Download - Kecap MichaelaJessica 12.70.0072 F3

Transcript

FERMENTASI SUBSTRAT PADATFERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Nama: Michaela Jessica VNIM: 12.70.0072Kelompok F3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara I20153

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan sensoris kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Fermentasi Substrat Padat Fermentasi KecapKel.Bahan dan PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

F1Kedelai hitam + inokulum komersial 0,5% + cengkeh 1 gram++++++++

F2Kedelai kuning+ inokulum komersial 0,75% + cengkeh 1 gram+++++++++

F3Kedelai hitam + inokulum komersial 0,75% + daun serai 1 buah++++++++++++

F4Kedelai kuning + inokulum komersial 1% + daun serai 1 buah+++++++++++

F5Kedelai hitam + inokulum komersial 1% + pala 1 buah+++++++++++

Keterangan:AromaKekentalan+: kurang kuat+: kurang kental++: kuat++: kental+++: sangat kuat+++: sangat kental

RasaWarna+: kurang manis+: kurang hitam++: manis++: hitam+++: sangat manis+++: sangat hitam

Sesuai dengan hasil pengamatan, didapatkan tingkat kekuatan aroma yang paling rendah adalah pada kedelai hitam dengan pemberian 0,5% inokulum komersial sekitar 2,5 gram. Berdasarkan hasil, perbedaan jenis kedelai dan inokulum yang diberikan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap warna. Rasa yang didapatkan pada masing-masing kelompok sama sangat manis, namun terjadi perbedaan pada kedelai putih dengan inokulum 0,75% atau sebanyak 3,75 g dengan rasa manis. Sedangkan kekentalan yang paling rendah adalah pada perlakuan kedelai hitam dengan 0,5% inokulum dan kedelai putih dengan 1% inokulum.11

2. 4

3. PEMBAHASAN

Sesuai dengan pendapat Rahman (1992), kecap adalah salah satu jenis makanan tradisional terfermentasi berbahan dasar kedelai hitam maupun kacang-kacangan lainnya sehingga dihasilkan cairan coklat sampai hitam yang kental. Kecap yang dibuat dalam praktikum ini adalah kecap manis yang memiliki kekentalan yang tinggi dengan kandungan gula 26-61% dan 3-6% garam (Judoamidjojo, 1987). Pembuatan kecap dari hasil fermentasi substrat padat dengan bahan dasar kedelai kuning (kelompok F2 dan F4) dan kedelai hitam (kelompok F1, F3, dan F5). Hal ini sesuai dengan Kasmidjo (1990), bahwa kecap dapat dibuat dengan bahan dasar kedelai kuning atau hitam berbentuk utuh atau dihancurkan lebih dahulu sehingga kandungan lemak hilang. Pembuatan kecap dapat dibuat dengan metode fermentasi, hidrolisis asam, maupun keduanya, namun pada praktikum ini kecap dibuat dengan metode fermentasi. Shin et al.(2007), menyatakan bahwa fermentasi kecap dapat terjadi dibantu oleh aktivitas jamur, ragi, bakteri, atau kombinasi dari mikroorganisme yang dapat memecah protein menjadi asam amino, lemak menjadi asam lemak, dan karbohidrat menjadi monosakarida. Sesuai dengan Astawan dan Astawan (1991), bahwa fermentasi kecap akan melalui dua tahap yaitu fermentasi koji dan dilanjutkan fermentasi moromi. Koji merupakan tahap fermentasi cair yang dilakukan oleh kapang, sedangkan moromi merupakan fermentasi padat dengan pemberian larutan garam.

Pada praktikum kali ini, fermentasi kecap dibantu oleh inokulum komersial dengan perbedaan konsentrasi yaitu 0,5%, 0,75%, dan 1%. Selain itu, saat proses pemasakan digunakan 3 macam rempah yang berbeda yaitu cengkeh pada kelompok 1 dan 2, daun sereh kelompok 3 dan 4, serta pala untuk kelompok 5 yang seluruhnya digunakan sebagai bumbu pemasakan. Pada praktikum inii, akan dibandingkan perbedaan pengaruh bahan dan inokulum yang diberikan pada masing-masing hasil fermentasi kecap terhadap uji sensori produk jadi kecap manis.

2.1. Fermentasi KojiFermentasi koji dilakukan dengan melakukan perendaman terlebih dahulu pada kedelai sebanyak 250 gram selama satu malam. Menurut teori dari Tortora et al (1995), perendaman ditujukan supaya air terhidrasi ke dalam biji kedelai, sehingga ketika pemasakan dibutuhkan waktu yang singkat karena kedelai telah melunak setelah proses perendaman. Kulit ari dari kedelai juga akan mudah terkelupas (Kasmidjo, 1990), dan kotoran-kotoran pada kedelai akan hilang selama perendaman (Peppler & Perlman, 1979). Meskipun begitu berat kedelai akan berlipat kali ganda karena penyerapan air yang terjadi selama perendaman. Kedelai yang telah mekar setelah 12 jam perendaman, dicuci dan ditiriskan hingga kering. Kemudian direndam air hingga terendam seluruhnya dan direbus (Gambar 1.) sampai menjadi cukup lunak kurang lebih selama 10 menit. Peppler & Perlman (1979) menyatakan bahwa proses perebusan selain memperlunak kedelai, akan mengakibatkan inhibitor protein rusak, mikroorganisme kontaminan akan direduksi, inaktifasi zat antinutrisi dalam kedelai, serta menghilangkan bau langu kedelai. Ditambahkan pula oleh Atlas (1984) bahwa setelah perebusan akan tercipta kondisi hangat pada kedelai yang akan merangsang pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai dan akan mengaktifasi enzim amylase yang dapat menguraikan karbohidrat menjadi gula sederhana, serta enzim proteinase yang menguraikan protein menjadi asam amino. Pemecahan senyawa-senyawa kompleks pada kedelai akan mendukung proses fermentasi kedelai.

Gambar 1. Perebusan kedelaiSetelah kedelai siap, maka kedelai akan dikeringkan hingga benar-benar kering seperti pada Gambar 2. yang dikeringkan menggunakan tissue dan dialasi dengan daun pisang. Seperti yang telah dikatakan oleh Atlas (1984), bahwa selama kondisi hangat dan berair maka, kedelai akan sangat mudah ditumbuhi mikroorganisme. Namun seringkali keadaan lembab akan menyebabkan pertumbuhan mikroba di permukaan kedelai yang tidak diinginkan, sehingga akan menghambat kerja inokulum yang akan diberikan sebagai starter. Oleh karena itu, pengeringan dilakukan dengan teliti hingga kedelai benar-benar kering.

Gambar 2. Pengeringan KedelaiKedelai yang telah kering, akan dimasukkan ke dalam besek yang telah dibersihkan dengan alkohol dan dialasi dengan daun pisang yang bersih seperti pada Gambar 3. Lingkungan dalam fermentasi ini dikondisikan higenis sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991), bahwa hal tersebut dapat memaksimalkan kerja inokulum dalam memfermentasi kedelai serta mencegah kontaminasi silang pada produk fermentasi koji. Setelah itu, masing-masing kelompok akan menambahkan inokulum yang berbeda-beda. Kelompok 1 menggunakan inokulum 0,5% dari berat awal kedelai yaitu 2,5 g; kelompok 3 dan 4 sebanyak 0,75% atau 3,75 g dan kelompok 5 diberi sebanyak 1% atau 5 g inokulum. Penambahan dilakukan dengan menyebar ragi pada kedelai dan kemudian diratakan ke seluruh kedelai di dalam besek. Sesuai dengan Santoso (1994) bahwa inokulum yang ditambahkan yaitu Rhizopus sp. Setelah merata, tampah dapat ditutup daun pisang terlebih dahulu sebelum ditutup dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari sesuai dengan suhu optimum kapang. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwoko & Noor (2007) dalam jurnalnya, bahwa fermentasi padat membutuhkan waktu sekitar 3-5 hari, sedangkan fermentasi cair membutuhkan waktu 14-28 hari. Ditambahkan pula oleh Mao (2013), bahwa selama fermentasi aerobik selama 2-3 hari dengan suhu 30oC, inokulum akan mengeluarkan enzim ekstraseluler. Chancharoonpong (2010) menambahkan bahwa enzim yang diproduksi meliputi protease, glutaminase, amylase, dan metallopeptidase yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks dalam kedelai.

Gambar 3. Penambahan InokulumInkubasi yang dilakukan memerlukan waktu beberapa hari dikarenakan apabila kapang belum terfermentasi secara maksimal, maka enzim yang dikeluarkan oleh kapang tidak akan maksimal. Selama fermentasi, kapan akan menghasilkan enzim protease dan amylase yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa enzim tersebut digunakan dalam pemecahan senyawa protein dan karbohidrat kompleks. Oleh karena itu, fermentasi yang tidak maksimal, maka senyawa kompleks tidak akan terpecah secara sempurna yang akan mempengaruhi cita rasa kecap (Chancharoonpong et al, 2012). Hal ini didukung pula oleh Wu et al (2010) dalam jurnalnya, bahwa pemecahan senyawa kompleks menjadi lebih sederhana akan memudahkan penyerapan nutrisi oleh starter. Inkubasi yang dilakukan juga dikondisikan aerob sesuai pertumbuhan maksimal kapang terkait dengan kebutuhan oksigen (Kasmidjo, 1990). Kondisi fermentasi harus disesuaikan dan diatur sehingga dapat mencegah pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan seperti Mucor sp. dan bakteri proteolitik yang dapat mempengaruhi proses fermentasi kedelai.

Setelah proses inkubasi selesai, dapat dilihat adanya miselia berwarna putih yang tumbuh di permukaan hingga menyelimuti kedelai pada seluruh kelompok yang dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut dengan Rahayu et al (1993), hal ini sesuai dan berjalan semestinya karena pembentukan miselium sehingga dapat dilanjutkan pada fermentasi moromi. Hal ini didukung dengan teori dari Santoso (1994), bahwa kapang akan tumbuh selama proses inkubasi dengan ciri-ciri membentuk miselium yang berstruktur serabut dan memiliki warna putih hingga putih kehijauan. Perbedaan miselium yang tumbuh pada setiap kelompok terlihat oleh karena pemberian inokulum yang berbeda. Inokulum yang lebih tinggi, akan menyebabkan miselia yang terbentuk semakin banyak dan tempe yang dihasilkan lebih padat. Teori Shurtleff & Aoyagi (1979) menyatakan bahwa tempe akan kurang padat dan kurang kompak dengan penambahan inokulum yang rendah karena pembentukan miselia kapang yang berfungsi menghubungkan antar kedelai tidak maksimal. Oleh karena itu hasil yang didapat sesuai dengan teori bahwa dengan penambahan inokulum yang semakin tinggi, maka tempe yang terbentuk akan semakin padat dan kompak.

F5F4F3F2F1Gambar 4. Hasil Koji Kelompok F1 sampai F5 (Kiri ke Kanan) 3.1. Fermentasi MoromiTahap fermentasi moromi diawali dengan memotong hasil fermentasi koji yang telah ditumbuhi miselia kapang yang dapat dilihat pada Gambar 5. Kedelai yang telah direduksi ukurannya akan dikeringkan selama kurang lebih 2-4 jam menggunakan dehumidifier setelah ditata di dalam loyang (Gambar 6.). Pemotongan dilakukan supaya pengeringan merata ke seluruh permukaan dan memudahkan pelepasan filamen. Sedangkan pengeringan ditujukan untuk mereduksi kadar air yang dapat menghentikan proses pertumbuhan kapang serta menghilangkan kapang yang tumbuh pada permukaan substrat (Peppler and Perlman, 1979).

Gambar 5. Pemotongan Koji Gambar 6. Pemerataan Sebelum Pengeringan

Kedelai yang telah kering akan dimasukkan ke dalam toples plastik, kemudian ditambah dengan larutan garam 20% sekitar 100 ml dan dilakukan perendaman selama 1 minggu (Gambar 7.). Metode yang dilakukan sesuai dengan Astawan & Astawan (1991) serta Elbashiti et al. (2010), bahwa proses fermentasi moromi akan dimulai dengan perendaman kedelai dalam larutan garam. Perendaman ini akan mengakibatkan senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis selama fermentasi kapang terekstrak dengan sempurna. Selama perendaman ini, bakteri halofilk akan tumbuh secara spontann. Bakteri halofilik merupakan bakteri yang tahan terhadap tekanan osmotic tinggi seperti larutan garam dengan konsentrasi tinggi. Bakteri tersebut akan menimbulkan rasa asin serta mencegah adanya pertumbuhan mikroba patogen, namun masih memungkinkan mikroorganisme yang diperlukan membentuk cita rasa pada kecap. Penambahan konsentrasi larutan garam harus tepat, karena apabila terlalu rendah cita akan mempengaruhi cita rasa kecap dan mempengaruhi jenis mikroorganisme yang tumbuh pada kecap. Apabila terlalu tinggi, maka kandungan air dari dalam kedelai akan keluar oleh kondisi tekanan yang terlalu tinggi.

Gambar 7. Perendaman dalam Air Garam 20%Setiap siang hari, toples dibuka dan dijemur sekitar 1 jam sambil diaduk sesekali waktu setiap hari selama satu minggu perendaman. Penjemuran yang dilakukan, ditujukan memberikan udara dalam larutan. Sedangkan pengadukan akan menyebabkan larutan homogen dan udara akan terlarut sempurna dalam rendaman kedelai. Metode yang dilakukan sesuai dengan Mao et al (2013), bahwa setelah hasil fermentasi koji didapatkan, maka akan dicampur dengan air garam yang dijaga pada suhu 40-50oC. Hal ini yang menyebabkan, larutan harus dijemur dibawah sinar matahari setiap hari. Enzim yang dikeluarkan oleh inokulum akan menghidrolisis kedelai sehingga dihasilkan cita rasa dan senyawa nutrisi yang baru. Tortora et al (1995) menyatakan bahwa pengadukan selama proses penjemuran akan menambah kontak antara permukaan substrat dengan larutan, sehingga mikroorganisme yang diinginkan tumbuh dengan maksimal. Wu et al (2010) juga menyatakan dalam jurnalnya bahwa, akan terjadi aerasi selama proses pengadukan dilakukan karena kapang akan sulit tumbuh bahkan bertahan hidup dalam tahap moromi disebabkan konsentrasi garam yang tinggi di dalam larutan. Hal ini yang menyebabkan, tutup toples harus dibuka dan diaduk agar oksigen bisa terlarut dalam larutan garam.

Setelah fermentasi selama 1 minggu, dilakukan penyaringan pada kedelai menggunakan kan saring hingga didapatkan filtrat sebanyak 250 ml. Filtrat tersebut lalu ditambah dengan air putih sebanyak 750 ml dan dilakukan pemasakan bersama beberapa bumbu. Pada awalnya larutan akan ditambah dengan 1 kg gula jawa dan dipanaskan hingga seluruh gula larut. Setelah itu ditambahkan 20 gram kayu manis, ketumbar 3 gram, laos 1 jentik jari, dan 1 biji bunga pekak. Selain ditambahkan bumbu utama tersebut, ditambahkan pula bahan lain yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok. Pada kelompok A1 dan A2 ditambahkan 1 gram cengkeh. Pada kelompok A3 dan A4 ditambahkan 1 buah daun sereh yang digeprek, sedangkan kelompok F5 diberikan 1 buah pala yang telah dibuang kulitnya dan isinya diparut. Pada bumbu terdapat proses penghalusan bahan yang ditujukan supaya bumbu seperti ketumbar dan pala dapat mudah tercampur rata (Astawan & Astawan, 1991). Selama pemasakan dilakukan pengadukan sesekali untuk mendapatkan kematangan yang sempurna. Proses pemasakan dan penambahan bahan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Pemasakan Kecap dan Penambahan Bumbu Proses penambahan bumbu saat proses pemasakan dilakukan, sesuai dengan Kasmidjo (1990) ditujukan dalam peningkatan flavor pada kecap. Gula jawa yang ditambahkan akan dapat meningkatkan viskositas, bersifat sebagai pengawet, meningkatkan aroma, mengurangi rasa asn, serta memberikan warna coklat caramel pada kecap. Sedangkan beberapa rempah yang ditambahkan seperti laos dan pekak digunakan sebagai penyedap rasa dan ketumbar dapat memberi aroma yang khas pada kecap. Kecap diindikasikan telah jadi apabila cairan moromi telah mengental. Setelah mengental, maka kecap didiamkan hingga suam-suam kuku. Kecap akan disaring terlebih dahulu sebelum ditempatkan pada wadah dan dapat dilakukan sampel uji sensori yang meliputi rasa, warna, aroma, dan kekentalan.

3.2. Uji Sensori KecapPada pengamatan yang dilakukan, didapatkan aroma yang berbeda-beda pada tiap kelompok. Aroma yang paling kuat dihasilkan oleh kelompok F3, F4, dan F5, sedangkan aroma semakin menurun pada F2 dan F1 seiring dengan semakin rendahnya pemberian inokulum. Hal ini telah sesuai dengan Afrianto dan Liviawati (1989), bahwa semakin tinggi konsentrasi inokulum yang ditambahkan akan menyebabkan proses degradasi molekul kompleks menjadi molekul sederhana berlangsung lebih cepat, oleh karena itu aroma yang dihasilkan akan lebih kuat. Selain itu aroma akan dpengaruhi oleh senyawa aromatic dan alkohol yang yang dihasilkan oleh khamir selama proses moromi. Oleh sebab aroma akan semakin kuat seiring dengan penambahan inokulum. Astawan & Astawan (1991) juga menyatakan bahwa flavor dan aroma kecap akan ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung antara lain amonia, arginin, histidin, kadaverin, dan putresin. Pembentukan antara senyawa asam glutamat dengan senyawa garam akan meningkatkan kualitas flavor. Komponen nitrogen tersebut bersama dengan asam suksinat juga akan menghasilkan flavor yang disukai. Sedangkan garam-garam yang berasal dari asam laktat, format, fosfat, dan asetat serta garam-garam tiramin dan kholin akan menyebabkan rasa pahit. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Muangthai et al (2007) bahwa asam amino glutamate merupakan asam amino yang dominan dalam kecap dan memberikan aroma spesifik pada kecap. Selain itu Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa penambahan bumbu selama proses pemasakan dengan jenis-jenis bumbu yang berbeda akan meningkatkan dan memberikan aroma dan cita rasa spesifik yang berbeda-beda pada kecap.

Gambar 6. Uji sensoris kecap (dari kiri ke kanan : B1, B2, B3, B4, B5)

Pada atribut warna, didapatkan pada kelompok F1, F2, dan F5 berwarna hitam, namun warna yang paling kuat yaitu sangat hitam didapatkan pada kelompok F3 dan F4. Warna hitam yang tercipta dapat dikarenakan penambahan gula jawa saat pemasakan yang sesuai dengan Peppler & Perlman (1979) bahwa kecap akan berwarna coklat kehitaman dipengaruhi oleh penambahan bumbu-bumbu saat proses pemasakan terutama penambahan gula jawa atau gula kelapa. Hal ini ditambahkan oleh Astawan & Astawan (1991), bahwa larutan kecap akan berubah warna seiring dengan proses fermentasi moromi dalam larutan garam karena terjadi reaksi browning atau pencoklatan akibat reaksi antara gugus amino dari protein dengan gula pereduksi. Gula reduksi yang dihasilkan, berasal dari interaksi mikrooganisme selama proses fermentasi berlangsung. Selama proses pemasakan akan terjadi proses karamelisasi yang ditingkatkan pula dengan penambahan gula yang sesuai dengan Kim & Lee (2008), bahwa kecap akan berubah warna karena adanya reaksi pencoklatan dari protein dan karbohidrat. Interaksi antara gula reduksi dan asam amino akan memproduksi senyawa 3-deoxyglucosone, senyawa aromatik, dan melanoidin. Oleh karena itu, perbedaan hasil warna dikarenakan proses karamelisasi dengan tingkat yang berbeda-beda satu sama lain yang dipengaruhi beberapa faktor seperti proses fermentasi masing-masing kedelai, penambahan bumbu, dan proses pemasakan seperti pengadukan selama pemasakan, dan intensitas api ketika proses pemasakan dilakukan. Warna dari kecap akan menjadi semakin hitam dengan suhu dan waktu pemasakan yang terlalu lama (Lay, 1994). Hal ini membuktikan bahwa varietas kedelai baik hitam maupun kuning tidak berpengaruh banyak terhadap warna karena intensitas pemberian bumbu yang lebih tinggi. 5

Karakteristik rasa yang diperoleh pada kelompok F1 hingga F5 sangat kuat kecuali kelompok F2 dengan rasa kuat saja. Sesuai dengan Amalia (2008), proses pemasakan kecap yang dilakukan terlalu lama akan berpengaruh terhadap rasa kecap karena akan menghasilkan rasa yang cenderung pahit. Menurut Gao et al (2010), rasa pada kecap dibentuk oleh kandungan peptida dengan berat molekular rendah, gula reduksi, nitrogen formaldehid, dan asam lemak bebas seperti asam glutamat. Chancharoonpong et al (2010) menyatakan bahwa dari segi rasa dan aroma akan semakn kuat dengan penambahan inokulum yang dilakukan. Pada hasil pengamatan, atribut kekentalan juga berbeda-beda tingkatnya. Kecap yang paling kental diperoleh kelompok F2, F3, dan F5. Sedangkan kelompok F1 dan F4 didapatkan viskositas yang kental. Sesuai dengan Kasmidjo (1990) menyatakan bahwa proses pemasakan dan penambahan gula jawa dapat mempengaruhi kekentalan. Kadar gula pada praktikum ini tidak dibedakan, sehingga waktu dan suhu pemanasan yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok akan membuat perbedaan kekentalan dikarenakan kandungan kadar air yang tersisa pada kecap berbeda-beda pada setiap kelompok.

4. KESIMPULAN

Fermentasi kecap melalui 2 tahap fermentasi yang pertama adalah fermentasi koji dan dilanjutkan dengan tahap fermentasi moromi. Fermentasi koji merupakan fermentasi kedelai menggunakan inokulum yang dilanjutkan dengan inkubasi. Fermentasi moromi dilakukan dengan perendaman dengan larutan garam dan pemasakan. Inokulum yang semakin tinggi akan mempengaruhi fermentasi koji karena miselium yang terbentuk pada kedelai semakin banyak sehingga kedelai semakin padat dan kompak. Perbedaan rempah-rempah dan pemberian inokulum mempengaruhi atribut aroma dan rasa yang akan semakin kuat seiring penambahan inokulum yang dilakukan karena adanya degradasi karbohidrat dan protein yang maksimal pada kedelai. Atribut kekentalan dan warna dipengaruhi oleh suhu dan lama pemasakan yang berbeda-beda. Perbedaan varietas kedelai tidak mempengaruhi atribut sensori pada kecap.

Semarang, 2 Juli 2015Praktikan, Asisten dosen : Abigail Sharon Frisca Melia

Michaela Jessica Valentina12.70.0072

5. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Tika. (2008). Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13813/2/F08tam.pdf.Astawan, M. & Astawan W. M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo.Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.Chancharoonpong, C., Pao-Chuan H., Shyang-Chwen S. (2010). Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation. APCBEE Procedia 00: 000000. Elbashiti, T.; A. Fayyad & A. Elkichaoui. (2010). Isolation and Identification of Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma. Pakistan Journal of Nutrition 9 (12): 1171-1175,2010.Gao, X., Zhao, H., Feng, Y., dan Zhao, M. (2010). A comparative study on physicochemical properties of Chinese-type soy sauces prepared using pure koji and mixed kojis. African Journal of Biotechnology Vol. 9(40), pp. 6740-6747, 4 October, 2010.Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.Mao, C., He. G., Du.M., Cui.M., Gao.S. (2013). Biochemical Changes in the Fermentation of the Soy Sauce Prepared with Bittern. Journal of Food Science and Technology Vol 5(2), p. 144-147.Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2Peppler, H. J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.Purwoko, T dan Handajani, N.S. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Jurnal Biodiversitas Volume 8(2) p:223-227.Rahayu, E.; R. Indrati; T. Utami; E. Harmayani & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. 2007. Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract (BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. USA.Wu, Ta Yeong, Mun Seng Kan, Lee Fong Siowand Lithnes Kalaivani Palniandy.(2010). Effect of temperature on moromi fermentation of soysauce with intermittent aeration.African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), p. 702-706. 6. 7. LAMPIRAN7.1. Laporan Sementara7.2. Report Viper7.3. Abstrak Jurnal