Download - KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Transcript
Page 1: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara III

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Andika Putri

NIM : 13.70.0167

Kelompok A4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain pisau, blender, botol, panci,

pengaduk kayu, toples ukuran minimal 300 ml, lakban bening, kain saring.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam , gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

1

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air

Tulang dan kepala ikan dihancurkan

Page 3: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%

(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi disaring

Page 4: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit

Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 1 butir gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Page 5: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Page 6: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan berbahan baku ikan patin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap IkanKel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas %

A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -

A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -

A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -

A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -

A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -

Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam

Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental

Pada tabel diatas, dapat diketahui hasil pengamatan sensori dan salinitas dari kecap ikan

yang dibuat dengan penambahan enzim papain pada konsentrasi yang berbeda. Dari segi

warna, semua kelompok menghasilkan kecap ikan dengan warna coklat gelap. Dari segi

rasa, kelompok A1, A4, dan A5 dengan penambahan enzim papain 0,2%; 0,8%, dan 1%

secara berturut-turut menghasilkan kecap ikan dengan rasa asin, sedangkan kelompok

A2 dan A3 dengan penambahan enzim papain 0,4% dan 0,6% menghasilkan kecap ikan

dengan rasa sangat asin. Dari segi aroma, kelompok A1 sampai A3 menghasilkan kecap

ikan dengan aroma agak tajam, kelompok A4 kurang tajam, dan kelompok A5 sangat

tajam. Dari segi penampakan, kelompok A1 sampai A4 menghasilkan kecap ikan yang

kental, sedangkan kecap ikan kelompok A5 agak kental. Pada semua kelompok tidak

menghasilkan % salinitas.

5

Page 7: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Kecap ikan merupakan produk hasil pengolahan ikan dengan cara fermentasi yang

berbentuk cairan berwarna coklat. Di negara-negara Asia, kecap ikan biasa digunakan

untuk makanan siap saji karena dapat meningkatkan flavor dan nilai gizi. Namun di

negara Asia bagian selatan, kecap ikan tidak hanya populer sebagai agen flavoring,

tetapi juga digunakan sebagai sumber protein yang utama (Witono, Y., et al., 2014).

Bahan baku kecap ikan dapat berasal dari sari daging ikan yang dibuat secara khusus,

atau menggunakan sari daging ikan yang berasal dari produk samping hasil dari proses

pengolahan lain (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk memproduksi kecap ikan yaitu fermentasi

dengan menggunakan garam dan fermentasi secara enzimatis. Fermentasi dengan garam

memerlukan waktu lebih lama daripada fermentasi secara enzimatis, yaitu sekitar 7

bulan lebih. Fermentasi secara enzimatis dapat menggunakan enzim protease seperti

enzim papain dari dari getah buah papaya muda dan enzim bromelin dari parutan buah

nanas muda (Astawan & Astawan, 1988). Jumlah penggunaan garam dan lamanya

proses fermentasi akan menentukan kualitas dari kecap ikan yang dihasilkan (Afrianto

& Liviawaty, 1989).

Menurut jurnal yang ditulis oleh Zarei, M., et al., (2012), mahyaveh merupakan produk

kecap ikan yang di fermentasi secara tradisional dan banyak dikonsumsi di bagian

selatan Iran. Metode pembuatan mahyaveh ini hampir sama dengan praktikum kecap

ikan yang dilakukan. Jika pada praktikum kecap ikan dilakukan dengan fermentasi

enzimatis, pembuatan mahyaveh ini dilakukan dengan fermentasi secara tradisional

menggunakan garam sehingga prosesnya lebih lama. Bahan baku yang digunakan yaitu

ikan segar atau ikan yang dikeringkan, kemudian dimasukkan ke dalam toples, lalu

diberi tambahan garam dan air. Toples kemudian diinkubasi dalam suhu ruang selama

25-30 hari. Pada pembuatan mahyaveh juga ditambahkan bumbu-bumbu seperti

ketumbar dan lada hitam.

6

Page 8: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

Ikan merupakan bahan utama dari pembuatan kecap ikan. Kandungan lemak pada ikan

rendah sedangkan kandungan proteinnya tinggi. Protein pada ikan bisa mencapai 16-

18% dan lengkap karena terdiri dari asam amino esensial yang bermanfaat bagi tubuh

manusia (Shahidi & Botta, 1994). Bagian ikan yang dapat dimakan hanya 70%. Bagian

kepala, ekor, sirip serta isi perutnya umumnya hanya dibuang namun sebenarnya juga

bisa diolah menjadi produk lain (Irawan, 1995). Menurut Afrianto & Liviawaty (1989),

ikan yang segar akan menghasilkan kecap ikan dengan mutu yang lebih baik. Ciri-ciri

ikan yang segar adalah dagingnya yang kenyal, berbau segar, bila daging ditekan

dengan jari tidak tampak bekas lekukan, daging melekat kuat pada tulang, daging perut

utuh dan kenyal.

Pada praktikum kali ini, kecap ikan dibuat dari limbah praktikum surimi yaitu kepala,

tulang, dan ekor ikan patin. Pertama-tama, tulang dan kepala ikan dihancurkan dengan

blender, kemudian diambil sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke dalam toples bening

berisi 250 ml air. Tujuan penghancuran adalah supaya proses ekstrasi senyawa flavor

dari ikan lebih mudah. Senyawa flavor tersebut banyak terdapat pada bahan yang

sebagian terikat dalam bentuk ikatan dengan lemak, protein serta air, sehingga

membutuhkan perlakuan awal seperti penghancuran bahan. Proses penghancuran juga

memperluas permukaan bahan sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan

juga semakin tinggi, dari hal tersebut kemampuan untuk melepas komponen flavornya

semakin besar (Saleh et al., 1996).

Setelah itu ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda tiap

kelompok. Kelompok A1 sebanyak 0,2%; A2 sebanyak 0,4%; A3 sebanyak 0,6%; A4

sebanyak 0,8%; dan A5 sebanyak 1%. Proses fermentasi enzimatis kecap ikan pada

praktikum ini menggunakan enzim papain komersial. Enzim papain dapat mempercepat

proses fermentasi karena enzim papain merupakan enzim protease yang dapat

menguraikan protein menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti

pepton, peptida, serta asam amino yang saling berinteraksi untuk menciptakan rasa

khas. Kelebihan dari proses fermentasi secara enzimatis adalah waktu yang dibutuhkan

lebih singkat dan kandungan proteinnya lebih tinggi. Namun kelemahannya adalah dari

Page 9: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

segi aroma dan cita rasa yang kurang cocok dengan lidah masyarakat yang terbiasa

mengkonsumsi kecap ikan dengan fermentasi garam (Astawan & Astawan, 1988).

Proses hidrolisis protein oleh enzim papain disebut dengan aktivitas proteolitik. Angka

hidrolisis yang tinggi mungkin menghasilkan beberapa asam amino bebas, tetapi

nominal ikatan peptida pada rantai peptida yang panjang akan berkurang (Lay, 1994).

Winarno (1995) menambahkan, enzim papain tergolong dalam kelompok enzim

protease sulfhidril golongan protein yang digunakan untuk memecah molekul protein

dari dalam, sehingga enzim ini termasuk golongan endopeptidase. Jika mengulas dari

jurnal yang ditulis olah Afiza, T.S., et al., (2011), saat proses fermentasi kecap ikan

berlangsung, ada 2 macam enzim protease yang dapat mendegradasi jaringan ikan yaitu

enzim protease endogenous dan eksogenous. Enzim-enzim tersebut akan menghidrolisis

protein menjadi peptida dan asam amino bebas, dimana aktivitasnya dipengaruhi oleh

konsentrasi garam dan beberapa faktor lainnya.

Setelah semua bahan dicampurkan, toples bening ditutup dan dilapisi lakban bening,

lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Wadah yang tertutup selama proses

fermentasi bertujuan untuk menciptakan kondisi anaerob sehingga prosesnya bisa lebih

cepat. Tujuan lainnya adalah supaya kontaminan tidak dapat masuk. Fermentasi kecap

ikan ini merupakan proses dimana senyawa kompleks pada tubuh ikan akan diuraikan

menjadi lebih sederhana dengan bantuan enzim atau fermen yang ada pada tubuh ikan

sendiri atau berasal dari mikroorganisme dan berlangsung pada kondisi lingkungan yang

terkontrol (Afrianto & Liviawaty, 1989). Selama proses fermentasi, mikroba maupun

enzim yang dihasilkan dapat menstimulir cita rasa yang spesifik, meningkatkan nilai

cerna bahan pangan, menurunkan kandungan senyawa anti gizi atau bahan lain yang

tidak diinginkan dan dapat menghasilkan produk atau senyawa turunan yang bermanfaat

bagi manusia (Misgiyarta dan Widowati, 2003).

Hasil fermentasi yang diperoleh kemudian disaring dengan kain saring. Tujuan dari

penyaringan adalah untuk mendapatkan cairan hasil fermentasi yang bebas dari padatan

atau kotoran yang terikut. Setelah disaring, filtrat tersebut direbus hingga mendidih

selama 30 menit sambil dimasukkan bumbu-bumbu seperti bawang putih sebanyak 50

Page 10: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

gram, 50 gram garam, serta 3 butir gula kelapa yang seluruhnya telah dihaluskan

terlebih dahulu. Penghalusan bumbu bertujuan untuk mempermudah pencampuran

dengan kecap ikan. Sedangkan tujuan dari perebusan adalah supaya mikroorganisme

kontaminan yang berasal dari proses fermentasi atau penyaringan dapat mati,

menghasilkan kecap yang kental akibat penguapan sebagian besar air, melarutkan

bumbu-bumbu dan meningkatkan cita rasa. Selama perebusan dilakukan juga

pengadukan yang dapat membantu menghomogenkan campuran kecap ikan dan bumbu

sehingga akan larut sempurna dan mencegah kegosongan (Moeljanto, 1992). Selain itu,

enzim protease akan menjadi aktif selama proses perebusan pada temperatur 50-70oC

sehingga dapat bekerja secara optimal (Soeparno, 1994).

Bawang putih yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap aroma dan cita rasa kecap

yang dihasilkan. Selain itu, kandungan allicin pada bawang putih berfungsi sebagai

pengawet alami yang mencegah kontaminasi bakteri dan bersifat antimikrobia.

Penambahan gula kelapa bertujuan untuk menghasilkan warna coklat karamel, flavor

yang spesifik, dan meningkatkan viskositas (Kasmidjo, 1990). Sedangkan penambahan

garam berfungsi sebagai pemberi rasa supaya tidak hambar dan lebih disukai. Garam

dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga produk menjadi lebih awet.

(Buckle, et al., 1987). Efek pengawetan dengan menggunakan garam dapat terjadi

karena Aw dan kadar oksigen terlarut dalam produk menurun sehingga mikroorganisme

akan terseleksi. Selain itu, garam akan merusak sel mikroorganisme dengan

mengganggu keseimbangan ionik sel sehingga pertumbuhan sel terhambat bahkan mati

(Desrosier & Desrosier, 1977). Pada karakteristik sensori yang dinilai dalam praktikum,

garam ini akan membuat rasa kecap lebih terasa (khususnya rasa asin) karena garam

juga merupakan salah satu bahan yang dapat memperkuat rasa bahan pangan (Astawan

& Astawan, 1991).

Setelah kecap mendidih, dilakukan penyaringan kedua dengan menggunakan kain

saring. Tujuan penyaringan adalah untuk membersihkan kotoran yang berasal dari

bumbu-bumbu yang tidak larut. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap warna, rasa,

aroma, penampakan dan salinitas dari kecap ikan yang diperoleh.

Page 11: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Dari hasil pengamatan, warna kecap ikan yang dihasilkan semua kelompok adalah

coklat gelap. Warna coklat pada kecap disebabkan karena adanya reaksi browning yaitu

reaksi dari gula dengan komponen lainnya akibat adanya panas (Lees & Jackson, 1973).

Selain itu, reaksi antar asam-asam amino dengan gula reduksi (reaksi Maillard) juga

berpengaruh terhadap pembentukan warna coklat (Kasmidjo, 1990). Gula kelapa yang

ditambahkan mengandung gula pereduksi yang akan bereaksi dengan asam amino hasil

dari proses hirdrolisis protein ikan oleh enzim protease (Lay, 1994).

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan jika semakin banyak jumlah enzim papain

yang ditambahkan maka proses enzimatis akan berlangsung lebih cepat dan sempurna

sehingga warna kecap yang dihasilkan akan semakin baik dan mendekati warna kecap

yang paling tepat, yaitu coklat. Namun hasil yang diperoleh kurang sesuai dengan teori

tersebut, di mana data yang diperoleh pada adalah sama yaitu coklat gelap. Hal ini dapat

disebabkan karena panas yang digunakan tiap kelompok tidak seragam, dan penggunaan

gula kelapa dengan jumlah yang sama pada tiap kelompok, yaitu 3 butir, sehingga

warna coklat yang dihasilkan hampir sama.

Pada analisa sensori rasa, rasa yang diamati dari kecap ikan yang dihasilkan bukan dari

kekuatan rasa khas kecap ikan melainkan rasa asinnya. Hasil percobaan menunjukkan

kecap ikan yang diberi perlakuan penambahan enzim papain sebesar 0,2% (kelompok

A1), 0,8% (kelompok A4), dan 1% (kelompok A5) menghasilkan kecap ikan dengan

rasa asin. Penambahan enzim papain 0,4% pada kelompok A2 dan 0,6% pada kelompok

A3 menghasilkan kecap ikan yang sangat asin. Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa penambahan enzim papain berbanding terbalik dengan rasa asin kecap ikan yang

dihasilkan.

Menurut Olubunmi, F., et al., (2010), semakin banyak enzim yang digunakan saat

fermentasi akan mempengaruhi komposisi asam amino pada kecap ikan. Asam amino

yang paling banyak terdapat pada kecap ikan adalah asam glutamat. Asam glutamat

tersebut memiliki peran penting dalam pembentukan flavor kecap ikan. Hal ini

didukung oleh Amstrong (1995), bahwa semakin banyak enzim yang ditambahkan

maka proses hidrolisis protein ikan akan berlangsung semakin tinggi, sehingga

Page 12: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

menghasilkan asam glutamat yang membuat rasa khas ikan pada kecap ikan menjadi

semakin lemah.

Berdasarkan pustaka diatas, maka seharusnya rasa yang paling asin diperoleh pada

kecap ikan kelompok A5 (enzim papain 1%) dan rasa yang paling paling tidak asin pada

kelompok A1 (enzim papain 0,2%), karena semakin banyak enzim papain menyebabkan

rasa ikan menjadi lemah. Perbedaan hasil pengamatan dengan teori yang ada

kemungkinan karena adanya penambahan bumbu-bumbu sehingga mempengaruhi

aroma dan cita rasa yang dihasilkan (Astawan & Astawan, 1991). Secara kuantitatif,

pengujian terhadap rasa ini dibuktikan dengan pengujian salinitas atau kadar garam

menggunakan alat hand refractometer. Dari hasil pengujian, pada semua kelompok

tidak didapatkan % salinitas. Hal ini dapat terjadi karena proses pemanasan dilakukan

pada suhu yang berbeda dan adanya penambahan gula kelapa menyebabkan tesktur

kecap asin menjadi terlalu kental dan pekat sehingga menyulitkan pembacaan dengan

hand refractometer.

Dari segi aroma, aroma yang agak tajam diperoleh kelompok A1, A2, dan A3 dengan

penambahan enzim papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6%, kemudian aroma yang kurang tajam

diperoleh kelompok A4 dengan penambahan enzim papain 0,8%, sedangkan aroma

yang sangat tajam ditunjukkan oleh perlakuan penambahan enzim papain sebesar 1%

pada kelompok A5. Tortora, et al., (1995) mengatakan bahwa protein pada ikan akan

dipecah oleh enzim protease menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti

kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia yang mengandung nitrogen. Senyawa-

senyawa tersebut merupakan komponen yang memberikan flavor pada kecap ikan.

Asam glutamat merupakan salah satu flavor khas pada kecap yang dihasilkan dari

penguraian protein oleh enzim protease tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak

enzim protease (papain) yang ditambahkan maka akan semakin banyak pula protein

yang terhidolisis menjadi senyawa sederhana yang mengandung N dan memberi flavor

yang kuat pada kecap ikan dan menutupi flavor amis dari daging ikan (Astawan &

Astawan, 1988).

Page 13: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

Secara umum, data hasil pengamatan hampir sesuai dengan teori yang ada, hanya saja

terjadi ketidaksesuaian pada hasil kelompok A4. Penambahan enzim papain pada

kelompok A4 sebesar 0,8% tetapi justru menghasilkan aroma yang kurang tajam. Hal

ini dapat disebabkan karena proses perebusan serta panas yang digunakan tiap

kelompok tidak seragam. Panas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan komponen

volatile pembentuk aroma menguap sehingga aroma yang dihasilkan menjadi tidak

sesuai. Selain jumlah enzim protease yang ditambahkan, faktor lain yang menentukan

aroma pada kecap adalah jenis bumbu yang digunakan karena bumbu tersebut dapat

menimbulkan bau dan cita rasa yang spesifik (Kasmidjo, 1990).

Dari segi penampakan, kelompok A1 sampai A4 menghasilkan kecap ikan yang kental,

sedangkan pada kelompok A5 dengan enzim papain 1% menghasilkan kecap ikan yang

sangat kental. Secara umum dapat dikatakan bahwa kecap ikan merupakan bahan

pangan yang berbentuk cairan kental ( Astawan & Astawan, 1988 ). Kekentalan dari

kecap disebabkan karena adanya penambahan, penambahan gula kelapa yang selain

memberikan warna coklat caramel, juga akan meningkatkan viskositas dari kecap ikan

(Kasmidjo, 1990). Menurut Witono, Y., et al., (2014), viskositas dari kecap ikan dapat

dipengaruhi oleh 2 hal yaitu penambahan gula coklat (brown sugar) dan agen pengental

(thickening agent). Penambahan partikel-partikel terlarut juga dapat menyebabkan

gesekan antar partikel dalam larutan menjadi tinggi dan meningkatkan viskositas. Selain

itu, proses pemanasan yang diberikan akan meningkatkan penguapan air sehingga

viskositas kecap meningkat.

Perbedaan hasil yang diperoleh dapat disebabkan karena jumlah gula merah yang

digunakan hanya berdasarkan bentuk geometrisnya saja yaitu 3 butir, namun jumlah

(berat) yang digunakan tidak diseragamkan, oleh karena itu tingkat kekentalan dari

produk akhir menjadi berbeda. Lamanya proses perebusan serta panas yang digunakan

tiap kelompok juga tidak seragam. Seluruh ketidaksesuaian yang terjadi pada hasil

analisa sensori dengan teori yang ada, dapat disebabkan karena kelemahan metode

sensori itu sendiri, setiap orang memiliki pandangan yang relatif sehingga sulit untuk

distandarisasi. Orang yang sudah terlatih dapat dengan mudah mengalisa dengan

metode sensori, tetapi metode sensori sulit untuk dilakukan oleh orang yang belum

Page 14: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

terlatih, sehingga akhirnya dapat menyebabkan data hasil pengamatan yang kurang

presisi (Windsor, et al., 1982).

Menurut Lopetcharat & Park (2002), keberhasilan dalam memproduksi kecap ikan

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

1. Konsentrasi garam yang digunakan

Garam dengan konsentrasi tinggi akan lebih ampuh dalam mencegah tumbuhnya

mikroorganisme kontaminan, meningkatkan daya simpan produk, memberikan rasa

asin, dan menyeleksi mikroba yang hanya dibutuhkan untuk proses fermentasi.

2. Lamanya fermentasi

Waktu fermentasi harus diperhatikan karena apabila terlalu lama atau terlalu

sebentar maka akan mempengaruhi kualitas kecap. Senyawa-senyawa volatil yang

dihasilkan oleh bakteri fermentatif belum terbentuk apabila proses fermentasi terlalu

sebentar.

3. Enzim dan bahan lain yang ditambahkan

Enzim pada pembuatan kecap ikan akan membantu dalam pembentukan warna, rasa,

dan aroma pada kecap ikan. Selain itu, bahan lain seperti bumbu juga berpengaruh

terhadap atribut-atribut tersebut sehingga jumlah yang ditambahkan harus sesuai.

4. Kebersihan

Adanya proses fermentasi dalam pembuatan kecap ikan, menjadikan aspek

kebersihan pada setiap metode yang dilakukan menjadi salah satu faktor yang

penting. Apabila alat yang digunakan tidak bersih ataupun dapat dengan mudah

dicemari kontaminan (terutama yang tahan terhadap salinitas tinggi), maka aktivitas

fermentatif dari mikroorganisme yang diinginkan justru terhambat karena terjadinya

perebutan substrat dengan mikroorganisme kontaminan. Menurut Zaman, M.Z., et

al., (2010), proses fermentasi yang tidak bersih juga akan menghasilkan kadar amina

yang tinggi seperti histamine, putrescine, cadaverine, dan tyramine. Keberadaan

senyawa amina yang tinggi dapat mengakibatkan efek toksik apabila dikonsumsi.

5. Kondisi fermentasi

Kondisi fermentasi disesuaikan dengan pertumbuhan mikroorganisme yang

diharapkan supaya proses fermentasi lebih maksimal.

Page 15: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kecap ikan adalah produk hasil pengolahan ikan dengan cara fermentasi yang

berbentuk cairan berwarna coklat.

Bahan baku kecap ikan dapat berasal dari sari daging ikan yang dibuat secara

khusus, atau sari daging ikan yang diperoleh dari produk samping proses

pengolahan lain.

Kecap ikan dapat diproduksi dengan cara fermentasi garam dan fermentasi secara

enzimatis.

Jumlah penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi akan menentukan

kualitas dari kecap ikan yang dihasilkan.

Waktu yang diperlukan untuk fermentasi enzimatis lebih cepat dibandingkan

fermentasi garam.

Enzim papain merupakan enzim protease yang berfungsi menguraikan protein

menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti pepton, peptida, serta

asam amino yang saling berinteraksi untuk menciptakan rasa khas.

Peningkatan jumlah enzim yang ditambahkan akan mempercepat proses fermentasi.

Semakin banyak enzim yang digunakan, maka warna kecap menjadi semakin coklat,

rasa amis ikan menjadi lemah, serta aroma khas kecap ikan menjadi lebih kuat.

Viskositas dari kecap ikan dipengaruhi oleh penambahan gula, thickening agent,

penambahan partikel-partikel terlarut, dan proses pemanasan.

Penambahan garam bertujuan untuk menyeleksi mikroba yang tumbuh dan juga

untuk mengawetkan kecap.

Penambahan bumbu terhadap kecap berfungsi untuk meningkatkan cita rasa, warna,

dan aroma pada kecap.

Perebusan dilakukan untuk lebih mengaktifkan enzim protease sehingga dapat

bekerja secara optimal.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan fermentasi kecap ikan antara lain kondisi

bahan baku, lamanya fermentasi, konsentrasi garam yang digunakan, enzim yang

digunakan, kebersihan proses, dan kondisi fermentasi.

14

Page 16: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Semarang, 25 September 2015

Praktikan, Asisten dosen,

Andika Putri Michelle Darmawan

13.70.0167

Page 17: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan & Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.

Buckle K. A.; Edward R.A.; Fleet G.H.; Wootton N. (1987). Ilmu Pangan. Edisi Kedua. Penerjemah: Purnomo H, Adiono. Universitas Indonesia, Jakarta.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lees, R. and E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lopetcharat, K. and J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol 67, Nr. 2.

Misgiyarta, S. dan Widowati. 2003. Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Indigenus. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

16

Page 18: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Ng, Y.F., Afiza, T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A., & Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic Action on Valamugil seheli and Ilisha melastoma for Fish Sauce Production. Asian Journal of Food and Agro-Industry. Universitas Sains Malaysia.

Olubunmi, F., Suleman, S., Uche, I., Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Sauce from Clupeids. New York Science Journal 3(3). Federal University of Technology, Nigeria.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Shahidi, F. & J. R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.

Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tortora, G. J. ; B. R. Funke & C. L. Case. (1995). Mikrobiology an Introduction, 5 th ed. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

Windsor, M. L.; A. Aitken; I. M. Mackie & J. H. Merrit. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Witono, Y., Windrati, W.S., Taruna, I., Afriliana, A., & Assadam, A. (2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from “Bibisan” Fish Hydrolyzate. Journal of Food Science and Technology. Vol 2, No. 6, 203-208. University of Jember, Indonesia.

Zaman, M.Z., Bakar, F.A., Selamat, J., & Bakar, J. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Journal Food Science. Vol. 28 No. 5: 440-449. Universitas Putra Malaysia.

Zarei, M., Najafzadeh, H., Eskandari, M.H., Pashmforoush, M., Enayati, A., Gharibi, D., & Fazlara, A. (2012). Chemical and Microbial Properties of Mahyaveh, a Traditional Iranian Fish Sauce. Elsevier Ltd. Iran

Page 19: KECAP IKAN_Andika Putri_13.70.0167_Kloter A4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Laporan Sementara

6.2. Diagram Alir

6.3. Abstrak Jurnal

18