Download - Kecap ikan_Regina Tania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Transcript

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain saring, dan pengaduk kayu. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. MetodeDitambahkan 300 ml air dan diaduk

Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples

Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma

2

Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)

Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma

1

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil Pengamatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim PapainKel.PerlakuanWarnaRasaAromaPenampakanSalinitas (%)

C1Enzim papain 0,2%+++++++++++3,00

C2Enzim papain 0,4%++++++++++++3,20

C3Enzim papain 0,6%-----

C4Enzim papain 0,8%++++++++++++++++4,00

C5Enzim papain 1%++++++++++++++3,70

Keterangan:Warna:Aroma +: tidak coklat gelap+: sangat tidak tajam++: kurang coklat gelap++: kurang tajam +++: agak coklat gelap +++: agak tajam ++++: coklat gelap++++: tajam+++++: sangat coklat gelap+++++: sangat tajamRasaPenampakan +: sangat tidak asin+: sangat cair++: kurang asin++: cair+++: agak asin+++: agak kental++++: asin++++: kental+++++ : sangat asin+++++: sangat kental

Berdasarkan Tabel 1 hasil pengamatan kecap ikan di atas, dapat diketahui bahwa dengan perlakuan enzim papain 0,2% dan 0,4% didapat kecap ikan dengan warna kurang coklat gelap (C1 dan C2), kecap ikan dengan warna agak coklat gelap didapatkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan enzim papain 1%, serta kecap ikan dengan warna coklat gelap didapatkan oleh kelompok C4 dengan perlakuan enzim papain 0,8%. Rasa agak asin didapat oleh kelompok C2 dengan perlakuan enzim papain 0,4%, rasa asin didapat oleh kelompok C1 dan C5 dengan perlakuan enzim papain 0,2% dan 1, rasa sangat asin didapat oleh kelompok C4 dengan perlakuan enzim papain 0,8%. Aroma dan penampakan yang dihasilkan oleh semua kelompok dengan berbagai macam perlakuan adalah sama yaitu beraroma tajam dan agak kental. Salinitas tertinggi didapat oleh kelompok C4 dengan perlakuan enzim papain 0,8% yaitu sebesar 4% dan terendah didapat oleh kelompok C1 dengan perlakuan enzim papain 0,2% yaitu sebesar 3%.

3. PEMBAHASAN

Berdasarkan jurnal Processing and Quality Characteristics of some major Fermented Fish Products from Africa: A Critical Review, fermentasi merupakan salah satu teknologi pengolahan makanan yang dilakukan untuk membuat keberagaman jenis makanan dan minuman, membuat produk makanan agar bisa dimakan, meningkatkan nilai gizi, menurunkan toksisitas, memelihara makanan, mengurangi waktu memasak, dan menghemat energi. Fermentasi dapat ditemukan sebagai metode penting untuk pengawetan ikan yang memiliki kualitas buruk atau spesies yang tidak populer dari ikan yang ada dipasaran. Jadi, bisa meningkatkan nilai jual. Sedangkan menurut Visessanguan et al., 2004 dalam jurnal Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce, fermentasi merupakan teknik pengawetan yang bertujuan memperpanjang umur simpan dan juga mengubah flavor dan kualitas nutrisi dari produk. Berdasarkan jurnal Characterization of the traditional fermented fish product Lona ilish of Northeast India, metode fermentasi ikan sudah ada sejak lama dan banyak digunakan di beberapa daerah karena mudah dilakukan dan prosesnya tidak membutuhkan biaya yang mahal.

Pada praktikum pembuatan kecap ikan kloter C ini, pertama-tama tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan bisa dibuat dari sari daging ikan yang sengaja dibuat khusus atau dari ikan sisa pengolahan maupun ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis (limbah). Penghancuran berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dari ekstraksi karena sel akan rusak sehingga akan memudahkan senyawa-senyawa pembentuk flavor, yang nantinya akan terdistribusi pada bahan dan yang sebagian akan terikat dengan protein, lemak atau air, untuk keluar. Selain itu, penghancuran dapat meningkatkan luas bahan dan rasio luas permukaan terhadap volume bahan yang menyebabkan semaki besarnya kemampuan bahan untuk melepaskan komponen flavor (Saleh et al., 1996).

Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%. Fermentasi pada praktikum ini dilakukan secara enzimatis yaitu dengan cara menambahkan enzim pada proses pembuatan kecap ikan. Enzim papain tersebut dapat ditemukan di dalam getah buah pepaya muda. Enzim ini memiliki fungsi untuk menguraikan protein menjadi komponen yang lebih sederhana seperti peptida, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi untuk menciptakan rasa yang khas. Penambahan enzim juga dapat mempersingkat waktu fermentasi (Afrianto & Liviawaty, 1989). Setelah itu, diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Menurut (Afrianto & Liviawaty, 1989), fermentasi merupakan proses yang paling utama dalam pembuatan kecap ikan dan proses inkubasi dilakukan dalam wadah yang tertutup rapat supaya memaksimalkan proses fermentasi dan mencegah supaya kontaminan yang tidak diinginkan tidak dapat masuk. Dipertegas dengan teori dalam jurnal Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste, enzim proteinase diperlukan salah satunya untuk fermentasi kecap ikan. Suhu dan garam memiliki beberapa efek pada proses fermentasi, apabila proses fermentasi terjadi pada suhu rendah, konsentrasi garam yang dibutuhkan tinggi, sementara garam dibutuhkan dalam konsentrasi rendah untuk suhu yang tinggi.

Lalu, diitambahkan 300 ml air dan diaduk. Perlakuan ini bertujuan untuk menghomogenkan air dengan bagian ikan yang telah difermentasi. Selanjutnya, hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa). Tujuan penyaringan yaitu menghilangkan ampas atau bagian padatan yang tidak berguna dan didapatkan kecap ikan yang lebih jernih tanpa adanya pengotor. Dengan adanya proses perebuasan sampai mendidih, maka larutan akan mengental karena adanya proses evaporasi (Fellows, 1990).

Penambahan bawang putih bertujuan untuk menambah aroma dan cita rasa pada kecap. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai pengawet alami karena adanya kandungan zat allicin dalam bawang putih yang efektif untuk membunuh bakteri. Zat allicin ini mempunyai sifat sebagai antimikrobia (Santoso, 1994). Penambahan garam sendiri akan memberikan rasa yang asin, menguatkan rasa, menurunkan kelarutan oksigen serta dapat digunakan sebagai pengawet. Garam dapat menurunkan nilai aw dan mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme yang akan mengakibatkan peningkatan proton di dalam sel. Selain itu, penambahan garam mampu menjaga agar mikroba halofilik yang menghasilkan senyawa flavor seperti Saccharomyces, Pediococcus dan Torulopsis dapat berkembang sehingga kan menghasilkan flavor (Desrosier & Desrosier, 1977). Sedangkan penambahan gula kelapa akan mengurangi rasa asin yang berlebihan dan memberikan rasa lembut pada kecap ikan, mempengaruhi aroma kecap ikan, meningkatkan viskositas kecap ikan serta mengawetkan kecap ikan, dan mempengaruhi warna kecap ikan dengan memberikan warna coklat karamel yang muncul akibat adanya panas yang dihasilkan selama proses pemasakan (Kasmidjo, 1990).

Setelah mendidih, kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua. Kemudian, kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma. Hasil pengamatan yang didapatkan adalah dengan perlakuan pemberian enzim papain 0,2% dan 0,4% didapat kecap ikan dengan warna kurang coklat gelap (C1 dan C2), kecap ikan dengan warna agak coklat gelap didapatkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan enzim papain 1%, serta kecap ikan dengan warna coklat gelap didapatkan oleh kelompok C4 dengan perlakuan enzim papain 0,8%. Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, warna yang dihasilkan akan semakin coklat karena jumlah protein yang ada akan semakin banyak dan bereaksi sehingga terjadi reaksi Maillard yang membentuk warna coklat. Ketidaksesuaian hasil pengamatan pada penambahan enzim sebanyak 1% disebabkan karena timbulnya warna coklat pada kecap juga bisa disebabkan adanya penambahan gula jawa. Gula jawa yang dikombinasikan dengan pemanasan dalam pembuatan kecap ini menyebabkan terjadinya reaksi browning, yaitu reaksi yang terjadi antara gula dan komponen cita rasa lainnya akibat adanya panas atau suhu yang tinggi (Less & Jackson, 1973).

Rasa agak asin didapat oleh kelompok C2 dengan perlakuan enzim papain 0,4%, rasa asin didapat oleh kelompok C1 dan C5 dengan perlakuan enzim papain 0,2% dan 1, rasa sangat asin didapat oleh kelompok C4 dengan perlakuan enzim papain 0,8%. Menurut Amstrong (1995), pengaruh penambahan enzim yang banyak adalah rasa yang paling lemah yaitu kurang asin. Penambahan enzim papain dengan konsentrasi lebih tinggi akan mengurangi rasa ikannya karena protein dalam daging ikan yang terhidrolisis oleh enzim tersebut akan semakin banyak. Kandungan protein memberikan flavor (rasa) terbesar, jadi apabila protein yang ada tersebut banyak yang terhidrolisis, maka rasa yang dihasilkan dari ikan menjadi berkurang. Adanya ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori bisa disebabkan karena rasa dari kecap juga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya bumbu yang ditambahkan, dan adanya aktivitas dari bakteri brine fermentation yaitu bakteri Lactobacillus delbruckii. Bakteri ini akan menghasilkan asam-asam organik yang meliputi asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat yang mempunyai peranan dalam pembentukan cita rasa, warna, dan daya simpan kecap (Astawan & Astawan, 1988).

Sedangkan aroma dan penampakan yang dihasilkan oleh semua kelompok dengan berbagai macam perlakuan adalah sama yaitu beraroma tajam dan agak kental. Seharusnya, apabila semakin banyak penambahan enzim papain maka kecap ikan yang dihasilkan akan memiliki aroma yang semakin tajam (Afrianto & Liviawaty (1989). Menurut Winarno (1993), adanya proses pemanasan dan waktu pemanasan yang berbeda akan menghasilkan kekentalan kecap ikan yang berbeda pula. Adanya penambahan gula jawa juga akan mempengaruhi kekentalan kecap ikan yang dihasilkan (Kasmidjo, 1990). Menurut jurnal Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce, kecap ikan kenampakannya cair dan berwarna coklat bening. Kecap ikan memiliki aroma khas yang menjadi indikator kualitas dari kecap ikan tersebut selain rasanya yang sangat asin. Selain itu, berdasarkan jurnal Development of Cultural Context Indicator of Fermented Food, kecap ikan berwarna merah atau coklat yang berbau agak amis.

Penentuan kadar garam (salinitas) dilakukan dengan menggunakan alat yang bernama hand refractometer. Menurut Arpah (1993), hand refractometer berfungsi untuk mengukur kandungan total padatan terlarut dan dalam hal ini untuk mengukur kandungan total padatan yang terlarut pada kecap ikan. Salinitas tertinggi didapat oleh kelompok C4 dengan perlakuan enzim papain 0,8% yaitu sebesar 4% dan terendah didapat oleh kelompok C1 dengan perlakuan enzim papain 0,2% yaitu sebesar 3%. Dapat dikatakan bahwa semakin besar konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, semakin besar salinitas. Akan tetapi, kelompok C5 tidak sesuai hasilnya karena nilai salinitas lebih kecil.

Pada kelompok C3 tidak memberikan hasil apa-apa. Hal ini disebabkan karena produk hasil fermentasi gagal atau rusak yang disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme dimana dapat disebabkan karena keadaan toples yang tidak tertutup rapat dan memiliki kontak dengan udara luar. Pertumbuhan mikroorganisme ini dikarenakan adanya nutrient yang mengandung komponen-komponen yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Menurut (Tanasupawat et al., 2006), pada umumnya bakteri halofilik, spora, dan bakteri mempunyai bentuk batang dapat hidup dalam pembuatan kecap ikan. Berdasarkan jurnal Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste, ada tujuh spesies bakteri yang ditemukan dalam saus ikan yang difermentasi selama 12 bulan: Micrococcus luteus, Streptococcus mutans, Grup E streptokokus dari babi, Staphylococcus aureus, Micrococcus varians, Streptococcus faecalis dan Acinetobacter iwolfii. E streptokokus adalah yang paling umum, diikuti oleh Streptococcus mutans dan kemudian Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang terkait dengan kebersihan. Sedangkan menurut jurnal Characterization of the traditional fermented fish product Lona ilish of Northeast India, bakteri memainkan peran yang penting terhadap rasa dan aroma selama proses fermentasi. Sehingga hasil fermentasi kelompok C3 berbau dan memiliki rasa yang busuk karena kandungan bakterinya yang tinggi.

4. KESIMPULAN

Kecap ikan bisa dibuat dari sari daging ikan yang sengaja dibuat khusus atau dari ikan sisa pengolahan maupun ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis (limbah). Enzim papain tersebut dapat ditemukan di dalam getah buah pepaya muda. Enzim papain memiliki fungsi untuk menguraikan protein menjadi komponen yang lebih sederhana untuk menciptakan rasa yang khas dan mempersingkat waktu fermentasi. Fermentasi merupakan proses yang paling utama dalam pembuatan kecap ikan Penambahan bawang putih bertujuan untuk menambah aroma dan cita rasa pada kecap, sebagai pengawet alami karena sifatnya sebagai antimikrobia. Penambahan garam akan memberikan rasa yang asin, menguatkan rasa, menurunkan kelarutan oksigen serta dapat digunakan sebagai pengawet. Penambahan gula kelapa akan mengurangi rasa asin yang berlebihan, mempengaruhi aroma, meningkatkan viskositas, serta mengawetkan, dan memberikan warna coklat karamel. Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, warna yang dihasilkan akan semakin coklat. Penambahan enzim papain dengan konsentrasi lebih tinggi akan mengurangi rasa ikannya. Semakin banyak penambahan enzim papain maka kecap ikan yang dihasilkan akan memiliki aroma yang semakin tajam. Kecap ikan kenampakannya cair dan berwarna coklat bening, aroma khas, rasanya yang sangat asin, berbau agak amis. Hand refractometer berfungsi untuk mengukur kandungan total padatan terlarut pada kecap ikan.

Semarang, 22 Oktober 2015Asisten DosenPraktikan,

Regina Tania T.H.Michelle Darmawan13.70.0071C55. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Amstrong, S.B. 1995. Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarselo. Bandung

Desrosier, N.W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dincer Tolga. 2010. Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Vol (2). Halm 311-315.

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.

Fermented Food. International Journal of Bio-Science and Bio-Technology. Vol. 5, No. 4.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lees, R. & E.B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Majumdar RK. 2009. Characterization of the traditional fermented fish product Lona ilish of Northeast India. Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol 9 (3). Halm 453-458.

Oh Lee Jong and, Jin Young Kim. 2013. Development of Cultural Context Indicator of

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sangjindavong Mathana, et al,. 2009. Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Vol 43. Halm 791 795.

Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Tanasupawat, Somboon; Amnat Pakdeeto; Sirilak Namwong; Chitti Thawai; Takuji Kudo& Takashi Itoh. (2006). Lentibacillus halophilus sp. nov., From Fish Souce in Thailand.

V.B. Anihouvi. Et al,. 2012. Processing and Quality Characteristics of some major Fermented Fish Products from Africa: A Critical Review. International Research Journal of Biological Sciences. Vol. 1(7). Halm 72-84.

Winarno, F. G. (1993). Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

6. LAMPIRAN

6.1. PerhitunganRumus:

Kelompok C1Hasil pengukuran = 30

Gram Papain :

Kelompok C2Hasil pengukuran = 60

Gram Papain :

Kelompok C3Hasil pengukuran = -

Gram Papain : -

Kelompok C4Hasil pengukuran = 40

Gram Papain :

Kelompok C5Hasil pengukuran = 37

Gram Papain :

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal