansi hukum bidang lainnya dan harus menjadi

panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Bahkan penyusunan

anggaran negara (pusat dan daerah) juga berbasis lingkungan hidup (pasal 45 dan 46).

UU No. 32 Tahun 2009 juga menentukan adanya garansi lingkungan hidup

dengan mewajibkan kepada setiap pemegang izin lingkungan untuk menyediakan dana

penjaminan pemulihan lingkungan hidup yang disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh

Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya. Dalam undang-undang ini memuat sistem internalisasi biaya

lingkungan hidup ke dalam kegiatan usaha ekonomi yang menjadi bagian dari

instrumen perencanaan pembangunan selain neraca sumber daya alam dan lingkungan

hidup, penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang

mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup dan

mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah (pasal 43).

Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bidang

pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi urusan wajib pemerintah daerah di wilayah

masing-masing pemerintah daerah. UU No. 32 Tahun 2009 pun menentukan adanya

adanya kewenangan pemerintah daerah tersebut yang dikoordinasi oleh Menteri

Lingkungan Hidup (pasal 63 dan pasal 64) sebagai konsekuensi sistem negara kesatuan.

UU No. 32 Tahun 2009 mengakui hukum adat dengan menganut asas kearifan

lokal sebagaimana ditentukan dalam pasal 2. Asas ini menentukan prinsip bahwa dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur

yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Asas ini juga erat kaitannya dengan

“asas ekoregion”, yaitu bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus

memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya

masyarakat setempat, dan kearifan lokal.

Ketentuan tersebut selaras dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR-RI/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dalam pasal 4

menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis

Page 12: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

12 | P a g e 12  

sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan

melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber

daya agraria/sumber daya alam.” Prinsip dasar pengakuan kearifan lokal ditentukan

pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yang menentukan, “Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat asli Indonesia sudah mempunyai sistem

kearifan lokal berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Kelestarian lingkungan

merupakan salah satu inti kearifan lokal hukum adat. Namun hingga tahun 2006,

berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), baru ada tiga

masyarakat hukum adat yang dilindungi, yaitu Badui, Kampung Naga, dan Tengger

yang semuanya berada di pulau Jawa. Padahal, ada 6300 masyarakat hukum adat di

Aceh, 700 di Sumatera, dan 1000 di Bali.21

Sistem hukum lingkungan hidup Indonesia sesungguhnya dapat menjawab

realitas globalisasi. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 termuat asas-asas atau prinsip

hukum global, nasional dan kearifan lokal. Hal ini sesuai dengan teori hukum baru

bernama triangular concept of legal pluralism yang dikemukakan oleh Werner Menski

tersebut. Hanya saja, asas subsidiaritas yang diwajibkan dalam UU No. 32 Tahun 2009

perlu dieliminasi, meski asas ini diterapkan secara terbatas, yakni pada tindak pidana

lingkungan hidup formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air

limbah, emisi, dan gangguan (Penjelasan Umum angka 6).

Asas subsidiaritas ini juga diberlakukan secara imperatif dalam penyelesaian

sengketa perdatanya. Pasal 84 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 menentukan bahwa

upaya hukum melalui pengadilan hanya dapat dijalankan jika upaya-upaya hukum luar

pengadilan tidak memperoleh penyelesaian.

Saya berpendapat, sebelum adanya perubahan UU No. 32 Tahun 2009 guna

menghilangkan asas subsidiaritas, para penegak hukum boleh menerobos atau tidak

melaksanakan asas tersebut berdasarkan alasan-alasan ideologis yang saya kemukakan

berikut ini.

Pertama, asas subsidiaritas dalam hukum lingkungan bertolak belakang dengan

orientasi perlindungan HAM dalam hukum lingkungan yang dianut UUD 1945 dan UU

No. 32 Tahun 2009. Penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium menjadi

                                                       21 Masyarakat Adat Menjadi Penyelamat Lingkungan, Tempo Interaktif, 2 Agustus 2006. 

Page 13: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

13 | P a g e 13  

penting diterapkan, terutama dengan cara pengenaan denda yang maksimum bagi

korporasi yang melakukan kejahatan ekologi guna memaksa dan menumbuhkan

kesadaran bahwa tindak pidana lingkungan merupakan pelanggaran HAM.

Saya sepakat dengan gagasan Polly Higgins agar kejahatan terhadap lingkungan

masuk sebagai kehajatan kemanusiaan yang dapat diadili di International Criminal

Court (ICC).22 Terutama apabila daya rusaknya besar atau berpotensi merusak kesehatan

masyarakat luas baik secara langsung atau di masa depan, jika upaya hukum di tingkat

nasional menemui jalan buntu. Akibat-akibat pembuangan limbah beracun dan emisi tak

terkendali akan timbul di masa depan, bukan secara langsung, dan mengancam

siapapun. Para pelaku kejahatan ekologi juga bisa berbentuk korporasi multinasional.

Kedua, kepentingan hukum dalam bidang lingkungan hidup meskipun juga

terdapat unsur keperdataan tapi bersifat publik, karena menyangkut kepentingan

bersama atas sumber daya alam. Filsuf Barat sendiri semacam John Locke mempercayai

bahwa alam semula merupakan milik semua orang, bukan tak ada yang memiliki,

karena Tuhan telah memberikannya kepada manusia sebagai milik bersama.23 Apalagi

dalam sistem hukum Indonesia sudah jelas pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa

sumber daya alam itu merupakan hak kolektif publik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia,

persoalan lingkungan hidup sama pentingnya dengan agenda pemberantasan korupsi,

terorisme, dan perdagangan narkotika, yang tidak menggunakan asas subsidiaritas.

Ketiga, penerapan asas subsidiaritas melanggar asas equality before the law

karena memberikan prioritas dan kelonggaran atau keistimewaan hukum bagi pelaku

usaha yang melakukan kejahatan ekologi. Padahal kejahatan ekologi justru lebih

berbahaya dan akibatnya lebih luas, menjangkau masa depan meskipun hanya persoalan

pelanggaran baku mutu lingkungan. Akumulasi pelanggaran baku mutu lingkungan

dalam area yang luas, secara terus-menerus, sama halnya dengan menabung racun yang

akan mengorbankan generasi masa depan.

Asas subsidiaritas berasal dari hukum Barat yang bercorak liberal dimaksudkan

untuk melindungi kepentingan kaum borjuis, dengan cara meminimalisasi peran negara

dan menyerahkan urusan kepada pihak-pihak yang berkepentingan lebih dulu. Prinsip

                                                       22 http://en.wikipedia.org/wiki/Ecocide  23  Will  Kymlicka,  Pengantar  Filsafat  Politik  Kontemporer  –  Kajian  Khusus  Atas  Teori‐teori 

Keadilan (terj. Agus Wahyudi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 158.   

Page 14: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

14 | P a g e 14  

seperti ini hanya cocok untuk hubungan-hubungan hukum privat yang bersifat

individual. Padahal hukum lingkungan mengatur hak atas lingkungan yang baik dan

sehat yang harus diakui sebagai hak asasi manusia secara kolektif, bukan

individualistis.24

Dalam melihat tujuan asas subsidiaritas ini penting untuk melihat tumbuhnya

sejarah negara hukum di Barat, di mana negara hukum modern dikaitkan dengan

dinamika perkembangan ekonomi, didorong oleh sistem produksi ekonomi waktu itu,

yaitu munculnya industrialisasi, kapitalisme dan golongan borjuis. Prof. Satjipto

Rahardjo menyatakan bahwa hukum progresif tidak bersikap a priori terhadap hukum

liberal, tapi banyak juga yang tidak diinginkan.25

Untuk mengatasi cara penerapan asas subsidiaritas tersebut, sistem hukum

nasional memberi kewenangan kepada para hakim untuk membuat konstruksi hukum

guna menerobos asas subsidiaritas jika dianggap penting, dengan tujuan untuk

memberikan hak keadilan kepada masyarakat. Sebab bagaimanapun juga UU No. 32

Tahun 2009 adalah norma hukum yang dalam penerapannya harus sesuai dengan norma

dasarnya yakni Pancasila dan UUD 1945.

Sistem hukum lingkungan tersebut telah memandu sistem hukum nasional

menjadi sebuah green law system atau eco-law system, yakni sistem hukum yang

berbasis lingkungan. Sistem hukum demikian itu sebagai konsekuensi dari perubahan

UUD 1945 yang oleh Prof. Jimly Asshiddiqie disebut sebagai Green Constitution. Prof.

Jimly menunjukkan letak konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam konstitusi

Indonesia yakni pada pasal 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut.26

AGENDA PENYELAMATAN LINGKUNGAN

                                                       24 Satjipto Rahardjo (dalam Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, 

Yogyakarta,  2009,  hal  23) menyatakan  bahwa  negara  hukum modern  yang  disebut  the  legal  system memiliki watak atau kosmologi liberal‐individual yang memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam sistem hukum.  Negara  hukum  modern  yang  liberal‐individual  memiliki  tugas  pokok,  yaitu  menjaga  dan menjamin  agar  kebebasan  dan  kemerdekaan  individu  memperoleh  kedudukan  yang mapan.  Usaha tersebut dilakukan dengan menciptakan filsafat, asas, doktrin serta prinsip‐prinsip hukum yang sekarang seolah‐olah sudah diterima sebagai sesuatu yang alami, sesungguhnya merupakan peninggalan (legacy) kemenangan borjuis.  

25  Satjipto  Rahardjo,  Hukum  Progresif:  Sebuah  Sintesa  Hukum  Indonesia,  Genta  Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 14. 

26  Yance Arizona, Peluncuran Buku  "Green Constitution":  Sebuah Ulasan, 6 Mei 2009 dikutip dari http://www.jimly.com/kegiatan?page=17.  

 

Page 15: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

15 | P a g e 15  

1. Paradigma

Dalam melaksanakan pembangunan yang diharapkan berkelanjutan ini tak dapat

dipungkiri masih dominannya paradigma “ramah investasi” dengan jalan melunakkan

implementasi hukum lingkungan, bahkan sampai pada level pelanggaran hukum.

Pemberian izin wilayah konsesi kepada Newmont di Sulawesi Utara seluas 527.448

hektar, ternyata yang seluas 124.700 hektar merupakan wilayah cagar alam.27

Begitu pula pelanggaran hukum tata ruang dalam pemberian izin lokasi kepada

Lapindo Brantas Inc, serta liberalisasi perizinan penebangan hutan untuk korporasi

sebagaimana diuraikan di bagian pendahuluan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa

dalam implementasinya pertimbangan ekonomi lebih ditonjolkan daripada hukum.

Hukum yang ditujukan untuk memproteksi masyarakat dari bahaya diterjang oleh

keputusan administrasi perizinan demi memenuhi syahwat ekonomi.

Paradigma ilmu ekonomi yang digunakan adalah paradigma ilmu ekonomi

kapitalisme kuno, yang mengejar manfaat dan keuntungan ekonomi, tetapi tak pernah

mau memperhitungkan komponen biaya degradasi manfaat dan fungsi ekologi (cost of

ecology). Seperti halnya korporasi-korporasi besar di Eropa yang menentang keras

pemberlakuan pajak penggunaan energi fosil tersebut, dengan dalih efisiensi dan daya

saing harga di pasar global. Akhirnya ilmu ekonomi menjadi pelayan pasar bebas yang

menganggap persyaratan ekologis sebagai penghalang.

David Korten, seorang yang pernah mengajar sekolah bisnis di Harvard yang

bertahun-tahun bekerja di Perwakilan Amerika Serikat untuk Pembangunan

Internasional melihat ada sisi buruk ilmu ekonomi. Dalam buku Prof. Daniel C Maguire

ada sebuah kritik pedas, dikatakan bahwa ilmu ekonomi itu menjijikkan, hanya dapat

dipahami oleh Bank Dunia, IMF dan WTO – tapi siapa yang dapat memahami lembaga-

lembaga itu.28

Ilmu ekonomi sebenarnya juga mengenal kesadaran adanya keterbatasan sumber

daya yang konon memaksa orang untuk tunduk pada The Law of Scarcity (Hukum

                                                       27 Fakta tersebut terungkap dalam perkara pajak Newmont Minahasa Raya, Putusan Pengadilan 

Pajak No. Put.04584/BPSP/M.III/18/2001. 28 Daniel C Maguire, opcit, hal. 35.  

Page 16: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

16 | P a g e 16  

Kelangkaan) yang berbunyi, “Untuk mendapatkan barang yang langka maka orang

harus mengorbankan sesuatu lebih dulu.”29

Itulah seharusnya yang dapat menjadi pangkal pikir ekologis dalam ilmu

ekonomi, bahwa manusia wajib menghemat sumber daya alam. Kerakusan dan

pemborosan pemanfaatan sumber daya alam terbukti menimbulkan bencana. Cara pikir

ekologi merupakan mata rantai yang tak terputus, ada hubungan sebab-akibat dalam

rangkaian panjang, secara langsung dan tak langsung. Itulah bahwa ekologi tak lepas

dari kosmologi. Jalan pikiran kita dalam memahami beberapa prinsip ilmu ekonomi

sudah dipandu oleh prinsip pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yakni kebersamaan

(kolektivitas), efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian dan menjaga kesimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Ekonomi bukan melakukan perkawinan dengan ekologi, tapi ekonomi memang

bagian dan hidup dalam ruang ekologi. Manusia sebagai aktor ekonomi lahir berbahan

alam, lalu hidup di alam, bergantung alam dan mati disemayamkan di alam. Ekonomi

tak akan dapat hidup di luar semesta. Alam semesta ini adalah lingkungan. Barangsiapa

yang memisahkan ekonomi-ekologi maka itu pelanggaran hukum kodrat, sama halnya

melakukan pembunuhan ilmiah yang berakibat pada kematian keadilan dan

kemanusiaan. Bangsa Indonesia menyebut tanah airnya sebagai Ibu Pertiwi. Siapa yang

merusaknya berarti durhaka. Ini realitas yang harus dipahami.

Jika paradigma itu terlepas dari pikiran kita, pencemaran dan kerusakan

lingkungan bukan hanya melanda bumi, tapi kelak juga menimpa tata surya. Kelak di

bulan dan planet-planet akan ada konsesi tambang yang diperebutkan keserakahan

manusia. Dengan ilmu ekonomi yang beraliran positivistik, mengasingkan diri dari

persoalan kemanusiaan, menganggap preservasi sumber daya alam sebagai inefisiensi,

maka ilmu ekonomi terapan akan terus mengobarkan penjajahan dan penghancuran

dengan merampok slogan kebaikan yang bernama “pembangunan.”

Salah satu tesis tentang paradigma pembangunan yang dikemukakan dan dikritik

Johan Galtung, mendefinisikan pembangunan sebagai kegiatan pemuasan progresif

kebutuhan-kebutuhan alam manusia dan non-manusia yang dimulai dari mereka yang

                                                       29 Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, Pendakatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan 

Makro,  Edisi I Cet. ke‐8,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 77.  

Page 17: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

17 | P a g e 17  

paling membutuhkan. Dengan pemikiran seperti itu maka masalah kerusakan

lingkungan hidup menjadi masalah utama.30

Murray Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat

dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah,

melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas. Paradigma yang diajukannya adalah

ekologi sosial yang memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan

sebagai spesies yang tak dapat dibeda-bedakan. Ekologi sosial menekankan tuntutan

keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang semena-mena mengeksploitasi

manusia, karenanya kaum tertindas membutuhkan kemerdekaan.31

Eksploitasi sumber daya alam Indonesia oleh korporasi-korporasi swasta hanya

memberikan keuntungan sekitar tak lebih dari 10 persen dibandingkan yang diperoleh

perusahaan-perusahaan asing. Di semua tempat kehadiran Industri tambang dan migas

justru menciptakan enclave ekonomi, ada jurang begitu lebar antara perusahaan

tambang dengan masyarakat di sekelilingnya yang hanya menjadi penonton. Di

kantong-kantong wilayah eksploitasi sumber daya alam maka di situlah kantong-

kantong kemiskinan ditemukan.32

Prof. Maguire, setelah membaca uraian David Loy, David Korten dan para ahli

lainnya, serta mengamati data, lalu memberikan gambaran kondisi global dengan

menyatakan: “Kapitalisme merampas kerja, meracuni orang, memiskinkan orang,

mengalihkan kekayaan dari bawah ke atas – menimbulkan perang redistribusi – dan

mendorong terorisme karena tidak setiap orang mau bermain dengan aturan dari

pembuat transaksi yang kaya.”33

Lingkungan hidup sering dimengerti sebagai sumber milik bersama (common

properties resources) yang seharusnya dimanfaatkan dan dikelola bersama demi

kepentingan bersama. Tapi selama ini disalahartikan sebagai milik bersama atau tanpa

kepemilikan sehingga siapa yang dapat memanfaatkan lebih dulu akan mendapatkan

                                                       30Johan  Galtung,  Peace  Studi  Perdamaian:  Perdamaian  dan  Konflik,  Pembangunan  dan 

Peradaban, ( terj. Asnawi dan Safruddin), Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 283‐285.  31  Katherine  Yih,  Yang  Merah  dan  Yang  Hijau:  Perspektif  Kiri  Dalam  Memahami  Ideologi, 

terjemahan, Wahana  Lingkungan Hidup  Indonesia  dan  Lembaga  Pembebasan Media  dan  Ilmu  Sosial, Jakarta, 2005, hal. 36. 

32 Aminuddin Kirom et al, Tambang dan Kemiskinan: Kasus‐kasus Pertambangan di  Indonesia 2001‐2003, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 2005, hal. Vii. 

33 Daniel C Maguire, op.cit., hal. 31.  

Page 18: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

18 | P a g e 18  

manfaat sebesar-besarnya tanpa pengendalian keberlanjutan sumber tersebut untuk

kepentingan orang lain. Kejadian itu oleh Hardin, seorang ahli ekonomi lingkungan

dianggap sebagai tragedy of commons dengan memberi contoh eksploitasi tanpa

pengendalian ikan teri Peru (Peruvian Anchovi) sehingga punah dan menurunkan

pendapatan masyarakat.34

Paradigma tidak sehat seperti itu sebenarnya telah diubah menjadi baik dalam

Deklarasi Stockholm 1972 dengan slogan Only One Earth dan Konferensi Nairobi 1982

yang mengenalkan analisis pembangunan berkelanjutan dalam Dokumen Our Future,

lalu berlanjut pada Konferensi Bumi Rio De Janeiro 1992 yang mendeklarasikan suatu

tesis bahwa jika lingkungan hidup disalahgunakan dan sumber daya dikonsumsi secara

berlebihan maka rakyat akan menderita dan perekonomian pun morat-marit.

Penyusunan agenda yang mulia itu berikutnya juga dilakukan pada Konferensi Rio + 5

di New York tahun 1997 dan Konferensi Rio + 10 tahun 2002 di Johannesburg Afrika

Selatan.35

UU No. 32 tahun 2009 juga menganut paradigma pembangunan berkelanjutan

tersebut, mewajibkan penyelenggaraan pembangunan berbasis lingkungan hidup.

Undang-undang ini juga telah memuat prinsip internalisasi biaya lingkungan hidup (cost

of ecology) ke dalam komponen biaya kegiatan usaha, mewajibkan adanya dana garansi

ekologis, bahkan mewajibkan penyusunan anggaran negara berbasis lingkungan hidup.

Sistem hukum lingkungan demikian itu telah menggeser paradigma

pembangunan ekonomi, dari semula bersifat ekonomi murni menjadi ekonomi berbasis

lingkungan, berorientasi pada HAM, yang mengedepankan prinsip keadilan sosial.

Perkembangan ilmu pengetahuan modern telah menyadarkan kepada kita bahwa

seluruh kehidupan dan ilmu pengetahuan berada dalam kurva pelindung yang disebut

sebagai lingkungan. Jika lingkungan rusak maka manusia juga akan rusak. Akan

menjadi tidak adil jika generasi mendatang menjadi korban perbuatan generasi sekarang

yang destruktif. Karena itu, manusia masa kini bertanggung jawab terhadap nasib

generasi mendatang. Ini dapat kita jadikan asas ekologi yang universal.

                                                       34 Surna T. Djajaningrat, Kebijaksanaan Dan Hukum Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam 

Dilihat Dari Aspek Pembangunan Berkelanjutan,  Jurnal Hukum Lingkungan Tahun  IV No. 1, September 1997, Jakarta, hal. 8‐9. 

35Siti Maemunah,  et  al,  RIO  +  10:  Pertambangan  dan  Penghancuran Berkelanjutan,  Jaringan Advokasi Tambang, Jakarta, 2001, hal. 6‐18. 

 

Page 19: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

19 | P a g e 19  

Sudah waktunya prinsip ekonomi kapitalisme dengan formula “mencari

keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya” diganti menjadi

“mencari keuntungan dengan efesiensi yang tidak bertentangan dengan keadilan sosial

yang mencakup keselamatan alam.” Doktrin efisiensi yang digunakan dalam ruang

privat-individual (korporasi) harus dipindahkan ke ruang publik (negara). Kita

mengonstruksi ilmu ekonomi menjadi ilmu yang bernurani dan mempunyai spirit

penyelamatan alam di masa kini dan masa depan, sebagai pertanggungjawaban atas

amanat yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia.

Penggunaan sumber daya alam tidak boleh semena-mena, sebab kehidupan

manusia akan dilanjutkan oleh generasi manusia di masa depan. Jangan sampai anak

cucu kita mewarisi bencana dan akumulasi racun di mana-mana yang membuat mereka

menderita dan mencatat sejarah bahwa kita adalah para orang tua yang tidak

bertanggung jawab.

Indonesia telah mempunyai panduan berupa Pancasila dan UUD 1945 serta UU

No. 32 Tahun 2009 yang sudah begitu ideal, meski mungkin akan dapat ditemukan

beberapa kelemahannya. Bagaimanapun sempurnanya bangunan sistem hukum

nasional, jika tidak dibarengi dengan paradigma yang sejalan dengan konsep dan prinsip

yang dianut dalam sistem hukum tersebut, maka kesempurnaan sistem hukum itu akan

sia-sia. Paradigma baik itu yang akan menggerakkan kebaikan dan semangat para

penegak hukum dan aparatur negara, serta membuahkan kesadaran masyarakat di

stratifikasi sosial level manapun.

Sekolah dan kampus mempunyai peran vital untuk membangun paradigma itu,

agar melahirkan produk intelektual yang bernurani, berparadigma dan berwawasan

ekologis. Buruknya kultur dan moral dalam dunia pendidikan akan melahirkan para

intelektual yang tidak bermoral. Oleh karena itu, kini saatnya perguruan tinggi

menyusun atau memperbaharui kode etik akademik dan membentuk suatu Badan

Eksaminasi Akademik guna menguji validitas keterangan dan analisis ilmiah para

tenaga ahli kependidikan untuk kepentingan para pelaku usaha, dan membatasi sejauh

mana toleransi peran para ahli perguruan tinggi untuk secara subyektif bertindak

memberikan jasa ilmiah kepada para pelaku usaha.

Kita membutuhkan para penyelenggara negara dan para ahli yang bernurani dan

berkarakter sosial, mempunyai cakrawala luas dalam memikirkan generasi mendatang.

Page 20: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

20 | P a g e 20  

Dengan pendidikan kita akan menyingkirkan dan memotong jalan pemikiran pintas

yang individualistik yang cenderung mengkhianati sesama dan negara dengan

“memperdagangkan” keahlian dalam cara-cara yang tidak bermoral, membungkus

kejahatan intelektual dengan pemalsuan ilmiah.

2. Gerakan Penyelamatan Lingkungan

Dengan memahami sistem hukum lingkungan nasional dan paradigmanya, agar

sistem hukum lingkungan Indonesia efektif dan dapat melindungi dan menyelamatkan

lingkungan demi pembangunan berkelanjutan, maka harus ditempuh cara-cara

perlindungan, pengelolaan dan pemulihan lingkungan hidup dalam rangka pelaksanaan

sistem hukum lingkungan nasional, yang meliputi sekurang-kurangnya:

a. Penataan pemerintahan berbasis lingkungan hidup;

b. Penggalangan partisipasi dan penguatan masyarakat;

c. Penetapan wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam;

d. Penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum; dan

e. Penggalangan dan pendayagunaan dana ekologi yang ditampung dalam Bank

Ekologi (Eco-Bank).

Kelima langkah tersebut saya namakan sebagai “gerakan pemerintahan, sosial dan

hukum ekologi berdasarkan sistem hukum lingkungan (eco-government, eco-society

and eco-law action based on eco-law system).

Penataan pemerintahan berbasis lingkungan terutama adalah koordinasi antara

pemerintah pusat dengan daerah dan antar pemerintah daerah dalam merumuskan dan

memahami kewenangan masing-masing. Dengan sistem koordinasi pelaksanaan

kewenangan bidang lingkungan hidup oleh Menteri yang membidangi lingkungan hidup

sebagaimana ditentukan UU No. 32 Tahun 2009 maka setiap penyusunan kebijakan

bidang lingkungan hidup yang terkait haruslah dilakukan konsultasi lingkungan hidup,

agar tidak menciptakan kebijakan yang tumpang-tindih dan saling bertentangan satu

sama lain.

Pemerintahan yang berbasis lingkungan hidup akan membentuk unit-unit

pelayanan ekologis, melakukan fungsi-fungsi administratif yang cermat untuk

mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta membuat kebijakan-kebijakan

preventif, misalnya melakukan uji emisi berkala, menetapkan wilayah pengelolaan

Page 21: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

21 | P a g e 21  

limbah terpadu, menyusun area pemukiman bebas polusi dan banjir, membatasi usia

kendaraan bermotor dan lain-lain. Mekanismenya dimulai dengan penetapan regulasi-

regulasi dan keputusan-keputusan daerah yang sesuai dengan sistem hukum lingkungan.

Seluruh kebijakan yang diambil melibatkan partisipasi masyarakat.

Penggalangan partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan ekoregion

sesuai dengan karakteristik ekologis masing-masing wilayah, memperhatikan kearifan

lokal, menjadikan kekuatan masyarakat lokal sebagai pemelihara dan penjaga fungsi

serta daya dukung lingkungan hidup dengan membentuk lembaga-lembaga

kemasyarakatan.

Lembaga-lembaga kemasyaratan ini sekaligus berfungsi untuk membina dan

menjadi mitra perekonomian masyarakat agar ketergantungannya terhadap sumber daya

alam sekitarnya tidak bersifat destruktif. Kemapanan ekonomi sosial yang mandiri,

menuju ke arah perekonomian nasional mandiri, tidak akan membutuhkan investasi dari

luar yang cenderung egois dan bersifat merusak ekologi. Ini amanat pasal 33 ayat (4)

UUD 1945 tersebut. Program ini dijalankan konsisten melalui sistem pembinaan di

tempat. Ada para tenaga ahli dan teknis yang mendampingi masyarakat, bekerjasama

dengan organisasi-organisasi nonpemerintah dan perguruan tinggi.

Negara ini harus mempunyai konsep yang tegas, berfokus pada spesifikasi

penguatan kemampuan tertentu. Spesifikasi ekonomi pertanian, peternakan, kerajinan

dan perikanan (darat dan laut) serta perdagangan harus diwujudkan, sambil

mengembangkan kemandirian energi alternatif nonfosil. Kegiatan produksi sumber

bioenergi (nonfosil) dapat dikelola menjadi kegiatan ekonomi sosial.

Kemandirian dan ketahanan dalam bidang pangan, energi dan air ini harus

menjadi agenda yang serius dijalankan mengingat kian tingginya tingkat ketergantungan

nasional pada pangan dan krisis energi yang seringkali mendera kita. Pembangunan

penguatan dan kemandirian masyarakat ini termasuk untuk mengembalikan salah satu

peran mereka sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan

sekitar mereka seperti sediakala.

Menurut John Kretzman dan John McKnight, berdasarkan pengalamannya di

Amerika Serikat, dalam menyusun keswasembadaan masyarakat yang kuat maka

kuncinya adalah dilakukan pemetaan seluruh kekayaan sumber daya alam, manusia,

kelembagaan mereka, lalu memadukan dan mengerahkannya sedemikian rupa, sehingga

Page 22: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

22 | P a g e 22  

pada gilirannya memperkuat perekonomian lokal mereka sendiri. Pemetaan ini

menyangkut ketrampilan warga, perkumpulan-perkumpulan apa saja yang selama ini

menjadi wadah mereka untuk memecahkan masalah dan membagi kepentingan mereka,

termasuk usaha-usaha bisnis swasta serta lembaga-lembaga pelayanan umum sepeti

sekolah perpustakaan, rumah sakit, dan badan-badan kesejahteraan sosial.36

Usaha-usaha produksi pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan tangan

dihubungkan dengan organisasi jaringan konsumen perkotaan, sehingga terjadi

hubungan langsung antara masyarakat produsen dengan konsumen yang akan membuat

harga menjadi adil bagi produsen dan konsumen (tidak melalui makelar yang bernama

pasar modern yang didominasi segelintir orang kaya). Konsep ini meniru gerakan

pertanian yang ditopang masyarakat (Community Supported Agriculture / CSA) dimana

konsumen juga bisa ikut memodali produsen. CSA ini telah menyebar di Eropa,

Australia, dan Jepang sebagai manifestasi kemandirian lokal.37

Di Ekuador ada gerakan masyarakat bernama Canastas Comunitarias yang lahir

untuk melawan dampak buruk pasar modern. Gerakan itu sama dengan CSA di Barat.

Ketika Ekuador gagal mewujudkan ketahanan pangan maka gerakan ini justru memberi

jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat yang dipinggirkan. Gerakan ini

berkembang pesat, berbagai proyek diusulkan untuk membangun ekonomi setempat

berdasarkan produksi ramah lingkungan. Mereka menyebut gerakan itu sebagai gerakan

“kedaulatan pangan internasional.”38

Agenda penetapan wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam berkaitan

dengan hukum tata ruang yang berada dalam lingkup hukum lingkungan. Penetapan

wilayah-wilayah ekoregion di setiap daerah sekaligus menetapkan wilayah-wilayah

konservasi lingkungan dan konservasi pertanian harus melibatkan pendapat dan

partisipasi masyarakat termasuk kearifan lokal. Penetapan wilayah-wilayah konservasi

sumber daya alam ini penting dalam rangka mempertahankan daya dukung lingkungan

hidup terhadap keberlangsungan hidup, meminimalisasi potensi bencana.

Wilayah-wilayah konservasi yang telah ditetapkan tidak boleh diubah dengan

menggunakan kebijakan politik tanpa melibatkan pendapat masyarakat setempat. Selain

                                                       36 Colin Hines, opcit, hal. 94‐95. 37 Daniel C Maguire, opcit, hal. 102. 38  Emma Kirwan, Menciptakan  Platform Kota‐Desa untuk Ketahanan  Pangan, majalah  Salam 

No. 25, Oktober 2008, hal. 18 – 21.  

Page 23: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

23 | P a g e 23  

itu ditetapkan wilayah konservasi tetap (permanen) tanpa syarat setelah melakukan

pemetaan wilayah rawan bencana dan rawan geologis. Ini untuk menghindari

inkonsistensi seperti yang selama ini terjadi di mana wilayah-wilayah cagar alam dan

hutan lindung dikorbankan sebagai wilayah konsesi pertambangan yang tentu saja akan

mengeliminasi fungsi konservasinya.

Ketiga agenda di atas terkait dengan upaya-upaya pencegahan dan pemeliharaan

serta perlindungan lingkungan hidup dengan menggunakan instrumen hukum nasional

dan hukum masing-masing daerah dengan mengakomodasi kearifan lokal.

Dalam agenda upaya penegakan hukumnya dilakukan penyusunan nota

kesepahaman penegakan hukum. Nota kesepahaman ini dibuat untuk mengatasi agar

dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan yang dilakukan instansi satu dengan

yang lain, pusat dan daerah, tidak terjadi perbedaan-perbedaan tafsir hukum, baik

hukum materiil dan formilnya, yang dapat menghambat peran dan fungsi penegakan

hukum. Nota kesepahaman ini juga berfungsi untuk membangun paradigma secara

bersama-sama sesuai dengan sistem hukum lingkungan Indonesia.

Pada zaman Orde Baru pernah dibuat Keputusan Bersama MAKEHJAPOL

(Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai

pedoman penegakan hukum dalam menjalankan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.

Cara seperti itu layak ditiru dalam agenda penegakan hukum lingkungan yang memang

akan lebih rumit berkaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis dan ilmiah di bidang

kimia, fisika, biologi dan geologi serta sosial

Lembaga-lembaga penegakan hukum lingkungan, baik itu Kementerian

Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, para Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Organisasi Advokat

perlu secara bersama-sama merumuskan hal-hal yang dapat disepakati. Sedangkan hal-

hal yang tidak dapat disepakati akan diserahkan pada proses penanganan perkara yang

berlangsung hingga adanya putusan pengadilan ataupun penyelesaian lainnya.

Agenda penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum lingkungan juga

melakukan inventarisasi norma-norma hukum lingkungan global, nasional dan lokal,

juga melakukan pendalaman ilmu hukum lingkungan secara bersama bersama, evaluasi

secara berkala, misalnya evaluasi semesteran guna menganalisis dan memecahkan

bersama masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penegakan hukum.

Page 24: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

24 | P a g e 24  

Namun, upaya untuk mengefektifkan hukum lingkungan juga terdapat problem

eratnya korelasi kekuatan modal dengan platform politik yang menjadi penyebab

dominan kemandulan sistem hukum, disamping juga ada peran-peran kecil yang banyak

dilakukan anggota masyarakat yang tidak disiplin, adanya perubahan perilaku sosial

akibat kemiskinan sosial.

Ketaatan hukum para penguasa kapital terkait erat dengan “jasanya” kepada para

penguasa pemerintahan suatu negara, di mana perusahaan-perusahaan raksasa menjadi

penyumbang dana-dana kampanye partai politik yang berkuasa.39 Sedangkan nilai yang

dianut para penguasa modal bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum

lingkungan. Hukum lingkungan merupakan hukum yang “tidak disukai” para penganut

mazhab ekonomi kapitalisme.

Keadaan itulah yang membuat penegakan hukum administrasi lingkungan hidup

menjadi lemah, bahkan ada indikasi kesengajaan untuk membuat regulasi dan

memberikan izin dengan cara-cara melanggar hukum, seperti contohnya pemberian izin

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dekat pemukiman penduduk ataupun di

hutan-hutan cagar alam, serta mengubah tata ruang secara gegabah.

Apabila aparatur negara lemah maka akan tergantung bagaimana rakyat

mendorong agar hukum lingkungan efektif. Di banyak tempat justru terjadi konflik

antara korporasi dengan masyarakat yang berusaha mempertahankan kelestarian

lingkungan hidup. Dalam situasi seperti itu justru aparatur penegak hukum biasanya

membantu korporasi untuk menyingkirkan masyarakat yang mereka anggap sebagai

pembangkang. Di sinilah masyarakat yang kuat dan mandiri sangat dibutuhkan sebagai

alternatif penegakan hukum ketika aparatur negara melanggar kewajiban hukumnya.

Dalam membahas persoalan ini, mau tidak mau harus memandang hukum dalam

cakrawala kepentingan masyarakat, daripada kepentingan politik yang tidak mewadahi

kepentingan rakyat. Jika aparatur negara tidak dapat diandalkan untuk mencegah dan

menyelesaikan kerusakan lingkungan maka hukum lingkungan harus ditegakkan oleh

masyarakat sendiri berdasarkan nilai-nilai baik yang mereka akui. Leon Duguit, seorang

filsuf Perancis, menyatakan bahwa hukum adalah karya sosial yang disusun bila nilai-

nilai ekonomis dan moral yang hidup dalam suatu masyarakat dipandang sebagai hakiki

                                                       39 Colin Hines, op.cit., hal. 6.  

Page 25: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

25 | P a g e 25  

bagi masyarakat itu. Solidaritas sosial melahirkan hukum.40 Maka, gerakan sosial

menyelamatkan ekologi (eco-society action) harus dipandang sebagai fenomena hukum

tersendiri yang diberi tempat.

Ketika penegak hukum lemah dalam menjalankan fungsinya, maka respon

masyarakat untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dengan kearifan lokal

mereka haruslah dianggap sebagai upaya-upaya menegakkan hukum lingkungan hidup.

Ini yang dapat disebut sebagai “penegakan hukum oleh kesadaran masyarakat.”

Friedmann dalam karyanya Legal Theory menyatakan bahwa sumber hukum satu-

satunya adalah “kesadaran hukum rakyat.”41

Nota kesepakatan penegakan hukum lingkungan juga harus memberi akses bagi

cara baru dalam suatu upaya hukum. Dengan asas pertanggungjawaban kepada generasi

mendatang maka siapapun diberikan akses untuk melakukan suatu upaya hukum yang

bertindak untuk dan atas nama generasi masa depan. Model upaya hukum ini saya

namakan sebagai prinsip “gugatan membela masa depan” (future lawsuit). Masa depan

itu adalah keberlangsungan kehidupan di alam ini. Melihat potensi kerugian ekologis

akibat kerusakan atau pencemaran yang luas maka siapapun secara moral berhak

mewakili masa depan.

Pada prinsipnya, setiap orang atau badan atau grup yang kegiatannya berdampak

pada sumber daya alam harus menjamin bahwa generasi masa depan tidak menjadi

korban atas tindakan dan kegiatan di masa kini. Dengan demikian apa yang digugat oleh

subyek hukum yang mewakili masa depan intinya adalah tentang jaminan keadilan dan

kelestarian ekologis itu sendiri, baik berupa tindakan pencegahan ataupun pemulihan

pencemaran dan kerusakan lingkungan serta dana garansi pembiayaan pemeliharaan

lingkungan yang harus dibayarkan kepada Bank Ekologi (Eco-Bank).

Bank Ekologi juga menjadi tempat-tempat donasi sosial hasil penggalangan dana

dalam gerakan preservasi lingkungan hidup. Selain untuk membiayai preservasi

ekologi, dananya juga didayagunakan dengan dipinjamkan untuk usaha-usaha yang

sifatnya noneksploitatif yang mempunyai akibat preservasi ekologi, misalnya usaha-

usaha produksi pertanian dan peternakan ramah lingkungan serta produksi sumber

energi alternatif yang membantu pemulihan ekologi.

                                                       40 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 210. 41 H. Riduan Syahrani, op.cit., hal. 10. 

Page 26: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

26 | P a g e 26  

PENUTUP

1. Simpulan

a. Sistem hukum lingkungan hidup Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

yang memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan global, nasional dan mengakui

kearifan lokal, yang merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum nasional

berorientasi pada kepastian hukum, HAM dan keadilan, sebagaimana dirumuskan

dalam UU No. 32 Tahun 2009. Sistem hukum lingkungan demikian itu bersifat

responsif. Kelemahan undang-undang dapat diatasi dengan peran para hakim untuk

menjalankan kewenangan menciptakan atau menemukan hukum yang sesuai dengan

nilai kebenaran dan keadilan sosial.

b. Implementasi sistem hukum lingkungan Indonesia adalah dengan cara membangun

paradigma baru tentang ilmu pengetahuan yang berbasis lingkungan hidup, terutama

mengonstruksi ilmu ekonomi agar bernurani, mengakui prinsip keadilan sosial

sesuai dengan ekonomi Pancasila, memikirkan nasib generasi masa depan. Agenda

penyelamatan lingkungan hidup Indonesia demi keberlangsungan hidup generasi

masa depan yang layak dijalankan dengan gerakan pemerintah, sosial dan hukum

ekologi berdasarkan sistem hukum lingkungan (eco-government, eco-society and

eco-law action based on eco-law system). Agenda tersebut dijalankan sekurang-

kurangnya dengan melakukan (1) Penataan pemerintahan berbasis lingkungan

hidup; (2) Penggalangan partisipasi dan penguatan masyarakat; (3) Penetapan

wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam; (4) Penyusunan nota kesepahaman

penegakan hukum; dan (5) Penggalangan dan pendayagunaan dana ekologi.

Efektivitas hukum lingkungan tergantung dari aparatur negara termasuk penegak

hukumnya. Apabila upaya aparatur negara lemah dalam penegakan hukumnya maka

partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam aksi untuk upaya penyelamatan

lingkungan juga harus dianggap sebagai upaya penegakan hukum lingkungan oleh

masyarakat. Selain itu, hukum harus memberikan akses upaya hukum bagi subyek

hukum masa kini dengan dasar moral untuk mewakili masa depan, berdasarkan asas

pertanggungjawaban generasi sekarang kepada generasi masa depan, di mana

Page 27: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

27 | P a g e 27  

aktivitas generasi sekarang harus memberi garansi bahwa generasi masa depan tidak

menjadi korban akibat perilaku hidup dan tindakan generasi sekarang.

2. Saran

a. Gerakan revolusi paradigma dalam ilmu pengetahuan berbasis ekologi seyogyanya

dijadikan bahan-bahan pendidikan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga

Perguruan Tinggi, selain adanya upaya-upaya pengorganisasian masyarakat untuk

penyelamatan lingkungan hidup.

b. Institusi pendidikan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kualitas

para intelektual hendaknya menyusun etika bagi para tenaga kependidikannya agar

tidak melakukan konspirasi pemalsuan kajian ilmiah dengan para pelaku usaha.

Untuk itu disusun suatu badan eksaminasi akademik untuk merespon maraknya

penggunaan para ahli untuk kepentingan korporasi di pengadilan.

REFERENSI

1. Buku

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Volume 1, Kencana, Jakarta, 2009.

Aminuddin Kirom et al, Tambang dan Kemiskinan: Kasus-kasus Pertambangan di

Indonesia 2001-2003, Jaringan Advokasi Tambang, Jakarta, 2005. Colin Hines, A Global Look to the Local, Replacing Economic Globalization with

Democratic Localisation (Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi), terjemahan Roem Topatimasang, InsistPress, Yogyakarta, 2005.

Daniel C. Maguire, Sacred Energy (Energi Suci), terjemahan Ali Noer Zaman,

Pohon Sukma, Yogyakarta, 2004. H. Riduan Syahrani, Kata-kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni,

Bandung, 2009. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif

(terjemahan dari Pure Theory of Law oleh Raisul Muttaqien), Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2007.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi

Press, Jakarta, 2005.

Page 28: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

28 | P a g e 28  

Johan Galtung, Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and

Civilization (Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban), terjemahan Asnawi dan Safruddin, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003.

Katherine Yih, Yang Merah dan Yang Hijau: Perspektif Kiri Dalam Memahami

Ideologi, terjemahan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial, Jakarta, 2005.

Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Paul Scholten, De Structuur Der Rechtswetenschap (Struktur Ilmu Hukum),

terjemahan B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha

Publishing, Yogyakarta, 2009. Siti Maemunah, et al, RIO + 10: Pertambangan dan Penghancuran Berkelanjutan,

Jaringan Advokasi Tambang, Jakarta, 2001. Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, Pendakatan Kepada Teori Ekonomi

Mikro dan Makro, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2009. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,

1982. Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer – Kajian Khusus Atas

Teori-teori Keadilan (Contemporary Political Philosophy: An Introduction), terjemahan Agus Wahyudi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

2. Jurnal Rahman Dako, Perlawanan Sosial atas Pertambangan di Sulawesi Utara –

Memahami Peranan LSM, Jurnal “Tanah Air” WALHI, Edisi Oktober-Desember 2009, hal. 165.

Surna T. Djajaningrat, Kebijaksanaan Dan Hukum Nasional Pengelolaan Sumber

Daya Alam Dilihat Dari Aspek Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Hukum Lingkungan Tahun IV No. 1, September 1997, Jakarta.

Page 29: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

29 | P a g e 29  

3. Majalah

Emma Kirwan, Menciptakan Platform Kota-Desa untuk Ketahanan Pangan,

majalah Salam No. 25, Oktober 2008. 4. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Agung RI No. 2710 K/Pdt/2008, tanggal 3 April 2009. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 384/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST.

tanggal 27 Nopember 2007. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 136/PDT/2008/PT.DKI. tanggal 13

Juni 2008. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel.,

tanggal 27 Desember 2007. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 383/PDT/2008/PT.DKI Jakarta,

tanggal 27 Oktober 2008.

5. Sumber diambil dari internet Critique of the 'Buyat Bay' CSIRO Environmental Monitoring study commissioned

by PT Newmont Minahasa Raya (2004), Mineral Policy Institute, 31 Oktober 2004.

Gatra Edisi Khusus, Beredar Kamis, 22 November 2007. http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan_asam Kompas.com, 27 Nopember 2009. Ringkasan Putusan Pengadilan Pajak No. Put.04584/BPSP/M.III/18/2001 dari

Pajak Online.com. Siaran Pers: Rakornas Penegakan Hukum Lingkungan 2010, 6 Desember 2010,

Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, www.menlh.go.id. Subagyo, Lumpur Lapindo dan Hukum Usang, opini, Kompas.com, 31 Mei 2010. Tempo Interaktif.com, 2 Agustus 2006. The New York Times (NYtimes.com), 9 Nopember 2004. Unofficial Transcript of the Ruling Read Out in Manado Court on 24-April-2007,

dari Richardness.org.

Page 30: Konsep Gerakan an Ekologi - Lingkungan

30 | P a g e 30  

www.kemenlh.go.id tentang Sejarah dan Latar Belakang; Artikel Hukum

Lingkungan (Bagian ke-3). Yance Arizona, Peluncuran Buku "Green Constitution": Sebuah Ulasan, 6 Mei

2009 dikutip dari http://www.jimly.com.

6. Lain-lain dokumen Hasil Studi Aspek Hukum Kasus Pencemaran/Perusakan Teluk Buyat, Tim Teknis

dari Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pante dan Desa Ratatotok Timur Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Jakarta, 8 Nopember 2004.

Laporan Pemeriksaan Atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007.