KEJADIAN LUAR BIASA
(KLB)
DISUSUN OLEH :
JANE HASVITA SARI
P07131011015
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN GIZI
2012
KLB gizi Buruk
Kejadian Luar Biasa
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.
Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang
Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu, suatu
kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih
bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
1. Pengertian
Gizi buruk
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Status
gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan
menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah
ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik.
Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan
gizi buruk Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau
kwashiorkor.
Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi
KLB Gizi adalah ditemukannya balita, dengan tanda-tanda sebagai berikut:
Berat Badan menurut Umur (BB/U) dibawah standar atau Tanda-tanda marasmus atau
kwasiorkor.
Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit
(kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit,
gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering
rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Pada
stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah gangguan gizi karena kekurangan protein biasa (KEP) sering disebut
busung lapar. Gejala yang timbul diantaranya adalah tangan dan kaki bengkak, perut buncit,
rambut rontok dan patah,gangguan kulit. Terdapat juga gangguan perubahan mental yang
sangat mencolok. Pada umumnya penderita sering rewel dan banyak menangis. Pada stadium
lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
2. TUJUAN PELACAKAN
Menentukan besarnya masalah.
Mencari penyebab.
Menyusun tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat.
3. SUMBER INFORMASI
Masyarakat, meliputi: Keluarga, Pengurus RT, Tokoh Masyarakat, praktek yankes
swasta dll.
Kader, meliputi ditemukan anak dengan 3 kali berat badan tidak naik (3T) dan bawah
garis merah (BGM) dalam KMS
Laporan dari petugas atau tempat Pelayanan Kesehatan, meliputi: Puskesmas, RS,
Institusi Kesehatan lainnya. Pejabat atau petugas lintas sektor yang lain. Wartawan,
LSM yang lain.
4. JALUR PENYAMPAIAN LAPORAN KLB GIZI
Masyarakat menyampaikan laporan ke Puskesmas atau Kepala Desa/Lurah selanjutnya
Kepala Desa/Lurah menyampaikan ke Puseksmas. Kader menyampaikan hasil penjaringan
anak dengan 3 T dan BGM ke Puskesmas. Puskesmas melakukan konfirmasi terhadap
laporan yang disampaikan masyarakat. Bila kondisi gizi buruk benar, segera dilakukan
tindakan sesuai PEDOMAN TATA LAKSANA, dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan format W1 (laporan KLB 24 jam).
Fakta tentang Gizi Buruk:
1. Kondisi gizi buruk termasuk busung lapar dapat dicegah.
2. Gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan, (masalah
struktural) tapi juga karena aspek sosial dan budaya hingga menyebabkan tindakan
yang tidak menunjang tercapainya gizi yang memadai untuk balita (masalah
individual dan keluarga). Di Pidie Aceh, Dinas Kesehatan dan UNICEF menemukan
454 balita dari 45.000 balita mengalami gizi buruk akibat konflik dan tsunami. Di
Gianyar, 80% balita yang mengalami gizi buruk bukan berasal dari kelurga miskin
(gakin).
3. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi.
Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan
antara 20-30%.
4. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya
tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80 % terjadi pada masa dalam
kandungan sampai usia 2 tahun.
5. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak
yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita
didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek.
6. 6.7 juta balita atau 27.3% dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang gizi akibat
pemberian ASI dan makanan pendamping ASI yang salah. 1.5 juta diantaranya
menderita gizi buruk.
7. Kurang Energi Protein (KEP) ringan sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 2
tahun, meskipun dapat juga dijumpai pada anak lebih besar.
8. Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar, yaitu
sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti
Tuberculosis, Madang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung
mendadak.
KEKURANGAN VITAMIN, MINERAL DAN ELEKTROLIT PADA PENDERITA
KEP
Nama penyakit kekurangan/ defisiensi serta Gejala dan tanda klinis
1. Buta senja (xeroftalmia) Vitamin A Mata kabur atau buta
2. Beri-beri Vitamin B1 Badan bengkak, tampak rewel, gelisah, pembesaran jantung
kanan
3. Ariboflavinosis Vitamin B2 Retak pada sudut mulut, lidah merah jambu dan licin
4. Defisiensi B6 Vitamin B6 Cengeng, mudah kaget, kejang, anemia (kurang darah),
luka dimulut
5. Defisiensi Niasin Niasin Gejala 3 D (dermatitis /gangguan kulit, diare, deementia),
Nafsu makan menurun, sakit di ldah dan mulut, insominia, diare, rasa bingung.
6. Defisiensi Asam folat Asam folat Anemia, diare
7. Defisiensi B12 Vitamin B12 Anemia, sel darah membesar, lidah halus dan mengkilap,
rasa mual, muntah, diare, konstipasi.
8. Defisiensi C Vitamin C Cengeng, mudah marah, nyeri tungkai bawah, pseudoparalisis
(lemah) tungkai bawah, perdarahan kulit
9. Rakitis dan Osteomalasia Vitamin D Pembekakan persendian tulang, deformitas
tulang, pertumbuhan gigi melambat, hipotoni, anemia
10. Defisiensi K Vitamin K Perdarahan, berak darah, perdarahan hidung dsb
11. Anemia Defisiensi Besi Zat besi pucat, lemah, rewel
12. Defisiensi Seng Seng Mudah terserang penyakit, pertumbuhan lambat, nafsu makan
berkurang, dermatitis
13. Defisiensi tembaga tembaga Pertumbuhan otak terganggu, rambut jarana dan mudah
patah, kerusakan pembuluh darah nadi, kelainan tulang
14. Hipokalemi kalium Lemah otot, gangguan jantung
15. Defisiensi klor klor Rasa lemah, cengeng
16. Defisiensi Fluor Fluor Resiko karies dentis (kerusakan gigi)
17. Defisiensi krom krom Pertumbuhan kurang, sindroma like diabetes melitus
18. Hipomagnesemia magnesium Defisiensi hormon paratiroid
19. Defisiensi Fosfor Fosfor Nafsu makan menurun, lemas
20. Defisiensi Iodium Iodium Pembesaran kelenjar gondok, gangguan fungsI mental,
perkembangan fisik
Sumber: www.depkes.go.id
PELAKSANAAN SISTIM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA
GIZI BURUK
Kejadian KLB gizi buruk perlu dideteksi secara dini dan diikuti dengan tindakan yang cepat
dan tepat sehingga kasus-kasus potensial penyebab gizi buruk dapat dicegah. Prinsip
melaksanakan SKD-KLB gizi buruk adalah mencakup :
• Kajian epidemiologi secara rutin
• Peringatan kewaspadaan dini
• Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.
KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN
Dewasa ini masalah keamananpangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat
perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit akibat
pangan (foodborne disease) dan kejadian-kejadian pencemaran pangan terjadi tidak hanya di
berbagai negara berkembang dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya buruk, tetapi juga
di negara-negara maju. Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju
mengalami keracunan pangan setiap tahunnya. Bahkan di Eropa, keracunan pangan
merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas atau
ISPA. Hal inilah yang menarik perhatian dunia internasional. World Health Organization
(WHO) mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan atau dikenal dengan
istilah “foodborne disease outbreak” sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau
lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti
sebagai sumber penularan. Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia mempunyai makna sosial
dan politik tersendiri karena peristiwanya sering sangat mendadak, mengena banyak orang
dan dapat menimbulkan kematian. Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan, secara rutin memonitor kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan di Indonesia khususnya keracunan yang telah diketahui waktu paparannya (point
source) seperti pesta, perayaan, acara keluarga dan acara sosial lainnya. Selama tahun 2004,
berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia telah terjadi kejadian luar
biasa (KLB) keracunan pangan sebanyak 153 kejadian di 25 propinsi.
Sumber dan jenis pangan penyebab keracunan
Ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan adalah
makanan yang berasal dari masakan rumah tangga 72 kejadian keracunan (47,1%), industri
jasa boga sebanyak 34 kali kejadian keracunan (22,2 %), makanan olahan 23 kali kejadian
keracunan (15,0 %), makanan jajanan 22 kali kejadian keracunan (14,4 %) dan 2 kali
kejadian keracunan (1,3 %) tidak dilaporkan. Berdasarkan data tersebut sumber pangan
penyebab keracunan pangan terbesar yaitu masakan rumah tangga. Hal ini disimpulkan
bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan (makanan
dan air) dalam rumah tangga masih cukup rendah.
Distribusi kasus keracunan berdasarkan waktu, tempat dan orang
Waktu. Frekuensi KLB keracunan pangan tertinggi tahun 2004 terjadi pada Agustus,
Oktober, dan Desember. Musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Desember - Februari.
Sedangkan musim kemarau pada periode Juni - Agustus, dan enam bulan sisanya (Maret,
Mei, dan September - November) merupakan periode peralihan. Frekuensi KLB tertinggi
umumnya terjadi pada musim kemarau dan periode peralihan, seperti pada bulan Agustus
(2004). Begitu juga pada periode peralihan, bulan Oktober (2004). Salah satu dampak dari
musim kemarau dan periode peralihan adalah terbatasnya ketersediaan air bersih yang sangat
penting dalam sanitasi, termasuk sanitasi pangan, peralatan, pekerja, dan tempat pengolahan.
Pada bulan ini juga banyak terjadi pesta, perayaan dan acara sosial lainnya karena ”bulan
baik” untuk hajatan dan pergantian tahun ajaran baru sekolah.
Tempat. Distribusi menurut tempat kejadian menunjukkan bahwa tempat kejadian bervariasi
dari berbagai tempat, yaitu : tempat tinggal 61 tempat (39,9 %), kampus/sekolah 36 tempat
(23,5%), pesta keluarga 22 tempat (14,4%), pabrik 12 tempat ( 7,8%), kantor 5 tempat
(3,3%), swalayan dan tempat pelatihan masing-masing 3 tempat (2,0%), perayaan umum dan
pengajian masing-masing 2 tempat ( 1,3%), pasar, posyandu, hotel dan masjid masing-
masing 1 tempat (0,7%) sedangkan 3 kejadian (2,0%) tidak dilaporkan tempat kejadiannya.
Orang. Distribusi menurut orang menunjukkan bahwa salah satu KLB keracunan pangan
tertinggi tahun 2004 terjadi pada anak usia sekolah, khususnya murid sekolah dasar (SD).
Terjadinya keracunan di lingkungan sekolah antara lain disebabkan oleh ditemukannya poduk
pangan di lingkungan sekolah yang tercemar bahan berbahaya, kantin dan pangan siap saji di
sekolah yang belum memenuhi syarat higienitas dan donasi pangan yang bermasalah.
Agen penyebab KLB keracunan pangan
Keracunan pangan dapat disebabkan oleh mikroba patogen dan cemaran kimiawi. Dari
laporan hasil analisis Balai POM diduga penyebab keracunan disebabkan mikroba patogen 21
kejadian (13,7%), kimia 13 kejadian keracunan (8,5%). Namun ternyata yang tidak
terdeteksi/tidak dapat dianalisis masih jauh lebih banyak, yaitu pada 119 kejadian keracunan
(77,8%).
Masalah utama penanganan keracunan pangan
a. Koordinasi dan kerjasama antar instansi yang menangani KLB keracunan pangan yang
meliputi:
Koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah/dinas kesehatan setempat
kurang, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim
Penanggulangan Keracunan Pangan di Propinsi.
Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan belum dipahami
sepenuhnya oleh petugas di lapangan.
b. Penanganan dan analisis sampel, diantaranya:
Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat
diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab KLB.
Seringkali Balai POM mendapat sampel dari pihak luar/kepolisian yang umumnya
tidak mengetahui bagaimana mengambil dan menangani sampel tersebut.
Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan dan kurang memadai dalam
identifikasi patogen/bahan berbahaya penyebab keracunan pangan.
c. Masalah lain seperti:
Masih rendahnya kejadian yang dilaporkan
Lebih banyak diarahkan untuk menghitung jumlah kasus keracunan pangan saja
Tidak banyak manfaat yang dapat digunakan dalam program keamanan pangan
KLB tidak dapat ditangani secara tuntas
Upaya-upaya untuk Penanggulangan KLB Keracunan Pangan
Badan POM RI bersama instansi terkait, khususnya Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2&PL) Departemen Kesehatan, Departemen
Pendidikan Nasional dan pemerintah daerah telah dan akan melaksanakan upaya-upaya
penanggulangan KLB keracunan pangan terutama untuk golongan rentan yaitu anak sekolah.
Upaya-upaya tersebut tercakup dalam 3 strategi utama yaitu:
Peningkatan aktivitas surveilan keamanan pangan, khusus pangan jajanan anak
sekolah
Pemberdayaan sekolah dalam Pengawasan pangan
Melakukan komunikasi risiko jajanan anak sekolah
KLB DIARE
Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB ( Kejadian Luar Biasa ) seperti halnya Kolera
dengan jumlah penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.Namun dengan tatalaksana
diare yang cepat, tepat dan bermutu kematian dpt ditekan seminimal mungkin. Pada bulan
Oktober 1992 ditemukan strain baru yaitu Vibrio Cholera 0139 yang kemudian digantikan
Vibrio cholera strain El Tor di tahun 1993 dan kemudian menghilang dalam tahun 1995-
1996, kecuali di India dan Bangladesh yang masih ditemukan. Sedangkan E. Coli 0157
sebagai penyebab diare berdarah dan HUS ( Haemolytic Uremia Syndrome ). KLB pernah
terjadi di USA, Jepang, Afrika selatan dan Australia. Dan untuk Indonesia sendiri kedua
strain diatas belum pernah terdeksi.
Defenisi
Suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja , yang
melembek sampai mencair dan bertambahnya frekwensi berak lebih dari biasanya. (3 kali
atau lebih dalam 1 hari.
Faktor yang mempengaruhi diare :
Lingkungan Gizi Kependudukan
Pendidikan Sosial Ekonomi dan Prilaku Masyarakat
Penyebab terjadinya diare adalah peradangan usus oleh agen penyebab :
1. Bakteri , virus, parasit ( jamur, cacing , protozoa)
2. Keracunan makanan/minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia
3. Kurang gizi
4. Alergi terhadap susu
5. Immuno defesiensi
Cara penularan :
Infeksi oleh agen penyebab terjadi bila makan makanan / air minum yang terkontaminasi
tinja / muntahan penderita diare. Penularan langsung juga dapat terjadi bila tangan tercemar
dipergunakan untuk menyuap makanan.
Istilah diare :
Diare akut = kurang dari 2 minggu
Diare Persisten = lebih dari 2 minggu
Disentri = diare disertai darah dengan ataupun tanpa lendir
Kholera = diare dimana tinjanya terdapat bakteri Cholera
Tatalaksana penderita diare yang tepat dan efektif :
Tatalaksana penderita diare di rumah
Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga (kuah sayur, air tajin, larutan gula
garam, bila ada berikan oralit)
Meneruskan pemberian makanan yang lunak dan tidak merangsang serta makanan
ekstra sesudah diare.
Membawa penderita diare ke sarana kesehatan bila dalam 3 hari tidak membaik atau :
1. Buang air besar makin sering dan banyak sekali
2. Muntah terus menerus
3. Rasa haus yang nyata
4. Tidak dapat minum atau makan
5. Demam tinggi
6. Ada darah dalam tinja
Kriteria KLB/Diare :
Peningkatan kejadian kesakitan/kematian karena diare secara terus menerus selama 3 kurun
waktu berturut-turut (jam, hari, minggu). – Peningkatan kejadian/kematian kasus diare 2 kali
/lebih dibandingkan jumlah kesakitan/kematian karena diare yang biasa terjadi pada kurun
waktu sebelumnya (jam, hari, minggu). – CFR karena diare dalam kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan priode sebelumnya.
Prosedur Penanggulangan KLB/Wabah.
1. Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah dengan melaksanakan
Sistem Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukakukan langkah-langkh
lainnya :
1. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik.
2. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4. Memperbaiki kerja laboratorium
5. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain
Tim Gerak Cepat (TGC) :
Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan
penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data
penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan :
Pengamatan :
Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.
Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga
Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan
sebagai sumber penularan.
Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi
penyebarannya
Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang
ditemukan di lapangan.
Penyuluhahn baik perorang maupun keluarga
Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara
lengkap
2. Pembentukan Pusat Rehidrasi
Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Tugas pusat rehidrasi :
Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung.
Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala
diagnosa dsb.
Memberikan data penderita ke Petugas TGC
Mengatur logistik
Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi.
Penyuluhan bagi penderita dan keluarga
Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus, tdk
diinfus, rawat jalan, obat yang digunakan dsb.