Kiri Islam dan Perdamaian Dunia
(Konsep Perdamaian Hassan Hanafi)
Disusun untuk materi kajian pada mata kuliahyang diampu oleh Dr. Muti'ullah, MA
Disusun Oleh:
ABAZ ZAHROTIEN
1320512095
STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIKPRODI AGAMA DAN FILSAFAT
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Kiri Islam dan Perdamaian Dunia
(Konsep Perdamaian Hassan Hanafi)
Framing dan prejustice dunia internasional terhadap Islam dalam dua
dasawarsa terakhir mengalineasikan objektivitas dan mengedepankan penilaian
negatif. Stereotyping semacam ini tidak hanya terjadi pada kalangan tertentu yang
anti terhadap Islam,melainkan telah menjalar pada masyarakat umum dengan satu
konsep pemikiran yang sama, yakni Islam adalah agama kekerasan.
Western stereotypes of Islam as a bellicose ideology and Muslims as
intractable aggressors arose largely during the period of the Crusades, although
attitudes contributing to this view circulated much earlier in Christian Europe. 1
Norman Daniel dalam mendeskripsikan tentang cara pandang Islam tersebut
diatas bukan hanya sekedar penjelasan berdasar asumsi, melainkan
mengumpulkan fakta-fakta dan mengujinya dengan cara pandang publik. Pada
intinya bahwa Islam di mata dunia sudah dalam kondisi nirperdamaian. Islam
merupakan sebuah agama yang tidak mendukung terciptanya perdamaian dunia
dan memaksakan perdamaian berdasarkan kebenaran yang dianutnya.
Asumsi publik terhadap laku kekerasan yang diajarkan oleh agama Islam
semakin diperkuat dengan gerakan terorisme di dunia yang semakin menguat,
bahkan sudah mencapai level perang, khususnya di Timur Tengah. Islam tidak
lagi memiliki citra agama damai dengan perwujudan nilai-nilai kekerasan agama
yang dimanifestasikan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Peperangan atas nama agama yang terjadi, atau spesifiknya tindakan teror
atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal ternyata cukup
mampu mengubah wajah Islam secara menyeluruh. Dunia memandang bahwa 1 Norman Daniel’s, Islam and the West: The Making of an Image, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960, hal 127.
Islam merupakan bentuk agama intoleran yang tidak memiliki kesadaran tentang
arti penting perdamaian sesama manusia.
Melihat penjelasan Norman Daniels tersebut, sebenarnya tidak sejak dua
dasawarsa terakhir, citra Islam sebagai agama militer telah terbangun sejak perang
salib (crussade), dimana saat itu, Islam dinilai berperan besar dalam menciptakan
perang antar agama. Munculnya gerakan terorisme yang dimulai pada awal abad
21 ini, merupakan penguat sekaligus dianggap sebagai momen revivalis bagi
kelompok Islam garis keras.
Padahal menilik sejarah agama-agama di dunia, nyaris semua agama tidak
ada yang lepas dari sejarah kekerasan dan peperangan. Semua itu telah dilewati
oleh agama-agama yang ada untuk mempertahankan eksistensi agama itu sendiri
atau memperluas wilayah pengaruh agama sehingga menimbulkan benturan.
Namun, citra peperangan lebih lekat pada Islam ketimbang agama yang lain.
We know that all religious traditions have been implicated in promoting
violence over the centuries. Indeed, some people insist that including religious
individuals in the process of conflict resolution is like inviting foxes into the hen
house. Religion and Peacebuilding begs to differ. It argues that we need to pay
attention to religion when trying to make sense of human activities, and recognize
that religious traditions have the resources to help us promote peace2.
Harold Coward dan Gordon Smith, sepertinya cukup objektif dalam hal ini,
mereka menempatkan semua agama memiliki sejarah kekerasan tanpa kemudian
menyetereotipkan satu agama dan mengabaikan klaim pada yang lain. Mereka
menyadari bahwa perang dan kekerasan tidak pernah lepas dari sejarah agama-
agama sejak zaman dahulu. Kontribusi agama-agama pada peperangan dan jihad
tidak terelakkan ketika meninjau sejarah seluruh agama-agama yang ada. Mereka
memiliki peran penting dalam menciptakan peperangan atas nama agama, tentu
juga dengan konsep perdamaian. Termasuk diantaranya Islam sebagai agama yang
juga memiliki riwayat peperangan.2 Harlod Coward and Godon S. Smith (eds), Religion and Peacebuilding, State University of New York, 2004, hal. vii
Dalam kamus dunia internasional, menilik Islam lebih populer nama-nama
seperti Sayyid Qutb, Abu A’la Al Maududi, Al Qaeda, Osama bin Laden, serta
tokoh-tokoh gerakan Islam radikal ketimbang nama-nama Chiragh ‘Ali, M.
Shaltut dan Yusuf Qardhawi. Termasuk nama Hassan Hanafi, seorang pemikir
jebolan Sorobne University ini.
Sumbangsih intelektual muslim kepada dunia internasional pada dasarnya
sangat besar. Ini terlihat dari aspek historis yang mencantumkan nama intelektual-
intelektual muslim pada berbagai bidang kehidupan. Padahal, mengabaikan
komplektisitas pola-pola kebudayaan yang membentuk peradaban Timur Tengah
sejak abad-abad pra-Kristen serta perkembangan fenomenologis ilmu pengetahuan
dan institusi-institusi pendidikan Islam selama berabad-abad, sama halnya dengan
mengabaikan asas-asas pokok tradisi Barat yang kini menjadi gaya hidup.
Ketika Eropa tengah berbenah untuk mengajari tata cara menulis dan
administratif terhadap masyarakatnya, dunia intelektual Islam telah sampai pada
memelihara, memodifikasi dan menyempurnakan kebudayaan-kebudayaan klasik
melalui sekolah-sekolah tinggi dan pusat riset yang telah maju dibawah para
penguasa yang memiliki wawasan keilmuan. Kemudian, hasil dari usaha kreatif
dan jenius tersebut telah menjangkau wilayah Latin Barat melalui penerjemahan
versi bahasa Arab atas karya-karya klasik maupun tulisan-tulisan cendekiawan
Muslim tentang kedokteran, filsafat, geografi, sejarah, teknologi, pedagogi dan
disiplin ilmu lainnya3.
Dalam perkembangan kekinian, dunia intelektual Islam tidak berarti mati
setelah fatwa penutupan pintu ijtihad oleh ulama pada akhir masa kejayaan Islam.
Tetapi, ia tetap mengambil posisi sebagai salah satu sumber pengetahuan dengan
peningkatan dunia penelitian, pengkajian dan sumbangsih lainnya untuk
kepentingan umat manusia. Tokoh-tokoh ilmuwan dari kalangan Muslim
3 Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education. A.D, 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, University of Coloardo Press, Coloardo, 1954, hal. vii
bermunculan di dunia untuk mendarmabhaktikan pengetahuannya bagi
kemanfaatan seluruh alam raya.
Hassan Hanafi dan Kiri Islam
Nama Hassan Hanafi lebih populer di kalangan kaum pergerakan,
khususnya pergerakan Islam Kiri dengan teori-teori hasil pemikirannya yang
dapat dikategorikan revolusioner. Ia mencoba melepaskan pakem pemikiran
klasik dan menempatkan model pemikiran baru yang lebih efektif sebagai way of
life. Pemikiran tentang Kiri Islam, Oksidentalisme, Turats dan Tajdid mewarnai
khazanah keilmuan dalam Islam hasil olah otak akademisi asal Mesir ini.
Dr. Hassan Hanafi sadar bahwa dalam beberapa abad terakhir, Islam tidak
lagi muncul sebagai salah satu kandang ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh yang
muncul dalam Islam bukan lagi merupakan tokoh membawa khazanah keilmuan
baru untuk peningkatan kemajuan umat manusia. Islam tertinggal jauh dengan
Barat dalam banyak sisi yang pada periode sebelumnya Islam pernah menempati
posisi puncak. Kesadaran itu, oleh Hanafi dianalisis mendalam untuk melihat
penyebab dan persoalan mendasar yang menyebabkannya.
Analisis terhadap penyebab munculnya kemunduran Islam tersebut pada
akhirnya mendapatkan solusi dengan pemikirannya. Ia yakin bahwa Islam akan
terlepas dari belenggu kemundurannya dengan solusi yang ia tawarkan secara
imiah melalu karya-karyanya. Salah satu tawaran yang cukup membuat
perdebatan dalam Islam sendiri adalah tentang konsepsi Kiri Islam (Islamic Left).
Ia mengkomparasikan antara nilai-nilai kekirian dengan basis teologis yang
menekankan perlawanan terhadap segala bentuk kemunduran. Bagai kalangan
tertentu, ini bukan merupakan hal yang baru, tetapi Hanafi mampu meletakan
konsepsinya ini pada dasar kerangka pemikiran yang kuat antara modernisme dan
postmodernisme.
Sejak kemunculan Islam pada awal abad ketujuh di semenanjung Arabia,
umat manusia telah mengalami banyak perkembangan. Mereka inilah yang
menolak relevansi agama dengan zaman ini. Kita berada di abad sains dan
teknologi, abad penelitian, bukan abad iman. Meskipun dalam berbagai kasus
tidak tepat, dalam pandangan ini, iman melahirkan kemandekan menolak ijtihad
dan bersifat dogmatis, oleh karena itu tidak relevan dengan abad ini. Dalam
sejarah Islam hingga abad ketiga belas, pertentangan antara iman dan akal juga
pernah terjadi. Hal ini mencuat ke permukaan ketika pintu ijtihad telah ditutup dan
taqlid ditekankan4
Dasar teologis yang dilandasakan oleh Hanafi dalam ajaran kirinya adalah
teologisnya itu sendiri (tahuid). Nilai teologis dinilai merupakan basis dari
kemajuan Islam pada abad awal dan masa berjayanya di abad pertengahan.
Namun berbeda pada zaman itu yang menitikberatkan aspek tahuid pada sisi
ketuhanan saja, Hanafi memperkenalkan tauhid dengan membagi dua aspek, yakni
aspek ketuhanan dan kemanusiaan. Ia menafsirkan tauhid sebagai sebuah konsep
penyatuan antara aspek-aspek kemanusiaan dan aspek-aspek ketuhanan.
Korelasi antara manusia dan tuhan dalam pemikiran Hanafi akan
mengantarkan pada analisis keyakinan terhadap Tuhan yang Esa (dasar tahuid),
lalu keyakinan bahwa dalam menciptakan manusia, Tuhan tidak pernah
melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit, tingkat
kekayaan dan chauvinistik lainnya. Hanafi meyakini dengan tidak adanya
diskriminasi Tuhan terhadap manusia merupakan konsepsi tahuid yang utuh dan
disandingkan dengan alam raya yang menjadi tempat tinggal manusia.
Dari dasar ini, Hanafi meyakini bahwa tindakan manusia yang melakukan
diskriminasi terhadap manusia yang lain adalah tindakan yang tidak dibenarkan
dalam konsep teologisnya. Bahwa, tindakan tersebut merupakan aspek yang harus
dilawan karena bertentangan dengan nilai dasar tauhid. Simpulannya, Hanafi
meyakini bahwa Islam dalam kerangka teologis sudah menjamin kebebasan
4 Asghar Ali Engineer, Islam and Its Relevance to Our Age, LKiS Yogyakarta, 2007, hal. 45
manusia dari segala bentuk diskriminasi, kolonialisasi dan imperialisasi oleh
manusia yang lainnya.
Dari logika dasar Kiri Islam yang dibangun Hanafi tersebut, juga menjadi
alasan kuat mengapa Hanafi enggan disandingkan dengan Karl Marx dan Engels
dalam konsepsi kekiriannya. Keduanya memiliki kesamaan spirit yakni anti
terhadap segala bentuk penindasan terhadap manusia, namun kerangka dasar yang
melingkupi gerakan Marx dan Hanafi memiliki perbedaan yang menonjol. Ketika
Marx memilih konsep anti terhadap agama (atheisme), maka Hanafi justru
menempatkan agama (tauhid) sebagi landasan dasarnya.
Tahuid dalam pengertian Hanafi diatas juga memberikan gambaran bahwa
Islam merupakan agama yang bersifat revolusioner. Ia tidak hanya agama yang
mengedepankan nilai transendental, tetapi juga membawa misi humanisme.
Kemanusiaan yang diartikan dalam kerangka kebersamaan dengan tidak adanya
dominasi antara satu dengan yang lainnya. Hanafi menolak cara pandang
terdahulu yang hanya menitikberatkan sisi teol6gis dalam Islam dan mengabaikan
sisi humanis. Termasuk kritik kerasnya terhadap sufisme.
Sebagai agama humanis, Islam memiliki sifat revolusioner yang menentang
keras tindak dominatif antara satu manusia dengan manusia yang lainnya.
Pembedaan dan kolonialisasi juga merupakan kejahatan tahuid (teologis) karena
mengabaikan nilai dasar tahuid, yakni kesamaan dan kebersamaan manusia
dihadapan Tuhan. Menurut Hanafi, tindakan dominasi antara manusia adalah hal
yang harus dilakukan perlawanan sehingga tercipta tatanan sesuai dengan tujuan
agama dalam kacamata humanisme, yakni tatanan sosial yang setara tanpa
pembedaan dan dominasi.
Dalam pemahaman tafsir teks suci, hermeneutika bagi Hanafi bukan hanya
ilmu interpretasi, yakni suatu teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang
menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ketingkat
dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praksis juga dari transformasi wahyu dari Pikiran Tuhan kepada kehidupan
manusia. Proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua setelah kritik
kesejarahan, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Cara pandang
tersebut membawa Hanafi pada pola hermeneutika teks suci dan ajaran Islam
memiliki ciri khusus dibanding penafsir lainnya, termasuk dalam menafsirkan
ketauhidan5.
Sikap Hanafi terhadap kolonialisme sangat keras. Ia mengkategorikan
kolonialisme dalam tindak kejahatan besar. Tindak perlawanan terhadap aksi
kolonialisme merupakan salah satu bentuk ibadah karena bagian dari
pengejawantahan konsep tauhid. Menghapus kolonialisme dengan perlawanan
juga merupakan tanggungjawab umat Islam sebagai tanggungjawab yang melekat
karena tahuid merupakan hal yang melekat bagi orang Islam yang beriman.
Terkait dengan kolonialisme, Hanafi menggunakan definisi umum, yakni
tindak penjajahan satu negara dengan negara yang lain. Namun dalam hal ini,
Hanafi lebih melekatkan kolonialisme itu terhadap negara-negara Barat yang
melakukan penjajahan terhadap bangsa non-Barat. Pelekatan itu memiliki latar
belakang historis dilihat dari permusuhan Barat dengan dunia Arab yang dimulai
sejak konfrontasi crussade (perang salib) hingga saat ini.
Dalam hal kolonialisme, Hanafi juga mengkategorikan dalam dua bentuk,
yakni kolonialisme fisik dan kolonialisme kultural. Kolonialisme fisik
menurutnya sudah dilakukan pada zaman abad 19 dan 20 dimana penjajahan Barat
terhadap dunia non-Barat sangat kental. Saat ini sudah mengalami pergeseran
sistem kolonialisme, menjadi kolonialisme kultural. Hanafi memandang bahwa
ancaman yang kedua merupakan ancaman serius bagi dunia Islam dan harus
dilakukan langkah antisipasi dan perlawanan.
Istilah Barat berkonotasi politis dan diposisikan berhadapan dengan Timur
dari segi politik dan pemikiran. Barat adalah ilmuwan dan Timur adalah seniman.
Burung Pipit dari Timur dan Kegelapan di Barat. TImur adalah Timur dan Barat
5 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Anglo Egyptian Bookshop, Kairo, 1994, hal. 1
adalah Barat. Keduanya tidak akan pernah bertemu terutama jika pendekatan yang
dipakai adalah sisa-sisa teori rasialis dengan berbagai macam bentuknya6.
Program Barat pada sistem kolonialisme kultural ini terlihat dari Barat yang
mencoba melakukan pendirian 'Museum Kebudayaan' bagi bangsa Non-Barat.
Barat menilai bahwa kultur dan budaya non-Barat harus segera dihanguskan dan
dikandangkan pada museum tersebut, dan budaya Barat menempati posisi
kekosongan tersebut. Setelah Timur lengah dengan budaya yang dikosongkan,
daya kreatif berkurang selanjutnya setelah dikandangkan budaya itu, Barat akan
melakukan pembudayaan dengan basis Barat yang pada akhirnya menjadi kiblat
dimana Timur akan berubah menjadi bagian dari Barat dalam berbagai hal.
Hanafi sangat menyayangkan, dunia Timur justru tidak memiliki kesadaran
sampai ke arah sana. Timur melihat Barat saat ini sebagai kiblat dan tren yang
harus diikuti. Dalam jangka panjang, kebudayaan Timur tanpa diekspansi akan
terkikis dengan sendirinya karena Barat menawarkan konsep budaya yang jauh
lebih diminati kalangan muda. Pada akhirnya, budaya Timur tersebut akan mati
perlahan. Identitas keTimuran menghilang dan justru bangsa Timur merasa
bangga setelah mampu menjadi 'Barat'.
Meski demikian, Hanafi masih menaruh tanggapan positif terhadap
serangan budaya Barat yang menjamur ke dunia Timur. Bahkan, Islam tidak
melakukan pengecaman terhadap budaya apapun yang dapat diakulturasikan,
termasuk budaya Barat. Untuk itu, ia menekankan perlu adanya filterisasi
kebudayaan. Mana yang dapat dilakukan sistem akulturatif, dan pada bagian mana
yang harus benar-benar ditinggalkan.
Tidak hanya dunia Barat, Hanafi dengan tegas juga menyebut Marximisme
bagian dari Barat. Ia melihat bahwa kendati Marximisme adalah antitesis dari
kebudayaan Barat secara umum, namun keberadaan warisan Karl Marx ini tidak
dapat diterima kalangan Islam. Hanafi melihat Marx sebagai representasi Barat
Kiri telah berhasil masuk pada pergerakan kaum buruh untuk menghilangkan
6 Hassan Hanafi, Muqaddimah fi 'Ilm al Istigrab, Jakarta, Paramadina, 1999, hal. 128
pertentangan kelas yang terjadi di Barat. Tetapi, Hanafi tidak serta merta
meninggalkan Das Kapital, ia merupakan satu instrumen yang sama dalam
penolakan kolonialisme dan imperialisme. Dan disini Hanafi terjebak pada
pemikiran yang justru melihat keduanya dari perbedaan sisi filosofis historis
ketimbang mencari spirit persamaan diantara keduanya.
Konsep Kiri Islam yang dibangun oleh Hanafi bukan berarti tanpa
pertentangan, ia acapkali mendapat tudingan sebagai pencetus simbol kekafiran
dengan menafaatkan Islam dalam kepentingan kemanusiaan. Semangat untuk
melakukan penolakan terhadap kolonialisme dan imperialisme adalah semangat
melepaskan pembebasan, demokrasi dan perjuangan dalam bentuk apapun lebih
didasari pencampuradukkan antara ajaran sosialis-marxis Karl Mark ketimbang
sebagai sebuah pemikiran baru dalam dunia keislaman itu sendiri.
Padahal, konsep Kiri Islam Hassan Hanafi yang menentang segala bentuk
imperialisme dan kolonialisme merupakan respon dari tantangan Barat dengan
berbagai rekayasa tatanan. Ia muncul dari Islam sebagai sebuah disiplin ilmu
pengembangan konsepsi tauhid. Pemahaman yang keliru terhadap konsep Kiri
Islam Hanafi kemudian melekatkan nama Hanafi sejajar dengan para Marxian.
Perdamaian Kiri Islam
Kiri Islam yang ditawarkan Hanafi diyakini mampu menjadi solusi atas
berbagai persoalan kemunduran Islam. Semangat revolusioner yang diangkut
dalam Al Yassar Al Islam-nya adalah upaya untuk menghilangkan segala bentuk
kolonialisme dan imperialisme dengan berbagai konsep penjajahan. Tentu tidak
serta menghasilkan kedamaian secara instan. Sebagaimana konsep perdamaian
lainnya, ia membutuhkan proses dari tahapan pembelajaran, konsolidasi sampai
munculnya konflik turunan sebagai dampak dari perdamaian itu sendiri.
Terkait dengan perdamaian itu sendiri, Johan Galtung mempunyai konsep
perdamaian yang dibagi dalam tiga cabang, yakni empirisisme, kritis dan
konstruktif. Pembagian ini merupakan cara untuk mempermudah memahami
bagamimana Al Yassar Al Islam mampu membawa perdamaian, bahwa pemikiran
Hassan Hanafi tentang Kiri Islamnya menjadi resolusi untuk mencapai
perdamaian dunia tanpa adanya diskriminasi.
Studi perdamaian empiris, didasarkan pada perbandingan sistematis antara
teori dan realitas empiris (data), dengan merevisi teori jika tidak sesuai data. Studi
perdamaian kritis, didasarkan pada perbandingan sistematis antara realitas empiris
(data) dengan nilai-nilai, dengan usaha (kata-kata maupun tindakan), untuk
mengubah realitas jika realitas tidak sesuai dengan nilai dan studi perdamaian
konstruktif, didasarkan pada perbandingan sistematis antara teori dengan nilai-
nilai, dengan berusaha menyesuaikan teori dengan nilai, sehingga menghasilkan
visi realitas baru.
Sesuai dengan pembagian Galtung, teori Kiri Islam merupakan salah satu
jenis dari studi perdamaian kritis. Ia mencoba membandingkan secara sistematis
antara realitas empiris dengan nilai-nilai (teologis/tahuid) yang menjadi dasar
konsepnya, dengan usaha untuk mengubah realitas sesuai dengan nilai-nilai
teologis yang diyakininya itu. Realitas empiris yang terjadi dalam penafsiran
Hanafi adalah terjadinya kolonialisasi oleh Barat dalam bentuk imperialisme
budaya.
Realitas tersebut menurut kesadaran Hanafi perlu dilakukan perlawanan
melalui jalur revolusi kebudayaan. Teori oksidentalisme yang ditawarkan Hanafi
adalah salah satu upaya memperdalam agenda-agenda imperialisme budaya
dengan mempelajari masuk ke dalam sistem Barat. Oksidentalisme adalah
antitesis dari orientalisme yang Barat telah mempelajari secara mendalam
mengenai dunia non-Barat. Namun, terkait oksidentalisme Hanafi dalam kajian ini
tidak akan dibahas secara mendalam karena fokus kajian yang berbeda.
Realitas tersebut diatas kemudian disandingkan dengan nilai-nilai
keagamaan yang oleh Hanafi lebih difokuskan pada sisi teologis atau tauhidnya.
Hanafi meyakini bahwa tauhid adalah mengandung dua sisi yakni teologis dan
humanisme sebagaimana telah diterangkan dimuka. Sisi teologis ini dijadikan
pijakan nilai apabila realitas yang terjadi tidak sesuai, maka dilakukan tindakan
(action) terhadap realitas sehingga pada akhirnya realitas dan nilai berada pada
titik sejajar.
Untuk menyelaraskan antara realitas dengan nilai, adalah persoalan paling
pelik. Karena menggiring realitas untuk mencapai tatanan nilai tertentu
membutuhkan waktu sangat panjang. Heterogenitas masyarakat, ideologi, nalar,
budaya dan varian masyarakat yang banyak akan cukup sulit diarahkan menuju
tatanan yang sama. Belum lagi, tatanan yang diharapkan Hanafi merupakan
tatanan yang menentang arus besar peradaban (Barat). Yang dimana mayoritas
masyarakat dunia mengkiblatkan peradabannya pada Barat.
Barat sentrisme di wajah Hanafi merupakan fokus perhatian dalam
pergerakan Kiri Islam. Ia menilai bahwa salah satu tugas Kiri Islam adalah untuk
mengembalikan Barat pada batas-batas ilmiahnya dan mengakhiri mitos
mendunianya. Penilaian Hanafi terhadap Barat khususnya dalam aksi
kolonialisme, imprealisme, kapitalisme, barbarian, dispose, matrealistik dan
segala bentuk kecacatan sosial kultural yang ia sandarkan kepada perspektif
historis sehingga secara sengaja ia membuka wajah peradaban Barat. Pembukaan
wajah peradaban Barat ini seharusnya menjadi sebuah perbandingan studi
bagaimana dunia Islam belajar mengembangkan peradabannya minimal selangkah
lebih maju dari Barat dengan menafikan wajah buruk peradaban Barat. Sehingga
wacana ini bukanlah sekedar wacana dalam tugas Kiri Islam akan tetapi
implementasinya secara kongkret dalam dunia Islam.
Hanafi mengkritik kemunduran peradaban Islam disebabkan terlalu
mendominasinya sandaran teologis para penganut agama dan mengabaikan faktor
humanisme keagamaan. Hanafi menganalisis, tingginya perkembangan sufisme,
yang memberatkan pada aspek ukhrawi dan lebih condong meninggalkan aspek
duniawi menjadi awal kemunduran Islam. Selanjutnya didukung dengan
pergeseran rasionalisme masyarakat menuju tatanan sufisme secara besar-besaran.
Terjadi eksodus gelombang rasionalis menuju sufisme. Dalam hal ini, Hanafi
menunjuk Imam Al Ghazali sebagai pelaku utama gelombang eksodus.
Hanafi memandang bahwa perkembangan sufisme dengan cara pandang
yang mendominasikan teologis dan mengalienasikan humanisme menyebabkan
kemunduran nyata Islam dalam sejarah dunia. Islam tidak lagi menjadi pemimpin
peradaban dengan kekayanan sains, teknologi dan rasionalisme namun justru
mendewakan tahayul dan mistisisme. Kemunduran terasa nyata setelah para
pemikir-pemikir Islam diarahkan menuju tatanan keagamaan yang kaffah
(sempurna) dalam lingkup teologis.
Khazanah Islam klasik yang dimaksudkan oleh Hanafi adalah bagaimana
khazanah Islam klasik memasukan unsur kemanusiaan dalam konteks ketuhanan.
Artinya harus ada korelasi antara konteks Ketuhanan dan kemanusiaan. Menurut
dia harus ada transformasi kebudayaan dari pengetahuan tentang Tuhan pada
pengetahuan tentang manusia. Korelasi tersebut sebenarnya merupakan sebuah
wacana bagus dalam merasioanalisasikan khazanah Islam, sehingga keislaman
bukan saja sebagai dokrinisasi terhadap praktik–praktik ritual keagamaan tetapi
bisa ditransformasikan kepada nilai–nilai kemanusiaan yang universal.
Ditengah kemunduran Islam yang semacam itu, Hanafi melihat Barat justru
berbanding terbalik. Ia menjadi pemimpin peradaban dengan menciptakan sistem
yang lebih rasional dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada
beberapa abad terakhir menjadi kiblat masyarakat dunia. Kemajuan Barat
kemudian menciptakan sistem kolonialisme dan imperialisme yang dipraktikkan
dalam bentuk militeristik dan budaya.
Imperialisme militeristik telah mulai luntur sejak Perang Dunia Kedua,
namun tahapan itu berganti pada imperialisme budaya. Budaya Barat mencoba
menguasai segala aspek kemanusiaan masyarakat dunia. Dan lambat laun,
masyarakat dunia akan menjadikan Barat sebagai negara yang memiliki peradaban
tinggi serta mengabaikan budaya asli masyarakat masing-masing negaranya itu.
Tidak hanya dalam batasan negara, imperialisme budaya ini juga menyerang
budaya dan tradisi keagamaan, termasuk diantaranya Islam.
Keadaan yang demikian itu menurut Hanafi adalah keadaan yang harus
diperangi. Islam harus mengambil bagian untuk kemerdekaan umat manusia dari
imperialisme budaya tersebut. Sebab, imperialisme akan menjatuhkan masyarakat
dunia dan menggiringnya menjadi masyarakat yang melupakan identitas
kulturalnya. Sebuah sistem untuk memperkuat dominasi Barat atas dunia.
Al Yassar Al Islam menawarkan solusi. Ia menjadi alat revolusioner yang
akan membebaskan masyarakat dunia dari kehilangan identitas kulturalnya
tersebut. Selanjutnya, Al Yassar Al Islam akan menjamin kemerdekaan tersebut
untuk perdamaian umat manusia.
Hanafi memperkenalkan proyek akbarnya, Turats dan Tajdid7, yakni proyek
yang menjadi solusi untuk bagaimana menyikapi tradisi klasik yang dimiliki oleh
Islam dan bagaimana menyikapi perkembangan di Barat. Turats dan Tajdid adalah
judul umum proyek ini secara keseluruhan karena tidak hanya menterapi
metodologi-metodologi dalam turats klasik, tetapi juga menterapi turas itu sendiri
sebagai problematika warisan, pengaruh psikologis pada jamahir sikap kita
terhadapnya dan sarana-sarana pengembangan dan pembaharuannya. Sebab,
gerakan yang hakiki sekaran gini adalah gerakan pemikiran dan peradaban yang
urgenisinya tidak lebih kecil dibandingkan gerakan ekonomi atau gerakan militer
kalau justru bukan assasnya.
Kekalahan kontemporer pada dasarnya adalah kekalahan rasional disamping
kekalahan militer. Bahaya yang mengancam sekarang ini bukan sekedar
kehilangan tanah, tetapi juga pembunuhan nyawa untuk selamanya, disamping
kita terseret kedalam kritik atas otentisitas dalam turats klasik kita dan kirtik
kontemporer kita yang diusahakan oleh turats klasik kita dengan kebudayaan-
kebudayaan kontemporernya.
7 Hassan Hanafi, Al Turath wa al-Tajdid, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 2001, hal. 258
Turats dan Tajdid adalah proyek otentisitas dan modernitas yang sampai
sekarang setelah kekalahan berturut-turut, belum mampu kita wujudkan dan
belum kita sentuh kecuali klaim dan pengakuan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Norman Daniel’s, 1960, Islam and the West: The Making of an Image,
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Harlod Coward and Godon S. Smith (eds), 2004, Religion and Peacebuilding,
State University of New York.
Mehdi Nakosteen, 1954, History of Islamic Origins of Western Education. A.D,
800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, University
of Coloardo Press, Coloardo.
Asghar Ali Engineer, 2007, Islam and Its Relevance to Our Age, LKiS
Yogyakarta.
Hassan Hanafi, 1994, Religious Dialogue and Revolution, Anglo Egyptian
Bookshop, Kairo.
Hassan Hanafi, 1999, Muqaddimah fi 'Ilm al Istigrab, Jakarta, Yayasan
Paramadina.
Hassan Hanafi, 2001, Al Turath wa al-Tajdid, Titian Ilahi Press, Yogyakarta.
Top Related