Download - KOmunikasi pada anak berkebutuhan khusus.doc

Transcript

TEKNIK KOMUNIKASI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

OLEH :

KELOMPOK TINGKAT I

D-IV KEPERAWATAN1. Ni Made Ayu Rahayuni

(P07120214001)

2. Ida Ayu Rika Kusuma Dewi

(P07120214002)3. Putu Yeni Yunita Sari

(P07120214004)4. Ni Nyoman Wita Wihayati

(P07120214006)

5. Ni Made Ayu Lisna Pratiwi

(P07120214009)6. Ni Putu Meylitha Budiandani

(P07120214013)7. Ni Putu Erna Libya

(P07120214015)8. Ni Putu Dian Inlam Sari

(P07120214018)9. Ni Putu Suci Novi Ariani

(P07120214021)

10. Ida Ayu Diah Nareswari Keniten

(P07120214039)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMESKES DENPASAR

TAHUN AKADEMIK 2014/2015

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Teknik Komunikasi Pada Anak Berkebutuhan Khusus ini dengan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk proses pembelajaran mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia di Politeknik Kesehatan DenpasarPenyusunan makalah ini berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penelitian dan pengumpulan data.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Om Shanti Shanti Shanti Om

DAFTAR ISIBAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah

2

1.3 Tujuan Penulisan

3

1.4 Manfaat Penulisan

3

1.5 Metode Penulisan

3BAB 2 Pembahasan

2.1 Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus

42.2 Teknik Komunikasi

162.3Penggunaan Bahasa dan Terminologi dalam Konteks Pendidikan Kebutuhan Khusus

182.4 Contoh Teknik Komunikasi

23BAB 3 Penutup3.1 Kesimpulan

283.2 Saran

28Daftar Pustaka

29BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melalui komunikasi manusia dapat menyampaikan gagasan, keinginan, perasaannya dalam rangka mencapai sesuatu yang dibutuhkannya baik secara verbal atau non verbal seperti menggunakan simbol-simbol, isyarat, gerak tubuh, ataupun bunyi-bunyian.Cara berkomunikasi yang paling efektif dan paling dominan dipergunakan oleh masyarakat pemakainya adalah bentuk bahasa yang diucapkan atau diartikulasikan Dengan komunikasi verbal manusia akan dengan mudah dan sesegera mungkin memenuhi keinginan atau kebutuhannya

Manusia telah diberi anugerah dari Tuhan untuk mampu berkomunikasi. Sepintas komunikasi merupakan suatu hal yang alamiah yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukan komunikasi dengan baik, salah satunya adalah anak yang memiliki gangguan komunikasi.

Komunikasi merupakan suatu proses timbal balik yang terjadi antara pengirim dan penerima pesan. Proses komunikasi terdiri dari orang yang mengirim pesan, isi pesan, serta orang yang menerima pesan. Antara si pengirim pesan maupun si penerima pesan saling mempengaruhi. Orang yang menerima pesan akan menjawab atau memberi reaksi terhadap pengiriman pesan, sehingga terjadi interaksi antara pengirim pesan dan penerima pesan.Gangguan komunikasi yang dialami anak akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan anak, meskipun tidak seluruh aspek pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan seseorang ditentukan oleh kemampuan perilaku komunikasinya. Komunikasi terdiri dari bicara dan bahasa. Keduanya sering dibicarakan bersama tetapi masing-masing adalah berbeda. Keterampilan berkomunikasi pada umumnya berkembang sesuai usia. Namun dapat juga terjadi hambatan yang dapat disebabkan oleh gangguan pendengaran, ketidakmampuan fisik, gangguan perkembangan, ketidakmampuan belajar, gangguan perkembangan perpasif, autisme dan gangguan perilaku atau emosi.Siapapun orangnya baik orangtua maupun guru harus menyadari bahwa yang harus ditekankan adalah kemampuan berkomunikasi tidak hanya bicara, tapi semua aspek komunikasi. Aspek komunikasi meliputi kemampuan mendengar, kemampuan menjawab, cara berkomunikasi, kemampuan memahami kata-kata dan kemampuan menuangkan gagasan atau ide. Dengan pemikiran seperti itu maka kita dapat melakukan berbagai hal untuk mengembangkan kemampuan komunikasi anak yang mengalami gangguan komunikasi. Kita dapat mengembangkan kemampuan komunikasi anak karena sesungguhnya mereka masih memiliki potensi untuk berkomunikasi, misalnya dengan gerak tubuh atau dengan visualnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan suatu asesmen terhadap anak dengan gangguan komunikasi sebagai langkah awal untuk menentukan berbagai pendekatan, metode, materi/program atau media yang dapat digunakan untuk membantu mengembangkan kemampuan komunikasi anak agar potensi yang mereka miliki dapat berkembang seoptimal mungkin. Makalah ini bermaksud mengangkat permasalahan komunikasi pada anak berkebutuhan khusus.1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah konsep dasar anak berkebutuhan khusus?

1.2.2 Bagaimanakah tekhnik komunikasi pada anak berkebutuhan khusus?

1.2.3 Bagaimanakah penggunaan bahasa dan terminologi dalam konteks pendidikan anak berkebutuhan khusus?

1.2.4 Apasajakah contok tekhnik komunikasi pada anak berkebutuhan khusus

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar anak berkebutuhan khusus

1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami tekhnik komunikasi pada anak berkebutuhan khusus

1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami penggunaan bahasa dan terminologi dalam konteks pendidikan anak berkebutuhan khusus

1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami contok tekhnik komunikasi pada anak berkebutuhan khusus

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini mahasiswa dan pembaca memperoleh pengetahuan tambahan mengenai pokok bahasan mengenai komunikasi pada anak dengan kebutuhan khusus

1.5 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini Kami menggunakan metode penulisan yaitu penelusuran IT. Pada metode penelusuran IT, kami mencari tambahan refrensi pada internet untuk melengkapi data-data yang telah kami peroleh pada literature

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus

Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anakmemiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagaiseorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).

Menurut Heward dan Orlansky (1992:8) yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki atribut fisik atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, baik diatas atau dibawah, yang tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan fisik, mental, atau emosi, sehingga membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus. Selanjutnya Heward dan Orlansky membagi anak berkebutuhan khusus menjadi delapan kategori, yaitu: retardasi mental, kesulitan belajar, gangguan emosi, gangguan komunikasi (bahasa dan pengucapan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (gangguan fisik atau gangguan kesehatan lainnya), tunaganda (memiliki lebih dari satu gangguan atau ketunaan yang cukup berat). Kemudian menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (Magunsong, 2010), mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental, intelektual, sosial, emosional), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Penyimpangan yang dimaksud termasuk tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, lamban belajar, berbakat, tunalaras, ADHD, dan autisme.

2.1.1. Anak Ber-IQ Rendah/Retardasi Mental/Tuna Grahita

Tuna Grahita (Retardasi Mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehinggamengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.

1) Ciri-Ciri Anak Ber-IQ Rendah

a) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil atau terlalu besar.

b) Tidak dapat mengurus diri sendiri seusia usia

c) Kelopak mata tebal sehingga mata terlihat sipit

d) Perkembangan berbicara atau bahasa terhambat

e) Tidak ada atau kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong)

f) Koordinasi gerakan kurang

g) Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)2) Kesulitan yang dihadapi anak Ber-IQ Rendaha) Anak yang perkembangan mentalnya terhambat bukan berarati terhambat pula perkembangan lainnya. Pada anak-anak Tuna Grahita, kelemahannya terutama terlihat dalam hal berhitung, penundaan bahasa, mengalami hambatan dalam ingatan, kurang dapat mengontrol lingkungan dan kesulitan-kesulitan secara umum.

b) Penderita retardasi mental tidak akan mencapai kematangan intelektual yang sama seperti anak sebaya yang normal. Tingkat kematangan yang dicapai tergantung pada derjat retardasinya.

c) Dalam hubungan dengan orang lain, penderita tuna grahita sering kali menjadi sasaran kenakalan anak-anak yang normal atau anak yang lebih tua. Akibat ketidakmampuan mereka dalam memahami norma-norma sosial dan menyesuaikan diri di dalamnya. Para penderita tuna grahita mungkin melakukan perbuatan yang akhirnya menjerumuskan mereka ke lembaga kemasyarakatan khusus untuk anak.

3) Implikasi PendidikanAnak dengan lamban belajar, memiliki kebutuhan pembelajaran khusus antara lain.

a) Waktu yang lebih lama dibanding dengan anak normal.b) Ketelatenan dan kesabaran guru untuk tidak terlalu cepat dalam memberikan penjelasan.c) Diperbanyak latihan daripada hafalan dan pemahaman.d) Menuntut dipergunakannya media pembelajaran yang variatif oleh guru.e) Diperbanyak kegiatan remidial.2.1.2 Anak-Anak Dengan Kecacatan Fisik

a. Cacat yang Disebabkan Oleh Kecelakaan

Contoh :

Seorang anak sekitar umur 6 tahun yang mengalami gangguan pendengaran yanng disebabkan kecelakaan saat bepergian bersama orang tuanyaAnak yag mengakami gangguan ini seringkali merasa tertekan karena merasa bahwa ia berbeda dari teman-temannya.

Cara Membantu Proses Belajar Cacat yang Disebabkan Oleh Kecelakaan

1) Dilatih untuk bergaul dan menangkap informasi di lingkungan sekitar dengan tetap menyadari keterbatasan yang dimilikinya.

2) Dengan alat medis, seperti alat bantu dengar, kaki palsu, dllb. Cacat Fisik yang Dibawa Mulai Dari Kandungan

Contoh : Seorang bayi yang lahir dengan keadaan berkepala kecil.Cara berpikir anak yang mengalami gangguan seperti ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai tingkat kedewasaan. Namun masih memiliki kapasitas emosional yang membantu mereka dalam berkomunikasi dan memahami persaan orang lain

Program-Program Bagi Anak Cacat Fisik

1) Individual Education Program (IEP)

2) Development Progres Report (DPR)

3) Program pengembangan kemampuan dan melatih kemandirian

4) Pelatihan kerja

Karakteristik dan Kebutuhan Pembelajaran Anak Berkebutuhan KhususKesulitan Menggunakan Bahasa dalam Berkomunikasi. Bahasa dan kegagalan komunikasi merupakan kegagalan dalam kemampuan penggunaan bahasa untuk komunikasi, kegagalan komunikasi mempunyai rata-rata pemerataan lebih tinggi daripada yang ditunjukkan dalam statistiknya. Kegagalan bahasa berkembang sebagai hasil dari interaksi antara faktor biologis dan lingkungan. Para pendidik dapat meningkatkan kahlian komunikasi bagi anak-anak yang memiliki kegagalan komunikasi dengan cara melatih keterampilan komunikasi dengan teman sebaya secara natural dan dengan sendirinya dapat mempelajari situasi baru. Berikut ini adalah beberapa gangguan yang juga berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi.1) Bahasa dengan tulisan; berbagai kesulitan dalam membaca, menulis, dan mengeja (disleksia)2) Kesulitan menulis (disgrafia)

3) Kesulitan Berhitung (diskalkulis)

4) Lamban belajar (slow learner)

5) Gangguan emosi dan perilaku

6) Gangguan komunikasi

7) Gangguan gerakan anggota tubuh

8) Gangguan yang berkaitan dengan panca indera yang meliputi.

a) Tuna netra (penglihatan)

b) Tuna rungu (pendengaran)

c) Tuna daksa (kelainan anggota tubuh)

d) Tuna grahita (keterbelakangan kemampuan intelektual)2.1.3 Autisme

Menurut Baron dan Cohen (1985) autis adalah suatu kondisi mengenaiseseorang sejak lahir ataupun saat masa balita yang membuat dirinya tidak dapatmembentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal selain itu jugamengalami kesulitan untuk memahami bahwa sesuatu dapat dilihat dari sudutpandang orang lain. Akibatnya anak-anak tersebut terisolasi dari manusia lain danmasuk dalam dunia repetitive, aktifitas dan minat yang obsesif serta sulitmengembangkan kemampuan berinteraksi dan bergaul, sedangkan menurutSugiarto dan kawan-kawan (2004) mengemukakan bahwa autis merupakankondisi anak yang mengalami gangguan hubungan sosial yang terjadi sejak lahiratau masa perkembangan sehingga menyebabkannya terisolasi dari kehidupanmanusia. Kemudian menurut Wing dan Gould (Wolfberg, 1999), ada tiga jenisinteraksi sosial yang mencirikan anak autistic spectrum disorder yaitu ; Aloof(bersikap menjauh atau menyendiri), Passive (bersikap pasif), Active and Odd(bersikap aktif tetapi aneh).

Autismemasa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996). Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999). Autisme menurutRutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996). Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan sadock 2000). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.1) Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi olehPada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak.

Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya.

Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres. Kelainann lain adalh destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat. Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada orang asing.

2) Cara Mengetahui Autisme Pada AnakAnak mengalami autisme dapat dilihat dengan:1. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.

2. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.

3. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.

1. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.

2. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.

3. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

3) Manifestasi KlinisManifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :

a) Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri

b) Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.

c) Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.

d) Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .

e) Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.

f) Kontak mata minimal atau tidak ada.

g) Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.

h) Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional

i) Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.

j) Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.

k) Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.

Ciri yang khas pada anak yang austik :a) Defisit keteraturan verbal.

b) Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.

c) Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).

Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:a) Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.

b) Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.

c) Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

2.1.4 Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.

Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.

2.1.5 Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.

Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

2.1.6 Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan

Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.

Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.

Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.

Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (childcenter approach).

Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk dipertimbang-kan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.

Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum.

2.2 Teknik Komunikasi

Pertama kita harus mengetahui apa yang anak-anak kita dapat lakukan. Kita harus mengobservasi anak itu dan melihat beberapa jenis pesan yang dicoba oleh anak untuk dikomunikasikan, dan apakah dia menggunakan isyarat gerak tubuh, suara atau kata-kata. Kita juga perlu mengetahui apakah dia mampu untuk memulai komunikasai atas keinginannnya sendiri, atau apakah dia berkomunikasi hanya merespon pertanyaan orang lain.

Ketika kita mengetahui bagaimana setiap anak berkomunikasi secara individual, ada tiga kemungkinan yang bisa dilakukan, yaitu: (1) memungkinkan anak itu mengkomunikasikan lebih banyak jenis pesan. (2) untuk mengajar dia keduanya yaitu merespon pada yang lain dan juga mendorong seseorang mulai suatu percakapan. (3) untuk mengajar keterampilan komunikasi yang lebih tinggi, misalnya: biasanya orang lain itu dapat lebih mudah memahami dan itu dapat digunakan untuk mengkomunikasikan gagasan yang lebih kompleks, seperti mengemukakan keinginan.

Untuk memulainya, kita dapat meminta anak untuk mengemukakan sejumlah jenis pesan yang anak coba untuk komunikasikan. Urutan melakukan ini perlu kita temukan cara yang bisa membuat anak berminat untuk berkomunikasi. Bayi kecil menyampaikan keinginannya dengan spontan, misal: tanpa memikirkan yang sedang dilakukan. Setelah beberapa bulan, bayi yang normal itu mengemukakan dengan sengaja. Perubahan itu terjadi karena bayi itu belajar berhubungan dengan orang lain. Dia mulai mengetahui bahwa, dia bisa merubah situasinya dengan komunikasi, contoh: Dia dapat menerima orang lain untuk melakukan sesuatu untuk dia yang dia tidak dapat lakukan sendiri. Oleh karena itu, anak yang tidak dapat berkomunikasi, pertama harus dibantu untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk menyadari bahwa komunikasi dia banyak dipengaruhi berbagai hal dan orang di sekitarnya.

Kita dapat membantu seorang anak untuk berhubungan dengan orang lainmelalui bermain dengannya seperti kita ingin bermain dengan seorang bayi kecil, menggunakan beberapa kontak fisik seperti: menggelitik, memeluk, mengayun-ayunkan, memantul dengan lutut, dengan ketawa keras dan banyak kontak mata. Guru, anggota keluarga, dan siapapun yang menghabiskan waktu dengan anak sebaiknya selalu siap untuk memberi kesempatan ketika dia kelihatannya ingin mencoba dengan beberapa cara untuk merubah lingkungannya berbagai hal dan situasi di sekitarnya. Anak boleh dibantu untuk untuk mencapai tujuannya, yang akan mendorong dia untuk melihat manfaat pengaruh dari komunikasi.

Belajar meniru (imitasi) apa yang orang lain lakukan atau katakan merupakan suatu keterampilan yang penting untuk berkomunikasi, bahasa, dan bicara. Seorang anak sangat mudah belajar meniru tindakan. Mulai dari gerakan yang kadang-kadang anak lakukan sendiri, misal: yang diketahui sesuai dengan kemampuannya. Ketika anak itu melakukan suatu tindakan seperti meregangkan lengannya, atau menggosok hidungnya, guru sebaiknya menirunya. Bila anak mengulang tindakan itu. (sekarang dia meniru gurunya), beri dia hadiah. Jika perlu, gunakan suatu sentuhan fisik. Bermain drum dan bertepuk tangan adalah suatu tindakan yang menyenangkan untuk ditiru. (tunggu untuk memberi waktu yang cukup pada anak untuk merespon).

Ketika seorang anak mempunyai ide untuk meniru tindakan, lihat apakah dia dapat meniru suara. Coba lagi mulai dengan suara yang dibuat oleh anak sendiri. Beberapa suara yang dihasilkan oleh anak, guru mengulang dengan cara yang sama. Anak itu giliran meniru gurunya Dia sebaikn ya dihargai dan dihargai untuk menirunya serta dia akan belajar bahwa meniru adalah suatu kegiatan yang baik. Anak yang lebih tua akan belajar keterampilan meniru dengan lebih sulit hingga dia dapat meniru kata dan kalimat yang kompleks. Sering seorang anak seperti meniru suara binatang atau suara mobil sebelum dia dapat mengucapkan kata-kata yang nyata. Aktivitas ini dapat dilakukan dengan sekelompok anak-anak yang beberapa telah dapat membuat bunyi dengan lebih mudah. Anak-anak yang masih sedang belajar kemudian akan ikut serta dengan lebih baik. Anak-anak dapat menjadi berkurang kesadaran diri apabila mereka membuat isyarat gerak dengan lengan mereka pada saat yang sama seperti sedang membuat suara/bunyi.

2.3 Penggunaan Bahasa dan Terminologi dalam Konteks Pendidikan Kebutuhan Khusus

a. Penggunaan BahasaUntuk memahami sesuatu dengan benar dan jelas harus dimulai dengan penggunaan bahasa terminology yang benar dan jelas pula sejalan dengan paradigma yang digunakan. Perubahan paradigma yang terjadi membawa implikasi pada pengguna-an bahasa (istilah atau terminologi). Istilah atau terminologi yang digunakan diyakini akan mempunyai pengaruh dalam cara kita berpikir dan memandang sesuatu. Orang-orang yang mempunyai perbedaan dan menyimpang dari norma (dalam hal tertentu) sering digunakan istilah atau bahasa tertentu yang dapat menggambarkannya. Akan tetapi cara seperti ini sering mengarah kepada pemberian label atau stigma yang tidak tepat kepada orang-orang yang dianggap berbeda dari orang kebanyakan (penyandang cacat).

Label atau stigama atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang menyandang kecacatan, sering menimbulkan kesulitan dan menimbulkan masalah yaitu bahwa semua orang penyandang cacat dianggap sama. Ekpresi seperti buta, dileksia, tuli, autisme, mengandung makna bahwa kita menganggap setiap kelompok itu bersifat homogen. Akan tetapi dalam kenyataannya, orang-orang yang dikelompokkan menjadi satu kelompok menurut label tertentu itu mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat besar atara satu individu dengan individu lainnya.

Dalam konsteks Pendidikan Kebutuhan Kebutuhan Khusus sangat dihindari cara menggambarkan kondisi individu bedasarkan label atau stigma yang didasarkan atas pengelompokkan kecacatan (disability). Oleh karena itu cara yang digunakan adalah dengan berpatokan pada prinsip melihat individu sebagai manusia, baru kemudianmelihat kecacatannya. Manakala kita berhadapana dengan kenyataan kecacatan tertentu,akan sangat bijaksana apabila kita mengatakan a person with disability atau person whohas disability dari pada mengatakan a disabled person (penyandang cacat dari padaorang cacat). Dengan mengatakan penyandang cacat (pereson who..... or person with) terkandung makna bahwa kecacatan merupakan sebuah ciri atau karakteristik kemanusian dari seseorang, dan sama halnya seperti kita mengatakan orang yang berambut putih, orang yang berkulit hitam dsb.Kita masih sering mendengar ada orang mengatakan: Ani adalah anak down syndorome. Dalam kenyataanya Ani juga adalah anak yang bermata sifit dan lucu, berambut ikal, memiliki dua saudara dan down syndrome. Jadi sangat manusiawi dan realistis jika kita melihat individu anak sebagai anak lebih dahulu baru kemudian melihat bahwa setiap anak memiliki karakteristik kemanusiaan yang bebeda-beda.

Hal lain yang sering menimbulkan kesulitan dalam menggambarkan penyandang cacat adalah penggunaan istilah penderita atau istilah korban, misalnya penderita tunarungu, penderita down syndrome, penderita autisme dsb. Seorang yang mengalami tunarungu dan dalam berkomunikasi mengunakan bahasa isyarat, ia buka sesorang yang menderita akibat tunarungu yang kemudian menggunakan bahasa isyarat. Aka tetapi penggunaan bahasa isyarat merupaka altearnataif atau kompensasi dalam komunikasi.

Sebagai seorang guru seharusnya menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat offensive kepada siswa-siswanya seperti: Kamu tuli, atau guru mengatakan Hei, kamu Freddy yang buta . Adalah juga bersifat offensive dalam menggunakan kata normal sebagai cara dalam membandingkan individu penyandang cacat dan yang tidak.Misalnya kita mengatakan: anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak normal. Akan sangat tepat apabila dikatakan : anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kesulitan belajar. Penggunaan istilah normal dan tidak normal menjadi tidak relevan atau tidak sejalan dengan konsep pendidikan kebutuhan khusus.

b. TerminologiTerdapat beberapa terminologi yang perlu dipahami dengan jelas dalam kaitannya dengan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu istilah impairment, disabilities, dan istilah handicaps. Ketiga istilah tersebut sering dipertukarkan dalam penggunaannya sehari-hari.

Istilah impairment didefinisikan sebagai kehilangan, kerusakan atau ketidaklengkapan dari aspek psikologis, fisiologis atau ketidak lengkapan/kerusakan struktur anatomi. Hal seperti itu biasanya merujuk kepada kondisi kondisi yang bersifat medis atau kondisi organis (Foreman, 2001; Lewis, 1997), seperti rabun dekat, cerebral palsy, spina bifida, down syndrome, atau tuli.

Sementara itu disabilities (ketidakmampuan) adalah keterbatasan atau hambatan yang dialami oleh seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) tertentu. Sebagai contoh: karena kerusakan (impairment) spina bifida, seorang anak mengalami kesulitan atau hambatan untuk berjalan tanpa bantuan calipers atau crutches. Kerusakan pada fungsi pendengaran (hearing impairment), mengakibatkan seorang individu mengalami kesulitan atau hambatan utnuk berkomunilasi dengan menggunakan bahasa seacara verbal (Foreman, 2001).

Istilah handicaps diartikan sebagai ketidak beruntungan (disadvantage) pada seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) atau disability(ketidakmampuan) yang membatasi atau mengahambat seseorang dalam menjalankan peranannya (tergantung kepada jenis kelainan, usia, dan faktor social budaya) secara sosial. Handicaps tidak hanya akan dialami oleh orang yang mengalami impairment atau disability, akan tetapi dapat pula dialami oleh semua orang, jika orang tersebut tidakdapat melakukan peranannya secara sosial.

Sebagai contoh seseorang yang tidak bisa berbahasa asing (Inggris, atau Mandarin atau bashasa asing lainnya) akan mengalami handicaps jika harus melakukan aktivitas yang berhubungan dengan salah satu bahasa asing tsb. Contoh lain, seorang yang mengalami tunanetra tidak mengalami handicaps untuk membaca tulisan awas ketika orang tersebut sudah menguasai teknologi computer. Sebaliknaya seorang yang bukan tunanetra yang tidak memilki keterampilan dalam menggunakan komputer akan mengalami handicaps jika harus mengerjakan sebuah pekerjaan yang menggunakan komputer. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa impairment yang dialami oleh seorang individu dapat dipastikan akan mengakibatkan munculnya disability. Akan tetapi impairment dan disability tidak selalu menyebabkan timbulnya handicaps. Seorang yang mengalami kerusakan fungsi penglihatan (person with hearing impairment), akan kehilangan kemampuannya antara lain dalam berbahasa secara verbal. Kehilangan kemampuan bicara secara verbal akibat kerusakan fungsi pendengaran dikatakan sebagai disability. Namun demikian disability yang dialaminya itu kemudian dapat dikompen-sasikan dengan mengunakan bahasa isyarat atau komunikasi total sehingga meskipun ia mengalai disability dalam berbicara tetapi secara sosial masih dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Maka orang ini tidak mengalami handicaps.Dipihak lain apabila kita menghubungkan kondisi individu yang mengalami kecacatan tertentu, misalnya kehilangan fungsi pendengaran (person with hearingimpairment) dengan pendidikan dan belajar, maka individu itu akan mengalami hambatandalam belajar (barier to learning), sebagai akibat dari impairment dan disability yang dialaminya. Hambatan belajar yang dialami oleh setip individu akan sangat beragam meskipun mengalami impairment dan disability yang sama. Sebagai contoh ada dua orang anak yang berusia sama mengalami gangguan perkembangan kecerdasan (childrenwith developmental disability) atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut tunagarahita.Kedua anak ini dikelompokkan kedalam kategori tunagrahita ringan. Akan tetapi ternyata kedua anak ini memiliki hambatan belajar yang berbeda. Anak yang satu mengalami hambatan dalam belajar memahami konsep bilangan tetapi sudah mulai bisa membaca, mengurus diri dan dapat berkomuniskasi dengan orang lain. Sementara anak yang kedua mengalami hambatan dalam memahami simbul grafem (huruf alphabet) dan oleh karenaitu belum bisa membaca, masih belum bisa mengurus diri, dan belum bisa duduk tenang. Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus, layanan pendidikan selalu didasarkan pada hambatan belajar yang dialami oleh anak secara individual, bukan didasarkan pada label dan karakteristik dari disability yang bersifat kelompok.Hambatan belajar yang dialami oleh seorang individu memberikan gambaran kepada guru tentang bantuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak tersebut. Ketika seorang guru mulai berpikir tentang pemberian bantuan (program pembelajaran) yang seharusnya diberikan kepada anak yang bersangkutan, pada saat itu sesungguhnya guru telah menemukan apa yang disebut dengan kebutuhan belajar anak (Special EducationalNeeds).C. Sebab-Sebab Timbulnya Kebutuhan KhususTerdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) Faktor internal pada diri anak, 2) Faktor ekternal dari lingkungan dan, 3) Kombinasi dari factor internal dan eksternal.

1. Faktor InternalFaktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang bersangkutan. Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami kesulitan untuk begerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada di dalam diri anak yang bersangkutan.

2. Faktor EkternalFaktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga dalam jangka panjang mengakibatkan anak teresbut kehilangan konsentrasi, menarik diri dan ketakutan. Akibantnya anak tidak tidak dapat belajar.

Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau konflik sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan orang yang belum dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan dengan banjir besar yang pernah dialaminya. Keadaan seperti ini menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam belajar, dan memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.

3. Kombinasi Faktor Eksternal dan InternalKombinasi antara factor eksternal dan factor internal dapat menyebabkan terjadinya kebutuhan khusus pada sorang anak. Kebutuhan khusus yang disebabkan oleh factor ekternal dan internal sekaligus diperkirakan akan anak akan memiliki kebutuhan khusus yang lebih kompleks.

Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan perhataian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak memerima kehadiran anak, tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat perlakuan orang tua yang tidak tepat.

2.4 Contoh Teknik KomunikasiDalam konsteks Pendidikan Kebutuhan Kebutuhan Khusus sangat dihindari cara menggambarkan kondisi individu bedasarkan label atau stigma yang didasarkan atas pengelompokkan kecacatan (disability). Oleh karena itu cara yang digunakan adalah dengan berpatokan pada prinsip melihat individu sebagai manusia, baru kemudianmelihat kecacatannya. Manakala kita berhadapana dengan kenyataan kecacatan tertentu,akan sangat bijaksana apabila kita mengatakan a person with disability atau person whohas disability dari pada mengatakan a disabled person (penyandang cacat dari padaorang cacat). Dengan mengatakan penyandang cacat (pereson who..... or person with) terkandung makna bahwa kecacatan merupakan sebuah ciri atau karakteristik kemanusian dari seseorang, dan sama halnya seperti kita mengatakan orang yang berambut putih, orang yang berkulit hitam dsb. Kita masih sering mendengar ada orang mengatakan: Ani adalah anak down syndorome. Dalam kenyataanya Ani juga adalah anak yang bermata sipit dan lucu, berambut ikal, memiliki dua saudara dan down syndrome. Jadi sangat manusiawi dan realistis jika kita melihat individu anak sebagai anak lebih dahulu baru kemudian melihat bahwa setiap anak memiliki karakteristik kemanusiaan yang bebeda-beda.

Anak dengan gangguan kecerdasan

1. Address children using simple but not childish words. Berbicara dengan anak menggunakan kata-kata yang sederhana tapi tidak kekanak-kanakan.

2. State your request clearly and precisely. Utarakan permintaan anda dengan jelas dan tepat.

3. Stay calm and be ready to rephrase your request several ways. Tetap tenang dan selalu siap untuk mengulangi permintaan anda dalam beberapa cara.

4. Use concrete examples frequently. Sering-sering menggunakan contoh yang konkret.

5. To confirm a child has understood your message, discreetly request that he repeat it. Untuk memastikan anak tersebut sudah mengerti pesan anda, minta anak tersebut mengulang pesan anda secara diam-diam

Anak dengan gangguan penglihatan

1. Speak and act in your usual way. Avoid using terms that imply sight, such as Watch, Ill show you how to do it" Bicara dan bertindak dengan biasa. Hindari menggunakan kata yang menyiratkan penglihatan, seperti "Perhatikan, ya! Aku akan menunjukkan padamu cara melakukannya

2. Avoid using references to here andthere. These words are not useful references for the child who cannot see. Hindari menggunakan petunjuk di sini" dan "di sana". Kata- kata ini tidak berfungsi sebagai petunjuk pada anak yang tak bisa melihat.

3. Respond verbally to questions. Head movements and hand gestures will not be noticed. Make your words precise and, before you use a figurative phrase, ensure that the child will understand its meaning in its context. Respon pertanyaan dengan respon verbal. Gerakan kepala dan tangan tidak akan diketahui anak. Buat kata-kata anda tepat dan sebelum anda menggunakan kata-kata kiasan, pastikan maksud dari kata-kata anda akan dimengerti oleh anak.

4. Do not increase the volume of your voice (unless you know from medical records that this will help with an auditory concern). Avoid long pauses in your speech. Jangan naikkan volume suara anda (kecuali jika anda tahu dari catatan medis bahwa hal ini akan membantu pendengan anak). Hindari jeda yang panjang.

5. Always let the child know where you are: tell him where you are in relation to him and let him know when you are leaving. Selalu beritahu keberadaan anda: katakan pada anak dimana anda saat ini kaitannya dengan si anak dan beritahu anak kapan anda akan pergi meninggalkannya.

Anak dengan gangguan pendengaran

1. Speak clearly using your normal speed and tone, articulating carefully but without exaggeration. Bicara dengan kecepatan dan nada normal, mengartikuliasikan dengan hati-hati namun tidak berlebihan

2. Make sure you have the childs attention before you speak. Use all manner of gestures, facial expressions, actions and pictures to help the child understand language. Pastikan anak memperhatikan anda sebelum anda berbicara. Gunakan sikap, mimik wajah, tindakan dan gambar untuk membantu anak mengerti bahasa anda.

3. Check frequently to make sure the child has understood. If he has not, rephrase your message, rather than merely saying it again. Sering-Sering memeriksa anak untuk memastikan si anak telah mengerti. Jika dia belum mengerti, ulangi pesan anda dengan kata-kata lain yg lebih mudah dipahami, dibandingkan mengulangi pesan yang sama dengan kata-kata yang sama

4. Hearing loss can cause delays in language development and difficulties with speech. You may have trouble understanding the child who has been deaf since birth. Dont hesitate to ask him to repeat himself. Your interest and encouragement will be motivators for future success. Kehilangan pendengaran bisa menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan kesulitan dengan cara berbicara. Anda mungkin mengalami kesusahan untuk mengerti apa yang anak berusaha utarakan khususnya jika ia sudah tuna rungu dari lahir. Jangan ragu untuk meminta anak untuk mengulang. Perhatian dan dorongan dari anda akan menjadi motivasi bagi anak untuk menjadi sukses di masa depan.

5. Rather than speaking for the child, give him many opportunities to express himself. Dibandingkan berbicara pada anak, berikan lebih banyak kesempatan pada anak untuk mengekspresikan dirinya.

6. To avoid prejudice, openly discuss his auditory challenge with his playmates and let them learn about his hearing aid. Untuk menghindari kecurigaan, mulai diskusi tentang gangguan pendengarannya dengan teman bermainnya dan biarkan mereka mengenal alat bantu dengar si anak.

7. Make sure other children speak to the child calmly, clearly and one at a time. Pastikan anak-anak lain berbicara dengan tenang, jelas, dan satu per satu jika berbicara pada anak yang mengalami gangguan pendengaran.

Anak dengan kekurangan fisik.

1. Encourage children to express their own ideas and feelings. Dukung anak untuk mengekspresikan ide dan perasaan mereka.

2. Encourage children to learn appropriate behaviours for the setting. Dukung anak untuk belajar berperilaku yang sesuai keadaan.

3. Speak with the child about his physical challenge. Encourage him to explain to the other children how he deals with his disability and what his plans are for the future. Bicara dengan anak tentang kekurangan fisiknya. Dukung dia untuk menjelaskan pada anak-anak lainnya bagaimana dia menghadapi kekurangannya dan apa rencananya untuk masa depannya.

4. As much as you can, let the child take care of himself. Sebanyak yang anda mampu, biarkan si anak mengurus dirinya sendiri.

5. Allow the childs input into decisions that affect him, whenever possible. Ijinkan anak ikut mengambil keputusan yang akan mempengaruhi dirinya, bila memungkinkan.

6. Discuss with all the children physical challenges in general. This way the child will not feel alone. Berdiskusi dengan anak yang mengalami kekurangan fisik lainnya. Dengan cara ini anak tidak akan merasa sendiri.

7. Help children concentrate their efforts on realistic, doable outcomes and channel their energies towards activities they have chosen as goals and priorities. Bantu anak memusatkan usahanya pada realistis, hasil yang dapat dilakukan, dan salurkan energi mereka pada aktivtas yang mereka pilih sebagai tujuan dan prioritasnya. BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pemaparan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan kan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Untuk dapat berkomunikasi hal pertama yang harus diketahui adalah apa yang anak-anak kita dapat lakukan. Kita harus mengobservasi anak itu dan melihat beberapa jenis pesan yang dicoba oleh anak untuk dikomunikasikan, dan apakah dia menggunakan isyarat gerak tubuh, suara atau kata-kata. Kita juga perlu mengetahui apakah dia mampu untuk memulai komunikasai atas keinginannnya sendiri, atau apakah dia berkomunikasi hanya merespon pertanyaan orang lain. 3.2 Saran

Melalui makalah yang kami buat diharapkan mahasiswa dan masyarakat yang membaca makalah ini supaya jangan melecehkan anak-anak yang berkebutuhan khusus, lebih dekatlah dengan anak berkebutuhan khusus supaya anak nyaman berada di lingkungan sekitar. Sedangkan untuk mahasiswa agar lebih bisa memahami jenis-jenis ABK dan cara menghadapi anak yang berkebutuhan khusus serta mampu berkomunikasi dengan ABK dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKACanadian Child Care Federation. 2004. Communicating with Children who have Special Needs. Kanada: Office des services de garde lenfance.Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Australia: Mc Person Printing Group

Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Padstow, Cornwall: Blckwell Publishing CompanyHidayat. Mengajarkan Bahasa dan Komunikasi pada Anak Berkebutuhan Khusus. (Online) (Available:MacDonald, J. 2004. Communicating Partners. London: Jessica Kingsley Publisher..

Penyusun

Denpasar, 7 Mei 2015

32