9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kekerasan pada anak
1. Pengertian
Kempe, dkk (1962) dalam Soetjiningsih (2002) mendefisinikan
kekerasan pada anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik
yang ekstrem kepada anak-anak.Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih,
2002) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan badani
yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian
suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.
Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2002) membuat definisi yang
lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai
stadium awal dari sindrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada
pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh
orang tuanya atau pengasuhnya.
David Gill (dalam Sudaryono, 2007) mengartikan perlakuan salah
terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi
terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari perilaku manusia yang
keliru terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak
hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan,
maupun perkosaan, melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan
ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.
Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan pada anak
adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam
bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan
eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak
dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau
perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang
bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak
tersebut.
10
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kekerasan pada anak adalah perilaku salah baik dari orangtua, pengasuh
dan lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik yang termasuk
didalamnya adalah penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap
anak.
2. Klasifikasi
Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
(Soetjiningsih, 2002).
a. Dalam keluarga
1) Penganiayaan fisik
2) Kelalaian/penelantaran anak
3) Penganiayaan emosional
4) Penganiayaan seksual
5) Sindrom munchausen
b. Diluar keluarga
1) dalam institusi/lembaga
2) di tempat kerja
3) di jalan
4) di medan perang
Bukan tidak mungkin anak-anak ini mendapat perlakuan salah lebih dari
satu macam perlakuan tersebut di atas. Demikian pula perlakuan salah ini
dapat diperoleh dalam keluarga dan di luar keluarga.
3. Bentuk perlakuan salah pada anak
Bentuk perlakuan salah pada anak terbagi sebagai berikut (Soetjiningsih,
2002 dan Lidya, 2009) :
a. Penganiayaan fisik
Penganiayaan ini termasuk cedera fisik sebagai akibat hukuman badan
diluar batas, kekejaman atau pemberian racun.
b. Kelalaian
Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau
kesulitan ekonomi. Bentuk kelalain ini antara lain 1) pemeliharaan
11
yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh, akan
merasa kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan, keterlambatan
perkembangan. 2) pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak
mengalami resiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa. 3) Kelalaian
dalam mendapatkan pengobatan meliputi : kegagalan merawat anak
dengan baik misalnya imunisasi, atau kelalaian dalam mencari
pengobatan sehingga memperburuk penyakit anak. 4) kelalaian dalam
pendidikan yang meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk
mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya
atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak
terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional
Penganiayaan ini ditandai dengan kecaman kata-kata yang
merendahkan anak, atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini
sering kali berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasikan anak
dari lingkungan atau hubungan sosial atau menyalahkan anak secara
terus menerus. Penganiayaan emosi seperti ini umumnya selalu diikuti
bentuk penganiayaan lain.
d. Penganiayaan seksual
Mengajak anak untuk melakukan aktivitas seksual yang melanggar
norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dimana anak tidak
memahami atau tidak bersedia.
e. Sindrom Munchausen
Sindrom ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit
yang dibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong
tuntutan.
Menurut (Sudaryono, 2007) membagi bentuk kekerasan pada anak
yang diatur dalam UU KDRT menjadi melakukan kekerasan fisik dalam
rumah tangga, melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga,
melakukan kekerasan seksual, dan menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut memang tidak
12
secara khusus ditujukan kepada anak, namun yang jelas kekerasan itu
dapat mengenai anak, karena dalam keluarga dimungkinkan ada penghuni
yang masih anak.
4. Faktor-faktor resiko
Delsboro (dalam Soetjiningsih, 2002) menyebutkan perlakuan salah
terhadap anak adalah sebagai akibat dari pelepasan tujuan hidup orangtua,
hubungan orangtua dengan anak tidak lebih dari hubungan biologi saja.
Kehidupan orangtua sebagian besar diliputi pelanggaran hukum,
penyalahgunaan penghasilan, pengusiran berulang, penggunaan alkohol
yang berlebihan, dan keadaan rumah yang menyedihkan. Orangtua seperti
ini kelihatannya tidak mampu menolong dirinya sendiri. Mereka
menganiaya anaknya seolah-olah sebagai pelampiasan rasa frustasinya,
ketidaktanggungjawabannya, ketidak berdayannya dan sebagainya. Orang
tua seperti kasus di atas, lebih sering menganiaya anak yang lebih besar,
karena pada umumnya mereka lebih mawas terhadap sesuatu perbedaan
dengan orangtua mereka, sehingga seolah-olah anak tersebut melawan
orangtuanya. Anak yang dianiaya tersebut tampak oleh penganiaya sebagai
saingan atau penghalang yang harus dihancurkan atau paling tidak harus
disakiti.
Wong (2009) menyebutkan bahwa penyebab penganiayaan anak
tidak diketahui secara pasti meskipun ada tiga faktor yang dominan yaitu
karakteristiki orangtua, karakteristik anak dan karakteristik lingkungan.
a. Karakteristik orangtua
Orangtua penganiaya cenderung memiliki kesulitan menghadapi stress
dan mengendalikan ekspresi kemarahan, selain itu orangtua
penganiaya beresiko tinggi menyiksa anak mereka (Ross dalam Wong,
2009). Keluarga penganiaya seringkali lebih terisolasi secara sosial
dan memiliki lebih sedikit hubungan pendukung dari pada orangtua
bukan penganiaya. Anak dari ibu yang berusia belasan tahun lebih
beresiko mengalami penganiayaan daripada anak seorang ibu yang
berusia lebih tua.
13
Faktor lain yang teridentifikasi pada orangtua penganiaya meliputi
rasa percaya diri rendah dan fungsi keibuan yang kurang adekuat.
Meskipun kurangnya pengetahuan tentang pengasuhan anak juga
sering disebutkan sebagai karakteristik orangtua penganiaya.
b. Karakteristik anak
Anak secara tidak sengaja juga ikut andil dalam menyebabkan
terjadinya situasi penganiayaan. Posisi anak dalam keluara,
temperamen anak, kebutuhan fisik tambahan jika sakit atau cacat,
tingkat aktivitas, derajat kepekaan terhadap kebutuhan orangtua ikut
menyebabkan potensi terjadinya penganiayaan pada anak.
c. Karakteristik lingkungan
Lingkungan merupakan bagian bermakna dari situasi yang berpotensi
menimbulkan penganiayaan. Secara khas lingkungan merupakan salah
satu stress kronis, termasuk masalah perceraian, kemiskinan,
pengangguran, rumah buruk, sering pindah, alkoholisme dan
ketergantungan obat.
5. Tanda dan gejala pada anak yang mengalami kekerasan fisik dan seksual
Anak yang mengalami kekerasan fisik dan seksual akan
memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut (Soetjiningsih, 2002) :
a. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya memar, nyeri
perineal, sekret vagina dan nyeri serta perdarahan anus.
b. Tanda gagguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang,
enuresis,enkopresis, anoreksia atau perubahan tingkah laku.
c. Tingkah laku atau perilaku seksual anak yang tidak sesuai dengan
umurnya.
6. Dampak kekerasan pada anak terhadap tumbuh kembang
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah
pada umumnya lebih lambat daripada anak yang normal, yaitu
(Soetjiningsih, 2002) :
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak
sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.
14
b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yang meliputi :
1) Kecerdasan
1. Berbagai penelitian melaporkan keterlambatan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motorik.
2. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada
kepala, juga karena malnutrisi.
3. Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh
lingkungan anak, dimana tidak adanya stimulasi yang adekuat
atau karena gangguan emosi.
2) Emosi
1. Terjadi gangguan emosi pada perkembangan konsep diri yang
positif dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan
sosial dengan orang lain, termasuk untuk percaya diri.
2. Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif
atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya
menjadi menarik diri menjauhi pergaulan. Anak suka
ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal
sekolah, sulit tidur, temper tantrum dan sebagainya.
3) Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelak, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram tidak bahagia, tidak mampu
menyenangi aktivitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
4) Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badan, lebih agresif
trehadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru
tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif
kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5) Hukuman sosial
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman
sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit
15
teman, dan suka mengganggu orang dewasa misalnya dengan
melempari batu, atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.
Menurut Lidya (2009), dampak lain dari kekerasan pada anak
secara umum adalah :
a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih
sayang, sulit percaya dengan orang lain.
b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif.
c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi
sosial.
d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya
dan anak yang lebih kecil.
e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.
f. Kecemasan berat atu panik , depresi anak mengalami sakit fisik dan
bermasalah disekolah.
g. Harga diri anak rendah.
h. Abnormalitas atau distorsi mengenai pandangan terhadap seks.
i. Gangguan Personality.
j. Kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain dalam hal
seksualitas.
k. Mempunyai tendency untuk prostitusi.
l. Mengalami masalah yang serius pada usia dewasa
7. Tujuan orangtua melakukan perilaku kekerasan
Orang tua memukul anak adalah kejadian yang sering kita temui
sehari-hari. Suatu hal yang dikatakan lumrah bila bertujuan untuk
mendidik anak. Bagi orang tua cara mendidik anak adalah hak prerogratif
mereka. Terserah mereka bagaimana caranya.
Saat ini sebagian besar orang meyakini bahwa manusia memiliki
tiga entitas yang saling mempengaruhi. Yakni akal pikiran, hati nurani,
dan raga. Tiga entitas tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akal
pikiran untuk berpikir, hati nurani untuk merasa dan raga untuk bertindak.
16
Berdasarkan hati nurani dan akal pikiranlah yang membuat raga dapat
bertindak. Termasuk tindakan untuk mendidik anak.
Tiap orang tua untuk mendidik anak memiliki cara masing-masing.
Bagi kebanyakan orang tua memilih sistem reward and punishment. Bila
anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi
hukuman yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik. Orang
tuapun puas bila anak berhasil dijinakkan.
Ginott (2001) memperingatkan orang tua akan besarnya pengaruh
ancaman yang dilontarkan kepada anak. Anak-anak sangat takut apabila
tidak dicintai atau ditinggalkan oleh orang tuanya. Sehingga ancaman
akan meninggalkan anak, secara bergurau maupun dengan marah dapat
mempengaruhi perkembangan anak. Sikap otoriter sering dipertahankan
oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak.
Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif
(hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua.
Tetapi kadang orang tua menjadi lepas kendali, hukuman fisik yang
diberikan berlebihan. Hal inilah yang sering kita temui pada media massa.
Anak disundut rokok, diseterika ataupun hukuman fisik lain yang meminta
perhatian masyarakat umum. Siksaan fisik yang merupakan bagian dari
kekerasan pada anak. Tentu saja bagi orang yang memiliki hati nurani,
spontan mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah moral dan hukum.
Suatu hal yang mesti ditindak dan dicegah untuk berulang di kemudian
hari.
Berbeda kasus ekstrem itu dengan bila anak ”hanya” dicubit ataupun
dipukul pipinya. Suatu hal yang masih ditolerir oleh masyarakat. Karena
bagi masyarakat mendidik anak dengan hukuman fisik adalah efektif.
Tujuannya adalah membuat anak menjadi disiplin. Hal inilah yang
menjadikan kekerasan pada anak menjadi daerah abu-abu. Di satu sisi
merupakan pelanggaran hak anak tetapi di lain pihak masyarakat
merasakan manfaatnya.
17
Ditinjau dari segi akal pikiran maka sesuatu yang rasional bila kita
melakukan hal yang mendekati harapan kita. Usaha mendidik anak, orang
tua memiliki harapannya masing-masing. Anak menjadi tidak nakal
ataupun menjadi disiplin. Akan tetapi mengapa orang tua banyak memilih
hukuman fisik untuk mencapai harapannya. Mungkin hal ini dikarenakan
pendidikan tradisional yang masyarakat anut. Penggunaan kekerasan
dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai
suatu yang sah. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi
kebudayaan, yang pada gilirannya menjadi lingkaran. Anak yang
mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap
anaknya dan begitu seterusnya.
Anak dapat menjadi frustasi akibat hukuman fisik yang diberikan.
Hal ini dapat terjadi bila anak tidak mengerti mengapa dirinya diberikan
hukuman fisik tersebut. Terutama bila anak diminta bertentangan dengan
proses perkembangannya. Misalnya saja, anak yang berbuat salah dalam
tugas yang diberikan oleh orang tua maka langsung saja dipukul. Padahal
anak sedang dalam proses pembelajaran, yang kadang bila salah
merupakan suatu hal yang wajar. Apabila hal ini berlangsung terus
menerus dapat membuat anak menjadi frustasi yang selanjutnya anak
menjadi kebal. Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum dari pada
melakukannya (Solihin, 2004).
8. Upaya pencegahan kekerasan pada anak
Upaya pencegahan tindak kekerasan pada anak yang dapat
dilakukan oleh orang tua antara lain :
a. Evaluasi diri mengenai pandangan orangtua tentang anak, apakah
sudah tepat dan apakah kita sudah memberikan yang terbaik untuk
anaknya.
b. Diskusi dan berbagi, dengan orang lain untuk mengetahui seberapa
baik dan tepat perlakuan dan pandangan orangtua pada anak.
c. Perbanyak pengetahuan, pengetahuan yang tepat dapat dilakukan dan
dipertanggungjawabkan sehingga orangtua mampu meletakkan
18
pandangan kita mengenai anak secara lebih tepat sehingga kita tidak
akan terkungkung oleh pandangan yang belum tentu benar.
d. Peka terhadap anak. Kepekaan terhadap anak akan membuat orangtua
bersegara melakukan tindakan apabila kita mendapati anak menjadi
korban kekerasan baik oleh anggota keluarga sendiri atau orang lain.
e. Hubungi lembaga yang berkompeten. Sekarang banyak lembaga yang
bergerak dibidang hukum, perlindungan anak dan aparat pemerintah
atau penegak hukum yang bisa membantu menghadapi kekerasan pada
anak.
9. Faktor-Faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan tindakan
kekerasan pada anak
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan tindakan
kekerasan pada anak, diantaranya (Soetjiningsih, 2002) :
a. Faktor Intern
1) Faktor pengetahuan orang tua
Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau mengenal
informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya
anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi
karena sempitnya pengetahuan orang tua anak dipaksa melakukan
dan ketika memang belum bisa dilakukan orang tua menjadi
marah, membentak dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai
harapan-harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak
berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak. Serta
kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak dan
minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi
kekerasan pada anak.
Pandangan yang keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang
tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu
apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan
oleh orang tua (Fitri, 2008).
19
2) Faktor pengalaman orang tua
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan salah
merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak.
Semua tindakan kepada anak akan direkam dalam alam bawah
sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa. Anak
yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan menjadi
agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam pada
anaknya. Orang tua yang agresif akan melahirkan anak-anak yang
agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
agresif pula. Gangguan mental (mental disorder) ada hubungannya
dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih
kecil (Rahmat, 2006).
b. Faktor Ekstern
1) Faktor ekonomi
Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor kemiskinan,
dan tekanan hidup atau ekonomi. Pengangguran, PHK, dan beban
hidup lain kian memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan
tekanan hidup yang selalu meningkat, disertai dengan kemarahan
atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam
mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah sekali
melimpahkan emosi kepada orang sekitarnya.
Anak sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sepenuhnya
milik orang tua, sehingga menjadikan anak paling mudah menjadi
sasaran dalam meluapkan kemarahannya. Kemiskinan sangat
berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak karena
bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan
mereka mempunyai jalan yang terbatas dalam mencari sumber
ekonomi. Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab
kekerasan pada anak karena bertambahnya jumlah krisis dalam
hidupnya dan disebabkan mereka mempunyai jalan yang terbatas
dalam mencari sumber ekonomi. Karena tekanan ekonomi orang
20
tua mengalami stress yang berkepanjangan, menjadi sensitive,
mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan
untuk bercanda dengan anak-anak, terjadilah verbal abuse
(Kustanty, 2009).
2) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga mempengaruhi tindakan kekerasan pada
anak. Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban perawatan
pada anak. Dan juga munculnya masalah lingkungan yang
mendadak juga turut berperan untuk timbulnya kekerasan verbal.
Telivisi sebagai suatu media yang paling efektif dalam
menyampaikan berbagai pesanpesan pada masyarakat luas yang
merupakan berpotensial paling tinggi untuk mempengaruhi
perilaku kekerasan orang tua pada anak.
Orang tua menjadi memiliki masalah berat dalam hubungannya
dengan anak-anak mereka. Orang tua menjadi memiliki konsep-
konsep yang kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa
yang salah bagi anak-anak mereka. Semakin yakin orang tua atas
kebenaran dan nilai-nilai keyakinannya, semakin cenderung orang
tua memaksakan kepada anaknya (Solihin, 2004).
B. Masa Usia Sekolah
1. Pengertian
Anak usia sekolah adalah anak dengan batasan usia antara 6 tahun
hingga 12 tahun. Namun demikian anak biasanya baru dapat masuk
sekolah setelah usia 7 tahun. Kriteria umur ini sebetulnya mencakup
criteria lain yang juga berhubungan dengan kemasakan. Berkaitan dengan
tingkat kemasakan anak ini maka anak sudah harus dapat bekerja sama
dengan anak lain, anak sudah dapat melakukan pengamatan secara analitis
dan anak secara jasmani harus sudah mampu menunjukan bentuk anak
sekolah yaitu berkaitan dengan bentuk dan ukuran tubuh (Monks dan
Haditomo, 2004). Perkembangan sosial dan kepribadian ditandai dengan
21
meluasnya lingkungan social dengan sedikit mulai melepaskan diri dari
keluarga (Monks dan Haditomo, 2004).
2. Batasan usia anak
Masa anak-anak ini dimulai sejak melewati masa bayi, yaitu berkisar
antara usia 2 tahun hingga 13 tahun (Hurlock, 1999). Masa anak-anak
dibagi menjadi :
a. Masa awal anak-anak
Periode ini berlangsung dari usia 2 tahun hingga 6 tahun. Sering kali
orangtua menganggap masa awal anak-anak adalah usia mainan. Hal
ini terjadi karena seringkali anak lebih mudah menghabiskan
waktunya dengan mainannya.
b. Akhir masa anak-anak
Periode ini berlangsung dari akhir usia 6 tahun hingga usia menjadi 12
atau 13 tahun yaitu ditunjukkan dengan mulai matangnya organ-organ
seksual anak. Pada usia ini dimulainya anak memasuki usia sekolah.
Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam
pola kehidupan anak. Penyesuaian diri dengan tuntutan dan harapan
baru dari kelas menyebabkan banyak anak yang berada dalam keadaan
yang tidak seimbang. Anak mengalami gangguan emosional sehingga
sulit untuk hidup bersama dan bekerja sama.
3. Tumbuh kembang anak
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang
sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan
perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi sel, organ maupun
individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur
tulang dan keseimbangan metabolik. Perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan system organ yang berkembang
sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
22
Termasuk didalamnya adalah perkembangan emosi, intelektual dan
tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih,
2002).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan
perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ/individu,
walaupun demikian keduanya akan terjadi secara sinkron pada setiap
individu.
4. Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang
Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak, yaitu (Soetjinigsih, 2002):
1. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dalam mencapai hasil akhir proses
tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di
dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan
kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan
pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur
pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Hal yang termasuk
faktor genetik adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan
patologik, jenis kelamin dan suku bangsa.
2. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan
memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang
baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan
bio-fisiko-psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai
dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Secara garis besar lingkungan ini
dibagi menjadi faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada
waktu masih di dalam kandungan, dan faktor lingkungan yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir.
23
Selanjutnya, Hurlock (1999) menyatakan bahwa pada masa anak-anak
emosi akan sangat kuat. Pada saat ini merupakan masa ketidakseimbangan
dalam arti anak akan mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga
sulit untuk dibimbing dan diarahkan. Emosi yang tinggi kebanyakan
disebabkan oleh masalah psikologis dari pada masalah fisiologis.
Orangtua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa hal, padahal
anak merasa mampu lebih banyak lagi dan ia cenderung menolak larangan
orangtua yang terkadang bagi orangtua yang kurang memahami
perkembangan psikologis anak sering melakukan pola asuh yang keras
dengan berbagai macam bentuk hukuman untuk mendisiplinkan anak
(Hurlock, 1999).
5. Tugas perkembangan pada anak-anak
Hal terpenting bagi anak-anak adalah usaha meletakkan dasar-dasar
untuk hati nurani sebagai bimbingan untuk perilaku benar dan salah. Hati
nurani berfungsi sebagai sumber motivasi bagi anak-anak untuk
melakukan apa yang diketahuinya sebagai hal yang salah bilamana
mereka sudah terlalu besar untuk selalu diawasi orangtua atau pengganti
orangtua.
Tugas perkembangan yang paling penting bagi anak-anak adalah
belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orangtua, saedara-
saudara kandung dan ornag-orang lain. Hubungan emosional yang
terdapat selama masa bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih
matang. Alasannya adalah karena hubungan dengan orang laindalam masa
bayi berdasarkan ketergantungan bayi pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan emosionalnya, terutama kebutuhan kasih saying, tetapi anak-
anak harus belajar memberi dan menerima kasih saying. Singkatnya, ia
harus belajar terikat keluar daripada terhadap dirinya sendiri (Hurlock,
1999).
6. Pengaruh kekerasan pada pertumbuhan dan perkembangan anak
Kekerasan pada anak sering dianggap hal yang wajar karena secara
sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Kekerasan pada anak
24
memperoleh perhatian publik lebih serius jika korban tindak kekerasan
yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya bertambah
banyak, dan menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan anak-
anak (Irwanto et al., 2004).
Terjadinya kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh pengalaman
masa kecil yang berpengaruh pada kepribadian, sikap dan pandangan
hidup individu. Orang tua yang pada saat masa kecilnya mempunyai latar
belakang mengalami kekerasan cenderung meneruskan pendidikan
tersebut kepada anak-anaknya yang disebut "pewarisan kekerasan antar
generasi". Kondisi seperti ini akan menjadi suatu siklus dimana anak yang
dibesarkan dengan kekerasan nantinya juga akan membesarkan anaknya
dengan kekerasan.
Anak masih berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah
pengalaman yang pernah dialami selama rentang kehidupannya.
Optimalisasi tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi pada situasi
lingkungan dimana mereka tumbuh. Lingkungan yang tidak kondusif
yaitu yang dapat menghambat tumbuh kembang anak sehingga
menyebabkan anak tidak dapat tumbuh secara optimal. Salah satu
lingkungan yang tidak kondusif pada anak adalah anak yang tumbuh
dengan perlakuan dan kekerasan serta peneantaran yang dialaminya
(Lidya, 2009).
25
C. Kerangka teori
Skema 2.1 Kerangka teori
Sumber : Soetjiningsih (2002) dan Rahmat (2006)
Faktor resiko
- Karakteristik
orangtua
- Karakteristik anak
- Karakteristik
lingkungan
Kekerasan pada anak :
- Penganiayaan fisik
- Kelalaian
- Penganiayaan
emosional
- Penganiayaan
seksual
- Sindrom
Munchausen
Faktor Eksternal
- Sosial Ekonomi
- Lingkungan
Faktor Internal
- Pengetahuan orangtua
- Pengalaman orangtua
Top Related